Konsep religiusitas. Aspek Religiusitas

2.4.2. Konsep religiusitas.

Adapun konsep religiusitas adalah pada agama, dimana agama dan religiusitas merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dan saling mendukung Mangunwijaya, dalam Setya, 2009. Agama lebih menunjukkan kepada kelambangan, kebaktian kepada Tuhan atau ”dunia atas” dalam aspek resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang sedikit lebih banyak bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawinya ke dalam pribadi manusia. Oleh karena itu, pada dasarnya religiusitas lebih berada di tingkat atas dan lebih dalam dari agama yang tampak formal dan resmi. Agama sebagai keyakinan menyangkut kehidupan batin seseorang inner life yang berhubungan dengan sistem nilai Jalaluddin, 2010. Agama merupakan salah satu aspek dalam diri manusia yang menjadi bahan acuan dan kendali dalam hidup seseorang. Sebagai kendali hidup, agama tidak cukup hanya diketahui dan dipahami, tetapi dihayati dan dilaksanakan secara teratur dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia mempunyai dorongan naluri untuk meyakini dan melaksanakan aturan atau ajaran-ajaran dari agama yang diyakininya. Naluri inilah yang mendorong manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan religius.

2.4.3. Aspek Religiusitas

Allport dan Ross dalam Gordon, Nikki, Lee, Jennifer, Jennifer, Rebecca Julianne, 2007 menyatakan bahwa religiusitas memiliki dua aspek, yaitu: a. Religiusitas intrinsik intrinsic religiousity maksudnya individu yang tinggi keimanannya memandang agama sebagai prinsip utama yang membimbing kehidupannya dimana individu ”menghidupkan” agamanya karena kepercayaan religiusnya mengarahkan dan menjadi pusat dalam dasar kehidupan sehari-hari. Jadi, melihat setiap kejadian melalui pemahaman agama yang dimilikinya. b. Religiusitas ekstrinsik extrinsic religiousity maksudnya individu memandang agama dari perspektif instrumen, mempertimbangkan agama sebagai alat untuk menyenangkan, memberikan komunitas, dan sebagai pemenuhan sosial dan hukum. Individu lebih ”menggunakan” agamanya pada konsekuensi emosional dan sosialnya. McCullough dan Worthington 1999, dalam Davis, Hook Worthington, 2008 mengemukakan bahwa keimanan cenderung menjadi hal yang positif saat dihubungkan dengan forgiveness diberbagai kesempatan dan situasi. Aspek keimanan itu yaitu : 1. Kedekatan dengan Tuhan Attachment to God. Tuhan Yang Kuasa menjadi pusat agama individu dalam hal utama, obyek utama, realitas utama, kebenaran utama. Tuhan dilihat secara pribadi diperlakukan secara personal dalam hubungan dekat yang dapat mengalami ikatan emosional. Yang Kuasa dikarakteristikkan dengan pengalaman hubungan seperti komitmen, keintiman, kekaguman, ketinggian, kedekatan, atau kesatuan dengan Yang kuasa. Hubungan kedekatan dengan Tuhan dapat dirusak oleh kejahatan yang terjadi dari individu lain. 2. Koping religius Religious Coping. Koping religius dipahami sebagai agama yang terpadu dalam kehidupan sehari-hari dengan ketaatan pada kepercayaan dan nilai tertentu yang dimotivasi oleh motif religius intrinsik dan ekstrinsik. Glock dan Stark Glock, 1962; Glock Stark, 1965, 1966; Stark Glock, 1968 dalam Reitsma, Scheepers Te Grotenhuis, 2006 menyatakan bahwa religiusitas terdiri dari empat dimensi, yaitu: 1. Dimensi praktek the practice dimension. Dibagi ke dalam praktek umum public menggambarkan sebagai anggota gereja dan kehadiran di gereja menghadiri ibadah keagamaan, dan praktek pribadi private yang menggambarkan doa. 2. Dimensi keyakinan the belief dimension. Diukur sebagai keyakinan dogmatis dan keyakinan partikular. Keyakinan dogmatis merupakan keyakinan pokok inti, dasar, simpel di dalam agama yang dianut. Misalnya, Yesus adalah Allah dan manusia. Sedangkan keyakinan partikular merupakan hal yang khusus yang dimiliki oleh individu. Misalnya, saya harus ke gereja setiap hari Minggu. 3. Pengalaman religius religious experience. Dimensi ini mengacu pada pengalaman yang melampaui realitas sehari-hari, dan kehidupan spiritual yang melampaui intelektual religious emotions and revelation. 4. Dimensi konsekuensi consequensial dimension. Dimensi ini mengacu pada pentingnya agama dalam hidup sehari-hari. Dalam penelitian ini akan digunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark dalam Reitsma, Scheepers Te Grotenhuis, 2006 yang terdiri dari dimensi praktek, dimensi keyakinan, pengalaman religius, dan dimensi konsekuensi. Keempat dimensi ini digunakan dengan alasan bahwa pada dasarnya keterikatan atau hubungan yang terjalin antara individu dengan agamanya akan terwujud pada keyakinannya, yang ditunjukkan nyata dalam praktek, yang dapat menjadi pengalaman, dan dibuktikan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penggunaan empat dimensi ini dalam mengukur religiusitas siswa dianggap sesuai. 2.4.4.Peranan religiusitas dalam forgiveness. Signifikansi religiusitas bagi individu dalam konteks psikologi berdampak positif baik pada lingkungan sosial juga pendidikan. Berfokus pada dimensi kognitif dari religiusitas ditemukan bahwa orientasi keagamaan dan sosial kognitif secara signifikan terkait dengan kesejahteraan Dezutter, dkk., 2006 dalam Holdcroft, 2006. Hasil temuan lain menyatakan bahwa adanya efek positif dari pendidikan agama formal di sekolah Kedem Cohen, 1987 dalam Holdcroft, 2006, sementara itu Rest dalam Holdcroft, 2006 menemukan bahwa pengetahuan agama cenderung berkorelasi secara signifikan dengan penalaran moral namun keduanya mungkin berhubungan sebagian pada kemampuan kognitif. Individu yang mengekspresikan keyakinan agama yang kuat melaporkan peristiwa kehidupan dengan sedikit stress dan kepuasan hidup yang besar Bergan McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006. Pemaafan secara historis telah dihubungkan dengan beragam tradisi spiritual dan agama, maka pemaafan telah dihubungkan secara positif dengan beberapa ukuran komitmen keagamaan, religiusitas intrinsik, kehadiran di gereja, dan kesehatan spiritualitas dalam beberapa penelitian Tsang, McCullough Hoyt, 2005 dalam Sandage Williamson, 2010. Pada dasarnya religiusitas berakar pada agama yang dianut individu. Para ahli agama telah memperhatikan bahwa semua agama di dunia mempunyai struktur yang mempromosikan pemaafan McCullough dan Worthington, 1999; Rye, dkk., 2000 dalam McCullough, Bono Root, 2005. Tsang, dkk., 2005, dalam McCullough, Bono Root, 2005 memperhatikan bahwa agama dapat mempromosikan pemaafan dengan beberapa cara, diantaranya: pertama, pemaafan diresepkan sebagai sebuah nilai yang mendorong emosi seperti kasih, empati, serta model tindakan pemaafan melalui kitab suci dan ritual. Kedua, agama dapat menguduskan perilaku pemaafan dengan memberikan pandangan dimana individu menginterpretasikan peristiwa dan hubungannya dalam cara-cara memfasilitasi pemaafan. Dari ungkapan tersebut, maka agama adalah suatu hal yang membawa orang kepada pikiran, perasaan, dan perilaku berkenaan dengan pemaafan. Literatur penelitian menemukan hasil bahwa pemaafan merupakan suatu kebajikan pada agama manapun juga, maka religiousness dan forgiveness dipandang sebagai sebuah konstruksi yang saling berkaitan McCullough dan Worthington, 1999; Rye dkk., 2000; Spilka, Hood, Hunsberger Gorsuch, 2003, dalam Rhoades, Mcintosh, Wadsworth, Ahlkivst, Burwell, Gudmundsen, Raviv Rea, 2007. Individu yang religius seringkali percaya bahwa mereka harus melakukan pemaafan McCullough dan Worthington, 1999, dalam Rhoades, dkk., 2007, dan kerohanian pribadi secara positif berkaitan dengan kecenderungan untuk pemaafan Gorsuch Hao, 1993; Konstam dkk., 2003, dalam Rhoades, dkk., 2007. Selain itu, individu yang memiliki religiusitas akan berpikir lebih religius dan menggunakan akal sehat dengan cara-cara yang lebih mengesankan terkait dengan tindakan pemaafan Enright, Santos Al Mabuk, 1989, dalam Rhoades, dkk., 2007. Individu dengan kepercayaan pada religiusitas yang lebih kuat lebih berkemungkinan untuk mengampuni orang lain Luzombe Karol, 2009. Mullet, 2003, dalam Luzombe Karol, 2009 menyelidiki tentang keterlibatan religiusitas diantaranya kepercayaan religius, kehadiran di gereja dan peraturan religius lainnya, hasilnya menyatakan bahwa orang yang sangat kuat dengan agama khususnya orang yang tingkat kehadirannya di gereja tinggi, lebih berkemungkinan untuk melakukan pemaafan daripada mereka yang tidak terlibat kuat dengan agama. McCoullough dan Worthington, 1999 dalam Gordon, Frousakis, Dixon Willet, 2008 menunjukkan bahwa seringkali penelitian mengindikasikan ketidakhubungan antara sikap positif individu yang religius terhadap pemaafan dalam perilaku abstrak dan aktual saat dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya membutuhkan pemaafan. Penelitian yang dilakukan oleh Gorsuch dan Hao 1993 mengidentifikasi dua faktor religiusitas, yaitu religiusitas personal personal religious dan kesesuaian dengan religiusitas religious conformity dan diteliti hubungannya dengan pemaafan. Pada penelitian itu religiusitas personal mengacu pada kepentingan agama, kedekatan dengan Tuhan, keanggotaan gereja, kehadiran di gereja, menggunakan agama untuk kenyamanan personal, dan perlindungan. Hasilnya menunjukkan bahwa religiusitas personal berkorelasi signifikan dengan pemaafan, dinyatakan bahwa individu yang tinggi religiusitas personal menunjukkan motivasi yang lebih kuat untuk pemaafan. Hui dan Watkins 2006 yang mempelajari hubungan antara religiusitas dan forgiveness pada guru China Hong Kong dengan 230 partisipan dan siswa 714. Hasil temuan mengindikasikan bahwa sejumlah pengaruh nilai budaya Cina dalam konseptualisasi forgiveness, di mana tindakan religius memprediksi sikap terhadap forgiveness dan tindakan forgiveness. Tidak ada perbedaan signifikan dalam pemaafan di antara penganut kepercayaan dan bukan penganut kepercayaan. Dilain pihak, forgiveness tidak hanya merupakan nilai religius tetapi juga nilai sosial dan dipengaruhi oleh budaya seseorang. Sehubungan dengan budaya Cina, forgiveness lebih berupa nilai sosial daripada nilai religiusitas. Penelitian tentang forgiveness di Republik Rakyat Cina menyatakan bahwa kemauan orang untuk memaafkan dipengaruhi oleh solidaritas sosial yang lebih membutuhkan masyarakat kolektif daripada keimanan karena agama yang jarang dipertimbangkan sebagai sumber dalam melakukan forgiveness. Adapun dasar religiusitas yang dinyatakan oleh Davis, Hook, Worthington, 2008 serta Worthington, dkk., 2010 melihat pada pengampunan yang ditulis dalam kitab suci Matius 6: 12, 14-15 tentang Doa Bapa Kami. Yesus meminta forgiveness dilakukan kepada sesama manusia. Yesus membuat suatu kesatuan pengampunan besar dalam memaafkan orang-orang yang telah bersalah pada mereka. Juga, pada Matius 5:44 Yesus meminta kepada pengikutNya untuk mengasihi musuh atau orang yang tidak menyenangi mereka. Umat Kristiani mencari pemaafan dengan banyak alasan seperti yang dinyatakan oleh Worthington dalam Worthington, dkk. 2010 yaitu karena a terdapat mandat Alkitab untuk memaafkan, b adalah cara untuk mengasihi musuh, c hal ini konsisten dengan nilai Kekristenan dalam keluarga, d ini adalah bagian hidup dalam tubuh Kristus, e adalah alat yang berguna untuk kesehatan fisik, mental, hubungan, dan spiritual. Sandage, Worthington, Hight dan Berry 2000, dalam McCullough, Bono Root, 2005 menemukan bahwa narsisme lawan dari kerendahan hati berkaitan negatif dengan pemaafan. Jadi, beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan religiusitas memiliki peran dalam pemaafan. Maka penelitian ini dapat dimungkinkan untuk menggunakan variabel religiusitas sebagai prediktor terhadap pemaafan. 2.4.5.Hasil penelitian terdahulu. Penelitian mengenai pemaafan tergolong penelitian yang masih baru di Indonesia. Belum banyak penelitian yang dipublikasi mengenai pemaafan ini. Namun demikian, publikasi mengenai penelitian ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara asing, seperti Amerika, Afrika, Eropa, dan Belgia bahkan di beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea, Singapura dan Malaysia. Berikut akan dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai pemaafan yang khususnya berkaitan dengan penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh penulis. 1 Empati dan pemaafan. Macaskill, Maltby, dan Day, 2002 dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu pada tingkat empati yang lebih tinggi merasa bahwa lebih mudah untuk melakukan pemafaan daripada mereka yang tingkat empatinya lebih rendah, dan individu yang tidak mampu berempati merasa sangat sulit untuk pemaafan. Hasil penelitian pada 324 mahasiswa lulusan Inggris, usia 18 sampai 51 tahun dengan skala sifat memaafkan dan perilaku pemaafan pada diri sendiri dan pemaafan pada pihak lain dengan ukuran empati emosi menyatakan bahwa empati emosi berhubungan positif dengan pihak lain tetapi tidak dengan pemaafan diri sendiri. Ditemukan pemaafan diri sendiri α = .73, pemaafan pihak lain α= .75, dan empati emosi α = .81. Wanita M = 42.67, SD = 18.30 mencatat skor yang secara signifikan lebih tinggi pada ukuran empati emosi, t 322 = -4.62, p = .0001, η² = .061 daripada pria M = 33.00, SD = 15.20. Dalam mengukur tingkat forgiveness antara pria dan wanita secara terpisah dengan korelasi Pearson dinyatakan tidak menemukan korelasi signifikan, bagi pria r99 = -.03, p .05, untuk wanita, r223 = -.07, p .05. Tetapi, sebuah hubungan positif yang relevan antara pemaafan pihak lain dan empati emosi bagi pria, r99 = -.23, p .05, dan wanita r223 = .33, p .01. Jadi menurut temuan ini, empati secara keseluruhan pada wanita mencatat skor yang lebih tinggi daripada pria, tetapi tidak terdapat perbedaan jender pada keseluruhan nilai pemaafan. Pada penelitian Wade dan Worthington 2003 yang menggali prediktor yang potensial akan unforgiveness dan melakukan forgiveness untuk kejahatan khusus pada 91 lulusan. Penelitian analisa regresi untuk menentukan alat prediksi unforgiveness, dimana empati untuk pelaku kesalahan memberi kontribusi yang signifikan R² =.15, F1,76 = 18.40, p.001, β=.464, t77 = -4.29, p.001. Jadi, empati yang lebih tinggi pada transgresor diprediksikan lebih sedikit unforgiveness. Welton, Hill, dan Seybold 2008 melakukan penelitian kepada 126 orang dewasa = 63 pasangan yang bertengkar. Mereka melengkapi ukuran empati, pengambilan perspektif kognitif, dan kemarahan. Hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara tiga teknik, F2,62 = 61.724, λ = .334 dari Wilks, ρ .001. Untuk ukuran TRIM Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory, secara signifikan empati memprediksi lebih banyak varian unik daripada pengambilan perspektif, t 60 = 2.68, ρ = .01, dan juga memprediksi lebih banyak varian unik dari kemarahan, t60 = 1.99, ρ = .05. Secara signifikan empati memprediksi lebih banyak varian unik daripada pengambilan perspektif t60 = 2.16, ρ = .04, dan juga memprediksikan lebih banyak varian unik daripada kemarahan, t60 = 2.88, ρ = .005. Tidak terdapat perbedaan signifikan saat membandingkan prediksi pengambilan perspektif dan kemarahan, t60 = 0. 50, ρ = .62. Tidak terdapat perbedaan signifikan dengan ukuran FSI Forgiveness Single Item. Prediksi empati dan pengambilan perspektif adalah sama, t60 = 0.07, ρ = .94; prediksi empati dan kemarahan adalah sama, t60 = 1.12, ρ = .27; seperti halnya prediksi dari pengambilan perspektif dan kemarahan adalah sama, t60 = 1.11, ρ = .27. Fakta bahwa empati menjadi alat prediksi yang terkuat akan pemaafan dapat menyatakan bahwa ini merupakan peran yang lebih penting daripada kemarahan atau pengambilan perspektif. Namun kemungkinan lain, ukuran empati lebih akurat daripada ukuran kemarahan dan pengambilan perspektif. Hasil penelitian empati dengan self-forgiveness memperlihatkan sebuah hubungan negatif yang signifikan CR = -2.23, p .05. dilakukan pada mahasiswa psikologi Rangganadhan Todorov, 2010. Lawler-Row, Younger, Piferi, dan Jones 2006 mengadakan penelitian kepada 108 mahasiswa psikologi di Universitas Tenesse, Knoxville. Tujuannya melihat peran gaya kasih orang dewasa the role of adult attachment style dalam tindakan memaafkan. Hasil penelitian menunjukkan pada ANOVA cukup signifikan: individu securely attached lebih pemaaf daripada individu insecurely attached, F 1, 104 = 9.59, ρ .003. Sementara itu, juga dilakukan analisis membalas dendam dan menghindar. Hasil menunjukkan bahwa semua peserta berkeinginan besar untuk membalas dendam terhadap pelanggaran nonparent dibanding parent, 8,8 7.2 ; F 1, 104 = 11.27, ρ .001. Selain itu, empati lebih banyak diungkapkan terhadap parents dibanding nonparents , 28.23 23.0; F1, 104 = 20.6, ρ .0001. Namun, tidak ada perbedaan pada hubungan empati dengan attachment style. Analisis sifat mengukur pemaafan, empati, dan emosional expressiveness menghasilkan dua perbedaan terkait dengan attachment style. Secure individuals mempunyai sifat forgiveness yang lebih tinggi daripada insecure individuals, 130.5 120.8; F1,104 = 7.9, ρ .006, dan securely attachment individuals mempunyai skor yang lebih tinggi daripada insecure individuals pada skala Expression of Positive Emotion, 36.5 34.4; F 1, 104 = 4.3, ρ .041. Mengenai Acts of Forgiveness AF, empati tidak ada hubungan dengan keadaan forgiveness, tetapi dengan ekspresi emosi positif berhubungan related r = .24, ρ .012. McCullough, Root, dan Cohen 2006 mengemukakan hasil penelitian tentang pengaruh menulis kesalahan terhadap pemaafan dengan koreksi Bonferroni bahwa benefit-finding disesuaikan: M = -0.19, SD = 0.85, 95 Cl: -0.36, -0.02 secara signifikan p = .035 penghindaran yang lebih rendah dibandingkan skor niat baik dan disesuaikan: M = -0,31, SD = 0,95, 95 Cl= - 0.49, -0.12 secara signifikan p = .02 skor balas dendam yang lebih rendah dibanding kondisi fitur traumatic disesuaikan: M=0,06, SD= 0,95, 95 Cl= - 0,13, 0,24. Dari beberapa penelitian di atas, ada penelitian yang menemukan tidak ada hubungan, adanya hubungan yang signifikan dan tingkat perbedaan pada jender dimana wanita lebih memaafkan daripada pria. Empati sebagai mediator untuk melakukan pemaafan. 2 Religiusitas dan forgiveness Rangganadhan dan Todorov 2010 dalam penelitiannya kepada 91 mahasiswa di Universitas Macquarie, menemukan tidak ada ukuran yang terkait dengan religiusitas yang berkorelasi signifikan, tidak terdapat bukti bahwa mereka yang lebih religius juga lebih forgiveness, t148 = -.308, p .05. Pada perbedaan gender, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara pria M = 29.62, SD = 6.3 dan wanita M = 27.63, SD = 6.2 dan self-forgiveness ditemukan t148 = 1.75, p = 0.57., tidak ada korelasi yang signifikan antara usia dan self-forgiveness r = .003. Penelitian Orathinkal dan Vansteewegen 2007 yang dilakukan kepada pasangan yang baru saja menikah dan menikah kembali sebanyak 787 dari wilayah Flanders di Belgia untuk mengukur tindakan forgiveness dan religiusitas. Hasilnya menunjukkan bahwa religiusitas secara positif berkaitan p = 0.0001, r = 0.15 dengan tindakan forgiveness. Terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dari pasangan yang baru saja menikah dan kaum dewasa yang menikah lagi p = 0.0001 t2 d = 0.61. Penelitian yang dilakukan oleh Bedell 2002 menyelidiki korelasi antara religiusitas dengan forgiveness bagi peserta Afrika-Amerika ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara religiusitas dan pikiran subdomain dari skala forgiveness r = .34, p .02. Sedangkan untuk peserta Amerika Afrika tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas dan pikiran subdomain dari skala forgiveness. Sementara itu, korelasi antara religiusitas dengan forgiveness bagi peserta Kaukasia terdapat hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas pada diri r = .54, p .01 dan mitra r = .48, p .03. Bagi peserta Kaukasia, tidak ada korelasi yang signifikan antara variabel religiusitas dan pikiran serta perilaku subdomain dari skala pemaafan. Penelitian kepada 475 umat Muslim, Kristen, dan Yahudi serta penganut gerakan sekuler untuk meneliti hubungan antara religiusitas dengan pemaafan mengisi kuesioner berbasis internet Fox Thomas, 2008. Hasil menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan secara positif dengan forgiveness. Kelompok agama secara signifikan melaporkan tingkah laku yang lebih tinggi dan tindakan proyektif untuk forgiveness dibanding kelompok sekuler. Penemuan ini mengesankan bahwa keyakinan faith menjadi prediktor terkuat pada religiusitas untuk pemaafan.

2.5. Landasan teori

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga T1 832010006 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Empati dan Religiusitas sebagai Prediktor terhadap Pemaafan pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Salatiga

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Lingkungan kerja fisik sebagai prediktor terhadap produktivitas kerja karyawan Le Bringin Hotel Salatiga T1 802011709 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kepuasan Kerja dan Etos Kerja terhadap Kinerja Guru SMA Kristen di Salatiga

0 0 15