2.4.2. Konsep religiusitas.
Adapun konsep religiusitas adalah pada agama, dimana agama dan religiusitas merupakan dua hal yang
berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi dan saling mendukung Mangunwijaya,
dalam Setya, 2009. Agama lebih menunjukkan kepada
kelambangan, kebaktian kepada Tuhan atau ”dunia atas” dalam aspek resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
sebagainya yang
meliputi segi-segi
kemasyarakatan. Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek-aspek yang ada
dalam lubuk hati, sikap personal yang sedikit lebih banyak bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni cita
rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawinya ke dalam pribadi manusia. Oleh karena itu,
pada dasarnya religiusitas lebih berada di tingkat atas dan lebih dalam dari agama yang tampak formal dan resmi.
Agama sebagai keyakinan menyangkut kehidupan batin seseorang inner life yang berhubungan dengan sistem
nilai Jalaluddin, 2010. Agama merupakan salah satu aspek dalam diri manusia yang menjadi bahan acuan dan kendali
dalam hidup seseorang. Sebagai kendali hidup, agama tidak cukup hanya diketahui dan dipahami, tetapi dihayati dan
dilaksanakan secara teratur dalam kehidupan manusia sehari-hari. Manusia mempunyai dorongan naluri untuk
meyakini dan melaksanakan aturan atau ajaran-ajaran dari agama yang diyakininya. Naluri inilah yang mendorong
manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan religius.
2.4.3. Aspek Religiusitas
Allport dan Ross dalam Gordon, Nikki, Lee, Jennifer, Jennifer, Rebecca Julianne, 2007 menyatakan bahwa
religiusitas memiliki dua aspek, yaitu:
a. Religiusitas
intrinsik intrinsic
religiousity maksudnya
individu yang
tinggi keimanannya
memandang agama sebagai prinsip utama yang membimbing
kehidupannya dimana
individu ”menghidupkan” agamanya karena kepercayaan
religiusnya mengarahkan dan menjadi pusat dalam dasar kehidupan sehari-hari. Jadi, melihat setiap
kejadian melalui pemahaman agama yang dimilikinya.
b. Religiusitas
ekstrinsik extrinsic
religiousity maksudnya
individu memandang
agama dari
perspektif instrumen, mempertimbangkan agama sebagai alat untuk menyenangkan, memberikan
komunitas, dan sebagai pemenuhan sosial dan hukum. Individu lebih ”menggunakan” agamanya
pada konsekuensi emosional dan sosialnya.
McCullough dan Worthington 1999, dalam Davis, Hook Worthington, 2008 mengemukakan bahwa keimanan
cenderung menjadi hal yang positif saat dihubungkan dengan forgiveness diberbagai kesempatan dan situasi.
Aspek keimanan itu yaitu :
1. Kedekatan dengan Tuhan Attachment to God. Tuhan
Yang Kuasa menjadi pusat agama individu dalam hal utama, obyek utama, realitas utama, kebenaran
utama. Tuhan dilihat secara pribadi diperlakukan secara personal dalam hubungan dekat yang dapat
mengalami
ikatan emosional.
Yang Kuasa
dikarakteristikkan dengan pengalaman hubungan seperti komitmen, keintiman, kekaguman, ketinggian,
kedekatan, atau kesatuan dengan Yang kuasa. Hubungan kedekatan dengan Tuhan dapat dirusak
oleh kejahatan yang terjadi dari individu lain.
2. Koping religius Religious Coping. Koping religius
dipahami sebagai agama yang terpadu dalam kehidupan
sehari-hari dengan
ketaatan pada
kepercayaan dan nilai tertentu yang dimotivasi oleh motif religius intrinsik dan ekstrinsik.
Glock dan Stark Glock, 1962; Glock Stark, 1965, 1966; Stark Glock, 1968 dalam Reitsma, Scheepers Te
Grotenhuis, 2006 menyatakan bahwa religiusitas terdiri dari empat dimensi, yaitu:
1. Dimensi praktek the practice dimension. Dibagi ke
dalam praktek umum public menggambarkan sebagai anggota gereja dan kehadiran di gereja
menghadiri ibadah keagamaan, dan praktek pribadi private yang menggambarkan doa.
2. Dimensi keyakinan the belief dimension. Diukur
sebagai keyakinan dogmatis dan keyakinan partikular. Keyakinan dogmatis merupakan keyakinan pokok inti,
dasar, simpel di dalam agama yang dianut. Misalnya, Yesus
adalah Allah
dan manusia.
Sedangkan keyakinan partikular merupakan hal yang khusus
yang dimiliki oleh individu. Misalnya, saya harus ke gereja setiap hari Minggu.
3. Pengalaman religius religious experience. Dimensi ini
mengacu pada pengalaman yang melampaui realitas sehari-hari, dan kehidupan spiritual yang melampaui
intelektual religious emotions and revelation.
4. Dimensi konsekuensi consequensial dimension.
Dimensi ini mengacu pada pentingnya agama dalam hidup sehari-hari.
Dalam penelitian ini akan digunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark dalam Reitsma,
Scheepers Te Grotenhuis, 2006 yang terdiri dari dimensi praktek, dimensi keyakinan, pengalaman religius, dan
dimensi konsekuensi. Keempat dimensi ini digunakan dengan alasan bahwa pada dasarnya keterikatan atau
hubungan yang terjalin antara individu dengan agamanya akan terwujud pada keyakinannya, yang ditunjukkan nyata
dalam praktek, yang dapat menjadi pengalaman, dan dibuktikan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, penggunaan empat dimensi ini dalam mengukur religiusitas siswa dianggap sesuai.
2.4.4.Peranan religiusitas dalam forgiveness.
Signifikansi religiusitas bagi individu dalam konteks psikologi berdampak positif baik pada lingkungan sosial
juga pendidikan. Berfokus pada dimensi kognitif dari religiusitas ditemukan bahwa orientasi keagamaan dan
sosial
kognitif secara
signifikan terkait
dengan
kesejahteraan Dezutter, dkk., 2006 dalam Holdcroft, 2006. Hasil temuan lain menyatakan bahwa adanya efek positif
dari pendidikan agama formal di sekolah Kedem Cohen, 1987 dalam Holdcroft, 2006, sementara itu Rest dalam
Holdcroft, 2006 menemukan bahwa pengetahuan agama cenderung berkorelasi secara signifikan dengan penalaran
moral namun keduanya mungkin berhubungan sebagian pada kemampuan kognitif. Individu yang mengekspresikan
keyakinan
agama yang
kuat melaporkan
peristiwa kehidupan dengan sedikit stress dan kepuasan hidup yang
besar Bergan McConatha, 2000 dalam Holdcroft, 2006. Pemaafan secara historis telah dihubungkan dengan
beragam tradisi spiritual dan agama, maka pemaafan telah dihubungkan secara positif dengan beberapa ukuran
komitmen keagamaan, religiusitas intrinsik, kehadiran di gereja,
dan kesehatan
spiritualitas dalam
beberapa penelitian Tsang, McCullough Hoyt, 2005 dalam Sandage
Williamson, 2010. Pada dasarnya religiusitas berakar pada agama yang
dianut individu. Para ahli agama telah memperhatikan bahwa semua agama di dunia mempunyai struktur yang
mempromosikan pemaafan McCullough dan Worthington, 1999; Rye, dkk., 2000 dalam McCullough, Bono Root,
2005. Tsang, dkk., 2005, dalam McCullough, Bono Root, 2005 memperhatikan bahwa agama dapat mempromosikan
pemaafan dengan beberapa cara, diantaranya: pertama, pemaafan diresepkan sebagai sebuah nilai yang mendorong
emosi seperti kasih, empati, serta model tindakan pemaafan melalui kitab suci dan ritual. Kedua, agama dapat
menguduskan perilaku pemaafan dengan memberikan pandangan dimana individu menginterpretasikan peristiwa
dan hubungannya dalam cara-cara memfasilitasi pemaafan. Dari ungkapan tersebut, maka agama adalah suatu hal yang
membawa orang kepada pikiran, perasaan, dan perilaku berkenaan dengan pemaafan.
Literatur penelitian menemukan hasil bahwa pemaafan merupakan suatu kebajikan pada agama manapun juga,
maka religiousness dan forgiveness dipandang sebagai sebuah konstruksi yang saling berkaitan McCullough dan
Worthington, 1999; Rye dkk., 2000; Spilka, Hood,
Hunsberger Gorsuch, 2003, dalam Rhoades, Mcintosh, Wadsworth, Ahlkivst, Burwell, Gudmundsen, Raviv Rea,
2007. Individu yang religius seringkali percaya bahwa mereka harus melakukan pemaafan McCullough dan
Worthington, 1999, dalam Rhoades, dkk., 2007, dan kerohanian
pribadi secara
positif berkaitan
dengan kecenderungan untuk pemaafan Gorsuch Hao, 1993;
Konstam dkk., 2003, dalam Rhoades, dkk., 2007. Selain itu, individu yang memiliki religiusitas akan berpikir lebih
religius dan menggunakan akal sehat dengan cara-cara yang lebih mengesankan terkait dengan tindakan pemaafan
Enright, Santos Al Mabuk, 1989, dalam Rhoades, dkk., 2007. Individu dengan kepercayaan pada religiusitas yang
lebih kuat lebih berkemungkinan untuk mengampuni orang lain Luzombe Karol, 2009. Mullet, 2003, dalam Luzombe
Karol, 2009 menyelidiki tentang keterlibatan religiusitas diantaranya kepercayaan religius, kehadiran di gereja dan
peraturan religius lainnya, hasilnya menyatakan bahwa orang yang sangat kuat dengan agama khususnya orang
yang
tingkat kehadirannya
di gereja
tinggi, lebih
berkemungkinan untuk melakukan pemaafan daripada mereka
yang tidak
terlibat kuat
dengan agama.
McCoullough dan Worthington, 1999 dalam Gordon, Frousakis, Dixon Willet, 2008 menunjukkan bahwa
seringkali penelitian mengindikasikan ketidakhubungan antara sikap positif individu yang religius terhadap
pemaafan dalam perilaku abstrak dan aktual saat dihadapkan dengan situasi yang sebenarnya membutuhkan
pemaafan.
Penelitian yang dilakukan oleh Gorsuch dan Hao 1993 mengidentifikasi dua faktor religiusitas, yaitu religiusitas
personal personal religious dan kesesuaian dengan religiusitas religious conformity dan diteliti hubungannya
dengan pemaafan. Pada penelitian itu religiusitas personal mengacu pada kepentingan agama, kedekatan dengan
Tuhan,
keanggotaan gereja,
kehadiran di
gereja, menggunakan agama untuk kenyamanan personal, dan
perlindungan. Hasilnya menunjukkan bahwa religiusitas personal
berkorelasi signifikan
dengan pemaafan,
dinyatakan bahwa individu yang tinggi religiusitas personal menunjukkan motivasi yang lebih kuat untuk pemaafan.
Hui dan Watkins 2006 yang mempelajari hubungan antara religiusitas dan forgiveness pada guru China Hong
Kong dengan 230 partisipan dan siswa 714. Hasil temuan mengindikasikan bahwa sejumlah pengaruh nilai budaya
Cina dalam konseptualisasi forgiveness, di mana tindakan religius memprediksi sikap terhadap forgiveness dan
tindakan forgiveness. Tidak ada perbedaan signifikan dalam pemaafan di antara penganut kepercayaan dan bukan
penganut kepercayaan. Dilain pihak, forgiveness tidak hanya merupakan nilai religius tetapi juga nilai sosial dan
dipengaruhi oleh budaya seseorang. Sehubungan dengan budaya Cina, forgiveness lebih berupa nilai sosial daripada
nilai religiusitas. Penelitian tentang forgiveness di Republik Rakyat Cina menyatakan bahwa kemauan orang untuk
memaafkan dipengaruhi oleh solidaritas sosial yang lebih membutuhkan masyarakat kolektif daripada keimanan
karena agama yang jarang dipertimbangkan sebagai sumber dalam melakukan forgiveness.
Adapun dasar religiusitas yang dinyatakan oleh Davis, Hook, Worthington, 2008 serta Worthington, dkk., 2010
melihat pada pengampunan yang ditulis dalam kitab suci Matius 6: 12, 14-15 tentang Doa Bapa Kami. Yesus meminta
forgiveness dilakukan kepada sesama manusia. Yesus membuat suatu kesatuan pengampunan besar dalam
memaafkan orang-orang yang telah bersalah pada mereka. Juga, pada Matius 5:44 Yesus meminta kepada
pengikutNya untuk mengasihi musuh atau orang yang tidak menyenangi mereka.
Umat Kristiani mencari pemaafan dengan banyak alasan seperti
yang dinyatakan
oleh Worthington
dalam Worthington, dkk. 2010 yaitu karena a terdapat mandat
Alkitab untuk memaafkan, b adalah cara untuk mengasihi musuh, c hal ini konsisten dengan nilai Kekristenan dalam
keluarga, d ini adalah bagian hidup dalam tubuh Kristus, e adalah alat yang berguna untuk kesehatan fisik, mental,
hubungan, dan spiritual.
Sandage, Worthington, Hight dan Berry 2000, dalam McCullough, Bono Root, 2005 menemukan bahwa
narsisme lawan dari kerendahan hati berkaitan negatif dengan pemaafan.
Jadi, beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan religiusitas memiliki peran dalam pemaafan.
Maka penelitian
ini dapat
dimungkinkan untuk
menggunakan variabel
religiusitas sebagai
prediktor terhadap pemaafan.
2.4.5.Hasil penelitian terdahulu.
Penelitian mengenai pemaafan tergolong penelitian yang masih baru di Indonesia. Belum banyak penelitian
yang dipublikasi mengenai pemaafan ini. Namun demikian, publikasi mengenai penelitian ini telah banyak dilakukan
oleh negara-negara asing, seperti Amerika, Afrika, Eropa, dan Belgia bahkan di beberapa negara Asia seperti Cina,
Jepang, Korea, Singapura dan Malaysia. Berikut akan dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai
pemaafan yang khususnya berkaitan dengan penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh penulis.
1 Empati dan pemaafan.
Macaskill, Maltby,
dan Day,
2002 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa individu pada tingkat empati yang lebih tinggi merasa bahwa lebih mudah
untuk melakukan pemafaan daripada mereka yang tingkat empatinya lebih rendah, dan individu yang tidak
mampu berempati merasa sangat sulit untuk pemaafan. Hasil penelitian pada 324 mahasiswa lulusan Inggris,
usia 18 sampai 51 tahun dengan skala sifat memaafkan dan perilaku pemaafan pada diri sendiri dan pemaafan
pada
pihak lain
dengan ukuran
empati emosi
menyatakan bahwa empati emosi berhubungan positif dengan pihak lain tetapi tidak dengan pemaafan diri
sendiri. Ditemukan pemaafan diri sendiri α = .73, pemaafan pihak lain α= .75, dan empati emosi α = .81.
Wanita M = 42.67, SD = 18.30 mencatat skor yang secara signifikan lebih tinggi pada ukuran empati emosi,
t 322 = -4.62, p = .0001, η² = .061 daripada pria M =
33.00, SD = 15.20. Dalam mengukur tingkat forgiveness antara pria dan wanita secara terpisah dengan korelasi
Pearson dinyatakan
tidak menemukan
korelasi signifikan, bagi pria r99 = -.03, p .05, untuk wanita,
r223 = -.07, p .05. Tetapi, sebuah hubungan positif yang relevan antara pemaafan pihak lain dan empati
emosi bagi pria, r99 = -.23, p .05, dan wanita r223 = .33, p .01. Jadi menurut temuan ini, empati secara
keseluruhan pada wanita mencatat skor yang lebih tinggi daripada pria, tetapi tidak terdapat perbedaan
jender pada keseluruhan nilai pemaafan.
Pada penelitian Wade dan Worthington 2003 yang menggali prediktor yang potensial akan unforgiveness
dan melakukan forgiveness untuk kejahatan khusus pada 91 lulusan. Penelitian analisa regresi untuk
menentukan alat prediksi unforgiveness, dimana empati untuk pelaku kesalahan memberi kontribusi yang
signifikan R² =.15, F1,76 = 18.40, p.001,
β=.464, t77 = -4.29, p.001. Jadi, empati yang lebih tinggi pada
transgresor diprediksikan lebih sedikit unforgiveness. Welton, Hill, dan Seybold 2008 melakukan penelitian
kepada 126 orang dewasa = 63 pasangan yang bertengkar.
Mereka melengkapi
ukuran empati,
pengambilan perspektif kognitif, dan kemarahan. Hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara tiga
teknik, F2,62 = 61.724, λ = .334 dari Wilks, ρ .001. Untuk ukuran TRIM Transgression-Related Interpersonal
Motivation Inventory,
secara signifikan
empati memprediksi lebih banyak varian unik daripada
pengambilan perspektif, t 60 = 2.68, ρ = .01, dan juga
memprediksi lebih banyak varian unik dari kemarahan, t60 = 1.99, ρ = .05. Secara signifikan empati
memprediksi lebih banyak varian unik daripada pengambilan perspektif t60 = 2.16, ρ = .04, dan juga
memprediksikan lebih banyak varian unik daripada kemarahan, t60 = 2.88, ρ = .005. Tidak terdapat
perbedaan signifikan saat membandingkan prediksi pengambilan perspektif dan kemarahan, t60 = 0.
50, ρ =
.62. Tidak terdapat perbedaan signifikan dengan ukuran FSI Forgiveness Single Item. Prediksi empati dan
pengambilan perspektif adalah sama, t60 = 0.07, ρ = .94; prediksi empati dan kemarahan adalah sama, t60
= 1.12, ρ = .27; seperti halnya prediksi dari pengambilan perspektif dan kemarahan adalah sama, t60 = 1.11, ρ =
.27. Fakta bahwa empati menjadi alat prediksi yang terkuat akan pemaafan dapat menyatakan bahwa ini
merupakan
peran yang
lebih penting
daripada kemarahan
atau pengambilan
perspektif. Namun
kemungkinan lain, ukuran empati lebih akurat daripada ukuran kemarahan dan pengambilan perspektif.
Hasil penelitian
empati dengan
self-forgiveness memperlihatkan
sebuah hubungan
negatif yang
signifikan CR = -2.23, p .05. dilakukan pada mahasiswa psikologi Rangganadhan Todorov, 2010.
Lawler-Row, Younger, Piferi, dan Jones 2006 mengadakan penelitian kepada 108 mahasiswa psikologi
di Universitas Tenesse, Knoxville. Tujuannya melihat peran gaya kasih orang dewasa the role of adult
attachment style dalam tindakan memaafkan. Hasil penelitian menunjukkan pada ANOVA cukup signifikan:
individu securely attached lebih pemaaf daripada individu insecurely attached, F
1, 104 = 9.59, ρ .003. Sementara itu, juga dilakukan analisis membalas
dendam dan menghindar. Hasil menunjukkan bahwa semua peserta berkeinginan besar untuk membalas
dendam terhadap pelanggaran nonparent dibanding parent, 8,8 7.2 ; F
1, 104 = 11.27, ρ .001. Selain itu, empati lebih banyak diungkapkan terhadap parents
dibanding nonparents , 28.23 23.0; F1, 104 = 20.6, ρ
.0001. Namun, tidak ada perbedaan pada hubungan empati dengan attachment style. Analisis sifat mengukur
pemaafan, empati,
dan emosional
expressiveness menghasilkan dua perbedaan terkait dengan attachment
style. Secure individuals mempunyai sifat forgiveness yang lebih tinggi daripada insecure individuals, 130.5
120.8; F1,104 = 7.9, ρ .006, dan securely attachment individuals mempunyai skor yang lebih tinggi daripada
insecure individuals pada skala Expression of Positive
Emotion, 36.5 34.4; F 1, 104 = 4.3, ρ .041. Mengenai
Acts of Forgiveness AF, empati tidak ada hubungan dengan keadaan forgiveness, tetapi dengan ekspresi
emosi positif berhubungan related r = .24, ρ .012.
McCullough, Root, dan Cohen 2006 mengemukakan hasil penelitian tentang pengaruh menulis kesalahan
terhadap pemaafan dengan koreksi Bonferroni bahwa benefit-finding disesuaikan: M = -0.19, SD = 0.85, 95
Cl:
-0.36, -0.02
secara signifikan
p =
.035 penghindaran yang lebih rendah dibandingkan skor niat
baik dan disesuaikan: M = -0,31, SD = 0,95, 95 Cl= - 0.49, -0.12 secara signifikan p = .02 skor balas
dendam yang lebih rendah dibanding kondisi fitur traumatic disesuaikan: M=0,06, SD= 0,95, 95 Cl= -
0,13, 0,24.
Dari beberapa penelitian di atas, ada penelitian yang menemukan tidak ada hubungan, adanya hubungan
yang signifikan dan tingkat perbedaan pada jender dimana wanita lebih memaafkan daripada pria. Empati
sebagai mediator untuk melakukan pemaafan.
2 Religiusitas dan forgiveness
Rangganadhan dan
Todorov 2010
dalam penelitiannya kepada 91 mahasiswa di Universitas
Macquarie, menemukan tidak ada ukuran yang terkait dengan religiusitas yang berkorelasi signifikan, tidak
terdapat bukti bahwa mereka yang lebih religius juga lebih forgiveness, t148 = -.308, p .05. Pada perbedaan
gender, hasil menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara pria M = 29.62, SD = 6.3 dan wanita
M = 27.63, SD = 6.2 dan self-forgiveness ditemukan t148 = 1.75, p = 0.57., tidak ada korelasi yang
signifikan antara usia dan self-forgiveness r = .003.
Penelitian Orathinkal dan Vansteewegen 2007 yang dilakukan kepada pasangan yang baru saja menikah
dan menikah kembali sebanyak 787 dari wilayah Flanders di Belgia untuk mengukur tindakan forgiveness
dan
religiusitas. Hasilnya
menunjukkan bahwa
religiusitas secara positif berkaitan p = 0.0001, r = 0.15
dengan tindakan forgiveness. Terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dari pasangan yang baru
saja menikah dan kaum dewasa yang menikah lagi p = 0.0001 t2 d = 0.61.
Penelitian yang
dilakukan oleh
Bedell 2002
menyelidiki korelasi
antara religiusitas
dengan forgiveness bagi peserta Afrika-Amerika ditemukan
adanya hubungan yang signifikan antara religiusitas dan pikiran subdomain dari skala forgiveness r = .34, p
.02. Sedangkan untuk peserta Amerika Afrika tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas
dan
pikiran subdomain
dari skala
forgiveness. Sementara itu, korelasi antara religiusitas dengan
forgiveness bagi peserta Kaukasia terdapat hubungan yang signifikan antara variabel religiusitas pada diri r =
.54, p .01 dan mitra r = .48, p .03. Bagi peserta Kaukasia, tidak ada korelasi yang signifikan antara
variabel
religiusitas dan
pikiran serta
perilaku subdomain dari skala pemaafan.
Penelitian kepada 475 umat Muslim, Kristen, dan Yahudi serta penganut gerakan sekuler untuk meneliti
hubungan antara religiusitas dengan pemaafan mengisi kuesioner berbasis internet Fox Thomas, 2008. Hasil
menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan secara positif dengan forgiveness. Kelompok agama secara
signifikan melaporkan tingkah laku yang lebih tinggi dan tindakan proyektif untuk forgiveness dibanding
kelompok sekuler. Penemuan ini mengesankan bahwa keyakinan faith menjadi prediktor terkuat pada
religiusitas untuk pemaafan.
2.5. Landasan teori