3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kemasan Cerdas
Secara umum kemasan cerdas smart packaging adalah kemasan yang dapat merasakan dan menginformasikan kondisi produk Kuswandi et al. 2011. Sementara itu, menurut Robertson 2006,
kemasan cerdas adalah suatu kemasan berindikator yang dapat diletakkan secara internal maupun eksternal dan dapat memberikan informasi mengenai keadaan kemasan dan atau kualitas makanan di
dalamnya. Adanya indikator tersebut dapat mempermudah pengawasan kondisi produk terkemas selama transportasi dan penyimpanan. Produk terkemas tersebut dapat berupa makanan, minuman,
farmasi, berbagai jenis produk kecantikan, dan produk rumah tangga. Dalam aplikasi kemasan cerdas, indikator yang disimpan secara internal biasanya ditempatkan
pada head-space kemasan atau ditambahkan pada penutup kemasan. Contoh indikator internal adalah indikator oksigen, indikator karbondioksida, indikator patogen, dan indikator pertumbuhan mikroba,
sementara indikator eksternal antara lain indikator waktu, indikator suhu, dan indikator pertumbuhan mikroba Ahvenainen 2003. Teknologi ini benar-benar terintegrasi dan menggabungkan beberapa
keahlian seperti bidang kimia, biokimia, fisika dan elektronik, serta ilmu dan teknologi pangan Kuswandi et al. 2011. Kuswandi juga menambahkan bahwa kemasan cerdas memiliki potensi besar
dalam pengembangan sistem baru penginderaan terintegrasi dalam kemasan makanan, yang berada di luar teknologi konvensional yang ada selama ini, seperti kontrol berat, warna, volume, dan
penampilan. Kemasan cerdas memanfaatkan sensor kimia atau biosensor untuk memantau kualitas dan
keamanan makanan dari produsen ke konsumen. Teknologi ini dapat menghasilkan berbagai desain sensor yang cocok untuk pemantauan kualitas dan keamanan pangan kesegaran, patogen, kebocoran,
karbondioksida, oksigen, pH, waktu atau suhu. Ketika sensor terintegrasi dengan kemasan makanan, kemasan ini dapat mendeteksi bahan kimia, patogen, dan racun yang terdapat dalam makanan.
Kemudian pada biosensor dalam penerapannya banyak menggabungkan antara bidang optik, kimia, dan mikrobiologi. Liu et al. 2007 telah mengembangkan biosensor yang dapat mendeteksi Listeria
moncytogenes .
Dalam penggunaannya smart packaging sering berkaitan atau disamakan dengan intelligent packaging. Intelligent packaging
memiliki pengertian sebagai sistem yang memantau kondisi makanan untuk memberikan informasi tentang kualitas selama transportasi dan distribusi Yam et al.
2005. Definisi lainnya menyatakan bahwa kemasan cerdas adalah mengaktifkan dan mematikan fungsi kemasan dalam menanggapi perubahan kondisi internal atau eksternal, dan dapat termasuk
dikomunikasikan kepada pelanggan atau pengguna akhir mengenai status produk Kuswandi et al. 2011. Sementara antara active packaging dengan smart packaging memiliki definisi dan fungsi yang
berbeda. Active packaging merupakan suatu teknologi kemasan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan kemasan dalam menjaga atau memelihara aspek kualitas,
keamanan, dan sensori dari bahan pangan yang dikemasnya Day 2008. Day 2008 juga menambahkan bahwa kemasan aktif memiliki kemampuan untuk memerangkap atau menahan masuk
oksigen, menyerap karbondioksida, uap air, etilen, dan atau flavor, bau, noda, mengeluarkan karbondioksida, etanol, antioksidan, serta memelihara kontrol suhu dan bertanggung jawab terhadap
perubahan suhu. Gambar 1 menunjukkan model fungsi kemasan antara kemasan aktif dan kemasan cerdas dan Tabel 1 menunjukkan daftar beberapa kemasan aktif dan kemasan cerdas yang sudah ada
dalam pengembangan dan telah banyak digunakan.
4 Gambar 1. Model fungsi kemasan Yam et al. 2005.
Tabel 1. Contoh aplikasi active packaging dan smart packaging.
Active packaging Smart packaging
Anti mikrobial Time-temperature indicators TTIs
Etilen scavenger Sensor indikator pembusukan mikroba
Pemanasan pendinginan Heatingcooling Physical shock indicators
Penyerap kelembaban Sensor kebocoran
Penyerappelepas bau dan rasa Sensor alergen
oksigen scavenger Indikator pertumbuhan mikroba
Penghambat pembusukan Sensor patogen dan kontaminasi
Sumber : Kuswandi et al. 2011 Aplikasi smart packaging yang paling banyak digunakan adalah Time-temperature indicators
TTIs. TTIs ini merupakan metode untuk menentukan kemunduran mutu. Selain TTIs terdapat satu metode lagi, yaitu Food Quality Indicators FQI. Menurut Day 2008 metode TTIs adalah indikator
yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar kemasan yang ada. Sementara itu, metode FQI adalah indikator yang bereaksi terhadap perubahan kimiawi atau
biologi dari kemasan produk yang menandakan rusaknya produk Pacquit et al. 2008. Dua indikator ini memiliki prinsip kerja sebagai colorimetric dengan melihat perubahan warna akibat menurunnya
mutu produk di dalam kemasan. Perbedaannya hanya pada reaksi yang digunakan sebagai sensor, TTIs menggunakan reaksi kimia produk sebagai indikator sedangkan FQI menggunakan reaksi
kimiawi atau biologi di dalam kemasan. Menurut Kuswandi et al. 2011, di masa mendatang pertumbuhan mikroba dan visualisasi dari
metode TTIs yang berdasarkan aktivitas fisik, kimia atau enzim dalam makanan akan memberikan indikasi yang jelas, akurat dan tidak ambigu dari kualitas produk, serta keamanan dan kondisi selama
masa simpan. Hingga saat ini, telah banyak dihasilkan berbagai macam jenis TTI. Seperti yang dikembangkan oleh Vaikousi et al. 2009, yaitu sistem TTI baru yang berdasarkan pertumbuhan dan
aktivitas metabolik dari strain Lactobacillus sakei untuk pemantauan kualitas makanan sepanjang rantai makanan dinginbeku. Kemudian Yan et al. 2008 mengembangkan jenis TTI baru
berdasarkan reaksi antara amilase dan pati. Kemasan cerdas dengan metode TTIs diharapkan dapat meniru perubahan parameter kualitas tertentu dari suatu produk pangan yang mengalami paparan pada
suhu tertentu. Laju perubahan parameter akan berkorelasi dengan variasi suhu selama penyimpanan
5 dan distribusi. Dengan demikian, sebuah TTIs akan menunjukkan atau menginformasikan makanan
tersebut telah terkena suhu tinggi dan durasi paparan yang wajar atau tidak. Pengaplikasian kemasan cerdas metode TTI di luar negeri jauh lebih berkembang daripada di
Indonesia. Negara-negara terutama di Eropa dan Amerika sudah banyak yang mengaplikasikan berbagai jenis TTI untuk produk-produk yang di jual di supermarket. Jenis TTI yang paling umum
digunakan adalah thermochromic ink dot Gambar 2. Thermochromic ink dot akan menginformasikan kepada konsumen mengenai kondisi penyajian yang benar untuk produk tersebut.
Kondisi yang dimaksud adalah suhu panas yang sesuai pada microwave dan suhu dingin pada lemari pendingin. Gambar pinguin pada label akan muncul apabila kondisi penyajian produk tersebut sudah
tepat. Selain Thermochromic ink dot, terdapat beberapa jenis TTI komersial lainnya. Jenis-jenis TTI komersial yang beredar dipasaran saat ini dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
a b
Gambar 2. Thermochromic ink dot saat a suhu penyimpanan tepat dan b suhu penyimpanan kurang tepat Vaikousi 2009.
Tabel 2. Contoh TTI komersial.
Produk Perusahaan
MonitorMark
™ 3M™
Timestrip
Timestrip Plc Fresh-Check
LifeLines CheckPoint
Vitsab Sumber : Kuswandi et al. 2011.
Semakin berkembangnya berbagai bentuk kemasan cerdas juga didorong oleh konsumen yang semakin khwatiran mengenai keamanan pangan dan kesegaran dari produk yang mereka konsumsi.
Keterangan dari stampel tanggal kadarluarsa Gambar 3a dirasa sudah tidak cukup untuk konsumen merasa aman. Hal ini dikarenakan tanggal kadarluarsa tidak dapat memberikan informasi mengenai
penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi pada produk selama penyimpanan maupun transportasi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat berupa secara tidak sengaja telah terkena
suhu tinggi selama penyimpanan atau transportasi, karyawan bekerja dengan tidak efisien, penyimpanan atau pendinginan yang tidak benar, serta kondisi lain yang menyebabkan produk tidak
berada dalam kondisi seharusnya. Meningkatnya kebutuhan informasi bagi konsumen mengenai produk yang mereka konsumsi,
mendorong kebutuhan akan kemasan cerdas semakin meningkat terutama untuk produk pangan. Dengan adanya kemasan cerdas yang dibentuk menjadi label atau stiker pada kemasan Gambar 3b,
akan memberikan informasi visual secara langsung kepada produsen, pengecer, dan konsumen mengenai kondisi produk. Selain itu, keuntungan lain penggunaan kemasan cerdas pada produk
makanan akan mempertahankan integritas dan aktif dalam mencegah pembusukan, meningkatkan
6 atribut produk penampilanwarna, rasa, aroma, viskositas, dan tekstur, serta dapat merespon secara
aktif terhadap perubahan produk atau lingkungan kemasan Kuswandi et al. 2011.
a b
Gambar 3. Label a tanggal kadarluarsa dan b kemasan cerdas pada produk Anonim, 2009a. Kemasan cerdas pada gambar di atas bekerja berdasarkan waktu kadarluarsanya. Saat produk
mendekati kadarluarsa label tersebut akan berubah warna menjadi biru dan akan berubah menjadi biru tua saat produk telah melewati tanggal kadarluarsanya. Dengan demikian, konsumen dapat
membedakan mana produk yang masih segar dan mana yang sudah tidak dapat dikonsumsi. Begitu pula dengan jenis kemasan cerdas lainnya. Dengan penambahan informasi dari kemasan cerdas,
konsumen dapat mengetahui kualitas yang sebenarnya dari produk yang terkemas meskipun tanggal kadarluarsanya masih jauh.
2.2
Kitin dan Kitosan
Kitin dan kitosan merupakan bahan industri berekonomi tinggi. Hal tersebut dikarenakan, memiliki harga jual yang tinggi, mudah untuk didapatkan, dan memiliki banyak kegunaan. Selain itu,
kedua produk ini merupakan sumber daya terbarukan yang sedang banyak dikaji baik pada penelitian akademik maupun penelitian industri. Hal tersebut dikarenakan kedua produk ini dapat digunakan
untuk keperluan kosmetika, industi pangan, pertanian, dan pengelolaan lingkungan. Selain itu kitosan juga dapat digunakan pada makanan kesehatan. Kitosan akan mengikat lemak makanan yang masuk
ke dalam tubuh sehingga kadar kolesterol akan menurun. Kitin merupakan senyawa terbesar ke dua setelah selulosa. Selain itu, dikenal juga sebagai
polimer organik konvensional dari laut. Kitin Gambar 4 adalah polimer alami berupa selulosa beramin dan berasetil, yaitu N-asetil-D-glukosamin 2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose yang
dihubungkan oleh ikatan β-14 secara linier Suptijah 2006; Astuti 2008. Goosen 1997 menyatakan bahwa kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, serta merupakan polisakarida yang
banyak mengandung nitrogen. Selain itu, kitin hanya dapat larut dalam asam sulfat pekat panas dan asam format anhidrid Muzarelli 1977 dalam Suptijah 2006.
Gambar 4. Struktur kimia kitin Suptijah 2006. Senyawa tersebut banyak terdapat dalam rangka atau skeleton khususnya pada kulit udang,
kepiting, ranjungan krustasea, kerang, serta pada dinding sel bakteri dan fungi. Kitin umumnya
7 diekstraksi dari cangkang udang dengan cara penghilangan protein dan mineral menggunakan asam
dan basa kuat. Proses ekstraksi kitin terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pemisahan mineral demineralisasi dan tahap pemisahan protein deproteinasi yang dilanjutkan dengan tahap
deasetilisasi untuk menghasilkan kitosan. Tahapan proses pembuatan kitin dan kitosan Gambar 5 adalah sebagai berikut:
1. Pencucian dan Penggilingan
Proses awal pembuatan kitin adalah dengan melakukan pencucian cangkang udang menggunakan air mengalir lalu dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering. Setelah itu dicuci kembali di
dalam air panas dua kali dan direbus selama 10 menit. Bahan yang sudah kering, digiling sampai menjadi serbuk menjadi ukuran 40-60 mesh. Setelah itu dilanjutkan dengan proses demineralisasi.
2. Demineralisasi
Pemisahan mineral demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Limbah udang secara umum mengandung 30 – 50 mineral tergantung dari
spesiesnya. Mineral utama pada kulit udang adalah kalsium karbonat CaCO
3
dan sedikit kalsium fosfat CaPO
4 3
Angka dan Suhartono 2000. Semakin banyak mineral yang hilang, semakin baik kualitas kitin yang dihasilkan. Pada proses ini terjadi reaksi kimia antara asam klorida HCl dengan
kalsium CaCO
3
dan CaPO
4 3
. Reaksi tersebut menghasilkan kalsium klorida yang akan mengendap sehingga mudah dipisahkan.
Proses demineralisasi dilakukan dengan mencampur asam klorida HCl 1N dengan perbandingan antara bobot bahan cangkang udang dengan volume pengekstrak 1:7 bv dan dipanaskan pada suhu
90ºC selama satu jam Suptijah et al. 1992. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80
o
C selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Selama proses demineralisasi larutan diaduk secara konstan agar reaksi dapat berlangsung
secara sempurna. 3.
Deproteinasi Deproteinasi bertujuan untuk menghasilkan protein dari limbah udang tersebut. Efektivitas proses
tersebut tergantung pada kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Selama proses deproteinasi, larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah udang dan memutuskan ikatan antara
kitin dan protein. Penghilangan protein tersebut menggunakan larutan NaOH 3.5 dengan pemanasan 90ºC selama satu jam. Perbandingan antara bahan dengan pelarut 10:1 Suptijah et al.
1992. Larutan hasil demineralisasi dicampur dengan natrium hidroksida 3.5 dan diaduk selama satu
jam pada suhu 90ºC. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral. Setelah itu dikeringkan pada suhu 80
o
C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.
4. Deasetilasi
Proses deasetilisasi adalah proses pengilangan gugus asetil -COCH
3
yang terdapat pada kitin. Proses tersebut menggunakan larutan NaOH pekat 50 dengan perbandingan bahan dan larutan 1:
20 bv yang dipanaskan pada suhu 120-140ºC selama satu jam. Melalui proses deasetilasi, gugus asetil -COCH
3
dari kitin akan dilepaskan yang menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus amina -NH
2
Kitin yang telah terbentuk ditambahkan natrium hidroksida NaOH 50 dengan perbandingan kitin dan larutan 1:20. Larutan diaduk dan dipanaskan selama 90 menit pada suhu 140
o
C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dicuci dengan air sampai pH
netral. Setelah itu, dikeringkan dengan oven suhu 70
o
C selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir kitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan.
8 Gambar 5. Diagram alir pembuatan kitin dan kitosan Suptijah et al. 1992.
Kitosan adalah polimer karbohidrat polisakarida linier dari proses deasetilasi kitin yang merupakan komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea Sembiring 2011; Hasnedi 2009.
Kitosan Gambar 6 tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin GlcN dalam ikatan β 14
yang terdiri dari 2-amino-2-deoksi- β-D-glukopiranosa dan 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa
Prashanth dan Tharanathan 2007. Kitosan ini merupakan produk alami yang tidak beracun, tidak larut dalam air, dan biopolimer kationik yang dapat didegradasi Kofuji et al. 2005. Selain itu, bentuk
kitosan ini sangat spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Menurut Angka dan Suhartono 2000, gugus amin menyebabkan kitosan bermuatan positif, sedangkan polisakarida
lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif. Oleh karena itu, kitosan akan berinteraksi dengan kuat bila berikatan dengan protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan
negatif membentuk ion netral.
Gambar 6. Struktur kimia kitosan Suptijah 2006. Proses deasetilasi pada pembentukan kitosan bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil dari
kitin yang dapat dilakukan secara enzimatis dan kimiawi. Secara kimiawi dilakukan dengan Cangkang udang
Demineralisasi
Deproteinasi
Deasetilasi kitin
Kitosan HCl 1N
NaOH 3.5
NaOH 50 Pencucian
Demineralisasi
9 penambahan NaOH sedangkan deasetilasi secara enzimatis dilakukan dengan menggunakan enzim
kitin deasetilase Chang et al. 1997. Larutan NaOH ini dapat mengubah konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang. Penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi akan menghasilkan rendemen
kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi Rahardyani 2011. Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu yang menunjukan seberapa banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
rendemen kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasinya, maka gugus asetil yang terdapat dalam kitosan tersebut semakin sedikit Knorr 1982. Derajat deasetilasi ini juga menentukan bobot molekul
kitosan yang dihasilkan pada saat diekstrasi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan Tang et al. 2007.
Berat molekul, derajat deasetilasi, viskositas, dan kejernihan atau kemurnian merupakan sifat instrinsik yang menentukan karakterisasi kitosan. Karakteristik dan mutu kitosan dapat dilihat pada
Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Karakteristik dan mutu kitosan
Sifat Nilai
Ukuran partikel Serpihan atau bubuk
Kadar air berat kering ≤ 10
Kadar abu berat kering ≤ 2
Warna larutan Jernih
Derajat deasetilasi DD ≥ 70
Viskositas cps • Rendah
• Medium • Tinggi
• Ekstra tinggi 200
200 – 799 800 – 2000
2000 Sumber : Suptijah et al. 1992 dalam Rahardyani 2011
Aplikasi kitosan sudah banyak digunakan dalam berbagai bidang, diantaranya pada bidang pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, kecantikan, bioteknologi, industri tekstil dan kertas, dan
lain sebagainya. Pada bidang bioteknologi, kitosan digunakan dalam imobilisasi enzim dan media kultur tumbuhan. Sifat kitosan yang memiliki afinitas antibakteri dan biodegradable sehingga banyak
dimanfaatkan pada industri tekstil dan kertas sebagai zat aditif. Dalam bidang kesehatan dapat berperan sebagai antibakteri, antikoagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran
darah, antitumor sel leukimia. Pemanfaatan kitosan yang potensial adalah sebagai pengental, flokulan, penyerap, dan pembentuk lapisan yang baik dalam pengolahan limbah cair di bidang pertanian,
induatri kimia, obat-obatan, kosmetik, pangan, dan industri tekstil Chandkrachang 1991 dalam Sumarto 2008. Aplikasi kitosan, kitin, dan turunannya dalam industri dapat dilihat pada Tabel 4
berikut. Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri
Aplikasi Contoh
Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, mengukur kontaminasi jamur pada komoditi
pertanian Industri edible film
− Membatasi perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar − Menahan kehilangan zat-zat antioksidan
10 Tabel 4. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri Lanjutan
Aplikasi Contoh
− Menahan pelepasan zat-zat nutrisi, flavour, dan obat − Mereduksi tekanan parsial oksigen
− Mengontrol kecepatan respirasi − Menghambat browning enzimatis pada buah
− Mengembalikan tekanan osmosis membran
Zat aditif Mempertahankan flavour alami, bahan pengontrol tekstur, pengemulsi,
bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna Zat nutrisi
Serat diet, penurun kolestrol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, zat
antigastiris radang lambung, dan sebagai bahan makanan bayi Pengolahan limbah
Flokulan dan pemecah agar Pemurnian air
Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih Aplikasi lain
Inobilisasi enzim, enkapsulasi, kromatografi, dan bahan analisis Sumber : Shahidi et al. 1999 dalam Pangabean 2010.
2.3
Kitosan sebagai Bahan Film
Edible film menurut Krochta 1994 dalam Sumarto 2008 adalah lapisan tipis dan kontinyu
yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan coating atau diletakkan di antara komponen makanan film yang berfungsi sebagai penghambat terhadap massa
misalnya kelembaban, oksigen, lipid, zat terlarut, dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan. Krochta 1994 menambahkan bahwa
bahan dasar pembuatan film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid protein dan polisakarida, lemak asam lemak dan wax, dan campuran hidrokoloid dan lemak. Bahan dasar
yang tergolong protein berasal dari protein kedelai, jagung, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Sementara jenis polisakarida yang digunakan sebagai bahan dasar film, yaitu selulosa, pati, pektin,
ekstrak ganggang laut, dan kitosan. Beeswax, paraffin wax, carnauba wax, dan asam lemak seperti asam laurat dan asam oleat adalah lemak yang umum digunakan sebagai bahan dasar film.
Bahan dasar pembentuk film akan mempengaruhi sifat-sifat film itu sendiri. Kelebihan film yang dibuat dari kelompok hidrokoloid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi
produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid, memiliki sifat mekanis yang diinginkan, dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Tetapi film dari kelompok ini memiliki kelemahannya,
yaitu kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air. Sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Kelebihan kelompok lemak adalah memiliki kemampuan yang baik
untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksioneri atau meningkatkan kilap permukaan, serta mengurangi abrasi. Sama seperti kelompok
yang lain, film berbahan lemak memiliki kelemahan, yaitu kegunaannya sebagai film murni terbatas karena integritas dan ketahanannya tidak terlalu baik. Terakhir, film dari komposit gabungan
hidrokolid dan lemak dapat meningkatkan kelebihan dari film hidrokoloid dan lemak, serta mengurangi kelemahannya Syamsir 2008.
Pada penelitian ini digunakan kitosan sebagai bahan dasar pembuatan film. Kitosan dipilih karena dapat membentuk membran dan film dengan baik. Selain itu ketersedian limbah udang sebagai
bahan utama penghasil kitin dan kitosan cukup banyak dan mudah diperoleh. Potensi sumber daya ikan laut Indonesia sebesar 6.4 juta ton per tahun dengan 94.8 ribu ton merupakan potensi sumber
11 daya udang 7.5 total potensi stok ikan laut dunia Dahuri 2005. Dalam industri pemanfaatan
udang, terdapat hasil samping berupa kulit dan kepala udang. Selama ini hasil samping ini banyak dimanfaatkan oleh industri kecil untuk campuran pakan ternak, kerupuk udang, petis, dan lain
sebagainya. Pengolahan menjadi kitin dan kitosan menjadi potensi yang dapat meningkatkan nilai jual limbah tersebut. Harga jual kitosan di pasar internasional saat ini telah mencapai 10 USkg Sanford
2003. Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan asam dengan pH kurang
dari 6 dan asam organik misalnya asam asetat, asam format, dan asam laktat. Kitosan membentuk film apabila kitosan dilarutkan dalam larutan asam laktat atau asam asetat dan diberi tambahan plasticizer.
Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat asam cuka dengan konsentrasi 1 - 2 dan akan membentuk garam ammonium asetat Tang et al. 2007. Asam asetat
dengan rumus empirik C
2
H
4
O
2
dan rumus strukturnya CH
3
COOH adalah cairan tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam, berasa asam, serta larut dalam air, alkohol, dan gliserol. Asam
asetat cair adalah pelarut polar, mirip seperti air dan etanol. Selain itu, asam asetat ini merupakan asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan dan termasuk asam
lemah hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H
+
dan CH3COO
-
Anonim 2011a. Sementara plasticizer
menurut Krochta 1992 dalam Sumarto 2008 adalah substansi non volatil bertitik didih tinggi yang jika ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat fisik dan mekanik senyawa
tersebut. Bobot molekul yang kecil memudahkan plasticizer untuk masuk dalam matriks senyawa lain. Plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol. Gliserol adalah senyawa alkohol dengan tiga
buah gugus hidroksil dalam satu molekul alkohol trivilen. Gliserol ini berbentuk cair, kental, tidak berbau, transparan, higroskopis, serta dapat larut dalam air dan alkohol. Selain itu, molekul gliserol
ini relatif kecil sehingga dapat dengan mudah disisipkan di antara rantai polimer Gontrad et al. 1993. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus.
Penelitian mengenai penggunaan film kitosan sudah banyak dilakukan baik yang 100 menggunakan kitosan maupun yang mencampurnya dengan bahan tambahan lain. Seperti yang
dilakukan Suyatma et al. 2004 yang mencampur kitosan dengan polimer komersial polylactic acid dan memperoleh hasil bahwa ketahanan laju udara pada film kitosan menjadi meningkat. Laham dan
Lee 1995 menyatakan bahwa PE-Chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji ketika berada di dalam tanah. Kim dan
Thomas 2007 juga menyatakan bahwa penambahan larutan kitosan 0.2, 0.5, dan 1.0 ke daging ikan salmon dapat mengurangi oksidasi. Kemudian kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38
sampai 66 MPa, kurang lebih dua kali lipat dari kekuatan tarik dari plastik polietilena.
2.4
Bit
Bit Beta vulgaris yang termasuk dalam famili Chenopodiaceae merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput dan tumbuh di dalam tanah. Bit berasal dari daerah barat dan pesisir selatan
benua Eropa, dari Swedia selatan dan Kepulauan Britania ke selatan Laut Mediterania. Tanaman ini memiliki batang yang sangat pendek sehingga hampir tidak kelihatan. Bagian tanaman yang tumbuh
di dalam tanah akan membentuk umbi sebagai hasil perubahan bentuk dari akar tunggang. Bentuk umbi yang dihasilkan berbeda-beda, ada yang menyerupai gangsing dan ada yang lonjong. Kemudian
pada pangkal umbi tumbuh daun yang berwarna kemerahan. Bit ini memiliki beberapa varietas dan jenis dalam pembudidayaannya. Jenis bit yang paling
terkenal adalah beetroot atau garden beet, dimana di Indonesia lebih dikenal sebagai buah bit. Jenis lain dari bit adalah sayuran daun yang dikenal dengan nama chard dan spinach beet. Selain itu ada
12 pula bit gula, yaitu sayuran berakar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. Jenis
terakhir adalah mangelwurzel, yang merupakan tanaman pakan ternak Jaya 2012. Sementara untuk varietasnya, bit terdiri atas dua jenis, yaitu bit merah Beta vulgaris L.var. rubra L. yang umbinya
berwarna merah tua Gambar 7a dan bit putih atau bit potong B. vulgaris L. var cicla L. yang umbinya berwarna merah keputih-putihan Gambar 7b Anonim 2009a.
a b
Gambar 7. Varietas bit a bit merah dan b putih atau bit potongan Anonim 2009a. Manfaat dan kegunaan bit sangat beragam terutama untuk kesehatan. Hal ini dikarenakan
nutrisi yang terkandung didalam buah ini sangat bervariatif. Nutrisi yang terdapat dalam bit disajikan pada Tabel 5. Bahkan dibeberapa negara bit dijadikan sebagai bahan makanan sehari-hari. Sebagai
contoh, di Ukraina bit ini digunakan sebagai sup bernama borscht yang juga terkenal di negara-negara Eropa Timur dan Tengah. Kemudian kandungan serat yang tinggi pada akar dan daunnya sering
dimanfaatkan untuk obat sembelit Jaya 2012. Adapun manfaat lain dari bit menurut Widiastuti 2012 adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan kolesterol
2. Menghancurkan sel tumor atau kanker
3. Mencegah anemia
4. Mengobatan hati dan kantong empedu
5. Mengobatan kecanduan obat atau alkohol
6. Memberi tenaga dan menyeimbangkan tubuh
7. Melawan infeksi dan radang serta mengatasi masalah batu ginjal
8. Memperkuat fungsi darah dan mengatasi anemia
9. Memperkuat sistem peredaran darah dan sistem kekebalan
10. Membersihkan dan menetralkan racun di dalam tubuh
Tabel 5. Kandungan bit
Kandungan nutrisi Kadar
Fungsi
Asam Folat 34
Menumbuhkan dan mengganti sel-sel yang rusak Kalium
14,8 Memperlancar keseimbangan cairan di dalam tubuh
Vitamin C 10,2
Menumbuhkan jaringan dan menormalkan saluran darah Magnesium
9,8 Menjaga fungsi otot dan syaraf
Zat Besi 7,4
Metabolisme energi dan sistem kekebalan tubuh Tembaga
6,5 Membentuk sel darah merah
Fosfor 6,5
Memperkuat tulang Serat
13,6 -
Triptofan 1,4
-
13 Tabel 5. Kandungan bit Lanjutan
Sumber : Hana, 2012. Bit juga dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk berbagai jenis makanan. Warna ungu
ataupun merah keunguan yang dihasilkan sangat bagus digunakan sebagai perwarna makanan ataupun minuman secara alami. Di Indonesia sendiri, pewarna bit ini telah banyak diaplikasikan pada kue
tradisional seperti kue pepe atau lapis sagu yang menggunakan bit merah. Kemudian di Amerika yang menggunakan pewarna bit untuk membuat kue Red Velvet Cake kue simbol Amerika bagian selatan.
Warna pada bit disebabkan adanya pigmen betalain. Pigmen ini merupakan salah satu pigmen utama pada bunga dan buah selain antosianin dan karotenoid Mastuti 2010. Menurut Widiastuti
2012, betalain adalah pigmen tumbuhan yang memberi warna kuning, jingga, merah, dan ungu pada bagian daun dan buah. Pigmen belain ini terdiri dari betasianin ungu-merah dan betasantin kuning.
Warna pada bit disebabkan oleh gabungan pigmen betasianin dan pigmen betasantin tersebut Hana 2012. Menurut Christinet 2004, betasantin merupakan pigmen hasil kondensasi antara asam
betalamat dengan asam amino atau amina sehingga menghasilkan warna kuning-oranye pada absorbansi maksimum λ max470-486 nm. Sementara betasianian adalah hasil kondensasi antara
asam betalamat dengan cyclo-DOPA menjadi betanidin aglycon berwarna merah-ungu yang merupakan bentuk mayoritas dari betasianin. Hasil absorbansi maksimum λ max 534-554 nm dari
struktur aromatik setelah kondensasi inilah yang menghasilkan warna pada betasianin.
Kemudian betalain terutama betasianin dianggap berkaitan dengan antosianin. Meskipun begitu betasianin maupun betasantin rumus bangunnya tidak berkaitan dengan antosianin Widiastuti
2012. Tidak seperti antosianin, betasianin ini mengandung gugus nitrogen dan larut dalam air. Keberadaan antosianin pada tanaman jauh lebih banyak daripada betalain yang hanya ada pada
beberapa tanaman seperti sub-ordo Chenopodiinae dan ordo Caryophyllales Tabel 6. Proses pergantian ini menyebabkan betalain dan antosianin bersifat mutual ekslusif, yaitu kedua pigmen
tersebut tidak pernah berada pada satu tanaman yang sama. Tabel 6. Ordo Caryophyllales yang menghasilkan betalain dan antosianin.
Sub-Ordo Famili
Contoh Genus Chenopodiineae
Achatocarpaceae Achatocarpus
Menghasilkan betalain, tidak mengandung
antosianin Aizoaceae
Dorotheanthus,Mesembryanthenum, Carpobrotus
Amaranthaceae Amaranthus, Celosia, Gompherena, Iresine
Basellaceae Basella
Cactaceae Mammillaria, Opuntia, Parekia
Chenopodiaceae Beta,
Chenopodium, Spinacia Didiereaceae
Didierea Halophytaceae
Halophytum Hectorellaceae
Hectorella Nyctaginaceae
Bougainvillea, Mirabillis Phytolacaceae
Phytolacca, Geisekia Portulacaceae
Portulaca, Claytonia Stegnopermataceae
Stegnospermae
Kandungan nutrisi Kadar
Fungsi
Caumarin Mencegah tumor
Betasianin Mencegah kanker
14 Tabel 6. Ordo Caryophyllales yang menghasilkan betalain dan antosianin Lanjutan.
Sub-Ordo Famili
Contoh Genus Caryophyllineaceae
Caryophyllaceae Dianthus, Selene
Menghasilkan antosianin, tidak mengandung betalain
Molluginaceae Mollugo, limeum
Sumber : Zryd et.al 2004
2.5
Pewarna Alami Bit
Bahan pewarna saat ini banyak berasal dari pewarna sintetik. Bahan pewarna makanan tidak hanya berasal dari pewarna sintetik, pewarna alami pun dapat digunakan. Saat ini seiring dengan
perkembangan industri pangan, mulai terjadi kecenderungan untuk mengganti pewarna sintetik dengan pewarna alami. Hal yang sama juga terjadi pada industri non-pangan. Dalam beberapa bidang
industri non-pangan pewarna sintetik pun mulai digantikan oleh pewarna alami. Misalnya saja pada industri batik yang sudah dihimbau untuk mengurangi atau meninggalkan penggunaan warna sintetik.
Pewarna alami merupakan bahan pewarna yangdiperoleh dari sumber yang dapat dimakan atau bahan alami yang ada di alam. Pewarna alami dapat berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral.
Setiap tumbuhan dapat digunakan sebagai pewarna alami karena terdapat pigmen didalamnya. Jenis pewarna alami yang berasal dari tumbuhan diantaranya, klorofil hijau, antosianin merah, oranye,
ungu dan biru, biksin kuning seperti mentega, kurkumin kuning, dan karoten jingga sampai merah. Pewarna yang berasal dari hewan adalah mioglobin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah
pada daging. Selain itu juga terdapat pewarna karamel coklat gelap yang berasal dari hasil dari hidrolisis pemecahan karbohidrat, gula pasir, laktosa, dan sirup malt.
Pada bit terdapat pigmen warna bernama betalain. Betalain termasuk salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan dalam industri pangan. Betalain terdiri dari dua jenis pigmen, yaitu
betasianin dan betasantin. Betasianin merupakan pigmen yang berwarna merah atau merah keunguan, sedangkan betasantin adalah pigmen yang berwarna kuning. Rasio antara pigmen betasianin dan
betasantin berbeda-beda tergantung pada cuaca atau musim penanaman, tahap pematangan, dan varietas Widhiana 2000. Selain itu, pada betalain diketahui memiliki sifat antioksidan dan radical
scavenging sebagai perlindungan terhadap gangguan yang disebabkan oleh stres oksidatif tertentu
Mastuti 2010. Adanya pigmen warna pada bit tersebut, menjadikan bit banyak digunakan sebagai pewarna alami.
Pewarna alami bit berwarna merah keunguan yang menandakan bahwa pigmen betasianin lebih dominan dalam pewarna tersebut. Sejak dahulu pigmen betasianin telah banyak digunakan
untuk pewarna alami, hanya saja pengembangannya tidak secepat antosianin. Hal ini dikarenakan terbatasnya tanaman yang mengandung pigmen betalain Moreno et al. 2008. Sampai saat ini,
pigmen betasianin atau betalain yang sering digunakan hanya berasal dari Beta vulgaris. Tumbuhan jenis lain masih dalam tahap penelitian seperti Amaranthus dan Celosia.
Betasianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam bentuk ekstrak. Pelarut yang dapat digunakan adalah air, 80 metanol, maupun air:etanol. Menurut Eder 1996 betasianin memiliki
kelarutan tinggi dalam air. Telah banyak dilakukan penelitian cara mengekstraksi betasianin dengan berbagai pelarut agar ekstrak betasianin yang dihasilkan tinggi. Seperti yang dilakukan Khuluq et al.
2007 yang mengekstraksi pigmen betasianin dengan menggunakan perbandingan air:etanol dan suhu ekstraksi. Kemudian Widhiana 2000 yang melakukan ekstrasi bit dengan menggunakan pelarut air.
Stabilitas pigmen betasianin sebagai pewarna alami dipengaruhi oleh pH, paparan cahaya, oksigen, dan suhu. Warna betasianin paling stabil pada suhu 40ºC Pranutikagne 2009. Suhu dan
lama pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen sehingga
15 terjadi pemucatan Sutrisno 1987. Hal ini didukung oleh pernyataan Havlikova et al. 1983 yang
menyatakan bahwa stabilitas betasianin semakin menurun pada pemanasan suhu 70 dan 80ºC. Nilai kadar betasianin akan semakin menurun dengan meningkatnya suhu. Sementara itu, penyimpanan
pada suhu rendah lemari es lebih dapat mempertahankan pigmennya dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu tinggi maupaun suhu kamar. Suhu penyimpanan yang rendah dan hampir
tidak terkena cahaya akan menyebabkan pigmen betasianin ini relatif lebih stabil dan dapat tetap dipertahankan Widhiana 2000.
Sementara pada pH, pigmen betasianin stabil pada pH 4-6 Stintzing dan Carle 2007. Apabila pH yang terukur lebih tinggi atau lebih rendah dari range nilai tersebut, pigmen betasianin menjadi
tidak stabil. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Castelar et al. 2003 yang menyebutkan bahwa kestabilan yang tinggi dimiliki betasianin pada pH 5. Ketidakstabilan betasianin juga dapat
dipengaruhi oleh sinar lampu. Penyimpanan pigmen betasianin yang terkena cahaya lampu, lama- lama akan menyebabkan kerusakan pada struktur betasianin. Lampu merupakan sumber sinar yang
dapat memancarkan energi dimana sebagian energi tersebut diubah menjadi sinar tampak Smith 1975 . Cahaya tampak ini berupa proton yang akan diabsorbsi oleh pigmen betasianin sehingga
mendorong reaksi fotokimia yang merusak struktur betasianin dan terjadi degradasi kehilangan warna.
16
III. METODOLOGI