Family Biotic Index FBI Kesimpulan Ekosistem Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama yaitu tawar, estuaria dan kelautan.

1 H’ 3 : keanekaragaman sedang H’ 3 : keanekaragaman tinggi Wilhm Dorris, 1986 dalam Dermawan, 2010

e. Indeks EquitabilitasIndeks Keseragaman E E =

max H H dimana : H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maksimum = ln S dimana S banyaknya genus Krebs, 1985

f. Indeks Similaritas IS IS =

100 X b a 2c  Dimana : IS = Indeks Similaritas a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b Michael, 1994

g. Family Biotic Index FBI

Family Biotic Index FBI telah banyak digunakan untuk mengindikasikan tingkat pencemaran organik di perairan, dimana tiap famili makroinvertebrata memiliki skor tertentu yang menunjukkan tingkat toleransi terhadap pencemaran organik. FBI = ∑ Keterangan: 19 Universitas Sumatera Utara xi = jumlah individu yang ditemukan pada tiap famili ti = nilai toleransi dari famili Lampiran 4 n = jumlah organisme yang ditemukan pada satu plot FBI Kualitas Air Keterangan 0 – 3,75 Sangat Baik Excellent Tidak tercemar bahan organik 3,76 – 4,25 Cukup Baik Very Good Sedikit tercemar bahan organik 4,26 – 5 Baik Good Tercemar beberapa bahan organik 5,01 – 5,75 Sedang Fair Tercemar lebih bahan organik 5,76 – 6,50 Agak Jelek Fairly Poor Tercemar cukup banyak 6,51 – 7,25 Jelek Poor Tercemar banyak 7,26 – 10 Sangat Jelek Very Poor Tercemar berat Hillsenhoff et al., 1988 dalam William et al., 2002

h. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman makrozoobentos. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 20.00. Nilai Korelasi : Keterangan 0,00-0,199 : Sangat rendah 0,20-0,399 : Rendah 0,40-0,599 : Sedang 0,60-0,799 : Kuat 0,80-1,00 : Sangat kuat BAB 4 Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi Makrozoobentos Makrozoobentos yang didapatkan pada penelitian ini diklasifikasikan kedalam tiga filum, lima kelas, delapan ordo, 13 famili, dan 14 genus yang tersebar pada tiga stasiun penelitian dengan klasifikasi berdasarkan tingkat hirarkinya seperti terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Klasifikasi Makrozoobentos Yang Didapatkan di Hilir Sungai Bah Tongguran Filum Kelas Ordo Famili Genus Stasiun I II III Molluska 1. Bivalvia 1. Veneroide 1. Sphaeriidae 2. Corbiculidae 1. Pisidium 2. Corbicula - - - - + + 2. Unionoida 3. Unionidae 3. Anodonta - - + 2. Gastropoda 3. Mesogastropoda 4. Planorbidae 4. Gyraulus - - + 5. Viviparidae 5. Vivivarus - - + 6. Thiaridae 6. Melanoides + + + 7. Thiara + + + Arthropoda 3. Crustacea 4. Decapoda 7. Cambaridae 8. Palaemonoidea 8. Procambarus 9. Macrobrachium + + + + + + 4. Insecta 5. Coleoptera 9. Hydrophiloidea 10. Hydrovhillus + + - 6. Hemiptera 10. Gerridae 11. Gerris + + + 7. Odonata 11. Coenagrionidae 12. Ischnura + + - 12. Gomphidae 13. Hagenius + + - Annelida 5. Oligochaeta 8. Ophistopora 13. Megascolidae 14. Pheretima - + - Total 8 9 10 Keterangan : + = Ada - = Tidak ada Universitas Sumatera Utara Tabel. 4.1 dapat dilihat bahwa filum Moluska merupakan makrozoobentos yang terbanyak didapatkan di Hilir Sungai Bah Tongguran, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, yang terdiri dari dua kelas, tiga ordo, enam famili, dan tujuh genus. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan seperti substrat dasar perairan serta suhu yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah di daerah ini sesuai untuk mendukung kehidupannya. Setiap tepi stasiun tempat dilakukan penelitian memiliki karakter substrat yaitu berlumpur, pasir dan liat, sedangkan kerikil hanya didapati dibagian lebih kebagian tengah sungai saja. Odum 1993 menjelaskan bahwa karakter dasar suatu perairan yang sangat menentukan penyebaran makrozoobentos adalah substrat dasar perairan seperti lumpur, pasir, liat, berkerikil, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi makrozoobentos. Kelas Bivalvia dan Gastropoda sangat mendominasi pada stasiun III, diantaranya adalah genus Pisidium, Corbicula, dan Anodonta, Gyraulus dan Vivivarus, hal ini disebabkan karena daerah bendungan ini memiliki tekstur substrat jenis pasir berlempung yang tersusun atas pasir, debu dan liat sehingga bersifat lunak. Daerah ini juga didukung oleh ketersediaan nutrisi yang cukup karena merupakan daerah penampungan sisa zat-zat organik dari masyarakat dan pertanian yang mengandung unsur-unsur hara yang secara langsung dapat dicerna oleh makrozoobentos tersebut. Pada umumnya Bivalvia adalah pemakan deposit dan secara khusus dapat beradaptasi sebagai pemakan suspensi namun tidak dapat menyaring air dengan baik pada tingkat padatan tersuspensi yang tinggi. Akibatnya walaupun Bivalvia bersifat pemakan deposit tetapi cenderung untuk menghindari wilayah yang bersubstrat halus karena di wilayah ini terjadi proses pelarutan pada partikel Broom, 1988 dalam Hery, 1998. Genus Pisidium, Corbicula, dan Anodonta, Gyraulus dan Vivivarus tidak ditemukan di stasiun I dan stasiun II karena kedua daerah ini tidak mendukung untuk kehidupan makrozoobentos tersebut. Daerah pertemuan sungai dan daerah perkebunan kelapa sawit ini memiliki luas kurang lebih tiga kali dari daerah bendungan, lebih dalam serta memiliki arus yang deras, sehinggga sangat sulit untuk kelima spesies tersebut dapat melekat pada substrat dan akhirnya akan terbawa kedaerah akhir yaitu bendungan. 21 Universitas Sumatera Utara Filum Arthropoda yang didapat pada setiap stasiun penelitian adalah dari kelas Crustacea dan kelas Insekta. Menurut Pennak 1989, Arthropoda menyukai daerah yang berbatu dan berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air yang tinggi serta pH air yang normal. Pada setiap stasiun yaitu bagian pinggir sungai terdapat substrat berlumpur dengan adanya beberapa jenis tumbuhan menjalar seperti rerumputan yang dapat digunakan oleh hewan tersebut dalam perlindungan dirinya. Umumnya kelompok Crustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya, yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur. Crustacea adalah kelas organisme di bawah filum Arthropoda, yaitu meliputi kepiting, lobster, teritip dan udang. Kelas Crustacea banyak ditemukan di perairan yang payau hingga laut dan membenamkan dirinya di dalam substrat yang mengandung lumpur untuk melindungi diri. Sedangkan kelas Insecta yang didapat adalah dalam bentuk larva. Filum yang paling sedikit didapatkan adalah filum Annelida dari kelas Oligochaeta yaitu ordo Ophistopora yang hanya ditemukan pada stasiun II yang merupakan daerah perkebunan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena ketinggian sungai langsung berhubungan dengan tanah dari daerah pinggiran perkebunan kelapa sawit yang banyak terdapat jenis cacing penggembur tanah yang kemungkinan besar bergabung dengan daerah sungai, sehingga saat pengambilan sampel di daerah pinggiran sungai didapatkan genus Pheretima tersebut. Stasiun II memiliki jenis substrat pasir berlempung, yaitu endapan halus yang sangat mendukung kehidupan Oligochaeta dan secara tidak langsung, sisa-sisa pupuk organik akan jatuh ke badan sungai yang dapat menjadi sumber nutrisi bagi genus ini. Oligochaeta tidak ditemukan pada stasiun I dan III, karena Olygochaeta biasa hidup di lumpur yang mengandung oksigen rendah. 4.1.1 Nilai Kepadatan Populasi K, Kepadatan Relatif KR dan Frekuensi Kehadiran FK Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Penelitian Berdasarkan jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, diperoleh nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran seperti tertera pada Tabel 4.2. 22 Universitas Sumatera Utara Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi K, Kepadatan Relatif KR dan Frekuensi Kehadiran FK pada setiap stasiun penelitian Genus Stasiun I Stasiun II Stasiun III K indm 2 KR FK K indm 2 KR FK K indm 2 KR FK

A. Filum Mollusca

1. Pisidium - - - - - - 15,55 5,46 80 2. Corbicula - - - - - - 22,22 7,81 80 3. Anodonta - - - - - - 82,22 28,9 100 4. Gyraulus - - - - - - 6,66 2,34 60 5. Vivivarus - - - - - - 21,11 7,42 80 6. Melanoides 4,44 3,88 40 8,88 7,33 60 21,11 7,42 90 7. Thiara 11,11 9,7 70 6,66 5,5 50 22,22 7,81 80 Jumlah 15.55 13,58 15,54 12,83 191,09 67,16 B. Filum Arthropoda 1. Procambarus 16,66 14,56 80 16,66 13,76 80 21,11 7,42 80 2. Macrobrachium 62,22 54,37 100 58,89 48,64 100 71,11 25 100 3. Hydrovhillus 3,33 2,91 30 4,44 3,66 40 - - - 4. Gerris 10 8,73 70 4,44 3,66 40 1,11 0,39 10 5. Ischnura 3,33 2,91 30 3,33 2,75 30 - - - 6. Hagenius 3,33 2,91 30 7,77 6,41 50 - - - Jumlah 98,87 86,39 95,53 78,88 93,33 32,81 C. Filum Annelida 1. Pheretima - - - 10 8,25 60 - - - Jumlah 10 8,25 TOTAL 114,42 99,97 121,07 99,96 284,42 99,97 Tabel 4.2 menunjukkan bahwa filum yang memiliki jumlah nilai Kepadatan Populasi K tertinggi adalah filum Moluska pada stasiun III dengan nilai 191,09 indm 2 dan jumlah nilai Kepadatan Relatif KR sebesar 67,16 . Terdapat filum Arthopoda pada stasiun I dengan jumlah nilai K sebesar 98,87 indm 2 , jumlah KR sebesar 86,39 , pada stasiun II dengan jumlah nilai K sebesar 95,53 indm 2 , jumlah nilai KR sebesar 78,88, dan pada stasiun III dengan jumlah nilai K sebesar 93,33 indm 2 dan jumlah nilai KR sebesar 32,81 . Sedangkan filum Annelida adalah filum dengan jumlah nilai K terendah dan hanya terdapat di stasiun II yaitu sebesar 10 indm 2 dan jumlah nilai KR sebesar 8,25 . Krebs 1978 menjelaskan, penyebaran dari lingkungan ditentukan oleh adanya sifat individu itu sendiri intrinsik, yaitu sifat genetika dan kesenangan memilih habitat, serta adanya pengaruh dari luar ekstrinsik yaitu interaksi antara hewan makrobentos dengan lingkungannya. Pada stasiun I, makrozoobentos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Universitas Sumatera Utara Macrobrachium dengan nilai K sebesar 62,22 indm 2 , nilai KR sebesar 54,37 , dan nilai FK sebesar 100 . Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran Macrobrachium dikarenakan faktor lingkungan hidup yang sangat mendukung pertumbuhannya, seperti substrat dengan kandungan organik yang cukup tinggi sebesar 0,79 dan kelarutan oksigen terlarut dalam air yang cukup tinggi yaitu 6,9 mgl lihat Tabel 4.6. Menurut Pennak 1978, kondisi perairan dengan substrat dasar perairan berpasir dan berbatu, kandungan oksigen dalam air yang cukup tinggi serta pH air yang normal sangat cocok bagi kehidupan Macrobrachium. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran makrozoobentos terendah ditemukan pada genus Hagenius, Hydrovhillus, dan Ischnura dengan nilai K sebesar 3,33 indm 2 , nilai KR sebesar 2,91 , dan nilai FK sebesar 30 . Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ini dikarenakan genus-genus tersebut merupakan kelas Insekta, yaitu makrozoobentos yang dalam perairan lebih sering didapati dalam bentuk larva, yang setelah dewasa akan kembali ke darat dan kembali ke air lagi untuk meletakkan telurnya. Telur dari kelas Insekta ini akan tumbuh dan berkembang menjadi makrozoobentos dalam bentuk larva jika kondisi lingkungannya cocok dan mampu memenuhi nutrisinya. Pada stasiun II, makrozoobentos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Macrobrachium dengan nilai K sebesar 58,89 indm 2 , nilai KR sebesar 48,64 , dan nilai FK sebesar 100 . Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran Macrobrachium disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti substrat pada daerah pinggir sungai yang berpasir dan berlumpur yang mengandung banyak partikel makanan dan banyaknya rerumputan sebagai tempat bersembunyi dan berlindung dari arus air yang cukup kuat sehingga tidak terbawa oleh arus serta pH air yang normal sehingga tidak mengganggu aktivitas metabolisme dari genus ini. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran makrozoobentos terendah ditemukan pada genus Ischnura dengan nilai K sebesar 3,33 indm 2 , nilai KR sebesar 2,75 , dan nilai FK sebesar 30 . Menurut Wardoyo 1975 dalam Ruswahyuni 2010, kesulitan 24 Universitas Sumatera Utara untuk beradaptasi dengan kondisi dan faktor fisik-kimia perairan akan mempengaruhi populasinya. Hal ini dapat dimengerti karena pada hakekatnya hewan-hewan tersebut mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap lingkungan hidupnya. Terdapat genus Pheretima yang hanya terdapat pada stasiun II yang merupakan daerah perkebunan kelapa sawit, yaitu dengan nilai K sebesar 10 indm 2 , nilai KR sebesar 8,25 dan nilai FK sebesar 60 . Brinkhurst et al., 2002 juga menjelaskan bahwa kebanyakan jenis cacing tidak memilih mencerna partikel organik yang tersusun lebih kasar, pada endapan halus kepadatan cacing mungkin saja tinggi, tetapi banyak spesies lain yang dapat ditemukan di sebagian besar sedimen yang berbeda. Kebanyakan Oligochaeta toleran terhadap pestisida tetapi kurang toleran dengan ion logam berat dan hasil perombakan bakteri berupa asam karena akan mereduksi populasi cacing. Pada stasiun III, makrozoobentos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Anodonta dengan nilai K sebesar 82,22 indm 2 , nilai KR sebesar 28,9 , dan nilai FK tertinggi pada genus Anodonta dan Macrobrachium dengan nilai 100 . Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Gerris dengan nilai K sebesar 1,11 indm 2 , nilai KR sebesar 0,39 , dan nilai FK sebesar 10 . Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran genus Gerris disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut dengan arus yang cukup deras yaitu sebesar 0,62 ms lihat Tabel 4.6. Selain disebabkan karena komposisi Bivalve dan Crustacea di alam yang berbeda, erat juga kaitannya dengan kemampuannya membenamkan diri ke dalam substrat untuk menghindari hempasan arus terutama pada perairan terbuka yang berarus besar. Barnes 1980 menyatakan bahwa jenis Bivalve mampu membenamkan diri pada kedalaman 12 – 25 cm, sedangkan jenis Crustacea mampu membenamkan diri sampai kedalaman 14 cm. Menurut Pennak 1978, genus Vivivarus dapat hidup pada perairan yang memiliki kadar BOD 5 yang rendah dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi. Menurut Hynes 1976, genus Hagenius adalah hewan yang menyukai habitat yang berpasir dan berbatu. Genus Thiara adalah hewan yang menyukai habitat dasar lumpur berpasir. Genus 25 Universitas Sumatera Utara Melanoides menyukai tempat yang berlumpur dengan kandungan bahan organik cukup tinggi. Jenis ini dari kelas gastropoda, dimana kebanyakan bersifat devosit feeders pemakan deposit karena itu biasanya lebih banyak ditemukan pada substrat halus yang mengadung cukup bahan organik. Distribusi dan kelimpahan makrozoobentos tergantung beberapa faktor seperti kualitas dan kuantitas makanan, disamping itu kemampuan organisme tersebut menyesuaikan diri terhadap parameter fisika dan kimia perairan. Sedangkan untuk nilai pH, Sinaga 2009 menyatakan bahwa pH yang ideal bagi kehidupan gastropoda pada umumnya adalah 7 - 8,5. Kondisi perairan yang sangat basa maupun asam akan membahayakan kelangsungan hidup organisme tersebut karena akan menyebabkan gangguan metabolisme. 4.1.2 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E makrozoobentos seperti terlihat pada Tabel 4.3: Tabel 4.3 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Penelitian Indeks Stasiun I II III Keanekaragaman H’ 1,46 1,66 1,89 Keseragaman E 0,7 0,75 0,82 Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman H’ yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian yakni berkisar antara 1,46 – 1,89 yang tergolong kedalam kategori keanekaragaman sedang. Menurut Wilhm Dorris 1986 dalam Dermawan 2010, H’1 = keanekaragaman rendah, 1H’3 = keanekaragaman sedang dan H’3 = keanekaragaman tinggi. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Indeks keanekaragaman H’ tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 1,89. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun III jumlah individu tiap spesies relatif merata dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini diduga karena 26 Universitas Sumatera Utara stasiun III merupakan daerah bendungan yang berada paling hilir, sehingga jenis- jenis makrozoobentos lain terbawa oleh arus dari stasiun I dan stasiun II, dan karena sehari sebelum dilakukan penelitian terjadi hujan yang sangat deras. Dari Tabel. 4.5 dapat dilihat bahwa stasiun III merupakan perairan dengan kualitas air jelek atau tercemar banyak, karena merupakan daerah penampungan berupa limbah domestik dan pertanian. Dari hasil analisis, daerah ini adalah daerah dengan kandungan organik substrat yang paling rendah yaitu 0,08. Meskipun demikian, keanekaragaman di daerah ini cukup tinggi karena dihuni oleh jenis-jenis makrozoobentos yang memiliki nilai toleransi yang tinggi seperti Sphaeriidae, Corbiculidae, Unionidae, Planorbidae, Viviparidae, Thiaridae, Cambaridae, dan Palaemonoidea yang memiliki nilai indeks toleransi berkisar 6-8 lihat Tabel.4.5 yang menunjukkan kemampuan toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan serta didukung oleh tekstur substrat pasir berlempung, yang merupakan daerah yang disukai banyak makrozoobentos, sehingga daerah ini lebih banyak dihuni oleh makrozoobentos. Parson dan Takahashi 1977, mencatat bahwa substrat dasar yang tersusun atas pasir kasar berlumpur umumnya akan dihuni lebih banyak hewan makrozoobentos per unit area dibandingkan dengan dasar perairan yang tersusun atas lempung berpasir. Menurut Soegianto 1994 dalam Handayani 2005, suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas itu terjadi interaksi jenis yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer energi jaring-jaring makanan, predasi, kompetisi dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks. Indeks keanekaragaman H’ yang terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,46 namun masih tergolong kategori keanekaragaman yang sedang. Rendahnya indeks keanekaragaman ini menunjukkan adanya beberapa jenis yang jumlahnya mendominasi pada stasiun ini sedangkan jumlah jenis lainnya sangat 27 Universitas Sumatera Utara rendah bahkan tidak ditemukan keberadaannya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel. 4.1, daerah ini didominasi oleh filum Arthtropoda, dimana genus Macrobrachium dengan jumlah yang sangat mendominasi dibandingkan dengan jumlah Procambarus, Hydrovhillus, Gerris, Ischnura, dan Hagenius. Hal ini diduga karena pada stasiun I terdapat banyak rerumputan pada daerah substrat berlumpurnya yang menjadi tempat berlindungnya larva-larva dari genus tersebut dan kebiasaannya untuk membenamkan diri pada substrat berlumpur untuk bertahan hidup. Sedangkan genus Pisidium, Corbicula, dan Anodonta, Gyraulus dan Vivivarus dari filum Molluska dan genus Pheretima dari filum Annelida tidak ditemukan pada stasiun ini. Indeks keanekaragaman yang rendah ini juga dipengaruhi oleh kuat arus yang sangat deras di stasiun tersebut dibanding dengan stasiun lainnya yaitu 0,76 mdet lihat Tabel 4.6. Berdasarkan indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozobentos pada setiap stasiun penelitian tergolong sedang karena ketidakmerataannya disebabkan oleh beberapa jenis makrozoobentos yang jumlahnya mendominasi pada satu stasiun, tidak hanya satu atau dua jenis yang jumlahnya mendominasi sehingga tergolong dalam kategori keanekaragaman yang sedang. Namun menurut Odum 1994, keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, dan bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah. Menurut Legendre dan legendre 1983, jika keanekaragaman H’ sama dengan nol maka komunitas akan terdiri atas spesies tunggal. Nilai keanekaragaman H’ akan mendekati maksimum jika semua spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan pola penyebaran pada masing-masing spesies. Indeks Keseragaman E yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,7 - 0,82. Indeks Equibilitas yang tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 0,82 dan terendah pada stasiun I sebesar 0,7. Tingginya nilai keseragaman sangat dipengaruhi oleh banyaknya makanan dan persebarannya yang kurang merata sehingga menyebabkan terjadinya pengelompokkan makrozoobentos yang sejenis. Indeks Keseragaman E dari setiap stasiun dikatakan mendekati seragam 28 Universitas Sumatera Utara karena memiliki nilai keseragaman yang mendekati 1. Menurut Krebs 1985, Indeks Keseragaman E berkisar antar 0 – 1. Jika indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena adanya jenis yang mendominasi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat seragam atau merata. 4.1.3 Indeks Similaritas IS Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Penelitian di Hilir Sungai Bah Tongguran Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan Indeks Similaritas IS makrozoobentos seperti terlihat pada Tabel 4.4 di bawah ini : Tabel 4.4 Indeks Similaritas IS Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Penelitian Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun I - 94,11 55,55 Stasiun II - 52,63 Stasiun III - Pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa Indeks Similaritas makrozoobentos antar stasiun penelitian yang tertinggi yaitu antara stasiun I dan stasiun II sebesar 94,11 , sedangkan yang terendah didapat antar stasiun II dan stasiun III sebesar 52,63. Tingkat kemiripan yang didapat disebabkan faktor-faktor lingkungan antar beberapa stasiun hampir sama dan merata, dimana stasiun I dan II memiliki besar nilai yang hamper sama seperti suhu, intensitas cahaya, pH air, kecepatan arus, DO dan kejenuhan oksigen dan kedua stasiun ini dikelilingi oleh pepohonan serta sama-sama luas. Kemiripan faktor-faktor inilah yang mungkin menyebabkan kemiripan pula genus-genus yang terdapat pada kedua stasiun, dimana keduanya didominasi oleh filum Arthropoda yaitu genus Procambarus, Macrobrachium Hydrovhillus, Gerris, Ischnura, dan Hagenius serta filum Molluska dengan hanya dua genus yaitu genus Melanoides dan Thiara. Menurut Moss 1980, Jika beberapa lokasi memiliki faktor-faktor lingkungan yang hampir sama, maka akan terdapat persamaan taksa antar lokasi- Universitas Sumatera Utara lokasi tersebut. Semakin kecil jarak euklidien antara 2 stasiun maka semakin mirip sifat fisika, kimia dan sedimen pada stasiun tersebut. Sebaliknya ketidakmiripan jenis makrozoobentos antar stasiun diduga karena faktor-faktor lingkungan yang tidak sama. Stasiun II dan III memiliki perbedaan nilai yang cukup tinggi yaitu pada faktor intensitas cahaya, DO, BOD, kejenuhan oksigen dan kandungan organik substrat sehingga genus-genus pada kedua stasiun inipun besar perbedaannya, dimana Genus Pisidium, Corbicula, Anodonta, Gyraulus dan Vivivarus tidak ditemukan di stasiun II tapi hanya ditemukan distasiun III, begitu juga dengan genus Ischnura dan Hagenius yang tidak terdapat pada stasiun III tapi terdapat pada stasiun II. 4.1.4 Indeks Biotik Famili FBI Makrozoobentos Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan Indeks Biotik Famili FIB Makrozoobentos seperti terlihat pada Tabel 4.5 di bawah ini : Tabel 4.5 Indeks Biotik Famili FBI Makrozoobentos Pada Setiap Stasiun Penelitian No Famili Indeks Toleransi ti Stasiun I II III 1. Sphaeriidae 6 - - 20 2. Corbiculidae 6 - - 14 3. Unionidae 8 - - 74 4. Planorbidae 7 - - 6 5. Viviparidae 6 - - 19 6. Thiaridae 6 14 14 39 7. Cambaridae 6 15 15 19 8. Palaemonoidea 6 56 53 64 9. Hydrophiloidea 5 3 4 - 10. Gerridae 5 9 1 1 11. Coenagrionidae 9 3 3 - 12. Gomphidae 1 3 7 - 13. Megascolidae 8 - 9 - Total Spesies N 103 109 237 ∑ xi.ti 600 638 1689 Indeks Biotik Famili FBI 5,82 5,85 7,12 30 Universitas Sumatera Utara Tabel 4.5 menunjukkan bahwa indeks biotik famili pada stasiun I sebesar 5,82 dan stasiun II sebesar 5,85 menunjukkan bahwa kualitas air agak jelek karena sudah tercemar cukup berat. Indeks biotik famili yang paling tinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 7,12 yang menyatakan bahwa kualitas air di stasiun ini jelek karena sudah tercemar banyak. Namun berdasarkan nilai faktor fisik-kimia yang didapat, setiap stasiun penelitian dapat dikatakan memiliki faktor fisik-kimia yang cukup baik yang seharusnya juga menunjukkan kualitas air yang baik. Perbedaan hasil antara faktor fisik-kimia yang menunjukkan keadaan kualitas air yang baik, dengan hasil indeks biotik famili yang menunjukkan keadaan kualitas air yang buruk dan tercemar, kemungkinan besar disebabkan karena situasi saat penelitian. Dimana pada waktu dilakukan penelitian adalah saat musim hujan, bahkan saat malam sebelum penelitian hujan sangat deras yang menyebabkan keadaan air saat itu kurang baik dan dalam keadaan keruh. Hal ini juga memungkinkan jenis-jenis makrozoobentos dari hulu yang memiliki nilai toleran yang tinggi terbawa kehilir, sehingga saat dilakukan pengambilan sampel, jenis-jenis makrozoobenthos yang bernilai toleransi yang tinggilah yang didapat, yang keberadaannya menunjukkan rendahnya kualitas perairan disetiap stasiun penelitian ini. Berdasarkan Hilsenhoff 1988 dalam Bounchard 2004, famili-famili makrozoobentos yang terdapat pada stasiun III memiliki kemampuan toleransi yang tinggi terhadap pencemaran atau perubahan kondisi lingkungan. Sedangkan famili-famili makrozoobentos pada stasiun I dan II memiliki kemampuan toleransi yang sedang, karena nilai indeks biotik famili 0-3 menunjukkan bahwa kemampuan toleransi rendah atau sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan, nilai indeks biotik famili 4-6 menunjukkan bahwa kemampuan toleransi sedang, dan nilai indeks biotik famili 7-10 menunjukkan bahwa kemampuan toleransi tinggi atau tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan. 31 Universitas Sumatera Utara 4.2 Parameter Fisik-Kimia Perairan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rata-rata nilai faktor fisik- kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel. 4.6 berikut: Tabel 4.6 Rata-rata Faktor Fisik-Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian No Parameter Satuan Stasiun 1 2 3 1 Temperatur Air o C 26 27 27 2 Intensitas Cahaya Candela 575 463 724 3 Penetrasi Cahaya Cm 15 25 20 4 pH Air - 7,2 6,4 6,8 5 Kecepatan Arus mdet 0,76 0,52 0,62 6 DO mgL 6,9 6,6 7,2 7 BOD 5 mgL 2,5 3,1 2,3 8 Kejenuhan Oksigen 87,45 84,5 91,71 9 Kandungan Organik Substrat 0,79 0,19 0,08 Keterangan: Stasiun I : Daerah Pertemuan Sungai Stasiun II : Daerah Perkebunan Kelapa Sawit PTPN 4 Stasiun III : Daerah Bendungan Berdasarkan Tabel. 4.6 dapat dilihat bahwa temperatur air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 26-27 o C. Perbedaan temperatur pada setiap stasiun tidak terlalu jauh. Temperatur air tertinggi terdapat pada stasiun II dan stasiun III yaitu sebesar 27 o C dan temperatur terendah terdapat pada stasiun I sebesar 26 o C. Perbedaan temperatur ini dikarenakan kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, jumlah pepohonan pada stasiun I lebih banyak dan juga merupakan daerah pertemuan sungai, serta aktivitas masyarakat yang berbeda-beda pada setiap stasiun. Berdasarkan hasil analisis, korelasi antara temperatur air dengan keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun berkorelasi kuat, sehingga setiap terjadi kenaikan suhu maka nilai keanekaragaman juga akan meningkat. Menurut Meijering 1990, pola temperatur ekosistem perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari serta pertukaran panas antara air dan udara disekelilingnya dan aktivitas manusia. Menurut Hutabarat dan Evans 1985 siklus temperatur untuk kehidupan organisme perairan berkisar 26 o C–31 o C, sedangkan suhu lethal mematikan untuk kehidupan makrozoobentos adalah 32 Universitas Sumatera Utara 35°C-40°C. Pada kisaran suhu tersebut makrozoobentos telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian. Penetrasi cahaya yang secara langsung masuk ke perairan dengan kondisi sungai dangkal akan menyebabkan tingginya suhu, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi 2003, bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas sehingga mempengaruhi suhu. Intensitas cahaya pada ketiga stasiun penelitian memiliki perbedaan nilai yang sangat tinggi. Intensitas cahaya paling tinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 724 Candela dan intensitas cahaya paling rendah terdapat pada stasiun II sebesar 463 Candela. Perbedaan intensitas cahaya pada masing-masing stasiun mungkin disebabkan oleh perbedaan kedalaman air, luas sungai, kekeruhan air, serta vegetasi yang ada disekitar sungai tersebut. Stasiun III merupakan daerah bendungan yang berada di daerah pertanian, sehingga tidak banyak didapati vegetasi pepohonan tinggi yang kemungkinan dapat menghalangi cahaya masuk langsung ke air. Effendi 2003 menjelaskan, bahwa intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Menurut Barus 2004, intensitas cahaya bagi organisme air berfungsi sebagai alat orientasi yang mendukung kehidupan organisme dalam perairan tersebut. Penetrasi cahaya paling tinggi terdapat pada stasiun II yaitu 25 cm dan terendah pada stasiun I yaitu sebesar 15 cm. Sastrawijaya 1991 menjelaskan, cahaya matahari tidak dapat langsung menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera. Pengaruh utama dari kekeruhan air adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga yang dapat menurunkan aktivitas perairan Koesbiono, 1979. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pH air dari ketiga stasiun sangat berbeda yaitu berkisar antara 6,4-7,2. pH tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 7,2 sedangkan pH terendah pada stasiun II yaitu sebesar 6,4. Derajat 33 Universitas Sumatera Utara keasaman pH sangat penting mendukung kelangsungan hidup organisme akuatik karena pH dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan tersedianya unsur hara serta toksisitas unsur renik. Sutrisno 1987 dalam Magfirah et al., 2014 menyatakan, pH yang optimal untuk spesies makrozoobentos berkisar 6,0-8,0. Barus 2004 menjelaskan, bahwa kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa, akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik, dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme. Kecepatan arus yang paling tinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,76 ms dan yang terendah pada stasiun II yaitu sebesar 0,52 ms, dan nilai ini termasuk dalam kondisi sungai yang memiliki kecepatan arus yang deras. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mason 1993, bahwa perairan yang mempunyai arus 1 mdet dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, perairan dengan arus 0,5–1 mdet dikategorikan sebagai arus deras, kecepatan arus 0,25–0,5 mdet dikategorikan sebagai arus sedang, kecepatan arus 0,1–0,25 mdtk di kategorikan arus lambat dan kecepatan arus 0,1 mdet dikategorikan arus sangat lambat. Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobentos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan. Berdasarkan hasil analisis yang didapat, korelasi antara kecepatan arus dengan keanekaragaman bernilai sedang dan berkorelasi negatif yaitu sebesar -0,547 lihat Tabel 4.7, dibuktikan dengan rendahnya nilai keanekaragaman pada stasiun I yaitu 1,46 yang memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,76 mdet dan semakin tingginya keanekaragaman pada stasiun III sebesar 1,89 yang memiliki nilai kecepatan arus lebih rendah yaitu sebesar 0,62 mdet. Perbedaan kecepatan arus pada suatu perairan disebabkan oleh keadaan topografi sungai, kedalaman sungai, musim penghujan atau musim kemarau, dan substrat yang terdapat di sungai. Odum 1994 menjelaskan, kecepatan arus di sungai 34 Universitas Sumatera Utara tergantung pada kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman dan lebar sungai. Kecepatan arus juga tergantung pada musim hujan atau kemarau. Semakin tinggi arus maka akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan semakin tinggi arus air maka kandungan CO 2 rendah Asdak, 1995. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 7,2 mgl dan DO terendah terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 6,6 mgl. Nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun penelitian masih dapat ditoleransi oleh makrozoobenthos pada masing-masing stasiun. Hal ini sesuai dengan literatur Hafshah et al. 2012 dalam Magfirah et al. 2014, yang menyatakan bahwa nilai rata-rata DO berkisar antara 4,40 – 5 mgL masih dalam konsentrasi yang layak untuk kehidupan biota perairan. Menurut Barus 2004, sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi dari organisme akuatik adalah berbeda-beda. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka oksigen terlarut dalam air akan menurun. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak lima mgL dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme Sastrawijaya, 1991. Kandungan gas oksigen terurai dalam air mempunyai peranan dalam menentukan kelangsungan hidup organisme akuatik dan untuk berlangsungnya proses reaksi kimia yang terjadi di dalam perairan Asdak, 1995. BOD 5 pada ketiga stasiun penelitian adalah berbeda, dimana nilai BOD 5 tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 3,1 mgL dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 2,3 mgL. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah dan jenis bahan organik pada setiap stasiun serta sedikitnya kandungan oksigen karena oksigen dalam air tersebut telah dipakai oleh mikroorganisme pengurai dalam proses penguraian bahan organik dan mengakibatkan meningkatnya BOD 5 . Menurut Brower et al 1990, nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi oksigen selama lima hari berkisar sampai lima mgL oksigen. Sedangkan apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mgL oksigen maka akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi. 35 Universitas Sumatera Utara Kebutuhan oksigen biologi suatu badan air adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh organisme yang terdapat didalamnya untuk bernafas selama lima hari. Kejenuhan oksigen paling tinggi terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 91,71 dan kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 84,5. Menurut Barus 2004, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob. Oleh sebab itu, jika dalam suatu lingkungan perairan jumlah senyawa organik tinggi, maka mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak dan hal ini akan mengakibatkan defisit oksigen bagi lingkungan perairan tersebut. Kandungan organik substrat yang paling tinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,79 dan kandungan organik substrat terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,08. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada setiap stasiun tergolong sangat rendah. Djaenuddin et al 1994 menjelaskan, kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut : 1 = sangat rendah; 1 - 2 = rendah; 2,01 - 3 = sedang; 3 - 5 = tinggi; 5,01 = sangat tinggi. Nilai korelasi antara kandungan organik substrat dengan keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun sangatlah kuat dan berkorelasi negatif yaitu sebesar -0,913, menunjukkan bahwa faktor ini sangatlah berpengaruh besar terhadap nilai keanekaragaman makrozoobentos. Dibuktikan pada stasiun I dengan kandungan organik substrat tertinggi sebesar 0,79 memiliki nilai keanekaragaman terendah yaitu sebesar 1,46 sedangkan stasiun III dengan kandungan organik terendah sebesar 0,08 memiliki nilai keanekaragaman tertinggi yaitu 1,89. Menurut Barnest Mann 1994, substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobentos, yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan bahan organik substrat. Welch 1952 menjelaskan, dengan adanya perbedaan jenis substrat dasar juga menyebabkan perbedaan jenis makrozoobentos yang didapatkan pada masing- 36 Universitas Sumatera Utara masing stasiun penelitian. Kehadiran spesies pada suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substrat juga ikut menentukan kelimpahan dari zoobentos. 4.3 Analisis Korelasi Pearson Versi 20 Nilai analisis korelasi pearson antara indeks keanekaragaman makrozoobentos dengan faktor fisik-kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini: Tabel 4.7 Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan Suhu Inten sitas Penet rasi pH Kec. Arus DO BOD 5 Kej. Oksigen K.O .S H’ 0.845 0.602 0.465 -0.465 -0,547 0,534 -0,279 0,620 -0,913 Keterangan : + = Arah Korelasi Searah - = Arah Korelasi Berlawanan Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara indeks keanekaragaman H’ dengan faktor fisik-kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya. Temperatur air, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, DO, dan kejenuhan oksigen memiliki nilai analisis korelasi yang positif +, yang menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik-kimia sehingga nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula. Sedangkan pH, kecepatan arus, BOD dan kandungan organik substrat memiliki nilai analisis korelasi yang negatif -, yang menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik-kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia perairan maka H’ akan semakin kecil, dan sebaliknya, jika nilai faktor fisik-kimia semakin kecil maka semakin besar nilai H’ atau keanekaragamannya. Sugiono 2005 dalam Rini 2010 menjelaskan bahwa 0,00 – 0,199 = sangat rendah, 0,20 – 0,399 = rendah, 0,40 – 0,599 = sedang, 0,60 – 0,799 = kuat, 0,80 – 1,00 = sangat kuat. Dapat diketahui bahwa temperatur air, kandungan organik substrat berpengaruh sangat kuat, intensitas cahaya dan kejenuhan oksigen memiliki hubungan yang kuat terhadap keanekaragaman 37 Universitas Sumatera Utara makrozoobentos, faktor-faktor inilah yang kuat menjelaskan keanekaragaman makrozoobentos di hilir Sungai Bah Tongguran. Hal ini menunjukkan bahwa sedikit saja faktor-faktor tersebut berubah, maka akan langsung berpengaruh terhadap keanekaragaman pada stasiun tersebut, meskipun terkadang ada yang sedikit menyimpang karena kemungkinan pengaruh situasi saat pengambilan sampel atau saat pengukuran faktor fisik-kimia, misalkan saat musim penghujan atau musim kemarau. Menurut Barus 2004, temperatur suatu perairan akan mempengaruhi jumlah ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan, dimana pada temperatur tinggi akan meningkatkan aktivitas respirasi organisme. Barnes Mann 1994 menjelaskan, masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan organik substrat. Penetrasi cahaya, pH, kecepatan arus, DO, dan BOD 5 memiliki hubungan yang rendah terhadap makrozoobentos. Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi cahaya, pH, kecepatan arus, DO, dan BOD 5 lemah dalam menjelaskan keanekaragaman makrozoobentos di hilir Sungai Bah Tongguran. Jika terjadi perubahan baik kecil maupun sedang dari faktor-faktor ini tidak akan mempengaruhi keanekaragaman pada daerah tersebut, namun jika perubahannya besar maka kemungkinan besar juga akan mempengaruhi keanekaragaman. Sastrawijaya 1991 dalam Rini 2010 menjelaskan, cahaya matahari tidak tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi , akibatnya akan mempengaruhi fotosintesis dalam perairan tersebut. Kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi Barus, 2004. Menurut McNoughton dan Wolf 1990, semakin tinggi kecepatan arus maka akan mengganggu kestabilan substrat dasar sehingga akan mengganggu kestabilan hewan makrobentos yang ada di dalamnya. 38 Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya : a. Makrozoobentos di hilir Sungai Bah Tongguran diklasifikasikan menjadi tiga filum, lima kelas, delapan ordo, 13 famili dan 14 genus. Genus-genus yang diperoleh adalah Pisidium, Corbicula, Anodonta, Gyraulus, Vivivarus, Melanoides, Thiara, Procambarus, Macrobrachium, Hydrovhillus, Gerris, Ischnura, Hagenius, dan Pheretima. b. Indeks keanekaragaman H’ makrozoobentos di hilir Sungai Bah Tongguran diklasifikasikan sedang yaitu 1,46-1,89. c. Temperatur air dan kandungan organik substrat berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman makrozoobentos di hilir Sungai Bah Tongguran. Intensitas cahaya dan kejenuhan oksigen memiliki korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman makrozoobentos.

5.2 Saran

Saran untuk penelitian ini adalah diharapkan peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai studi organisme aquatik dengan titik pengambilan sampel yang lebih bervariasi di Sungai Bah Tongguran Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama yaitu tawar, estuaria dan kelautan.

Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi bila dibandingkan dengan habitat lainnya, namun peranannya sangat penting bagi manusia yaitu sebagai sistem pembuangan serta digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus Michael, 1994 dalam Aulia, 2005. Ekosistem air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kedudukannya yaitu air diam misalnya kolam, danau dan waduk serta air yang mengalir misalnya sungai. Air diam digolongkan sebagai perairan lentik sedangkan air yang mengalir deras disebut perairan lotik Barus, 2004. Besar kecilnya sungai sangat tergantung pada aspek daya dukung sekitarnya seperti debit air dari mata air, bentuk geografis tanah pendukungnya, struktur geologis, sebaran flora dan fauna yang tumbuh di sekitarnya dan bentang alam secara keseluruhan Bapedalda Propinsi Lampung, 2004. Menurut Louhi et al. 2010 dalam Murijal 2012 sungai dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut. 1 Bagian hulu sungai uvstream merupakan daerah mata air dari aliran sungai itu sendiri. Hulu sungai biasanya merupakan daerah dataran tinggi yang rawan akan erosi, substrat berupa pasir bebatuan dan kelompok hewan yang sering ditemui adalah hewan pemakan materi organik kasar Coarse Particulate Organic Matter CPOM seperti melimpahnya kelompok hewan shredders. 2 Sungai bagian tengah middle stream merupakan daerah peralihan antara hulu dan hilir sungai. Sudut kemiringan yang dibentuk di daerah tengah cenderung lebih kecil sehingga kecepatan aliran sungai bila dibandingkan dengan bagian hulu menjadi lebih halus Fine Particulate Organic Matter FPOM digunakan kelompok hewan grazers pada bagian tengah sungai untuk mengkonsumsinya. Universitas Sumatera Utara 3 Hilir sungai downstream merupakan aliran terakhir dari aliran sungai menuju muara hingga laut. Ciri-ciri dari bagian hilir adalah substratnya yang berlumpur serta kedalaman sungainya yang bervariasi dan membentuk alur-alur sungai yang bervariasi. Makanan yang dibawa dari bagian tengah ke bagian hilir masih berupa CPOM. Hewan dengan sifat pengumpul collector sangat melimpah di daerah hilir seperti bivalvia yang mempunyai peran sebagai filter feeder. Ekosistem sungai terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur dan tidak ada satu komponenpun yang dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai keterikatan dengan komponen lain langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain Asdak, 2002 dalam Rosmelina, 2009. Komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisika, kimia, dan biologi dari suatu perairan. Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrobentos. Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrobentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering dipakai sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan Odum, 1993.

2.2 Makrozoobentos Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal pada