PANDUAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG RESPONSIF GENDER
11
keuangan meningkat, namun output tidak berubah. Baru dalam tahap berikutnya muncul tambahan output, yang merupakan dampak dari adanya tambahan kegiatan,
yang merupakan pertumbuhan yang sebenarnya.
2. Measurement Blinkers ketidakakuratan pengukuran
Dampak dari
boundary blinkers adalah measurement blinkers, yaitu ketidakakuratan mengukur kontribusi perempuan dalam kegiatan ekonomi yang produktif.
Measurement blinkers ini terlihat dalam dua hal, pertama ketidakakuratan sistem pendapatan nasional dalam mengukur peningkatan output, dan kedua peningkatan
produksi yang terlihat pada peningkatan pendapatan nasional tidak mencerminkan pertumbuhan output secara riil. Keadaan ini pula yang menjelaskan, mengapa
pertumbuhan pendapatan nasional tidak tercermin di dalam peningkatan standar hidup, atau sebaliknya, mengapa dampak dari krisis tidak sebesar yang diperkirakan.
Keadaan ini pada gilirannya mempengaruhi balas jasa faktor produksi perempuan di dalam pasar tenaga kerja. De¸ nisi partisipasi angkatan kerja seringkali dikaitkan
dengan pendapatanproduksi nasional. Karena yang masuk di dalam pendapatan nasional adalah kegiatan yang menggunakan uang, maka yang dianggap sebagai
pekerja dan ada datanya adalah orang yang bekerja di pasar dan menerima uang. Pekerja di rumah tangga, seperti pekerjaan ibu rumah-tangga, dianggap bukan
pekerjaan kecuali jika mempekerjakan pekerja yang dibayar. Measurement
blinkers dapat mempengaruhi pandangan atas peran gender dalam masyarakat. Karena laki-laki yang mengumpulkan uang, muncul kecenderungan
untuk lebih memprioritaskan laki-laki dalam hal pendidikan dan gizi, sehingga kualitas hidup perempuan relatif lebih rendah dari laki-laki. Peran gender serta kualitas
SDM perempuan yang lebih rendah, menyebabkan penghasilan perempuan juga cenderung lebih rendah dari laki-laki dan cenderung dipekerjakan di bidang-bidang
yang berkaitan dengan peran tradisional perempuan dengan upah yang rendah. Boundary
blinkers dan measurement blinkers menimbulkan 2 dua masalah utama dalam pembangunan, yaitu:
a. Masalah spesi¸ kasi Masalah ini berkaitan dengan ketidakmampuan konsep ekonomi yang
konvensional memperkirakan biaya kesempatan opportunity cost dari waktu perempuan, termasuk yang dialokasikan untuk merawat anak, pekerjaan
rumah tangga dan beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan. Kegagalan dalam menentukan opportunity cost waktu perempuan ini menyebabkan kegagalan
para pengambil kebijakan untuk mengidenti¸ kasi kebutuhan masyarakat akibat semakin banyaknya perempuan yang bekerja di pasar. Keadaan ini pada gilirannya
meningkatkan boundary dan measurement blinkers. b. Masalah E¸ siensi
Masalah e¸ siensi muncul akibat tidak dimanfaatkannya potensi perempuan
secara optimal. Perempuan relatif tidak bebas untuk keluar masuk pasar dan berpindah antara satu jenis pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, akibat kondisi
biologis maupun berbagai kendala norma sosialnya.
12
3. Contextual Blinkers
Contextual blinker berkaitan dengan tidak diperhatikannya peranan keluarga dan
rumah tangga, norma-norma sosial budaya serta institusi. Disini yang dianggap sebagai penghasil barang dan jasa hanyalah perusahaan, sementara rumah tangga
hanyalah sebagai konsumen. Padahal rumah tangga juga menghasilkan produk yang disebut sebagai “Z good” yang diproduksi dengan mengkombinasikan barang yang
dibeli di pasar dengan modal rumah-tangga household capital goods serta waktu yang diberikan oleh anggota rumah tangga. Jadi disini dimasukan unsur “moral
economy” yang selama ini dianggap diluar lingkup ilmu ekonomi. Contextual
blinkers ini dianggap penting, terutama di negara yang sedang
berkembang, dimana berbagai norma dalam masyarakat masih memegang peranan penting dalam pelaksanaan pengambilan keputusan. Hal ini juga berkaitan dengan
berbagai batasan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi akses terhadap informasi maupun terhadap ekonomi. Keadaan ini terlihat antara lain
dari sulitnya perempuan untuk masuk ke dalam organisasi sosial kemasyarakatan asosiasi yang didominasi oleh laki-laki, baik karena hambatan budaya, agama atau
adat istiadat setempat. Contoh lain berkaitan dengan sulitnya perempuan untuk keluar dari lingkup jenis pekerjaannya guru, perawat dsb, atau pandangan negatif
jika pergi ke luar kota tanpa didampingi suamikeluarga. Dengan tidak diperhatikannya berbagai permasalahan di atas, maka pendekatan
ekonomi yang selama ini dianggap sebagai netral terhadap peran gender tidak bisa diterima lagi.
2.5. Bias Gender dan Kebijakan Ekonomi
Adanya bias gender juga dapat menyebabkan suatu kebijakan yang tujuannya baik dampaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan masalah
gender, sering terjadi dukungan pemerintah maupun swasta yang niatnya sudah baik, terdistorsi oleh tiga jenis bias, yaitu male breadwinner bias bias laki-laki sebagai pencari
nafkah utama, deflationary bias dan privatization bias Elson, 2002. Male breadwinner bias adalah bias bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, sementara
perempuan adalah pendamping dari laki-laki. Dengan bias ini tercipta pandangan bahwa kegiatan pengasuhanperawatan hanya dilakukan oleh perempuan yang bergantung
kepada laki-laki. Akibatnya, perempuan akan memperoleh akses yang terbatas pada berbagai tunjangan, fasilitas dsb, dan kadang-kadang manfaat perusahaan diberikan
melalui suami. Bias ini menyebabkan rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan di pasar dan adanya segregasi pekerjaan, dimana perempuan cenderung memperoleh
pekerjaan “kelas 2” dengan pendapatan dan prospek yang lebih rendah dari laki-laki. Bias ini terasa antara lain ketika berbicara mengenai kebijakan pengentasan kemiskinan.
Dengan adanya breadwinner bias, seringkali kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan lebih ditujukan kepada laki-laki atau melalui media yang lebih mudah diakses
untuk laki-laki. Walaupun data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signi¸ kan