prososial. Individu dimotivasi untuk tidak menghindari pembuat kesalahan dan bukan untuk membalas dendam.
Selanjutnya saat melaksanakan pemaafan, ingatan kepada transgresor dan kejahatannya tidak lagi memotivasi mereka
terhadap perilaku tersebut.
Worthington, Sharp, Lerner, dan Sharp 2006 menyatakan bahwa motif dalam hidup individu sering
bersaing dan dapat bertransformasi. Penggantian emosional emotional replacement yaitu penggantian emosi negatif
dengan emosi positif dapat berkontribusi untuk mengubah motif. Emosi positif sering berbaur bersama-sama untuk
membentuk ekspresi positif yang kompleks dan emosi negatif berbaur untuk membentuk ekspresi negatif yang
kompleks pula Damasio, 1999, dalam Worthington, Sharp, Lerner dan Sharp, 2006. Ketika berada pada emosi negatif
yang
meliputi kemarahan,
ketakutan, kebencian,
permusuhan, kepahitan, maka tidak melakukan pemaafan Worthington dan Scherer, 2004. Emosi positif yang
mengarah pada pemaafan telah diidentifikasi sebagai empati, simpati, kasih, cinta romantis, dan cinta altruistik
Worthington dkk., 2001; Wade dan Worthington, 2002 dalam Worthington dan Scherer, 2004. Pengalaman
sejumlah emosi positif diperlukan untuk menetralkan unforgiveness sehingga forgiveness bisa terjadi sebagian saja
atau sepenuhnya. Sesuai pendapat Worthington, Sharp, Lerner, dan Sharp, 2006 menyatakan bahwa ketika
stimulus diberikan setelah suatu transgresi, maka motivasi terpicu untuk hadir dan mungkin bertindak pada basis
kebajikan. Dengan demikian, motif balas dendam diubah dengan motif belas kasihan, kasih, altruisme, konsiliasi, dan
cinta.
Dari teori yang dinyatakan seperti di atas, maka peneliti menggunakan teori McCullough karena individu akan
melakukan pemaafan
jika memiliki
motivasi yang
dipengaruhi oleh emosi.
2.1.3. KomponenDimensi Pemaafan
1 Komponen motivasional berkaitan dengan indikator
berbuat lebih baik seperti keinginan hubungan yang
lebih baik, meninggalkan permusuhan, melanjutkan hubungan, mengesampingkan perbuatan yang tidak
baik, memiliki
keinginan hubungan
positif, melenyapkan perasaan sakit, dan kembali pada
hubungan seperti semula. 2
Komponen prososial berkaitan dengan indikator tidak menghindari
tetap berdekatan,
menganggap pribadinya tetap ada, percaya, dapat bersikap ramah,
dapat menjumpaimenemui,
dan melanjutkan
hubungan, serta tidak membalas dendam seperti tidak memberi ganjaran, tidak mengingini kejadian yang
buruk, mendapatkan yang baik, melakukan yang baik, tidak membalas dengan yang buruk.
3 Komponen emosi positif berkaitan dengan indikator
peduli, persahabatan, perasaan senang, simpati, dan sayang yang sebelumnya emosi negatif berkaitan
dengan indikator menolak, menghindar, kasar, hina, takut, dan cemas.
Dalam penelitian ini akan menggunakan komponen- komponen pemaafan ini yaitu: motivasional, prososial, dan
emosi positif. Pemaafan mempunyai tiga komponen: motivasional,
prososial, dan emosi positif McCullough, Rachal, Sandage, Worthington, Brown Hight, 1998; McCullough, Root
Cohen, 2006; Orathinkal, Vansteenwegen, Enright Stroobant, 2007.
Legaree, dkk., 2007, dalam Hill, 2010 mengusulkan tiga dimensi utama untuk pemaafan yang memiliki relevansi
bagi terapis. 1
Dimensi yang berkaitan dengan apakah pemaafan merupakan hal penting essential.
2 Dimensi yang berkaitan dengan apakah pemaafan
merupakan hal yang diniati intentional. 3
Dimensi yang meneliti keuntungan beneficial saat melakukan pemaafan.
2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan.
Individu yang melakukan pemaafan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Wade dan Worthington 2003
faktor itu adalah: 1.
Religiusitas religiosity. Individu yang mendasarkan tingkah laku hidup sehari-hari segala aspek
hidupnya dalam agama yang diyakininya dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki
tingkat religiusitas yang tinggi dapat melakukan pemaafan. Keyakinan agama dengan pemaafan telah
menunjukkan korelasi dengan indikator kesehatan mental Rye, dkk., 2000; Thoresen, dkk., 1998
dalam van Dyke Elias, 2007.
2. Empati. Empati merupakan faktor utama penentu
pemaafan dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada dalam situasi dan kondisi yang
dialami oleh individu lain serta merasakan gejolak jiwa yang terjadi dalam diri transgresor.
3. Keramahan.
Keramahan artinya
baik hati,
maksudnya individu yang dapat mengerti keadaan individu lain dan memakluminya sehubungan
transgresi. Keramahan memungkinkan pemaafan. Berry, dkk., 2001 dalam Allemand, Irina, Daniel
Fincham, 2007 melaporkan bahwa pemaafan berhubungan positif dengan keramahan.
4. Kemarahan. Kemarahan adalah emosi negatif yang
sering menstimulasi usaha untuk mengurangi tidak memaafkan unforgiveness.
5. Perasaan malu shame-pronenes. Individu sebagai
pelaku kejahatan memiliki perasaan malu atas perbuatan yang dilakukannya telah melukai pihak
lain. Adanya perasaan malu yang dihasilkan transgression menjadi tidak berani bertemu dengan
korban kejahatan maka semakin mempersulit melakukan pemaafan.
6. Kedekatan
hubungan dengan
transgresor. Berhubung pemaafan melibatkan perubahan pada
dorongan negatif menjadi lebih positif terhadap transgresor, maka kedekatan hubungan individu
dengan transgresor akan memengaruhi proses tersebut. Kedekatan hubungan diantara mereka
dapat meningkatkan empati pada kedua pihak. Empati merupakan salah satu faktor utama dalam
proses pemaafan, maka semakin dekat hubungan antar kedua pihak maka semakin tinggi pula empati
diantara mereka. Oleh karena itu, kedekatan hubungan di antara kedua individu dapat memicu
pemaafan. Semakin dekat hubungan, maka semakin memungkinkan individu menjadi lebih mudah
untuk memaafkan transgresor.
7. Kualitas
hubungan interpersonal
sebelum transgresi. Hubungan interpersonal maksudnya
kedekatan antar individu yang tersakiti dengan pelaku. Ciri-ciri hubungan itu seperti kedekatan
closeness, komitmen commitment, dan kepuasan satisfaction. Pasangan yang memiliki kualitas
hubungan seperti ini akan lebih siap untuk memaafkan satu sama lain jika terjadi serangan
interpersonal.
McCullough, Rachal,
Sandage, Worthington, Brown, dan Hight 1998 menyatakan
bahwa hubungan romantis mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena mempunyai sumber daya
yang cukup besar dalam hubungan. Selain itu, mitra dalam
hubungan berkualitas
tinggi mungkin
memiliki orientasi jangka panjang yang mungkin memotivasi untuk mengabaikan rasa sakit dalam
menjaga hubungan.
8. Reaksi transgresor luka yang ditimbulkan oleh
transgresor. Semakin besar luka yang dihasilkan maka semakin sulit pula individu memaafkan
transgresor.
9. Permintaan maaf. Individu akan menunjukkan
pemaafan jika
transgresor meminta
maaf kepadanya. Permintaan maaf menstimulasi emosi
dalam diri korban dan menumbuhkan empati terhadapnya,
sehingga dapat
meningkatkan pemaafan individu terhadap transgresor.
McCullough, dkk., 1998, mengemukakan lima faktor yang memengaruhi kondisi individu yang memaafkan
terhadap transgresi. Faktor-faktor tersebut adalah: 1.
Sosial-kognitif. Pemaafan dapat ditentukan untuk dilakukan melalui afektif empati dan perenungan
rumination tentang
pelanggaran. Pada
saat perenungan, pikiran menjadi terganggu dan tidak
memungkinkan untuk mempertahankan hubungan sehingga
memungkinkan menghindari
dan membalas dendam terhadap transgresor. Semakin
individu merenung kejadian pada saat ia menerima transgresi, maka semakin ia menghindar dari
transgresor dan menuntut untuk membalas dendam terhadapnya. Bila perenungan dalam mengingat
kembali transgresi, dapat menimbulkan stres atau tekanan psikologis antar pribadi Greenberg, 1995
serta Holman Silver, 1996 dalam McCullough, dkk., 1998 maka rumination tidak selamanya akurat
karena seringkali hanya fokus pada membayangkan pikiran transgresor, motif dan reaksi pada saat
transgresi. Yang tepat adalah mempelajari respon individu saat rumination Lawler, dkk., 2003 serta
Witvliet, dkk., 2001 dalam Witvliet, Hinze, Worthington, 2008.
2. Kedekatan hubungan dengan transgresor offense-
related. Pelanggaran yang lebih berat menjadi lebih sulit untuk dimaafkan Darby Schlenker, 1982
serta Weiner, dkk., 1991 dalam McCullough, dkk., 1998. Selain itu, sejauh mana pelaku meminta maaf
dan berusaha memaafkan pelanggaran sehingga menjadi hubungan maaf-memaafkan Girard
Mullet, 1997 serta Ohbuchi, Kameda, Agaric, 1989 dalam McCullough, dkk., 1998. Individu penerima
permintaan maaf dari transgresor memungkinkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan
pemaafan
individu terhadap
transgresor McCullough, Worthington, dan Rachal, 1997.
Empati merupakan salah satu faktor utama dalam proses pemaafan, maka semakin dekat hubungan
antar kedua pihak maka semakin tinggi pula empati diantara mereka. Oleh karena itu, kedekatan
hubungan di antara kedua individu dapat memicu pemaafan. Semakin dekat hubungan, maka semakin
mudah
memungkinkan individu
memaafkan transgresor.
3. Kualitas hubungan. Teori saling ketergantungan
Kelley dan Thibault, 1978 dalam McCullough, dkk., 1998 menyatakan bahwa memaafkan dipahami
sebagai seperangkat
hubungan konstruktif-
motivasional yang berubah, tingkat keintiman atau kedekatan harus berhubungan positif dengan
pemaafan. Pertama, hubungan lebih dekat; kedua, hubungan berkualitas tinggi dengan orientasi jangka
panjang mungkin memotivasi untuk mengabaikan rasa sakit hati; ketiga, pada pasangan hidup dapat
bergabung kembali; keempat, kualitas hubungan memberi orientasi pada hubungan yang bermanfaat.
Beberapa penelitian seperti Nelson, 1993; Rackley, 1993; Rolov dan Janiszewski, 1989 serta Woodman,
1991 dalam McCullough, dkk., 1998 menunjukkan bahwa mitra lebih bersedia melakukan pemaafan
satu dengan yang lain dalam hubungan yang ditandai dengan kepuasan yang tinggi, kedekatan,
dan komitmen.
4. Kepribadian personality. Kepribadian mempenga-
ruhi proses
terwujudnya pemaafan
dengan memfasilitasi gaya hubungan tertentu seperti
menyikapi balas dendam Emmons, 1992 serta Stuckless Goranson, 1992 dalam McCullough,
dkk., 1998, gaya umum menanggapi kemarahan Tangney,
Wagner, Hill-Barlow,
Marschall Gramzow, 1996, dalam McCullough, dkk., 1998,
atau memengaruhi beberapa kognisi dan tingkat religiusitas Heider, 1958 dalam McCullough, dkk.,
1998. Selanjutnya, pemaafan berhubungan negatif dengan extraversion dan neurotisisme Allemand,
Irina, Daniel Fincham, 2007. Ada tiga aspek dari neurotisisme yang berhubungan negatif dengan
pemaafan yaitu kecemasan, emosionalitas, dan ketidakpercayaan Walker Gorsuch, 2002 dalam
Allemand, Irina, Daniel Fincham, 2007.
5. Empati. Empati merupakan faktor utama penentu
pemaafan dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada dalam situasi dan kondisi yang
dialami oleh individu lain serta merasakan gejolak jiwa yang terjadi dalam diri transgresor Mccullough,
Worthington Rachal, 1997. Jadi, individu ini membantu transgresor dalam memahami gejolak
yang terjadi dalam diri transgresor.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan seperti
religiusitas, kedekatan hubungan, kualitas hubungan, kepribadian, dan empati. Juga, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi pemaafan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal sebagai faktor
dari dalam individu dan faktor eksternal sebagai faktor dari luar individu. Faktor internal yang memengaruhi pemaafan
misalnya empati, dan faktor eksternal yang memengaruhi pemaafan antara lain adalah agama, permintaan maaf dan
kualitas hubungan interpersonal.
2.1.5.Tipe Pemaafan
Menurut Worthington dalam Worthington Scherer, 2004; Davis, Hook Worthington, 2008; Worthington, David
Frederick, 2010;
Toussaint Friedman,
2009 membedakan dalam dua tipe forgiveness, yaitu:
1. Pemaafan
keputusan decisional
forgiveness. Decisional forgiveness muncul pada saat korban
membuat pernyataan untuk lebih sedikit berperilaku negatif dan lebih banyak berperilaku positif terhadap
transgresor. Keputusan untuk tidak membalas dendam,
tidak menghindari
transgresor, dan
memperlakukan transgresor sebagai individu yang berharga walaupun mungkin tidak sepenuhnya
melakukan pemaafan secara emosional. Decisional forgiveness sebagai pernyataan niat yang tulus
dimediasi secara
kognitif terhadap
interaksi interpersonal.
2. Pemaafan
emosional emotional
forgiveness. Emotional forgiveness berakar dari satu sub set
emosi negatif dimana individu menggantikan emosi negatif seperti kemarahan, ketakutan, kesakitan dan
kepahitan dengan emosi positif seperti simpati, empati atau cinta. Emotional forgiveness dapat
dilakukan pada saat individu kurang termotivasi untuk melakukan balas dendam, menghindar dari
transgresor, dan individu dapat merasakan kasih, iba, simpati, dan empati kepada transgresor. Maka
memaafkan dapat dilaksanakan.
Individu dapat melakukan pemaafan keputusan dan pemaafan emosi secara beriringan artinya kadangkala tanpa
disadari bahwa pemaafan emosional muncul dengan sendirinya setelah adanya penyesalan. Lalu pemaafan
keputusan
mengikuti setelah
pemaafan emosional.
Demikian juga sebaliknya Worthington dan Scherer, 2004. Maka, dalam diri individu tidak dapat dinyatakan mana
yang lebih awal yang menjadi suatu keharusan yang mesti terjadi tetapi pemaafan keputusan dan pemaafan emosional
tetap terlaksana pada saat melakukan pemaafan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan dapat terjadi dalam individu sebagai keputusan
dan emosional. Fox dan Thomas 2008 menyatakan bahwa pemaafan
dibagi ke dalam dua tipe yaitu: 1.
Tipe spesifik. Tipe ini mengacu kepada pemaafan dalam tindakan pelanggaran khusus saja.
2. Tipe kecenderungan dispositional. Tipe ini mengacu
kepada tindakan
pemaafan terkait
dengan serangkaian mental yang berkaitan dengan waktu
yang panjang dan kesehatan fisik. Brown dan Philips 2005,
dalam Fox
dan Thomas,
2008, merekomendasikan tiga tipe kecenderungan pemaafan
forgiveness dispositional yaitu: a.
Sikap pemaafan
attitudinal forgiveness
maksudnya sikap umum dalam forgiveness.
b. Perilaku
pemaafan behavioral
forgiveness maksudnya ialah kecenderungan untuk pemaafan
dengan pelanggaran yang dilakukan masa lalu. c.
Rencana pemaafan di masa mendatang projective forgiveness maksudnya kemungkinan pemaafan
dilaksanakan sampai pada masa mendatang. Jadi, Fox dan Thomas mengutarakan dua tipe
pemaafan yaitu spesifik dan kecenderungan. Tetapi Brown dan Philips menambahkan tiga tipe di dalam tipe
kecenderungan. Pada tipe kecenderungan tersebut telah berhasil diidentifikasi menjadi konstruk penentu dalam
melaksanakan pemaafan, yaitu menjadi sikap, perilaku dan dapat dilaksanakan untuk waktu seterusnya.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa individu yang melakukan pemaafan berdasarkan pada tipe dan
masing-masing tipe memiliki fungsi tersendiri untuk membentuk individu dalam melakukan pemaafan.
2.2. PERKEMBANGAN HIDUP