Tujuan buku panduan perencanaan dan penganggaran respons 17328

12

3. Contextual Blinkers

Contextual blinker berkaitan dengan tidak diperhatikannya peranan keluarga dan rumah tangga, norma-norma sosial budaya serta institusi. Disini yang dianggap sebagai penghasil barang dan jasa hanyalah perusahaan, sementara rumah tangga hanyalah sebagai konsumen. Padahal rumah tangga juga menghasilkan produk yang disebut sebagai “Z good” yang diproduksi dengan mengkombinasikan barang yang dibeli di pasar dengan modal rumah-tangga household capital goods serta waktu yang diberikan oleh anggota rumah tangga. Jadi disini dimasukan unsur “moral economy” yang selama ini dianggap diluar lingkup ilmu ekonomi. Contextual blinkers ini dianggap penting, terutama di negara yang sedang berkembang, dimana berbagai norma dalam masyarakat masih memegang peranan penting dalam pelaksanaan pengambilan keputusan. Hal ini juga berkaitan dengan berbagai batasan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi akses terhadap informasi maupun terhadap ekonomi. Keadaan ini terlihat antara lain dari sulitnya perempuan untuk masuk ke dalam organisasi sosial kemasyarakatan asosiasi yang didominasi oleh laki-laki, baik karena hambatan budaya, agama atau adat istiadat setempat. Contoh lain berkaitan dengan sulitnya perempuan untuk keluar dari lingkup jenis pekerjaannya guru, perawat dsb, atau pandangan negatif jika pergi ke luar kota tanpa didampingi suamikeluarga. Dengan tidak diperhatikannya berbagai permasalahan di atas, maka pendekatan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai netral terhadap peran gender tidak bisa diterima lagi.

2.5. Bias Gender dan Kebijakan Ekonomi

Adanya bias gender juga dapat menyebabkan suatu kebijakan yang tujuannya baik dampaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan masalah gender, sering terjadi dukungan pemerintah maupun swasta yang niatnya sudah baik, terdistorsi oleh tiga jenis bias, yaitu male breadwinner bias bias laki-laki sebagai pencari nafkah utama, deflationary bias dan privatization bias Elson, 2002. Male breadwinner bias adalah bias bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, sementara perempuan adalah pendamping dari laki-laki. Dengan bias ini tercipta pandangan bahwa kegiatan pengasuhanperawatan hanya dilakukan oleh perempuan yang bergantung kepada laki-laki. Akibatnya, perempuan akan memperoleh akses yang terbatas pada berbagai tunjangan, fasilitas dsb, dan kadang-kadang manfaat perusahaan diberikan melalui suami. Bias ini menyebabkan rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan di pasar dan adanya segregasi pekerjaan, dimana perempuan cenderung memperoleh pekerjaan “kelas 2” dengan pendapatan dan prospek yang lebih rendah dari laki-laki. Bias ini terasa antara lain ketika berbicara mengenai kebijakan pengentasan kemiskinan. Dengan adanya breadwinner bias, seringkali kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan lebih ditujukan kepada laki-laki atau melalui media yang lebih mudah diakses untuk laki-laki. Walaupun data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signi¸ kan