BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Human Immune Deficiency Virus HIV merupakan sebuah virus yang secara jelas menyerang dan kemudian melemahkan daya tahan tubuh manusia.
Jika sistem kekebalan tubuh seseorang telah melemah akibat virus ini, maka penderita dapat dinyatakan dalam fase AIDS Acquired immune Deficiency
Syndrome. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa AIDS merupakan sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan
tubuh manusia yang diakibatkan oleh HIV. HIV dan AIDS. Kedua istilah itu tentu sudah tidak asing lagi bagi kita.
Masyarakat di Indonesia sudah mengetahui secara singkat mengenai HIV-AIDS. Betapa tidak, dalam dekade terakhir ini pemerintah tengah gencar melakukan
upaya penanggulangan HIV dan AIDS di setiap daerah di Indonesia, baik tingkat kota maupun provinsi secara intensif, menyeluruh, dan terpadu dengan melibatkan
semua unsur baik dari unsur pemerintahan dari bawah sampai ke atas, juga peran masyarakat secara aktif. Upaya tersebut dilakukan dengan beragam cara,
diantaranya pengadaan anggaran APBD bagi program penanggulangan AIDS, pembinaan dan penyebarluasan informasi mengenai HIV-AIDS baik secara verbal
sosialisasi maupun non verbal pamphlet, poster, spanduk, dll, serta tak lupa melibatkan peran aktif masyarakat dalam upaya tersebut dengan cara membentuk
dan memberdayakan masyarakat sebagai kader dalam program penanggulangan HIV-AIDS di wilayah masing-masing
1
. Kasus AIDS pertama kali di Indonesia dilaporkan pada tahun 1987. Kasus
itu ditemukan pada seorang turis asing yang sedang berlibur di Pulau Bali dan kemudian jumlah pasien yang diduga terjangkit HIV secara perlahan bertambah
menjadi 225 pasien pada tahun 2000. Sejak saat itu, jumlah penderita AIDS semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka pengguna narkoba suntik
penasun. Penemuan angka kasus HIV-AIDS di Indonesia terus meningkat. Sejak
ditemukan pertama kali sampai bulan September 2014 telah tercatat sebanyak 150.296 orang yang mengidap HIV dengan total kasus AIDS sebanyak 55.799
orang. Angka kasus terbanyak terjadi pada usia produktif, yakni 25-49 tahun, kemudian diikuti kelompok usia 20-24 tahun
2
. Kasus HIV-AIDS tak lagi hanya mengancam masyarakat Bali atau kota-
kota besar lain di Indonesia. Kasus HIV-AIDS ditemukan hampir di seluruh penjuru Indonesia, tak terkecuali di Kota Surakarta. Namun sayangnya, tidak
banyak masyarakat Kota Surakarta yang mengetahui dan menyadari perkembangan kasus HIV-AIDS yang terjadi di sekitar mereka. Bahkan, sangat
sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang memiliki angka kasus HIV-AIDS yang besar dengan estimasi 1.502
penderita yang terhitung mulai tahun 2009 sampai dengan bulan Januari 2015
3
.
1
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007.
2
www.depkes.go.id Diakses pada Senin, 16 Oktober 2015 Pk 15.37 WIB.
3
http:kpan.or.idrptestallphp Diakses pada Selasa, 7 April 2015 Pk 11.24 WIB.
Tabel 1.1 Data Kasus HIV-AIDS Solo Sekitarnya
Sumber : KPA Kota Surakarta
Ketidaktahuan masyarakat mengenai kasus HIV-AIDS yang besar di Kota Surakarta disebabkan karena kekurangpedulian masyarakat terhadap
fenomena tersebut. Masyarakat tidak mengetahui bahwa mungkin saja di sekitar tempat tinggalnya terdapat Orang Dengan HIV-AIDS ODHA yang hidup
berdampingan dengan mereka di masyarakat, mengingat jumlah ODHA yang cukup besar di kalangan masyarakat Kota Surakarta. Namun disisi lain,
ketidakterbukaan ODHA terhadap masyarakat itu sendiri disebabkan karena adanya stigma negatif mengenai ODHA yang berkembang di masyarakat yang
menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap ODHA. Dalam kehidupan sehari- hari dalam masyarakat, kita akan menjumpai adanya perlakuan yang berbeda
terhadap para penderita HIV-AIDS seperti dikucilkan dan adanya diskriminasi yang sangat jelas. ODHA dianggap sebagai sebuah “aib” dan patut dijauhi.
Persoalan lain yang membuat masyarakat enggan berdekatan dengan ODHA adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai HIV-AIDS.
Masyarakat kurang paham mengenai penularan HIV-AIDS. Mereka hanya
Tahun HIV
AIDS Jml
Kumulatif HIV
AIDS Jml
Kum SOLO SEKITARNYA
SURAKARTA 2011
77 123
200 682
15 18
33 162
2012 57
158 215
897 7
18 25
187 2013
84 203
287 1184
19 38
57 244
2014 87
204 291
1475 18
47 65
309 2015
9 18
27 1502
2 4
6 315
mengetahui bahwa AIDS akan menular pada orang yang berbuat buruk seperti orang yang sering berganti pasangan, orang yang menggunakan obat-obatan
terlarang dan juga wanita yang menjajakan diri mereka. Anggapan seperti itu pula yang menyebabkan masyarakat takut untuk melakukan VCT Voluntering
Counselling and Testing, yakni tes untuk mengetahui apakah seseorang terjangkit HIV atau tidak. VCT dilakukan dengan melalui beberapa prosedur terhadap orang
yang secara sukarela telah menyatakan bersedia untuk melakukan VCT. Konseling dalam VCT dilakukan sebanya dua kali yaitu konseling sebelum Pra
Konseling dimana peserta VCT secara personal melakukan konsultasi kepada tenaga medis yang bertugas untuk mengetahui apakah peserta VCT memang
memiliki resiko untuk tertular HIV. Jika iya, maka akan dilanjutkan pada tes darah, namun jika tidak, maka peserta dinyatakan tidak perlu mengikuti tes
berikutnya. Konseling yang ke-2 dilakukan setelah dilakukan pengecekan darah. Konseling ini dilakukan untuk melihat hasil tes darah yang dilakukan peserta
VCT. Banyak orang merasa enggan untuk melakukan tes tersebut meskipun
orang tersebut menyadari bahwa dirinya memiliki resiko yang tinggi untuk tertular HIV. Tak jarang pula ditemukan masyarakat yang sudah berani
melakukan VCT, namun tidak berani untuk melihat hasil tes mereka. Lagi-lagi karena rasa takut dan malu akibat beredarnya stigma negatif mengenai ODHA di
masyarakat.
Tabel 1.2 Data Hasil VCT Kota Surakarta Cakupan KPA Surakarta
Periode Oktober 2005 – Januari 2015
Sumber : KPA Kota Surakarta tahun 2015 Temuan Komisi Penanggulangan AIDS KPA mengenai cakupan
kelompok resiko tinggi HIV-AIDS membawa fakta yang cukup mencengangkan. Dalam data tersebut, ibu rumah tangga IRT dan anak-anak yang dahulu berada
dalam kelompok resiko rendah, saat ini sudah berubah menjadi termasuk dalam kelompok beresiko tinggi.
Tabel 1.3 Hasil Pemetaan Data Populasi Kunci dan Cakupan Hasil Temuan
Kasus Bulan Januari 2015
Sumber : KPA Kota Surakarta tahun 2015 Dalam hasil pemetaan tersebut, terdapat gap antara estimasi jumlah
penderita, fakta di lapangan, dan penderita yang telah terjangkau KPA maupun LSM-LSM peduli AIDS. Gap atau selisih inilah yang kemudian mempertegas
asumsis bahwa kasus HIV-AIDS yang terdapat di Kota Solo sudah sangat besar. Berdasarkan data cakupan KPA tersebut, terlihat bahwa angka kasus HIV-AIDS
kian meningkat dan bermunculan kasus-kasus baru yang berasal dari populasi kunci atau kelompok beresiko tinggi mulai dari pengguna narkoba jarum suntik,
WPS atau wanita pekerja seks, waria, LSL atau Laki-laki suka laki-laki homoseksual, sampai dengan ibu rumah tangga dan anaknya yang terpapar.
Kel Risti Estimasi
2012 Data
Lap Dijangkau
Gap ODHA
Penasun Idus Pasangan
194 160
41 119
105
WPS 700
700 395
305 171
LBT Lelaki
Beresiko Tinggi 29.776
1.944 512
1.421 697
Waria 51
57 29
28 22
MSMLSL 760
364 152
212 122
IRT, ANAK
TERPAPAR 382
ODHA 1.356
1.502
Melalui data KPA di atas kita dapat mengetahui bahwa HIV-AIDS kini dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang memiliki
resiko yang rendah untuk tertular HIV-AIDS. HIV-AIDS dapat menjangkit siapa saja melalui orang terdekat. Kemudian timbul pertanyaan yang mendasari
keprihatinan terhadap stigma negatif dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita HIV-AIDS. Apakah adil bila mereka yang terjangkit HIV-AIDS karena
sebuah hal yang tidak mereka ketahui juga mendapat diskriminasi dan dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar mereka?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini, masih banyak ODHA yang menerima diskriminasi dari masyarakat sekitar tempat tinggal mereka sendiri.
Banyak perlakuan buruk yang diterima oleh ODHA di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu contohnya di Bali, diskriminasi bahkan tidak hanya
menimpa ODHA semasa hidup mereka saja, namun banyak ODHA juga mendapatkan diskriminasi pada saat mereka meninggal dunia seperti yang terlihat
pada paparan Dewa Oka Sedana, sekretaris KPA Gianyar 1 berikut : “Ketika ada warga yang meninggal dunia karena HIV , tidak ada yang mau
memandikan. dari rumah sakit mayat langsung dimasukkan ke peti yang sangat rapat karena dianggap HIV akan menular melalui udara. Mayat
langsung dibawa ke kuburan untuk dimakamkan tanpa dibuka kembali. Terpaksa kami yang membuka mayat dan memandikannya untuk
menunjukkan bahwa tidak masalah menyentuh mayat ODHA.”
4
4
Rifiqi Hasan,
Bali Diskriminatif
Terhadap Penderita
HIV-AIDS, http:nasional.tempo.coreadnews20120111058376704bali-diskriminatif-terhadap-penderita-
hiv-aids, diakses 16 November 2015, Pk 15.55.
Tak hanya di Bali, di Surakarta juga banyak ditemukan diskriminasi terhadap ODHA. Seperti yang dialami oleh IS, salah satu ODHA yang tinggal di
Kota Surakarta, yang ia paparkan dalam cuplikan wawancara berikut : “Ada, waktu status saya sebagai ODHA terbuka di wilayah tempat tinggal
saya. Setelah saya bilang ke tetangga saya kalau saya positif HIV, langsung cepat berita itu menyebar ke warga kampung. Setelah itu saya
banyak dicemooh, sampai akhirnya saya diusir. Ya itu, karena masyarakat di wilayah tempat tinggal saya itu belum paham tentang AIDS. Tapi
setelah teman-teman KDS dan YMA datang, kasih pengertian, saya tidak jadi diusir
”
Dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial Suatu Penghantar, Walgito mendiskripsikan persepsi sebagai sebuah proses yang didahulukan oleh
penginderaan dan yang dimaksud dengan penginderaan itu sendiri adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penginderaan yang mereka
miliki
5
. Oleh karena itu, keadaan individu dapat mempengaruhi hasil persepsi sehingga persepsi yang dihasilkan oleh satu orang dengan orang lain bisa saja
berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan stigma, menurut Green dalam makalah milik Cholil dengan judul Pendekatan Jender dalam Kebijakan Publik
yang disampaikan dalam ilmu kesehatan dan kongres persiapan asosiasi ilmu social kesehatan Indonesia, adalah sebuah ciri negatif yang menempel pada
pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya
6
. Namun sesungguhnya, stigma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah stigma yang diberikan masyarakat
kepada penderita HIV-AIDS.
5
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta : Andi Offset, 2003, h. 53.
6
A. Cholil, Pendekatan Jender dalam Kebijakan Publik pokok pikiran disampaikan dalam ilmu kesehatan dan kongres persiapan asosiasi ilmu sosial Kesehatan Indonesia, Jakarta :
LIPI, 1997.
Keprihatinan terhadap stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA itulah yang melatarbelakangi tercetusnya program Warga Peduli AIDS WPA.
Program ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai pencegahan penanggulangan HIV-AIDS, serta
terhapusnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
7
. Gerakan tersebut sejalan dengan Materi Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS yang di dalamnya juga tercantum peraturan mengenai peran aktif masyarakat dalam upaya
penanggulangan HIV-AIDS sebagai berikut : 1. Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIV-AIDS serta perlindungan ODHA Orang Dengan HIV-AIDS OHIDHA Orang Hidup Dengan HIV-AIDS, dengan cara
berperilaku hidup sehat, meningkatkan ketahanan keluarga, mencegah stigma diskriminasi terhadap ODHA, OHIDHA, dan keluarganya, serta
aktif dalam kegiatan pencegahan dan pendampingan. 2. Tokoh masyarakat melakukan sosialisasi.
3. Masyarakat mendorong setiap masyarakat yang beresiko terhadap penularan HIV IMS Infeksi Menular Seksual untuk memeriksakan
kesehatannya ke klinik VCT Voluntary Counseling and Testing. 4. Setiap orang yang terinfeksi HIV-AIDS agar mengikuti rehabilisasi.
7
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.
Sampai saat ini program WPA sudah direalialisasikan di 9 Kelurahan di Kota Surakarta, yakni kelurahan Sondakan, Punggawan, Timuran, Mangkubumen,
Kestalan, Nggilingan, Semanggi, Baluwarti, dan Setabelan. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti komunikasi interpersonal ODHA dengan warga di Kota
Surakarta. Peneliti memilih Kota Surakarta sebagai wilayah objek penelitian karena Kota Surakarta termasuk salah satu Kota dengan angka kasus HIV-AIDS
yang cukup besar di Indonesia dengan jumlah total penderita pada tahun 2015 mencapai 1502 orang
8
. Dalam menjalankan program WPA, pemerintah menunjuk sebuah LSM,
yakni Yayasan Mitra Alam, sebagai pendamping program. Yayasan Mitra Alam bertugas memberikan pendampingan serta sebagai mediator antara warga Kota
Surakarta yang negatif HIV-AIDS dan warga Kota Surakarta yang menyandang status sebagai ODHA. Dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator sekaligus
pendamping, Yayasan Mitra Alam juga menunjuk kader-kader dari masing- masing wilayah Kelurahan. Kedua elemen tersebut memiliki tugas ke dalam dan
ke luar. Tugas ke dalam, yakni adalah untuk mempersiapkan ODHA agar mau terbuka mengenai penyakit yang dideritanya kepada masyarakat, sedangkan tugas
ke luar adalah untuk mempersiapkan masyarakat agar mau menerima ODHA sebagai bagian dari masyarakat seperti mereka secara wajar.
Selain Yayasan Mitra Alam, lembaga yang memiliki peran yang cukup penting dalam pendampingan dan persiapan diri ODHA untuk mengungkap jati
dirinya dalam masyarakat adalah Kelompok Dampingan Sebaya KDS Solo Plus.
8
http:kpan.or.idrptestallphp Diakses pada Selasa, 7 April 2015 Pk 11.24 WIB.
KDS Solo Plus dapat dikatakan sebagai “wadah” bagi ODHA. Lembaga independen ini merupakan perkumpulan ODHA di Kota Surakarta dan sekitarnya
yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA agar ODHA dapat memiliki hak yang sama dengan orang sehat pada umumnya.
Meskipun demikian, keterbukaan ODHA dalam masyarakat tidak akan terwujud apabila tidak ada keberanian dari ODHA sendiri untuk membuka
identitasnya kepada masyarakat. Untuk itu, segala hal mengenai persiapan ODHA dalam mengkomunikasikan identitas dirinya kepada masyarakat juga
menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dengan seksama. Komunikasi interpersonal memiliki andil yang besar dalam upaya
penerimaan dirinya dalam masyarakat terkait dengan HIV-AIDS yang bersarang di tubuh mereka yang seolah menjadi benteng tinggal bagi mereka untuk menjalin
hubungan baik dengan masyarakat di sekitarnya. Sampai saat ini, sebagian besar ODHA yang ada di Kota Surakarta masih
belum berani untuk melakukan pendekatan secara interpersonal melalui komunikasi kepada masyarakat di Kota Surakarta karena mereka masih merasa
bahwa jika mereka melakukan keterbukaan status dengan mengakui dihadapan masyarakat apabila mereka mengidap HIV, maka mereka akan menerima
diskriminasi seperti yang diterima banyak ODHA di Indonesia setelah statusnya diketahui oleh masyarakat.
Permasalahan ini menjadi penting untuk ditelaah lebih lanjut melalui kajian ilmu komunikasi karena pada permasalahan ini, komunikasi interpersonal
mengambil peran yang sangat besar dalam membentuk interaksi sosial antara
ODHA dengan masyarakat di Kota Surakarta ditengah beredarnya pandangan negatif masyarakat mengenai latar belakang kehidupan ODHA seperti yang sudah
dijelaskan pada paparan sebelumnya.
B. Rumusan Masalah