Pendugaan Neraca Karbon Pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya Dan Meranti Paham Pt. Perkebunan Nusantara IV Labuhan Batu, Sumatera Utara

(1)

DECKY SANJAYA. Carbon Budget Prediction of Oil Palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, North Sumatra. Under supervision of KUKUH MURTILAKSONO and M. ARDIANSYAH.

The second terresterial carbon storage after mineral soil is peatland. CO2 stock from peatland plays an important role in stabilizing a global climate. Aims of this study is to calculate carbon budget of oil palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate, PTPN IV, Labuhan Batu, North Sumatera in 2009.

Determination of C-organic is based on dry incineration and Walkey and Black method. Emission measurements were conducted directly in the field by using a Close Chamber Method and secondary data analysis. The data was collected based on two step that were field measurements and laboratory analysis. Carbon budget or carbon net emmision (CO2) is calculated based on the difference of CO2 stock and CO2 emission. The result of this study showed that carbon budget value in Panai Jaya and Meranti Paham estate is about -68.07 and -35.24 ton CO2/ha/year in 2009, respectively.


(2)

DECKY SANJAYA. Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan M. ARDIANSYAH.

Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon yang besar, sehingga menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar ke-2 setelah tanah mineral. Cadangan karbon lahan gambut memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menghitung neraca karbon kebun kelapa sawit pada lahan gambut kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara tahun 2009.

Penetapan C-organik dilakukan berdasarkan pada metode pengabuan kering serta Walkey and Black Method. Sementara itu, pengukuran emisi dilakukan secara langsung di lapang dengan menggunakan Close Chamber Method dan pengolahan data sekunder. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui neraca/emisi neto karbon (CO2) adalah selisih antara stok CO2 dengan emisi CO2.

Stok CO2 tahunan pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham masing-masing pada rentang 1,83 – 12,83 dan 9,64 – 10,89 ton CO2/ha/tahun. Sementara nilai emisi CO2 kebun Panai Jaya pada rentang 25,48 – 42,31 dan 37,73 – 49,94 ton CO2/ha/tahun pada kebun Meranti Paham. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan diperoleh nilai neraca karbon kedua kebun tersebut, masing-masing sebesar -68,07 ton CO2/tahun di kebun Panai Jaya dan -35,24 ton CO2/tahun di kebun Meranti Paham pada tahun 2009.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer menjadi salah satu penyebab pemanasan global akibat efek gas rumah kaca, sehingga membuatnya menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh masyarakat secara luas, indikatornya adalah terjadinya peningkatan temperatur udara permukaan bumi. Menurut laporan IPCC (2007), dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur udara permukaan bumi rata-rata 0.74˚ C. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya CO2 yang terperangkap di atmosfer bumi, sehingga konsentrasi karbon di atmosfer meningkat secara tajam yang dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi.

Salah satu yang marak diperbincangkan sebagai penyebab peningkatan CO2 di atmosfer adalah pembukaan kebun kelapa sawit terutama di Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar di dunia, karena dianggap bertanggung jawab atas penggundulan hutan (konversi hutan menjadi areal perkebunan), emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati. Akibatnya, muncul keluhan yang meluas bahwa industri minyak sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan. Lebih lanjut, isu pembukaan kebun kelapa sawit tersebut diposisikan sebagai penyebab signifikan terjadinya perubahan iklim, meskipun kita ketahui bersama bahwa emisi CO2 lebih banyak berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil untuk kepentingan industri, transportasi, listrik, dan sebagainya yang banyak dilakukan oleh negara-negara maju seperti USA dan China (Yulianti, 2009).

Indonesia semakin menjadi “bulan-bulanan” dan kecaman negara-negara luar sebagai penyebab efek GRK setelah didapati kenyataan banyaknya lahan gambut di Indonesia yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit, sebagai dampak dari harga CPO yang terus menanjak. Konversi lahan gambut inilah yang membuat posisi Indonesia selalu terpojokan, karena secara hidrologis lahan gambut berfungsi sebagai tempat penyimpanan air (Andriesse, 1988 dalam

Noor, 2001).

Melihat dari kenyataan yang menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan suhu udara inilah yang menyebabkan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat


(4)

 

(LSM) yang melakukan orasi tentang keselamatan alam di masa depan. LSM-LSM lingkungan tersebut memperjuangkan agenda “tanpa konversi” dalam upaya menghentikan konversi lahan hutan untuk pertanian, seperti yang disuarakan oleh

Green Peace (World Growth, 2011).

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengamanatkan dalam pasal 21 ayat (5) dan pasal 56, untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut, yang pada intinya bahwa lahan gambut yang mempunyai kedalaman >3m dilarang untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit dan sebaiknya dijadikan sebagai kawasan hutan lindung. Rancangan PP Tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut telah disampaikan ke Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 11 Desember 2009 untuk harmonisasi (Yulianti, 2009).

Pada Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani Letter of Intent

yang menjadi kerangka kerja Indonesia untuk menerima sumbangan keuangan dari Pemerintah Norwegia (Carbon Trading) dengan imbalan pelaksanaan kebijakan pengurangan emisi, termasuk penangguhan semua konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan alam selama dua tahun. Pada Juli 2010, Bank Dunia mengusulkan kerangka kerja bagi keterlibatannya dalam sektor kelapa sawit, atas permintaan LSM lingkungan untuk memperketat kebijakan persyaratan dukungan keuangan Kelompok itu bagi proyek Kelapa Sawit. Versi kerangka kerja yang telah direvisi diterbitkan pada Januari 2011 untuk dijadikan pegangan (World Growth, 2011).

Pembatasan konversi kawasan hutan akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan keamanan pangan di Indonesia, dan berdampak langsung terhadap penduduk miskin. Karena inilah, negara berkembang menolak untuk memasukkan “tanpa konversi” dalam pendekatan kehutanan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Cancun pada Desember 2010 (World Growth, 2011).

Pada tahun 2002, pertanian khususnya perkebunan meliputi 2/3 lapangan kerja di pedesaan dimana sebagian besar penduduk miskin di Indonesia terdapat disana. Dalam hal ini perkebunan terbukti efektif untuk mengurangi angka


(5)

kemiskinan dan meningkatkan pendapatan para petani kecil. Meskipun terdapat kampanye yang menentang industri kelapa sawit, kenyataannya produksi minyak sawit lebih berkelanjutan daripada minyak nabati lainnya (Bank Dunia, 2010

dalam World Growth, 2011). Produksi minyak sawit menggunakan energi jauh lebih sedikit, menggunakan lahan lebih sedikit, dan menghasilkan lebih banyak minyak nabati per-hektar dibandingkan dengan biji minyak lain seperti kedelai, dan merupakan penyerap karbon yang efektif (World Growth, 2011).

Sebelum kebun kelapa sawit semakin terpojokkan sebagai penyebab utama efek GRK, alangkah baiknya apabila dilakukan penelitian secara berkala untuk membuktikan kebenarannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur neraca karbon pada kebun kelapa sawit tersebut. Pada penelitian ini diukur neraca karbon pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham yang terletak di kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran emisi CO2 kebun kelapa sawit di Indonesia.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung neraca karbon kebun kelapa sawit di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV), Labuhan Batu, Sumatera Utara pada tahun 2009.


(6)

 

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Gambut

Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan menurun, maka fungsi produksi dapat terganggu. Oleh karena itu, lahan gambut selain bersifat piasan (marginal) juga bersifat rapuh (fragile). Dengan kata lain, pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan yang terjadi baik terhadap aras dinamika lahan maupun aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan nilai-nilai sosial lainnya (Noor, 2001).

Lahan gambut yang mempunyai lapisan organik < 1 m cocok untuk pengembangan tanaman pangan seperti padi, kedelai, dan jagung. Lahan gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 m – 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit. Adapun lahan gambut tebal yang mempunyai lapisan organik > 2 m lebih sesuai untuk pengembangan tanaman hortikultura, seperti kubis dan pepaya. Gambut sangat dalam yang tebal lapisan organiknya > 3 m disarankan untuk dijadikan kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air (Noor, 2001).

Menurut Andriesse (1988), fungsi lingkungan lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur karbon, iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan, dan penyangga lingkungan. Gas CO2 merupakan salah satu gas utama (sekitar 55%) yang memberikan sumbangan terhadap efek rumah kaca, diantaranya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu atmosfer global. Menurut Murdiyarso (1991, dalam Noor, 2001), bumi sudah kelebihan sebesar 1600 juta ton karbon per tahun dan 40 juta ton metan (CH4) per tahun, yang berarti sudah di luar batas daya tampung bumi. Menurut Notohadiprawiro (1997, dalam Noor, 2001), gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan atau


(7)

pemendaman karbon. Setiap lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 700 ton karbon tahun-1 hektar-1 (Noor, 2001).

Akibat konversi hutan rawa gambut, di pulau Sumatera telah terjadi penyusutan karbon yang cukup besar di lahan gambutnya. Pada tahun 1990 terhitung sebanyak 22.283 juta ton C pada lahan gambut Sumatera dan berkurang menjadi 18.813 juta ton C pada tahun 2002. Dengan kata lain telah terjadi penyusutan cadangan karbon sebesar 3.470 juta ton atau 15,5% dari total cadangan karbon lahan gambut Sumatera dalam kurun waktu 12 tahun (Wahyunto, 2005 dalam Barchia, 2006).

2.2. Akumulasi Karbon (C)

Kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melalui akar-akar yang mati (Hairiah et al., 2001).

Ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota. Serasah dan akar-akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sementara kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi tanaman, (c) terangkut panen, (d) dipergunakan oleh biota, (e) erosi (Hairiah et al., 2001).

Pembukaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara menebang dan membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar). Pembakaran vegetasi mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang, tetapi para pelaku seperti pengusaha masih tetap memilih cara ini karena mudah dan murah. Cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari hasil pembakaran biomasa, dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam jumlah besar. Selain itu, penambahan bahan organik secara terus menerus dapat mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah, lebih banyak bahan


(8)

 

organik yang ditambahkan maka lebih ‘dingin’ tanah tersebut (Hairiah et al., 2001).

Untuk memahami neraca C, perlu dipahami terlebih dahulu 4 macam C di daratan yaitu: GPP (Gross Primary Productivity), NPP (Net Primary Productivity), NEP (Net Ecosystem Productivity) dan NBP (Net Biome Productivity) (Gambar 1).

Gambar 1. Neraca Karbon Daratan Berdasarkan Estimasi Pelepasan (emission) atau Penyerapan (sequestration) C pada Berbagai Tingkat Proses Ekosistem (IPCC, 2007).

GPP (Gross Primary Productivity / Produktivitas Primer Bruto) adalah jumlah C yang diserap oleh tanaman selama berlangsungnya fotosintesis. Oleh karena itu biasanya diukur pada semua bagian hijauan tanaman terutama daun. NPP (Net Primary Productivity / Produktivitas Primer Bruto) adalah produksi bahan organik dari tanaman hidup pada ekosistem daratan. Separuh dari GPP global yang terakumulasi pada suatu sistem bentang alam, akan direspirasikan pada saat sistem tersebut “bernafas” dan menyerap oksigen. Oleh karena itu jumlah C yang disimpan dalam bahan organik bagian hidup tanaman (biomasa) adalah separuh dari jumlah C yang diserap dari udara. NEP (Net Ecosystem Productivity / Produktivitas ekosistem netto) merupakan selisih antara tingkat produksi karbon dari biomasa tanaman dengan karbon yang dilepaskan selama dekomposisi bahan organik dari bagian mati (nekromasa) tanaman. Respirasi heterotropik tersebut mencakup kehilangan karbon melalui dekomposisi bahan


(9)

organik oleh organisme tanah. NBP (Net Biome Productivity / Produktivitas Biom Netto) adalah produksi neto bahan organik (karbon) per wilayah yang mencakup satu kisaran ekosistem (satu bioma), termasuk juga di dalamnya adalah respirasi heterotropik dan proses lainnya yang menyebabkan hilangnya karbon dari ekosistem (misalnya terangkut panen, serangan hama dan penyakit, penebangan dan kebakaran hutan). NBP ini lebih tepat untuk neraca C pada ukuran wilayah yang luas (100-1000 km2) dan pada waktu yang lama (beberapa tahun). Pengukuran NBP ini dilakukan untuk jangka waktu panjang karena frekuensi gangguan relatif jarang (Hairiah dan Rahayu, 2007).

2.3. Aliran/fluks dan Neraca Karbon (C)

Untuk memahami aliran C (fluks C) yang terjadi antara ekosistem yang spesifik dengan atmosfer, pada jangka waktu tertentu, dan tingkat sensitivitas setiap proses terhadap kondisi lingkungan saat ini, terhadap adanya gangguan dan perubahan iklim, maka terlebih dahulu kita harus mengerti komponen-komponen yang ada dalam proses-proses yang menghasilkan NEP. Hal tersebut ditunjukkan oleh kecepatan respon, dan sensitivitas terhadap perubahan lingkungan yang menentukan besarnya NBP di masa yang akan datang dan tingkat potensial penyerapan C dalam satu ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Proses fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan fungsi dari berbagai variabel lingkungan dan tanaman, termasuk diantaranya adalah radiasi matahari, temperatur dan kelembaban udara dan tanah, ketersediaan air dan hara, luas daun, lapisan ozon di udara dan polutan lainnya. Dengan demikian perubahan iklim akan berpengaruh kepada tanaman melalui berbagai jalan. Laju fotosintesis mungkin akan berkurang karena matahari tertutup awan tebal, tetapi ada kemungkinan juga akan meningkat karena konsentrasi CO2 di udara meningkat. Semua proses yang berhubungan dengan respirasi umumnya sensitif terhadap peningkatan suhu, terutama akar-akar halus dan organism heterotropik dalam tanah. Meningkatnya temperatur tanah maka dalam waktu singkat akan diikuti oleh meningkatnya laju mineralisasi bahan organik tanah (BOT) dan pelepasan hara ke dalam tanah. Hal tersebut mendorong terjadinya kembali proses


(10)

 

fotosintesis, meningkatnya luas permukaan daun, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman (Noor, 2001).

Namun untuk jangka panjang, respirasi tanah akan menyesuaikan dengan kenaikan suhu tanah, dan kembali menjadi normal. Pada daerah-daerah kering, adanya perubahan ketersediaan air tanah dan perubahan pola curah hujan akan sangat mempengaruhi keseimbangan antara perolehan dan kehilangan C (Noor, 2001).

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman seperti daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses perosot atau sekuestrasi (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial, dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil) (Noor, 2001).

Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon. Analisis neraca karbon dari sebuah reservoir atau kolam dapat memberi informasi tentang apakah suatu reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau perosot (sink) CO2 (Noor, 2001).


(11)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi kebun kelapa sawit pada bulan Agustus dan November 2008 yang kemudian dilanjutkan pada bulan Februari, April dan Juni 2009, verifikasi data dilakukan pada bulan November 2009. Kebun Panai Jaya terletak di kecamatan Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara pada koordinat 02o22’40”–02o26’23” LU dan 100o 15’26”-100o17’30” BT. Kebun ini berada pada hamparan lahan gambut dengan luasan total sekitar 2.586 ha yang memiliki 130 blok yang terbagi atas empat afdeling. Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, yang sebelumnya bernama Kebun Ajamu II, yang berada pada koordinat 02o11’18”–02o21’24” LU dan 100o09’13”-100o12’02” BT. Kebun ini berada pada hamparan lahan gambut dan mineral dengan luasan total sekitar 4.811 ha yang memiliki 215 blok yang terbagi menjadi enam afdeling.

3.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dari penelitian sebelumnya oleh Yulianti (2009) dan Situmorang (2010), serta data pelepah prunning dan tandan kosong (tankos) dari penelitian yang bersamaan dengan ini untuk menyempurnakan data penelitian sebelumnya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: (1) Pendugaan Karbon Atas Permukaan, (2) Pengukuran dan Perhitungan Emisi CO2, dan (3) Perhitungan Neraca Karbon.

3.3.1. Pendugaan Karbon Atas Permukaan

Perhitungan karbon atas permukaan dibagi menjadi pengukuran pada tanaman bawah/semak dan tanaman kelapa sawit. Kemudian seluruh hasil pengukuran dijumlahkan untuk mendapatkan stok karbon atas.


(12)

 

3.3.1.1. Pendugaan Biomassa dan C-Biomassa pada Tanaman Bawah/Semak Untuk pendugaan biomassa pada tanaman bawah/semak dilakukan dengan mengambil sampel tanaman dengan luas 1 m2 pada berbagai umur tanaman yang berbeda. Pada plot pengamatan seluruh tanaman diambil kemudian ditimbang berat basahnya setelah itu tanaman dioven pada suhu 700C selama 48 jam untuk mengetahui kadar air nya. Untuk mendapatkan bobot keringnya digunakan persamaan sebagai berikut:

B = BB/(1+KA) dimana,

B : Berat kering (gr/m2) BB : Berat basah (gr/m2) KA : Kadar air (%)

Penetapan C-organik dilakukan dengan metode pengabuan kering serta metode Walkey and Black. Untuk menghitung jumlah karbon biomassa tersimpan pada tanaman bawah digunakan persamaan :

K = B x %C-Organik x 10-2 dimana,

K : Karbon Biomassa (ton/ha) B : Berat kering (gr/m2) %C-Organik : Kadar Bahan Organik (%)

3.3.1.2. Pendugaan Biomassa dan C-Biomassa pada Tanaman Kelapa Sawit Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang (2010), telah dilakukan perhitungan biomassa dan karbon biomassa pada tanaman kelapa sawit dengan metode destruktif, yaitu menebang pohon kelapa sawit pada plot-plot umur tanaman berbeda dan menimbangnya secara langsung di lokasi plot. Bagian pohon kelapa sawit yang diukur biomassanya adalah batang, pelepah dan daun dari pohon kelapa sawit yang dijadikan sampel, sehingga diperoleh berat basahnya. Bagian-bagian tersebut kemudian diambil untuk uji contoh dan dari uji contoh ini diperoleh berat kering dan kadar C-organik setiap bagian tanaman kelapa sawit. Biomassa dihitung berdasarkan berat kering dari seluruh bagian tanaman kelapa sawit. Pada penelitian kali ini, data biomassa tanaman kelapa sawit diperoleh dari penelitian sebelumnya dan


(13)

dimodifikasi dengan menambahkan data pelepah prunning dan tandan kosong (tankos).

3.3.2. Pengukuran dan Perhitungan Emisi CO2

Emisi GRK akan dihitung dari hasil pengukuran fluks secara langsung dari lahan gambut dengan close chamber methode yang diadopsi dari IAEA (1993

dalam PPKS, 2010). Persamaan yang digunakan untuk menghitung emisi CO2 adalah sebagai berikut :

BM δCsp V 273,2 E = —— x ——— x —— x ———— Vm δt A T+273,2 dimana,

E = emisi CO2 (mg/m2/hari) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2)

T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (°C) δCsp/δt = laju perubahan konsentrasi gas CO2 (ppm/menit)

BM = berat molekul gas CO2 dalam kondisi standar

Vm = volume gas pada kondisi stp (standar temperature and pressure) yaitu 22,41 liter pada 23°K

Penghitungan emisi pada lahan gambut pada perkebunan kelapa sawit ini dilakukan secara langsung di lapangan, dimana pengukuran konsentrasi gas CO2 dilakukan dengan alat Gas Chromatography (GC). Emisi CO2 diukur pada bulan November (mewakili musim penghujan) 2009 di lahan gambut yang mewakili lahan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), bukaan baru, dan Tanaman Menghasilkan (TM) yang dibagi dalam tiga plot, yaitu 50 m dari saluran drainase, 100 m dari saluran drainase, dan 150 m dari saluran drainase. Pada masing-masing plot tersebut dilakukan pengambilan contoh gas dengan memilih berbagai lokasi yang berbeda, yaitu di bawah naungan tanaman, di ujung kanopi tanaman, dan di sela-sela antar tanaman sawit.

3.3.3. Perhitungan Neraca Karbon

Untuk menghitung neraca karbon, diperlukan data dari stok karbon dan emisi karbon. Teknik perhitungan neraca karbon selengkapnya seperti pada Tabel 1 dan 2.


(14)

   

Tabel 1. Model Perhitungan Emisi Neto (CO2) Panai Jaya Tahun 2009

a = PPKS (2010)

b = Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) c = Yulianti (2009) dan Situmorang (2010)

d = ((c-b)a)/5, (5 = penggunaan lahan antara 2002 hingga 2007)

e = c/umur tanaman, *asumsi riap hutan sekunder dan bukaan baru oleh Bapenas f = Kehilangan karbon tahunan akibat masyarakat sekitar seperti illegal logging g = (e-f)a

h = (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

A (ton CO2/tahun) Emisi Neto Kebun Panai Jaya (ton CO2/ha/tahun) =

2.238 ha Penggunaan Lahan Luas Karbon Biomassa Awal Karbon Biomassa

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain

Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2002 2007 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

a b c d e f g h i j

Hutan Sekunder

Hutan

Sekunder 55 Tegakan Tegakan ((c-b)a)/5 Bapenas* Bapenas (e-f)a Balingtan (h)a d+g+i

Hutan Sekunder

Bukaan

Baru 250 sda sda sda Bapenas* 0 sda sda sda sda

Hutan Sekunder

TBM

2006 567 sda sda sda

c/umur

tanaman 0 sda sda sda sda

Hutan Sekunder

TBM

2007 1.366 sda sda sda sda 0 sda sda sda sda

Total 2.238 A


(15)

   

Tabel 2. Model Perhitungan Emisi Neto (CO2) Meranti Paham Tahun 2009

a = PPKS (2010)

b = Karbon biomassa tahun 2003 diasumsikan sama dengan tahun 2008 c = Yulianti (2009)

d = ((c-b)a)/5, (5 = penggunaan lahan antara 2003 hingga 2008) e = c/umur tanaman

f = 0, asumsi tidak terjadi pengurangan karbon tahunan pada perkebunan g = (e-f)a

h = (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

B (ton CO2/tahun) Emisi Neto Kebun Meranti Paham (ton CO2/ha/tahun) =

2.443 ha Penggunaan Lahan Luas Karbon Biomassa Awal Karbon Biomassa

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain

Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2003 2008 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

a b c d e f g h i j

Kebun 1999

Kebun

1999 707 Tegakan Tegakan 0

c/umur

tanaman 0 (e-f)a Balingtan (h)a d+g+i

Kebun 1997

Kebun

1997 333 sda sda 0 sda 0 sda sda sda sda

Kebun 1995

Kebun

1995 538 sda sda 0 sda 0 sda sda sda sda

Kebun 1991

Kebun

1991 216 sda sda 0 sda 0 sda sda sda sda

Kebun 1990

Kebun

1990 649 sda sda 0 sda 0 sda sda sda sda

Total 2.443 B


(16)

 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Stok Karbon 4.1.1 Kebun Panai Jaya

Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) yang merupakan kerja sama penelitian antara Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dengan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL IPB) dan Balingtan pada tahun 2008-2009. Pada penelitian tersebut karbon atas permukaan dibagi menjadi karbon biomassa tegakan hutan (pohon), semak dan tanaman kelapa sawit. Biomassa kelapa sawit diperoleh sesuai dengan tahun tanamnya. Tabel 3 menunjukkan di kebun Panai Jaya tanaman kelapa sawit yang memiliki biomassa dan karbon biomassa terbesar adalah kelapa sawit dengan tahun tanam 2006 dan yang terkecil adalah kelapa sawit dengan tahun tanam 2007. Sementara Tabel 4 menunjukkan total karbon tersimpan yang hilang (Total Carbon Loss) selama pembukaan hutan dari tahun 2002 hingga 2007 untuk areal perkebunan kelapa sawit Panai Jaya.

Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

Plot Biomassa

(ton/ha)

Karbon Biomassa (ton C/ha)

Karbon Biomassa (ton CO2/ha)

Tegakan Hutan Sekunder 95,00 45,47 166,72

Semak 3,80 1,49 5,46

Tanaman Bawah 3,28 1,28 4,69

TBM TT 2006 1,83 1,00 3,66

TBM TT 2007 1,28 0,70 2,56

Total 105,19 49,94 183,09

Sumber : Yulianti (2009) dan Situmorang (2010)

Keterangan : - Biomassa dan karbon biomassa kelapa sawit meningkat sejalan dengan meningkatnya umur tanaman.

- Biomassa dan karbon biomassa pada tegakan hutan merupakan nilai akumulasi dari umur tegakan hutan sendiri, sedangkan nilai riap karbon biomassa tahunannya hanya sebesar 3,5 ton C/tahun atau 12,83 ton CO2/tahun (Bahruni, 2010)


(17)

Tabel 4. Perubahan Karbon Biomassa Tersimpan Atas Permukaan pada Setiap Penggunaan Lahan Kebun Panai Jaya Tahun 2009

Penggunaan Lahan

Tahun 2002 Tahun 2007

Total Perubahan Karbon (Total Loss Carbon) Luas

(ha)

Karbon Biomassa Tersimpan

Luas (ha)

Karbon Biomassa Tersimpan

(ton C) (ton C/ha) (ton C) (ton C/ha) (ton C) Tegakan Hutan

Sekunder 2.502 113.767 45,47 55 2.501 45,47

Tanaman Bawah 2.502 3.211 1,28 55 71 1,29

Semak 151 225 1,49 250 373 1,49

TBM TT 2006 - - - 567 568 1,00

TBM TT 2007 - - - 1.366 961 0,70

Total 117.203 48,24 4.474 49,95 - 112.729

Sumber : Situmorang (2010) dan Analisis Data Sekunder

Data pada Tabel 4 menunjukkan dalam kurun waktu 5 tahun antara tahun 2002 hingga 2007, pembukaan hutan sekunder menjadi areal perkebunan kelapa sawit untuk keseluruhan luasan mengalami penurunan karbon tersimpan (Total Loss Carbon) sebesar 112.729 ton C yang ditunjukkan dengan nilai negatif. Akan tetapi, kelapa sawit yang ditanam pada hutan sekunder yang telah dikonversi tersebut secara simultan (seiring bertambahnya umur tanaman kelapa sawit) dapat meningkatkan kembali karbon tersimpan sebagai ganti dari tegakan (pohon) hutan sekunder yang ditebang.

4.1.2. Kebun Meranti Paham

Stok/cadangan karbon biasa disebut dengan istilah karbon biomassa (C-biomassa), dimana tahun tanam sangat berpengaruh terhadap biomassa dari tanaman kelapa sawit. Biomassa merupakan bahan organik hasil dari proses fotosintesis, dimana biomassa bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubahnya menjadi senyawa organik dan dinyatakan dalam satuan bobot kering. Hasil fotosintesis tersebut digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan pertumbuhan ke arah horisontal dan vertikal. Pada penelitian ini, data biomassa dari penelitian sebelumnya (Tabel 5) dilakukan penyempurnaan berupa penambahan data pelepah prunning dan tandan kosong (tankos) yang ditunjukkan oleh Tabel 6.


(18)

 

Ba ta ng 67% Pelepa h

18%

Da un 15 %

Tabel 5. Biomassa Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanaman Kebun Meranti Paham, PTPN IV

Umur Tanam (tahun)

Biomassa Kering (kg/pohon) Biomassa Kering (ton/ha) Batang Pelepah Daun Total

18 149,09 32,85 25,99 207,93 27,03

17 175,51 27,52 26,77 229,80 29,87

13 123,59 30,68 22,93 177,20 23,04

11 120,76 31,50 33,11 185,37 24,09

9 90,58 46,51 32,83 169,92 22,09 Sumber : Yulianti (2009)

Biomassa kering kelapa sawit terdapat paling besar pada bagian batang yaitu 67 % diikuti pelepah kemudian daun, masing-masing adalah 18 % dan 15 % (Gambar 2). Hasil serupa juga ditunjukkan pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di Nigeria pada lahan berpasir yang masam, biomassa kelapa sawit antara umur 10 sampai 17 tahun terakumulasi pada batang yaitu berkisar antara 57-69 %, kemudian diikuti pada pelepah berkisar antara 14-20 % dan daun berkisar antara 8-10 % (Hartley, 1967 dalam Yulianti, 2009). Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pola ini adalah umum untuk kelapa sawit meskipun ditanam pada tipe lahan yang berbeda.

Gambar 2. Persentase Rata-Rata Biomassa Berbagai Dimensi Kelapa Sawit (Yulianti, 2009)


(19)

Tabel 6. Biomassa dan Karbon Biomassa Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanam dengan Penambahan Data Pelepah Prunning dan Tandan Kosong (Tankos) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

Umur Tanaman

(tahun) a

Biomassa Kering (kg/pohon) Karbon Biomassa Pokok Destruktif b Pelepah Prunning** c Tandan Kosong** d Total (ton C/ha) g

(ton CO2/ha)

h kg/pohon ton/ha

f e

9 169,92 42,53 107,21 319,66 41,56 24,12 88,44

11 185,37 65,89 148,28 399,54 51,94 30,25 110,91

13 177,20 92,23 182,97 452,40 58,81 34,19 125,36

17 229,80 114,98 297,15 668,05 86,85 50,49 185,13

18 207,93 134,86 304,56 647,35 84,16 48,96 179,52

Total 323,32 188,01 689,36

* Asumsi terdapat 130 pohon kelapa sawit dalam 1 ha (PPKS, 2010) ** Akumulasi sesuai umur tanaman kelapa sawit (PPKS, 2010) Sumber : Yulianti (2009) dan Analisis Data Sekunder Keterangan : e = b + c + d

f = (e x 130) : 1000

g = f x % C-organik, ketetapan % C-organik = 58% (Walkey and Black Methode) h = g x (BM CO2/BA C) = g x (44/12)

Data pelepah prunning pada Tabel 6 menunjukkan kenaikan berat biomassa kering terjadi seiring dengan kenaikan usia tanaman. Tanaman dengan umur 18 tahun memiliki berat biomassa pelepah prunning paling besar yaitu 134,86 kg/pohon dan yang terkecil yaitu umur 9 tahun yaitu 42,53 kg/pohon. Sementara itu, biomassa kering yang berasal dari tandan kosong (tankos) juga mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur tanaman, berturut-turut dari yang terbesar dan terkecil adalah sebesar 304,56 kg/pohon pada tanaman umur 18 tahun dan 107,21 kg/pohon pada tanaman umur 9 tahun. Dengan kata lain, semakin tua suatu tanaman kelapa sawit maka semakin besar pula pelepah prunning dan tandan kosong (tankos) yang dihasilkan.

4.2. Emisi Karbon

Respirasi akar memiliki peran nyata terhadap besarnya emisi CO2 di lahan gambut. Selain respirasi akar, pemupukan yang intensif di sekitar pokok sawit meningkatkan kandungan nutrisi esensial seperti nitrogen yang secara nyata juga berpengaruh terhadap besarnya pembentukan CO2 di sekitar pokok sawit (Barchia, 2006).


(20)

 

Selain respirasi oleh akar, dekomposisi bahan organik tanah dan suhu juga sangat mempengaruhi besarnya fluks CO2 di lahan gambut. Dekomposisi bahan organik tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah ketersediaan air dan suhu. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat dekomposisi tersebut juga berpengaruh terhadap respirasi akar, selain itu kepadatan akar juga sangat berpengaruh terhadap besarnya CO2 yang diemisikan dari lahan gambut (Barchia, 2006).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan Tsusutki dan Ponnamperuma (1987 dalam Barchia, 2006) yang menunjukkan bahwa perbedaan suhu harian maksimum dan minimum karena adanya drainase gambut berkorelasi positif dengan pelepasan CO2. Dengan kata lain pelepasan CO2 di lahan rawa sangat ditentukan oleh suhu.

Pengukuran dan perhitungan emisi karbon ini dilakukan pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham. Pengukuran dilakukan pada plot-plot yang telah ditentukan sebelumnya. Tabel 7 merupakan hasil perhitungan emisi CO2 pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, sedangkan perhitungan secara rinci disajikan pada Tabel Lampiran 1,2,3,4, dan 6.

Tabel 7. Emisi CO2 pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya (TBM) dan Meranti Paham (TM) Tahun 2009

Penggunaan Lahan Emisi CO2 (ton CO2/ha/tahun)

Kedalaman Air (cm)

Hutan Sekunder 42,31 71

Bukaan Baru 25,48 45

Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 39,61 46

Tanaman Menghasilkan Umur 9 Tahun (TM 6) 37,73 52 Tanaman Menghasilkan Umur 11 Tahun (TM 8) 48,00 61 Tanaman Menghasilkan Umur 13 Tahun (TM 10) 48,00 61 Tanaman Menghasilkan Umur 17 Tahun (TM 14) 44,01 55 Tanaman Menghasilkan Umur 18 Tahun (TM 15) 49,94 68 Sumber : PPKS (2010)

Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 7, diketahui hubungan antara kedalaman air tanah terhadap besarnya emisi CO2 yang dihasilkan. Hal ini relatif sejalan dengan persamaan Hoooijier (2006) yang menyatakan bahwa semakin


(21)

dalam muka air tanah maka semakin besar pula emisi CO2 yang dilepaskan (Gambar 3). Ini dapat dilihat pada hutan sekunder yang memiliki nilai emisi CO2 yang lebih besar dari pada bukaan baru yang disebabkan kedalaman air pada hutan sekunder jauh lebih tinggi, walaupun pada hutan sekunder masih terdapat tegakan (pohon) dibandingkan lahan terbuka pada bukaan baru. Emisi CO2 hutan sekunder adalah sebesar 42,31 ton CO2/ha/tahun, sedangkan bukaan baru hanya 25,48 ton CO2/ha/tahun yang diperoleh dari rataan lima kali pengukuran di lapang pada waktu berbeda. Sementara emisi CO2 pada TBM dan TM bervariasi pada kisaran 37,73 – 49,94 ton CO2/ha/tahun yang juga sangat terkait pada kedalaman air tanah.

Nilai emisi CO2 pada kebun-kebun tersebut masih termasuk dalam kategori wajar. Berdasarkan studi literatur, nilai emisi gas rumah kaca yang realistis dari lahan gambut yang terdrainase adalah sebesar 25 – 55 ton CO2 -e/ha/tahun (Jiwan et al., 2009 dalam PPKS, 2010). Sementara hasil penelitian Handayani (2009) di kebun kelapa sawit di Meulaboh, Aceh Barat menunjukkan bahwa rata-rata emisi CO2 berkisar antara 10 – 40 ton CO2/ha/tahun.

Pada perhitungan neraca karbon, nilai emisi yang digunakan memiliki satuan berupa CO2-e (CO2 ekuivalen), yaitu penjumlahan dari CO2 dengan CH4. Akan tetapi, nilai CH4 sangat kecil dan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil akhir perhitungan sehingga dapat diabaikan sepenuhnya. Nilai CH4 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5. Disisi lain, nilai emisi CO2 TM 8 dan TM 10 yang seragam sebesar 48 ton CO2/ha/tahun diperoleh dari persamaan Hooijier (2006) yang menghubungkan nilai rata-rata kedalaman muka air tanah kebun Meranti Paham dengan emisi CO2 (Gambar 3). Nilai rata-rata kedalaman muka air tanah tersebut sebesar 61 cm yang diperoleh dari pengukuran langsung di lapang pada penelitian ini (Tabel Lampiran 7).


(22)

 

Gambar 3. Persamaan Hooijier (2006) yang Menunjukkan Hubungan antara Kedalaman Drainase dengan Emisi

4.3. Neraca Karbon Kebun (Emisi Neto) Panai Jaya dan Meranti Paham Cadangan/stok dan emisi harus memiliki satuan sama yang dinyatakan dalam CO2. Dalam perhitungan emisi neto CO2 (emisi tanpa nekromasa), cadangan karbon yang semula dalam bentuk karbon (C) dikonversikan atau diubah menjadi CO2. Perhitungan yang dilakukan hanya pada cadangan atas permukaan yaitu cadangan karbon pokok tanaman kelapa sawit dan tanaman bawah/semak tanpa pohon tumbang yang melapuk (nekromasa). Selain itu, data emisi karbon yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari emisi CO2 dan CH4, namun karena nilai CH4 yang diperoleh sangat kecil maka dapat diabaikan karena tidak berdampak nyata pada hasil akhir perhitungan. Kebun Panai Jaya memiliki luas total sebesar 2.586 ha, dimana hanya 55 ha yang tersisa masih hutan sekunder. Sementara itu, Kebun Meranti Paham seluas 4.811 ha merupakan kebun kelapa sawit yang sudah sangat tua, dimana sudah terdapat lahan yang telah ditanami ulang atau replanting. Perhitungan emisi neto/neraca karbon di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham disajikan pada Tabel 8 dan 9.

Subsiden (cm/tahun

)

Drainase (cm)

Emis

i (Ton CO

2/ha/tahu n) 0 1 2 3 4 5 6 7

-120 -100 -80 -60 -20 0

sub s id e n c e [ c m a -1] 0 A s su m ed em is si o n [t C O 2 ha -1 a -1 ] 8 9 10 10 20 30 40 50 60 70 80 90 -40

drainage depth [cm] 0 1 2 3 4 5 6 7

-120 -100 -80 -60 -20 0

sub s id e n c e [ c m a -1] 0 A s su m ed em is si o n [t C O 2 ha -1 a -1 ] 8 9 10 10 20 30 40 50 60 70 80 90 -40


(23)

   

Tabel 8. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Panai Jaya Tahun 2009

a = Luas Areal (ha), PPKS (2010)

b = Data pada Tabel 3, Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) c = Data pada Tabel 3, Yulianti (2009) dan Situmorang (2010) d = ((c-b)a)/5, (5 = penggunaan lahan antara 2002 hingga 2007)

e = c/umur tanaman, *asumsi riap hutan sekunder dan bukaan baru oleh Bapenas f = Kehilangan karbon tahunan akibat masyarakat sekitar seperti illegal logging g = (e-f)a

h = Data pada Tabel 7 (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

-152.343,63 ton CO2/tahun Emisi Neto Kebun Panai Jaya Tahun 2009 =

2.238 ha

= -68,07 ton CO2/ha/tahun Penggunaan Lahan Luas Karbon Biomassa Awal Karbon Biomassa

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain

Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2002 2007 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

a b c d e f g h i j

Hutan Sekunder

Hutan

Sekunder 55 166,72 166,72 0,00 12,83* 42,31 -302,50 -42,31 -2.327,05 -2.629,55

Hutan Sekunder

Bukaan

Baru 250 166,72 5,46 -8.063,00 0,36* 25,48 90,00 -25,48 -6.370,00 -14.343,00

Hutan Sekunder

TBM

2006 567 166,72 3,66 -18.491,00 1,83 39,61 1.037,61 -39,61 -22.458,87 -39.912,26

Hutan Sekunder

TBM

2007 1.366 166,72 2,56 -44.848,51 2,56 39,61 3.496,96 -39,61 -54.107,26 -95.458,81

Total 2.238 -71.402,52 4.322,07 -152.343,63


(24)

   

Tabel 9. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

a = Luas Areal (ha), PPKS (2010)

b = Karbon biomassa tahun 2003 diasumsikan sama dengan tahun 2008 c = Data pada Tabel 6, Yulianti (2009)

d = 0, karena kebun sawit merupakan sumber/penghasil karbon (Ghani, 2011) e = c/umur tanaman

f = 0, asumsi tidak terjadi pengurangan karbon tahunan pada perkebunan g = (e-f)a

h = Data pada Tabel 7 (PPKS, 2010) i = (h)a

j = d+g+i

-86.091,86 ton CO2/ tahun Emisi Neto Kebun Meranti Paham Tahun 2009 =

2.443 ha

= -35,24 ton CO2/ha/tahun Penggunaan Lahan Luas Karbon Biomassa Awal Karbon Biomassa

Akhir Carbon Loss

Peningkatan Biomassa

Tahunan

Pengurangan Biomassa

Tahunan Carbon Gain

Emisi (Dekomposisi Gambut) 2009

Total Emisi (Dekomposisi

Gambut) 2009 Neraca Karbon 2003 2008 (ha) (ton CO2/ha) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/ha/tahun) (ton CO2/tahun) (ton CO2/tahun)

a b c d e f g h i j

Kebun 1999

Kebun

1999 707 88,44 88,44 0 9,82 0 6.942,74 -37,73 -26.675,11 -19.732,37 Kebun

1997

Kebun

1997 333 110,91 110,91 0 10,08 0 3.356,64 -48,00 -15.984,00 -12.627,36

Kebun 1995

Kebun

1995 538 125,36 125,36 0 9,64 0 5.186,32 -48,00 -25.824,00 -20.637,68 Kebun

1991

Kebun

1991 216 185,13 185,13 0 10,89 0 2.352,24 -44,01 -9.506,16 -7.153,92 Kebun

1990

Kebun

1990 649 179,52 179,52 0 9,97 0 6.470,53 -49,94 -32.411,06 -25.940,53

Total 2.443 0 24.308,47 -86.091,86


(25)

Perhitungan Tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa nilai emisi neto karbon kebun Panai Jaya dan Meranti Paham tahun 2009 bernilai negatif yang menunjukkan bahwa pada kebun-kebun tersebut memiliki total emisi yang lebih besar dari pada total cadangan karbonnya. Emisi neto CO2 pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham berturut-turut sebesar -68,07 dan -35,24 ton CO2/ha/tahun. Dari hasil tersebut diketahui bahwa kebun sawit berusia tua mampu menghasilkan karbon yang lebih besar daripada kebun sawit berusia muda, sehingga mempertegas bahwa umur tanaman kelapa sawit berkorelasi positif terhadap stok CO2 yang dihasilkan. Dengan kata lain semakin tua suatu tanaman kelapa sawit maka semakin besar pula stok CO2 yang dihasilkannya.

Perhitungan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa konversi hutan rawa sekunder menjadi areal perkebunan menyebabkan terjadinya kehilangan karbon (carbon loss) sebesar -71.402,52 ton CO2/tahun pada awal penanaman kelapa sawit. Namun, selama 2 tahun pertama penanaman kelapa sawit tersebut telah terjadi peningkatan karbon (carbon gain) sebesar 4.322,07 ton CO2/tahun. Sementara itu pada kebun Meranti Paham yang lebih tua dari Panai Jaya tidak terjadi carbon loss sama sekali, sebaliknya mengalami peningkatan secara simultan dari tahun ke tahun (carbon gain), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Ini berarti bahwa kebun kelapa sawit terbukti telah menjadi sumber karbon baru ditengah krisis karbon yang terjadi karena luasan hutan yang terus berkurang.

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diketahui bahwa stok karbon tahunan yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit memang tidak sebesar yang dihasilkan oleh hutan sekunder, akan tetapi masih lebih baik dari pada lahan gambut tersebut dibiarkan terbuka begitu saja (semak). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lahan rawa gambut yang pemanfaatannya belum maksimal yang merupakan bagian dari ekosistem rawa hutan. Ini disebabkan rawa tersebut hanya ditumbuhi tumbuhan kecil seperti semak dan rumput liar, dimana emisi yang dihasilkan sangat besar tanpa adanya stok karbon yang dihasilkan dari tegakan/pohon. Pada tahun 2005 dari total luas hutan 131, 65 juta ha, hutan primer hanya tersisa 35,85%, sedangkan hutan sekunder mencapai 32,37% dan tidak berhutan cukup luas yaitu 31,78% (Bahruni, 2010).


(26)

 

Kehilangan karbon yang terjadi pada hutan rawa sekunder semakin sulit dihindari karena berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bapenas peningkatan karbon tahunan secara alami hutan rawa sekunder sebesar 12,83 ton CO2/ha/tahun (riap) jauh lebih kecil dibandingkan pengurangan karbon tahunannya yang sebesar 18,33 ton CO2/ha/tahun (Tabel 8). Pengurangan karbon tahunan pada hutan rawa sekunder tersebut sebagian besar disebabkan penebangan hutan secara liar oleh masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencarian dan pengusaha dalam rangka mencari keuntungan (illegal logging).

Faktanya budidaya kelapa sawit di Indonesia telah mengimplementasikan kaidah lingkungan, karena tegakan pohon kelapa sawit dapat menjadi penghasil karbon baru yang secara simultan terus meningkat dengan penambahan umurnya ditengah krisis karbon yang terjadi terutama pada lahan-lahan terbuka. Sayangnya kesan cemburu terhadap komoditas ini terus terlihat dengan maraknya isu lingkungan yang kerap memojokan disaat negara-negara berkembang sedang berjuang untuk perekonomian dan perbaikan taraf hidup masyarakatnya. Lebih ironis lagi jika isu yang dikembangkan adalah demi kelestarian “orang utan” (Ghani, 2011).

Tanpa menafikkan bahwa biodiversity kebun kelapa sawit yang rendah dan pentingnya konservasi satwa lokal yang dilindungi, sangat tidak bijaksana jika untuk kepentingan “orang utan” justru kesejahteraan umat manusia yang dikorbankan. Masih banyak alternatif lain yang dapat didiskusikan bersama sebagaimana implementasi prinsip dan kriteria RSPO/ISPO (Rountable/Indonesia Sustainable Palm Oil), yang menerapkan best management practices dengan menjalankan proses bisnis yang memperhatikan prinsip kelestarian alam (Ghani, 2011).

Oleh karena itu, tidaklah masalah untuk mempertahankan perkebunan kelapa sawit dan/atau mengembangkannya selama kondisi lingkungan tetap terjaga. Hal ini juga terlihat dari kenyataan bahwa kelapa sawit cukup ramah lingkungan dan dapat menjadi sumber energi terbarukan, dengan hasil turunan dari CPO berupa biofuel yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sehingga dapat menurunkan emisi yang dihasilkan.


(27)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Stok CO2 tahunan pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham masing-masing pada rentang 1,83 – 12,83 dan 9,64 – 10,89 ton CO2/ha/tahun. Sementara nilai emisi CO2 kebun Panai Jaya pada rentang 25,48 – 42,31 dan 37,73 – 49,94 ton CO2/ha/tahun pada kebun Meranti Paham.

Neraca karbon/emisi neto CO2 kebun kelapa sawit Panai Jaya dan Meranti Paham masing-masing adalah sebesar -68,07 dan -35,24 ton CO2/tahun pada tahun 2009. Nilai negatif (-) menunjukkan bahwa karbon yang dilepaskan melalui dekomposisi gambut dari lahan perkebunan tersebut lebih besar dari pada karbon yang dihasilkan melalui tegakan kelapa sawit.

5.2. Saran

Pertimbangan dari aspek ekologi, masyarakat, dan ekonomi harus seimbang dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Pengelolaan drainase pada areal perkebunan penting dilakukan untuk menekan jumlah emisi yang dihasilkan dengan tetap mempertahankan kedalaman air tanah yang ideal bagi tanaman kelapa sawit itu sendiri.


(28)

LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

DECKY SANJAYA A14063118

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(29)

DECKY SANJAYA. Carbon Budget Prediction of Oil Palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, North Sumatra. Under supervision of KUKUH MURTILAKSONO and M. ARDIANSYAH.

The second terresterial carbon storage after mineral soil is peatland. CO2 stock from peatland plays an important role in stabilizing a global climate. Aims of this study is to calculate carbon budget of oil palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate, PTPN IV, Labuhan Batu, North Sumatera in 2009.

Determination of C-organic is based on dry incineration and Walkey and Black method. Emission measurements were conducted directly in the field by using a Close Chamber Method and secondary data analysis. The data was collected based on two step that were field measurements and laboratory analysis. Carbon budget or carbon net emmision (CO2) is calculated based on the difference of CO2 stock and CO2 emission. The result of this study showed that carbon budget value in Panai Jaya and Meranti Paham estate is about -68.07 and -35.24 ton CO2/ha/year in 2009, respectively.


(30)

DECKY SANJAYA. Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan M. ARDIANSYAH.

Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon yang besar, sehingga menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar ke-2 setelah tanah mineral. Cadangan karbon lahan gambut memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menghitung neraca karbon kebun kelapa sawit pada lahan gambut kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara tahun 2009.

Penetapan C-organik dilakukan berdasarkan pada metode pengabuan kering serta Walkey and Black Method. Sementara itu, pengukuran emisi dilakukan secara langsung di lapang dengan menggunakan Close Chamber Method dan pengolahan data sekunder. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui neraca/emisi neto karbon (CO2) adalah selisih antara stok CO2 dengan emisi CO2.

Stok CO2 tahunan pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham masing-masing pada rentang 1,83 – 12,83 dan 9,64 – 10,89 ton CO2/ha/tahun. Sementara nilai emisi CO2 kebun Panai Jaya pada rentang 25,48 – 42,31 dan 37,73 – 49,94 ton CO2/ha/tahun pada kebun Meranti Paham. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan diperoleh nilai neraca karbon kedua kebun tersebut, masing-masing sebesar -68,07 ton CO2/tahun di kebun Panai Jaya dan -35,24 ton CO2/tahun di kebun Meranti Paham pada tahun 2009.


(31)

LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

DECKY SANJAYA A14063118

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(32)

Judul Skripsi : Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PT. Perkebunan Nusantara IV,

Labuhan Batu, Sumatera Utara Nama Mahasiswa : Decky Sanjaya

NRP : A14063118

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP.19600808 198903 1 003 NIP. 19630604 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc. NIP. 19621113 198703 1 003


(33)

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PTPN IV, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL) IPB.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih atas segala dukungan yang diberikan dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS sebagai Pembimbing Skripsi I dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah sebagai Pembimbing Skripsi II atas segala bimbingan, saran, dorongan, pengertian, kesabaran dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atas kesediaannya untuk membiayai penelitian ini, juga kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku koordinator penelitian kerjasama IPB-PPKS. Demikian juga diucapkan terima kasih kepada Manager & Staf kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PTPN IV serta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI atas kesediaannya untuk bekerjasama selama pelaksanaan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si selaku dosen penguji atas masukan dan kritikan yang diberikan kepada saya dalam penulisan skripsi ini.

4. Ketua Departemen dan Staf Pengajar di ITSL

5. Kedua orang tua saya, Suparno, BA. Sc dan Yusmarni, atas segala doa, semangat dan dukungan yang diberikan kepada saya.


(34)

diberikan yang menyebabkan pasang-surut dalam penulisan skripsi ini. 8. Teman-teman seperjuangan, Anggi, Dodo, Lulu, Mike, Puti, Putri, Rudi,

Zaini, dan anak-anak MSL lainnya. VIVA SOIL...!!!

9. Bg Alam (Litbang Pasca Panen Bogor), terima kasih atas segala bahan-bahan bacaan yang diberikan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. 10. Jieckry Rebels Da Friansyah beserta ibu negara, Kak Ena, dan Bibi atas

dukungan moril yang diberikan.

11. Ade Namiid, Andi Hanyo, dan orang-orang di “San Corp”. Terima kasih buat semua dukungannya, sukses selalu dan semangat.

12. Nanda PINK, Ica basket, Mba Pur, Mba Mala, dan Mamah Iyenk.

13. Anak-anak IKPMR Bogor dan asrama RIAU, Pemi barca, Bg Yadi, Pak Budi Handuk, Panglimo Hendri, Ade, Ronal, Adam, Pipin, Isa, Dede, Rusman, Fitri, Bg Monang, dan semua yang tidak tersebutkan.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya dan untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2011


(35)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 05 Januari 1989 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak H. Suparno BASc. dan Ibu Hj. Yusmarni. Penulis berhasil lulus dalam waktu 2 tahun dari SMA Negeri 8 Pekanbaru (Riau) pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Sarjana (S1).

Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yang diadakan oleh IPB selama 1 tahun dan diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, pada program studi Manajemen Sumberdaya Lahan (MSL). Selama pendidikan telah memperoleh sertifikat dari pelatihan dan seminar yang mendukung bidang keahlian pada program studi MSL.


(36)

 

DAFTAR PUSTAKA

Andriesse, J. P. 1988. Ekologi dan Pengelolaan Tanah Gambut Tropika . Istomo. dan Firmansyah. penterjemah. Food and Agriculture Organization of The United Nation. Roma. Italia.

Bahruni. 2010. Neraca atau Siklus Karbon di dalam Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan RI. Bogor.

Barchia, M. F. 2006. Gambut : Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ghani, M. A. 2011. Disparitas Fakta dan Prasangka. Indonesia Industrial Crops. Jakarta.

Hairiah, K dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre-ICRAF, South East Asia. Bogor.

Hairiah, K., S. M. Sitompul, M. Van Noorwijk, and P. Cheryl. 2001. Carbon Stock of Tropical Landuse Systems as Part of Global C Balance. ASB Lecture Note 4A. ICRAF, Bogor.

Handayani, E.P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman Dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Disertasi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian IPB.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.

Hooijer, A., M. Silvius, H. Worsten, and S. Page. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2 Emission from drained peatlands in SE Asia. http://www.wetlands.org/LinkClick.aspx?fileticket=NYQUDJl5zt8%3D&t abid=56 (1 Juli 2010)

Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]. 2007. Climate Change 2007-The Physical Sciaence Basis, Contribution of Working Group I to 2007-The Fourth Assessment Report of the IPCC. http://ds.heavyoil.utah.edu/dspace/bitstream/123456789/9951/1/ClimateC

hange2007-1.pdf (5 juli 2010)

Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, dan Muslihat. 2004. Petunjuk Lapang : Pendugaan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.


(37)

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit [PPKS]. 2010. Laporan Akhir Neraca Karbon Kebun Meranti Paham dan Panai Jaya PT Perkebunan Nusantara IV. Kerjasama antara PPKS-DITSL IPB-Balingtan.

Situmorang, A. P. 2010. Pendugaan Karbon Tersimpan dengan Pemodelan Spasial Data Pengukuran Lapang pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya PTPTN IV (Skripsi). IPB. Bogor.

Yulianti, N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

World Growth. 2011. Manfaat Minyak Sawit bagi Perekonomian Indonesia. http://WG_Indonesian_Palm_Oil_Benefits_Bahasa_Report-2_11.pdf (9April 2011)


(38)

 


(39)

Tabel Lampiran 1. Emisi CO2 TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) Kebun Panai Jaya Tahun 2009

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 2. Emisi CO2 TM 6 (Tanaman berumur 9 Tahun) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m

bawah naungan 43,32 36,74 37,28

Pagi ujung kanopi 33,73 36,58 34,65 36,54

antar tanaman 30,76 33,11 42,71 bawah naungan 26,62 46,23 57,52

Siang ujung kanopi 33,91 35,66 30,14 38,92 antar tanaman 36,78 29,99 53,39

Rata-rata 34,19 36,39 42,61 37,73

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 3. Emisi CO2 TM 12 (Tanaman berumur 15 Tahun) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m

bawah naungan 60,49 37,14 50,43

Pagi ujung kanopi 41,69 27,38 47,21 45,25 antar tanaman 59,57 60,17 23,18

bawah naungan 42,00 41,78 46,69

Siang ujung kanopi 55,93 36,99 36,28 42,77 antar tanaman 56,21 41,57 27,51

Rata-rata 52,65 40,84 38,55 44,01

Sumber : PPKS (2010) Waktu Jarak dari Pokok

Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m

bawah naungan 59,89 30,97 42,56

Pagi ujung kanopi 28,11 17,75 26,80 43,27

antar tanaman 49,30 82,12 51,98

bawah naungan 33,84 42,50 66,27

Siang ujung kanopi 27,60 23,97 20,72 41,41

antar tanaman 33,97 81,48 42,32


(40)

 

Tabel Lampiran 4. Emisi CO2 TM 15 (Tanaman berumur 18 Tahun) Kebun Meranti Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun) 50 m 100 m 150 m

bawah naungan 111,69 39,94 47,15

Pagi ujung kanopi 38,58 31,06 35,76 46,07 antar tanaman 46,92 33,89 29,60

bawah naungan 62,62 68,50 41,52

Siang ujung kanopi 45,93 42,35 50,42 53,82 antar tanaman 62,19 54,78 56,09

Rata-rata 61,32 45,09 43,42 49,94

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 5. Emisi CH4 pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun Panai Jaya (TBM) dan Meranti Paham (9, 15 dan 21) PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur Tanaman

(Tahun)

Emisi CH4 berdasarkan pengamatan (ton/ha/tahun)

Rata-rata emisi CH4

II III IV V

TBM 0,008 0,008 0,003 0,002 0,006

9 0,005 0,002 0,003 0,011 0,005

15 0,008 0,009 0,003 0,009 0,007

18 0,007 0,002 0,005 0,006 0,005

Sumber: PPKS (2010)

Keterangan: II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan November 2009, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009

Tabel Lampiran 6. Emisi CO2 Selama 5 kali Pengambilan Contoh Gas pada Berbagai Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara

Penggunaan Lahan

Emisi CO2

STD CV

I II III IV V Rata-Rata

……… ton/ha/tahun ………

BB 24.30 19.13 26.05 23.62 34.31 25.48 5.55 21.8 HS 38.76 40.85 47.63 43.87 40.44 42.31 3.50 8.3 TBM 29.35 64.54 32.49 37.32 34.37 39.61 12.73 20.0 TM 6 37.52 41.66 36.30 35.60 41.54 38.52 2.89 7.5 TM 12 31.92 44.18 42.19 41.04 55.64 43.00 8.49 19.7 TM 18 37.38 56.01 41.94 48.34 43.59 45.45 7.08 15.6 Sumber : PPKS (2010)


(41)

Tabel Lampiran 7. Kedalaman Muka Air Tanah pada Kebun Meranti Paham Transek Jarak (m) Blok Nomor Kedalaman (m) Tinggi Muka Air (cm)

I 0 90 G 1 6,80 23

200 2 6,25 59

400 3 7,51 55

600 90 I 4 5,75 60

800 5 6,15 60

1.000 6 7,35 110

1.200 99 A 7 5,70 53

1.400 8 7,00 56

1.600 9 8,25 39

1.800 99 C 10 6,90 66

2.000 11 7,75 69

2.200 12 9,00 56

2.400 91 G 13 4,80 56

2.600 99 H 14 7,00 34

2.700 15 6,80 49

2.800 16 9,00 43

2.900 17 6,80 55

3.000 99 M 18 7,00 50

3.100 19 6,30 70

3.200 20 5,30 60

3.300 21 6,40 31

3.400 22 6,40 39

3.500 95 F 23 7,65 57

3.600 24 7,90 53

3.700 25 7,65 76

3.800 26 6,98 65

3.900 27 7,22 87

4.000 95 I 28 8,74 90

4.100 29 8,00 81

4.200 30 6,83 71

4.300 31 6,80 37

4.500 95 U 32 7,23 80

4.600 33 7,25 92

4.800 34 6,56 74

4.900 35 6,73 57

5.100 96 E 36 5,55 37

5.200 37 4,70 33

5.400 38 6,30 69

5.500 96 F 39 4,64 62

5.700 40 4,10 62

5.900 96 O 41 4,93 85

6.100 42 4,70 85

6.300 43 4,25 70

6.500 96 P 44 2,60 82

6.700 45 2,25 79

6.900 46 0,96 83

7.100 97 D 47 1,15 49


(42)

 

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

7.400 49 0,49 35

7.500 97 E 50 0,00 49

7.600 51 0,00 0

II 0 88 Y 1 6,00 46

100 2 5,47 28

200 3 4,50 48

300 4 5,80 57

400 5 5,10 51

500 6 5,00 48

600 88 Z 7 5,40 47

700 8 5,05 37

900 9 5,87 62

1.100 10 6,00 51

1.200 89 J 11 6,00 40

1.300 12 5,93 18

1.400 13 5,47 40

1.600 89 K 14 5,67 75

1.800 15 6,00 59

2.000 16 6,00 67

2.200 89 L 17 5,43 60

2.400 18 5,75 81

2.600 88 AB 19 6,07 56

2.800 20 6,55 76

3.000 21 5,50 39

3.100 90 L 22 6,00 42

3.200 23 6,10 43

3.400 24 7,00 29

3.600 90 T 25 7,00 58

3.800 26 7,00 47

4.000 27 7,00 80

4.200 90 AA 28 7,00 44

4.400 29 7,00 54

4.600 91 J 30 5,90 69

4.700 31 6,05 63

4.800 32 5,52 56

4.900 33 6,40 74

5.000 34 5,78 79

5.100 91 R 35 6,30 58

5.200 36 6,07 91

5.300 37 5,59 80

5.400 38 6,30 92

5.500 39 5,87 108

5.600 91 Z 40 5,83 97

5.700 41 5,95 74

5.800 42 5,99 87

5.900 43 6,00 69

6.100 95 C 44 5,95 75

6.300 45 5,35 83

6.500 46 4,87 81


(43)

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

6.900 48 4,63 76

7.100 95 R 49 4,31 73

7.300 50 4,41 56

7.400 51 4,39 84

7.500 52 4,66 74

7.600 96 B 53 4,92 92

7.700 54 4,67 108

7.800 55 4,76 96

8.000 56 4,40 94

8.200 96 I 57 4,09 68

8.400 58 3,70 82

8.600 96 L 59 3,53 87

8.800 60 3,15 62

9.000 61 2,75 82

9.200 96 S 62 1,77 51

9.300 63 1,57 44

9.400 64 0,53 54

9.500 65 0,42 34

III 0 86 AC 1 0,68 94

100 2 0,60 80

200 3 2,28 81

300 4 1,36 108

400 5 2,08 87

500 6 1,50 52

600 86 AB 7 1,94 58

700 8 2,48 42

800 9 2,34 50

1.000 10 1,92 53

1.200 86 O 11 1,91 64

1.400 12 2,36 50

1.600 86 N 13 1,89 75

1.800 14 2,30 53

2.000 15 1,90 81

IV 100 99 AA 1 0,43 22

200 2 0,63 28

300 3 0,85 67

500 4 0,61 47

700 99 T 5 0,95 41

900 6 1,47 22

1.000 99 S 7 1,99 20

1.200 8 1,48 52

1.400 9 2,57 20

1.600 99 P 10 1,79 33

1.800 98 O 11 1,14 52

Rata-rata 61 Sumber : PPKS (2010)


(44)

LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

DECKY SANJAYA A14063118

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(45)

DECKY SANJAYA. Carbon Budget Prediction of Oil Palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, North Sumatra. Under supervision of KUKUH MURTILAKSONO and M. ARDIANSYAH.

The second terresterial carbon storage after mineral soil is peatland. CO2 stock from peatland plays an important role in stabilizing a global climate. Aims of this study is to calculate carbon budget of oil palm Panai Jaya and Meranti Paham Estate, PTPN IV, Labuhan Batu, North Sumatera in 2009.

Determination of C-organic is based on dry incineration and Walkey and Black method. Emission measurements were conducted directly in the field by using a Close Chamber Method and secondary data analysis. The data was collected based on two step that were field measurements and laboratory analysis. Carbon budget or carbon net emmision (CO2) is calculated based on the difference of CO2 stock and CO2 emission. The result of this study showed that carbon budget value in Panai Jaya and Meranti Paham estate is about -68.07 and -35.24 ton CO2/ha/year in 2009, respectively.


(46)

DECKY SANJAYA. Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan M. ARDIANSYAH.

Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon yang besar, sehingga menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar ke-2 setelah tanah mineral. Cadangan karbon lahan gambut memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menghitung neraca karbon kebun kelapa sawit pada lahan gambut kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara tahun 2009.

Penetapan C-organik dilakukan berdasarkan pada metode pengabuan kering serta Walkey and Black Method. Sementara itu, pengukuran emisi dilakukan secara langsung di lapang dengan menggunakan Close Chamber Method dan pengolahan data sekunder. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui neraca/emisi neto karbon (CO2) adalah selisih antara stok CO2 dengan emisi CO2.

Stok CO2 tahunan pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham masing-masing pada rentang 1,83 – 12,83 dan 9,64 – 10,89 ton CO2/ha/tahun. Sementara nilai emisi CO2 kebun Panai Jaya pada rentang 25,48 – 42,31 dan 37,73 – 49,94 ton CO2/ha/tahun pada kebun Meranti Paham. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan diperoleh nilai neraca karbon kedua kebun tersebut, masing-masing sebesar -68,07 ton CO2/tahun di kebun Panai Jaya dan -35,24 ton CO2/tahun di kebun Meranti Paham pada tahun 2009.


(47)

LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

DECKY SANJAYA A14063118

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(48)

Judul Skripsi : Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PT. Perkebunan Nusantara IV,

Labuhan Batu, Sumatera Utara Nama Mahasiswa : Decky Sanjaya

NRP : A14063118

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP.19600808 198903 1 003 NIP. 19630604 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc. NIP. 19621113 198703 1 003


(49)

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pendugaan Neraca Karbon pada Kebun Kelapa Sawit Panai Jaya dan Meranti Paham PTPN IV, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL) IPB.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih atas segala dukungan yang diberikan dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS sebagai Pembimbing Skripsi I dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah sebagai Pembimbing Skripsi II atas segala bimbingan, saran, dorongan, pengertian, kesabaran dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atas kesediaannya untuk membiayai penelitian ini, juga kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku koordinator penelitian kerjasama IPB-PPKS. Demikian juga diucapkan terima kasih kepada Manager & Staf kebun Panai Jaya dan Meranti Paham PTPN IV serta Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI atas kesediaannya untuk bekerjasama selama pelaksanaan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si selaku dosen penguji atas masukan dan kritikan yang diberikan kepada saya dalam penulisan skripsi ini.

4. Ketua Departemen dan Staf Pengajar di ITSL

5. Kedua orang tua saya, Suparno, BA. Sc dan Yusmarni, atas segala doa, semangat dan dukungan yang diberikan kepada saya.


(50)

diberikan yang menyebabkan pasang-surut dalam penulisan skripsi ini. 8. Teman-teman seperjuangan, Anggi, Dodo, Lulu, Mike, Puti, Putri, Rudi,

Zaini, dan anak-anak MSL lainnya. VIVA SOIL...!!!

9. Bg Alam (Litbang Pasca Panen Bogor), terima kasih atas segala bahan-bahan bacaan yang diberikan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. 10. Jieckry Rebels Da Friansyah beserta ibu negara, Kak Ena, dan Bibi atas

dukungan moril yang diberikan.

11. Ade Namiid, Andi Hanyo, dan orang-orang di “San Corp”. Terima kasih buat semua dukungannya, sukses selalu dan semangat.

12. Nanda PINK, Ica basket, Mba Pur, Mba Mala, dan Mamah Iyenk.

13. Anak-anak IKPMR Bogor dan asrama RIAU, Pemi barca, Bg Yadi, Pak Budi Handuk, Panglimo Hendri, Ade, Ronal, Adam, Pipin, Isa, Dede, Rusman, Fitri, Bg Monang, dan semua yang tidak tersebutkan.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya dan untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2011


(51)

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 05 Januari 1989 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak H. Suparno BASc. dan Ibu Hj. Yusmarni. Penulis berhasil lulus dalam waktu 2 tahun dari SMA Negeri 8 Pekanbaru (Riau) pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Sarjana (S1).

Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yang diadakan oleh IPB selama 1 tahun dan diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL), Fakultas Pertanian, pada program studi Manajemen Sumberdaya Lahan (MSL). Selama pendidikan telah memperoleh sertifikat dari pelatihan dan seminar yang mendukung bidang keahlian pada program studi MSL.


(52)

Halaman DAFTAR TABEL ... vii DAFTAR GAMBAR ... viii DAFTAR LAMPIRAN ... ix I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1. Lahan Gambut ... 4 2.2. Akumulasi Karbon (C) ... 5 2.3. Aliran/fluks Karbon (C) ... 7 III. BAHAN DAN METODE ... 9 3.1. Waktu dan Lokasi ... 9 3.2. Bahan ... 9 3.3. Metode Penelitian ... 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14 4.1. Stok Karbon Kebun ... 14 4.2. Emisi Karbon ... 17 4.3. Neraca Karbon Kebun (Emisi Neto) Panai Jaya dan Meranti Paham .... 20 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25 5.1. Kesimpulan ... 25 5.2. Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA ... 26 LAMPIRAN ... 28


(53)

Nomor Halaman

Teks

1. Model Perhitungan Emisi Neto Karbon (CO2) Panai Jaya ... 12 2. Model Perhitungan Emisi Neto Karbon (CO2) Meranti Paham ... 13 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai

Jaya, PTPN IV Tahun 2009 ... 14

4. Perubahan Karbon Biomassa Tersimpan Atas Permukaan pada Setiap Penggunaan Lahan Kebun Panai Jaya Tahun 2009 ... 15 5. Biomassa Kelapa Sawit pada Berbagai Umur Tanaman Kebun

Meranti Paham, PTPN IV ... 16 6. Biomassa dan Karbon Biomassa Kelapa Sawit pada Berbagai Umur

Tanaman dengan Penambahan Data Pelepah Prunning dan Tandan Kosong (Tankos) Kebun Meranti Paham Tahun 2009 ...

17 7. Emisi CO2 pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit Kebun Panai

Jaya (TBM) dan Meranti Paham (TM) Tahun 2009 ... 18 8. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Panai Jaya Tahun 2009 ... 21 9. Emisi Neto Karbon (CO2) Kebun Meranti Paham Tahun 2009 ... 22


(54)

Nomor Halaman

Teks

1. Neraca Karbon Daratan Berdasarkan Estimasi Pelepasan (emission) atau Penyerapan (sequestration) C pada Berbagai Tingkat Proses Ekosistem ...

6 2. Persentase Rata-Rata Biomassa Berbagai Dimensi Kelapa Sawit .... 16 3. Persamaan Hooijier (2006) yang Menunjukkan Hubungan antara


(55)

Nomor Halaman

Teks

1. Emisi CO2 TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) Kebun Panai Jaya Tahun 2009 ...

29 2. Emisi CO2 TM 6 (Tanaman berumur 9 Tahun) Kebun Meranti

Paham Tahun 2009 ... 29 3. Emisi CO2 TM 12 (Tanaman berumur 15 Tahun) Kebun Meranti

Paham Tahun 2009 ... 29 4. Emisi CO2 TM 15 (Tanaman berumur 18 Tahun) Kebun Meranti

Paham Tahun 2009 ... 30 5. Emisi CH4 pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di Kebun

Panai Jaya (TBM) dan Meranti Paham (9, 15 dan 21) PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009 ... 30 6. Emisi CO2 Selama 5 kali Pengambilan Contoh Gas pada Berbagai

Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara ... 30 7. Kedalaman Muka Air Tanah pada Kebun Meranti Paham ... 31


(56)

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer menjadi salah satu penyebab pemanasan global akibat efek gas rumah kaca, sehingga membuatnya menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh masyarakat secara luas, indikatornya adalah terjadinya peningkatan temperatur udara permukaan bumi. Menurut laporan IPCC (2007), dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur udara permukaan bumi rata-rata 0.74˚ C. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya CO2 yang terperangkap di atmosfer bumi, sehingga konsentrasi karbon di atmosfer meningkat secara tajam yang dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi.

Salah satu yang marak diperbincangkan sebagai penyebab peningkatan CO2 di atmosfer adalah pembukaan kebun kelapa sawit terutama di Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar di dunia, karena dianggap bertanggung jawab atas penggundulan hutan (konversi hutan menjadi areal perkebunan), emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati. Akibatnya, muncul keluhan yang meluas bahwa industri minyak sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan. Lebih lanjut, isu pembukaan kebun kelapa sawit tersebut diposisikan sebagai penyebab signifikan terjadinya perubahan iklim, meskipun kita ketahui bersama bahwa emisi CO2 lebih banyak berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil untuk kepentingan industri, transportasi, listrik, dan sebagainya yang banyak dilakukan oleh negara-negara maju seperti USA dan China (Yulianti, 2009).

Indonesia semakin menjadi “bulan-bulanan” dan kecaman negara-negara luar sebagai penyebab efek GRK setelah didapati kenyataan banyaknya lahan gambut di Indonesia yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit, sebagai dampak dari harga CPO yang terus menanjak. Konversi lahan gambut inilah yang membuat posisi Indonesia selalu terpojokan, karena secara hidrologis lahan gambut berfungsi sebagai tempat penyimpanan air (Andriesse, 1988 dalam

Noor, 2001).

Melihat dari kenyataan yang menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan suhu udara inilah yang menyebabkan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat


(1)

(2)

 

Tabel Lampiran 1. Emisi CO

2

TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) Kebun

Panai Jaya Tahun 2009

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 2. Emisi CO

2

TM 6 (Tanaman berumur 9 Tahun) Kebun Meranti

Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun)

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 43,32 36,74 37,28

Pagi ujung kanopi 33,73 36,58 34,65 36,54

antar tanaman 30,76 33,11 42,71

bawah naungan 26,62 46,23 57,52

Siang ujung kanopi 33,91 35,66 30,14 38,92

antar tanaman 36,78 29,99 53,39

Rata-rata 34,19 36,39 42,61 37,73

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 3. Emisi CO

2

TM 12 (Tanaman berumur 15 Tahun) Kebun

Meranti Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun)

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 60,49 37,14 50,43

Pagi ujung kanopi 41,69 27,38 47,21 45,25

antar tanaman 59,57 60,17 23,18

bawah naungan 42,00 41,78 46,69

Siang ujung kanopi 55,93 36,99 36,28 42,77

antar tanaman 56,21 41,57 27,51

Rata-rata 52,65 40,84 38,55 44,01

Sumber : PPKS (2010) Waktu Jarak dari Pokok

Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun)

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 59,89 30,97 42,56

Pagi ujung kanopi 28,11 17,75 26,80 43,27

antar tanaman 49,30 82,12 51,98

bawah naungan 33,84 42,50 66,27

Siang ujung kanopi 27,60 23,97 20,72 41,41

antar tanaman 33,97 81,48 42,32


(3)

Tabel Lampiran 4. Emisi CO

2

TM 15 (Tanaman berumur 18 Tahun) Kebun

Meranti Paham Tahun 2009

Waktu Jarak dari Pokok Tanaman

Emisi pada Jarak Berbeda (ton/ha/tahun)

Rata-rata Emisi (ton CO2/ha/tahun)

50 m 100 m 150 m

bawah naungan 111,69 39,94 47,15

Pagi ujung kanopi 38,58 31,06 35,76 46,07

antar tanaman 46,92 33,89 29,60

bawah naungan 62,62 68,50 41,52

Siang ujung kanopi 45,93 42,35 50,42 53,82

antar tanaman 62,19 54,78 56,09

Rata-rata 61,32 45,09 43,42 49,94

Sumber : PPKS (2010)

Tabel Lampiran 5. Emisi CH

4

pada Berbagai Umur Tanaman Kelapa Sawit di

Kebun Panai Jaya (TBM) dan Meranti Paham (9, 15 dan 21)

PT Perkebunan Nusantara IV Tahun 2009

Umur Tanaman

(Tahun)

Emisi CH4 berdasarkan pengamatan

(ton/ha/tahun)

Rata-rata emisi CH4

II III IV V

TBM 0,008 0,008 0,003 0,002 0,006

9 0,005 0,002 0,003 0,011 0,005

15 0,008 0,009 0,003 0,009 0,007

18 0,007 0,002 0,005 0,006 0,005

Sumber: PPKS (2010)

Keterangan: II, III, IV, dan V adalah pengukuran bulan November 2009, Februari 2009, April 2009, dan Juni 2009

Tabel Lampiran 6. Emisi CO

2

Selama 5 kali Pengambilan Contoh Gas pada

Berbagai Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Labuhan

Batu, Sumatra Utara

Penggunaan Lahan

Emisi CO2

STD CV I II III IV V Rata-Rata

……… ton/ha/tahun ………

BB 24.30 19.13 26.05 23.62 34.31 25.48 5.55 21.8 HS 38.76 40.85 47.63 43.87 40.44 42.31 3.50 8.3 TBM 29.35 64.54 32.49 37.32 34.37 39.61 12.73 20.0 TM 6 37.52 41.66 36.30 35.60 41.54 38.52 2.89 7.5 TM 12 31.92 44.18 42.19 41.04 55.64 43.00 8.49 19.7 TM 18 37.38 56.01 41.94 48.34 43.59 45.45 7.08 15.6


(4)

 

Tabel Lampiran 7. Kedalaman Muka Air Tanah pada Kebun Meranti Paham

Transek Jarak (m) Blok Nomor Kedalaman (m) Tinggi Muka Air (cm)

I 0 90 G 1 6,80 23

200 2 6,25 59

400 3 7,51 55

600 90 I 4 5,75 60

800 5 6,15 60

1.000 6 7,35 110

1.200 99 A 7 5,70 53

1.400 8 7,00 56

1.600 9 8,25 39

1.800 99 C 10 6,90 66

2.000 11 7,75 69

2.200 12 9,00 56

2.400 91 G 13 4,80 56

2.600 99 H 14 7,00 34

2.700 15 6,80 49

2.800 16 9,00 43

2.900 17 6,80 55

3.000 99 M 18 7,00 50

3.100 19 6,30 70

3.200 20 5,30 60

3.300 21 6,40 31

3.400 22 6,40 39

3.500 95 F 23 7,65 57

3.600 24 7,90 53

3.700 25 7,65 76

3.800 26 6,98 65

3.900 27 7,22 87

4.000 95 I 28 8,74 90

4.100 29 8,00 81

4.200 30 6,83 71

4.300 31 6,80 37

4.500 95 U 32 7,23 80

4.600 33 7,25 92

4.800 34 6,56 74

4.900 35 6,73 57

5.100 96 E 36 5,55 37

5.200 37 4,70 33

5.400 38 6,30 69

5.500 96 F 39 4,64 62

5.700 40 4,10 62

5.900 96 O 41 4,93 85

6.100 42 4,70 85

6.300 43 4,25 70

6.500 96 P 44 2,60 82

6.700 45 2,25 79

6.900 46 0,96 83

7.100 97 D 47 1,15 49


(5)

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

7.400 49 0,49 35

7.500 97 E 50 0,00 49

7.600 51 0,00 0

II 0 88 Y 1 6,00 46

100 2 5,47 28

200 3 4,50 48

300 4 5,80 57

400 5 5,10 51

500 6 5,00 48

600 88 Z 7 5,40 47

700 8 5,05 37

900 9 5,87 62

1.100 10 6,00 51

1.200 89 J 11 6,00 40

1.300 12 5,93 18

1.400 13 5,47 40

1.600 89 K 14 5,67 75

1.800 15 6,00 59

2.000 16 6,00 67

2.200 89 L 17 5,43 60

2.400 18 5,75 81

2.600 88 AB 19 6,07 56

2.800 20 6,55 76

3.000 21 5,50 39

3.100 90 L 22 6,00 42

3.200 23 6,10 43

3.400 24 7,00 29

3.600 90 T 25 7,00 58

3.800 26 7,00 47

4.000 27 7,00 80

4.200 90 AA 28 7,00 44

4.400 29 7,00 54

4.600 91 J 30 5,90 69

4.700 31 6,05 63

4.800 32 5,52 56

4.900 33 6,40 74

5.000 34 5,78 79

5.100 91 R 35 6,30 58

5.200 36 6,07 91

5.300 37 5,59 80

5.400 38 6,30 92

5.500 39 5,87 108

5.600 91 Z 40 5,83 97

5.700 41 5,95 74

5.800 42 5,99 87

5.900 43 6,00 69

6.100 95 C 44 5,95 75


(6)

 

Tabel Lampiran 7. Lanjutan

6.900 48 4,63 76

7.100 95 R 49 4,31 73

7.300 50 4,41 56

7.400 51 4,39 84

7.500 52 4,66 74

7.600 96 B 53 4,92 92

7.700 54 4,67 108

7.800 55 4,76 96

8.000 56 4,40 94

8.200 96 I 57 4,09 68

8.400 58 3,70 82

8.600 96 L 59 3,53 87

8.800 60 3,15 62

9.000 61 2,75 82

9.200 96 S 62 1,77 51

9.300 63 1,57 44

9.400 64 0,53 54

9.500 65 0,42 34

III 0 86 AC 1 0,68 94

100 2 0,60 80

200 3 2,28 81

300 4 1,36 108

400 5 2,08 87

500 6 1,50 52

600 86 AB 7 1,94 58

700 8 2,48 42

800 9 2,34 50

1.000 10 1,92 53

1.200 86 O 11 1,91 64

1.400 12 2,36 50

1.600 86 N 13 1,89 75

1.800 14 2,30 53

2.000 15 1,90 81

IV 100 99 AA 1 0,43 22

200 2 0,63 28

300 3 0,85 67

500 4 0,61 47

700 99 T 5 0,95 41

900 6 1,47 22

1.000 99 S 7 1,99 20

1.200 8 1,48 52

1.400 9 2,57 20

1.600 99 P 10 1,79 33

1.800 98 O 11 1,14 52

Rata-rata 61 Sumber : PPKS (2010)