Pengalaman Orang Tua dalam Memberikan Hukuman Fisik dan Kekerasan Verbal pada Anak Usia Sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II

(1)

SKRIPSI

Oleh Safrida Yanti

111101022

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

Oleh Safrida Yanti

111101022

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

(5)

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun Akademik : 2014 / 2015

ABSTRAK

Hukuman fisik adalah penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan menimbulkan rasa sakit pada anak tetapi tidak cedera untuk memperbaiki atau mengontrol perilaku anak. Kekerasan verbal adalah kata-kata yang diucapkan kepada anak seperti memarahi, meneriaki yang dapat mengganggu psikologis anak. Hukuman fisik dan kekerasan verbal merupakan hukuman yang diberikan ketika anak melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak delapan orang partisipan. Penelitian ini dilaksanakan di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2015. Analisa data pada penelitian ini menggunakan metode Collaizi. Penelitian ini menemukan 5 tema terkait dengan pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II, yaitu (1) Pendapat, (2) Tindakan, (3) Penyebab, (4) Dampak, dan (5) Harapan. Mengingat hampir semua partisipan dalam penelitian ini memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal, dan kedua jenis hukuman ini berdampak negatif, maka diharapkan kepada orang tua agar memberikan hukuman yang lebih baik dan sesuai dalam mendidik anak usia sekolah.

Kata Kunci: pengalaman, orang tua, hukuman fisik, kekerasan verbal, anak usia sekolah


(6)

(7)

karunia Nya kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengalaman Orang Tua dalam Memberikan Hukuman Fisik dan Kekerasan Verbal pada Anak Usia Sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II”.

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti mendapatkan bantuan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp, MNS, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji satu dan Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku dosen penguji dua di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan masukan bermanfaat pada penulisan skripsi ini.

4. Dosen dan seluruh staf pegawai Fakultas Keperawatan USU yang turut mendukung dalam penyusunan skripsi ini.

5. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada ayahanda Saifuddin Abdul Gani dan Ibunda Nursyidah, dan adik-adik Maulidawati dan Fuadi Saifannur


(8)

Anggi, kakak-kakakku Opa, Icha, dan Ve, serta teman-teman sedoping Wanda, Renta, dan Chindy yang telah membantu dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf dan pegawai Balitbang Kota Medan, Kantor Camat Medan Selayang, Kantor Kelurahan Padang Bulan Selayang II, dan Kepala Lingkungan III yang telah kooperatif memberikan izin kepada peneliti.

8. Ibu-ibu Lingkungan III yang telah suka rela meluangkan waktu untuk menjadi partisipan sehingga skripsi ini selesai dengan baik.

9. Rekan-rekan mahasiswa program studi S1 Keperawatan angkatan 2011 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih memerlukan penyempurnaan baik dalam penulisan, serta isi pada skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penulisan skripsi ini dimasa yang akan datang dapat lebih baik dan bermanfaat.

Medan, Juli 2015 Peneliti


(9)

Abstrak ...iv

Kata Pengantar ...vi

Daftar Isi...viii

Daftar Tabel ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 6

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Orang Tua ... 8

1.1 Pengertian Orang Tua ... 8

1.2 Gaya Pengasuhan Orang Tua... 8

2. Hukuman... 10

2.1 Pengertian Hukuman... 10

2.2 Fungsi Hukuman ... 12

2.3 Jenis Hukuman... 13

3. Angka Kejadian Hukuman Fisik dan Kekerasan Verbal ... 14

4. Anak Usia Sekolah... 16

4.1 Defenisi Anak Usia Sekolah ... 16

4.2 Ciri-ciri Anak Usia Sekolah... 16

4.3 Perkembangan Anak Usia Sekolah ... 18

5. Studi Fenomenologi ... 24

BAB 3 METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 29

2. Partisipan... 30

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4. Pertimbangan Etik... 31

5. Instrumen Penelitian ... 32

6. Pengumpulan Data ... 33

7. Analisa Data... 35

8. Tingkat Kepercayaan Data... 37

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 40

2. Karakteristik Partisipan ... 40

3. Pengalaman Orang Tua... 41


(10)

LAMPIRAN

1. Informed consent 2. Persetujuan partisipan 3. Jadwal penelitian

4. Pengeluaran dana penelitian 5. Koesioner data demografi 6. Panduan wawancara 7. Field note

8. Daftar riwayat hidup

9. Surat uji validitas pertanyaan wawancara 10. Surat komisi etik

11. Surat izin penelitian 12. Surat selesai penelitian 13. Lembar bukti bimbingan


(11)

(12)

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan USU Tahun Akademik : 2014 / 2015

ABSTRAK

Hukuman fisik adalah penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan menimbulkan rasa sakit pada anak tetapi tidak cedera untuk memperbaiki atau mengontrol perilaku anak. Kekerasan verbal adalah kata-kata yang diucapkan kepada anak seperti memarahi, meneriaki yang dapat mengganggu psikologis anak. Hukuman fisik dan kekerasan verbal merupakan hukuman yang diberikan ketika anak melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak delapan orang partisipan. Penelitian ini dilaksanakan di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2015. Analisa data pada penelitian ini menggunakan metode Collaizi. Penelitian ini menemukan 5 tema terkait dengan pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II, yaitu (1) Pendapat, (2) Tindakan, (3) Penyebab, (4) Dampak, dan (5) Harapan. Mengingat hampir semua partisipan dalam penelitian ini memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal, dan kedua jenis hukuman ini berdampak negatif, maka diharapkan kepada orang tua agar memberikan hukuman yang lebih baik dan sesuai dalam mendidik anak usia sekolah.

Kata Kunci: pengalaman, orang tua, hukuman fisik, kekerasan verbal, anak usia sekolah


(13)

Periode ketika anak-anak dianggap mulai dapat bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dalam hubungannya dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lain disebut dengan anak usia sekolah atau usia 6-12 tahun (Nuryanti, 2008). Selain itu Wong (2009) menambahkan usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu. Bagi banyak orang tua usia sekolah merupakan usia yang menyulitkan, suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tua dan anggota kelompok lain (Hurlock, 1980).

Dalam menghadapi kenakalan anak, orang tua memberikan pendidikan disiplin pada anak. Salah satu metode disiplin yang paling sering digunakan adalah hukuman. Namun, pemberian hukuman yang berat dapat berpengaruh buruk terhadap anak. Anak akan meniru perilaku agresif tersebut terhadap orang lain atau benda di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketika anak melakukan suatu kesalahan yang tidak disukai oleh orangtuanya, maka orangtua akan memberikan hukuman baik secara fisik maupun verbal (Nurlela, 2008).

Taillieu dan Brownridge (2013) menunjukkan sebesar 53.9% dari responden mengalami beberapa bentuk hukuman fisik pada usia 10 tahun. Meskipun hukuman fisik yang digunakan umumnya pada tingkat rendah dan


(14)

sedang sebesar 20,5%. Responden juga menyatakan hukuman fisik yang mereka dapatkan terjadi dengan frekuensi tinggi yaitu lebih dari satu kali dalam seminggu. Angka-angka ini menunjukkan banyak orang tua yang menganggap bahwa hukuman fisik adalah strategi disiplin yang paling tepat untuk anak yang berusia sekitar 10 tahun. Hasil penelitian Herlinawati (2012) menyatakan subjek di pukul, dicubit, dan dijewer oleh ibunya. Selain itu subjek juga mengalami kekerasan psikologis yaitu ketika marah ibu subjek sering menekan subjek dengan perkataan-perkataan yang tidak sopan dan menyakitkan hati subjek.

Mckee et al. (2007) menyatakan jenis kelamin anak juga mempengaruhi orang tua dalam memberikan hukuman fisik, khususnya anak laki-laki lebih sering menerima hukuman fisik dan kekerasan verbal dibandingkan anak perempuan. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa seorang ayah juga menggunakan disiplin fisik yang lebih keras pada anak laki-laki, namun akan tetap menggunakan kekerasan verbal yang sama untuk anak perempuan maupun anak laki-laki. Satu penjelasan yang dapat diambil untuk temuan ini adalah bahwa berdasarkan stereotip peran gender, orang tua khususnya ayah masih percaya

bahwa anak laki-laki membutuhkan disiplin fisik lebih daripada anak perempuan untuk mengubah perilaku mereka.

Dalam upaya pendisiplinan anak, selain disiplin dengan hukuman fisik, orang tua juga melakukan pendisiplinan dengan kekerasan verbal. Kekerasan verbal dilakukan pada saat marah, diikuti munculnya ekspresi dan intonasi tinggi, berupa ancaman dan pemaksaan (Rianti, 2010).Hasil penelitian Ericsson, Verona, Joiner dan Preacher (2006) menyatakan kekerasan verbal oleh orangtua lebih


(15)

sering terjadi dibandingkan hukuman fisik dan pelecehan seksual. Secara khusus, 29.7% melaporkan bahwa mereka kadang-kadang atau sering dicaci maki. Pikiran, beban kerja, keadaan emosi, dan kontrol yang kurang menjadi penyebab terjadinya kekerasan verbal. Selain itu, sifat, kondisi, aktivitas dan keinginan anak yang tidak dituruti juga menyebabkan terjadinya kekerasan verbal pada anak (Rianti, 2010).

Sementara itu ada hubungan yang signifikan antara penggunaan metode disiplin hukuman fisik oleh orangtua dengan perilaku agresif pada anak. Semakin tinggi hukuman fisik yang diterima anak semakin tinggi pula perilaku agresif anak. Sebaliknya, semakin rendah hukuman fisik yang diterima anak, semakin rendah pula perilaku agresif anak (Nurlela, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Taillieu dan Brownridge (2013) yang menyatakan bahwa orang tua yang menggunakan hukuman fisik dan perilaku agresi fisik pada anak, telah terbukti meningkatkan resiko perubahan perilaku pada anak menjadi lebih negatif. Meskipun orang tua memberikan kehangatan ataupun dukungan pada anak dalam disiplin tersebut, pada kenyataannya, akan tetap melemahkan hasil internalisasi karena mereka tidak bisa sepenuhnya menghilangkan efek negatif dari disiplin hukuman fisik. Anak akan depresi, cemas, dan rendah diri di masa dewasa. Penggunaan hukuman fisik meningkatkan kemungkinan anak akan terlibat dalam perilaku kekerasan saat dewasa, dan kekerasan dalam satu domain sosial cenderung mempengaruhi perilaku dalam domain lainnya (Lansford & Dodge, 2008). Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tuanya,


(16)

tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskan kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif (Fortuna, 2008). Bentuk-bentuk perilaku agresif yang dilakukan subjek yaitu penghinaan verbal, fisik bersifat sosial, fisik bersifat anti sosial. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku agresif pada anak adalah frustasi, kekerasan verbal, kondisi yang tidak menyenangkan, faktor kerelaan, meniru orangtua, orangtua membiarkan, akibat acara-acara televisi, dan memendam perasaan marah (Herlinawati, 2012).

Menurut penelitian Evans, Simons, dan Simons (2012) menyatakan bahwa kekerasan verbal sangat berpengaruh terhadap masalah perilaku anak daripada hukuman fisik. Kekerasan verbal yang terlalu sering diterima anak mempengaruhi peningkatan kenakalan. Hasil penelitian Putri dan Santoso (2012) menyatakan kekerasan verbal dapat menyebabkan anak menjadi penakut, minder dengan teman-temannya, perkembangan anak akan terganggu sehingga berpengaruh terhadap konsep diri dan anak akan meniru kekerasan verbal seperti yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Taylor, Lauren, dan Ruth (2011) menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini percaya bahwa menggunakan beberapa bentuk dari hukuman fisik terhadap anak-anak mereka pada waktu tertentu diperlukan dan diharapkan bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk disiplin. Hassan dan Rousseau (2009) dalam penelitian terhadaporang tua dan remaja Afrika Utara dan Amerika Latin, mereka yang menyetujui penggunaan hukuman fisik mengacu pada sistem norma yang memperbolehkan mereka untuk membenarkan penggunaan hukuman fisik dan membedakannya dari kekerasan fisik. Kriteria yang digunakan mengacu


(17)

pada usia anak, sifat pelanggaran, frekuensi dan keparahan kesalahan. Dalam hal usia, hukuman fisik dianggap sesuai untuk anak-anak antara usia 2 sampai 10 tahun. Sebagian besar dari mereka orang tua Afrika Utara dan remaja dan sekitar setengah dari Amerika Latin orang tua dan remaja menyetujui hukuman fisik kecil, khususnya pukulan di bagian bawah atau memukul di tangan, terutama jika disertai dengan penjelasan. Selain itu, sebagian kecil orang tua Afrika Utara mempertimbangkan bahwa beberapa pelanggaran membutuhkan hukuman fisik yang lebih parah misalnya sebuah tamparan di wajah.

Rianti (2010) menyatakan adapun alasan responden melakukan kekerasan verbal karena faktor kebiasaan, sebagai proses pembelajaran untuk anak, dan masih dalam batasan. Kekerasan verbal dilakukan pada saat marah, diikuti munculnya ekspresi dan intonasi tinggi, berupa ancaman dan pemaksaan terhadap anak mereka. Orang tua masih melakukan kekerasan verbal pada anak mereka meski sudah memahami efek dari kekerasan verbal. Mereka berpendapat bahwa efek kekerasan verbal tidak begitu berpengaruh terhadap anak dibandingkan dengan hukuman fisik. Partisipan juga mengatakan bahwa kekerasan verbal dilakukan untuk kebaikan anak, yaitu agar anak berpikir bahwa yang dilakukannya adalah salah. Orang tua juga mengatakan dampaknya tidak seberapa bagi anak.

Dari uraian diatas masih banyak orang tua yang melakukan hukuman fisik dan kekerasan verbal tanpa mengetahui dampak negatif untuk anak. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian terhadap orang tua anak terkait pengalaman orang tua dalam memberi hukuman fisik dan kekerasan verbal pada


(18)

anak usia sekolah. Penelitian ini akan dilakukan pada orang tua anak di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

2. Perumusan Masalah

Bagaimana pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah. 4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif untuk pengembangan keilmuan baik secara teoritis dan praktik bagi dunia keperawatan diantaranya:

4.1 Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan pengetahuan serta menjadievidencekhususnya dalam pengajaran diperkuliahan yang berhubungan dengan pemberian hukuman terutama hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak.

4.2 Pelayanan Keperawatan

Sebagai informasi dan tambahan pengetahuan bagi perawat dalam mengidentifikasi pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah sehingga dapat memberikan bimbingan kepada orang tua untuk dapat memberikan hukuman yang lebih baik untuk anak.


(19)

4.3 Penelitian Keperawatan

Menjadi bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian terkait pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah.


(20)

1.1 Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah ayah/ ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu tiri, atau ayah dan/ atau ibu angkat (UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Orang tua adalah orang pertama yang harus merangkul anaknya sehingga orang tua menjadi orang terdekat dengan anak dan dipercaya oleh mereka (Hidayati, 2010).

Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

1.2 Gaya Pengasuhan Orang Tua

Pengasuhan merupakan serangkaian interaksi yang intensif yang dilakukan oleh orang tua dalam mengarahkan anak untuk memiliki keterampilan hidup. Pada dasarnya orang tua mengetahui bahwa pengasuhan merupakan suatu kewajiban, namun masih banyak orang tua yang melalaikan kewajiban ini dan tidak semua terampil dalam mengasuh anak. Demikian halnya, tidak semua orang tua mengetahui luas dan kedalaman dimensi pengasuhan anak. Secara sederhana pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan


(21)

anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, dan memiliki karakter-karakter baik (Sunarti, 2004).

Pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Keterampilan mengasuh anak kebanyakan didapatkan seseorang laksana air yang mengalir, mengikuti kemana arus bergerak. Keterampilan mengasuh seringkali dimiliki seseorang sebagaimana apa yang diperoleh, apa yang dilihat, dan apa yang didengar secara tidak sengaja. Kebanyakan orang tua mempelajari praktik pengasuhan secara turun temurun dari orang tua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan pengasuhan yang berbeda dalam pernikahan mereka (Santrock, 2007).

Pentingnya pengasuhan dalam mengantarkan anak menjadi anggota masyarakat bisa ditunjukkan dari tujuan pengasuhan. Beberapa tujuan pengasuhan diantaranya berkaitan dengan pengembangan konsep diri anak, mengajarkan disiplin, serta mengajarkan keterampilan perkembangan (Santrock, 2007).

Ada beberapa jenis pengasuhan menurut Sunarti (2004)

1. Pengasuhan Dimensi Kehangatan, gaya pengasuhan ini dicirikan oleh curahan kasih sayang orang tua baik secara fisik maupun secara verbal. Orang tua mengekspresikan kasih sayangnya melalui ciuman di pipi, di kening, dan pelukan hangat. Demikian juga dengan tepukan dan elusan hangat. Secara verbal orang tua senantiasa mengekspresikan kasih sayang dan perhatiannya melalui pujian, penghargaan, dan dukungan untuk maju. Orang tua tidak pelit untuk memuji dan


(22)

menghargai, senantiasa memanfaatkan kesempatan untuk menggunakan kata-kata dukungan untuk maju, untuk berjuang, untuk bersemangat, dan kata-kata manis tentang anak.

2. Gaya Pengasuhan Pelatihan Emosi, gaya pengasuhan ini ditandai oleh situasi dan kondisi dimana orang tua menerima emosi anak dan bersimpati kepada mereka (menerima semua emosi anak tanpa prasyarat), tetapi tidak mapu untuk menawarkan pengarahan atau menetapkan standar atau batasan-batasan perilaku anak.

3. Gaya Pengasuhan Dimensi Arahan

Baumrind membagi gaya pengasuhan dimensi arahan atau disiplin kedalam tiga kelompok, yaitu:

1) Gaya Pengasuhan Demokratis, gaya pengasuhan ini dicirikan beberapa kondisi dimana orang tua senantiasa mengontrol perilaku anak, namun kontrol tersebut dilakukan dengan fleksibel atau tidak kaku.

2) Gaya Pengasuhan Otoriter, gaya pengasuhan ini menempatkan orang tua sebagai pusat dan pemegang kendali, dan

3) Gaya Pengasuhan Permisif, gaya pengasuhan permisif (serba membolehkan) dicirikan oleh perilaku orang tua yang senantiasa menyetujui keinginan anak.

2. Hukuman

2.1 Pengertian Hukuman

Hukuman berasal dari kata kerja latin, punier dan berarti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran


(23)

sebagai ganjaran atau pembalasan (Hurlock, 1978). Walaupun tidak dikatakan secara jelas, tersirat didalamnya bahwa kesalahan, perlawanan atau pelanggaran ini disengaja, dalam arti bahwa orang itu mengetahui bahwa perbuatan itu salah tetapi tetap melakukannya.

Pemberian hukuman harus diterapkan dengan bijak, tanpa luapan emosi, dan bukan dirahkan pada hukuman fisik. Hukuman harus diterapkan dengan sangat hati-hati. Hal ini berhubungan dengn tujuannya, yaitu untuk memperbaiki perilaku (Hidayati, 2010).

Menurut Hidayati (2010), hukuman pada anak memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Dapat dikerjakan oleh anak. hukuman yang disampaikan oleh orang tua harus benar-benar diwujudkan apabila anak tidak memperbaiki perilakunya.

2. Tidak berbahaya untuk anak. Selain harus dapat dikerjakan oleh anak, hukuman pun tidak boleh berbahaya bagi anak.

3. Bersifat mendidik. Bentuk hukuman disesuaikan dengan alur berpikir anak agar anak paham bahwa tindakannya merugikan.

Ciri-ciri hukuman yang baik yaitu hukuman dilaksanakan setelah pelanggran, konsisten, individual dan sesuai tahap perkembangan, mengembangkan hati nurani artinya tidak memberi hukuman yangmenyakitkan fisik maupun mental anak, dan disertai oleh penjelasan.


(24)

2.2 Fungsi Hukuman

Hurlock (1978) menyatakan hukuman mempunyai tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Fungsi pertama ialah menghalangi, yaitu hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu akan dihukum, mereka biasanya tidak mau lagi melakukan tindakan tersebut karena teringat akan hukuman yang pernah mereka terima. Nilai penghalangnya juga penting bagi anak kecil yang belum belajar tentang apa yang benar dan apa yang salah. Seandainya mereka sedang berbuat sesuatu yang membahayakan mereka, orang lain atau harta milik, pukulan pada tangan biasanya akan menghentikan perbuatan itu.

Fungsi kedua dari hukuman ialah mendidik, yaitu sebelum anak mengerti peraturan mereka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang salah dan tidak menerima hukuman bila mereka melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa jika mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan dihukum. Ini memperkuat pengajaran verbal. Aspek edukatif lain dari hukuman yang sering kurang diperhatikan adalah mengajar anak membedakan besar-kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Kriteria yang diterapkan anak-anak adalah frekuensi dan beratnya hukuman. Jika hukuman itu konsisten, mereka akan selalu dihukum untuk tindakan yang salah. Beratnya hukuman membedakan kesalahan yang serius dari yang kurang serius.


(25)

Fungsi hukuman yang ketiga ialah memberi motivassi, yaitu pengetahuan tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut. Bila anak mampu mempertimbangkan tindakan alternatif dan akibat masing-masing alternatif, mereka harus belajar memutuskan sendiri apakah suatu tindakan yang salah cukup menarik untuk dilakukan. Jika mereka memutuskan tidak, maka mereka akan mempunyai keinginan untuk menghindari tindakan tersebut.

2.3 Jenis Hukuman 2.3.1 Hukuman Fisik

Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan anak (Greven, 1991 dalam Santrock, 2007). Hukuman fisik adalah penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan menimbulkan rasa sakit pada anak tetapi tidak cedera untuk tujuan memperbaiki atau mengontrol perilaku anak (Strauss, 2001 dalam Mitchell, 2008). Perbandingan lintas budaya yang dilakukan menemukan bahwa individu di Amerika Serikat dan Kanada termasuk yang paling mendukung hukuman fisik dan anak cenderung ingat pada hukuman fisik yang diberikan orang tua mereka. (Curran dkk, 2001 dalam Santrock, 2007).

Hukuman fisik dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit sehingga rasa sakit itu sendiri akan mendorong anak-anak untuk mengubah perilaku mereka (Bitensky, 2006). Hukuman fisik antara lain memukul, mencubit, menarik rambut, menampar, dan sejenisnya (Chatib, 2012).


(26)

2.3.2 Kekerasan Verbal

Survei nasional yang dilakukan terhadap orang tua Amerika Serikat menemukan bahwa 26 persen dari orang tua dilaporkan sering berteriak pada anak mereka (Regaldo dkk, 2004 dalam Santrock, 2007). Kekerasan verbal termasuk kedalam hukuman psikis. Hukuman psikis, antara lain mengurung anak, mengomeli, memaki, meneriaki, dan sejenisnya (Chatib, 2012).

Kekerasan verbal merupakan salah satu kekerasan yang sering dialami anak, karena kekerasan verbal paling mudah dilakukan. Kekerasan verbal lebih sering dilakukan oleh ibu yang sering kali cepat berkata-kata namun lamban bertindak. Banyak orang tua yang melakukan kekerasan verbal dengan melakukan penghinaan verbal terhadap anak dengan kata-kata yang tidak pantas, misalnya, goblok, pemalas, tolol, dungu, bodoh, dan sebagainya. Penghinaan seperti ini dapat membuat anak kehilangan kepercayaan diri dan merasa dirinya tidak berharga. Lebih jauh, kata-kata ini akan mereka ingat sepanjang hidupnya (Surbakti, 2008).

3. Angka Kejadian Hukuman Fisik dan Kekerasan Verbal

Hasil penelitian Taillieu & Brownridge (2013) menunjukkan sebesar 53,9% dari responden mengalami beberapa bentuk hukuman fisik pada usia 10 tahun. Meskipun hukuman fisik yang digunakan umumnya pada tingkat rendah dan sedang sebesar 20,5%. Responden juga menyatakan hukuman fisik yang mereka dapatkan terjadi dengan frekuensi tinggi yaitu lebih dari satu kali dalam seminggu. Angka-angka ini menunjukkan banyak orang tua yang menganggap


(27)

bahwa hukuman fisik adalah strategi disiplin yang paling tepat untuk anak yang berusia sekitar 10 tahun.

Hassan dan Rousseau (2009) dalam penelitian terhadap orang tua dan remaja Afrika Utara dan Amerika Latin, mereka yang menyetujui penggunaan hukuman fisik mengacu pada sistem norma yang memperbolehkan mereka untuk membenarkan penggunaan hukuman fisik dan membedakannya dari kekerasan fisik. Kriteria yang digunakan mengacu pada usia anak, sifat pelanggaran, frekuensi dan keparahan kesalahan. Dalam hal usia, hukuman fisik dianggap sesuai untuk anak-anak antara usia 2 sampai 10 tahun. Sebagian besar dari mereka orang tua Afrika Utara dan remaja dan sekitar setengah dari Amerika Latin orang tua dan remaja menyetujui hukuman fisik kecil, khususnya pukulan di bagian bawah atau memukul di tangan, terutama jika disertai dengan penjelasan. Selain itu, sebagian kecil orang tua Afrika Utara mempertimbangkan bahwa beberapa pelanggaran membutuhkan hukuman fisik yang lebih parah misalnya sebuah tamparan di wajah.

Hasil penelitian Ericsson, Verona, Joiner, dan Preacher (2006) menyatakan kekerasan verbal oleh orang tua lebih sering terjadi dibandingkan hukuman fisik dan pelecehan seksual. Secara khusus, 29,7 % melaporkan bahwa mereka kadang-kadang atau sering dicaci maki. Rianti (2010) juga menambahkan bahwa kondisi yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal dipengaruhi oleh pikiran, beban kerja, keadaan emosi, dan kontrol yang kurang. Sifat, kondisi, aktivitas, dan keinginan anak yang tidak dituruti menyebabkan terjadinya kekerasan verbal pada anak.


(28)

4. Anak Usia Sekolah

4.1 Defenisi Anak Usia Sekolah

Masa kkanak lanjut (usia 6-12 tahun) adalah periode ketika anak-anak dianggap mulai dapat bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dalam hubungannya dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lain. Usia 6-12 tahun juga sering disebut usia sekolah. Artinya, sekolah menjadi pengalaman inti anak-anak usia ini, yang menjadi titik pusat perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial (Nuryanti, 2008).

Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, 2009).

4.2 Ciri-ciri Anak Usia Sekolah

Menurut Hurlock (1980), orang tua, pendidik, dan ahli psikologis memberikan berbagai label kepada periode ini dan label-label itu mencerminkan ciri-ciri penting dari periode anak usia sekolah, yaitu sebagai berikut:

1. Label yang digunakan oleh orang tua.

Bagi banyak orang tua akhir masa kanak-kanak merupakan usia yang menyulitkan, suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tua dan anggota kelompok lain. Karena kebayakan anak, terutama laki-laki, kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya sendiri, maka orang tua memandang periode ini sebagai usia tidak


(29)

rapi, suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya sangat berantakan.

Dalam keluarga yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, sudah sering bila terjadi pertengkaran antara anak laki-laki dan perempuan. Pola perilaku ini banyak terjadi dalam keluarga sehingga periode ini disebut oleh orang tua sebagai usia bertengkar, suatu masa dimana banyak terjadi pertengkaran antar keluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga (Hurlock, 1980).

2. Label yang digunakan oleh Para Pendidik

Para pendidik memandang periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.

Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstra kulikuler (Hurlock, 1980)

3. Label yang digunakan Ahli Psikologi

Bagi ahli psikologi, akhir masa kanak-kanak adalah usia berkelompok, suatu masa dimana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan teman-temannya. Oleh karena itu, anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan,


(30)

berbicara, dan perilaku. Keadaan ini disebut oleh ahli psikologi sebagai usia penyesuaian diri.

Anak-anak yang lebih besar bila tidak dihalangi oleh rintangan-rintangan lingkungan, oleh kritik, atau cemoohan orang-orang dewasa atau orang lain, akan mengarahkan tenaga kedalam kegiatan-kegiatan kreatif. Oleh karena itu, ahli psikologi menamakan masa akhir kanak-kanak dengan usia kreatif, suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak akan menjadi konformis atau pencipta karya yang baru dan orisinal.

Akhir masa kanak-kanak seringkali disebut usia bermain oleh ahli psikologi, bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain melainkan karena terdapat tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak yang lebih muda dengan ciri-ciri bermain anak-anak remaja. Jadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain (Hurlock, 1980).

4.3 Perkembangan Anak Usia Sekolah 4.3.1 Perubahan Fisik

Kecepatan pertumbuhan pada usia sekolah awal bersifat perlahan dan konsisten sebelum terjadinya lonjakan pertumbuhan pada usia remaja. Anak usia sekolah tampak lebih langsing dibandingkan anak usia pra-sekolah karena perubahan distribusi dan ketebalan lemak.

Peningkatan tinggi badan berkisar 2 inci (5 cm) per tahun, dan berat badan meningkat sekitar 4 sampai 7 pon (1,8 sampai 3,2 kg) per tahun. Banyak anak yang mengalami peningkataan berat badan dua kali lipat, dan sebagian besar


(31)

anak perempuan mendahului anak laki-laki dalam pertambahan tinggi dan berat badan pada akhir usia sekolah. Pengukuran tinggi dan berat badan tiap tahunnya akan mendeteksi perubahan pertumbuhan yang merupakan gejala timbulnya berbagai penyakit anak.

Anak usia sekolah menjadi lebih terkoordinasi karena dapat mengatur otot besar dan kekuatannya yang meningkat. Sebagian besar melakukan keterampilan mototrik kasar seperti berlari, melompat, menjaga keseimbangan, melempar, dan menangkap saat bermain.

Perubahan fisik lainnya juga terjadi pada masa usia sekolah. Pertumbuhan gigi tampak jelas pada masa ini. Gigi permanen pertama atau gigi sekunder muncul pada usia 6 tahun. Pada usia 12 tahun, anak telah kehilangan seluruh gigi primer dan sebagian gigi permanen telah erupsi.

Seiring pertumbuhan tulang, tampilan dan postur tubuh juga berubah. Postur anak yang sebelumnya sedikit lordosis dengan penonjolan abdomen berubah menjadi lebih tegak. Sangat penting untuk mengevaluasi anak, terutama wanita setelah usia 12 tahun, terhadap adanya scoliosis. Bentuk mata berubah terjadi karena pertumbuhan tulang. Hal ini akan meningkatkan ketajaman penglihatan menjadi 6/6. Skrining penglihatan dan pendengaran menjadi lebih mudah karena anak telah memahami dan dapat bekerja sama dengan arahan pemeriksaan (Potter & Perry, 2009).

4.3.2 Perubahan Kognitif

Perubahan kognitif memberikan kemampuan untuk berpikir secara logis tentang waktu dan lokasi dan untuk memahami hubungan antara benda dan


(32)

pikiran. Anak telah dapat membayangkan suatu peristiwa tanpa harus mengalaminya terlebih dahulu. Pikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi sehingga kemampuan mereka untuk memahami dunia sangat meningkat. Pada usia 7 tahun anak mampu menggunakan simbol untuk melakukan tindakan (aktivitas mental) dalam pikiran dan bukan secara nyata. Mereka mulai menggunakan proses pikir logis dengan materi yang konkret (objek, manusia, dan peristiwa yang dapat disentuh dan dilihat).

Anak usia sekolah menggunakan kognitifnya untuk memecahkan masalah. Beberapa orang memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan lainnya karena bakat intelektual, pendidikan dan pengalaman, namun semua anak dapat meningkatkan keterampilan ini. Mereka yang mampu memecahkan masalah dengan baik serta memiliki karakteristik berikut: pandangan positif bahwa masalah dapat diselesaikan dengan usaha, memusatkan perhatian pada ketepatan, kemampuan membagi masalah menjadi bagian-bagian pelajaran, dan kemampuan menghindari tebakan saat mencari fakta (Potter & Perry, 2009).

4.3.3 Perubahan Psikososial

Erikson menyebutkan bahwa tugas perkembangan pada anak usia sekolah adalah industri versus inferioritas (industry vs inferiority). Pada masa ini, anak mencoba memperoleh kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelak pada usia dewasa. Mereka yang direspon secara positif akan merasakan adanya harga diri. Mereka yang memperoleh kegagalan sering merasa rendah diri atau tidak berharga sehingga dapat mengakibatkan penarikan diri dari sekolah maupun kelompok temannya (Potter & Perry, 2009).


(33)

Anak usia sekolah mulai mendefinisikan konsep diri dan membangun kepercayaan diri yang merupakan suatu evaluasi diri. Interaksi dengan kelompok akan menyebabkan mereka mendefenisikan pencapaian diri berdasarkan perbandingan dengan pencapaian orang lain. Hal ini dilakukan saat mereka berusaha membangun citra diri yang positif (Santrock, 2007).

Dalam buku Potter dan Perry (2009) perkembangan psikososial anak meliputi:

Hubungan dengan orang tua. Anak mulai mengetahui bahwa orang tua bukan individu yang sempurna, anak sering berkhayal dan berharap bahwa orang tua temannya merupakan orang tuanya. Terkadang mereka menganggap dirinya sebagai anak angkat. Mereka bergantung kepada orang tua untuk memperoleh kasih sayang, rasa aman, pedoman, dan pengasuhan (Potter & Perry, 2009).

Hubungan dengan saudara kandung. Terkadang terdapat konflik antar-saudara di rumah namun saling membela jika berada di lingkungan luar. Adik sering mengidolakan sang kakak, yang akan menimbulkan kompetisi. Dapat timbul perasaan cemburu pada kakak atas perhatian yang diperoleh sang adik. Kakak dapat bersikap otoriter dan terkadang melakukan kekerasan (Potter & Perry, 2009)

Hubungan dengan kelompok. Pada tahun pertama sekolah (usia 6-7 tahun), anak bermain bersama tanpa perbedaan jenis kelamin. Pada usia 8 tahun terbentuk kelompok yang tersusun dari sesama jenis kelamin. “Geng” ini memberikan kebebasan bagi anak dari aturan orang tua dan menetapkan bahasa rahasia mereka. Periode ini sering disebut sebagai “perkumpulan rahasia” anak.


(34)

Anak usia sekolah biasanya memiliki teman dekat sesama jenis. Hubungan ini umumnya bersifat sementara, namun intensitasnya cukup besar dan mencakup diskusi berbagai topik (Potter & Perry, 2009).

Konsep Diri. Perasaan anak atas penguasaan tugas merupakan unsur penting dalam membentuk kepercayaan diri. Anak harus memperoleh umpan balik yang positif dari guru dan orang tua mengenai usahanya. Sangat penting bagi anak untuk membangun keterampilan setidaknya pada satu bidang seperti membaca dan berenang (Potter & Perry, 2009).

Ketakutan. Ketakutan terhadap keamanan tubuh (misanya guntur, anjing, kegelapan, bising, suara-suara) berkurang. Ketakutan akan kekuatan supranatural seperti hantu dan penyihir bertahan dan akan hilang perlahan. Ketakutan baru terhadap sekolah dan keluarga terbentuk. Mereka mengkhawatirkan cemoohan guru dan teman serta penolakan oleh orang tua. Mereka juga mengkhawatirkan kematian dan topik berita seperti peran dan kerusakan lingkungan (Potter & Perry, 2009).

Pola Koping. Untuk mengatasi stress, anak usia sekolah menggunakan mekanisme seperti penolakan dan agresi. Beberapa kategori pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah inaktivitas (berdiam diri, tidak melakukan aktivitas, dan apatis), orientasi atau precoping (melihat dan mendengar, berjalan dan menjelajah, serta bertanya), bekerja sama (mematuhi perawatan), penolakan (berusaha lari dari situasi atau menyerang perawat secara fisik maupun verbal), dan mengatur atau mengambil tanggung jawab terhadap perawatan diri dan menyarankan hal yang dapat dilakukan (Potter & Perry, 2009).


(35)

Moral. Anak mempelajari peraturan dari orang tua, namun sampai usia 10 tahun mereka masih memiliki keterbatasan dalam hal ini. Mereka masih mementingkan dirinya sendiri dan dapat menggunakan kecurangan untuk menang. Setelah usia 10 tahun, keadilan didasarkan pada balas dendam dan hukuman untuk memperbaiki situasi, misalnya jika anak menghancurkan suatu benda, mereka harus membayar untuk perbaikannya (Potter & Perry, 2009).

Kegiatan Tambahan. Anak usia sekolah terlibat dalam permainan bersama seperti lompat tali, sepak bola, dan kasti. Permainan menjadi kompetitif dan anak sulit menerima kekalahan. Godaan, hinaan, tantangan, dan sensitivitas yang meningkat merupakan karakteristik pada usia ini (Potter & Perry, 2009).

Stres. Anak pada masa kini mengalami stress yang lebih besar dibandingkan anak pada masa terdahulu. Stres timbul akibat harapan orang tua dan kelompok, lingkungan sekolah, atau kekerasan pada keluarga, sekolah, dan masyarakat. Beberapa anak usia sekolah merawat dirinya sendiri sebelum atau sesudah jam sekolah tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa. Anak yang ditinggalkan sendiri di rumah terkadang mengalami stres yang meningkat dan lebih berisiko menderita cedera ataupun tingkah laku yang tidak aman (Potter & Perry, 2009).

Nutrisi. Anak memiliki makanan yang disukai dan dibenci. Dapat terjadi kekurangan gizi pada kelompok usia ini. Anak memiliki selera makan yang besar setelah kegiatan sekolah dan membutuhkan cemilan berkualitas seperti buah dan roti isi (Potter & Perry, 2009).


(36)

5. Studi Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmen Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain bisa lebih memahami. Seorang fenomenologi memiliki keyakinan bahwa kebenaran utama tentang realitas didasarkan pada pengalaman hidup seseorang. Penelitian fenemenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Tujuan lainnya adalah untuk memahami pengalaman hidup dan persepsi yang timbul. Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, credible, dan bermakna. Selain itu, pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan memberikan gambaran terhadap makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali defenisi atau konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian feno


(37)

menologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Beck, 2012).

Studi fenomenologi dibagi kedalam dua jenis, yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretatif. Fenomenologi deskriptif pertama kali dikembangkan oleh Husserl (1962), filosofinya menekankan pada gambaran pengalaman hidup manusia. Fenomenologi deskriptif sering menggunakan empat langkah berikut: 1) penggolongan, yaitu proses identifikasi kepercayaan yang terbentuk sebelumnya dan opini tentang fenomena yang diteliti, 2) intuisi, terjadi ketika peneliti tetap terbuka terhadap makna dikaitkan dengan fenomena yang telah mereka alami, 3) analisa, dan 4) menggambarkan. Fenomenologi interpretatif dikemukakan oleh Heidegger (1962), dia menekankan penafsiran dan pemahaman, bukan hanya gambaran pengalaman hidup manusia. Heidegger berpendapat bahwa hermeneutika merupakan karakteristik dasar eksistensi manusia. Tujuan fenomenologi interpretatif adalah untuk memasuki dunia lain dan untuk menemukan praktis kebijaksanaan, kemungkinan, dan pemahaman yang ditemukan disana (Polit & Beck, 2012).

Didalam studi fenomenologi, in-depth interview antar peneliti dan partisipan merupakan sumber data utama dimana peneliti membantu partisipan untuk menjelaskan pengalaman hidup tanpa adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan mengenai pengalaman hidupnya (Polit & Beck, 2012).


(38)

Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah 10 orang atau lebih sedikit. Partisipan yang terlibat dalam penelitian dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam hal ini, partisipan harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck, 2012).

Hasil penelitian dari studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisa data. Fenomenologist yang terkenal dalam proses analisis data adalah Collaizi, Giorgi, dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

Collaizi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut meliputi 1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka, 2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, 3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan, 4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, 5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, 6) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, dan 7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.

Menurut Lincoln dan Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu:


(39)

1. Credibilitymerupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisa kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks) dan pengecekan anggota (member checking).

2. Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal. Maksdunya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan dalam situasi yang lain.

3. Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat untuk validitas.

4. Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan


(40)

dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.Confirmabilitymerupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.


(41)

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain fenomenologi. Fenomenologi adalah metode yang berusaha untuk menemukan esensi dan makna fenomena seperti yang dialami, terutama melalui wawancara secara mendalam dengan orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang relevan. Fokus dari studi fenomenologi adalah bagaimana orang mengalami suatu pengalaman dan merealisasikan pengalaman tersebut kedalam tindakan. Peneliti fenomenologi percaya bahwa pengalaman hidup memberikan arti pada setiap persepsi orang mengenai satu bagian fenomena tertentu (Polit & Beck, 2012). Penelitian ini menggunakan jenis fenomenologi deskriptif yang dikemukan oleh Husserl pada tahun 1962, dimana peneliti menggali atau mengeksplorasi langsung pengalaman hidup orang yang telah mengalaminya. Fenomenologi deskriptif mendeskripsikan pengalaman kehidupan sehari-hari, penjelasan tentang “hal-hal” termasuk mendengar, melihat, percaya, perasaan, ingatan, memutuskan, evaluasi, dan tindakan (Polit & Beck, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah. Dalam fenomenologi ini diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah.


(42)

2. Partisipan

Jumlah partisipan dari penelitian kualitatif lebih kurang 10 orang. Pengambilan sampel pada penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah tetapi berdasarkan pada asas kesesuaian dan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data. Saturasi data didapatkan apabila peneliti tidak lagi memperoleh informasi baru dari partisipan. Apabila informasi baru yang didapatkan sama dengan informasi sebelumnya maka data dikatakan telah sampai pada titik jenuh dan pengambilan sampel berikutnya dihentikan (Polit & Beck, 2012).

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknikpurposive sampling yaitu memilih partisipan dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang sesuai dengan keinginan peneliti (Polit & Beck, 2012). Kriteria partisipan yang dipilih adalah orang tua (ibu) yang memiliki anak usia sekolah, komunikatif, dan bersedia menjadi partisipan yang dinyatakan secara verbal atau dengan menandatangani surat perjanjian penelitian.

Pengambilan partisipan di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II melibatkan kepala lingkungan dengan tujuan mempermudah peneliti mendapatkan partisipan yang sesuai dengan kriteria. Sebelum memilih partisipan peneliti menjelaskan terlebih dahulu tujuan penelitian, kriteria calon partisipan, serta proses penelitian yaitu dengan metode wawancara kepada kepala lingkungan.


(43)

3. Lokasi dan waktu penelitian 3.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) terdapat banyak orang tua yang memiliki anak usia sekolah di lokasi ini, 2) kemudahan akses terhadap partisipan, dan 3) sudah terjalinnya hubungan komunikasi yang cukup baik dengan beberapa ibu yang menjadi partisipan.

3.2 Waktu penelitian

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan bulan Juni 2015. Setelah proposal penelitian disetujui dan peneliti mengurus izin penelitian selanjutnya peneliti melakukan uji validitas terhadap panduan wawancara kemudian peneliti melakukan pilot study yaitu dengan mewawancarai satu partisipan untuk melihat kemampuan peneliti dalam melaksanakan wawancara.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah peneliti dinyatakan lulus dalam ujian proposal penelitian, selanjutnya peneliti mendapat persetujuan dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini juga dilakukan ethical clearence oleh Komisi Etik Penelitian Keperawatan. Selanjutnya peneliti mendapat izin dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, Camat Medan Selayang, Lurah Padang Bulan Selayang II, dan Kepala Lingkungan III. Setelah mendapat izin, peneliti mencari partisipan sesuai dengan krtiteria yang telah ditentukan.


(44)

Setelah terbina hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan, peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon partisipan bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka partisipan dipersilahkan untuk menandatangani informed concent. Jika partisipan menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak calon partisipan tersebut.

Penelitian ini menggunakan etika penelitian dengan menerapkan beberapa prinsip etik. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu yang menjadi partisipan, baik resiko fisik maupun psikis. Pertimbangan etik dalam penelitian ini yaitu anonimitas (annonimity) dengan tidak menuliskan nama partisipan pada instrumen, tetapi hanya menggunakan inisial saja dan menjaga kerahasiaan (confidentility) dimana hanya informasi yang diperlukan saja yang akan dicantumkan dalam penelitian. Seluruh data-data yang diperoleh dari partisipan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

5. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian. Pertama merupakan Koesioner Data Demografi (KDD) yang berisi pernyatan mengenai data umum partisipan meliputi inisial, usia, suku, pendidikan terakhir, dan pekerjaan (lihat lampiran 5).

Instrumen kedua merupakan panduan wawancara. Panduan wawancara ini berisi pertanyaan yang diajukan kepada partisipan, dimana pertanyaan tersebut dibuat sendiri oleh peneliti. Panduan wawancara ini berisi tujuh pertanyaan yang akan diajukan seputar pengalaman orang tua dalam memberi hukuman, hukuman


(45)

fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah (lihat lampiran 6). Panduan wawancara dibuat berdasarkan landasan teori yang relevan dengan masalah yang akan digali dalam penelitian. Pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang sedang berlangsung selama wawancara tanpa meninggalkan landasan teori yang telah ditetapkan. Panduan wawancara dibuat untuk memudahkan peneliti supaya jalannya wawancara terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu panduan wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti terhadap pokok permasalahan yang dibahas (Speziale & Carpenter, 2012).

Instrumen panduan wawancara ini telah divalidasi oleh dua dosen pakar Fakultas Keperawatan USU yaitu Dewi Elizadiani Suza, S.Kp, MNS, Ph.D, dan Wadiah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep. Hasil dari validasi tersebut didapatkan tujuh pertanyaan yang dibuat peneliti telah clear, credible, dan relevant dengan judul penelitian yang akan dilakukan (lihat lampiran 7).

6. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapat izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari komisi etik Penelitian Keperawatan. Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study adalah satu cara untuk melakukan studi awal dalam skala kecil atau suatu tes yang digunakan sebagai persiapan untuk penelitian kualitatif (Polit & Beck, 2012). Pilot study dilakukan dengan cara mewawancarai satu orang ibu yang tinggal di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II yang dapat dijadikan partisipan penelitian.


(46)

Setelah pilot study dilakukan, peneliti melakukan wawancara kepada partisipan. Proses wawancara dimulai dengan melakukan prolonged engagement yaitu pendekatan dengan pertemuan beberapa kali agar terbina hubungan yang akrab, saling percaya, dan terbuka sehingga wawancara bisa dilakukan dengan lancar dan partisipan memberikan semua informasi tanpa ada yang disembunyikan. Peneliti memperkenalkan diri serta maksud dan tujuan dari penelitian. Jika partisipan bersedia untuk diwawancarai maka partisipan diminta membaca dan mengisi lembar persetujuan dan data demografi untuk mendapatkan data dasar kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam atau in-dept interview. In-dept interview adalah salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya jawab antara peneliti dan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu (Polit & Beck, 2012).

Pada metode ini peneliti dan partisipan bertemu secara langsung untuk mendapatkan informasi secara jelas dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Dalam hal ini peneliti datang kerumah paritisipan dan wawancara akan dilakukan di rumah partisipan atau di tempat lain yang disetujui oleh partisipan. Sesuai dengan jenisnya, peneliti menggunakan wawancara tidak terstruktur yaitu wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lebih luas tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, biasanya pertanyaan muncul dengan spontan sesuai dengan situasi dan kondisi. Dengan teknik ini diharapkan terjadi komunikasi langsung yang terbuka sehingga informasi serta data yang dibutuhkan didapat


(47)

lebih banyak. Wawancara dilakukan kurang lebih 60 menit selama beberapa kali sampai peneliti memahami apa yang disampaikan oleh partisipan. Peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah dibuat untuk memandu peneliti dalam mengumpulkan informasi. Peneliti menggunakan alat perekam untuk merekan wawancara dan mencatat bahasa non verbal partisipan selama wawancara atau disebut juga catatan lapangan atau field note (lihat lampiran 8). Catatan lapangan (field note) merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar dan dilihat dari ekspresi partisipan yang didapat selama wawancara berlangsung. Catatan lapangan berupa dokumentasi respon non verbal selama proses wawancara berlangsung (Polit & Beck, 2012). Hasil catatan lapangan pada partisipan ini berisi Nama partisipan (inisial) kode partisipan, tanggal, waktu, tempat, lama wawancara, posisi partisipan, situasi lingkungan, serta respon non verbal partisipan selama proses wawancara. Hasil catatan lapangan tersebut memperkuat temuan data sehingga memperkaya data yang diperoleh.

7. Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Polit & Beck, 2012).

Teknik analisa data yang digunakan dalam riset fenomenologi meliputi data hasil wawancara dengan subjek studi untuk menemukan tema atau kategori


(48)

yang dipandang dari perspektif subjek. Proses analisa data dilakukan segera setelah selesai setiap satu proses wawancara, yaitu bersamaan dengan dibuatnya transkrip wawancara dilengkapi dengan catatan lapangan, kemudian transkip tersebut dibaca berulang kali atau dilakukan seleksi data satu persatu (kata perkata). Peneliti menggunakan metode Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) dalam menganalisa data karena metode ini memberikan langkah-langkah yang jelas, sistematis, rinci, dan sederhana. Ini adalah salah satu metode yang yang umum untuk analisa data yang direkomendasikan untuk studi fenomenologi. Proses analisa data dalam penelitian ini meliputi:

1. Membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan partisipan. Dalam hal ini, peneliti membaca semua transkip dan juga mendengarkan alat perekam beberapa waktu untuk mendapatkan rasa keakraban terhadap makna ekspresi dan untuk kepekaan peneliti terhadap cara setiap partisipan berbicara.

2. Meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan. Dalam langkah ini frase dan kalimat signifikan yang menyinggung tentang pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah. Pernyataan signifikan diformulasikan kedalam bentuk yang lebih umum atau yang dinyatakan kembali untuk mentransformasikan bahasa konkrit partisipan kedalam bahasa ilmiah.

3. Menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan. Dalam langkah ini pernyataan yang signifikan dipelajari untuk diambil pengertiannya.


(49)

4. Mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema. Dalam langkah ini, peneliti mengidenifikasi tema dari makna yang diformulasikan kedalam kelompok dan kategori untuk mendapatkan tema yang umum pada transkrip semua partisipan.

5. Mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi. Dalam analisis ini, deskripsi mendalam tentang pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah diperoleh, yaitu integrasi narasi dari semua tema, kelompok tema dan kategori tema.

6. Memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin.

7. Memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.

8. Tingkat Kepercayaan Data

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu credibility, transferability, dependability, dan confirmability (Lincoln & Guba, 1985 dalam Polit & Beck, 2012).

Credibility(uji tingkat kepercayaan) merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Credibility pada penelitian ini dipertahankan peneliti melalui teknik prolonged engagement dan member checking. Prolonged engagement yaitu mengadakan pertemuan dengan partisipan 1-2 kali sehingga terbina hubungan yang akrab, saling percaya dan partisipan akan memberikan seluruh informasi tanpa ada yang disembunyikan.


(50)

Peneliti juga melakukan member checking yaitu melakukan pengecekan data yang peneliti peroleh kepada partisipan dan hasil dari pengecekan tersebut disebut tema. Pengecekan tersebut langsung dilakukan pada saat wawancara dengan cara peneliti mengkonfirmasi perkataan dari partisipan secara berulang sehingga antara partisipan dan peneliti memiliki pemahaman yang sama mengenai perkataan partisipan.

Confirmability pada penelitian ini dilakukan dengan memeriksa seluruh transkrip wawancara, catatan lapangan (field note) dan tabel analisis tema kepada pakar kualitatif. Dalam hal ini dilakukan oleh pembimbing yang merupakan pakar penelitian kualitatif. Kemudian peneliti menentukan tema dari hasil penelitian dalam bentuk skema tema.

Dependabilitymerupakan kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang peneliti lakukan. Teknik utama untuk menilai kriteria dependability ini dengan cara review semua proses penelitian meliputi catatan mulai dari menentukan masalah, pengambilan data penelitian, analisa data, melakukan uji keabsahan data, sampai dengan pembuatan kesimpulan yang biasa disebut audit trail sehingga penelitian ini terjamin kebenarannya. Dalam penelitian ini, beberapa catatan yang dapat digunakan untuk memperoleh audit trail yang adekuat adalah data mentah yang diperoleh melalui pengumpulan transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan (field note), hasil analisa data, membuat koding-koding (pengkodean), dan draft hasil laporan penelitian untuk menunjukkan adanya kesimpulan yang ditarik pada akhir penelitian


(51)

Transferability mengacu pada sejauh mana hasil penelitian dapat diterapkan dalam situasi atau satu kelompok yang lain. Kriteria ini digunakan untuk melihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki karakteristik yang sama. Transferability pada penelitian ini dapat diterapkan jika kelompok lain dalam hal ini ialah orang tua yang memiliki anak usia sekolah.


(52)

1. Hasil Penelitian

Penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II. Hasil penelitian yang dibahas adalah karakteristik partisipan dan tema analisa data penelitian.

2. Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah delapan orang. Kedelapan partisipan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria dan bersedia untuk di wawancarai. Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua (ibu) yang memiliki anak usia sekolah, komunikatif, dan bersedia menjadi partisipan. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini meliputi usia, suku, pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Dari kedelapan partisipan dalam penelitian ini mayoritas partisipan dewasa awal (n=6, 75%), berasal dari suku Jawa (n=6, 75%), pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) (n=6, 75%), dan dengan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (n=6, 75%). Data demografi partisipan dapat dilihat pada table 4.1.


(53)

Tabel 4.1.

Karakteristik Partisipan

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Usia

Dewasa awal 6 75

Dewasa menengah 2 25

Dewasa akhir -

-Suku

Jawa 6 75

Batak Toba 1 12,5

Mandailing 1 12,5

Pendidikan terakhir

SMP 6 75

SD 2 25

Pekerjaan

Wiraswasta 1 12,5

Pembantu Rumah Tangga 1 12,5

IRT 6 75

3. Pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II

Hasil penelitian ini mendapatkan 5 tema terkait pengalaman orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal pada anak usia sekolah di Lingkungan III Kelurahan Padang Bulan Selayang II meliputi (1) Pendapat orang tua mengenai hukuman fisik dan kekerasan verbal, (2) Tindakan orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal, (3) Penyebab orang tua memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal, (4) Dampak dari hukuman fisik dan kekerasan verbal, dan (5) Harapan orang tua setelah memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal. Matriks tema dapat dilihat pada tabel 4.2.


(54)

Berdasarkan analisa data didapatkan 4 pendapat mengenai hukuman fisik dan 2 pendapat mengenai kekerasan verbal. Pendapat mengenai hukuman fisik yaitu (1) hukuman fisik memberi motivasi, (2) hukuman fisik sebagai konsekuensi, (3) hukuman fisik untuk mengubah perilaku, dan (4) hukuman fisik sebagai keputusan akkhir. Adapun pendapat mengenai kekerasan verbal yaitu (1) kekerasan verbal sebagai konsekuensi, dan (2) kekerasan verbal untuk mendidik.

3.1.1 Hukuman Fisik

1. Hukuman fisik memberi motivasi

Partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa hukuman fisik memberi motivasi untuk anak supaya menghindari kesalahan yang sama. Motivasi tersebut seperti membuat anak ingat, mengerti, jera, dan tidak mengulangi lagi kesalahan. Motivasi lain supaya anak berubah dan bisa jadi pelajaran

A. Hukuman fisik membuat anak ingat, mengerti, jera, dan tidak mengulangi lagi kesalahan

Beberapa partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa hukuman fisik bisa membuat anak ingat, mengerti, jera, dan tidak mengulangi lagi kesalahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :

“Dicubitlah, supaya dia jera, supaya dia ingat kesalahan dia itu kapan-kapan, dicubit aja karna rasa sakit itu membuat dia ingat”

(Partisipan 1) “Dipukul Cuma jangan terlalu keras supaya dia mengingat perbuatannya dan tidak diulangi lagi”

(Partisipan 2) B. Hukuman fisik supaya anak berubah dan jadi pelajaran


(55)

Hukuman fisik yang diberikan merupakan pelajaran untuk anak supaya berubah. Hal ini sesuai dengan pernyatan partisipan sebagai berikut:

“Dijewer, dicubit bisa buat dia ingat, buat dia takut, jera gitulah. Supaya ngasih pelajaran ke dia, supaya dia inget dan nggak buat lagi”

(Partisipan 8)

2. Konsekuensi

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan setuju melakukan hukuman fisik sebagai konsekuensi. Konsekuensi yang dimaksud disini adalah anak diberi hukuman fisik karena anak nakal. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kalau anak bandel terlalu bandel kita apai aja dulu, lembuti aja dulu jangan dikasari. Kalau anak ini tetap bandel kita kasih cubit aja, supaya anak ini mengerti. Saya setuju dengan hukuman fisik karena anak tadi bandelya”

(Partisipan 1) “Kalau menurut saya untuk memukul fisik itu ya seperti saya memukul pantat itu ya sekedar aja. Menurut saya sah-sah aja dipukul cuma jangan terlalu keras supaya dia mengingat perbuatannya. Pukul pantat itu perlu kalau anak terlalubandel” (Partisipan 2) “Saya setuju hukuman fisik karena tergantung pada bandel anak kalau udah kelewatan kali. Kalau udah kelewatan gitu kan kita udah palak kita mukul”

(Partisipan 7) “Kalau anak bandel ya nggak apa-apa lah, kalau emang udah bandel kali dia nggak mungkin mendengarkan lagi apa kata orang tua, ya itu perlu juga sih memang kita pukul atau kita kerasin sikit lah gitu”


(56)

3. Mengubah perilaku

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan hukuman fisik bisa mengubah perilaku anak. Mengubah perilaku disini yaitu perilaku anak akan berubah setelah menerima hukuman fisik, serta anak menjadi patuh dan mengerti. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Menurut saya sah-sah aja dipukul cuma jangan terlalu keras supaya dia mengingat perbuatannya dan tidak diulangi lagi”

(Partisipan 2) “Kalau udah kenak pukul baru dia dirumah, baru dia ngerti. Kalau dibilangi pelan-pelan nggak dengar kupingnya. Kalau kita panggil dengan omongannya aja nggak ngerti anak itu. Manjur juga hukuman gini, ngerti dia gitu loh. Cuman kalau kita ngomong mulut aja dia nggak ngerti, kalau kita cubit baru dia ngerti”

(Partisipan 6) “Kalau dinasehati bagus-bagus pun nggak mempan, nggak didengarkannya. Kalau bendel dia kita cubit, kita pukul biar dengar maksudnya, biar nggak bandel lagi gitu”

(Partisipan 7)

4. Keputusan akhir

Beberapa partisipan memberikan hukuman fisik sebagai keputusan akhir karena tidak ada perubahan setelah dilakukan penanggulangan secara positif. Ketika anak tidak mendengarkan nasehat lagi partisipan akan memberi hukuman fisik. Hal ini sejalan dengan pernyatan partisipan sebagai berikut:

“kalau udah nggak bisa dibilangin, tapi jangan terlalu keras, untuk pelajaran dia aja supaya nggak diulangi lagi. Perlu memang dilakukan kalau memang terpaksa”


(57)

“Dicubit atau dipukul itu kan umpamanya dia bandel kali nggak mendengarkan orang tua lagi”

(Partisipan 4) “Ya tengok anaknya kalau memang nggak bisa dibilangin ya harus dilakukan juga hukuman fisik. Tapi kalau misalnya masih digertak aja masih takut dia yaudah kita gertak aja supaya dia takut”

(Partisipan 8)

3.1.2 Kekerasan Verbal

1. Kekerasan verbal sebagai konsekuensi

Kekerasan verbal diberikan sebagai konsekuensi dan dianggap perlu untuk anak yang nakal. Hal ini sesuai dengan pernyataan partipan sebagai berikut:

“Membentak ajalah, cuman bilang anjing gitu ajalah. Setuju saya karena anak bandel. Kalau anak bandel ya perlu dilakukan”

(Partisipan 5) “Memang ada saya bentak “jangan gitu”. Dibilang gitu kan wajar sama anak kita, kalau nggak kita bentak pun anak kita terus merajalela ya kan”

(Partisipan 1)

2. Mengubah perilaku

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan kekerasan verbal bisa merubah perilaku anak. Merubah perilaku disini yaitu perilaku anak akan berubah setelah menerima kekerasan verbal, serta anak menjadi patuh dan mengerti. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Supaya anak itu nggak bandel lagi, nggak melawan lagi sama orang tuanya. Perlu dibentak anak, kalau nggak kita bentak pun


(58)

anak merajalela, melunjaklah dia, memang kesalahan dia ya perlu kita bentak”

(Partisipam 1) “Supaya ngerti aja dia. Umpanyalah ntah kita suruh mandi dijawabnya nanti mak tunggu, baru kita marahi supaya tau dia kesalahannya. Dia akan mikir, “oh iya aku disuruh mandi tadi kok nggak mau aku makanya mamakku marah”. Biar sadar dia. Lembek aja dia nggak akan di dengar”

(Partisipan 3) “Biar nggak main warnet. Supaya anak ini ada takutnya sama orang tua, biar ada segan gitu. Kalau nggak gitu kita pun bisa dilawannya”

(Partisipan 7)

3.2 Tindakan orang tua dalam memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal

Berdasarkan hasil analisa data didapatkan tiga tindakan orang tua dalam memberikan hukuman, yaitu hukuman fisik, kekerasan verbal, dan hukuman fisik dan kekerasan verbal yang diberikan secara bersamaan. Tindakan yang dilakukan dalam memberi hukuman fisik ada tiga yaitu memukul, mencubit, dan menjewer telinga. Adapun tindakan yang dilakukan dalam kekerasan verbal ada dua, yaitu meneriaki dan memaki. Meneriaki yang dimaksud disini adalah ibu membentak anak.

3.2.1 Tindakan untuk hukuman fisik 1. Memukul

Beberapa partisipan memukul anaknya yang nakal. Sebagian dari mereka mengatakan memukul sekedar saja tidak sampai melukai anak. Ada yang


(59)

memukul dengan menggunakan alat seperti sandal dan ada yang memukul tanpa menggunakan alat. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Seperti saya memukul pantat itu ya sekedar aja jangan terlalu keras dan jangan terlalu apalah ibaratnya jangan memakai alat yang keras-keras lah gitu, paling pakek tangan aja pukul pantatnya”

(Partisipan 2) “Memukul ntah dengan tangan. Kalau dengan benda paling pakek selop aja dipukul kakinya. Kadang dia buat malu gini, “mak makan mak”, kubilang ambil sendiri, dijawabnya “mamak yang ambil”, kubentaknya gitu. Aku nggak suka dia kek gitu masak orang tua yang disuruh, yaudah kucubit”

(Partisipan 5) “Kalau nggak bisa dibilangin. Digertak pun dia nggak takut, nggak dengar-nggak dengar kau apa kata mamak, mamak nggak main-main, baru saya pukul. Paling dipukul pantatnya atau dicubit pahanya”

(Partisipan 8)

2. Mencubit

Sebagian partisipan mencubit anaknya ketika melakukan kesalahan. Namun ada batasan dalam mencubit yaitu jangan sampai anak terluka. Mencubit juga dianggap sebagai pelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kasih aja pelajaran cubit sikit asal jangan luka. Karena disuruh mandi payah, ya itu dia kalau dibilangin nggak mau dengar. Kadang anak ini kan ada bandel-bandelnya, ada merengkel-merengkelnya ya kan”

(Partisipan 3) “Dicubitlah anak bandel. Kalau anak nggak bandel ngapain dicubit. Dicubit supaya dia nggak ngulangi kesalahannya itu,


(60)

supaya dia berpikir itu salah. Dengan mencubti bisa membuat dia sadar”

(Partisipan 1) “Kalau dia bandel seumpama lah dia nggak mau belajar, ya kita bilang aja sama dia kalau nggak mau belajar yaudah biar mamak apain aja, mamak cubit aja ya. Dia takut padahal cuma menggertak saja gitu. Ya nggak jadi saya cubit kalau dia mau belajar, buat gertak aja. Tapi kalau dia nggak mau belajar baru saya cubit. Paling dipukul pantatnya atau dicubit pahanya” (Partisipan 8)

3. Menjewer telinga

Dalam memberi hukuman fisik ada dua partisipan yang menjewer telinga anaknya. Salah satu diantara mereka berdua mengatakan bahwa menjewer karena anak tidak mendengarkan orang tua. Ini sesuai dengan pernyataan tindakan yang dilakukan partisipan sebagai berikut:

“Dijewer, dicubit, dipukul kakinya biar nggak liar. Kita ngomong jangan main-main, pulang sekolah pulang kerumah kan bagus kita ngomong ini kan. Jangan berkeliaran takut sekarang apalagi dekat jalan situ dekat jalan besar.”

(Partisipan 7)

“Kan kita nggak boleh langsung-langsung, kalau nggak dengar dia barulah kita jewer kupingnya”


(61)

3.2.2 Tindakan dalam kekerasan verbal

1. Meneriaki

Seluruh partisipan mengatakan pernah meneriaki anaknya dengan cara membentak ketika anak berbuat salah. Sebagian pertisipan mengatakan alasan meneriaki karena anak tidak bisa dibilangi dengan lembut. Ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kalau kekerasan dengan kata-kata ya membentak. Kalau dia melawan saya bentak. Kadang-kadang diam saya nggak tau mau apain anak gimana lagi, ngadepin anak gitu jadi saya diam dulu berpikir. Karena apa, kadang-kadang kita menghadapi anak ini mau stres kita.

(Partisipan 1)

“Dibentak ajalah paling, “bandel kali kau nggak bisa dibilangin”. Dibentak perlu dilakukan”

(Partisipan 3)

“Oh itu sering kalau membentak. Sebenarnya membentak-bentak itu ya kadang-kadang kan kita dalam keadaan emosi ntah kek mana kan mamak ini silap juga kan. Kita bentak juga, ntah pun kita udah capek, nengok dia ntah kek mana piring ditaroknya pun nggak bisa beres jadi keluarlah kata-kata itu tadi yang kadang-kadang tidak diinginkan”

(Partisipan 4) “ “Awas kamu tak kasih uang jajan kalau berkeliaran, “kurang ajar kamu”, “nggak tau kamu dibilangin bagus-bagus nggak denger”. Gitu aja, dibentak biar tegas”


(62)

2. Memaki

Diantara kedelapan partisipan ada dua partisipan yang memaki anaknya dalam meberi hukuman dengan kekerasan verbal. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Disitulah keluar cakap yang nggak diinginkan itu, yang nggak perlu diucaplah. Itu karna udah geram kali nengok dia, cuma sekali itulah saya maki”

(Partisipan 4) “Ku makilah “anjing kau ya, pulang kau masuk kamar kau”. Ku kurung dia dikamar, udah habis marahku keluar lagi dia, mana ada takutnya. Kalau aku lagi marah nggak keluar dia, kalau udah ilang marahku keluar dia. Sama bapaknyalah dia takut” (Partisipan 5)

3.2.3 Hukuman fisik dan kekerasan verbal yang diberikan secara bersamaan

Ketika memberi hukuman kepada anak ada sebagian partisipan yang memberi hukuman fisik dan kekerasan verbal secara bersamaan. Memukul sambil meneriaki akan membuat anak takut. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Saya pukul sambil marah-marah, akhirnya maju tangan mulutpun ngomel. Merepet juga lah kan. Dia udah tau macem mana mamaknya mukul”

(Partisipan 3) “Saya memukul sambil membentak. Biar ada suara keras jadi takut dia. Kalau hanya lembek aja ya nggak takut lah anak-anak”


(63)

“Saya pukul pantatnya sambil marah-marahlah bilangin bahwasanya jangan ngulangin perbuatan itu lagi gitu, “jangan kau ikuti yang nggak bener”, gitu”

(Partisipan 2)

3.3 Penyebab orang tua memberikan hukuman fisik dan kekerasan verbal Berdasarkan hasil analisa data didapat dua penyebab orang tua memberi hukuman fisik dan kekerasan verbal yaitu anak melakukan kesalahan atau pelanggaran dan penyebab dari ibu.

3.3.1 Penyebab orang tua memberi hukuman fisik

1. Anak melakukan kesalahan atau pelanggaran

Penyebab orang tua memberi hukuman fisik sangat dipengaruhi oleh anak. Menurut partisipan anak melakukan kesalahan-kesalahan yang memang harus dihukum seperti tidak patuh, tidak disiplin, dan melawan orang tua

A. Tidak patuh

Partisipan akan memberi hukuman fisik ketika anak tidak patuh terhadap orang tua. Tidak patuh disini maksudnya anak tidak mau mendengarkan atau memenuhi panggilan orang tua. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Ya kalau dipanggil nggak mau datang, disuruh makan nggak mau, “ntah apalah nanti mamak datangi mamak pukul”. Akhirnya saya pukul, nah gitulah”

(Partisipan 3) “Kalau nggak bisa dibilangin. Digertak pun dia nggak takut. “nggak dengar, nggak dengar kau apa kata mamak?, mamak


(64)

nggak main-main”, baru saya pukul. Kalau udah dibentak nggak denger baru main tangan”

(Partisipan 8)

B. Tidak disiplin

Penyebab lain partisipan memberi hukuman fisik pada anak karena anak tidak disiplin. Tidak disiplin yang dimaksud disini seperti anak lupa waktu, tidak mau belajar, dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Pulang sekolah nggak langsung pulang, main-main dulu baru pulang. Itulah anakku, nggak kakaknya nggak adeknya pulang sekolah nggak tepat waktu. Main-main, jadi pas pulang saya pukul di kaki, kadang dicubit, dijewer. Bandel nggak bisa dibilang, palak ya kan mamaknya dirumah. Dia juga malas belajar”

(Partisipan 7) “Kalau diluar gitu nggak ingat waktu pulang, lama pulang kadang udah mau magrib baru pulang baru cepat-cepat mandi mau solat. Kalau udah main-main sama kawannya lupa pulang dia.

(Partisipan 6) “Karena bandel, suka nggak mau ngerjain PR, nggak mau belajar terus suka ngejein abangnya itulah tak cubitlah”

(Partisipan 5)

C. Melawan orang tua

Melawan orang tua juga menjadi salah satu penyebab partisipan memberi hukuman fisik pada anak. Melawan orang tua yang dimaksud disini seperti anak


(65)

menjawab perkataan orang tua. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Melawan orang tua, contohnya kalau kita suruh menjawab aja, melawan aja, ah yang inilah yang itulah, gitulah pokoknya melawan. Saya larang ke warnet tapi melawan”

(Partisipan 2) “Karena nggak bisa dibilangin pakek mulut, dia ngelawan, ya gitu aja. Kadang anak itu kan kalau kita bilangin kan bandel, dia nggak bisa dibilangin akhirnya tangan juga yang jalan ya kan. Baru dia tau kan gitu”

(Partisipan 3)

D. Penyebab dari ibu

Beberapa partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa memberi hukuman fisik juga dipengaruhi oleh ibu sendiri. Penyebab dari ibu seperti ibu lelah dan emosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut:

“Kan kita nggak boleh langsung-langsung, kalau nggak dengar dia barulah kita jewer kupingnya. Supaya dia ngerti jadi nggak akan diulangi lagi lah. Kadang memukul karena faktor capek saya juga iya, faktor dia bandel nggak bisa dibilangin pun iya”

(Partisipan 8) “Sebenarnya bukan kemauan saya juga memukul, cuma karna udah emosi nggak bisa diapain dia pun bandel. Tau lah kalau orang tua langsung silap sih”

(Partisipan 6)

3.3.2 Penyebab orang tua memberikan kekerasan verbal


(66)

Beberapa partisipan mengatakan memberi kekerasan verbal karena anak melakukan beberapa kesalahan seperti anak tidak patuh dan tidak disiplin.

A. Tidak patuh

Orang tua memberikan hukuman dengan kekerasan verbal kepada anak karena anak tidak patuh. Tidak patuh yang dimaksud disini seperti anak nakal, tidak mendengarkan apa kata orang tua dan tidak bisa menjadi seperti yang diinginkan orang tua. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagi berikut:

“Umpanya lah ntah kita suruh mandi dijawabnya “nanti mak tunggu”, baru kita marahi supaya tau dia kesalahannya”

(Partisipan 3) “Disuruh mandi, disuruh belajar, disuruh makan payah, main kartu aja. saya bentak keras aja karna nggak mau dengar”

(Partispan 8) “Jadi kalau umpanya kek gini lah, mamaknya udah capek gitukan pas pigi tadi udah beres rumah, tau-taunya udah berserak lagi rumah, paling kita bilang “kau ini kurang ajar kali ya masak kek gini mamaknya udah capek dibantu kenapa””

(Partisipan 4) “karna dia bandel, kalau nggak bandel nggak awak maki. Yang bikin aku emosi kali dia suka mukuli perempuan. Suka menjahili perempuan dia. Kadang kalau diganggunya perempuan kumarahi dia ketawa aja. dijawabnya gini orang main-main kok mak”

(Partisipan 5 B. Tidak disiplin

Memberi hukuman dengan kekerasan verbal karena anak tidak disiplin disini seperti anak tidak tepat waktu. Hal ini sesuai dengan pernyatan partisipan sebagai berikut:


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)