11
2. Manfaat Praktis a. Bagi mahasiswa suku Simalungun yang berdomisili di kota Medan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai gambaran Need for Achievement, Need for Affiliation dan Need for Power pada
mahasiswa suku Simalungun yang berdomisili di kota Medan. b. Penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya pada penelitian yang berkaitan dengan Need for
Achievement, Need for Affiliation dan Need for Power pada mahasiswa suku Simalungun.
E. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini terdiri dari lima bab yaitu bab I sampai bab V. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan Teori
Berisikan teori yang di dalamnya terdapat penjabaran mengenai motif sosial Need for Achievement, Need for Affiliation dan Need for Power,
mahasiswa suku Simalungun dan filosofi pada suku Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB III : Metode Penelitian
Terdiri dari identifikasi variable penelitian, defenisi operasional, populasi, sampel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan
reliabilitas, dan metode analisa data.
BAB IV : Merupakan analisa data dan pembahasan
Analisa data dilakukan dengan menggunakan pengolahan data statistik kemudian disertai bagian pembahasan.
BAB V : Merupakan kesimpulan dan saran
Kesimpulan dibuat berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data dan pada bagian kesimpulan dijabarkan jawaban atas masalah yang diajukan. Saran yang
diajukan peneliti untuk penelitian selanjutnya dan juga saran untuk subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
13
BAB II LANDASAN TEORI
A. MOTIF SOSIAL
1. Pengertian Motif Sosial
Motif adalah dorongan psikobiologis internal yang membantu munculnya pola perilaku tertentu. Konsep motif menunjukkan pikiran adanya dorongan
dalam diri manusia yang mendorong munculnya perilaku, untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, bermain, bersenang-senang dan lainnya Friedman,dkk
2008. Atkinson dan McClelland 1987 mengemukakan bahwa motif merupakan
disposisi yang mendorong seseorang untuk bertindak dalam mencapai suatu tujuan yang memiliki insentif baginya. Adapun munculnya motif tertentu pada
diri seseorang disebabkan oleh adanya kebutuhan dalam diri. Bila situasi sangat bermakna bagi seseorang dan secara emosional meningkat, maka motif tertentu
dapat muncul McGraw,2010. McGraw 2010 juga menyatakan bahwa motif adalah dorongan yang
sudah terikat pada suatu tujuan. Misalnya, apabila seseorang merasa lapar, itu berarti kita membutuhkan atau menginginkan makanan. Motif menunjuk
hubungan sistematik antara suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Menurutnya, dorongan dasar berprilaku bersifat bawaan, sedangkan motif itu hasil
proses belajar. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motif merupakan
suatu pengertian yang mencukupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam
Universitas Sumatera Utara
14 diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia
pada hakikatnya mempunyai motif. Tingkah laku juga disebut tingkah laku secara refleks dan berlangsung secara otomatis dan mempunyai maksud-maksud tertentu
walaupun maksud itu tidak senantiasa sadar bagi manusia. Motif juga dipengaruhi oleh emosi dan merupakan hasil proses belajar manusia.
Motif yang dipelajari melalui kontak dengan orang lain dan bahwa lingkungan individu memegang peranan yang penting disebut sebagai motif sosial
Lindgren, 1973. Barkowitz 1969 mengatakan motif sosial adalah motif yang mendasari aktivitas individu dalam bereaksi terhadap orang lain. Sejalan dengan
itu, Heckhausen 1980 juga mengatakan bahwa motif sosial adalah motif yang menunjukan bahwa tujuan yang ingin dicapai mempunyai interaksi dengan orang
lain. Dan Max Crimon dan Messick 1976 mengatakan bahwa seseorang menunjukan motif sosial, jika ia dalam membuat pilihan mmemperhitungkan
akibatnya bagi orang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa motif sosial adalah motif yang timbul
untuk memenuhi kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan orang lain dan dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
2. Proses Timbulnya Motif Sosial
McGraw 2010 menyatakan bahwa motif timbul karena adanya kebutuhanneed. Kebutuhan-kebutuhan dapat diartikan sebagai: 1. Satu
kekurangan universal dikalangan umat manusia dan musnah bila kekurangan itu tidak tercukupi. 2. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia yang
dapat membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu
Universitas Sumatera Utara
15 terpenuhi, walaupun hal itu tidaklah esensiil terhadap kelangsungan hidup
manusia. 3. Sebuah kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai benda lainnya apabila ada benda khusus yang diingini tidak dapat
diperoleh. 4. Setiap taraf kebutuhan. Kebutuhan need dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu,
dan ini menuntut segera pemenuhannya, untuk segera mendapatkan keseimbangan. Situasi kekurangan ini berfungsi sebagai suatu kekuatan atau
dorongan alasan, yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi kebutuhan McGraw 2010.
Sehingga proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1 Proses Timbulnya Motif
Dari bagan di atas dapat terlihat bahwa kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu menghasilkan motif dalam dirinya, dan motif tersebut
menghasilkan perilaku untuk memenuhi kebutuhannya tersebut McGraw,2010.
3. Motif Sosial Menurut McClelland
McClelland 1967 mengembangkan teori tentang motif sosial, yang tidak terlepas dari apa yang dikemukakan oleh Murray tentang kebutuhan
– kebutuhan needs membuat manusia aktif dan terus aktif sampai situasi tertentu
yang menuntut manusia dan lingkungan untuk mereduksi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan need
Motif Motive
Perilaku behaviour
Universitas Sumatera Utara
16 Selain itu kebutuhan tersebut bersifat inheren dan ada pada setiap individu, hanya
kadarnya yang membedakan Hall Lindsey, 1993. David McClelland1987 dikenal menjelaskan tiga jenis motif, yang
diidentifikasi dalam buku ”The Achieving Society” :
a. Need for Achievement Kebutuhan untuk Berprestasi
Menurut Mc Clelland 1987, Need for Achievement adalah kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab
untuk pemecahan masalah. Need for Achievement berhubungan dengan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang
tinggi. Oleh karena itu, orang yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan efisien dibandingkan hasil
sebelumnya. Dwivedi dan Herbert dalam Asnawi,2007 mengartikan Need for
Achievement sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standardnya sendiri maupun orang
lain. Murray dalam Winardi,2004 memberikan definisi Need for Achievement sebagai “Melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sulit, menguasai, memanipulasi
atau mengorganisasi objek-objek fisikal manusia atau ide-ide untuk melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang
berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standard tinggi, mencapai performa puncak untuk diri sendiri, mampu menang dalam persaingan dengan
pihak lain serta meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”.
Universitas Sumatera Utara
17 Karakteristik individu dengan Need for Achievement tinggi McClelland,1987
antara lain: 1. Membutuhkan adanya variasi tantangan dalam menyelesaikan tugas, dapat
menunjukkan kinerja yang lebih bagus bila berhadapan dengan tugas yang memiliki tantangan moderat dengan kemungkinan keberhasilan antara 30
sampai dengan 50, cenderung menghindarkan tugas yang resikonya tidak bisa diperhitungkan sebelumnya. Hal ini ditunjang penelitian Atkinson 1958
yang berkaitan dengan bagaimana prestasi subyek penelitian dalam situasi kompetisi dengan kemungkinan menang yang berbeda. Subyek penelitian
yang memiliki kemungkinan menang sulit McClelland, 1987. Karabenick Youseff juga melakukan penelitian untuk merumuskan hal yang sama. Hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa individu dengan n Achievement yang tinggi akan memperlihatkan prestasi yang lebih bagus hanya untuk hal-hal yang
memiliki tingkat kesulitan sedang McClelland, 1987. Raynor Entin 1982 merumuskan hasil penelitian yang relatif identik pada penelitiannya yang
berkaitan dengan penyelesaian 60 tugas untuk setiap subyeknya. Setiap subyek diberikan instruksi pengerjaan bahwa untuk mendapatkan hasil yang
bagus mereka harus menyelesaikan 54 tugas, 30 tugas atau 6 tugas. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa individu dengan n Achievement tinggi
cenderung berhasil dalam mengerjakan tugas yang memiliki tantangan moderat daripada yang tinggi atau rendah McClelland, 1987.
2. Memiliki kemauan yang kuat persistance, khususnya pada tugas-tugas yang cukup bervariasi dan relatif bertahan lama dalam tugas yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
18 kesulitan berbeda. Bila gagal di awal tugas yang mudah maka akan cenderung
bertahan dan berusaha untuk memperbaikinya, namun tidak dalam tugas yang sulit.
3. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kinerjanya, cenderung untuk menyelesaikan tugasnya sampai selesai karena berkaitan dengan kepuasan
yang dirasakan. 4. Membutuhkan umpan balik dari kinerja yang sudah dicapai, akan
memperlihatkan cara kerja yang lebih efisien setelah memperoleh umpan balik berkaitan dengan hubungan antar anggota kelompok lain. Lebih menghargai
umpan balik yang berkaitan dengan informasi tentang cara kerja daripada umpan balik yang berupa uang.
5. Mengembangkan inovasi dalam menyelesaikan tugas. Mempertimbangkan efisiensi kerja untuk setiap penyelesaian tugas. Cenderung tidak senang berada
dalam tugas-tugas yang rutin dan monoton. Selalu mencari informasi bermanfaat untuk mengembangkan inovasi.
6. Akan memperlihatkan hasil kerja yang bagus bila berada dalam lingkungan yang terdiri dari individu yang memiliki doninasi n Achievement sama.
Dengan demikian mereka memiliki tantangan untuk bersaing yang seimbang. 7. McClelland 1961 juga memperhatikan bahwa di kalangan kelompok
enterpreneurial, individu dengan n Achievement tinggi akan cenderung mengembangkan cara yang tidak jujur atau licik. Hal ini didorong adanya
keinginan untuk membuat jalan pintas yang bisa membantu menyelesaikan tugas-tugas. Selarasa dengan hasil penelitian Michael Galigan 1964
Universitas Sumatera Utara
19 bahwa anak atau siswa yang memiliki n Achievement cenderung untuk
melakukan kecurangan dengan mencolok.
b. Need for Affiliation Kebutuhan Akan Persahabatan
Menurut McClelland 1987, Need for Affiliation adalah kebutuhan akan suatu persahabatan, berkaitan dengan adanya keinginan untuk memastikan,
memelihara atau mementingkan efektivitas dari hubungan dengan individu atau kelompok. Keinginan berafiliasi ini muncul saat individu ingin disukai, ingin
diterima sebagai sahabat oleh individu-individu lain atau ingin dimaafkan. Sehingga individu dengan skor n Affiliation yang tinggi mengindikasikan bahwa
individu yang bersangkutan memiliki harapan tentang kehangatan dan hubungan yang erat dengan individu lain.
Murray dalam Hall,1993 memberikan definisi Need for Affiliation adalah mendekatkan diri, bekerjasama atau membalas ajakan orang lain yang
bersekutu orang lain yang menyerupai atau menyukai subyek, membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan tetap setia kepada orang
lain. Karakteristik Individu dengan Need for Affiliation tinggi menurut McClelland
1987 adalah sebagai berikut : 1. Cenderung memperlihatkan hasil kerja yang bagus bila diberikan insentif yang
bersifat affiliatif. 2. Mudah melakukan jeda dalam menyelesaikan tugasnya dan minta tolong
individu yang lain untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
20 3. Cenderung menjaga hubungan interpersonal yang terbentuk. Belajar
bersosialisasi lebih cepat dan lebih sensitif saat menghadapi individu lain daripada berhadapan dengan obyek tertentu. Memiliki dorongan untuk
memperoleh pengakuan dan jaminan dari individu lain. Tidak senang berada di antara individu yang tidak bersahabat
4. Cenderung untuk conform dengan harapan dan norma individu lain ketika dipaksa oleh individu lain sesuatu dengan sistem nilainya. Pada dasarnya lebih
mementingkan adanya kerja sama dan menghindari konfluk. Selain itu juga cenderung memiliki ketertarikan yang tulus terhadap perasaan individu lain.
5. Memiliki ketakutan terhadap penolakan, menolak untuk berkonflik maupun berkompetensi dan lebih memilih untuk menolong individu lain yang
memerlukan pertolongan untuk menyelesaikan tugasnya.
c. Need for Power Kebutuhan untuk Berkuasa
Munandar 2006 memberi definisi Need for Power sebagai keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan
untuk memiliki dampak terhadap orang lain. Orang dengan kebutuhan untuk berkuasa yang besar menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana mereka menjadi
pimpinan dan mereka mempengaruhi orang lain. David Mc Clelland 1987 memberikan definisi Need for Power sebagai
keinginan untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi perilaku mereka, atau memiliki rasa tanggung jawab pada orang lain. Ada dua bentuk
kekuasaan yaitu: a kebutuhan kekuasaan personal, yakni kebutuhan ini bersifat eksploitatif dan melibatkan manipulasi demi gratifikasi personal dan tidak akan
Universitas Sumatera Utara
21 berhasil dalam manajemen, b kebutuhan kekuasaan sosial, merupakan sisi
kekuasaan positif karena kebutuhan ini melibatkan penggunaan kekuasaan dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.
Selain itu, Veroff dan Winter dalam Asnawi,2007 mengatakan Need for Power adalah disposisi yang mengarahkan perilaku untuk mencapai kepuasan
dengan tujuan tertentu, yaitu kekuasaaan dengan jalan mengontrol dalam arti mempengaruhi orang lain.
Karakteristik Individu dengan Need for Power tinggi menurut McClelland 1987 adalah sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan asertifitas, maka individu dengan n Power dominan cenderung mengembangkan perilaku asertif yang impulsive agresive dan
cenderung berkompetisi, terutama laki-laki. 2. Individu dengan dominasi n Power cenderung memiliki self image yang
negatif. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan untuk assertive-aggressive dan hal ini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai tindakan negatif karena
dianggap anti sosial sehingga memperoleh punishment saat masih anak-anak. Sebagian norma masyarakat tertentu ada yang menganggap bahwa menjadi
agresif itu jelek, meskipun sebenarnya tidak pada semua situasi agresif itu jelek. Selain itu individu dengan dominasi n Power cenderung merasa kurang
inadequate atau tidak puas dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupannya dan cenderung memiliki masalah dalam alkohol atau obat
terlarang.
Universitas Sumatera Utara
22 3. Individu dengan dominasi n Power cenderung memilih jenis pekerjaan yang
mampu mempengaruhi individu lain. Memiliki hasrat untuk mengatur dan mengendalikan
individu lain.
Winter 1973
membuktikan dalam
penelitiannya bahwa siswa dengan n Power tinggi cenderung merencanakan untuk memilih berkarir di bidang pendidikan, psikologi, bisnis dan jurnalistik.
4. Memiliki keinginan untuk mencari prestige, biasanya dinyatakan dalam bentuk mengoleksi barang-barang yang merupakan simbol dari power atau
kekuasaan. 5. Melakukan aktivitas yang membantunya untuk dikenal oleh anggota
kelompoknya dan memungkinkan untuk melakukan eksploitasi terhadap individu lain. Cenderung memberikan evaluasi terhadap hasil kerja individu
lain dari sisi negatif. Tidak bersedia untuk membantu individu lain dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
6. Mementingkan adanya hubungan yang dibatasi oleh posisi atasan dan bawahan, mampu mengembangkan kemampuannya sebagai pemimpin bila
individu dengan dominasi n Power mampu mengkombinasikan sifat-sifat positif dan berorientasi pada penyelesaian tugas.
7. Verroff dalam McClelland, 1987 menambahkan bahwa individu dengan n Power juga memiliki komponen kecemasan yang relatif kuat dalam
berperilaku. Namun dia juga memiliki kecenderungan untuk mengambil resiko dalam setiap aktivitasnya.
Universitas Sumatera Utara
23
4. Faktor yang Mempengaruhi Motif Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi motif sosial McClelland, 1987 ; Atkinson Raynor, 1974 yaitu:
a. Lingkungan dan Kebudayaan Menurut Atkinson 1966, faktor lingkungan merupakan penentu dari
motif sosial. Beberapa pikiran pokok yang dikemukakanya adalah sebagai berikut: a. Setiap individu memiliki motif atau kebutuhan dasar tertentu. Motif-motif
tersebut mencerminkan potensi tingkah laku dan mempengaruhi tingkah laku hanya bila motif-motif tersebut muncul.
b. Muncul atau tidaknya motif-motif tersebut tergantung pada situasi atas lingkungan yang dialami individu.
c. Keadaan suatu lingkungan tertentu akan menimbulkan atau merangsang berbagai macam motif. Artinya, suatu motif khusus tidak akan
mempengaruhi tingkah laku sampai motif tersebut dimunculkan melalui pengaruh dari suatu lingkunan yang tepat dan sesuai.
d. Perubahan dalam penerimaan terhadap suatu lingkungan akan menghasilkan perubahan dalam munculnya motivasi. Setiap motivasi
diarahkan atau ditujukan untuk memuaskan berbagai macam kebutuhan. b. Motif sosial juga dipengaruhi oleh faktor Usia
Schultz 1993 mengatakan bahwa usia dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Ia mengatakan bahwa kualitas motivasi berprestasi
mengalami perubahan sesuai dengan usia individu tersebut. Motivasi berprestasi
Universitas Sumatera Utara
24 individu tertinggi pada usia 20-30 tahun, dan mengalami penurunan setelah usia
pertengahan Middle Age. Pengalaman seseorang mengenai suatu pekerjaan mempengaruhi motif
sosial mereka dalam melakukan pekerjaan. Apakah dia pernah gagal melakukan suatu pekerjaan atau kesuksesan didalam melakukanya.
Hurlock 1980 menyatakan bahwa Need for Affiliation seringkali sangat dominan dalam diri seorang remaja, hal ini disebabkan karena minat sosial yang
kuat serta sangat berpengaruhnya kelompok sosial dalam diri seorang remaja. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-
temannya sehingga tidak heran apabila teman-teman sebaya sangat berpengaruh terhadap sikap, perilaku, minta dan penampilan dibandingkan dengan keluarga
Hurlock,1980.
c. Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat
McClelland dalam morgan dkk,1986 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi
seseorang. Seperti hal diatas Zainuddin 2004 menegaskan bahwa stastus kerja, upah, rasa aman dalam bekerja job security, kesempatan karir dan lain-lain,
semua faktor tersebut akan memberikan andil terhadap munculnya motivasi
berprestasi.
d. Jenis Kelamin McClelland1967 menjelaskan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi
motif sosial seseorang. Troll Schwartz Sopah,1999 menambahkan bahwa perbedaan motif sosial pada laki-laki dan perempuan disebabkan adanya
Universitas Sumatera Utara
25 perbedaan perlakuan dan sosialisasi mereka. Menurutnya laki-laki lebih dilatih
untuk aktif, kompetitif dan mandiri sehingga memiliki motivasi berprestasi yang berbeda daripada perempuan
yang dibiasakan pasif, selalu bergantung pada orang lain dan kurang percaya diri. Sehingga menurut McClelland1967 perempuan
mempunyai motif beraffiliasi lebih tinggi. Bertentangan dengan hal tersebut, Morgan1986 menyatakan bahwa
tingkah laku berprestasi selalu muncul pada laki-laki maupun perempuan, yang membedakan keduanya hanya pada prilaku berprestasinya karena banyak
perempuan dengan motivasi berprestasi tinggi namun tidak menampilkan karakter prilaku berprestasi layaknya laki-laki.
Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Bosow 1992 bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak berbeda motivasi berprestasinya,
yang berbeda hanya tingkah laku berprestasi dan cara untuk meraih prestasinya. Santrock 1991 juga menyatakan pendapatnya bahwa motivasi berprestasi laki-
laki dan perempuan adalah sama. Penelitian McGraw 2010, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
tingkat Need for Power antara pria dan wanita, atau dalam situasi yang mendorong munculnya motif power. Wanita dan pria juga tidak memiliki
perbedaan dalam kehidupan yang diasosiasikan dengan Need for Power, seperti memiliki social power, memiliki power dalam berkarir, dan lainnya. Tetapi ada
kalanya pria lebih memiliki Need for Power dalam hal menampilkan hal-hal yang bersifat impulsif dan agresif.
Universitas Sumatera Utara
26
B. MAHASISWA SUKU SIMALUNGUN
1. Pengertian Mahasiswa Suku Simalungun
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi. Sejalan dengan pengertian
tersebut Budiman 2006 mengungkapkan bahwa mahasiswa adalah orang yang belajar di sekolah tingkat perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi
suatu keahlian tingkat sarjana. Daldiyono 2009 mengemukakan bahwa seorang mahasiswa merupakan orang yang sudah lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas SLTA dan sedang menempuh proses belajar di pendidikan tinggi serta melaksanakan proses sosialisasi.
Berdasarkan teori perkembangan Hurlock 1999, seorang mahasiswa sedang berada pada periode akhir remaja dan memasuki periode perkembangan
dewasa awal. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru, harapan-harapan sosial baru dan memainkan peran baru
secara mandiri dan ragu untuk meminta pertolongan jika mereka mengalami kesulitan karena takut dianggap “belum dewasa”. Selain itu, masa dewasa awal
merupakan masa yang dianggap penuh berbagai masalah dan tekanan. Karena berbagai perubahan yang mereka alami yang kemudian diikuti dengan banyaknya
tuntutan yang menyebabkan kemunculan beragam masalah. Berdasarkan rentang usia, mahasiswa berada pada usia antara 17 hingga 25 tahun Papalia, 2008.
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa merupakan seseorang yang sudah lulus SLTA dan sedang menempuh pendidikan
di salah satu bentuk perguruan tinggi, seperti: Akademik, Politeknik, Sekolah
Universitas Sumatera Utara
27 Tinggi, Institut, dan Universitas yang memiliki tugas perkembangan,
perkembangan fisik dan perkembangan psikologis sebagai seorang yang berada pada masa transisi masa remaja hingga dewasa awal.
Mahasiswa suku Simalungun merupakan individu usia dewasa awal yang bermarga Simalungun dan tinggal di daerah lain dan tinggal berjauhan dari
orangtua atau keluarga asal untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam pencapaian suatu keahlian tingkat sarjana.
Suku Simalungun merupakan salah satu sub suku Batak yang terdiri dari marga Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba.
2. Filosofi Hidup Masyarakat Simalungun
Dalam bukunya yang berjudul “Orang Simalungun”, Sortaman 2008 mengungkapkan filosofi hidup masyarakat Simalungun, yaitu:
a. Habonaron do Bona Kebenaran adalah Pangkal
Terdapat suatu pemahaman yang sangat kental pada orang Simalungun bahwa Naibata Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Benar.
Sehingga manusia sebagai ciptaan juga dituntut untuk bersikap benar dan segala sesuatu harus didasarkan pada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari Filosofi
“Habonaron Do Bona” pada masyarakat Simalungun. Falsafah Habonaron Do Bona merupakan filosofi hidup bagi orang Simalungun. Habonaron Do Bona
artinya adalah “ kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya masyarakat simalungun menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus
dilandasi oleh kebenaran.
Universitas Sumatera Utara
28 Dari Filosofi Habonaron Do Bona tercermin prinsip
– prinsip hidup masyarakat Simalungun. Misalnya kata-kata nasehat dan prinsip hidup dalam
bentuk ungkapan, pepatah dan perumpamaan. Habonaron Do Bona menanamkan kehati - hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehinggga tidak terjadi
penyesalan dikemudian hari. Para orang tua juga selalu menanamkan prinsip Habonaron Do Bona
kepada anak cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul ditengah masyarakat. Bagi masyarakat Simalungun ada falsafah yang mengatakan
“ totik mansiatkon diri, marombow bani simbuei. Artinya cermat bijak membawakan diri dan mengabdi
kepada halayak umum. Sehingga selalu menyenangkan bagi orang lain. Hal inilah yang menjadikan orang Simalungun lebih banyak beradaptasi menyesuaikan diri
dengan suku lain. Ini juga yang membuat masyarakat Simalungun sering melepaskan identitasnya, hanya untuk menyesuaikan diri dengan orang
disekitarnya. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat Simalungun untuk kurang
mau memperjuangkan dan mempertahankan hal-hal yang dimilikinya termasuk lahannya, cenderung untuk menyesuaikan diri dengan orang lain bahkan dalam
hal berbahasa, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan orang Simalungun sulit untuk mempertahankan identitasnya dan cenderung mudah untuk terkontaminasi
dengan budaya lainnya Sortaman,2008.
b. Marbija Bersumpah
Untuk membuktikan kejujuran dulu sering dilakukan “bersumpah” dalam bahasa simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang
Universitas Sumatera Utara
29 melakukan kejahatan, maka orang tersebut bisa mengangkat sumpah dengan
mempertaruhkan sesuatu miliknya yang sangat berharga. Misalnya jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal.
Dalam bersumpah seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu maka tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk
menutupi kesalahan sesaat. Cara untuk mengangkat sumpah bermacam – macam.
Ada yang bersumpah dengan sederhana, yakni hanya menyebut tumbalnya. Tetapi jika tidak ada yang ditumbalkan maka dapat juga bersumpah dengan
menumbalkan dirinya sendiri. Disamping bersumpah di Simalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan sumpah kepada Naibata
Tuhan. Artinya biarlah Naibata yang nantinya akan membalas kan kepada pelaku kejahatan tersebut.
Dan juga sebaliknya kalau seseorang menerima perlakuan yang kurang pantas orang itu tidak perlu terburu
– buru melakukan pembalasan, mereka yakin Naibata yang maha adil akan tetap membalasnya.
Nilai – nilai falsafah ini sangat positif dalam membentuk keharmonisan
hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran.
C. GAMBARAN
MOTIF SOSIAL
PADA MAHASISWA
SUKU SIMALUNGUN YANG BERDOMISILI DI KOTA MEDAN
Kebudayaan dan filosofi budaya mempengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, dan memunculkan adanya kebutuhan need yang dipandang sebagai
kekurangan sehingga harus dipenuhi dalam diri seseorang. Situasi kekurangan ini
Universitas Sumatera Utara
30 berfungsi sebagai suatu kekuatan atau dorongan alasan, yang menyebabkan
seseorang bertindak untuk memenuhi kebutuhan, hal ini disebut sebagai motif McClelland, 1987.
Simalungun, sebagai salah satu suku di Indonesia memiliki kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan suku lainnya, sehingga menimbulkan kebutuhan
dan perilaku yang berbeda. Suku Simalungun memiliki prinsip dasar yang mengarahkan mereka untuk mampu menyesuaikan diri dan bergaul akrab dengan
individu lainnya Sortaman, 2008. Hasil wawancara singkat dengan salah satu tokoh Simalungun
menunjukkan bahwa suku Simalungun memiliki kebutuhan dan dorongan tersendiri untuk menyenangkan hati orang lain yang sangat kuat, sehingga sering
kali orang Simalungun menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya. Motif yang dipelajari melalui kontak dengan orang lain dan bahwa lingkungan individu
memegang peranan yang penting disebut sebagai motif sosial Lindgren, 1973. Barkowitz 1969 mengatakan motif sosial adalah motif yang mendasari aktivitas
individu dalam bereaksi terhadap orang lain. McClelland 1987 menyatakan bahwa terdapat tiga kebutuhan need
yang diidentifikasikan sebagai motif sosial, yaitu Need for Achievement, Need for Affiliation dan Need for Power sebagai titik pendekatan terhadap motif. Need for
Achievement merupakan kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah. Need for
Affiliation merupakan keinginan untuk menyenangkan atau mendapatkan afeksi dari orang lain, serta memelihara sikap serta setia terhadap teman dan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
31 Dan Need for Power merupakan keinginan untuk mengendalikan orang lain,
untuk mempengaruhi perilaku mereka, atau memiliki rasa tanggung jawab pada orang lain.
Suku Simalungun dinyatakan memiliki Need for Achievement yang tinggi ketika mereka mampu mengatasi rintangan dan memelihara semangat yang tinggi.
Mampu mengatasi rintangan tercermin dari kemampuan menyelesaikan tugas yang memiliki tingkat kesulitan yang beragam dengan cara yang inovatif.
Sedangkan semangat yang tinggi tercermin dari gairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan efisien dibandingkan hasil sebelumnya McClelland, 1987.
Selain itu, suku Simalungun dikatakan memiliki Need for Affiliation yang tinggi ketika mereka memiliki keinginan yang kuat untuk memelihara
persahabatan dan mementingkan efektivitas dari hubungan dengan kelompok. Keinginan untuk disukai, diterima sebagai sahabat oleh individu lain, dimaafkan
memperkuat kebutuhan berafiliasi dalam diri seseorang. McClelland, 1987. Terakhir, Suku Simalungun dikatakan memiliki Need for Power yang
tinggi ketika mereka memiliki keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, mempengaruhi perilaku orang lain dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap orang lain. Keinginan ini terlihat dari keinginan seseorang memimpin orang lain dan mengarahkan keputusan-keputusan dalam kelompok McClelland,
1987. Apabila ditinjau dari karakteristik dan filosofi kebudayaan suku
Simalungun, maka terlihat bahwa suku Simalungun memiliki kecenderungan
Universitas Sumatera Utara
32 untuk berafiliasi dengan orang lain. Menjaga kekerabatan agar tetap baik
merupakan hal yang sangat penting bagi suku Simalungun. Fenomena ini memunculkan pertanyaan pada peneliti mengenai
bagaimana gambaran motif sosial Need for Achievement, Need for Affiliation, dan Need for Power suku Simalungun secara khusus mahasiswa suku
Simalungun yang berdomisili di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
33
BAB III METODE PENELITIAN