Proporsi Infeksi HBV, HCV, Dan HIV Pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 - Juli 2013

(1)

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien

Talasemia-

β

Mayor

di RSUP Haji Adam Malik Medan

Periode Januari 2009 - Juli 2013

Oleh :

DIADORA

100100068

   

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

 

   


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia- Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 - Juli 2013

Nama : Diadora NIM : 100100068

Pembimbing, Penguji I,

(dr.Olga Rasiyanti Siregar, M.Ked (Ped), Sp.A) (dr. Wan Naemah, Sp.PA) NIP. 19830302 200812 2 002 NIP.19601001 198712 2 001

Penguji II,

(dr. Aliandri, Sp.THT) NIP. 19660309 200012 1 007

Medan, 24 Desember 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara,

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(3)

ABSTRAK

Latar Belakang: Talasemia- mayor merupakan kelainan genetik dimana terdapat defek pada sintesis rantai globin. Hal ini menyebabkan berkurangnya hemoglobin yang fungsional dalam aliran darah yang menimbulkan anemia, retardasi pertumbuhan dan gangguan fungsi organ. Pasien talasemia membutuhkan transfusi darah yang reguler untuk bertahan hidup. Namun pemberian transfusi darah beresiko menularkan agen-agen infeksius seperti HBV, HCV, dan HIV.

Tujuan: Untuk menentukan proporsi infeksi HBV, HCV , dan HIV pada pasien talasemia- mayor di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional yang menggunakan rekam medis pasien talasemia di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Juli 2013. Hanya pasien yang mempunyai data tes serologis Hepatitis B, Hepatitis C atau HIV yang ikut dalam penelitian. Dari rekam medis, dicatat hasil tes HbsAg, Anti-HCV dan Anti-HIV.

Hasil: Dari 32 sampel penelitian, terdapat laki-laki sebanyak 22 orang (68,8%) dan perempuan sebanyak 10 orang (31,2%). Dari 32 sampel, tidak ada yang menderita infeksi HBV dan 9 orang (28,1%) menderita infeksi HCV. Dari 23 sampel tercatat 3 orang (13,0%) yang menderita HIV.

Kesimpulan: Ditemukan proporsi infeksi HCV paling tinggi dibandingkan dengan infeksi HBV dan HIV. Perlu dilakukan skrining rutin untuk mendeteksi antibodi anti-HCV pada darah donor.

Kata Kunci: talasemia β mayor, proporsi, hepatitis b virus, hepatitis c virus, human immunodefeciency virus


(4)

ABSTRACT

Background: Thalassemia-β mayor is a genetic disorder in which there is a defect in synthesis of β globin chain. This leads to lack of functional hemoglobin circulating in the blood that manifests as anemia , growth retardation and major organ dysfunction. Patient with thalassemia-β mayor requires regular blood transfusion for survival. However, regular blood transfusion increase the risk of exposure to infectious agent such as HBV , HCV and HIV.

Objective: To determine the proportion of HBV, HCV and HIV infections among thalassemic patients from Hemato-Oncology division of Pediatrics department at Haji Adam Malik hospital in Medan throughout January 2009 to July 2013.

Methods: This is a cross sectional descriptive study that relies on medical record of thalassemic patients that were admitted to Hemato-Oncology division of Pediatrics department from January 2009 through July 2013. Only patients with serology test for Hepatitis B, Hepatitis C or HIV were eligible for this study. HbsAg, Anti-HCV and Anti-HIV tests were obtained from the medical records.

Result: Out of 32 patients, 22 and 10 were male and female respectively. No HBV infection were found, 9 patients were found Anti-HCV positive. Among 23 patients 3 patients were Anti-HIV postive.

Conclusion: The proportion of HCV infection is the highest compared to HBV and HIV infection. Regular screening of anti-HCV antibody in blood donor is recommended.

Key Words: β-thalassemia major, proportion, hepatitis b virus, hepatitis c virus, human immunodefeciency virus

                     


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Yang telah melimpahkan berkat dan anugerah-Nya serta telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan proposal karya tulis ilmiah ini.

Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan tugas akhir pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari dalam penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran atau masukan yang membangun dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr.Olga Rasiyanti Siregar, M.Ked (Ped), Sp.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran-saran, yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Wan Naemah, SpPA selaku dosen penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini

5. dr. Aliandri, SpTHT selaku dosen penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.


(6)

Akhirnya penulis mengharapkan semoga proposal karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2013

Penulis

Diadora

NIM 100100068

                             


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Jenis Hemoglobin ... 5

2.2 Talasemia ... 6

2.2.1 Klasifikasi ... 6

2.2.2 Patofisiologi ... 8

2.2.3 Manisfestasi Klinis ... 10

2.2.4 Diagnosis ... 12

2.2.5 Penatalaksanaan ... 12

2.2.6 Komplikasi ... 16

2.3 Virus Hepatitis B ... 18

2.3.1 Virologi ... 18

2.3.2 Epidemiologi dan Cara Penularan ... 19

2.3.3 Gejala Klinis ... 20

2.3.4 Diagnosis ... 22

2.3.5 Penatalaksanaan ... 23

2.3.6 Pencegahan ... 24

2.4 Virus Hepatitis C ... 24

2.4.1 Virologi ... 24

2.4.2 Epidemiologi dan Cara Penularan ... 24

2.4.3 Gejala Klinis ... 25

2.4.4 Diagnosis ... 25

2.4.5 Penatalaksanaan ... 26

2.4.6 Pencegahan ... 27

2.5 Human Immunodefeciency Virus ... 27

2.3.1 Virologi ... 27


(8)

2.3.3 Diagnosis ... 28

2.3.4 Penatalaksanaan ... 29

2.3.5 Pencegahan ... 29

BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 30

3.2 Definisi Operasional... 31

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 33

4.1 Jenis Penelitian ... 33

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

4.3 Populasi dan Sampel ... 33

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 34

4.5 Pengolahan dan Analisa Data... 34

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Hasil Penelitian ... 35

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel ... 35

5.1.3 Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien 5.1.2 Talasemia ... 37

5.1.4. Distribusi Karakteristik Infeksi HCV pada Pasien Talasemia ... 37

5.1.5. Distribusi KarakteristikInfeksi HIV pada Pasien Talasemia ... 38

5.2 Pembahasan ... 39

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN

             


(9)

DAFTAR TABEL

2.1 Hemoglobin Normal Manusia pada Berbagai Fase /

Pertumbuhan ... 5

2.2 Patofisiologi Talasemia- ... 9

2.3 Karakteristik Talasemia- Mayor ... 10

2.4 Antigen dan Antibodi Virus Hepatitis B ... 19

2.5 Interpretasi Penanda Serologi HBV pada Pasien dengan Hepatitis ... 22

5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku, Usia, dan Jumlah Unit Darah... ... 36

5.2 Proporsi infeksi HBV, HCV, dan HIV Pada Pasien Talasemia- mayor...37

5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Infeksi HCV Pada Pasien Talasemia ... 37

5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Infeksi HIV Pada Pasien Talasemia ... 38

           


(10)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kromosom 11 dan 16 dengan Gennya Masing-Masing ... 5

2.2 Gambaran Sel Target ... 11

2.3 Gambaran Mikrositik Hipokrom pada Pemeriksaan Darah Tepi Talasemia Minor ... 11

2.4 Gambaran ‘hair on end’ pada Penderita Talasemia Mayor ... 11

2.5 Gambaran Klinis dan Serologis pada Infeksi HBV ... 23

2.6 Gambaran Klinis dan Serologis pada Infeksi HCV ... 26

3.1 Kerangka Konsep ... 30

                   


(11)

DAFTAR SINGKATAN / ISTILAH

ALT : Alanine transaminase

AST : Aspartate transaminase

Delesi : Hilangnya materi genetik dari kromosom

Elektroforesis : Pemisahan solut ionik berdasarkan perbedaan kecepatan migrasinya dalam suatu medan listrik

Env : Materi genetik retrovirus yang mengkode envelope virus

Eritropoesis : Pembentukan eritrosit

Eritropoetin : Hormon yang disekresi ginjal untuk pembentukan eritrosit

Gag : Materi genetik retrovirus yang mengkode protein struktural Globin : Gugus protein dari hemoglobin

HBV : Hepatitis B virus HCV : Hepatitis C virus

Hemoglobinopati : Gangguan karena abnormalitas struktur genetik hemoglobin yang diturunkan

Hiperplasia : Peningkatan jumlah sel pada jaringan Hipersplenisme : Peningkatan destruksi eritrosit oleh lien HIV : Human immunodeficiency virus

Loki : Letak gen pada kromosom PCR : Polymerase chain reaction

Pol : Materi genetik retrovirus yang mengkode enzim reverse transciptase

Transferrin : Glikoprotein yang mengikat dan mengangkut besi


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. PERSETUJUAN KOMISI ETIK LAMPIRAN 2. IJIN PENELITIAN

LAMPIRAN 3. DATA INDUK PENELITIAN LAMPIRAN 4. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN 5. HASIL ANALISIS DATA SECARA KOMPUTERISASI

                               


(13)

ABSTRAK

Latar Belakang: Talasemia- mayor merupakan kelainan genetik dimana terdapat defek pada sintesis rantai globin. Hal ini menyebabkan berkurangnya hemoglobin yang fungsional dalam aliran darah yang menimbulkan anemia, retardasi pertumbuhan dan gangguan fungsi organ. Pasien talasemia membutuhkan transfusi darah yang reguler untuk bertahan hidup. Namun pemberian transfusi darah beresiko menularkan agen-agen infeksius seperti HBV, HCV, dan HIV.

Tujuan: Untuk menentukan proporsi infeksi HBV, HCV , dan HIV pada pasien talasemia- mayor di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional yang menggunakan rekam medis pasien talasemia di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Juli 2013. Hanya pasien yang mempunyai data tes serologis Hepatitis B, Hepatitis C atau HIV yang ikut dalam penelitian. Dari rekam medis, dicatat hasil tes HbsAg, Anti-HCV dan Anti-HIV.

Hasil: Dari 32 sampel penelitian, terdapat laki-laki sebanyak 22 orang (68,8%) dan perempuan sebanyak 10 orang (31,2%). Dari 32 sampel, tidak ada yang menderita infeksi HBV dan 9 orang (28,1%) menderita infeksi HCV. Dari 23 sampel tercatat 3 orang (13,0%) yang menderita HIV.

Kesimpulan: Ditemukan proporsi infeksi HCV paling tinggi dibandingkan dengan infeksi HBV dan HIV. Perlu dilakukan skrining rutin untuk mendeteksi antibodi anti-HCV pada darah donor.

Kata Kunci: talasemia β mayor, proporsi, hepatitis b virus, hepatitis c virus, human immunodefeciency virus


(14)

ABSTRACT

Background: Thalassemia-β mayor is a genetic disorder in which there is a defect in synthesis of β globin chain. This leads to lack of functional hemoglobin circulating in the blood that manifests as anemia , growth retardation and major organ dysfunction. Patient with thalassemia-β mayor requires regular blood transfusion for survival. However, regular blood transfusion increase the risk of exposure to infectious agent such as HBV , HCV and HIV.

Objective: To determine the proportion of HBV, HCV and HIV infections among thalassemic patients from Hemato-Oncology division of Pediatrics department at Haji Adam Malik hospital in Medan throughout January 2009 to July 2013.

Methods: This is a cross sectional descriptive study that relies on medical record of thalassemic patients that were admitted to Hemato-Oncology division of Pediatrics department from January 2009 through July 2013. Only patients with serology test for Hepatitis B, Hepatitis C or HIV were eligible for this study. HbsAg, Anti-HCV and Anti-HIV tests were obtained from the medical records.

Result: Out of 32 patients, 22 and 10 were male and female respectively. No HBV infection were found, 9 patients were found Anti-HCV positive. Among 23 patients 3 patients were Anti-HIV postive.

Conclusion: The proportion of HCV infection is the highest compared to HBV and HIV infection. Regular screening of anti-HCV antibody in blood donor is recommended.

Key Words: β-thalassemia major, proportion, hepatitis b virus, hepatitis c virus, human immunodefeciency virus

                     


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) secara autosomal resesif dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Pada talasemia terjadi pengurangan sintesis dari satu atau lebih rantai globin yang menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin, gangguan eritropoesis, hemolisis, dan anemia. Penyakit ini pertama kali di temukan pada tahun 1925 di Amerika Utara oleh Dr. Thomas Cooley dan Dr. Pearl Lee dimana mereka mendapatkan pasien dengan gejala anemia berat, splenomegaly, dan perubahan tulang. Pada saat itu, penyakit tersebut dinamakan dengan Cooley’s anemia. Kemudian pada tahun 1932 George H.Whipple dan William L.Bradford, membuat publikasi tentang penemuan patologis pada penyakit ini dan dinamakan dengan talasemia. Talasemia berasal dari bahasa yunani ‘thalassa’ yang artinya laut, karena pasien-pasien awal dari penyakit ini berasal dari wilayah mediterania (Weatherall, 2010).

Talasemia termasuk salah satu kelainan genetik yang paling banyak dijumpai di dunia (Pignatti & Galanello, 2003). Diperkirakan bahwa 7% dari populasi dunia merupakan carrier gen talasemia dan setiap tahunnya 300.000-500.000 bayi lahir dengan gen talasemia (Weatherall, et al., 2006). Secara garis besar talasemia di bagi menjadi dua jenis yaitu talasemia-α dan talasemia- . Kasus talasemia-α banyak dijumpai pada populasi Asia seperti Thailand, Vietnam, Cambodia, Indonesia, dan Laos (Ciesla, 2007). Di Indonesia, angka kejadian talasemia-α bervariasi dari pulau ke pulau dengan frekuensi terendah (<1%) di Bangka, Sumatera Selatan dan frekuensi tertinggi di Lombok (>13%) (Weatherall & Clegg, 2001). Untuk talasemia- , angka prevalensinya berkisar 3%-10% (Wahidiyat, 2012).


(16)

Pilihan pengobatan untuk pasien talasemia- mayor umumnya bersifat suportif berupa transfusi darah, terapi kelasi besi, splenektomi, dan penanganan standar pediatrik (Weatherall, 2000). Transfusi darah yang teratur dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin diatas 10 g/dl setiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu (Hoffbrand, et al., 2005). Tanpa transfusi pasien talasemia biasanya meninggal pada tahun-tahun pertama kelahiran (Weatherall & Clegg, 2001). Sedangkan dengan transfusi yang adekuat dan pemberian terapi kelasi besi, anak-anak talasemia dapat tumbuh normal hingga dewasa (Weatherall, et al., 2006).

Namun pemberian tranfusi beresiko menularkan infeksi seperti hepatitis B, hepatitis C, dan HIV. Prevalensi penularan infeksi melalui transfusi berbeda – beda di berbagai negara. Pemeriksaan serologi pada tahun 1992, menunjukkan bahwa 19% pasien Prancis, 34% pasien Italia dan 56-66% pasien India pernah menderita infeksi HBV. Data dari Cooley Care Cooperative Group melaporkan antibodi HCV ditemukan pada 85% pasien Italia, dan 23% pasien dinyatakan positive pada tahun 1990 di Inggris, 34% di Prancis, dan 21% di India. Di Amerika Serikat sepertiga dari total pasien talasemia yang mendapatkan transfusi ditemukan mempunyai antibodi terhadap HCV, dan sepertiga diantaranya RNA positip . Pada tahun 1987, prevalensi infeks HIV pada pasien talasemia dari 13 negara Eropa dan Laut Tengah sebesar 1,56% (Pignatti & Galanello, 2003).

Pada penelitian yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit dr. Soetomo di Surabaya, pada 83 kasus talasemia yang menerima transfusi darah berulang, terdeteksi HbsAg pada 1 pasien (1,2%), antibodi Anti HBs pada 22 pasien (2,65%), dan antibodi Anti-HCV pada 10 pasien (12%) (Andarsini, et al., 2011).

Pada penelitian yang dilakukan di Iran, dari 732 pasien talasemia yang mendapatkan transfusi, didapatkan 19,3% menderita HCV, 1,5 % menderita HBV dan 0% untuk HIV (Mirmomen, et al., 2006).


(17)

Dari data epidemiologi diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang proporsi infeksi HBV, HCV, dan HIV pada pasien talasemia- mayor di RSUP Haji Adam Malik.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di atas , pasien talasemia yang menjalani multipel transfusi rentan terhadap penularan infeksi HBV, HCV, dan HIV. Maka penilitian ini dilakukan untuk mengetahui angka proporsi infeksi HBV,HCV, dan HIV pada pasien talasemia- mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memperoleh data proporsi infeksi HBV, HCV, dan HIV pada pasien talasemia- mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penilitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik pasien talasemia yang mendapat terapi transfusi di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Mengetahui jenis infeksi yang paling banyak ditularkan lewat transfusi darah pada pasien talasemia di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(18)

1.4 Manfaat Penelitian 1. Peneliti

Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengalaman di bidang penelitian serta informasi yang berguna untuk peneliti lainnya dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian berikutnya.

2. Masyarakat

Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi informasi pada masyarakat tentang jumlah kasus infeksi HBV, HCV, dan HIV pada pasien talasemia di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3. Instansi Rumah Sakit

Bagi instansi rumah sakit, penelitian ini dapat berfungsi sebagai masukan untuk meningkatkan pencegahan dan penanganan lebih baik pada darah donor untuk pasien transfusi.

4. Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah studi kepustakaan dan diharapkan menjadi suatu masukan yang berarti dan bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

               


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Hemoglobin

Terdapat 3 jenis hemoglobin: hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower 2 dan Hb Portland), hemoglobin fetal (HbF) dan hemoglobin dewasa (HbA dan HbA2). Masing-masing jenis hemoglobin tersebut mempunyai susunan tertentu pada rantai globin dan setiap rantai globin disintesis pada suatu kromosom yang spesifik. Rantai epsilon, beta, gamma, dan delta dibentuk oleh gen yang terletak dalam kromosom 11. Rantai alpha dan zeta dibentuk oleh gen pada kromosom 16 (Ciesla, 2007).

Fase Pertumbuhan Komponen hemoglobin Persentase (%) Kehamilan 1-2 bulan Hb Gower 1

Hb Gower 2 Hb Portland Hb F 25 15 10 50 Kehamilan 3 bulan HbF

HbA

96-97 3-4 Bayi baru lahir HbF

HbA HbA2

81,7 ± 4,2 17,7 ± 4,6 0,25 ± 0,20 Dewasa HbA HbA2 HbF 97 2,5 0,5

(Hoffbrand, et al., 2005). 

Tabel 2.1 Hemoglobin normal manusia pada berbagai fase pertumbuhan

(Wahiyidiyat & Amalia, 2012).


(20)

2.2 Talasemia 2.2.1 Klasifikasi

Berdasarkan letak defek dari sintesis rantai globin talasemia dibagi menjadi 2 kelompok (Bakta, 2006) :

1. Talasemia alfa : defek pada sintesis rantai alfa 2. Talasemia beta : defek pada sintesis rantai beta

Talasemia-α

Talasemia-α dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip dengan gejala klinis yang berbeda (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Secara normal terdapat empat buah gen globin-α, beratnya penyakit secara klinis dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif (Hoffbrand, et al., 2005).

1. Talasemia-2-α trait (-α/αα)

Di sebut juga talasemia-αsilent carrier. Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai α (-α),yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-α lainnya yang lengkap (αα), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai normal. Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang tidak memberikan gejala dan tanda ( an asymptomatic , silent carrier state). Kelainan ini ditemukan pada 15-20% populasi keturunan Afrika (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). 2. Talasemia-1-α trait (-α/-α atau αα/--)

Di sebut juga talasemia-α minor. Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk homozigot-α+ (-α/-α) atau heterozigot-α0 (αα/-) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

3. Hemoglobin H disease (--/-α)

Pada penderita ditemukan delesi tiga loki. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit Hb H karena hemoglobin H ( 4) dapat dideteksi dalam eritrosit pasien melalui pemeriksaan elektroforesis atau sediaan retikulosit. Pada janin, terbentuk Hb Bart’s ( 4) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).


(21)

4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart’s (--/--)

Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Tidak adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai-α seluruhnya dan karena rantai α esensial penting untuk hemoglobin fetus dan dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk hidup biasanya menyebabkan kematian in utero (hidrops fetalis) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

Talasemia-

Talasemia- dibagi dalam 4 kelompok : 1. Talassemia- (silent carrier)

Merupakan penderita talasemia dengan variasi mutasi yang heterogen, dimana hanya terjadi sedikit gangguan produksi rantai- , sehingga hampir tidak ditemukan kelainan hematologis (Atmakusuma, 2009).

2. Talasemia- minor (trait)

Keadaan ini biasanya tanpa gejala, ditandai dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (MCV dan MCH rendah) dan anemia ringan (hemoglobin 10-15 g/dl). Kadar Hb A2 yang tinggi (>3,5%) memastikan diagnosis (Hoffbrand, et al., 2005).

3. Talasemia intermedia

Kasus talasemia dengan derajat keparahan sedang (hemoglobin 7,0-10,0 g/dl) (Hoffbrand, et al., 2005). Penderita talasemia- intermedia secara klinis dapat berupa asimptomatik, namun kadang-kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

4. Talasemia- mayor

Keadaan ini rata-rata terjadi pada 1 dari 4 anak bila kedua orang tuanya merupakan pembawa sifat talasemia- . Tidak ada rantai atau sedikit rantai yang disintesis. Rantai α yang berlebih berpresipitasi dalam eritroblas dan eritrosit matur, menyebabkan eritropoesis inefektif dan hemolisis berat (Hoffbrand, et al., 2005).


(22)

2.2.2 Patofisiologi

Patofisiologi Talasemia- Mayor

Pada talasemia beta, terjadi kelebihan rantai α yang mengendap pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan sel progenitor pada darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoesis yang tidak efektif, sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat rantai , menghasilkan HbF extra uterine. Akibatnya, kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai membentuk HbF. Keadaan ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Kombinasi anemia pada talasemia dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang, metabolisme rate yang tinggi dan gambaran klinis talasemia mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa, sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme. Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, yang dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi besi dan muatan besi. Beberapa gejala ini bisa diatasi dengan transfusi untuk menekan eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Di dalam tubuh besi terikat oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan, besi ini segera diikat dalam timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak dapat merusak sel. Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh, dan fraksi besi yang tidak terikat transferin dapat terdeteksi di dalam plasma. Hal ini mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di jantung, hati dan kelenjar endokrin sehingga mengakibatkan kerusakan dan gangguan fungsi organ (Permono & Ugrasena, 2012).


(23)

Hal Yang Terjadi Manisfestasi Mutasi primer terhadap produksi

globin

Sintesis globin tidak seimbang

Efek rantai globin berlebihan terhadap survival eritrosit

Anemia

Efek eritrosit abnormal terhadap fungsi organ

Splenomegali, hepatomegali dan hiperkoagubilitas

Metabolisme besi yang abnormal Kerusakan jaringan hati, endokrin, miokardium, kulit

Pengobatan Muatan besi berlebih, kelainan

tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat

(Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Tabel 2.2 Patofisiologi Talasemia-


(24)

2.2.3 Manisfestasi Klinis

Manisfestasi Klinis Talasemia-

Sindrom Gambaran Laboratoris Gambaran Klinis Talasemia- mayor Anemia berat, gambaran

eritrosit hipokrom, poikilositosis, sel target, sel teardrop,stippled dan bernukleus. HbF dan HbA2 meningkat. HbA tidak ada sama sekali atau mengalami penurunan. Saturasi transferrin > 80%.

Biasanya pada pada anak berusia 6 bulan sampai 2 tahun dengan gejala anemia berat. Jika tidak diberikan transfusi akan terjadi

hepatosplenomegali, ikterus, dan perubahan tulang. Bentuk wajah khas, berupa

menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik juga terhambat . Pada gambaran radiologis menunjukkan gambaran khas “ hair on end”. (Atmakusuma, 2009). 


(25)

 (Drew, 2004). 

(Hollar, 2001). Gambar 2.2 Gambaran sel target

(Krafts, 2009).

Gambar 2.3 Gambaran mikrositik hipokrom pada pemeriksaan darah tepi talasemia minor 

Gambar 2.4 Gambaran ‘hair on end’ pada penderita talasemia mayor


(26)

2.2.4 Diagnosis

Algoritma pendekatan diagnosis talasemia

Untuk menegakkan diagnosis pasti talasemia, perlu dilakukan analisis hemoglobin diantaranya dengan elektroforesis hemoglobin atau dengan HPLC ( high performance liquid chromatography) (Vanichsetakul, 2011).

2.2.5 Penatalaksanaan

1. Severe beta-talasemia diseases dengan kadar hemoglobin < 7.0 gr/dl atau hematokrit < 20 %

 Transplantasi sumsum tulang  Transfusi darah

 Terapi kelasi besi Distribusi HbF intraseluler 

Pemeriksaan fisik 

(Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi) 

Laboratorium darah dan sediaan apus 

(Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit,  gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit 

darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH) 

Elektroforesis hemoglobin 

(Adanya Hb abnormal, termasuk analsis pada pH 6‐7 untuk  HbH dan Hb Bart’s 

Penentuan HbA2 dan HbF  (Untuk memastikan talasemia‐β) 

Sintesis rantai globin Analisis struktural Hb varian  (Misal: Hb Lepore) 


(27)

 Asam folat

 Splenektomi (Vanichsetakul, 2011)

 Vitamin C (200 mg perhari) untuk meningkatkan ekskresi besi

 Terapi endokrin untuk merangsang hipofisis bila pubertas terlambat. Penderita osteoporosis mungkin memerlukan penambahan kalsium, vitamin D dan bisfosfonat.

 Imunisasi hepatitis B diberikan pada semua pasien non imun. Pada hepatitis C yang ditularkan lewat transfusi, diobati dengan interferon-α dan ribavirin (Hoffbrand, et al., 2005).

2. Moderately severe talasemia disease dengan kadar hemoglobin 7-9 gr/dl atau hematokrit 20-27%

 Transfusi darah reguler dan kelasi besi pada beberapa kasus tertentu  Transfusi darah sewaktu pada saat terjadi krisis hemolisis

 Splenektomi pada beberapa kasus tertentu (Vanichsetakul, 2011).

3. Mild talasemia diseases dengan kadar hemoglobin >9gr/dl atau hematokrit >27%

 Transfusi darah sewaktu pada saat krisis hemolisis  Asam folat (Vanichsetakul, 2011).

4. Asymptomatic or talasemia trait or carrier tidak membutuhkan terapi spesifik (Vanichsetakul, 2011).

Transfusi darah

Pemberian transfusi mengurangi komplikasi anemia dan membantu pertumbuhan dan perkembangan. Transfusi dilakukan pada kadar hemoglobin <6 gr/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut. Regimen yang digunakan untuk mempertahankan hemoglobin pada kadar 9,5 gr/dl menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban besi tubuh, dibandingkan dengan regimen transfusi dimana hemoglobin lebih dari 11 gr/dl. Sebelum


(28)

dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, dan diberikan vaksin hepatitis B (Permono & Ugrasena, 2012). Volume darah yang ditransfusi tergantung dari beberapa faktor diantaranya berat badan, target hemoglobin dan nilai hematokrit darah donor. Secara umum jumlah darah yang ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari untuk mencegah peningkatan volume darah yang tiba-tiba (Surapon, 2011). Pasien harus diperiksa genotipnya pada permulaan program transfusi untuk mengantisipasi bila timbul antibodi eritrosit terhadap eritrosit yang ditransfusikan (Hoffbrand, et al., 2005). Untuk mencegah reaksi transfusi diberikan darah segar yang telah disaring untuk memisahkan leukosit dan komponen protein plasma (Weatherall, 2010). Kelebihan besi merupakan konsekuensi yang paling penting dari transfusi pada pasien talasemia (Permono & Ugrasena, 2012). Pasien yang menerima terapi transfusi berulang tanpa terapi kelasi besi dapat mengalami berbagai kerusakan jaringan akibat akumulasi besi (Borgna-Pignatti, et al., 2004).

Terapi kelasi besi

Terapi kelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi. Obat pilihan utama adalah deferoxamine. Deferoxamine diberikan melalui infus dengan pompa portable pada subkutan abdomen, biasanya diberikan pada malam hari selama 8-12 jam. Terapi kelasi dimulai pada saat serum ferritin mencapai 1000 µg/dl atau setelah 12-15 kali transfusi darah (Weatherall, 2010). Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma merupakan cara tersering yang digunakan untuk estimasi tidak langsung dari simpanan besi tubuh terkait untuk terapi kelasi besi. Interpretasi kadar feritin serum dapat dipegaruhi berbagi kondisi seperti defesiensi askorbat, infeksi akut, inflamasi kronis, dan kerusakan hati, yang semuanya sering terjadi pada pasien talasemia mayor. Oleh karena itu, konsentrasi feritin serum bukan merupakan indikator yang tepat untuk kadar besi dan kepercayaan pada hasil pengukuran dapat menyebabkan manajemen yang keliru pada pasien. Pengukuran konsentrasi besi hati merupakan metode yang paling kuantitatif, spesifik dan sensitif untuk mengukur kadar besi tubuh pada pasien talasemia. Biopsi hati memberikan hasil terbaik untuk evaluasi akumulasi besi pada hepatosit


(29)

dan sel Kupffer, aktivitas inflamasi dan gambaran histologi hati. Prosedur dilakukan dengan bantuan USG (Permono & Ugrasena, 2012). Dosis awal deferoksamin yang diberikan 20mg/kg selama 5 kali / minggu disertai dengan pemberian vitamin C (Weatherall, 2010). Dengan pemberian kelasi besi yang teratur, harapan hidup penderita talasemia mayor membaik secara nyata. Pada beberapa kasus, terapi kelasi terus menerus yang intensif dengan deferioksamin intravena dapat memperbaiki kerusakan jantung yang disebabkan penimbunan besi. Walaupun demikian, pasien seringkali tidak patuh dan obat tersebut mahal. Lagipula deferioksamin memiliki efek samping, terutama pada pasien dengan kadar feritin rendah, berupa tuli nada tinggi, kerusakan retina, kelainan tulang dan retardasi pertumbuhan (Hoffbrand, et al., 2005). Pasien yang menerima terapi deferioksamin harus menjalani pemeriksaan auditorik dan funduskopi setiap tahun. Mahal dan tidak nyamannya pemberian deferioksamin mendorong penemuan agen kelator besi yang aktif secara oral. Agen ini merupakan 1,2 dimethyl-3 hydroxypyridin-4-one (deferipron,L1), yang dipatenkan tahun 1982 sebagai alternatif deferoksamin untuk pengobatan kelebihan besi kronis. Obat ini dapat diberikan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan deferoksamin. Deferipron kurang efektif bila dibandingkan dengan deferioksamin. Efek samping yang timbul berupa agranulositosis dan neutropenia (Permono & Ugrasena, 2012)

Splenektomi

Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan darah sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya resiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum operasi, pasien harus diberi vaksin pneumococcal dan Haemophilus influenzae tipe B (Permono & Ugrasena, 2012). Pemberian profilaksis dengan penicillin, amoxicillin, atau erythromycin di rekomendasikan selama dua tahun pertama setelah operasi (Borgna-Pignatti, 2007).


(30)

Transplantasi sumsum tulang

Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien talasemia, membebaskan pasien dari transfusi kronis namun tidak menghilangkan kebutuhan terapi pengikat besi pada semua kasus. Pengurangan konsentrasi besi pada hati hanya ditemukan pada pasein muda dengan bebas besi rendah sebelum transplantasi. Baik flebotomi maupun pemberian deferoksamin jangka pendek aman dan efektif untuk menurunkan besi jaringan pada pasien “eks-talasemia” dan dapat dimulai 1 jam setelah transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi hati > 7mg/kg berat kering jaringan hati.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi sumsum tulang (Permono & Ugrasena, 2012) :

1. Tingkat hepatomegali

2. Adanya fibrosis portal pada biopsi hati

3. Efektivitas terapi kelasi besi sebelum transplantasi

Pasien yang menjalani transplantasi tanpa faktor diatas (kelas I) memiliki probabilitas overall survival (OS) 93% dan disease free survival (DFS) 91% . Pasien dengan 1 atau 2 faktor resiko (kelas II) memiliki probabilitas OS 87% dan DFS 79%. Sedangkan pasien dengan 3 faktor resiko (kelas III) memiliki probabilitas OS 79% dan DFS 58% (Sayani, et al., n.d).

2.2.6 Komplikasi 1. Komplikasi jantung

Gagal jantung dan aritmia yang disebabkan kelebihan besi merupakan penyebab kematian utama pada talasemia dengan persentase 60,2% dan 6,8% (Borgna-Pignatti, et al., 2004).

2. Komplikasi hati

Gangguan hati merupakan komplikasi yang umum terjadi pasien talasemia dewasa. Penyebab utama berupa infeksi hepatitis B, hepatitis C lewat transfusi


(31)

darah, kelebihan besi, toksisitas obat dan gangguan empedu akibat batu empedu (Sayani, et al., n.d).

3. Komplikasi endokrin

Komplikasi yang umum berupa hipogonadism dan pubertas terlambat. Semua pasien anak harus dievaluasi setiap tahun mulai umur 10 tahun. Hipogonadism pada laki-laki ditandai dengan ukuran testis < 4ml dan pada perempuan ditandai dengan tidak adanya perkembangan payudara sampai umur 16 tahun. (Sayani, et al., n.d).

4. Komplikasi tulang

Kelainan tulang pada talasemia umum terjadi dan biasanya multifaktorial, dapat terjadi akibat transfusi inadekuat, kelebihan besi, terapi kelasi besi berlebih dan faktor endokrin lain. Faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Kelainan tulang biasanya bermanisfestasi dalam bentuk deformitas skeletal, kegagalan pertumbuhan, arthropathy, dan fraktur patologis (Sayani, et al., n.d).

5. Infeksi

Infeksi merupakan penyebab kematian kedua paling sering pada talasemia- (Borgna-Pignatti, et al., 2004). Resiko infeksi pada talasemia disebabkan oleh abnormalitas sistem imun yang dapat disebabkan oleh penyakit talasemia itu sendiri ataupun efek dari pengobatan seperti transfusi, splenektomi dan peningkatan besi. Menurut penilitian, pada pasien talasemia terjadi penurunan dari sistem imun berupa defek fagositosis makrofag (Ricerca, et al., 2009). Hal ini berhubungan dengan keadaan hiperaktivitas dari makrofag dalam memfagosit sel – sel eritrosit yang lisis (Wiener, et al., 1999). Akibatnya aktivitas makrofag untuk memfagosit mikroorganisme patogen menjadi terganggu. Transfusi darah yang berulang, selain menambah kadar besi dalam tubuh juga meningkatkan resiko penularan infeksi. Secara umum HBV, HCV, HIV, dan sifilis merupakan agen infeksi yang paling sering ditularkan lewat transfusi. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan berupa skrining darah donor dan uji laboratorium (Ricerca, et al., 2009). Peningkatan kadar besi dalam tubuh menyebabkan gangguan fagositosis makrofag, perubahan ekspresi limfosit-T, dan perubahan distribusi


(32)

limfosit pada berbagai kompartmen di sitem imun. Hal tersebut berhubungan dengan kegagalan limfosit untuk mengeliminasi kelebihan besi pada feritin (Walker & Walker, 2000).

2.3 Virus Hepatitis B 2.3.1 Virologi

Virus hepatitis B (HBV) termasuk golongan hepadnavirus dan merupakan hepadnavirus yang pertama kali ditemukan. Virus ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang tersusun dari 3200 nukleotida (Arief, 2012).

HBV dapat ditemukan dalam 3 morfologi (Levinson, 2008) :

1. Partikel spheris dengan diameter 42 nm disebut juga Dane particle 2. Partikel spheris dengan diameter 22 nm

3. Partikel filamen dengan lebar 22nm

Bentuk yang paling banyak ditemukan adalah partikel sferis dan filamen berdiameter 22nm. Partikel sferis dan filamen dengan ukuran 22 nm tersusun dari antigen permukaan HbsAg dan tidak bersifat infeksisus (Levinson, 2008). Bagian dalam dari virion hepatitis adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase,transkiptase dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HbEAg). Antigen ini menunjukkan adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan hati (Arief, 2012).


(33)

HBV Virus hepatitis B

HbsAg Antigen permukaan hepatitis B

HbeAg Antigen hepatitis B; menunjukkan

replikasi

HbcAg Antigen inti hepatitis B

Anti-HBs Antibodi terhadap HBsAg.

Menunjukkan infeksi HBV masa lalu dan imunitas terhadap HBV

Anti-Hbe Antibodi terhadap HbeAg

Anti-HBc Antibodi terhadap HbcAg.

IgM anti-HBc Antibodi golongan IgM terhadap

HbcAg. Menunjukkan infeksi HBV yang baru terjadi positif 4-6 bulan setelah infeksi

2.3.2 Epidemiologi dan Cara Penularan

Pada tahun 2000 WHO memperkirakan adanya 400 juta orang pengidap HBV. Prevalensi infeksi HBV ditemukan lebih tinggi pada orang ras hitam dibandingkan orang Hispanik dan kulit putih. Pola prevalensi hepatitis B di bagi menjadi (Pyrsopoulos & Reddy, 2011) :

 Prevalensi rendah (0,1-2%) termasuk Kanada, Eropa Barat dan New Zealand.

 Prevalensi sedang (3-5%) termasuk Eropa Utara dan Timur, Jepang, Amerika Selatan dan Asia Tengah.

 Prevalensi tinggi (10-20%) termasuk Cina, Indonesia, Pulau Pasifik dan Asia Tenggara.

(Brooks, et al., 2008).


(34)

Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5 % - 36,2 % (Arief, 2012). . Skrining rutin HbsAg pada darah donor dapat menurunkan insiden penularan infeksi HBV melalui transfusi (Drew, 2004).

Penularan infeksi HBV dapat melalui berbagai cara (Sanityoso, 2009) :  Melalui darah : penerima transfusi, pasien hemodialisis

 Transmisi melalui hubungan seksual

 Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan ulang alat medis yang terkontaminasi, tato, akupuntur

 Transmisi maternal-neonatal 2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinis infeksi HBV dapat bervariasi. Masa inkubasinya antara 7-160 hari (rata- rata 10 minggu) (Drew, 2004).

1. Hepatitis akut

Infeksi HBV kadang dapat berupa asimtomatis. Ini terbukti dari tingginya angka karier tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala, gejalanya menyerupai infeksi virus hepatitis lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul berupa flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual muntah, ikterus, hepatomegaly dan berlangsung selama 6-8 minggu. Dari pemeriksaan lab didapatkan peningkatan ALT dan AST sebelum timbul gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus, infeksi HBV dapat didahului gejala nyeri sendi dan lesi kulit (Arief, 2012).

2. Hepatitis kronis

Dikatakan hepatitis kronik bila penyakit menetap, dan ditandai dengan terdeteksinya HbsAg selama minimal 6 bulan (Arief, 2012). Hepatitis kronis lebih sering dijumpai pada bayi, kemungkinan karena sistem imun yang belum matang dibandingkan pada orang dewasa (Levinson, 2008). Hepatitis kronis dapat


(35)

menyebabkan sirosis, gagal hati atau karsinoma hepatoseluler pada 25% pasien. Sebagian besar penderita hepatitis kronis bersifat asimtomatis (Drew, 2004). 3. Gagal hati fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya enselofati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan dan peningkatan kadar aminotransferase (Arief, 2012).

4. Pengidap sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati (Arief, 2012).


(36)

2.3.4 Diagnosis

Dasar diagnosis infeksi HBV adalah diagnosis klinis dan serologi.

HBsAg Anti-HBs Anti-HBc Interpretasi Positif Negatif Negatif Infeksi HBV akut awal

Positif Positif/negatif Positif Infeksi HBV akut maupun kronik. Bedakan dengan IgM anti-HBc. Tentukan tingkat aktivitas replikatif dengan HbeAg atau DNA HBV Negatif Positif Positif Menunjukkan infeksi HBV yang

lalu dan kekebalan terhadap hepatitis B

Negatif Negatif Positif Kemungkinannya mencakup: pernah infeksi HBV, karier HBV; periode ‘window period’ antara hilangnya HbsAg dan munculnya anti-HBs; atau reaksi positif palsu. Periksa dengan IgM anti-HBc, periksan dengan vaksin HbsAG, atau keduanya. Bila ada, anti-Hbe membantu memvalidasi reaktivitas anti-HBc

Negatif Negatif Negatif Agen infeksius lain; cedera toksik terhadap hati, penyakit herediter pada hati Negatif Positif Negatif Respon tipe vaksin (Brooks, et al., 2008). 


(37)

2.3.5 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan hepatitis B adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit (Arief, 2012).

1. Istirahat

Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat (Mansjoer, et al., 2009).

2. Diet

Pada pasien hepatitis akut dan kronis idak ada rekomendasi diet khusus. Usahakan asupan kalori cukup (30-35 kalori/kgBB) dan protein cukup (1g/KgBB). Pasien dengan sirosis dekompensata, dianjurkan asupan Na (1,5 gr/hari), diet tinggi protein dan pada kasus hiponatremia pemberian cairan dibatasi (1,5L/hari) (Pyrsopoulos & Reddy, 2011).

3. Medikamentosa

(Brooks, et al., 2008).

Gambar 2.5 Gambaran klinis dan serologis yang terjadi pada pasien dengan infeksi HBV


(38)

Interferon alfa (IFN-a), lamivudine, telbivudine, adefovir, entecavir, dan tenofovir merupakan obat utama yang diberikan pada hepatitis B (Pyrsopoulos & Reddy, 2011).

2.3.6 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin atau imunoglobulin (Levinson, 2008). Vaksin diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid, diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian. Imunglobulin biasanya diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg postiif (Pyrsopoulos & Reddy, 2011).

2.4 Virus Hepatitis C 2.4.1 Virologi

Virus hepatitis C merupakan virus RNA, termasuk dalam famili flaviviridae. HCV berbentuk sferis dengan diameter 30-60 nm dan terdiri atas 9413 nukleotida (Arief, 2012). Berdasarkan analisis sekuens RNA , HCV dapat dibedakan menjadi 6 genotip dan lebih dari 70 subtipe (Brooks, et al., 2008). Variasi genom ini memungkinkan HCV dapat menghindari respon imun tubuh dan menyebabkan infeksi yang persisten (Arief, 2012).

2.4.2 Epidemiologi dan Cara Penularan

Survey epidemiologi memperkirakan terdapat 170 juta pengidap HCV di seluruh dunia (Dhawan, 2013). Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Di Indonesia pada pemeriksaan daroh donor di kota-kota besar didapatkan prevalensi di Jakarta 2,5% , Surabaya 2,3% , Medan 1,5% dan Bandung 2,7%. Pada penilitian pada subjek yang lebih khusus, didapatkan penderita hemodialisis sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4% dan penderita talasemia yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4% (Arief, 2012).


(39)

1. Darah (predominan) 2. Transmisi seksual 3. Maternal-neonatal

2.4.3 Gejala Klinis 1. Hepatitis C akut

Masa inkubasi HCV 2-30 minggu . Penderita biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada gejalanya tidak spesifik yaitu seperti rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga hepatitis C pada fase akut jarang terdiagnosis (Arief, 2012).

2. Hepatitis C kronis

Kebanyakan 85% penderita hepatitis C akut akan berkembang menjadi kronik. Gejala yang timbul biasanya tidak sepesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita dapat menunjukkan gejala ekstrahepatik yang meliputi gejala hematologis, autoimun , mata, persendian dan sistem saraf (Arief, 2012).

3. Sirosis hati

Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara 20%-30%. Gejala klinis yang muncul biasanya minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis (Arief, 2012).

4. Karsinoma hepatoseluler

Resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada penderita sirosis karena hepatitis berkisar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoseluler berkisar antara 10-50 tahun (Arief, 2012).

2.4.4 Diagnosis

Pemeriksaan HCV dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular (Gani, 2009).

1. Pemeriksaan serologis

Karena antigen hepatitis C tidak dapat ditemukan pada darah, dilakukan pemeriksaan serologi dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) untuk


(40)

mendeteksi antibodi terhadap HCV (anti-HCV) (Drew, 2004). Antibodi anti-HCV dapat terdeteksi pada 50-70% pasien saat muncul gejala, sedangkan pada lainnya antibodi dapat muncul terlambat dalam 3-6 minggu (Brooks, et al., 2008). Untuk menghindari false positive perlu di lakukan tes konfirmasi dengan RIBA (recombinant immunoblot assay. Apabila ditemukan positif, dilanjutkan pemeriksaan molekuler dengan PCR (Levinson, 2008).

2. Pemeriksaan molekular

Pemeriksaan molekular bertujuan untuk mendeteksi RNA HCV. RNA HCV yang positif menandakan infeksi virus yang aktif (Levinson, 2008).

2.4.5 Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan infeksi HCV adalah untuk mengeradikasi virus dan mencegah terjadinya sirosis dan karsinoma hepatoseluler (Arief, 2012). Pemberian terapi antivirus ditujukan pada pada penderita hepatitis kronik dan penderita dengan peningkatan serum ALT (Dhawan, 2013). Terapi yang dianjurkan adalah kombinasi interferon dan ribavirin (Arief, 2012).

(Brooks, et al., 2008).


(41)

2.4.6 Pencegahan

Tindakan pencegahan infeksi HCV yang dapat dilakukan berupa (Brooks, et al., 2008) :

1. Melakukan skrining pada pendonor darah, plasma, organ, jaringan dan semen

2. Inkativasi virus pada produk yang berasal dari plasma 3. Pengadaan penyuluhan dan seminar

2.5 HUMAN IMMUNODEFECIENCY VIRUS (HIV) 2.5.1 Virologi

HIV termasuk dalam golongan famili retroviridae, anggota genus Lentivirus (Brooks, et al., 2008). Berdasarkan genomnya HIV dibagi menjadi dua grup yaitu HIV-1 dan HIV 2. HIV-1 tersebar diseluruh dunia sedangkan penyebaran HIV-2 hanya terbatas pada Afrika Barat. Virion HIV-1 memiliki diameter 100 nm dan tersusun dari dua molekul RNA yang dinamakan diploid. Genom RNA dibungkus oleh protein nukleokapsid dan kompleks protein RNA nya dibungkus oleh kapsid yang tersusun dari beberapa subunit. HIV mengandung 3 gen struktural utama yaitu: gag, pol dan env. Gen gag berfungsi untuk mengkode protein struktural matrix dan nukleokapsid. Gen pol untuk mengkode enzim reverse tranciptase, polymerase dan integrase yang penting untuk replikasi virus. Gen env berfungsi untuk mengkode glikoprotein gp120 dan gp14 yang akan berikatan dengan protein CD4 dan sel target (Levinson, 2008).


(42)

Sindrom AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat pada sekelompok homoseksual yang menderita Kaposi sarkoma dan infeksi oportunistik lainnya yang disertai dengan penurunan CD4+ dan limfosit T (Champoux & Drew, 2004)

Menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2008, sebanyak 33,4 juta orang menderita infeksi HIV di seluruh dunia. Angka ini telah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 (39,5 juta). UNAIDS memperkirakan 2,7 juta orang merupakan penderita baru dan 2 juta orang meninggal akibat AIDS pada tahun 2008 (Bennett, 2013).

Dari tahun 1985 sampai 1996,kasus AIDS jarang ditemukan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1999 kasus AIDS mulai meningkat tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui jarum suntik narkotika. Departemen RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban & Djauzi, 2009).

Titer HIV yang tinggi ditemukan pada darah dan semen. Infeksi HIV ditularkan melalui 3 cara yaitu: melaui kontak seksual, melalui transfusi darah, dan dari ibu ke anak selama masa kehamilan. Adanya penyakit menular seksual lain seperti gonorea, sifilis atau herpes simpleks-2 meningkatkan resiko transmisi HIV sebanyak seratus kali lipat karena inflamasi dan luka lecet mempermudah perpindahan HIV melalui sawar mukosa (Brooks, et al., 2008)

2.5.3 Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan antibodi atau dengan mendeteksi RNA virus. Pemeriksaan antibodi biasanya dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Setelah pemeriksaan ELISA kemudian dilanjutkan dengan Western Blot analysis untuk menyingkirkan kemungkinan false postitive (Levinson, 2008). False positive dapat terjadi pada kondisi autoimun, gagal ginjal, hemodialisis, transfusi darah, vaksin hepatitis B dan rabies. Pada pemeriksaan antibodi, perlu diperhatikan adanya ‘window period’ yaitu waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi


(43)

yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan (Mahajan, et al., 2010). Window period pada HIV biasanya berlangsung selama 3-4 minggu setelah infeksi (Brooks, et al., 2008). Analisis PCR dapat digunakan untuk memastikan infeksi HIV pada fase window period ini (Levinson, 2008).

2.5.4 Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksanaan AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu (Djoerban & Djauzi, 2009) :

1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV)

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyerta seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toxoplasma, sarkoma kaposi, dan kanker serviks 3. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik

dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan keagamaan.

2.5.5 Pencegahan

Ada beberapa jenis program yang direkomendasikan WHO di antaranya (Djoerban & Djauzi, 2009):

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda 2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran 3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik

4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika 5. Program pendidikan agama

6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual

7. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat  

   


(44)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian tentang prevalensi infeksi HBV, HCV dan HIV pada pasien talasemia- mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah

Pasien talasemia‐β mayor  

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Karakteristik 

 Jenis Kelamin   Suku 

 Usia 

 Jumlah Unit Darah   Proporsi Infeksi 


(45)

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pasien talasemia- mayor

 Definisi : pasien yang pada rekam medik didiagnosis menderita ffffffffffffffftalasemia dan diberikan transfusi darah

2. Jenis Kelamin

 Definisi : jenis kelamin pasien yang tertulis pada rekam medik  Cara ukur : observasi

 Alat ukur : rekam medik  Hasil ukur : laki-laki

perempuan  Skala ukur : nominal 3. Suku

 Definisi : ras pasien yang tertulis pada rekam medik  Cara ukur : observasi

 Alat ukur : rekam medik  Hasil ukur : Aceh

Batak

Jawa Karo Melayu  Skala ukur : nominal 4. Usia

 Definisi : usia pasien yang tercatat dalam rekam medis  Cara ukur : observasi

 Alat ukur : rekam medik  Hasil ukur : (0-5) tahun

(6-10) tahun

(11-15) tahun


(46)

5. Jumlah unit darah

 Definisi : total jumlah darah dalam unit yang ditransfusikan selama ffffffffffffffffperiode Januari 2009 – Juli 2013

 Cara ukur : observasi  Alat ukur : rekam medik  Hasil ukur : < 30 unit

> 30 unit  Skala ukur : nominal 6. Proporsi

 Definisi : jumlah individu yang sedang sakit pada saat tertentu per hhhhhhhhhhjumlah individu pada populasi tersebut pada saat tertentu

7. Infeksi HBV

 Definisi : pasien yang pada pemeriksaan serologis ditemukan nnnnnnnnnnnHbsAg (+)

 Cara ukur : observasi  Alat ukur : rekam medik  Skala ukur : nominal 8. Infeksi HCV

 Definisi : pasien yang pada pemeriksaan serologis ditemukan anti-nnnnnnnnnnn HCV(+)

 Cara ukur : observasi  Alat ukur : rekam medik  Skala ukur : nominal 9. Infeksi HIV

 Definisi : pasien yang pada pemeriksaan serologis ditemukan anti-ffffffffffffffffHIV(+)

 Cara ukur : observasi  Alat ukur : rekam medik  Skala ukur : nominal


(47)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penilitian

Penelitian ini bersifat cross sectional (studi prevalens) deskriptif yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai proporsi infeksi HBV, HCV dan HIV pada pasien talasemia- mayor yang menerima transfusi darah.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu : Bulan Agustus – November 2013

Tempat : Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita talasemia- mayor yang menerima transfusi darah di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien penderita talasemia- mayor yang menerima transfusi darah di Poli Hemato-Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

Adapun kriteria sampel yang harus dipenuhi meliputi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.

Kriteria inklusi

- Pasien talasemia- mayor yang mendapat transfusi darah.


(48)

- Pasien talasemia- mayor yang tidak mempunyai data tes serologis HbsAg , anti-HCV, atau anti-HIV.

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, dimana semua data yang diperlukan diperoleh dari rekam medik pasien talasemia.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperlukan dikumpulkan setelah melihat rekam medis pasien talasemia. Data-data kemudian akan digambarkan dalam bentuk tabel. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Alat bantu yang digunakan dalam mengolah data statistik adalah program Statistical Product and Service Solution (SPSS) dan Microsoft Office.

                       


(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poli Hemato - Onkologi Anak RSUP Haji Adam Malik, Medan pada Agustus – November 2013. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes no. 335/Menkes/SK/VII/1990.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan, RSUP Haji Adam Malik juga ditetapkan sebagai pusat rujukan wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara , Aceh , Sumatera Barat , dan Riau.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Dalam penelitian ini jumlah kasus talasemia selama periode Januari 2009 - Juli 2013 tercatat 67 kasus. Dari 67 kasus hanya 32 sampel yang mempunyai data tes serologi HbsAg, Anti-HCV, atau Anti-HIV.

Ada beberapa karakteristik yang dinilai dalam penelitian ini, antara lain: jenis kelamin, suku, usia, dan total jumlah unit darah yang ditransfusikan.


(50)

Berdasarkan tabel 5.1, jenis kelamin sampel pasien talasemia yang paling banyak adalah laki-laki, dimana terdapat 22 orang (68,8%) dan 10 orang perempuan (31,2%).

Suku yang terbanyak merupakan suku Jawa sebanyak 17 orang (53,1%), dan yang paling sedikit suku Karo sebanyak 2 orang (6,3%).

Kelompok usia sampel terbanyak adalah kelompok usia 6 - 10 tahun sebanyak 18 orang (56,2%) , dan yang paling sedikit di jumpai pada kelompok usia 11 – 15 tahun sebanyak 4 orang (12,5%).

Jumlah unit darah yang ditransfusikan selama kunjungan pasien dijumlahkan secara total dan hasilnya dikategorikan menjadi kurang dari 30 unit dan lebih dari atau sama dengan 30 unit. Dari 32 sampel tercatat 21 orang (65,6%) yang mendapatkan transfusi darah kurang dari 30 unit dan 11 orang (34,4%) mendapatkan transfusi lebih dari atau sama dengan 30 unit.

Karakteristik Frekuensi (%)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 22 10 68,8 31,3 Suku Aceh Batak Jawa Karo Melayu 7 3 17 2 3 21,9 9,4 53,1 6,3 9,4 Usia (tahun) 0-5 6-10 11-15

Jumlah Darah (Unit) <30 ≥30 10 18 4 21 11 31,2 56,2 12,5 65,6 34,4

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin, suku, usia, dan jumlah unit darah. 


(51)

5.1.3. Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV Pada Pasien Talasemia

Berdasarkan tabel 5.2, dari 32 sampel pasien talasemia -mayor yang memiliki data tes serologi HbsAg dan Anti HCV , tidak ada yang menderita infeksi HBV dan 9 orang (28,1%) menderita infeksi HCV.

Dari 32 sampel yang ikut dalam penelitian, hanya 23 pasien yang memiliki data tes Anti-HIV. Dari 23 pasien tercatat 3 orang (13,0%) yang menderita HIV.

5.1.4. Distribusi Karakteristik Infeksi HCV Pada Pasien Talasemia Tes Serologi Jumlah Sampel Jumlah hasil (+) (%) HbsAg Anti-HCV Anti-HIV 32 32 23 0 9 3 0 28,1 13,0

Karakteristik Tes Anti-HCV (+) (%)

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 6 3 66.7 33,3 Suku Aceh Batak Jawa Karo Melayu 1 1 5 2 0 11,1 11,1 55,6 22,2 0 Usia (tahun) 0-5 6-10 11-15

Jumlah Darah (Unit) <30 ≥30 5 3 1 3 6 55,6 33,3 11,1 33,3 66,7

Tabel 5.2. Proporsi infeksi HBV, HCV, dan HIV pada pasien talasemia- mayor.  

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi karakteristik infeksi HCV pada pasien talasemia .


(52)

Berdasarkan tabel 5.3, dari 9 pasien talasemia dengan tes serologi HCV (+) terdapat 6 orang (66,7%) laki-laki dan 3 orang (33,3%) perempuan. Suku yang terbanyak merupakan suku Jawa sebanyak 5 orang (55,6%), diikuti suku Karo sebanyak 2 orang (22,2%), suku Batak sebanyak 1 orang (11,1%), suku Aceh sebanyak 1orang (11,1%), dan tidak ditemukan pada suku Melayu. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 0 - 5 tahun sebanyak 5 orang (55,6%) kemudian diikuti dengan kelompok usia 6 – 10 tahun sebanyak 3 orang (33,3%), dan yang paling sedikit dijumpai pada kelompok usia 11 – 15 tahun sebanyak 1 orang (11,1%). Sebanyak 6 orang (66,7%) mendapatkan transfusi darah ≥ 30 unit dan 3 orang (33,3%) mendapatkan transfusi darah < 30 unit.

5.1.5. Distribusi Karakteristik Infeksi HIV Pada Pasien Talasemia

Karakteristik Tes Anti-HIV (+) (%) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 3 0 100 0 Suku Aceh Batak Jawa Karo Melayu 0 0 3 0 0 0 0 100 0 0 Usia (tahun) 0-5 6-10 11-15

Jumlah Darah (Unit) <30 ≥30 2 1 0 1 2 66,7 33,3 0 33,3 66,7

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi karakteristik infeksi HIV pada pasien talasemia  


(53)

Berdasarkan tabel 5.4, pasien talasemia dengan tes serologi Anti-HIV (+) semuanya berjenis kelamin laki-laki dan bersuku Jawa yaitu sebanyak 3 orang (100%) .Pada kelompok usia 0 – 5 tahun dijumpai sebanyak 2 orang (75%) dan pada kelompok usia 6 – 10 tahun sebanyak 1 orang (25%). Tidak dijumpai penderita HIV pada kelompok umur 11 – 15 tahun. Sebanyak 1 orang (25%) mendapatkan transfusi darah < 30 unit dan 2 orang (75%) mendapatkan transfusi darah ≥ 30 unit.

5.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien talasemia mayor dan proporsi infeksi HBV, HCV , dan HIV pada pasien talasemia -mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2009 – Juli 2013.

Dari tabel 5.1 pasien talasemia -mayor lebih banyak pada laki-laki sebanyak 22 orang (68,8%), sedangkan pada perempuan lebih sedikit yaitu sebanyak 10 orang (31,2%). Penelitian yang dilakukan Bhavsar et al., (2011) di India juga mendapatkan hasil yang sama, dimana penderita talasemia lebih dominan pada laki-laki. Sedangkan menurut penelitian Boroujerdnia di Iran pada tahun 2009, didapatkan perempuan lebih banyak menderita talasemia -mayor dibandingkan dengan laki-laki. Dari hasil penelitian Mirmomen et al., (2006) di Iran, dari 732 sampel pasien talasemia, 413 berjenis kelamin laki – laki dan 319 berjenis kelamin perempuan. Menurut Mirmomen et al., (2006), tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kasus talasemia . Hasil penelitian ini menunjukkan persamaan dengan penelitian Bhavsar et al., (2011) dan Mirmomen et al., (2006).

Suku yang terbanyak merupakan suku Jawa sebanyak 17 orang (53,1%). Hal ini dikarenakan penduduk Indonesia mayoritas merupakan suku Jawa (BPS , 2010). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syarifurnama (2008) di Medan, dimana persentase suku Jawa yang didiagnosis talasemia sebesar 59,2 %.

Pada penelitian ini, kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia (6-10) tahun yaitu sebanyak 18 orang (56,2%) . Menurut Galanello & Origa (2010),


(54)

awal gejala talasemia biasanya muncul pada umur 6-24 bulan berupa gejala seperti pucat, diare, demam berulang, dan splenomegali. Tanpa transfusi darah kondisi pasien dapat memburuk dan menimbulkan gejala klinis seperti deformitas tulang, gangguan pertumbuhan, ikterus dan anemia berat. Kemungkinan pasien talasemia di RSUP H Adam Malik Medan baru datang berobat setelah gejala mulai memberat. Hasil penelitian yang didapat berbeda dengan penelitian Boroujerdnia et al., (2009) dimana pasien talasemia -mayor kebanyakan pada kelompok usia (11 – 21) tahun. Hasil penelitian Syarifurnama (2008 ) di Medan menunjukkan kelompok usia terbanyak adalah (6 - 15) tahun dan menurut penelitian Mirmomen et al., (2006), usia rata-rata pasien talasemia -mayor adalah 17,0±9 tahun.

Sebanyak 21 orang mendapatkan transfusi total <30 unit dan 11 orang mendapatkan transfusi total ≥ 30 unit dari periode Januari 2009 – Juli 2013. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien tidak rutin melakukan transfusi darah karena biaya yang mahal. Menurut Bhavsar et al., (2011) di India, sebanyak 51% pasien talasemia mendapat transfusi darah < 50 unit. Menurut Boroujerdnia et al., (2009) kebanyakan pasien talasemia di Iran, mendapatkan transfusi darah total > 200 unit.

Berdasarkan tabel 5.2, infeksi yang paling banyak ditemukan pada pasien talasemia adalah infeksi HCV sebanyak 28,1% , diikuti infeksi HIV 13% kemudian infeksi HBV 0%. Persentase infeksi HCV yang lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi HIV berhubungan dengan window period HCV yang lebih panjang dibandingkan HIV sehingga, kemungkinan false negative pada saat dilakukan skrining pada darah donor lebih besar. Tidak ditemukannya infeksi HBV karena pasien talasemia di RSUP Haji Adam Malik telah diberikan vaksin Hepatitis B sebelum memulai transfusi darah. Menurut penelitian Oza et al., (2012) di India dari 193 sampel, didapatkan 1 orang (0,52%) seropositif HbsAg , 15 orang (7,8%) seropositif anti-HCV dan 6 orang (3,1%) seropositif terhadap Anti-HIV. Pada penelitian yang dilakukan Bhavsar et al., (2011) di India dari 100


(55)

pasien talasemia, 18 orang (18%) positif terhadap HbsAg , 6 orang (6%) positif terhadap tes anti-HCV dan 9 orang (9%) positif HIV. Pada penelitian di Iran oleh Mansouritorghabeh et al., (2008) didapatkan prevalensi HBV 2,22% , HCV 8,33% dan HIV 0%. Penelitian oleh Ocak et al., (2006) melaporkan dari 399 sampel, 3 orang (0,75%) seropositif terhadap HbsAg, 18 orang (4,5%) seropostif terhadap Anti-HCV dan tidak ada yang seropositif terhadap Anti-HIV Pada penelitian di Malaysia oleh Jamal (1998) prevalensi HBV 2,4% , HCV 22,4 % dan HIV 0%. Hasil penelitian ini menunjukkan persamaan dengan penelitian Oza et al., (2012).

Berdasarkan tabel 5.3 infeksi HCV lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Bhavsar et al., (2011) dimana 61% infeksi HCV pada pasien talasemia adalah laki-laki. Namun menurut penelitian Boroujerdnia et al., (2009) didapatkan perempuan lebih banyak menderita infeksi HCV . Penelitian oleh Mirmomen et al., (2006) melaporkan sebanyak 57,4% laki-laki dijumpai menderita HCV. Menurut Boroujerdnia et al., (2009), tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan infeksi HCV pada pasien talasemia. Kelompok usia terbanyak yang menderita HCV adalah kelompok usia (0-5) tahun. Hal ini berbeda dengan penelitian Boroujerdnia et al., (2006) dimana kelompok usia yang terbanyak menderita infeksi HCV adalah kelompok usia (11-21) tahun. Menurut Mirmomen et al., (2006) rata – rata usia yang menderita infeksi HCV adalah 20.2 ± 8.2. Sebanyak 66,7% sampel yang seropositif terhadap Anti-HCV mendapatkan transfusi ≥ dari 30 unit darah . Menurut penelitian Bhavsar et al., (2011), sampel yang menerima transfusi darah antara 151-200 unit yang paling banyak menderita HCV. Penelitian oleh Oza et al., (2012) melaporkan bahwa resiko infeksi HCV meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah transfusi darah. Sedangkan Wanachiwanawin et al., (2003) melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara jumlah unit darah yang ditransfusi dengan peningkatan resiko infeksi HCV.

Pada tabel 5.4, pasien talasemia yang menderita HIV semuanya berjenis kelamin laki-laki. Penelitian yang dilakukan Bhavsar et al., (2011) juga


(56)

menyatakan bahwa proporsi penderita HIV pada pasien talasemia lebih banyak pada laki-laki. Sebanyak 75% penderita HIV terdapat pada kelompok usia (0-5) tahun. Hasil penelitian Bhavsar et al., (2011) menunjukkan kelompok usia terbanyak adalah (8-17) tahun. Sebanyak 75% sampel yang seropositif terhadap Anti-HIV mendapatkan transfusi ≥ dari 30 unit darah. Menurut Oza et al., (2012) insiden infeksi HIV berhubungan dengan meningkatnya jumlah transfusi darah.


(57)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Proporsi infeksi HBV, HCV, dan HIV pada pasien talasemia -mayor periode Januari 2009 – Juli 2013 secara berturut adalah 0%, 28,1% , dan 13%

2. Distribusi frekuensi terbesar pasien talasemia yang menderita infeksi HCV dan HIV berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki dengan persentase 66,7% pada infeksi HCV , dan 100% pada infeksi HIV.

3. Distribusi frekuensi terbesar pasien talasemia yang menderita infeksi HCV dan HIV berdasarkan suku adalah suku Jawa dengan persentase 55,6% pada infeksi HCV , dan 100% pada infeksi HIV.

4. Distribusi frekuensi terbesar pasien talasemia yang menderita infeksi HCV dan HIV berdasarkan usia adalah kelompok usia (0-5) tahun dengan persentase 55,6% pada infeksi HCV , dan 75% pada infeksi HIV .

5. Distribusi frekuensi terbesar pasien talasemia yang menderita infeksi HCV dan HIV berdasarkan jumlah unit darah yang ditransfusikan adalah ≥ 30 unit dengan persentase 66,7% pada infeksi HCV dan 75% pada infeksi HIV.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan seleksi yang ketat pada calon pendonor darah.

2. Diperlukan tes yang lebih spesifik dan sensitif untuk mendeteksi antibodi Anti-HCV dan Anti-HIV pada darah donor.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Andarsini, M. R. et al., 2011. Hepatitis Virus Infection in Repeatedly Transfused Thalassemia Patients. Indonesia Journal of Tropical and Infectious Diseases, 2(1). 46-48.

Arief, S., 2012. Hepatitis Virus. Dalam: M. Juffrie, S. S. Y. Soenarto, H. Oswari & S. Arief. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 296-305.

Atmakusuma, D., 2009. Thalassemia: Manisfestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, Dan Thalassemia Intermedia. Dalam: A. W. Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 1387-1393.

Atmakusuma, D. & Setyaningsih, I., 2009. Dasar-dasar Talasemia: Salah Satu Jenis Hemoglobinopati. Dalam: A. W. Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 1379-1386.

Bakta, I. M., 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Denpasar: EGC.

Bennett, N. J., 2013. HIV Disease. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#a0156 [Accessed 18 April 2013].

Bhavsar, H., Patel. et al., 2011. Prevalence of HIV, Hepatitis B and Hepatitis C in Thalassemia Major Patients in Tertiary Care Hospital , Gujarat. NJIRM, 2(3). 47-50.

Borgna-Pignatti, C., 2007. Modern treatment of thalassaemia intermedia. British Journal of Hematology, 138(3). 291-304.

Borgna-Pignatti, C. et al., 2004. Survival and complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and deferoxamine. Haematologica, Volume 89. 1187-1193.


(59)

Boroujerdnia, M. et al., 2009. Prevalence of Hepatitis-C virus (HCV) among Thalassemia Patients in Khuzestan Province, Southwest Iran. Pakistan Journal of Medical Sciences, 25(1). 113-117.

Brooks, G. F., Butel, J. S. & Morse, S. A., 2008. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick,& Adelberg. 23th ed . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Champoux, J. J. & Drew, W., 2004. Retroviruses, Human Immunodeficiency

Viruses,And Acquired Immunodeficiency Syndromes. Dalam: K. J. Ryan & C. Ray. Sherris Medical Microbiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies,Inc, 601-616.

Ciesla, B., 2007. Hematology in Practice. Philadelphia: F.A Davis Company.

Dhawan, V. K., 2013. Hepatitis C. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/177792-overview. [Accessed at 18 April 2013].

Djoerban, Z. & Djauzi, S., 2009. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: A. W. Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 2863-2869.

Drew, W., 2004. Hepatitis Viruses. Dalam: K. J. Ryan & G. C. Ray. Sherris Medical Microbiology. United States of America: The McGraw-Hill Companies,Inc, 541-554.

Galanello, R & Origa, R., 2010. Beta-thalassemia. Orphanet Journal of Rare Diseases, 11(5)

Gani, R. A., 2009. Hepatitis C. Dalam: A. W. Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 662-667.

Hoffbrand, A., Pettit, J. & Moss, P., 2005. Kelainan Genetik pada Hemoglobin. Dalam: D. A. Mahanami. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC, 64-74.


(60)

Hollar, M. A., 2001. The Hair-on-End Sign. Available from:

http://radiology.rsna.org/content/221/2/347.full. [Accessed at 18 April 2013].

Jamal, R. et al., 1998. Seroprevalence of Hepatitis B. Hepatitis C, CMV and HIV in Multiply Transfused Thalassemia Patients : Results from a Thalassemia Day Care Center in Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 29(4) . 792-794.

Krafts, K., 2009. Thalassemia. Available from:

http://www.pathologystudent.com/?p=1233 [Accessed at 18 April 2013].

Levinson, W., 2008. Review of Medical Microbiology and Immunology. 10th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Mahajan, V. S., Pace, C. A. & Jarolim, P., 2010. Interpretation of HIV Serologic Testing Results. Available from:

http://www.clinchem.org/content/56/10/1523.full [Accessed at 18 April 2013].

Mansjoer, A. et al., 2009. Hepatitis Akut. Dalam: A. Mansjoer, et al. Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta: Media Aesculaplus, 513-514.

Mansouritorghabeh,H et al., 2008. Transfusion Transmitted Viruses In Individuals With Beta Thalassemia Major at Northeastern Iran, A Retrospective Sero-Epidemiological Survey. Iranian Journal of Blood and Cancer, 1(1). 1-4.

Mirmomen, S. et al., 2006. Epidemiology of Hepatitis B, Hepatitis C, and Human Immunodeficiency Virus Infecions in Patients with Beta-Thalassemia in Iran: A Multicenter Study. Iranian Medicine, 9(4). 319-323.

Na'im, A. et al., 2010. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Available from: http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20in


(61)

 

Ocak, S. et al., 2006. Seroprevalence of Hepatitis B and Hepatitis C in Patients with Thalassemia and Sickle Cell Anemia in a Long-term Follow-up. Archives of Medical Research, 37(7). 895-898 .

Oza, T. et al., 2012. A Study Of Prevalence Of HIV, HbsAg And HCV In Thalassemia Major Children. National Journal of Integrated Research in Medicine, 3(4). 114-117.

Permono, B. & Ugrasena, I., 2012. Hemoglobin Abnormal. Dalam: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 64-84.

Pignatti, C. B. & Galanello, R., 2003. Thalassemias and Related Disorders: Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. Dalam: J. P. Greer, J. Foerster & J. N. Lukens. Wintrobe's Clinical Hematology. 11th Ed. United States of America:Lippincott Williams & Wilkin Publishers.

Pyrsopoulos, N. T. & Reddy, K., 2011. Hepatitis B. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/177632-overview#a0156 [Accessed at18 April 2013].

Ricerca, B. M., Girolamo, A. D. & Rund, D., 2009. Infections in Thalassemia and Hemoglobinopathies: Focus on Therapy-Related Complications. Available from : http://www.mjhid.org/article/view/5229/html_22 [Accessed at 18 April 2013].

Sanityoso, A., 2009. Hepatitis Virus Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing, 644-661.

Sayani, F. et al., n.d. Guidelines for the Clinical Care of Patients with Thalassemia in Canada, North York: Thalassemia Foundation of Canada.

Surapon, T., 2011. Thalassemia Syndrome. Available from:

http://www.intechopen.com/download/pdf/23708. [Accessed at 18 April 2013].


(62)

Syarifurnama,D., 2009. Karakteristik Penderita Thalassemia Yang Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2006 - 2008. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Vanichsetakul, P., 2011. Thalassemia: Detection, Management, Prevention & Curative Treatment. The Bangkok Medical Journal. 113-118.

Wahidiyat, P. A., 2012. Thalassaemia in Indonesia. Bangkok:Thalassaemia International Federation.

Wahiyidiyat, I. & Amalia, P., 2012. Gangguan Sintesis Hemoglobin. Dalam: H. Permono, et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 16-23.

Walker, E. & Walker, S., 2000. Effects of iron overload on immune system. Ann Clin Lab Sci, 30(4). 354-365.

Wanachiwanawin, W. et al., 2003. Prevalence and Clinical Significance of Hepatitis C Virus Infection in Thai Patients with Thalassemia. International Journal of Hematology, 78(4). 374-378.

Weatherall, D. et al., 2006. Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd ed. Washington: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank.

Weatherall, D. & Clegg, J., 2001. The Thalassaemia Syndromes. 4th ed. Oxford: Blackwell Science Ltd.

Weatherall, D. J., 2010. The Thalassemias: Disorders of Globin Synthesis. Dalam: M. Professional, penyunt. Williams Hematology. United States of America: McGraw-Hill Professional Publishing, 828-865.

Wiener, E., Allen, D., Porter, R. & Wickramashinge, S., 1999. Role of FcgammaRI (CD64) in erythrocyte elimination and its up-regulation in thalassaemia. British Journal of Haematology, 106(4). 923-930.


(63)

(64)

(1)

Lampiran

 

4

 

 

DAFTAR

 

RIWAYAT

 

HIDUP

 

 

 

 

Nama

   

 

 

:

 

Diadora

 

Tempat

 

/

 

Tanggal

 

Lahir

 

:

 

Tanjung

 

Balai

 

,

 

6

 

Juni

 

1993

 

Agama

   

 

:

 

Buddha

 

Alamat

  

 

:

 

Jalan

 

Putri

 

Hijau

 

Kompleks

 

Emerald

 

Garden

 

9A

 

Orang

 

Tua

 

 

 

:

 

Ayah

 

:

 

Lukman

 

Poriono

 

 

 

 

 

  

Ibu

 

:

 

Sie

 

Ka

 

Khun

 

Riwayat

 

Pendidikan

 

 

:

 

1.

 

TK

 

SM

 

Raja,

 

Tanjung

 

Balai

 

(1997

1998)

 

 

 

 

 

  

2.

 

SD

 

SM

 

Raja,

 

Tanjung

 

Balai

 

(1998

2004)

 

   

 

 

 

  

3.

 

SMP

 

SM

 

Raja

 

,

 

Tanjung

 

Balai

 

(2004

2007)

 

 

 

 

 

  

4.

 

SMA

 

Sutomo

 

1,

 

Medan

 

(2007

2010)

 

 

 

 

 

  

5.

 

Universitas

 

Sumatera

 

Utara

 

(2010

sekarang)

 

Riwayat

 

Organisasi

 

 

:

 

Anggota

 

KMB

 

USU

 

(2010

sekarang)

 


(2)

Lampiran 5

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

Laki-laki 22 68.8 68.8 68.8

Pereampuan 10 31.3 31.3 100.0

Total 32 100.0 100.0

Statistics Jenis Kelamin

N Valid 32

Missing 0

Suku

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Pe

Valid

ACEH 7 21.9 21.9

BATAK 3 9.4 9.4

JAWA 17 53.1 53.1

KARO 2 6.3 6.3

MELAYU 3 9.4 9.4

Total 32 100.0 100.0

Statistics Suku

N Valid 32

Missing 0

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Per

Valid

0-5 10 31.3 31.3

11-15 4 12.5 12.5

6-10 18 56.3 56.3

Total 32 100.0 100.0

Statistics Usia

N

Valid 32

Missing 0


(3)

HCV

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

- 23 71.9 71.9 71.9

+ 9 28.1 28.1 100.0

Total 32 100.0 100.0

Statistics Jumlah Unit Darah

N

Valid 32

Missing 0

Jumlah Unit Darah Frequenc

y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid

<30 21 65.6 65.6 65.6

≥30 11 34.4 34.4 100.0

Total 32 100.0 100.0

Statistics

HBV HCV HIV

N Valid 32 32 32

Missing 0 0 0

HBV

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid - 32 100.0 100.0 100.0


(4)

HIV

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid - 20 87.0 87.0 87.0

+ 3 13.0 13.0 100.0

Total 23 100.0 100.0

Suku

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

ACEH 1 11.1 11.1 11.1

BATAK 1 11.1 11.1 22.2

JAWA 5 55.6 55.6 77.8

KARO 2 22.2 22.2 100.0

Total 9 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

Laki-laki 6 66.7 66.7 66.7

Perempuan 3 33.3 33.3 100.0

Total 9 100.0 100.0


(5)

Jumlah Unit Darah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

<30 3 33.3 33.3 33.3

≥30 6 66.7 66.7 100.0

Total 9 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Laki-laki 3 100.0 100.0 100.0

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0-5 5 55.6 55.6 55.6

11-15 1 11.1 11.1 66.7

6-10 3 33.3 33.3 100.0

Total 9 100.0 100.0


(6)

Valid JAWA 3 100.0 100.0 100.0

Jumlah Unit Darah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

<30 1 33.3 33.3 33.3

≥30 2 66.7 66.7 100.0

Total 3 100.0 100.0

 

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid

0-5 2 66.7 66.7 66.7

6-10 1 33.3 33.3 100.0