Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank rakyat indonesia tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA

ANTARA PETUGAS ADMINISTRASI (PEKERJA KONTRAK)

DENGAN PT. BANK RAKYAT INDONESIA TBK. KANTOR

CABANG TEBING TINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

NAMA : JESICA WESIA HUTABARAT

NIM

: 060200319

Departemen Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA

ANTARA PETUGAS ADMINISTRASI (PEKERJA KONTRAK)

DENGAN PT. BANK RAKYAT INDONESIA TBK. KANTOR

CABANG TEBING TINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

NAMA : JESICA WESIA HUTABARAT

NIM

: 060200319

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata BW

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S. (NIP. 196 204 211 988 031 004)

Dosen Pembimbing I, Dosen Pemimbing II,

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S. Yefrizawati, S.H.,M.Hum (NIP. 196 204 211 988 031 004) (NIP. 197 512 102 002 122 001)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji, syukur dan hormat Penulis ucapkan pada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nya selama menjalani perkuliahan, hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA PETUGAS ADMINISTRASI (PEKERJA KONTRAK) DENGAN PT. BANK RAKYAT INDONESIA TBK. KANTOR CABANG TEBING TINGGI” yang diangkat oleh Penulis karena keingintahuan Penulis akan bagaimana pelaksanaan dan bentuk perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi yang dalam hal ini Penulis melakukan riset pada BRI Cabang Tebing Tinggi. Selain itu, penulisan skripsi ini juga bertujuan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah banyak membantu, memberi dukungan kepada Penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Maka untuk semua itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH., DFM., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan


(4)

Bapak Muhammad Husni, SH., MH., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS. Selaku Guru Besar, Ketua

Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat kepada Penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Ibu Yefrizawati, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah sabar

dan banyak memberikan bimbingan, bantuan, arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. (Maaf ya Bu, klo saya sering datang terlambat klo mau bimbingan….hehehe….).

5. Ibu Dr. Utary Maharany Lubis, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing

Akademik Penulis, yang telah mengarahkan Penulis dalam menjalankan akademi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Buat Ibu Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum., makasih ya Bu, dah jadi dosen yang baik dan mau mendengarkan keluhan penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas nasehat dan trik-triknya (sangat bermanfaat…).

6. PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi, yang telah

memberikan izin kepada Penulis untuk melaksanakan riset serta memperoleh data yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih yang teramat besar penulis ucapkan kepada kedua orangtua

Penulis, Welzink Hutabarat, SE. dan Sondang Sihombing, S.Pd. yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan perhatian serta doa yang teramat tulus, yang menjadikannya sebagai kekuatan bagi Penulis dalam


(5)

menyelesaikan skripsi ini. Buat Bapak, terima kasih karena sedikit banyak telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini (makasih buat wawancaranya, sebagai wakil pekerja BRI Tebing Tinggi merangkap Dosen Pembimbing III, hehehe…). Buat mama, makasih udah nyiapin makanan, jus, susu, (puding,,hehehe) klo lagi ngerjain skripsi. Buat Kakak dan adik Penulis, k’ Indah, K’ Iye (disini aja manggil kaka nya, haha), Arigato dan Andrea, makasih ya buat dukungan semangatnya (mari kita berikan yang terbaik buat bapak dan mama). Bou Lina, makasih ya buat doa dan dukungannya. Westvillage Family is the best. Love you..

8. Buat NanaPhanieRannie (ga terpisahkan,hahaha) sahabat-sahabat Penulis,

terima kasih buat dukungan dan semangatnya (makasih udah menghibur ku ketika stress tingkat tinggi..hahaha). Semoga persahabatan kita tetap terjalin hingga kapan pun. Buat Grup B angkatan 06’ PRM n K_Family, makasih atas kegilaan-kegilaanya dan menjadi teman kampus yang tidak akan terlupakan. Terutama buat Pauline ”my DJ” (temen seperjuangan abis), Yenny ”Westafel”, Vanni, April n Sarah (temen dari semester 1 sampai abis). My new bro Ferdy FHS (The Prince of Atjeh, kapan kita nonton sebelum ujian lagi??), Otniel OHT (Bang kenta..), Jani (choko), ”Babe” Rizky, Mamad ”maFud”, topel, Aulia ”Emon”, Icut “Agam”(bro juga ini..), Boboy...(smuanya: Ayokkk Karaokeee)... Buat Hendry (makasih dah bantui buatin outline), Rico (makasih dah bantuan pemilihan judul), Nixon 08 (makasih buat semangatnya ya de..). Buat semua angkatan 06 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. SEMANGAT. Buat Pegawai Perpustakaan (makasih ya bang, kak, udah mau direpotin..hehehe). K’ Una, K’Lisa, Bg’ Dian, B’ Harun, makasih ya buat


(6)

semua bantuannya. Dan Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar kelak skripsi ini dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Abstrak ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA ... 18

A. Perjanjian Pada Umumnya ... 18

1. Pengertian Perjanjian ... 18

2. Syarat Sahnya Perjanjian ... 20

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian ... 28

4. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 30

5. Jenis-Jenis Perjanjian ... 43

6. Berakhirnya Perjanjian ... 46

B. Perjanjian Kerja Pada Umumnya ... 47


(8)

2. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja ... 51

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja ... 60

4. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja ... 66

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu... 67

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu ... 74

5. Berakhirnya Perjanjian Kerja ... 74

BAB III. SEKILAS MENGENAI PT. BANK RAKYAT INDONESIA TBK. 83

A. Sejarah Singkat PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 83

B. Visi dan Misi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 85

C. Hubungan Perusahaan (PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.) dengan Insan Bank (Pekerja PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.) ... 86

D. Struktur Organisasi Kantor Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 88

E. Prosedur Penerimaan Petugas Administrasi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 92

F. Hak dan Kewajiaban Pekerja dan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 95

BAB IV. PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PETUGAS ADMINISTRASI DENGAN PT. BANK RAKYAT INDONESIA TBK. 100 A. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Antara Petugas Administrasi Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 101

B. Berakhirnya Kesepakatan Kerja Antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. ... 106 C. Perbandingan Ketentuan Perjanjian Kerja yang Ditetapkan Oleh PT.

Bank Rakyat Indonesia Tbk. dengan Ketentuan Perjanjian Kerja yang diatur dalam KUHPerdata dan Undang-undang Nomor 13 Tahun


(9)

2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121 Daftar Pustaka


(10)

ABSTRAK

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain. Apabila dalam pergaulan hidup terjadi peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, maka timbullah suatu perjanjian. Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja sehingga menimbulkan perikatan. Untuk memperoleh suatu kepastian hukum atau berupa penegasan mengenai hak dan kewajiban karyawan/tenaga kerja maupun pengusaha/majikan dalam hubungan kerja, pada umumnya para pihak membuat suatu perjanjian kerja.

Dalam rangka pemenuhan formasi jabatan fungsi administrasi di unit kerja seluruh wilayah Indonesia, maka dilakukan penerimaan pekerja BRI. Pemenuhan formasi jabatan Petugas Administrasi dari sumber ekstren dilakukan melalui penerimaan pekerja kontrak. Perjanjian kerja ini merupakan jenis perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT).

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian, metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat melalui: 1. Penelitian kepustakaan (Library research), dengan melakukan pengkajian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier; 2. Penelitian lapangan (Field research) yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan metode wawancara. Bertitik tolak pada norma hukum positif. Analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, serta dari hasil pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan BRI adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja antara BRI dengan pekerja ini berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun. Jangka waktu perjanjian kerja ini dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu perpanjangan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan berdasarkan kesepakatan bersama dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diberlakukan BRI. Perjanjian kerja antara para pihak berakhir apabila: Jangka waktu perjanjian kerja atau perpanjangan perjanjian kerja berakhir; Pekerja meninggal dunia; Pekerja dinilai tidak cakap atau tidak mampu atau pekerja secara langsung maupun tidak langsung melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja dan peraturan bagi pekerja yang ditetapkan oleh Perusahaan; Disepakati oleh para pihak; Diakhiri oleh para pihak. Secara garis besar ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diberlakukan BRI dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun


(11)

2003. Akan tetapi dalam menentukan kebijakan dalam perusahaan, ada peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh BRI. Kebijakan tersebut di antaranya berdasarkan Surat Keputusan Bersama Komisaris dan Direksi No. B.03-KOM/BRI/06/03 dan S.36-DIR/SDM/06/03 tanggal 3 Juni 2003 beserta perubahannya Tentang Kode Etik BRI, di mana setiap pekerja harus mentaati isi dari surat keputusan ini.


(12)

ABSTRAK

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain. Apabila dalam pergaulan hidup terjadi peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, maka timbullah suatu perjanjian. Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja sehingga menimbulkan perikatan. Untuk memperoleh suatu kepastian hukum atau berupa penegasan mengenai hak dan kewajiban karyawan/tenaga kerja maupun pengusaha/majikan dalam hubungan kerja, pada umumnya para pihak membuat suatu perjanjian kerja.

Dalam rangka pemenuhan formasi jabatan fungsi administrasi di unit kerja seluruh wilayah Indonesia, maka dilakukan penerimaan pekerja BRI. Pemenuhan formasi jabatan Petugas Administrasi dari sumber ekstren dilakukan melalui penerimaan pekerja kontrak. Perjanjian kerja ini merupakan jenis perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT).

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian, metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat melalui: 1. Penelitian kepustakaan (Library research), dengan melakukan pengkajian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier; 2. Penelitian lapangan (Field research) yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan metode wawancara. Bertitik tolak pada norma hukum positif. Analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, serta dari hasil pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan BRI adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja antara BRI dengan pekerja ini berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun. Jangka waktu perjanjian kerja ini dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu perpanjangan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan berdasarkan kesepakatan bersama dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diberlakukan BRI. Perjanjian kerja antara para pihak berakhir apabila: Jangka waktu perjanjian kerja atau perpanjangan perjanjian kerja berakhir; Pekerja meninggal dunia; Pekerja dinilai tidak cakap atau tidak mampu atau pekerja secara langsung maupun tidak langsung melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja dan peraturan bagi pekerja yang ditetapkan oleh Perusahaan; Disepakati oleh para pihak; Diakhiri oleh para pihak. Secara garis besar ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diberlakukan BRI dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun


(13)

2003. Akan tetapi dalam menentukan kebijakan dalam perusahaan, ada peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh BRI. Kebijakan tersebut di antaranya berdasarkan Surat Keputusan Bersama Komisaris dan Direksi No. B.03-KOM/BRI/06/03 dan S.36-DIR/SDM/06/03 tanggal 3 Juni 2003 beserta perubahannya Tentang Kode Etik BRI, di mana setiap pekerja harus mentaati isi dari surat keputusan ini.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai dengan kodrat alam, manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan manusia lain. Atau dengan kata lain manusia tidak dapat hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat yang penting adalah sesama manusia melakukan kerja sama yang positif sehingga kerja sama itu secara konkrit dapat membawa keuntungan yang besar artinya bagi kehidupan anggota masyarakat tersebut. Kerja sama secara positif adalah dalam upaya mengejar kehidupan yang layak sebagai manusia. Masing-masing mereka tidak boleh menggangu, tetapi harus saling membantu. Sebagai individu, manusia tidak dapat hidup untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya dengan mudah tanpa bantuan orang lain atau harus ada kontak di antara individu dengan individu lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Apabila dalam pergaulan hidup terjadi peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, maka timbullah suatu perjanjian. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dari perjanjian tertulis tersebut timbullah semua hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang lazim disebut dengan perikatan.


(15)

Sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Subekti :

”Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.1

”Demikian pula dalam perjanjian kerja, seorang buruh mengadakan perjanjian kerja dengan perusahaan atau majikan dengan mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu dengan maksud untuk memperoleh haknya itu harus memberikan sesuatu kepada majikannya berupa pengarahan jasa-jasanya sebagaimana kewajiban yang harus dipenuhi dan tidak boleh dilalaikan.

Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. Guna mewujudkan suatu perjanjian yang telah disepakati bersama, para pihak yang terikat dalam perjanjian harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana mestinya. Dengan dilaksanakannya prestasi dalam perjanjian maka apa yang diharapkan sebagai maksud dan tujuan diadakannya perjanjian akan tercipta dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan yang dapat menuntut atas kerugian yang dideritanya.

Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian kerja sehingga menimbulkan perikatan. Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik formal maupun informal, pada dasarnya selalu didahului dengan adanya perjanjian kerja. Untuk pekerjaan informal, perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan biasanya dilakukan secara lisan sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang formal, seperti di pabrik atau perusahaan, perjanjian kerja pada umumnya dibuat secara tertulis. Pada dasarnya baik tertulis maupun tidak, perjanjian kerja tersebut sama-sama mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak.

2

1

R. Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan keduabelas, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 9 (Selanjutnya disebut dengan R. Subekti 1).

2

G. Kartas Poetra,dkk., Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung, 1985, hlm. 73


(16)

Namun di dalam perjanjian kerja, kedudukan para pihak sering tidak seimbang. Kedudukan yang tidak seimbang ternyata membawa konsekuensi. Pada perjanjian untuk waktu tertentu, kedudukan majikan dan karyawan tidak pernah seimbang. Ada kalanya majikan lebih kuat daripada karyawan sehingga karyawan berada dalam kategori golongan lemah. Sebaliknya apabila karyawan mempunyai dedikasi dan profesionalisme dalam bidangnya maka akan lebih kuat dibanding majikan dalam hal pengupahan.

Pembangunan bidang ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembagian sumber daya manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan nasional. Sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik materil maupun spiritual.

Hukum seyogianya memberikan keadilan, karena keadilan itulah tujuan dari hukum. Jadi, sudah semestinya bila hukum yang mengatur mengenai perjanjian kerja memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Untuk memperoleh suatu kepastian hukum atau berupa penegasan mengenai hak dan kewajiban karyawan/tenaga kerja maupun pengusaha/majikan dalam hubungan kerja, pada umumnya para pihak membuat suatu perjanjian kerja.

Hubungan kerja antara buruh dan majikan diatur dalam Buku III Bab 7 a KUHPerdata, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya masih kurang. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Nomor 13 Tahun 2003), maka terciptalah salah satu solusi dalam dalam perlindungan buruh maupun majikan


(17)

tentang hak dan kewajian masing-masing pihak. UU Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak dan kewajiban, baik para tenaga kerja maupun para pengusaha dalam melaksanakan suatu mekanisme proses produksi. Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya UU Nomor 13 Tahun 2003 yaitu mewujudkan kesejaterahan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha Indonesia.

PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. dalam usahanya tidak terlepas dari kerjasama dengan perusahan lain atau pihak lain yang mendukung kelancaran dan kemajuan usahanya. Dalam usaha tersebut timbul suatu perjanjian-perjanjian demi kemajuan dan perkembangan perusahaan. Di samping itu PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. juga memperkerjakan karyawan dengan jumlah yang sangat banyak. Perikatan antara PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. dengan pekerja timbul dengan dibuatnya perjanjian kerja. Dengan kondisi jumlah pekerja PT. Bank Rakyat Indonesia yang sangat banyak, kecil kemungkinan PT. Bank Rakyat Indonesia dapat membuat kesepakatan mengenai isi perjanjian kerja secara personal dengan setiap pekerja. Oleh karena itu PT. Bank Rakyat Indonesia menggunakan kontrak baku (standart contract) dalam mengadakan perjanjian kerja dengan pekerja. Masing-masing pihak yaitu perusahaan dan para pekerja mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja.

Salah satu formasi jabatan yang terdapat di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. adalah Formasi Jabatan Fungsi Administrasi. Pemenuhan Formasi Jabatan Fungsi Administrasi ini tidak dapat dilakukan melalui outsourching, namun harus


(18)

dipenuhi oleh pegawai kontrak maupun pegawai tetap PT. Bank Rakyat Indonesia. Untuk pekerja kontrak bentuk pelaksanaan perjanjian kerjanya adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Pelaksanaan perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. adalah perjanjian kerja waktu tertentu.

Sehubungan dengan uraian diatas maka penulis merasa tertarik untuk lebih mengetahui secara nyata dan lebih mendalam dan membahas permasalahan ini dalam satu tulisan karya ilmiah dengan judul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kerja antara Petugas Administrasi

(pekerja kontrak) dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.?

2. Apakah setelah jangka waktu perjanjian kerja berakhir hubungan kerja antara Petugas Administrasi (pekerja kontrak) dengan PT. Bank Rakyat Indonesia masih dapat dilanjutkan?

3. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan perjanjian kerja yang diberlakukan PT.

Bank Rakyat Indonesia Tbk. bila dibandingkan dengan ketentuan perjanjian kerja yang terdapat dalam KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?


(19)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan suatu gambaran mengenai perjanjian kerja yang diberlakukan oleh perusahan terhadap Petugas Administrasi khususnya dalam hal ini PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., di antaranya :

1. Untuk mengetahui secara jelas mengenai pelaksanaan perjanjian kerja yang

diberlakukan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. dengan Petugas Administrasi (pekerja kontrak);

2. Untuk mengetahui apakah perjanjian kerja antara Petugas Administrasi

(pekerja kontrak) dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. masih dapat dilanjutkan setelah jangka waktu telah berakhir;

3. Untuk dapat membandingkan ketentuan mengenai perjanjian kerja yang

diberlakukan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Adapun manfaat penulisan skripsi ini antara lain :

1. Secara akademis, penulisan skripsi ini bermanfaat untuk melengkapi dan

memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Selain itu, penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk memperkaya dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya mengenai perjanjian kerja.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memberikan

pemahaman dan juga kepastian hukum dalam pembuatan perjanjian kerja diantara para pihak, yaitu dengan mengkaji bentuk perjanjian kerja dan juga aspek hukum dari peraturan perundang-undangan tentang perjanjian kerja tersebut.


(20)

D. Keaslian Penulisan

Dari hasil analisa dan inventarisasi judul skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul ”Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi” belum pernah diangkat sebagai judul skripsi sebelumnya. Skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif, ilmiah, serta melalui pemikiran referensi dari buku-buku dan sumber lainnya yang dapat memberikan informasi yang akurat. Oleh karena itu, skripsi ini dianggap asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Perjanjian

Kata “Perjanjian” merupakan kata yang bentuk dasarnya “janji”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia janji adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Jadi perjanjiaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :

”Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.3

3

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm. 401

Secara yuridis, pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih lainnya.”


(21)

Menanggapi defenisi yang dinyatakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, para sarjana memberikan defenisi mengenai perjanjian dari sudut pandangnya masing-masing.

2. Pekerja

UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian Pekerja/buruh adalah setiap orang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum, namun maknanya lebih luas karena karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja, baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja, dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek, pengertian ”pekerja” diperluas maksudnya menjadi :

a) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah

maupun tidak;

b) Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah

perusahaan;

c) Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Dalam penulisan skripsi ini pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja dan menerima upah di dalam hubungan kerja dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., yaitu pekerja tetap, pekerja dalam masa percobaan, trainee, pekerja kontrak,


(22)

dan pekerja honorer. Atau dengan kata lain selain Komisaris dan Direksi Perusahaan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.

Pekerja kontrak adalah tenaga kerja yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan untuk jangka waktu tertentu dan pekerjaan tertentu dengan menerima upah berdasarkan perjanjian kerja.

3. Perjanjian kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis antara pekerja dengan perusahaan yang mengatur mengenai syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Dalam KUHPerdata tidak ada istilah perjanjian kerja, akan tetapi menurut pengertian Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan, perjanjian perburuhan itu dilakukan antara majikan dengan serikat buruh, sedangkan perjanjian kerja dilakukan antara buruh secara perseorangan dengan majikan/perusahaan.

4. Perusahaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :

”Perusahaan adalah kegiatan yang diselenggarakan dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan dengan menghasilkan sesuatu, mengolah sesuatu, atau membuat barang-barang, berdagang, memberikan jasa, dan sebagainya.4

4

Ibid, hlm. 1112

Perusahaan juga diartikan sebagai organisasi berbadan hukum yang mengadakan transaksi atau usaha.

Sedangkan pengertian perusahaan menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 yang diatur dalam Pasal 1 angka 6 adalah:


(23)

a) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus

dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dalam penulisan skripsi ini, perusahaan adalah PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tanggal 29 April 1992 Tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan Anggaran Dasar PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. yang seluruh perubahannya dimuat dalam Akta Nomor 7 Tanggal 4 September 1998, yang dibuat dihadapan Imas Fatimah, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta berikut perubahannya berturut-turut dengan Akta Nomor 25 Tanggal 25 Juli 2001 yang dibuat dihadapan Fatiah Helmi, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tanggal 16 April 2002, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 3714 dan Akta Nomor 26 Tanggal 25 Juli 2001 yang telah dibuat dihadapan Notaris yang sama, telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 33 Tanggal 23 April 2002, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 282.

5. Petugas Administrasi PT. Bank Rakyat Indonesia

Adalah pekerja BRI yang unit kerjanya adalah di Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat pada Divisi Treasury, Divisi Bisnis Internasional, Divisi Sentra Operasi, Divisi Jaringan Kerja Bisnis Ritel, dan Divisi Akuntansi Manajemen Keuangan.


(24)

a. Pada Kantor Cabang dan Kantor Cabang Pembantu Petugas Administrasi memegang jabatan sebagai Petugas Devisa dan Petugas Supervisor Administrasi Kredit yang menangani kredit komersial.

b. Pada Kantor Wilayah Petugas Administrasi memegang jabatan sebagai

Petugas Supervisor Administrasi Kredit yang menangani kredit komersial. c. Pada Kantor Pusat, sesuai dengan divisi masing-masing.

1) Pada Divisi Treasury, Petugas Administrasi memegang jabatan sebagai

Pelaksana Seksi Likuiditas Bagian Manajemen Likuiditas; Pelaksana Seksi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) bagian investment dan DPLK; Pelaksana Seksi Funding Administration dan Seksi Settlement (persetujuan) bagian Custodian Service; dan Pelaksana Bagian ALCO (Asset and Liability Committee) Supporting Group.

2) Pada Divisi Bisnis Internasional, Petugas Administrasi memegang jabatan sebagai Pelaksana Bagian Pembinaan Kantor Cabang Trade Finance; dan Pelaksana Seksi SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial

Telecommunication) dan Kontrol Dokumen Bagian Hubungan Luar

Negeri.

3) Pada Divisi Sentra Operasi, Petugas Administrasi memegang jabatan

sebagai Pelaksana Seksi Pergeseran Kas Bagian Sentra Operasi Kas.

4) Pada Divisi Akuntansi Manajemen dan Keuangan, Petugas Administrasi

memegang jabatan sebagai Pelaksana Seksi Pembukuan dan Laporan Bagian Layanan Keuangan Kantor Pusat yang menangani penyelesaian nota antar kantor serta penatakerjaan/pelaporan SID WEB BI (Sistem Informasi Debitur Website Bank Indonesia) dan WEB BRI (Website Bank Rakyat Indonesia).


(25)

6. Kantor cabang

Kantor cabang adalah Kantor Cabang BRI yang melaksanakan fungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, yang bertanggung jawab kepada kantor wilayah yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana kantor cabang tersebut melakukan usahanya.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi.

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, karena dalam penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan mengenai penerapan perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Penelitian deskriptif yakni penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia, sifat-sifat, karya manusia, keadaan, dan gejala-gejala lainnya.5

Metode yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu UU, serta Dalam penelitian, metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.

5


(26)

bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.

Sedangkan metode yuridis empiris merupakan penelitian yang mengungkapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat yang meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektifitas hukum.

Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat melalui: 1. Penelitian kepustakaan (Library research)

Penelitian kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan dengan cara membaca atau mempelajari atau merangkai buku-buku peraturan perundang-undangan dan sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, dengan melakukan pengkajian terhadap:

a) Bahan hukum primer, merupakan data yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat. Misalnya Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, Traktat, Yurisprudensi, adat dan kebiasaan.

b) Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis. Misalnya RUU, jurnal hukum, buku-buku para sarjana, hasil penelitian, makalah hukum, dan sebagainya.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya, koran, majalah, kliping, dan sebagainya.


(27)

Penelitian lapangan yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam obyek penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer. Penelitian ini dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk Kantor Cabang Tebing Tinggi. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan Bapak W. Hutabarat pekerja pada bagian SDM. Wawancara dilakukan secara intensif dan mendalam guna memperoleh data primer terhadap masalah yang diteliti.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis bertitik tolak pada norma hukum positif. Caranya dengan mengolah data mentah yang diperoleh lalu mengkualifikasikannya, kemudian dilakukan proses editing data, lalu membahasnya berdasarkan penafsiran yang dilakukan dengan cara mendiskusikan data yang diperoleh dengan hukum positif dengan masalah yang dikaji dan atau diteliti untuk kemudian ditarik kesimpulan akhir secara deduktif.

Analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, yaitu data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain.


(28)

Bab I merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang membahas tinjauan umum mengenai perjanjian yang terdiri dari beberapa sub bab. Yang pertama adalah perjanjian pada umumnya, yang meliputi pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, jenis-jenis perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Yang kedua adalah perjanjian kerja pada umumnya, yang meliputi pengertian perjanjian kerja, unsur-unsur dalam perjanjian kerja, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja, jenis-jenis perjanjian kerja, dan berakhirnya perjanjian kerja.

Bab III merupakan bab yang membahas sekilas mengenai PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. dengan menguraikan sejarah singkat PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., visi dan misi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., hubungan perusahaan dengan insan bank, struktur organisasi Kantor Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., prosedur penerimaan Petugas Administrasi PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. serta hak dan kewajiban pekerja dan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk.

Bab IV merupakan bab yang membahas mengenai pelaksanaan perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., yang menguraikan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., berakhirnya kesepakatan kerja antara Petugas Administrasi dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk., perbandingan ketentuan perjanjian kerja yang ditetapkan Oleh PT. Bank Rakyat


(29)

Indonesia Tbk. dengan ketentuan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun 2003.

Bab V merupakan bab kesimpulan dan saran mengenai pembahasan permasalahan yang dibahas.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA

A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentuan pasal ini menurut Abdul Kadir Muhammad sebenarnya banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat dilihat dari kalimat ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak.

b. Kata ”perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus

Dalam pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.6

6

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bhakti, Bandung, 1990, hlm. 78 (Selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad 1).

Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut:


(31)

R. Setiawan menyatakan bahwa:

”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.7

”Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Defenisi perjanjian menurut R. Subekti:

8

”Perjanjian atau verbintenisen mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

Sedangkan M. Yahya Harahap menyatakan bahwa:

9

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dari beberapa defenisi di atas penulis lebih memilih pendapat yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih dalam lapangan hukum kebendaan untuk saling mengikatkan diri dengan cara memberi dan menerima sesuatu.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dinyatakan ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dinyatakan sah, yaitu:

7

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 49 8

R. Subekti 1, Op.Cit., hlm. 1 9


(32)

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c) Suatu hal tertentu d) Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-yarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.10

Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan syarat syarat sahnya perjanjian itu satu persatu.

ad. a Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat para pihak di dalam suatu perjanjian adalah unsur esensial dari hukum perjanjian yaitu asas konsensualitas yang ditentukan adanya perjanjian (rasion d’etre het bestaanwaarde)

11

Jadi, sepakat itu adalah kemauan atau kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak sehingga seia-sekata atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perikatan yang mereka adakan. Pernyataan ini merupakan kehendak bersama berdasarkan kebebasan para pihak, namun demikian ada 3 faktor yang

10

R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 17 11


(33)

menyebabkan sepakat tidak sah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu:

1) Khilaf, kekeliruan atau salah pengertian (dwaling)

2) Paksaan (dwang)

3) Penipuan (bedrog)

Kekelirun ini mencakup hakekat barang atau benda yang menjadi pokok objek perjanjian (error in substantia) dan kekelirunan mengenai orangnya (error

in persona).

Pasal 1322 KUHPerdata menjelaskan bahwa kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tetapi kekhilafan mengenai diri orangnya dengan siapa seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama kesepakatan mengingat diri orang tersebut. Misalnya X membuat perjanjian dengan Y, karena X menganggap Y adalah penyanyi yang punya nama sama dengan Y. Dan Y sendiri menyadari kekeliruan anggapan X. Dalam hal ini X kemudian dapat memintakan pembatalan perjanjian.

Mengenai paksaan, Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa: “ Yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan dalam arti absolut, sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.12

Sedangkan menurut R. Subekti, paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psysicis), jadi bukan paksaan badan (fisik).

13

12

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm.101 (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman 1) 13


(34)

Mengenai paksaan ini (dwang), terjadi apabila pihak yang dipaksakan itu tidak punya pilihan lain selain menyetujui persetujuan itu. Dan paksaan itu mungkin saja dilakukan oleh pihak ketiga.

Tetapi tidak demikian halnya dengan penipuan. Penipuan hanya dilakukan oleh pihak lawan. Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa satu macam pembohongan saja tidak cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus serangkaian pembohongan yang di dalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat.14

1) Teori kehendak (wilstheorie)

Menurut Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan merupakan segala tipu muslihat ataupun memperdayakan yang terang dan nyata sehingga pihak yang lain tidak akan membuat perikatan seandainya tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan ini tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.

Dalam penipuan itu pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan lawan baik dengan keterangan palsu maupun tipu muslihat lainnya. Dan pihak yang merasa tertipu harus mampu membuktikannya untuk pembatalan perjanjian.

Mengenai saat terjadinya kesepakatan ada beberapa ajaran, yaitu:

Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2) Teori pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

3) Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4) Teori ucapan (Uitingstheorie)

14


(35)

Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5) Teori pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

6) Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie)

Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, apakah persetujuan tidak akan terjadi jika sekiranya surat tersebut tidak dibuka atau jika surat tersebut hilang? Selain itu sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut.

6) Teori penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.15

1) Orang-orang yang belum dewasa

ad. b Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329 KUHPerdata).

Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu:

Pasal 330 KUHPerdata menentukan orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berumur genap 21 tahun serta belum menikah.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

15


(36)

Orang-orang yang dungu, sakit otak atau mata gelap harus diletakkan di bawah pengampuan walaupun kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Demikian pula orang yang di bawah pengampuan ini sama kedudukannya dengan orang-orang yang belum dewasa, di mana anak yang belum dewasa harus diwakili orangtuanya atau walinya. Maka orang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kurator.

3) Orang-orang perempuan

Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Orang-orang perempuan yang bersuami cakap bertindak dalam hukum sepanjang tindakan hukum tersebut tidak melampaui kekuasaan mereka. Bila tindakan hukum yang mereka lakukan melampaui kekuasaan hukum, maka tindakan hukum tersebut batal demi hukum (Pasal 1446 KUHPerdata).

Yang merupakan tindakan yang tidak melampaui kekuasaan perempuan yang bersuami adalah tindakan hukum sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 109 KUHPerdata, misalnya perjanjian yang dilakukan istri guna keperluan segala yang berkenaan dengan pembekalan rumah tangga sehari-hari. Untuk itu istri tidak perlu memperoleh izin suami.

Berbeda dengan Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan istri harus memperoleh izin yang tegas dari suami untuk membuat suatu akta. Demikian juga Pasal 110 KUHPerdata menyatakan bahwa istri tidak boleh menghadap dimuka pengadilan tanpa bantuan suami. Hal ini menunjukkan istri tidak cakap bertindak dalam hukum.


(37)

Akan tetapi, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia ternyata, Mahkamah Agung menganggap Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat 1 menyatakan hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat. Pasal 31 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. ad. c Suatu hal tertentu

Pasal 1320 KUHPerdata ini menentukan bahwa objek perjanjian harus sesuatu hal tertentu (een pepaalde onderwerp). Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian.16

16

Abdul Kadir Muhammad 1, Op.Cit, hlm. 93

Sekurang-kurangnya objek perjanjian tersebut harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Adapun inti sari dari perjanjian itu adalah prestasi di mana kreditur berhak atas prestasi dan debitur wajib melaksanakan prestasi. Jika seluruh objek perjanjian (voorwerp) tidak tentu, maka dengan sendirinya perjanjian yang sedemikian itu tidak sah. Misalnya suatu perjanjian untuk mendirikan rumah tetapi tidak dimuat mengenai


(38)

ukuran rumah, letak rumah maupun jenis bangunannya, maka perjanjian ini tidak mempunyai kekuatan hukum (krachteloos).

ad. d Suatu sebab yang halal

Undang-Undang tidak memberi pengertian causa atau sebab. Yang dimaksud dengan causa bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian.

Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab (oorzaak/causa) bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebab atau causa yang diperbolehkan (geoorloofde oorzak).

Melalui syarat ini, di dalam praktek memberi peluang bagi hakim untuk dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Undang-undang mengatur isi perjanjian dalam Pasal 1329 dan Pasal 1327 KUHPerdata. Dari sini disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:

1) Isi perjanjian ialah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu.

2) Kepatutan adalah ulangan dari kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1338

KUHPerdata.

3) Kebiasaan adalah yang diatur Pasal 1339 KUHPerdata yaitu kebiasaan yang

bersifat umum sedang yang diatur dalam Pasal 1327 KUHPerdata itu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat.

Jadi apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan prestasi yang melahirkan perjanjian harus causa yang sah. Prestasi yang harus dilaksanakan debitur harus


(39)

benar-benar sesuatu yang mungkin dapat dilaksanakan. Suatu sebab yang halal ini mengacu pada Pasal 1337 KUHPerdata, artinya isi perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum.

Bila suatu perjanjian dibuat tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu ataupun terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Itu sebabnya bila syarat akan adanya sebab yang halal ini tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dari uraian keempat syarat sahnya perjanjian di atas, harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void.

Dalam hal suatu syarat subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak yang mentaatinya.


(40)

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian

Syarat-syarat objektif sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang terdahulu merupakan isi perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Masing-masing pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua, dan sebaliknya hak pihak pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya dikatakan bahwa intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri.

Menurut pasal 1234 KUH Perdata, prestasi yang dijanjikan itu adalah:

a) Untuk memberi sesuatu (to geven)

b) Untuk berbuat sesuatu ( to doen)

c) Untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen)

Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, prestasi berupa memberikan sesuatu (to geven) maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) sesuatu/benda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban. Prestasi tidak hanya memberikan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada pihak lain, tetapi prestasi memberikan hak sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak.

Sebagaimana telah dinyatakan kalau satu pihak memberikan sesuatu (kewajibannya) maka pihak yang lain menerima (hak) demikian sebaliknya pihak yang sudah memenuhi kewajibannya tersebut akan memperoleh haknya dan melakukan kewajibannya. Dengan demikian perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajibannya yang timbal balik.


(41)

Di sinilah letak keseimbangan dari suatu perjanjian itu karena sudah menjadi tabiat manusia untuk hidup saling tergantung. Tidak ada manusia yang rela hidup hanya melaksanakan kewajiban tetapi tidak pernah menerima hak. Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara sah itu menjadi tolak ukur hubungan mereka dalam pelaksanaan hak dan kewajiban di mana apa yang mereka sepakati bersama berlaku sebagai undang-undang baginya dan perjanjian atau kesepakatan itu mengikat para pihak tidak hanya untuk hal-hal yang dituliskan atau dinyatakan dengan tegas tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Dengan demikian, Pasal 1339 KUHPerdata ini memungkinkan munculnya hak dan kewajiban bagi para pihak di luar yang disetujui tetapi dianggap sebagai hak maupun kewajiban berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang ada. Ini membuka peluang bagi hakim untuk menimbang dan memutuskan apakah suatu perjanjian itu sesuai dengan kepatutan maupun kebiasaan yang hidup di masyarakat serta dengan undang-undang yang ada.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa adanya hak dan kewajiban para pihak merupakan akibat hukum dari perbuatan mengadakan perjanjian. Dan membatalkan hak dan kewajiban berarti membatalkan perjanjian dan itu harus dengan kesepakatan para pihak (Pasal 1339 KUHPerdata).

4. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas

yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: a) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract);


(42)

c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda); d) Asas itikad baik (good faith); dan

e) Asas kepribadian (personality).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud: a) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.17

Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.

18

17

R. Subekti 1, Op.Cit, hlm. 13 18

Ibid.

Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak

(contractvrijheid).

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi:

“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.


(43)

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1) membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta 4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.19

19

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 9

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible

hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah

sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas


(44)

kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de

homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.

b) Asas konsensualisme (concensualism)

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.


(45)

”Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.20

c) Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

20

A. Qirom Syamsudin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 20


(46)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.

Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam


(47)

perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

d) Asas itikad baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi:

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik di sini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. Sedangkn itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.21

”Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.

Kemudian menurut Munir Fuady:

22

Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang

21

Ibid, hlm. 19

22

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 81


(48)

teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus-kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.23

23

Salim HS, Op.Cit, hlm. 11

Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada

pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya. Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini dengan memformulasikan:


(49)

“Mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.” Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warga negara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warga negara Belanda pada tahun 1924. Dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut. Namun, Pasal 1757 KUHPerdata menyatakan:

“Jika saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.”

Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu

mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu. Menurut hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat menambah.


(50)

Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asas itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. Apabila orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang di atas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang. Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 di mana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi. Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.

e) Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan:

“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”


(51)

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi:

“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:

“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.

Di samping kelima asas yang telah diuraikan di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17–19 Desember 1985 telah


(52)

berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:

a) Asas kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

b) Asas persamaan hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

c) Asas keseimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

d) Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

e) Asas moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam

zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela

(moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

f) Asas kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

g) Asas kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

h) Asas perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.24

24

Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1985


(53)

Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

5. Jenis-Jenis Perjanjian

a) Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian-perjanjian yang menimbulkan

perikatan. Jenis-jenis perjanjian obligatoir di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Perjanjian sepihak dan timbal balik (1313 KUHPerdata)

Hendaknya diperhatikan bahwa setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli. Perjanjian sepihak adalah perjanjian di mana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

2) Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain, misalnya perjanjian jual-beli. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah persetujuan di mana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lain secara cuma-cuma.

3) Perjanjian konsensual, rill dan formil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat. Perjanjian rill adalah persetujuan di mana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang. Misalnya, penitipan barang, pinjam pakai dan


(54)

pinjam mengganti. Adakalanya kata sepakat harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil, misalnya hibah.

4) Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran

Perjanjian-perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang oleh undang-undang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yaitu pada Bab V sampai dengan Bab XVIII ditambah Titel VII a dan dalam KUHDagang perjanjian-perjanjian Asuransi dan Pengangkutan. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Misalnya perjanjian sewa beli.

Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan pada Bab I, II, dan IV Buku III KUHPerdata. Tidak selalu dengan pasti kita dapat mengatakan apakah suatu perjanjian tersebut merupakan perjanjian bernama atau tidak bernama. Karena ada perjanjian-perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai perjanjian-perjanjian yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama. Perjanjian seperti ini disebut dengan perjanjian campuran. Hanya dalam satu hal undang-undang memberikan pemecahannya, yaitu yang disebutkan dalam Pasal 1601 c KUHPerdata.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut maka dapat dikemukakan tiga teori:

1) Teori absorptie

Menurut teori ini diterapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan daripada perjanjian yang dalam perjanjian campuran tersebut paling menonjol.

2) Teori combinatie

Menurut teori ini perjanjian dibagi-bagi dan kemudian atas masing-masing bagian tersebut diterapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk bagian-bagian tersebut.


(1)

diadakan dalam waktu 2 (dua) tahun, dan hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun kedepan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

Perjanjian kerja antara Petugas Administrasi dengan BRI adalah perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja antara BRI dengan Pekerja ini berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun. Jangka waktu perjanjian kerja ini dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu perpanjangan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan berdasarkan kesepakatan bersama dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diberlakukan BRI.

Kinerja pekerja akan dievaluasi oleh perusahaan. Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan, apakah perjanjian kerja ini dapat diperpanjang. Dan apabila kinerja pekerja kontrak dianggap sangat baik, maka pekerja kontrak dapat diangkat menjadi pekerja tetap pada PT. Bank Rakyat Indonesia.

Sesuai dengan klausul yang terdapat dalam surat perjanjian kerja antara Petugasa Administrasi dengan BRI, perjanjian kerja antara para pihak berakhir apabila:

a. Jangka waktu perjanjian kerja atau perpanjangan perjanjian kerja berakhir; b. Pekerja meninggal dunia;

c. Pekerja dinilai tidak cakap atau tidak mampu atau pekerja secara langsung maupun tidak langsung melanggar atau tidak memenuhi ketentuan


(3)

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja dan peraturan bagi pekerja yang ditetapkan oleh perusahaan;

d. Disepakati oleh para pihak; e. Diakhiri oleh para pihak;

Secara garis besar ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diberlakukan BRI dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu KUHPerdata dan UU Nomor 13 Tahun 2003. Akan tetapi dalam menentukan kebijakan dalam Perusahaan, ada peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh BRI. Kebijakan tersebut di antaranya berdasarkan Surat Keputusan Bersama Komisaris dan Direksi No. B.03-KOM/BRI/06/03 dan S.36-DIR/SDM/06/03 tanggal 3 Juni 2003 beserta perubahannya Tentang Kode Etik BRI, di mana setiap pekerja harus mentaati isi dari surat keputusan ini.

B. SARAN

Saran-saran yang dapat penulis ajukan berdasarkan permasalahan yang dibahas di atas adalah sebagai berikut:

1. Seiring dengan perkembangan dalam dunia kerja, penggunaan kontrak baku (standart contract) dalam perjanjian kerja lebih sering digunakan. Perjanjian kerja dengan bentuk seperti ini cenderung merugikan pihak pekerja, oleh karena itu hendaknya setiap perusahaan yang bersangkutan dapat memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh pekerja, serta tidak membatasi hak-hak tersebut.

2. Hendaknya setiap pekerja, sebelum menandatangani surat perjanjian kerja dengan perusahaan calon pekerja terlebih dahulu membaca dan memahami isi perjanjian kerja agar tidak ada kesalahpahaman.


(4)

3. Seharusnya hukum posisif Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan untuk penerapan klausul baku dalam hal perjanjian kerja, untuk mencegah maupun melindungi pekerja dari kerugian dalam memperoleh haknya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

A. Qirom Syamsudin M, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.

Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bhakti, Bandung.

Djumialdji, 1977, Perjanjian Kerja Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta. Djumadi, 1995, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja Cetakan Ketiga, Radjawali

Pers, Jakarta.

G. Kartas Poetra,dkk., 1985, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.

Iman Soepomo, 1968, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI Bhayangkara, Jakarta.

Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perjanjian Baku: Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1983, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

M.Yahya Harahap, 1992, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

M.G.Rood, 1989, Hukum Perburuhan (Bahan Penataran). Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Payaman Simanjuntak, 2003, Undang-undang Yang Baru Tentang Ketenagakerjaan, Work In Freedom, Jakarta.

R. Subekti, 1977, Aneka Perjanjian Cetakan Kedua, Alumni, Bandung.

R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian Cetakan keduabelas, PT. Intermasa, Jakarta. R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Salim H.S, 2004, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Sendjum W. Manulang, S.H., 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Cetakan Pertama, Bineka Cipta, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Sri Soedewi Maschun Sofwan,1982, Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan Cetakan Pertama, Liberty, Yokyakarta.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta.

Tim Naskah Akademis BPHN, 1985, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

Wiwoho Soedjono, 1987, Hukum Perjanjian Kerja Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta.


(6)

B. Internet/Website

Maret 2010

Diakses

tanggal 28 Febuari 2010.

C. Surat Keputusan dan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan SK No. S.44-DIR/9/1983 Tanggal 1 Oktober 1983

SK NOKEP: S-16/DIR/SSS/SDM/04/99 Tanggal 26 April 1999

SK No. S.72-CEO/SSS/SDM/8/1998, Tanggal 18 Agustus 1988 SK No. B.636 DIR/SDM/11/2009 Tanggal 2 November 2009 Tentang Pemenuhan Formasi

Jabatan Petugas Administrasi.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pengadaan Jenis Ikan Nilai Ekonomi Tinggi Antara Dinas Pertanian Kota Tebing Tinggi Dengan CV. Avansa

0 51 113

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Atas Kejadian Meninggalnya Debitur (Studi pada PT. Bank Panin,Tbk Cabang Pembantu Tebing Tinggi

1 100 90

“Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara PT. Bank Central Asia, Tbk dengan PT. Dana Purna Investama (Studi Penelitian pada PT. Bank Central Asia, Tbk Kanwil V Medan)

4 73 109

Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Pemberian Likuiditas Pada Bank Umum (Studi Kasus PT. Bank Century, Tbk)

0 69 135

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

1 17 129

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 16

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 61

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Antara Petugas Administrasi (Pekerja Kontrak) Dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Kantor Cabang Tebing Tinggi

0 0 2