Pengaruh waktu dan titik pengukuran terhadap emisi Karbondioksida dan Metan di lahan gambut kebun Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara

(1)

KELAPA SAWIT PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV, LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

PUTRI YUNIASTUTI A14063029

MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

PUTRI YUNIASTUTI. Effect of Time and Measurement Sites on Carbondioxide and Methane Emissions in The Peatland of Oil Palm Plantation PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, North Sumatra. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and PRIHASTO SETYANTO.

The conversion of forest to estate plantation takes into account by the world because of the high potential of greenhouse gases emission such as CO2 and

CH4. This is due to the opening of oil palm plantation widely and the developed of

plant forest which is planned by the Indonesian Government in both mineral soil and peatland. The objectives of this research were to (1) measure and examine the flux and emission of green house gases (CO2 and CH4) at the certain ages of the

oil palm (TBM, TM 6, TM 12, and TM 18), (2) examine the effect of the distance from drainage and time measurement on greenhouse emission in oil palm plantation at the certain ages (TBM, TM 6, TM 12, and TM 18).

This research was conducted at the peatland of oil palm plantation in Panai Jaya and Meranti Paham, PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, North Sumatera in 2008-2009. The measurement was conducted in the morning and afternoon which was begun by choosing the location based on the distance of 50 m, 100 m, and 150 m from drainage ditch. The gases were sampled under the auspices of the plant, the and of the plant canopy, and the sidelines between plant by using the closed chamber and analyzed by using Micro GC CP 4900 for each plot. Randomized complete block design was applied to identify the effect on emissions.

The highest emission of CO2 occured in TM 18 (45.45 tons/ha/year) and

then TM 12 (43 tons/ha/year), TBM (41.79 tons/ha/year) and the lowest was in TM 6 (38.52 tons/ha/year). The emission of CH4 decreased with increament of

the depth of water table. The highest emission of CH4 was 7.70 tons/ha/year (TM

12) and followed 5.72 tons/ha/year (TBM), 5.59 tons/ha/year (TM 6) and lowest was 5.50 tons/ha/year (TM 18).

In general, emission of CO2 increased with further distance from drainage

ditch, but there was found that CO2 emission was not affected by the distance of

drainage ditch. In line with the effect of time, emission of CO2 in the afternoon is

higher than in the morning because of the increasing of temperature, but it was found the opposite which CO2 was not affected by temperature. Analysis of

variance showed that CO2 emission was not significantly affected by the distance

from drainage ditch and time measurement.

Keywords: emission of green house gases, peatland, oil palm, the distance from drainage ditch , and water table depth


(3)

PUTRI YUNIASTUTI. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbondioksida dan Metan di Lahan Gambut Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Di bawah bimbingan KUKUH MURTILAKSONO dan PRIHASTO SETYANTO.

Perluasan lahan perkebunan yang kebanyakan melalui konversi hutan mengundang perhatian dunia karena tingginya potensi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan seperti gas CO2 dan CH4. Hal ini terkait dengan pembukaan secara

meluas kebun kelapa sawit dan pembangunan hutan tanaman yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia baik di tanah mineral maupun tanah gambut. Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan pengukuran dan mengkaji fluks dan emisi GRK (CO2 dan CH4) dari lahan gambut pada tanaman kelapa sawit usia TBM, TM 6,

TM 12, dan TM 18, (2) mengkaji pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran terhadap emisi GRK dari lahan gambut pada tanaman kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18.

Penelitian emisi CO2 dan CH4 dilaksanakan di lahan gambut perkebunan

kelapa sawit Panai Jaya dan Meranti Paham, PT Perkebunan Nusantara IV, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara tahun 2008 – 2009. Pengukuran emisi dilakukan pada pagi dan siang hari yang diawali dengan menentukan lokasi menurut jarak 50 m, 100 m, dan 150 m dari saluran drainase. Masing-masing plot tersebut dilakukan pengambilan contoh gas di bawah naungan tanaman, di ujung kanopi tanaman sawit, dan di sela-sela antar tanaman sawit dengan mengunakan sungkup tertutup dan dianalisis dengan Micro GC CP 4900. Pengaruh teknik pengukuran terhadap emisi disusun dengan menggunakan rancangan percobaan (RFAK) dua perlakuan.

Emisi CO2 tertinggi yaitu dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18

(45.45 ton/Ha/tahun) kemudian TM 12 (43 ton/Ha/tahun), TBM (41.79 ton/Ha/tahun) dan terendah di lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM 6 (38.52 ton/Ha/tahun). Emisi CH4 menurun dengan semakin dalam muka air tanah.

Emisi CH4 tertinggi pada penelitian ini sebesar 7.70 ton/Ha/tahun (TM 12)

kemudian 5.72 ton/Ha/tahun (TBM), 5.59 ton/ha/tahun (TM 6), dan terendah sebesar 5.50 ton/Ha/tahun (TM 18).

Secara umum emisi CO2 meningkat dengan semakin jauh jarak dari

saluran drainase, namun dijumpai dimana emisi CO2 tidak bergantung pada jarak

drainase. Begitu pula dengan pengaruh waktu, emisi CO2 di siang hari lebih tinggi

karena meningkatnya suhu, namun dijumpai juga pola sebaliknya dimana emisi CO2 tidak bergantung pada suhu. Hasil analisis ragam menunjukkan emisi CO2

tidak berpengaruh secara nyata berdasarkan jarak dari drainase maupun berdasarkan waktu pengambilan sampel di berbagai umur tanaman kelapa sawit.

Kata Kunci : Emisi GRK, Gambut, Kelapa Sawit, Jarak dari Saluran Drainase, Kedalaman Air Tanah


(4)

KELAPA SAWIT PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV, LABUHAN BATU SUMATERA UTARA

PUTRI YUNIASTUTI A 14063029

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Gambut Kebun Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu Sumatera Utara

Nama : Putri Yuniastuti

NRP : A14063029

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. Prihasto Setyanto, M.Sc NIP. 19600808 198903 1 003 NIP. 19690816 199503 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1988. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Gunarto dan Ibu Sumarsi.

Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK) Angkasa 6 Halim, Jakarta tahun 1993. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pinang Ranti 05 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan dari SLTPN 20 Jakarta, kemudian tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 67 Jakarta.

Tahun 2006 penulis diterima dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Bioteknologi Tanah (2009) dan praktikum Fisika Tanah (2010). Penulis juga pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) pada kepengurusan 2008-2009.


(7)

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbondioksida

dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu Sumatera Utara” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS sebagai dosen pembimbing I yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, arahan, dan memotivasi selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Prihasto Setyanto, M.Sc sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan saran terhadap penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. M. Ardiansyah sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya dengan baik.

4. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan atas kesediaannya membiayai dan mendukung penelitian ini.

5. Manajer dan Asisten Kebun Meranti Paham dan Panai Jaya PT Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara serta seluruh staf Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian ini.

6. Almarhumah Dr. Ir. Astiana Sastiono selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan dan pengarahan selama masa perkuliahan.


(8)

8. Anggi Rhaditya Lubis, Decky Sanjaya, dan Zaini selaku rekan kerja penelitian yang saling membantu dan bekerja sama selama penelitian berlangsung. 9. Hendi Ferdiansyah (AGH’43) atas kerjasamanya membantu menggunakan

program SAS ketika mengolah data.

10. Rahmat Untung dan sahabat-sahabat di εSδ’43 (Intan, Uli, Ratri, Alan, Nahrul, Sony, Natasha, Richard, Nesya, Lebe, Syifa, Sindy, Dita, Yuli) serta rekan-rekan MSL’43 yang selalu berusaha menjadi tim yang solid.

11. Teman-teman dari SMA yang hingga kini bersemangat menyelesaikan studinya di IPB dan senantiasa saling memberikan motivasi (Dwi Mandasari, Risa Swandari, dan Rudy Haryanto Mario).

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Penulis berharap adanya kritik dan masukan untuk skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2011


(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia ... 4

2.2. Emisi Karbondioksida (CO2) pada Lahan Gambut ... 5

2.2.1. Hubungan Drainase dengan Emisi CO2 ... 6

2.2.2. Hubungan Iklim dan Suhu dengan Emisi CO2 ... 7

2.3. Emisi Metan (CH4) pada Lahan Gambut ... 7

III. BAHAN DAN METODE ... 9

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9

3.2. Pengukuran Fluks dan Emisi GRK ... 9

3.2.1. Pengukuran dan Perhitungan Fluks GRK ... 11

3.2.2. Pengukuran dan Perhitungan Emisi GRK ... 12

3.2.3. Pengaruh Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Pengukuran terhadap Fluks dan Emisi Karbon ... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian ... 15

4.2. Pengukuran Fluks GRK... 16

4.2.1. Pengukuran Fluks CO2 ... 16

4.2.2. Pengukuran Fluks CH4 ... 17

4.3. Emisi GRK ... 18

4.3.1. Emisi CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit ... 19

4.3.2. Hubungan Emisi CO2 dengan Jarak dari Drainase dan Waktu ... 21

4.3.3. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit di Berbagai Umur Tanaman ... 30


(10)

5.2. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN ... 36


(11)

Nomor Halaman Teks

1. ... E misi Karbon pada Lahan Gambut Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Pengambilan Sampel ... 14

2. ... F luks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan

Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 16

3. ... F luks CH4 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Air Tanah dan

Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman Di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 18

4. ... E misi CO2 dari Lahan Gambut pada berbagai umur tanaman kelapa

sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 20

5. ... E misi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TBM Berdasarkan

Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase ... 22

6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 6 Berdasarkan

Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase ... 24

7. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 12 Berdasarkan

Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase ... 26

8. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 18 Berdasarkan

Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase ... 28

9. Emisi CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Pengaruh Waktu, dan


(12)

11. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa

Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 31

Lampiran

1. Konsentrasi Ambient pada CO2 Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit

di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 37 2. Konsentrasi Ambient pada CH4 Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit

di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 38 3. Fluks CO2 (mg CO2/m2/jam) pada Berbagai Umur Tanaman

Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu ... 39 4. Fluks CH4 pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan

Kedalaman Air dan Jarak Drainase di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009... 44 5. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan waktu pada Emisi CO2 di

Kelapa Sawit TBM di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 45 6. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di

Kelapa Sawit TM 6 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 45 7. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di

Kelapa Sawit TM 12 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 45 8. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di

Kelapa Sawit TM 18 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 46 9. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Posisi dari Pokok Tanaman dan Waktu

pada Emisi CO2 di Kelapa Sawit TM 18 di Kebun Panai Jaya dan


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Peralatan yang Digunakan Untuk Mengukur Emisi GRK pada Lahan Gambut ... 11

2. Pengambilan Contoh Gas pada Tanah Gambut dengan Menggunakan

Sungkup Mika ... 11

3. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TBM

Berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak Saluran Drainase ... 23

4. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 6

Berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak Saluran Drainase ... 25

5. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 12

Berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak Drainase ... 27

6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan energi radiasi matahari yang terserap oleh permukaan bumi tidak mampu menembus atmosfer sehingga memantul kembali ke bumi menyebabkan terjadinya pemanasan global. Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah serius yang dapat mempengaruhi system kehidupan di bumi. Menurut IPCC (2007), dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur udara permukaan bumi rata-rata 0.74°C per tahun. Temperatur merupakan indikator terjadinya pemanasan global dan akan memberikan dampak besar terhadap perubahan iklim dunia. Perubahan iklim tersebut akan mengganggu sistem pertanian baik dalam skala mikro maupun skala makro.

Perluasan lahan perkebunan yang kebanyakan melalui konversi hutan mengundang perhatian dunia karena tingginya potensi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Apalagi Indonesia pernah dituduh sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar no.3 di dunia yang utamanya disebabkan oleh pembakaran lahan gambut untuk keperluan pertanian (WALHI, 2009). Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2 atau setara dengan 100 t C/ha dalam

bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2009).

Perhitungan terhadap beberapa emisi dan potensi rosot karbon pada pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sebaiknya dilakukan dalam waktu jangka panjang dengan memasukkan dalam perhitungan semua komponen emisi dan rosot karbon, baik di atas permukaan maupun di dalam tanah. Perhitungan emisi karbon di dalam tanah sangat penting terutama untuk lahan gambut (Agus dan van Noordwijk, 2007). Sementara itu dinamika emisi gas rumah kaca pada tanah gambut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air tanah atau pengelolaan permukaan air bawah tanah.


(15)

Salah satu gas rumah kaca yang paling prominentadalah karbon dioksida (CO2 ) yang menyumbangkan lebih dari 50% pemanasan global. Pengurangan gas

tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi emisinya maupun meningkatkan perosotnya, mengambil gas CO2 dari atmosfir dan menyimpannya dalam

ekosistem daratan dan lautan. Berdasarkan Kyoto Protocol yang diratifikasi secara resmi oleh seluruh Negara di dunia selain Amerika Serikat dan Australia pada 16 Februari 2005, perosot karbon oleh vegetasi atau tanah berimplikasi pada pembangunan carbon credit yang akan membuat cadangan kabon (carbon stock) sebagai komoditi perdagangan. Karbon tanah secara potensial dapat ditingkatkan melalui tanah-tanah terdegradasi dan penerapan secara meluas konservasi tanah, dan hal ini mendukung pembukaan secara meluas kebun kelapa sawit dan pembangunan hutan tanaman yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia baik di tanah mineral maupun tanah gambut. Kebutuhan global akan kelapa sawit saat ini yang 22.5 juta ton per tahun akan meningkat hingga 40 juta ton pada tahun 2020. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan 6 juta hektar kebun kelapa sawit dibuka baru dan setengahnya diduga akan berada di Indonesia. Semenjak tahun 1985 kebun kelapa sawit di Indonesia telah berkembang dari 600 ribu hektar hingga 3 juta hektar pada tahun 2000 (Laporan Departemen Kehutanan Republik Indonesia kerjasama dengan Uni-Eropa, 2001 dalam Hooijer, 2006).

Bentuk emisi karbon ke atmosfer selain gas CO2, CH4 merupakan salah

satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Emisi CO2 dan CH4 ini tidak dapat dihindarkan dalam

budidaya tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukan hutan. Selama masa budidaya tanaman kelapa sawit, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan berlangsungnya proses dekomposisi gambut oleh mikroorganisme (Handayani, 2009).

Emisi gas rumah kaca bukan hanya merupakan masalah global, namun sangat berpengaruh kepada segenap aspek kehidupan di Indonesia. Oleh sebab itu karbon pada lahan gambut perlu dikonservasi agar tidak menambah konsentrasi gas rumah kaca dan mempengaruhi peningkatan temperatur bumi. Dengan mengetahui dan menduga besar emisi GRK yang dihasilkan dari lahan gambut pada kebun kelapa sawit, diharapkan dapat dilakukan upaya pengendalian atau


(16)

penurunan emisi sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global serta penggunaan lahan gambut dapat diupayakan secara berkelanjutan.

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melakukan pengukuran dan mengkaji fluks dan emisi GRK (CO2 dan CH4)

dari lahan gambut pada tanaman kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18

2. Mengkaji pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran terhadap emisi GRK dari lahan gambut pada tanaman kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton (Mt) CO2-e.

Namun pada Conference of Paties (COP) ke 12 di Nairobi, Kenya, dengan dipresentasikannya makalah Wetland International (Hooijer et al., 2006) perhatian dunia secara mendadak tertuju kepada Indonesia, terlebih lagi sesudah Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang terdiri dari 3000 pakar itu menerima laporan dari Wetland International ini.

. Emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan setinggi 3000 Mt atau 3 Giga ton (Gt) CO2-e per tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 2000 Mt dari

total emisi tersebut berasal dari lahan gambut. Diperoleh data bahwa emisi CO2 saat ini dari dekomposisi lahan gambut yang dikeringkan mencapai jumlah 632 Mton/tahun ( antara 355 dan 874 Mton/tahun). Emisi ini akan terus meningkat dalam dekade mendatang apabila tidak ada perubahan dalam praktek pengelolaan lahan dan rencana pengembangan lahan gambut, dan akan berlanjut terus melampaui abad ke-21 (Hooijer, 2006). Emisi dari pembukaan hutan dan perubahan.penggunaan lahan bukan gambut diperkirakan hanya sekitar 500 Mt dan emisi yang berhubungan dengan pembakaran juga sebesar 500 Mt CO2-e.

mungkin angka tersebut lebih disebabkan oleh ekstrakpolasi data saat kebakaran di musim kemarau (IPCC, 2006).

COP 13 di Bali tidak menghasilkan resolusi mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), baik untuk lahan gambut tanah mineral, maupun sepakat dengan perlunya dilakukan ‘demonstration’ tentang cara pengurangan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme REDD.

Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. Gas CO2

akan diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman enjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, tanah gambut yang bertindak sebagai rosot (sink) CO2 atmosfer (Barchia, 2006).


(18)

Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan

gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersdiaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas

yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001).

2. 2. Emisi Karbondioksida (CO2) pada Lahan Gambut

Di Indonesia kontribusi terbesar gas rumah kaca berasal dari karbondioksida. Walaupun emisi CO2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini

akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintensis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman (Setyanto, 2008).

Dalam keadaaan alami lahan gambut merupakan penambat (net sink) dari karbon. Apabila hutan gambut dibuka maka akan terjadi emisi yang sangat tinggi disebabkan oleh pembakaran dan pengaruh drainase. Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2 atau setara dengan 100 t C/ha dalam bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2009).

Emisi karbondioksida ke atmosfer dari lahan gambut melalui dua mekanisme, yaitu:

Drainase untuk pengeringan lahan gambut yang mengarah kepada aerasi bahan gambut dan kemudian menyebabkan terjadinya oksidasi (disebut juga dekomposisi aerobik). Oksidasi material gambut ini menghasilkan emisi gas CO2.

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO2.

Namun kebakaran sangat jarang sekali terjadi di kawasan gambut yang tidak terdegradasi atau yang tidak dikeringkan (BPPT, 2010).


(19)

2.2.1.Hubungan Drainase dengan Emisi CO2

Drainase tanah gambut dikaitkan pada dua aspek penting yang meliputi: (1) membuang air yang berlebihan kearah saluran pembuangan air dan (2) mempertahankan permukaan air tanah pada ketinggian tertentu untuk mempertahankan agar subsiden yang terjadi dapat diadaptasi sesuai dengan yang dikehendaki. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi saat terganggu apabila mengalami drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tidak-balik dan porositas yang sangat tinggi (Sabiham, 2006 dalam Batubara, 2009).

Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu (Agus dan Subiksa, 2008).

Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (Sumatera Utara), pada tahun 2009 mendapatkan bahwa setiap ha perkebunan sawit di lahan gambut yang air tanahnya diturunkan sekitar 40 – 70 cm, akan mengemisikan 25-45 t CO2/ha/tahun, bahkan jika air tanah diturunkan hingga 80 cm akan dapat

mengemisikan CO2 sebesar 51 ton CO2/ha/tahun (atau sekitar 14 gr CO2/m2/hari).

Semakin dalam air tanah gambut di drainase, semakin besar tingkat emisi CO2.

Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan kehilangan C-organik dan subsiden pada lahan gambut. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh tanah jika dilakukan

drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi dengan ketersediaan O2. Ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dapat

mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO2 dan CH4 (Handayani, 2009).


(20)

2.2.2. Hubungan Iklim dan Suhu dengan Emisi (CO2)

Dalam pengukuran emisi CO2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait

dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda dengan musim penghujan, maka CO2

sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut (Handayani, 2009)

Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut. Informasi tentang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi. Selain itu, data pengukuran emisi GRK kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa, 2008).

2.3. Emisi Metan (CH4) pada Lahan Gambut

Gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya saat ini telah banyak meresahkan, karena keberadaannya yang mampu meningkatkan efek pemanasan global. Gas metan merupakan salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca dibandingkan karbondioksida yang menyebabkan kerusakan ozon dan kenaikan suhu (Yulianto, 2008). Gas tersebut ditengarai berpotensi menyebabkan pemanasan global (global warming). Kemampuan CH4 untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi, karena kapasitas

absorbsi infra merah per molekul 25 kali lebih tinggi dibanding CO2. Kontribusi

CH4 terhadap pemanasan global sebesar 15% dan menduduki peringkat kedua

setelah CO2 (Suprihati et al., 2006).

Menurut Hadi (2008) bahwa emisi gas rumah kaca khususnya metan dan sifat mikrobiologi tanah merupakan aspek penting yang perlu dievaluasi sebagai dampak pembangunan. Metan terbentuk oleh aktivitas bakteri anaerob metanogen.


(21)

Bakteri ini aktif merombak bahan organic dan menghasilkan gas metan (Mulyadi dan Sasa, 2005).

Pembentukan metan secara biogenik merupakan hasil dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh bakteri methanogen. Bakteri ini berkembang pesat pada tanah dengan kondisi anaerob, oleh sebab itu banyak dijumpai pada tanah tergenang. Proses metanogenesis merupakan proses biologi pada tanah yang dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks, pH tanah, akumulasi dan dekomposisi bahan organic, dan varietas tanaman (Setyanto, 1994 dalam Yulianto, 2008).


(22)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam tahun 2008 – 2009 dan merupakan kombinasi dari penelitian terdahulu dan verifikasi data di lapangan pada November 2009. Verifikasi lapangan dilakukan di kebun kelapa sawit Panai Jaya, PT Perkebunan Nusantara IV, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam penelitian pada kebun kelapa sawit di lahan gambut ini yaitu pengukuran fluks dan emisi karbon (CO2 dan CH4) dari

lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan (TBM) di kebun Panai Jaya dan pada lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit sudah menghasilkan (TM 6, TM 12, dan TM 18) dilakukan di kebun Meranti Paham. Pengukuran di lapang dilakukan sebanyak 5 kali pengambilan contoh gas. Pengukuran I sampai dengan pengukuran V secara berturut-turut dilakukan pada bulan Agustus 2008, November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009.

3.2. Pengukuran Fluks dan Emisi GRK

Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi GRK dari tanah gambut, perlu pemahaman bahwa GRK dari lahan pertanian tidak diemisikan melalui tanaman berkayu. Tanaman seperti kelapa sawit atau tanaman perkebunan lainnya bukan merupakan media penghubung untuk melepaskan GRK dari suatu proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di dalam tanah. Oleh karena itu, emisi GRK pada lahan perkebunan diukur secara langsung dari permukaan tanah dan tidak melibatkan tanaman penutup tanah. Lain halnya dengan tanaman yang berpembuluh aerenkima seperti padi dan rerumputan, pembuluh aerenkima yang terdapat pada batang dan akar tanaman berfungsi sebagai cerobong (chimney) yang menghubungkan rizosfir tanaman dalam kondisi anaerobik dengan udara bebas. Pelepasan gas melalui pembuluh ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan termodinamik pada batang dan perakaran tanaman. Untuk itu, pengukuran emisi gas khususnya CH4 di tanaman yang berpembuuh

aerenkima (misalnya padi) menggunakan boks yang dapat menutupi seluruh tanaman tersebut.


(23)

Dalam pengukuran fluks, pengamatan GRK dilakukan pada pukul 06.00-07.00 dan pukul 12.00-13.00. Pengambilan contoh GRK dilakukan secara manual di lapangan menggunakan boks yang terbuat dari kaca mika dengan kaki-kaki yang terbuat dari alumunium. Boks yang digunakan berukuran 60 x 60 x 30 cm dan dilengkapi dengan kipas yang dijalankan dengan baterai elemen kering. Kipas tersebut berfungsi untuk menghomogenkan konsentrasi gas dalam boks.

Boks diletakkan di atas tanah yang dekat dengan kanopi tanaman. Dalam kondisi lahan yang basah sebaiknya boks agak ditekan agar sebagian masuk dalam tanah. Pada saat menekan boks, penutup karet yang terletak di atas boks untuk tempat insersi jarum suntik dilepas agar kondisi tekanan dalam boks tetap stabil. Setelah beberapa menit, penutup karet kembali dipasang dan bersamaan dengan itu fan dinyalakan dengan tenaga dari baterai elemen kering yang selalu dibawa oleh teknisi yang bertugas mengambil contoh gas. Jarum suntik dengan volume 10 ml digunaan untuk mengambil contoh gas. Sebelum digunakan untuk mengambil contoh gas, jarum suntik dibungkus dengan alumunium foil yang berfungsi mengurangi pengaruh radiasi matahari terhadap jarum suntik. Dalam satu kali pengamatan dilakukan pengambilan 4 contoh gas dengan interval waktu 10, 20, 30 dan 40 menit sebagai data pengulangan. Pengamatan GRK dilakukan pada pukul 06.00-07.00, dan pukul 12.00-13.00.

Boks penangkap gas CO2 dan CH4 (Gambar 1) dilengkapi dengan

termometer yang berfungsi untuk pengukur perubahan suhu dalam boks dan data suhu tersebut digunakan dalam perhitungan besarnya fluks. Contoh gas dalam jarum suntik 10 ml (Gambar 2) yang sudah terkumpul kemudian dianalisis konsentrasinya dengan micro GC yang dapat secara langsung dioperasikan di lapang. Micro GC CP 4900 (Gambar 2) menggunakan detektor TCD (thermal conductivity detector) yang beroperasi menggunakan baterai lithium ion. Micro GC ini dapat beroperasi selama 8 jam/hari. Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan dalam operasional micro GC adalah helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,999%. Pengggunaan micro GC dapat meningkatkan akurasi data pengukuran di lapang.


(24)

Gambar 1. Pengambilan Contoh Gas pada Tanah Gambut dengan Menggunakan Sungkup Mika

Jarum suntik 10 ml Micro GC CP 4900 Fan septum karet

Chamber dari mika

Gambar 2. Peralatan yang Digunakan Untuk Mengukur Emisi GRK pada Lahan Gambut

3.2.1. Pengukuran dan Perhitungan Fluks GRK

Konsentrasi GRK (CO2 dan CH4) diperoleh berdasarkan nilai area dari

standar gas dan area dari contoh gas yang akan dihitung konsentrasinya. Berdasarkan persamaan (1) konsentrasi satu contoh gas dapat dihitung. Csp adalah nilai konsentrasi gas satu contoh (ppm), sedangkan Cstd adalah konsentrasi gas standar (bersertifikat) yang ada. Asp adalah area dari peak hasil pembacaan kromatogram, dan Astd adalah area dari pembacaan kromatogram gas standar.


(25)

Csp Asp

—— = ——— ……….. (1) Cstd Astd

Setelah data konsentrasi gas pada interval waktu 10, 20, 30 dan 40 menit, dihitung, kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan fluks GRK. Hasil analisis konsentrasi gas dengan interval waktu 10 menit tersebut akan digunakan untuk menentukan laju perubahan/fluks CO2 dan CH4 ( c/ t). Koefisien arah

persamaan regresi tersebut ditentukan sebagai fluks GRK.

3.2.2. Pengukuran dan Perhitungan Emisi GRK

Emisi GRK akan dihitung dari hasil pengukuran fluks secara langsung dari lahan gambut dengan metode close chamber technique dengan persamaan (2) sebagai berikut:

Bm Csp V 273.2

E = —— x ——— x —— x ———— ……….. (2) Vm t A T+273.2

dimana:

E = emisi CH4 (mg/m2/hari)

V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2)

T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (°C) Csp/ t = laju perubahan konsentrasi gas CO2 dan CH4

(ppm/menit)

Bm = berat molekul gas CO2 dan CH4 dalam kondisi standar

Vm = volume gas pada kondisi stp (standar temperature and pressure) yaitu 22.41 liter pada 273°K


(26)

Penghitungan emisi dari lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan sawit dilakukan secara langsung di lapang. Adapun teknis pengukuran emisi GRK adalah lokasi yang dibedakan menurut jarak dari saluran drainase dan letak dari tajuk tanaman sejauh :

a. 50 m dari saluran drainase, b. 100 m dari saluran drainase, c. 150 m dari saluran drainase.

Masing-masing plot tersebut dilakukan pengambilan contoh gas dengan memilih lokasi:

a. di bawah naungan tanaman, b. di ujung kanopi tanaman, dan c. di sela-sela antar tanaman sawit.

3.2.3. Pengaruh Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Pengukuran terhadap Fluks dan Emisi Karbon

Setelah diketahui besar fluks dan emisi yang dihasilkan, kemudian parameter tersebut dibandingkan berdasarkan jarak tanaman dari saluran drainase dan waktu pengukuran berdasarkan data yang sudah ada dengan metode rancangan RFAK (Rancangan Faktorial Acak Kelompok) dua perlakuan menggunakan software SAS versi 6.12. Model Rancangan Percobaan yang digunakan adalah :

Y = µ + αi+ βj + (αβ)ij+ ijk

dimana:

µ : rataan umum

αi : pengaruh jarak saluran drainase ke-i

βj : pengaruh waktu ke-j

(αβ)ij : interaksi antara jarak saluran drainase dan jarak dari pokok tanaman ijk :galat

Berdasarkan dari persamaan rancangan percobaan tersebut maka perbedaan atau pengaruh nyata dari perlakuan emisi dapat diketahui, dimana lokasi dari pokok tanaman dianggap sebagai ulangan dalam rancangan percobaan. Apabila hasil perbandingan dengan metode rancangan RFAK 2 perlakuan menunjukkan


(27)

perbedaan yang nyata, maka perlu uji lanjut dengan Uji Duncan untuk mengetahui perlakuan mana yang menunjukkan perbedaan. Sedangkan apabila hasil perbandingan tersebut menunujukkan perbedaan yang tidak nyata, maka perlu dibangun grafik dan persamaan regresi untuk mengetahui kecenderungan dari pengaruh perlakuan teknik pengukuran emisi. Rekapitulasi data untuk pengolahan rancangan percobaan dapat disusun seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Emisi Karbon pada Lahan Gambut Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu Pengambilan Sampel

Waktu Jarak dari pokok tanaman

Jarak dari drainase

(kg/Ha/tahun) rata-rata emisi 50 m 100 m 150 m

bawah naungan Pagi ujung kanopi antar tanaman bawah naungan Siang ujung kanopi antar tanaman


(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Kebun Panai Jaya (Ajamu 3). Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham, Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02o11’18”– 02o21’24” δU dan 100o09’13”-100o12’02” BT. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit ini dimulai sejak tahun 1970-an. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 1980 sampai tahun 1999 dan dilakukan replanting pada tanaman yang mulai tidak produktif. Varietas yang mendominasi adalah Varietas Marihat. Sedangkan Kebun Panai Jaya terletak di kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara dan terletak pada koordinat 02o22’40”–02o26’23” δU dan 100o15’26”-100o17’30” BT. Pembukaan lahan ini dimulai sejak tahun 2005. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 2006 sampai tahun 2008 dan direncanakan masih ada penanaman baru. Varietas yang digunakan adalah Varietas Socfin. Pada tanaman kelapa sawit umur 3 tahun (TBM) dilakukan di Kebun Panai Jaya, sedangkan pada tanaman kelapa sawit usia TM 6, TM 12, dan TM 18 dilakukan di Kebun Meranti Paham.

Kematangan gambut dari kedua kebun tersebut beragam dari saprik sampai fibrik. Keberagaman kematangan gambut pada Kebun Meranti Paham cenderung secara vertikal, dimana bagian permukaan memiliki kematangan saprik karena lahan ini telah lebih dari 25 tahun dibuka dan telah mengalami berbagai pengolahan lahan, drainase dan pemupukan yang intensif sehingga mempercepat proses dekomposisi. Sementara itu kematangan pada Kebun Panai Jaya sangat beragam baik secara vertikal maupun horisontal disebabkan lahan ini baru mengalami pembukaan sekitar 4 tahun sehingga belum mengalami dekomposisi lanjut (Yulianti, 2009).


(29)

4.2. Pengukuran Fluks GRK 4.2.1. Pengukuran Fluks CO2

Pengukuran fluks GRK merupakan pengukuran berdasarkan pengambilan sampel gas dari sungkup tertutup dengan frekuensi 10, 20, 30, dan 40 menit sekali kemudian dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-4900. Hasil analisis, akan didapat konsentrasi ambient CO2 untuk mengetahui

fluks CO2 (Tabel Lampiran 1). Pengukuran fluks ini dilakukan di lahan gambut

pada berbagai umur tanaman kelapa sawit berdasarkan perbedaan waktu pengambilan sampel dan jarak dari saluran drainase.

Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai fluks CO2 pada

lahan gambut adalah kedalaman air tanah. Penelitian yang dilakukan Batubara (2009) dan Handayani (2009) menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO2. Pada Tabel

2 ditunjukkan hubungan hasil pengukuran nilai fluks CO2 dan kedalaman air tanah

di lahan gambut dengan penggunaan lahan kelapa sawit di berbagai jarak dari saluran drainase.

Tabel 2. Fluks CO2 dari Lahan Gambut berdasarkan Kedalaman Air Tanah

dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur Tanaman Jarak dari drainase (m) Rata-rata kedalaman air (cm)

Fluks CO2

(mg/m2/jam)

Rata-rata Fluks CO2 (mg/m2/jam)

TBM 50 m 46 443 483

100 m 39 530

150 m 48 477

TM 6 50 m 48 390 431

100 m 51 415

150 m 51 486

TM 12 50 m 61 601 502

100 m 62 466

150 m 62 440

TM 18 50 m 65 700 570

100 m 70 515

150 m 76 496

Sumber : PPKS (2010)


(30)

Tabel 2 menunjukkan rata-rata kedalaman permukaan air tanah pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dan kaitannya dengan besar fluks CO2 di

lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit. Data tersebut menjelaskan bahwa di lahan gambut yang ditanami kelapa sawit usia TBM berada pada rata-rata kedalaman air tanah paling dangkal yaitu 44-45 cm dari permukaan tanah gambut. Sedangkan kedalaman air tanah paling dalam terdapat di lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit usia TM 18 yaitu berkisar 65-70 cm dari permukaan tanah. Nilai fluks CO2 di lahan gambut dengan kelapa sawit TM 18

yaitu sebesar 570 mg/m2/jam, paling tinggi dibanding umur tanaman lain. Besarnya fluks CO2 tersebut berhubungan dengan kedalaman air tanah. Menurut

penelitian Handayani (2009), kedalaman muka air tanah akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan dengan laju dekomposisi dan menentukan nilai fluks CO2. Semakin dalam muka air tanah

berarti dekomposisi bahan organik besar dan menyebabkan fluks CO2 semakin

tinggi karena gas CO2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi.

Pernyataan tersebut tidak konsisten di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM yang menunjukkan kedalaman air paling dangkal tetapi fluks CO2 yang dihasilkan

justru lebih besar dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6.

4.2.2. Pengukuran Fluks CH4

Pengambilan contoh gas untuk pengukuran fluks CH4 ini dilakukan

bersamaan dengan pengambilan contoh gas CO2 di lapang. Pengukuran CH4 di

kebun Panai Jaya dan Meranti Paham hanya dimulai pada pengamatan kedua sampai dengan pengamatan kelima (November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009) dan hanya satu kali waktu pengukuran, yaitu siang hari. Hasil pengukuran juga dianalisis dengan mikro GC CP-4900 untuk mendapatkan konsentrasi ambient CH4 yang terinci dalam Tabel Lampiran 2. Seperti pada

pengukuran fluks CO2, pengukuran fluks CH4 ini juga dilakukan di lahan gambut

pada 4 umur tanaman kelapa sawit, yaitu kelapa sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18.

Mekanisme rosot gas metan (CH4) yang diketahui saat ini hanya terjadi

melalui serapan bakteri metanotrop dan reaksi dengan senyawa radikal bebas yang ada di lapisan ionosfir bumi. Oleh karena itu, meskipun bentuk CH4 secara angka


(31)

nilainya lebih kecil daripada CO2, namun kemampuan CH4 dalam menyebabkan

pemanasan global lebih besar (Handayani, 2009).

Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi fluks CH4. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap

terbentuknya gas CH4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data pada Tabel 3

menunjukkan nilai fluks CH4 yang terkecil di lahan gambut pada kelapa sawit usia

TM 18 sebesar 8.59 mg/m2/jam dengan kedalaman muka air tanah terdalam berkisar 63-68 cm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam muka air tanah dari permukaan gambut menyebabkan terciptanya kondisi aerob, sehingga produksi CH4 semakin menurun karena gas CH4 lebih mudah terbentuk pada

kondisi anaerob.

Tabel 3. Fluks CH4 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Air

Tanah dan Jarak dari Saluran Drainase pada Berbagai Umur Tanaman di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur

Tanaman Jarak dari drainase (m)

Rata-rata kedalaman air

(cm)

Rata-rata Fluks CH4

(mg/m2/jam)

TBM 50 m 48 1.385

100 m 42

TM 6 50 m 50 0.997

100 m 52

TM 12 50 m 61 1.847

100 m 62

TM 18 50 m 63 0.859

100 m 68

Sumber : PPKS (2010)

4.3. Emisi GRK

Emisi CO2 merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO2 di

beberapa titik pengambilan contoh gas dikalikan dengan jumlah hari dalam satu tahun dan diekstrapolasi ke dalam luas satu hektar. Sedangkan fluks CO2 dihitung

berdasarkan pengukuran insitu CO2 dengan menggunakan portable gas

chromatography. Hasil pengukuran fluks CO2, untuk mengetahui besarnya emisi

CO2 di lahan gambut pada berbagai umur tanaman kelapa sawit dijelaskan secara


(32)

ditanami kelapa sawit dengan berbagai umur, yaitu umur TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berdasarkan waktu pengambilan sampel dan jarak pengambilan contoh gas dari saluran drainase. Hasil perhitungan emisi CO2 pada penelitian ini

merupakan gabungan penglepasan CO2 ke atmosfer dari dekomposisi dan

respirasi tanah gambut.

Berdasarkan penelitian Handayani (2009) dalam pengukuran emisi CO2

dengan menggunakan metode sungkup paralon pada daerah rhizosfer kelapa sawit umur 10 tahun dan non rhizosfer di lahan gambut dengan 15 titik pengamatan, diketahui rata-rata respirasi akar adalah sebesar 12,6 ton/ha/tahun. Hasil respirasi akar tersebut jika dibandingan dengan total emisi CO2 pada umur tanaman yang

mendekati dalam penelitian ini (TM 6) maka hasil respirasi akar ± 30% dari total emisi CO2. Sedangkan menurut penelitian Melling et al. (2005) di lahan gambut

kelapa sawit Sarawak, Malaysia, perhitungan nilai respirasi akar ± 29% dari total emisi CO2.

4.3.1. Emisi CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit

Emisi CO2 dari lahan gambut di kebun kelapa sawit dengan berbagai umur

kelapa sawit (TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18) disajikan pada Tabel 4. Selama 5 kali pengambilan contoh gas, terdapat beberapa kesamaan pola emisi CO2, di

mana lahan gambut dengan kelapa sawit yang semakin tua usia tanamannya, emisi CO2 yang dihasilkan juga semakin tinggi, walaupun pola tersebut tidak konsisten.

Lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM-18 memiliki rata-rata emisi CO2 yang

paling tinggi, yaitu sebesar 45.45 ton/Ha/tahun. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan antara usia tanaman kelapa sawit di lahan gambut dan kedalaman muka air tanah. Lahan gambut yang ditanami kelapa sawit dengan usia yang semakin tua memiliki kedalaman muka air tanah semakin dalam sehingga proses dekomposisi semakin meningkat yang akan menghasilkan CO2 lebih banyak.

Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut dengan kelapa

sawit usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18 berturut-turut yaitu sebesar 41.79 , 38.52 , 43, dan 45.45 ton/Ha/tahun. Rata-rata emisi CO2 meningkat pada di lahan

gambut dengan umur tanaman kelapa sawit yang semakin tua seperti pada TM 6, TM 12, dan TM 18. Namun terjadi perbedaan pola emisi CO2 dari lahan gambut


(33)

kelapa sawit pada usia ini lebih tinggi dibanding dari lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6. Hal ini dikarenakan emisi di lahan gambut dengan kelapa sawit TBM memiliki variasi keragaman yang cukup besar saat pengambilan contoh gas kedua yang diulang pada November 2009 yang menghasilkan emisi CO2 paling tinggi

dari keempat pengambilan contoh gas lainnya yaitu sebesar 75.43 ton/Ha/tahun (Tabel 4). Nilai emisi yang mencolok ini diduga karena selang waktu dari pengukuran II (November 2008) dan verifikasi (November 2009) yang sangat lama menyebabkan proses dekomposisi gambut meningkat sehingga emisi CO2

menjadi sangat tinggi. Selain itu, diduga lokasi pengambilan contoh gas dengan sungkup pada verifikasi tidak sama persis dengan yang dilakukan pada pengukuran II.

Tabel 4. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman

Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur Tanaman

Emisi CO2

I II III IV V Rata-rata ……… ton/ha/tahun ………

TBM 29.35 75.43 32.49 37.32 34.37 41.79 TM 6 37.52 41.66 36.30 35.60 41.54 38.52 TM12 31.92 44.18 42.19 41.04 55.64 43.00 TM18 37.38 56.01 41.94 48.34 43.59 45.45

Sumber: PPKS (2010)

Keterangan: I, II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan Agustus 2008, November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009

Emisi CO2 terendah terdapat di lahan gambut dengan kelapa sawit usia

TM 6, yaitu sebesar 38.52 ton/Ha/tahun. Hal ini berhubungan dengan kedalaman muka air tanah di lahan gambut kelapa sawit TM 6 yang lebih dangkal dibandingkan pada TM 12 dan TM 18. Emisi CO2 semakin meningkat dengan

semakin dalam muka air tanah gambut. Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah, semakin dalam muka air tanah maka semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut.

Dalam penelitian Rumbang et al. (2007) dikemukakan bahwa semakin jauh turunnya permukaan air tanah maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan


(34)

menjadi aerob akibat menurunnya permukaan air tanah memicu meningkatnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut.

4.3.2. Hubungan Emisi CO2 dengan Jarak dari Saluran Drainase dan Waktu

Drainase di lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat perubahan kedalaman muka air tanah, sehingga kondisi fisik gambut berubah dan terjadi percepatan dekomposisi bahan organik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada kesinambungan global. Pada penelitian ini dijelaskan hubungan emisi CO2 dari lahan gambut dengan pengaruh jarak dari drainase dan waktu

pengukuran pada berbagai umur kelapa sawit yaitu pada usia TBM, TM 6, TM 12, dan TM 18. Pengambilan contoh gas berdasarkan jarak dari pokok tanaman kelapa sawit merupakan ulangan dalam analisis statistik.

Hasil rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM

berdasarkan pengaruh waktu pengukuran dan jarak dari saluran drainase disajikan dalam Tabel 5 dan diilustrasikan pada Gambar 3. Berdasarkan Tabel 5, rata-rata emisi CO2 di lahan gambut pada pagi hari sebesar 43 ton/Ha/tahun dan pada siang

hari sebesar 41 ton/Ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa hasil pengukuran emisi CO2

di lahan gambut pada pagi hari lebih tinggi daripada pengukuran pada siang hari. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang dilakukan pada jam 6 pagi, masih ada akumulasi CO2 hasil respirasi tanaman pada malam hari. Tanaman banyak

mengeluarkan CO2 pada malam hari sehingga pengukuran emisi CO2 dari lahan

gambut di kebun kelapa sawit usia TBM pada pagi hari menjadi lebih tinggi daripada siang hari. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata berdasarkan jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran terhadap emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM (Tabel 5 dan


(35)

Tabel 5. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TBM

berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase

Waktu Jarak dari pokok tanaman

Emisi CO2 berdasarkan jarak dari

saluran drainase (ton/Ha/tahun)

rata-rata emisi CO2

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 60 31 43 43 a

Pagi ujung kanopi 28 18 27

antar tanaman 49 28 52

bawah naungan 34 43 66 41 a

Siang ujung kanopi 28 24 21

antar tanaman 34 81 42

Rata-rata 39 a 46 a 42 a

Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DεRT (taraf α=5%)

Akibat dari drainase yang berlebihan, maka terjadi penurunan permukaan air tanah, dan ketebalan gambut mulai enipis. Adanya proses tersebut menyebabkan berubahnya suasana drainase dari anaerobik menjadi aerobik, sehingga terjadi dekomposisi bahan organik dengan adanya proses oksidasi. Dekomposisi bahan organik tersebut akan menghasilkan emisi CO2 ke atmosfer

(BPPT, 2010)

Seperti yang telah terinci pada Tabel 5, bahwa rata-rata emisi CO2 pada

jarak 50 m dari drainase yaitu sebesar 39 ton/Ha/tahun cenderung mengalami peningkatan emisi pada jarak 100 m menjadi sebesar 46 ton/Ha/tahun, namun emisi justru menurun kembali pada jarak 150 m menjadi 42 ton/Ha/tahun.

Faktor yang mempengaruhi peningkatan emisi CO2 pada jarak 100 m dari

saluran drainase adalah perbedaan jarak titik pengambilan sampel gas dari saluran drainase yang menyebabkan semakin dangkal muka air tanah dengan semakin jauhnya dari saluran drainase utama. Seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 2, pada jarak 50 m dari saluran drainase dengan kedalaman muka air tanah sebesar 46 cm menghasilkan fluks CO2 sebesar 443 mg/m2/jam. Sedangkan kedalaman

muka air tanah pada jarak 100 m dari saluran drainase cenderung semakin dangkal (39 cm) dan fluks CO2 meningkat menjadi 530 mg/m2/jam. Penurunan muka air

tanah tersebut menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut sehingga emisi CO2 yang dihasilkan di titik yang lebih dekat dengan


(36)

saluran drainase menjadi lebih tinggi. Namun pada jarak 150 m justru mengalami penurunan fluks CO2 menjadi sebesar 477 mg/m2/jam sehingga emisinya juga

menurun dan kedalaman muka air tanahnya cenderung lebih dalam menjadi 48 cm (Tabel 2). Mempertimbangkan nilai penurunan emisi pada jarak 150 m, ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi, maka dapat dikatakan bahwa emisi CO2 semakin menurun dengan semakin jauh dari saluran

drainase. Pola yang menunjukkan peningkatan emisi CO2 dengan semakin jauh

jarak dari saluran drainase pada kelapa sawit TBM ternyata tidak konsisten karena terjadi penurunan emisi pada jarak 150 m dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Untuk mengetahui kecenderungan emisi CO2 dari lahan gambut pada

kelapa sawit usia TBM disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TBM

berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase

Hasil rata-rata emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6

berdasarkan jarak dari saluran drainase menunjukkan bahwa emisi CO2 tertinggi

pada jarak 150 m dari drainase yaitu sebesar 43 ton/Ha/tahun kemudian diikuti dengan jarak 100 m sebesar 36 ton/Ha/tahun dan terkecil pada jarak 50 m sebesar 34 ton/Ha/tahun. Dengan kata lain, semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO2

yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi di lapangan pada saat pengambilan sampel gas dimana pada jarak 50 m dari saluran drainase, kondisi gambut masih dalam keadaan lebih tergenang. Namun pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase, muka air tanah berangsur-angsur semakin dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang semakin jauh dengan saluran drainase menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju


(37)

proses dekomposisi yang melepaskan CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sehingga

emisi CO2 pun meningkat (Tabel 6).

Seperti yang telah disajikan pada Tabel 2, kedalaman muka air tanah semakin meningkat pada jarak 50 m ke 100 m dari saluran drainase dan emisi CO2

yang dihasilkan semakin tinggi. Begitu pula dengan emisi CO2 dari lahan gambut

pada jarak 150 m dari saluran drainase semakin meningkat walaupun kedalaman airnya sama dengan jarak 100 m yaitu sebesar 62 cm. Hal ini berbeda dengan emisi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TBM, pola emisi CO2 dari lahan

gambut pada kelapa sawit TM 6 justru konsisten semakin meningkat dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase.

Tabel 6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 6

berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase

Waktu Jarak dari pokok tanaman

Emisi CO2 berdasarkan jarak dari

saluran drainase (ton/Ha/tahun)

rata-rata emisi CO2

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 43 37 37 37 a

Pagi ujung kanopi 34 37 35

antar tanaman 31 33 43

bawah naungan 27 46 58 39 a

Siang ujung kanopi 34 36 30

antar tanaman 37 30 53

Rata-rata 34 a 36 a 43 a

Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT (taraf α=5%)

Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO2 yang

dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, dan tergantung pada faktor lingkungan.

Berdasarkan data pada Tabel 6, rata-rata emisi CO2 saat pengukuran pada

pagi hari yaitu sebesar 37 ton/Ha/tahun, sedangkan hasil pengukuran pada siang hari mengalami peningkatan emisi CO2 menjadi sebesar 39 ton/Ha/tahun.


(38)

Peningkatan emisi CO2 ini disamping peranan dari mikroorganisme aerobik juga,

disebabkan karena suhu pada siang hari lebih tinggi dibandingkan suhu pada pagi hari sehingga proses dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Namun hasil analisis sidik ragam pada lahan gambut dengan kelapa sawit TM 6 menunjukkan bahwa emisi CO2 yang dihasilkan tidak dipengaruhi secara nyata berdasarkan

jarak dari saluran drainase maupun berdasarkan waktu pengambilan sampel gas (Tabel Lampiran 6) dan kecenderungan emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa

sawit TM 6 yang diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 6

berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase

Berbeda dengan emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 6,

hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12

berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase ternyata menunjukkan penurunan emisi pada jarak 100 m dan 150 m dari saluran drainase. Pada Tabel 7 dirinci secara jelas rata-rata emisi CO2 pada jarak 50 m, 100 m, dan 150 m dari

saluran drainase masing-masing yaitu sebesar 53, 41, dan 39 ton/Ha/tahun. Data tersebut menunjukkan penurunan emisi CO2 pada jarak yang semakin jauh dari

saluran drainase. Hal ini dikarenakan titik pengambilan contoh gas yang dekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah yang lebih dangkal dibandingkan yang jauh dari saluran drainase. Semakin jauh dari saluran drainase utama, kedalaman muka air tanah semakin dalam. Pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa pada jarak 50 m dengan kedalaman air 61 cm meningkat pada jarak 100 m dan 150 m menjadi sedalam 62 cm. Kemudian emisi CO2


(39)

menurun seiring dengan semakin jauh jarak dari saluran drainase. Jarak yang lebih dekat dengan saluran drainase mengalami penurunan muka air tanah yang menyebabkan proses dekomposisi yang lebih lanjut sehingga menghasilkan CO2.

Oleh karena itu, emisi CO2 pada titik yang lebih dekat dengan saluran drainase

menjadi lebih tinggi.

Tabel 7. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit TM 12

berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase

Waktu Jarak dari pokok tanaman

Emisi CO2 berdasarkan jarak

dari saluran drainase (ton/Ha/tahun)

rata-rata emisi CO2

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 60 37 50 45 a

Pagi ujung kanopi 42 27 47

antar tanaman 60 60 23

bawah naungan 42 42 47 43 a

Siang ujung kanopi 56 37 36

antar tanaman 56 42 38

Rata-rata 53 a 41 a 39 a

Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DεRT (taraf α=5%)

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengukuran emisi CO2 dari lahan

gambut pada kelapa sawit TM 12 juga dilakukan pada dua waktu pengukuran yaitu pada pagi dan siang hari. Rata-rata emisi CO2 pada pengukuran pada pagi

hari sebesar 45 ton/Ha/tahun dan pengukuran pada siang hari sebesar 43 ton/ha/tahun. Hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit

TM 12 memiliki kesamaan dengan hasil pengukuran dari lahan gambut pada kelapa sawit TBM (Tabel 5), dimana emisi CO2 hasil pengukuran pada pagi hari

lebih tinggi daripada pengukuran siang hari. Hal ini diduga karena hasil emisi pada pagi hari (jam 6.00) masih terjadi transisi dari malam hari dimana tanaman banyak mengeluarkan CO2 . Hasil rata-rata emisi CO2 tersebut dirinci pada Tabel

7 dan diilustrasikan pada Gambar 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak berpengaruh secara nyata terhadap emisi CO2 berdasarkan pengaruh jarak dari

saluran drainase dan waktu pengambilan sampel (Tabel Lampiran 7). Kecenderungan besarnya emisi yang dihasilkan dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 12 dapat dilihat pada Gambar 5.


(40)

Gambar 5. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 12

berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Saluran Drainase Hasil emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18

berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase dan waktu pengukuran disajikan dalam Tabel 8 dan diilustrasikan pada Gambar 6. Dengan data tersebut, hasil pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa sawit TM 18 pada pagi hari

dan siang hari secara berturut-turut sebesar 46 dan 54 ton/Ha/tahun. Dapat dikatakan bahwa pengukuran emisi CO2 dari lahan gambut dengan kelapa sawit

usia TM 18 pada siang hari lebih tinggi daripada emisi CO2 pada pagi hari. Pola

tersebut senada dengan dengan hasil emisi CO2 dari lahan gambut pada kelapa

sawit usia TM 6 yang menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi pada pengukuran di

siang hari. Hal ini diduga, disamping peranan dari mikoorganisme aerobik tanah, suhu lingkungan di siang hari yang lebih tinggi juga mempengaruhi terjadinya proses dekomposisi gambut yang lebih banyak.

Hasil emisi CO2 berdasarkan jarak pengambilan sampel dari saluran

drainase, menujukkan bahwa emisi CO2 tertinggi dihasilkan pada jarak 50 m yaitu

61 ton/Ha/tahun. Penurunan emisi terjadi pada jarak 100 m emisi sebesar 45 ton/Ha/tahun kemudian emisi menurun lagi pada jarak 100 m yaitu menjadi 43 ton/Ha/tahun. Pola emisi CO2 ini sejalan dengan emisi dari lahan gambut pada

kelapa sawit TM 12 yang menjelaskan bahwa semakin jauh dari saluran drainase maka semakin menurun CO2 yang dilepaskan. Namun pola ini tidak konsisten

karena terjadi peningkatan kedalaman air pada jarak 100 m, kemudian menurun kembali pada jarak 150 m (Tabel 2), dengan angka peningkatan lebih besar daripada penurunan.


(41)

Tabel 8. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18

berdasarkan Pengaruh Waktu, Jarak dari Pokok Tanaman, dan Jarak Saluran Drainase

Waktu Jarak dari pokok tanaman

Emisi CO2 berdasarkan jarak dari

saluran drainase (ton/Ha/tahun) rata-rata emisi CO2

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 112 40 47 46 a

Pagi ujung kanopi 39 31 36

antar tanaman 47 34 30

bawah naungan 63 69 42 54 a

Siang ujung kanopi 46 42 50

antar tanaman 62 55 56

Rata-rata 61 a 45 a 43 a

Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DεRT (taraf α=5%).

Pada penelitian Handayani (2009) juga mengalami dinamika emisi CO2

seperti yang terjadi dari lahan gambut pada kelapa sawit usia TM 18. Pola emisi CO2 tersebut biasa terjadi di lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk

kebun kelapa sawit dan disertai dengan pendalaman drainase seperti pada lahan gambut dengan kelapa sawit umur TM 18 ini. Menurunnya CO2 dengan semakin

dalamnya muka air tanah karena gas CO2 hasil dekomposisi dari bahan gambut

yang lebih matang jauh lebih sedikit dibandingkan gambut mentah. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada nilai emisi CO2

terhadap jarak dari saluran drainase dan waktu pengambilan sampel yang terinci pada Tabel Lampiran 8, sedangkan kecenderungan emisi CO2 tersebut

diilustrasikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18


(42)

Tabel 9 menunjukkan pengaruh jarak dari pokok tanaman dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO2. Jarak dari saluran drainase dianggap

sebagai ulangan dalam analisis secara statistik dengan pengaruh waktu pengambilan sampel dan jarak dari pokok tanaman. Dengan mengubah bentuk ulangan dan perlakuan, hasil analisis sidik ragam tetap menunjukkan tidak ada pengaruh secara nyata pada jarak dari pokok sawit dan waktu pengambilan sampel terhadap emisi CO2 (Tabel Lampiran 9).

Tabel 9. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Usia TM 18

berdasarkan Pengaruh Waktu dan Jarak dari Pokok Tanaman

Waktu

Jarak dari saluran drainase (m)

Emisi CO2 berdasarkan jarak dari pokok

tanaman (ton/Ha/tahun)

rata-rata emisi CO2

Bawah naungan Ujung kanopi Antar tanaman

50 m 112 39 47 46 a

Pagi 100 m 40 31 34

150 m 47 36 30

50 m 63 46 62 54 a

Siang 100 m 69 42 55

150 m 42 50 56

Rata-rata 62 a 41 a 47 a

Ket. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DεRT (taraf α=5%)

Tabel 10 menjelaskan secara rinci emisi CO2 berdasarkan posisi dari

pokok tanaman yaitu di bawah naungan, di ujung kanopi, dan di antar tanaman. Pada posisi di bawah naungan, rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan adalah emisi

tertinggi yaitu sebesar 49 ton/ha/tahun. Emisi CO2 di bawah naungan sangat di

pengaruhi oleh adanya respirasi akar pada kelapa sawit dan aktivitas metabolisme dari mikroorganisme di dekat daerah perakaran. Fenomena tersebut menyebabkan emisi CO2 lebih banyak pada daerah di bawah naungan. Pada data juga

menunjukkan bahwa Jumlah CO2 yang dihasilkan oleh akar akan lebih besar bila

ada akar hidup pada tanah yang semakin dalam. Selain itu, akan ada peningkatan jumlah mikroorganisme tanah yang memanfatkan eksudat akar sehingga meningkatkan proses respirasi akar. (Melling et al., 2005).


(43)

Pada posisi di antar tanaman dan posisi dibawah kanopi, rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan adalah sebesar 47 ton/ha/tahun dan 35 ton/ha/tahun. Jumlah

ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi CO2 di bawah naungan. Hal ini

diduga karena posisi yang lebih jauh dari akar tanaman kelapa sawit menyebabkan CO2 yang dilepaskan melalui tanah menjadi lebih sedikit.

Tabel 10. Emisi CO2 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit Berdasarkan

Posisi dari Pokok Tanaman di Berbagai Umur Tanaman

Umur Tanaman

Posisi dari pokok tanaman

(ton/Ha/tahun)

Kelapa Sawit bawah naungan ujung kanopi antar tanaman

TBM 46 24 57

TM 6 41 34 38

TM 12 46 41 45

TM 18 62 41 47

Rata-rata emisi 49 35 47

4.3.3. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanaman

Seperti perhitungan emisi CO2, emisi CH4 pada lahan gambut juga

dihitung berdasarkan nilai rata-rata fluks CH4 di beberapa titik pengambilan

contoh gas kemudian dikonversikan dalam satu ton/Ha/tahun. Hasil pengukuran fluks CH4 yang digunakan dalam perhitungan emisi CH4 ditampilkan dalam Tabel

Lampiran 4. Sedangkan hasil pengukuran emisi CH4 dari lahan gambut pada

kebun kelapa sawit usia TBM, TM 6,TM 12, TM 18 (Meranti Paham) dirinci dalam Tabel 11.

Berdasarkan data Tabel 11, rata-rata emisi CH4 dari lahan gambut pada

kelapa sawit usia TM 18 memiliki emisi yang paling kecil dibandingkan umur tanaman yang lain, yaitu sebesar 5.50 ton/Ha/tahun. Hal ini disebabkan karena pada TM 18 memiliki kedalaman muka air tanah paling dalam. Kedalaman muka air tanah tersebut akan mempengaruhi kelembaban tanah dan produksi CH4.

Dalam penelitian Handayani (2009) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH4 di lahan gambut adalah kedalaman air.


(44)

emisi CH4 tersebut tidak konsisten. Seperti yang sudah ditunjukkan pada data

kedalaman air di Tabel 2, bahwa kedalaman air paling dangkal terdapat pada TBM tetapi emisi CH4 yang dihasilkan tidak menunjukkan emisi CH4 terbesar.

Data Tabel 11 menjelaskan bahwa emisi CH4 dari lahan gambut pada kelapa sawit

usia TM 12 merupakan penghasil emisi CH4 terbesar.

Emisi CH4 cukup nyata di lahan hutan gambut yang tergenang atau yang

muka air tanahnya dangkal. Dengan bertambahnya kedalaman muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian relatif kecil

karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara anaerob (Agus dan Subiksa, 2008).

Tabel 11. Emisi CH4 dari Lahan Gambut pada Berbagai Umur Tanaman

Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur tanaman

Emisi CH4 berdasarkan pengamatan

(kg/Ha/tahun) rata-rata emisi CH4

II III IV V

TBM 8.132 8.310 3.643 2.784 5.72

TM 6 5.467 2.288 3.175 11.434 5.59

TM 12 8.067 9.238 3.666 9.889 7.71

TM 18 7.594 2.362 5.331 6.714 5.50

Sumber: PPKS dan DITSL, 2010

Keterangan: II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009


(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Emisi CO2 tertinggi terjadi di lahan gambut dengan kelapa sawit usia TM

18 (45.45 ton/Ha/tahun) kemudian TM 12 (43 ton/Ha/tahun), TBM (41.79 ton/Ha/tahun) dan terendah pada TM 6 (38.52 ton/Ha/tahun). Emisi CO2

meningkat dari lahan gambut pada kelapa sawit dengan umur tanaman yang semakin tua (TM 6, TM 12, dan TM 18) kecuali di lahan gambut dengan kelapa sawit usia TBM.

Emisi CH4 tertinggi terjadi dari lahan gambut sebesar 7.70 ton/Ha/tahun

(TM 12) kemudian 5.72 ton/Ha/tahun (TBM), 5.59 ton/ha/tahun (TM 6), dan terendah sebesar 5.50 ton/Ha/tahun (TM 18). Besarnya emisi CH4 sangatberkaitan

dengan kedalaman muka air tanah, semakin dalam muka air tanah, semakin menurun emisi CH4.

Secara umum emisi CO2 meningkat dengan semakin jauh jarak dari

saluran drainase, namun dijumpai dimana emisi CO2 tidak bergantung pada jarak

drainase. Begitu pula dengan pengaruh waktu, emisi CO2 di siang hari lebih tinggi

karena meningkatnya suhu, namun dijumpai juga pola sebaliknya dimana emisi CO2 tidak bergantung pada suhu. Jarak dari saluran drainase dan waktu

pengukuran tidak berpengaruh secara nyata terhadap emisi CO2 di berbagai umur

tanaman kelapa sawit.

5.2. Saran

1. Untuk menekan pengaruh gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dalam

pengembangan kelapa sawit di lahan gambut perlu memperhatikan teknik konservasi diantaranya kedalaman muka air tanah (20-40 cm).

2. Pengukuran emisi GRK dalam jangka panjang dan berulang diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. and M. van Noordwijk. 2007. CO2 emissions depend on two letters. The

Jakarta Post. http://unfcccbali.org/unfccc/news-unfccc/news-unfccc/co2-emissions-depend-on-two-letters.html (4 Februari 2010)

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

http://www.worldagroforestrycentre.org/downloads/publications/PDFs/B1 6019.PDF (4 Februari 2010)

Agus, F. 2009. Cadangan, Emisi, Dan Konservasi Karbon Pada Lahan Gambut. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/lainnya/buku%20bun ga%20rampai%20kta%2012-07%20(fahmuddin_agus).pdf (4 Februari 2010)

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT]. 2010. Technical Note. Besar Emisi Karbon Akibat Over Drainase dan Penurunan Tanah di Lahan gambut.

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=2&ved=0CBoQFjAB &url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F22070536%2 F396650417%2Fname%2FTN02_050410.doc&rct=j&q=pengaruh%20emi si%20CO2%20pada%20lahan%20gambut%20karena%20kedalaman%20a ir&ei=IAk1TZW1MoeGrAe_pe22CA&usg=AFQjCNGYVz2Y14bA1_i2 DlhZ0kMhh-LYXg&cad=rja (5 Januari 2011)

Barchia, M.F. 2006. Agroekosistem dan Transformasi karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Batubara, S.F. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca pada Tanah Gambut Di Hutan dan Semak Belukar yang Telah Didrainase. Tesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.

Hadi, A. 2006. Emisi Gas Rumah Kaca dan Sifat Mikrobiologi Tanah Rawa Lebak. Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. http://balittra.litbang.deptan.go.id/prosiding06/Document26%20.pdf (15 Juli 2010).

Handayani, E.P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman Dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Disertasi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.


(1)

Tabel Lampiran 3. (Lanjutan)

Pengamatan 3 (Februari 2009)

50 m dari saluran drainase 100 m dari saluran drainase 150 m dari saluran drainase Umur Waktu Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Tanaman Pengambilan naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… TBM Pagi 386.1 185.3 507.1 656.2 237.2 515.1 383.5 151.7 453.2

Siang 336.1 81.1 174.9 339.0 531.5 480.5 92.9 1.9 293.1

TM 6 Pagi 126.6 389.6 432.5 472.0 440.2 385.1 416.7 380.7 818.7

Siang 240.5 470.8 297.3 766.2 402.1 248.0 541.3 684.5 532.3

TM 12 Pagi 385.2 257.4 945.4 535.3 264.1 1227.7 366.6 688.0 353.4

Siang 874.3 105.9 904.8 463.1 766.8 495.8 213.8 382.1 400.2

TM 18 Pagi 1463.3 441.1 777.7 219.5 350.7 293.3 536.7 175.4 226.7

Siang 923.8 678.7 518.6 96.9 477.5 479.8 701.5 562.4 349.1


(2)

Tabel Lampiran 3. (Lanjutan)

Pengamatan 4 (April 2009)

50 m dari saluran drainase 100 m dari saluran drainase 150 m dari saluran drainase Umur Waktu Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Tanaman Pengambilan naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… TBM Pagi 998.8 599.9 425.3 197.3 203.3 196.8 877.6 723.5 265.2

Siang 743.9 514.7 506.5 88.3 333.9 282.5 266.7 512.3 189.0

TM 6 Pagi 149.1 325.6 308.2 474.4 325.7 370.0 414.0 323.2 452.9

Siang 306.3 498.0 442.2 444.3 339.5 42.9 346.5 338.5 627.0

TM 12 Pagi 643.3 26.2 307.9 539.3 339.8 417.0 747.5 652.4 164.7

Siang 196.0 191.8 525.6 428.6 436.4 550.8 605.6 402.2 68.8

TM 18 Pagi 936.2 406.7 289.8 458.2 506.4 490.3 749.3 545.1 296.1

Siang 898.8 470.6 430.5 1935.5 343.5 838.3 841.4 699.1 323.7


(3)

Tabel Lampiran 3. (Lanjutan)

Pengamatan 5 (Juni 2009)

50 m dari saluran drainase 100 m dari saluran drainase 150 m dari saluran drainase Umur Waktu Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Di bawah Di ujung Antar Tanaman Pengambilan naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman naungan kanopi tanaman …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… …….mg CO2/m2/jam…… TBM Pagi 167.9 213.6 639.1 376.5 191.7 1001.0 363.3 248.8 330.6

Siang 137.0 142.2 153.8 376.7 187.1 998.6 1075.5 365.7 385.2

TM 6 Pagi 701.3 498.2 373.3 223.2 281.5 320.4 398.7 580.1 319.1

Siang 349.3 496.0 356.9 862.0 341.4 358.2 428.1 274.3 675.0

TM 12 Pagi 1249.1 715.8 1025.3 343.4 447.4 793.1 641.1 637.5 267.6

Siang 591.4 755.2 1020.5 241.2 507.1 418.3 350.7 583.2 310.8

TM 18 Pagi 1028.1 506.2 532.6 698.5 391.0 672.4 238.0 699.1 252.9

Siang 485.8 485.9 1113.0 619.5 609.7 585.6 156.0 995.6 66.9


(4)

Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Posisi Jarak (m)

Kedalaman Air (cm)

Pengamatan ke (mg/m2/jam) Rata-rata

II III IV V

TBM Bawah naungan 50 44

2.5 61.4 10.3 0.1 14.9 100 44 1.8 118.2 15.4 1.0 27.3 Ujung kanopi 50 47 0.7 15.4 8.0 0.3 4.9

100 36 4.0 20.2 6.7 1.9 6.6

Sela tanaman 50 48 0.9 56.5 63.1 0.4 24.2

100 38 1.9 17.6 23.6 0.3 8.7

TM 6

Bawah naungan 50 53 0.1 8.7 3.8 1.1 1.1

100 52 2.1 14.6 10.1 6.6 6.7

Ujung kanopi 50 50 1.4 5.6 10.0 1.7 3.7

100 57 1.1 9.0 49.2 2.4 12.3

Sela tanaman 50 43 1.4 9.4 8.8 0.8 4.1

100 43 2.0 34.7 33.3 4.2 14.8 TM 12

Bawah naungan 50 65 1.2 18.8 50.4 2.2 14.5

100 59 0.9 22.7 9.8 2.0 7.1

Ujung kanopi 50 59 1.0 24.1 10.3 1.1 7.3

100 64 1.0 188.1 27.4 6.7 44.6 Sela tanaman 50 58 7.2 52.7 12.1 1.8 14.7 100 64 0.8 32.3 25.2 1.2 11.9

TM 18

Bawah naungan 50 60 3.5 7.5 14.3 1.6 5.4

100 63 1.3 4.7 14.6 2.5 4.6

Ujung kanopi 50 65 1.3 11.3 16.8 1.1 6.1

100 68 0.3 25.9 114.6 1.3 28.4

Sela tanaman 50 70 2.0 17.4 26.1 1.4 9.4

100 80 2.8 19.5 7.8 2.0 6.4


(5)

Tabel Lampiran 5. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di Kelapa Sawit TBM di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Sumber db JK KT T Pr>F

Tabel Lampiran 6. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di Kelapa Sawit TM 6 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Sumber db JK KT T Pr>F

Tabel Lampiran 7. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Jarak dan Waktu pada Emisi CO2 di Kelapa Sawit TM 12 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Sumber db JK KT T Pr>F

Model 5 515.61 103.12 0.21 0.95 Waktu 1 16.05 16.05 0.03 0.86 Jarak 2 179.11 89.55 0.18 0.83 Waktu*jarak 2 320.44 160.22 0.33 0.72 Sisa 12 5860.66 488.38 Total 17 6376.27

Model 5 357.83 71.56 1.14 0.39 Waktu 1 24.50 24.50 0.39 0.54 Jarak 2 224.33 112.16 1.79 0.20 Waktu*jarak 2 109.00 54.50 0.87 0.44 Sisa 12 752.66 62.72

Total 17 1110.50

Model 5 718.00 143.60 1.11 0.41 Waktu 1 24.50 24.50 0.17 0.68 Jarak 2 692.33 346.16 2.67 0.11 Waktu*jarak 2 3.44 1.72 0.01 0.99 Sisa 12 1556.00 129.66


(6)

2

Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2000

Sumber db JK KT T Pr>F

Tabel Lampiran 9. Analisa Sidik Ragam Pengaruh Posisi dari Pokok Tanaman dan Waktu pada Emisi CO2 di Kelapa Sawit TM 18 di Kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Sumber db JK KT T Pr>F

Model 5 2132.94 426.58 1.27 0.34 Waktu 1 264.50 264.50 0.79 0.39 Jarak 2 1187.11 593.55 1.76 0.21 Waktu*jarak 2 681.33 340.66 1.01 0.39 Sisa 12 4042.00 336.83

Total 17 6174.94

Model 5 2368.94 473.78 1.49 0.26 Waktu 1 4.08 4.08 0.01 0.93 Jarak 2 1453.44 726.72 2.29 0.14 Waktu*jarak 2 651.00 325.50 1.03 0.39 Sisa 12 3806.00 317.16