Peranan empati terhadap forgiveness

Dalam penelitian ini penulis akan mempergunakan aspek empati yang dikemukakan Davis 1983 yaitu pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik dan distress pribadi. Aspek-aspek empati dari Davis digunakan dengan alasan bahwa aspek-aspek tersebut bisa mencakup keseluruhan aspek siswa.

2.3.3. Peranan empati terhadap forgiveness

Signifikansi empati pada individu dalam konteks psikologi positif untuk melakukan pemaafan dinyatakan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam keadaan psikologis orang lain dan untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain Hurlock, 1988. Keterlibatan empati dalam proses pemaafan berada pada tiga pemikiran berikut McCullough, Worthington Rachal, 1997: 1. Empati dapat membuat orang yang disakiti memahami perasaan bersalah dan tekanan yang atas tindakannya yang menyakiti menjadi tersinggung sehingga hubungan rusak. 2. Empati dapat membuat orang yang disakiti memahami bahwa orang yang telah menyakitinya merasa terisolasi atau kesepian karena hubungan yang telah rusak. 3. Empati dapat membuat orang yang disakiti ingin memperbaiki hubungannya dengan orang yang telah menyakiti dan memahami bahwa orang tersebut juga menginginkan hal yang sama. Empati pada individu dapat mewujudkan pemaafan dengan membayangkan bagaimana orang lain merasa dan membayangkan bagaimana bila mereka sendiri akan merasakannya jika berada pada keadaan yang sama seperti tersebut Batson, Early Salvarini, 1997 dalam Takaku, 2001. Selain itu empati pada komponen afektif menyebabkan seseorang yang mengalami hal yang menyakitkan berganti fokus, dari fokus akan diri sendiri kepada fokus akan diri orang lain sebagai transgresor McCullough dalam Welton, Hill Seybold, 2008. Ketika pemahaman tentang pemaafan tumbuh, pelanggaran mungkin tampak lebih kecil Exline, Baumeister, Zeil, Kraft Witvliet, 2008 dan bahkan mungkin mulai tampak untuk dimaafkan. Pergeseran seperti ini akan membuat pemaafan lebih dimungkinkan. Selain itu pemaafan dapat dilakukan ketika korban mengalami empati setelah adanya permintaan maaf Takaku, 2001. Permintaan maaf dianggap sebagai suatu strategi yang relatif efektif untuk memulihkan hubungan yang rusak setelah didorong oleh emosi bersalah, perasaan malu Gonzales, Pederson, Manning Wetter, 1990; Itoi, Ohbuchi Fukuno, 1996 serta Takaku, Weiner Ohbuchi, 2001 dalam Hareli Eisikovits, 2006. Dalam memunculkan empati, diperlukan kerendahan hati untuk melihat diri sendiri sama dengan transgresor atas dirinya yang keliru dan yang sedang tidak mampu. Hal senada diungkapkan oleh Hill, dkk., dalam Welton, dkk., 2008 bahwa kerendahan hati memainkan peran dalam pemaafan. Davis, Hook, Worhington, Jr., van Tongeren, Gartner, dan Jennings II 2010 dalam penelitiannya yang memakai Relation Humility Scale RHS digunakan untuk menilai sejauh mana individu memiliki ukuran rendah hati sedangkan skor RHS kerendahan hati yang ditemukan berkorelasi positif dengan empati terhadap transgresor, emosi positif terhadap orang tua, dan sifat pemaafan, dan rasa syukur, dan berhubungan negatif untuk emosi negatif terhadap orang tua. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat empati yang lebih tinggi diperlukan sebagai langkah untuk mempermudah melakukan pemaafan Macaskill, Maltby Day, 2002; McCullough, Worthington Rachal, 1997. Literatur penelitian empati dengan pemaafan telah menunjukkan bahwa pemaafan dapat dilaksanakan selain dalam konseling, juga secara klinis yang difasilitasi oleh empati Hill, Hasty Moore, 2011, empati sebagai elemen dalam mewujudkan pemaafan Konstam, Holmes Levine, 2003, dan empati sebagai sikap kepribadian yang terlibat dalam menghambat pemaafan Rangganadhan Todorov, 2010. Dengan demikian, empati memiliki peran yang penting dan sentral yang menunjukkan konsistensi signifikansi dalam memfasilitasikan pemaafan. Hasil penelitian yang dilakukan Hill 2010 pada antar keluarga dan pasangan hidup menemukan bahwa permintaan untuk dimaafkan muncul yang penemuannya melalui empati. Proses pemaafan melalui empati dapat membantu penyembuhan hubungan suami istri, anak dan orang tua, juga teman karib. Bila tidak ada hubungan yang sah maka proses pemaafan dan empati menjadi lebih sulit dan berbelit-belit. 2.4. RELIGIUSITAS 2.4.1. Defisini religiusitas

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Lingkungan kerja fisik sebagai prediktor terhadap produktivitas kerja karyawan Le Bringin Hotel Salatiga T1 802011709 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kepuasan Kerja dan Etos Kerja terhadap Kinerja Guru SMA Kristen di Salatiga

0 0 15