7
2.2.2. Hubungan Iklim dan Suhu dengan Emisi CO
2
Dalam pengukuran emisi CO
2
terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan
distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena
kondisi pada musim kemarau jelas berbeda dengan musim penghujan, maka CO
2
sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut Handayani, 2009
Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut. Informasi
tentang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi. Selain itu, data pengukuran emisi GRK kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek
sehingga memberikan gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi GRK
jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut Agus dan
Subiksa, 2008.
2.3. Emisi Metan CH
4
pada Lahan Gambut
Gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya saat ini telah banyak meresahkan, karena keberadaannya yang mampu meningkatkan efek
pemanasan global. Gas metan merupakan salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca dibandingkan karbondioksida
yang menyebabkan kerusakan ozon dan kenaikan suhu Yulianto, 2008. Gas tersebut ditengarai berpotensi menyebabkan pemanasan global global warming.
Kemampuan CH
4
untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi, karena kapasitas absorbsi infra merah per molekul 25 kali lebih tinggi dibanding CO
2
. Kontribusi CH
4
terhadap pemanasan global sebesar 15 dan menduduki peringkat kedua setelah CO
2
Suprihati et al., 2006. Menurut Hadi 2008 bahwa emisi gas rumah kaca khususnya metan dan
sifat mikrobiologi tanah merupakan aspek penting yang perlu dievaluasi sebagai dampak pembangunan. Metan terbentuk oleh aktivitas bakteri anaerob metanogen.
8 Bakteri ini aktif merombak bahan organic dan menghasilkan gas metan Mulyadi
dan Sasa, 2005. Pembentukan metan secara biogenik merupakan hasil dekomposisi bahan
organik yang dilakukan oleh bakteri methanogen. Bakteri ini berkembang pesat pada tanah dengan kondisi anaerob, oleh sebab itu banyak dijumpai pada tanah
tergenang. Proses metanogenesis merupakan proses biologi pada tanah yang dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks,
pH tanah, akumulasi dan dekomposisi bahan organic, dan varietas tanaman Setyanto, 1994 dalam Yulianto, 2008.
9
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tahun 2008 – 2009 dan merupakan
kombinasi dari penelitian terdahulu dan verifikasi data di lapangan pada November 2009. Verifikasi lapangan dilakukan di kebun kelapa sawit Panai Jaya,
PT Perkebunan Nusantara IV, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam penelitian pada kebun kelapa sawit di
lahan gambut ini yaitu pengukuran fluks dan emisi karbon CO
2
dan CH
4
dari lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit belum menghasilkan TBM di kebun
Panai Jaya dan pada lahan gambut dengan tanaman kelapa sawit sudah menghasilkan TM 6, TM 12, dan TM 18 dilakukan di kebun Meranti Paham.
Pengukuran di lapang dilakukan sebanyak 5 kali pengambilan contoh gas. Pengukuran I sampai dengan pengukuran V secara berturut-turut dilakukan pada
bulan Agustus 2008, November 2008, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009.
3.2. Pengukuran Fluks dan Emisi GRK
Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi GRK dari tanah gambut, perlu pemahaman bahwa GRK dari lahan pertanian tidak diemisikan melalui tanaman
berkayu. Tanaman seperti kelapa sawit atau tanaman perkebunan lainnya bukan merupakan media penghubung untuk melepaskan GRK dari suatu proses
dekomposisi bahan organik yang terjadi di dalam tanah. Oleh karena itu, emisi GRK pada lahan perkebunan diukur secara langsung dari permukaan tanah dan
tidak melibatkan tanaman penutup tanah. Lain halnya dengan tanaman yang berpembuluh aerenkima seperti padi dan rerumputan, pembuluh aerenkima yang
terdapat pada batang dan akar tanaman berfungsi sebagai cerobong chimney yang menghubungkan rizosfir tanaman dalam kondisi anaerobik dengan udara
bebas. Pelepasan gas melalui pembuluh ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan termodinamik pada batang dan perakaran tanaman. Untuk
itu, pengukuran emisi gas khususnya CH
4
di tanaman yang berpembuuh aerenkima misalnya padi menggunakan boks yang dapat menutupi seluruh
tanaman tersebut.