Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentuan pasal ini menurut Abdul Kadir Muhammad sebenarnya banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat dilihat dari kalimat ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak. b. Kata ”perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus Dalam pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwarneming. Tindakan melawan hukum onrechtmatige daad yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan Dalam perumusan pasal tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. 6 6 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bhakti, Bandung, 1990, hlm. 78 Selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad 1. Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara R. Setiawan menyatakan bahwa: ”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 7 ”Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. ” Defenisi perjanjian menurut R. Subekti: 8 ”Perjanjian atau verbintenisen mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. ” Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: 9

2. Syarat Sahnya Perjanjian

” Dari beberapa defenisi di atas penulis lebih memilih pendapat yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan hukum kebendaan untuk saling mengikatkan diri dengan cara memberi dan menerima sesuatu. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dinyatakan ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dinyatakan sah, yaitu: 7 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 49 8 R. Subekti 1, Op.Cit., hlm. 1 9 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 9 Universitas Sumatera Utara a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c Suatu hal tertentu d Suatu sebab yang halal Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-yarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 10 Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan syarat syarat sahnya perjanjian itu satu persatu. ad. a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat para pihak di dalam suatu perjanjian adalah unsur esensial dari hukum perjanjian yaitu asas konsensualitas yang ditentukan adanya perjanjian rasion d’etre het bestaanwaarde 11 Jadi, sepakat itu adalah kemauan atau kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak sehingga seia-sekata atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perikatan yang mereka adakan. Pernyataan ini merupakan kehendak bersama berdasarkan kebebasan para pihak, namun demikian ada 3 faktor yang 10 R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 17 11 Ibid. Universitas Sumatera Utara menyebabkan sepakat tidak sah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu: 1 Khilaf, kekeliruan atau salah pengertian dwaling 2 Paksaan dwang 3 Penipuan bedrog Kekelirun ini mencakup hakekat barang atau benda yang menjadi pokok objek perjanjian error in substantia dan kekelirunan mengenai orangnya error in persona. Pasal 1322 KUHPerdata menjelaskan bahwa kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tetapi kekhilafan mengenai diri orangnya dengan siapa seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama kesepakatan mengingat diri orang tersebut. Misalnya X membuat perjanjian dengan Y, karena X menganggap Y adalah penyanyi yang punya nama sama dengan Y. Dan Y sendiri menyadari kekeliruan anggapan X. Dalam hal ini X kemudian dapat memintakan pembatalan perjanjian. Mengenai paksaan, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa: “ Yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman akan membuka rahasia dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. 12 Sedangkan menurut R. Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa psysicis, jadi bukan paksaan badan fisik. ” 13 12 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm.101 Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 1 13 R. Subekti 1, Op. Cit, hlm. 23 Universitas Sumatera Utara Mengenai paksaan ini dwang, terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu. Dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga. Tetapi tidak demikian halnya dengan penipuan. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan. Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. 14 1 Teori kehendak wilstheorie Menurut Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan merupakan segala tipu muslihat ataupun memperdayakan yang terang dan nyata sehingga pihak yang lain tidak akan membuat perikatan seandainya tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan ini tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian. Mengenai saat terjadinya kesepakatan ada beberapa ajaran, yaitu: Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut. 2 Teori pernyataan Verklaringstheorie Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan. 3 Teori kepercayaan Vetrouwenstheorie Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. 4 Teori ucapan Uitingstheorie 14 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 31 Universitas Sumatera Utara Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah. 5 Teori pengiriman Verzendingstheorie Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat. 6 Teori pengetahuan Vernemeningstheorie Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, apakah persetujuan tidak akan terjadi jika sekiranya surat tersebut tidak dibuka atau jika surat tersebut hilang? Selain itu sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut. 6 Teori penerimaan Ontvangstheorie Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan. 15 1 Orang-orang yang belum dewasa ad. b Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap Pasal 1329 KUHPerdata. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu: Pasal 330 KUHPerdata menentukan orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berumur genap 21 tahun serta belum menikah. 2 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 15 R. Setiawan, Op.Cit, hlm. 57 Universitas Sumatera Utara Orang-orang yang dungu, sakit otak atau mata gelap harus diletakkan di bawah pengampuan walaupun kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Demikian pula orang yang di bawah pengampuan ini sama kedudukannya dengan orang-orang yang belum dewasa, di mana anak yang belum dewasa harus diwakili orangtuanya atau walinya. Maka orang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kurator. 3 Orang-orang perempuan Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Orang-orang perempuan yang bersuami cakap bertindak dalam hukum sepanjang tindakan hukum tersebut tidak melampaui kekuasaan mereka. Bila tindakan hukum yang mereka lakukan melampaui kekuasaan hukum, maka tindakan hukum tersebut batal demi hukum Pasal 1446 KUHPerdata. Yang merupakan tindakan yang tidak melampaui kekuasaan perempuan yang bersuami adalah tindakan hukum sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 109 KUHPerdata, misalnya perjanjian yang dilakukan istri guna keperluan segala yang berkenaan dengan pembekalan rumah tangga sehari-hari. Untuk itu istri tidak perlu memperoleh izin suami. Berbeda dengan Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian juga Pasal 110 KUHPerdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap dimuka pengadilan tanpa bantuan suami. Hal ini menunjukkan istri tidak cakap bertindak dalam hukum. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat 1 menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal 31 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. ad. c Suatu hal tertentu Pasal 1320 KUHPerdata ini menentukan bahwa objek perjanjian harus sesuatu hal tertentu een pepaalde onderwerp. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian. 16 16 Abdul Kadir Muhammad 1, Op.Cit, hlm. 93 Sekurang-kurangnya objek perjanjian tersebut harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Adapun inti sari dari perjanjian itu adalah prestasi di mana kreditur berhak atas prestasi dan debitur wajib melaksanakan prestasi. Jika seluruh objek perjanjian voorwerp tidak tentu, maka dengan sendirinya perjanjian yang sedemikian itu tidak sah. Misalnya suatu perjanjian untuk mendirikan rumah tetapi tidak dimuat mengenai Universitas Sumatera Utara ukuran rumah, letak rumah maupun jenis bangunannya, maka perjanjian ini tidak mempunyai kekuatan hukum krachteloos. ad. d Suatu sebab yang halal Undang-Undang tidak memberi pengertian causa atau sebab. Yang dimaksud dengan causa bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian. Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab oorzaakcausa bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebab atau causa yang diperbolehkan geoorloofde oorzak. Melalui syarat ini, di dalam praktek memberi peluang bagi hakim untuk dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 KUHPerdata. Undang-undang mengatur isi perjanjian dalam Pasal 1329 dan Pasal 1327 KUHPerdata. Dari sini disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: 1 Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. 2 Kepatutan adalah ulangan dari kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. 3 Kebiasaan adalah yang diatur Pasal 1339 KUHPerdata yaitu kebiasaan yang bersifat umum sedang yang diatur dalam Pasal 1327 KUHPerdata itu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat. Jadi apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus causa yang sah. Prestasi yang harus dilaksanakan debitur harus Universitas Sumatera Utara benar-benar sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan. Suatu sebab yang halal ini mengacu pada Pasal 1337 KUHPerdata, artinya isi perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum. Bila suatu perjanjian dibuat tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu ataupun terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Itu sebabnya bila syarat akan adanya sebab yang halal ini tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dari uraian keempat syarat sahnya perjanjian di atas, harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void. Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya perizinannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang mentaatinya. Universitas Sumatera Utara

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian

Syarat-syarat objektif sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang terdahulu merupakan isi perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Masing-masing pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua, dan sebaliknya hak pihak pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya dikatakan bahwa intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri. Menurut pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang dijanjikan itu adalah: a Untuk memberi sesuatu to geven b Untuk berbuat sesuatu to doen c Untuk tidak berbuat sesuatu of nien to doen Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, prestasi berupa memberikan sesuatu to geven maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan atau melever levering sesuatubenda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban. Prestasi tidak hanya memberikan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada pihak lain, tetapi prestasi memberikan hak sekaligus kewajiban pada masing- masing pihak. Sebagaimana telah dinyatakan kalau satu pihak memberikan sesuatu kewajibannya maka pihak yang lain menerima hak demikian sebaliknya pihak yang sudah memenuhi kewajibannya tersebut akan memperoleh haknya dan melakukan kewajibannya. Dengan demikian perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajibannya yang timbal balik. Universitas Sumatera Utara Di sinilah letak keseimbangan dari suatu perjanjian itu karena sudah menjadi tabiat manusia untuk hidup saling tergantung. Tidak ada manusia yang rela hidup hanya melaksanakan kewajiban tetapi tidak pernah menerima hak. Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara sah itu menjadi tolak ukur hubungan mereka dalam pelaksanaan hak dan kewajiban di mana apa yang mereka sepakati bersama berlaku sebagai undang-undang baginya dan perjanjian atau kesepakatan itu mengikat para pihak tidak hanya untuk hal-hal yang dituliskan atau dinyatakan dengan tegas tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang- undang. Dengan demikian, Pasal 1339 KUHPerdata ini memungkinkan munculnya hak dan kewajiban bagi para pihak di luar yang disetujui tetapi dianggap sebagai hak maupun kewajiban berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang ada. Ini membuka peluang bagi hakim untuk menimbang dan memutuskan apakah suatu perjanjian itu sesuai dengan kepatutan maupun kebiasaan yang hidup di masyarakat serta dengan undang-undang yang ada. Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa adanya hak dan kewajiban para pihak merupakan akibat hukum dari perbuatan mengadakan perjanjian. Dan membatalkan hak dan kewajiban berarti membatalkan perjanjian dan itu harus dengan kesepakatan para pihak Pasal 1339 KUHPerdata.

4. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 lima asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: a Asas kebebasan berkontrak freedom of contract; b Asas konsensualisme concsensualism; Universitas Sumatera Utara c Asas kepastian hukum pacta sunt servanda; d Asas itikad baik good faith; dan e Asas kepribadian personality. Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud: a Asas kebebasan berkontrak freedom of contract Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 17 Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap optional law, yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. 18 17 R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 13 18 Ibid. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak contractvrijheid. Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi: “Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Universitas Sumatera Utara Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1 membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3 menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta 4 menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak contractvrijheid berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. 19 19 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 9 Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas Universitas Sumatera Utara kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme. Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan vermastchappelijking hukum kontrakperjanjian. b Asas konsensualisme concensualism Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya will, yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Adapun menurut A. Qirom Syamsudin M: Universitas Sumatera Utara ”Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. 20 c Asas kepastian hukum pacta sunt servanda ” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata dalam hukum adat disebut secara kontan. Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan. Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. 20 A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 20 Universitas Sumatera Utara Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam Universitas Sumatera Utara perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. d Asas itikad baik good faith Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik di sini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. Sedangkn itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. 21 ”Rumusan dari Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut. Kemudian menurut Munir Fuady: 22 Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang ” 21 Ibid, hlm. 19 22 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 81 Universitas Sumatera Utara teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad HR yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus- kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang devaluasi Jerman setelah Perang Dunia I. 23 23 Salim HS, Op.Cit, hlm. 11 Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya. Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini dengan memformulasikan: Universitas Sumatera Utara “Mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.” Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warga negara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warga negara Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan: “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat menambah. Universitas Sumatera Utara Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asas itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang di atas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 di mana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah low bargaining posistion. Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik. e Asas Kepribadian personality Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Universitas Sumatera Utara Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjiankontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas. Di samping kelima asas yang telah diuraikan di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 telah Universitas Sumatera Utara berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut: a Asas kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari. b Asas persamaan hukum Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda- bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. c Asas keseimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. d Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. e Asas moralitas Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela moral. Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan moral sebagai panggilan hati nuraninya. f Asas kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. g Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. h Asas perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. 24 24 Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1985 Universitas Sumatera Utara Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrakperjanjian dalam kegiatan hukum sehari- hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrakperjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

5. Jenis-Jenis Perjanjian

a Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan. Jenis-jenis perjanjian obligatoir di antaranya adalah sebagai berikut. 1 Perjanjian sepihak dan timbal balik 1313 KUHPerdata Hendaknya diperhatikan bahwa setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli. Perjanjian sepihak adalah perjanjian di mana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya hibah. 2 Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain, misalnya perjanjian jual-beli. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah persetujuan di mana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara cuma-cuma. 3 Perjanjian konsensual, rill dan formil Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat. Perjanjian rill adalah persetujuan di mana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang. Misalnya, penitipan barang, pinjam pakai dan Universitas Sumatera Utara pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil, misalnya hibah. 4 Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran Perjanjian-perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang oleh undang- undang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yaitu pada Bab V sampai dengan Bab XVIII ditambah Titel VII a dan dalam KUHDagang perjanjian-perjanjian Asuransi dan Pengangkutan. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Misalnya perjanjian sewa beli. Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan pada Bab I, II, dan IV Buku III KUHPerdata. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu perjanjian tersebut merupakan perjanjian bernama atau tidak bernama. Karena ada perjanjian- perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama. Perjanjian seperti ini disebut dengan perjanjian campuran. Hanya dalam satu hal undang-undang memberikan pemecahannya, yaitu yang disebutkan dalam Pasal 1601 c KUHPerdata. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut maka dapat dikemukakan tiga teori: 1 Teori absorptie Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada perjanjian yang dalam perjanjian campuran tersebut paling menonjol. 2 Teori combinatie Menurut teori ini perjanjian dibagi-bagi dan kemudian atas masing- masing bagian tersebut diterapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk bagian-bagian tersebut. Universitas Sumatera Utara 3 Sui generis Menurut teori ini, ketentuan-ketentuan daripada perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam perjanjian campuran diterapkan secara analogis. 25 b Jenis perjanjian lainnya 1 Perjanjian Liberatoir Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata Perjanjian liberatoir adalah perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak menghapuskan perikatan yang telah ada. Misalnya, A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, kemudian, 2 hari berikutnya dibatalkan atas kesepakatan bersama. 2 Perjanjian dalam hukum keluarga Misalnya pada perkawinan. Hal ini pun merupakan perjanjian, karena terjadi berdasarkan kata sepakat suami-istri. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa perjanjian ini mempunyai sifat-sifat khusus. 3 Perjanjian kebendaan Perjanjian ini diatur dalam Buku II KUHPerdata dan merupakan perjanjian untuk menyerahkan benda atau menimbulkannya, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan. 4 Perjanjian mengenai pembuktian Para pihak adalah bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat pembuktian yang akan mereka gunakan dalam suatu proses. Dapat ditentukan pula alat pembuktian yang tidak boleh dipergunakan. Perjanjian ini dilakukan untuk menentukan kekuatan alat bukti. 25 R.Setiawan, Op. Cit, hlm. 51 Universitas Sumatera Utara

6. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat hapus dengan pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang atau konpensasi, pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terutang, batal atau pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu Pasal 1338 KUHPerdata. Akan tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin belum hapus. Bila X dan Y mengadakan jual beli, perikatan dapat hapus dengan dibayarkannya harga oleh Y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya masih ada. Untuk hapusnya perjanjian, tujuan perjanjiannya yaitu untuk memiliki barang harus tercapai dulu. Jadi, bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Adapun beberapa cara hapusnya perjanjian adalah: a Ditentukan dalam perjanjian oleh kedua belah pihak. Misalnya penyewa yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir selama 3 tahun. b Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut oleh Pasal 1066 ayat 4 KUHPerdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun. c Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya, jika salah satu meninggal perjanjian menjadi hapus: 1 perjanjian perseroan Pasal 1646 ayat 4 KUHPerdata 2 perjanjian pemberian kuasa Pasal 1813 KUHPerdata 3 perjanjian kerja Pasal 1603 j KUHPerdata d Pernyataan menghentikan perjanjian opzegging. Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa. e Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapatkan barang maka perjanjian akan berakhir. 5 Perjanjian hapus karena putusan hakim Universitas Sumatera Utara 6 Dengan perjanjian para pihak. Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling mengentikan perjanjiannya. Misalnya perjanjian pinjam pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya. 26

B. Perjanjian Kerja Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Kerja

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi Antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi Dengan CV. Avansa

0 51 113

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Atas Kejadian Meninggalnya Debitur (Studi pada PT. Bank Panin,Tbk Cabang Pembantu Tebing Tinggi

1 100 90

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

4 73 109

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank rakyat indonesia tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

1 92 130

Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Pemberian Likuiditas Pada Bank Umum (Studi Kasus PT. Bank Century, Tbk)

0 69 135

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 16

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 61

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 2