dangkal dari 50 meter, sedangkan ikan lebih besar cenderung berada di perairan yang kedalaman lebih dari 50 meter. Makrozoobentos merupakan faktor yang
lebih berpengaruh terhadap jumlah total ikan karena perubahan tipe substrat cenderung kurang mengakibatkan perubahan yang signifikan pada jumlah total
ikan demersal. Nilai Sv ikan pada kedalaman dasar perairan kurang dari 5 meter yaitu
pada daerah dekat pantai lebih besar dibandingkan Sv ikan pada kedalaman lebih dari 5 meter yang lebih ke lepas pantai. Hal ini disebabkan karena daerah pantai
dan mendekati pantai merupakan daerah yang subur, akibat nutrien yang terbawa oleh arus sungai yang mampu mencapai daerah tersebut sehingga terdapat lebih
banyak persediaan makanan Ginting, 2010.
2.2 Deteksi Tipe Dasar Perairan dengan Metode Hidroakustik
Teknik echosounder single beam
akustik untuk klasifikasi dasar perairan telah banyak dilakukan, baik digunakan untuk pengukuran yang berhubungan
khususnya dengan tipe substrat Siwabessy, 2005. Teknik akustik ini digunakan sebagai pelengkap dari sistem berbasis satelit udara, karena ketika didalam
perairan terdapat faktor pembatas seperti kedalaman air dan kekeruhan yang membatasi ruang lingkup penginderaan optik.
Metode akustik untuk klasifikasi dasar perairan menggunakan sinyal hambur balik acoustic backscatter untuk menduga kekerasan hardnessE2 dari
dasar laut, dan pengukuran terhadap waktu lamanya echo kembali untuk memperkirakan kekasaran roughnessE1 dasar laut. Jenis echosounder yang
digunakan memiliki beamwidth 12-75° agar mendapatkan informasi mengenai kekerasan dan kekasaran Siwabessy, 2005.
Kekasaran permukaan dasar laut merupakan variabel penting dalam kaitannya dengan intensitas backscatter akustik dengan frekuensi tinggi. Pengaruh
dari kekasaran pada intensitas backscatter bervariasi tergantung tipe, magnitudo, dan orientasi dari kekasaran dasar perairan Flood and Ferrini, 2005.
Bentuk echo
yang dipantulkan akan sangat bergantung dengan kekerasan dan kekasaran dasar laut. Permukaan sedimen yang kasar akan memantulkan
energi hambur balik yang lebih dibandingkan pada permukaan sedimen yang halus, sehingga permukaan yang lebih kasar akan menghasilkan puncak yang
rendah dan ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan permukaan sedimen yang halus dengan komposisi yang sama Siwabessy, 2005.
Hubungan lain yang dapat dijelaskan antara kekasaran roughnessE1 dan kekerasan hardness E2 dapat memperlihatkan jenis atau tipe sedimen yang
terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras.
Penelitian mengenai dasar laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan metode hidroakustik. Beberapa penelitian diantaranya yang telah
dilakukan Irfania 2009, Pujiyati 2008, Jayantie 2009, Oktavia 2009, Gaol 2012, dan Allo 2008, dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penelitian tentang nilai acoustic backscattering strength dasar perairan
Peneliti Lokasi Nilai Volume Backscattering Strength dB
Pasir Pasir
berlumpur Lumpur
berpasir Lumpur
Oktavia 2009 Kepulauan Pari
- -17,30
- -
Irfania 2009 Peraiaran Arafura
-19,53 -21,83 -22,28 -25,48
Pujiyati 2008 Perairan Babel dan Jawa
-20,00 -
- -35,91
Jayantie 2009 Selat gaspar
-7,00 -13,00
-15,00 -23,00
Allo 2008 Perairan Pandeglang
-18,05 -21,09 -27,04 -30,02
Gaol 2012 Kepulauan Seribu
-13,91 -20,57
- -
Nilai dari setiap klasifikasi berbeda-beda disebabkan beberapa faktor. Menurut Pujiyati 2008 hal ini menjelaskan bahwa nilai backscattering
dipengaruhi oleh ukuran partikel. Selain ukuran partikel, nilai backscattering dasar atau substrat dapat diduga adanya pengaruh dari faktor lain seperti porositas,
kandungan zat organik dan biota yang berada dalam substrat
.
2.3. Ikan Demersal