Rumusan masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Hubungan infeksi STH dan Status Nutrisi

Dari berbagai penelitian telah diketahui ada hubungan timbal balik antara keadaan nutrisi dan berbagai penyakit infeksi dimana keadaan nutrisi yang buruk akan memperberat keadaan penyakit infeksi yang diderita dan sebaliknya adanya penyakit infeksi memperburuk keadaan nutrisi. 10 Oleh karena itu, pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi cacing perlu menjadi perhatian karena infeksi cacing merupakan infeksi kronik yang paling banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar di Indonesia. 6

1.2 Rumusan masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah ada perbedaan status nutrisi antara anak dengan dan tanpa infeksi STH?

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan status nutrisi antara anak dengan dan tanpa infeksi STH. Universitas Sumatera Utara

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan status nutrisi antara anak dengan dan tanpa infeksi STH, serta membandingkan derajat intensitas infeksi STH dengan status nutrisi 1.5.Manfaat 1. Di bidang akademik ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang nutrisi dan metabolik mengenai pengaruh infeksi STH terhadap status nutrisi anak 2. Di bidang pelayanan masyarakat: memberikan informasi kepada siswa dan guru sekolah dasar di Kecamatan Kabanjahe mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit kecacingan karena dapat berdampak terhadap status nutrisi 3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan terhadap bidang nutrisi dan metabolik mengenai pengaruh infeksi STH terhadap status nutrisi anak Universitas Sumatera Utara BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminths

Cacing merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya merugikan. Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang disebut Soil Transmitted Helminths STH. Yang termasuk ke dalam STH adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan Trichuris trichiura. 11

2.1.1. Cacing gelang Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu penyebab kecacingan pada manusia. Angka kejadiannya lebih banyak dari infeksi cacing lainnya, dimana diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia pernah terinfeksi cacing ini. 11,12 Tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain, terutama Trichiuris trichiura. Siklus hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dengan kondisi yang menguntungkan, embrio akan berubah di dalam telur menjadi larva yang infektif. Apabila manusia tertelan telur yang infektif, larva akan keluar di duodenum dan menembus dinding usus halus, masuk sirkulasi portal, kemudian ke jantung kanan, melalui pembuluh darah kecil paru sampai di 12 Universitas Sumatera Utara jaringan alveolar paru. Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus. Siklus hidup ini berlangsung sekitar 65 sampai 70 hari. 13 Gambar 2.1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides 12

2.1.2. Cacing cambuk Trichuris trichiura

Trichuris trichiura merupakan salah satu penyakit cacing yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi cacing ini. Cacing ini disebut juga cacing cambuk karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang infektif telur yang mengandung larva. Di duodenum larva akan keluar, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum. Siklus ini berlangsung sekitar 3 bulan. 11,12 11,13 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2 Siklus hidup Trichuris trichiura 12

2.1.3. Cacing tambang Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting dalam bidang medik, namun yang sering menginfeksi manusia ialah cacing Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia. Di Indonesia infeksi oleh Necator americanus lebih sering dijumpai dibandingkan infeksi oleh Ancylostoma duodenale. 12 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Siklus hidup cacing tambang 12

2.1.4. Cara Penularan

Cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dikelompokkan sebagai STH karena cara penularannya pada setiap orang sama yaitu melalui tanah. Secara gambaran epidemiologi, STH biasa terdapat di daerah beriklim tropis dan daerah beriklim sedang dan perbedaannya hanya terletak pada jenis spesies dan beratnya penyakit yang ditimbulkan. Adapun cara cacing ini menginfeksi manusia yakni dengan menembus kulit manusia oleh larva infectious larva matang atau menelan telur cacing yang lengket pada makanan atau minuman yang tidak dimasak dengan matang. 13 Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa dalam feses. 11 Metode yang direkomendasikan ialah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur jumlah telur per gram feses. 13 Untuk mengetahui intensitas infeksi pada individu adalah dengan cara menghitung jumlah telur per gram feses. Dengan metode Kato-katz, penghitungan egg per gram epg dilakukan dengan mengalikan jumlah telur yang dihitung pada hapusan yang digunakan dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi tergantung dari luas hapusan yang digunakan. 11,14 Jumlah cacing di dalam usus dapat dihitung dengan cara melihat rata-rata berat tinja yang dikeluarkan per hari umumnya 150 sampai 200 gram. Pada infeksi cacing tambang, derajat keparahan dinilai bukan hanya berdasarkan jumlah cacing yang ditemukan, namun juga berdasarkan umur, asupan nutrisi dan asupan zat besi. Hal ini berkaitan dengan kehilangan hemoglobin melalui feses, dimana dikatakan derajat intensitas ringan jika berkaitan dengan kehilangan kurang dari 2 miligram hemoglobin per gram feses dan dikatakan derajat intensitas berat jika kehilangan lebih dari 5 miligram hemoglobin per gram feses. 11 3

2.2. Pengukuran Status Nutrisi

15,16 Universitas Sumatera Utara Cara penilaian status nutrisi yaitu berdasarkan: a. Antropometri b. Klinis c. Pemeriksaan laboratorik d. Analisis diet Setiap metode penilaian status nutrisi mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Metode yang paling sering digunakan untuk melakukan pemantuan status nutrisi anak adalah dengan menggunakan metode antropometri dan klinis.

2.2.1. Definisi Antropometri

Antropometri merupakan pengukuran pada variasi dimensi fisik dan komposisi besaran tubuh manusia pada tingkat usia dan derajat nutrisi yang berbeda 16

2.2.2. Jenis Parameter Antropometri

Antropometri sebagai indikator status nutrisi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. 15-17 Parameter yang dimaksud adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: Universitas Sumatera Utara a. Berat Badan Berat badan BB merupakan parameter pengukuran antropometri yang paling sederhana. Pengukuran BB dilakukan tanpa menggunakan pakaian atau pakaian seminimal mungkin, tanpa menggunakan alas kaki. Dilakukan dengan menggunakan timbangan balance beam dengan keakuratan 0.01 kg pada bayi dan 0.1 kg pada anak besar. b. Tinggi Badan Tinggi badan TB merupakan parameter yang penting untuk memantau status nutrisi jangka panjang. Bagi anak yang sudah dapat berdiri, pengukuran TB dilakukan dengan posisi anak berdiri tegak, kaki yang sejajar, tumit, bokong dan belakang kepala menyentuh dinding. Bagi bayi ataupun anak yang belum dapat berdiri, pengukuran TB dilakukan dengan posisi terlentang dan menggunakan alat pengukur khusus. c. Lingkar Kepala Pengukuran lingkar kepala LK rutin merupakan komponen penilaian status nutrisi anak sampai usia 3 tahun. Pengukuran LK dilakukan dengan menggunakan pita yang fleksibel dan tidak melar. Pengukuran LK dilakukan yaitu tepat di atas supra orbita pada bagian paling menonjol dan melalui oksiput. d. Lingkar Lengan Atas Lingkar Lengan Atas LLA merupakan salah satu pilihan dalam penentuan status nutrisi, karena mudah dilakukan. Universitas Sumatera Utara Faktor umur sangat penting dalam penentuan status nutrisi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status nutrisi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. 18

2.2.3. Indeks Antropometri

Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur BBU, tinggi badan menurut umur TBU, dan berat badan menurut tinggi badan BBTB. Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status nutrisi yang berbeda. 18,19 a. Berat badan menurut umur BBU Berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat labil karena menggambarkan massa tubuh yang sensitif terhadap perubahan mendadak, seperti terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat nutrisi terjamin, maka BB berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan BB yaitu dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Indeks BBU lebih menggambarkan status nutrisi seseorang saat ini. 17 Universitas Sumatera Utara b. Tinggi badan menurut umur TBU Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan TB relatif kurang sensitif terhadap kekurangan nutrisi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat nutrisi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TBU lebih menggambarkan status nutrisi masa lalu. c. Berat badan menurut tinggi badan BBTB 15 Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan TB. Dalam keadaan normal, perkembangan BB akan searah dengan pertumbuhan TB dengan kecepatan tertentu. Indeks BBTB merupakan indikator yang baik untuk menilai status nutrisi saat kini karena merupakan indeks yang independen terhadap umur. d. Lingkar lengan atas menurut umur LLAU 17,19 Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. LLA berkorelasi dengan indeks BBU maupun BBTB. LLA merupakan parameter yang labil, sehingga dikatakan merupakan indeks status nutrisi saat kini. Indeks LLA sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Adapun penggolongan status nutrisi menurut indeks antropometri dapat dilihat pada tabel berikut. 15,18 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Pembagian status nutrisi menurut indeks antropometri 17 STATUS NUTRISI Ambang batas baku untuk keadaan nutrisi berdasarkan indeks BBU TBU BBTB LLAU LLATB Normal 80-120 90 - 110 90 - 110 85 - 100 85 Malnutrisi ringan- sedang 60 - 80 70 – 90 70 – 90 70 - 85 75 - 85 Malnutrisi berat 60 70 70 70 75

2.3. Hubungan infeksi STH dan Status Nutrisi

Dari berbagai penelitian telah diketahui ada hubungan timbal balik antara keadaan nutrisi dan berbagai penyakit infeksi dimana keadaan malnutrisi yang berat akan memperberat keadaan penyakit infeksi yang diderita dan sebaliknya adanya penyakit infeksi memperburuk keadaan nutrisi. Penelitian pada tahun 1999 mendapatkan hubungan antara status nutrisi dengan infeksi cacing, dimana infeksi Ascaris lumbricoides lebih mempengaruhi status nutrisi anak dan remaja sementara infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus lebih banyak dijumpai pada orang dewasa. 2 Infeksi STH dapat menyebabkan malnutrisi pada anak melalui gangguan pencernaan dan absorpsi, inflamasi kronis dan kehilangan nutrisi. 20 8 Universitas Sumatera Utara Penelitian di Peru juga menunjukkan hubungan antara infeksi STH dengan status nutrisi pada anak usia sekolah, dimana status nutrisi berat berhubungan dengan jumlah cacing yang terdapat dalam usus anak. Suatu penelitian di Nigeria didapatkan bahwa infeksi cacing sering dikaitkan dengan anemia defisiensi besi. Infeksi cacing dapat mempengaruhi status zat besi dengan mengurangi metabolisme dan transportasi dari zat besi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi yaitu asupan makanan yang kurang memadai, malabsorpsi dan infeksi cacing. Pada anak usia sekolah, infeksi cacing dan anemia defisiensi besi dapat menyebabkan anoreksia. Infeksi cacing dapat menghambat penyerapan zat besi di saluran cerna dan kekurangan zat besi dapat menurunkan resistensi terhadap infeksi cacing. Proses ini menciptakan lingkaran setan dari nutrisi yang tidak memadai. 21 Penelitian yang dilakukan pada sekelompok tentara muda remaja di Puerto Rico menunjukkan bahwa Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menyebabkan 22 penurunan berat badan. 23 Penelitian yang dilakukan pada 459 anak di Zanzibar mendapatkan bahwa cacing dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi berat oleh karena adanya anoreksia. WHO pada tahun 1968 untuk pertama kalinya mendapatkan hubungan infeksi dan malnutrisi berat bersifat sinergistik. 24 Inflamasi usus merupakan mekanisme yang berperan dalam menyebabkan status nutrisi berat pada anak dengan infeksi STH. 23 Universitas Sumatera Utara Suatu penelitian yang membahas hubungan antara infeksi cacing Ascaris lumbricoides dengan pertumbuhan anak didapatkan bahwa terdapat selisih berat badan yang sedikit lebih kecil dari anak yang tidak terinfeksi Ascaris. 23 Penelitian di Colombia yang membandingkan status nutrisi antara anak laki-laki dengan dan tanpa infeksi cacing didapatkan bahwa anak laki- laki dengan infeksi cacing memiliki gangguan pertumbuhan dan kapasitas kerja fisik. 25 Sedangkan penelitian lainnya mendapatkan tidak ada hubungan antara Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dengan pertumbuhan seorang anak. 23 2.3.1.Dampak infeksi Soil Transmitted Helminths terhadap Status Nutrisi Infeksi STH sering ditemukan secara tunggal maupun campuran yang dapat menyebabkan gangguan nutrisi, anemia, gangguan pertumbuhan dan tingkat kecerdasan. Ascaris lumbricoides hidup dalam rongga usus manusia dan mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein. Seekor cacing akan mengambil karbohidrat 0.14 gramhari dan protein 0.035 gramhari. Akibat adanya cacing ascaris dalam tubuh, maka anak yang mengkonsumsi makanan yang kurang zat nutrisi dapat dengan mudah jatuh kedalam kekurangan nutrisi, sedangkan cacing gelang dan cacing tambang disamping mengambil makanan, juga akan menghisap darah sehingga dapat menyebabkan anemia. 18,26 26 Universitas Sumatera Utara Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat menyebabkan pendarahan menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menempel pada dinding usus dan menghisap darah. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka dapat menimbulkan anemia. Perdarahan terjadi akibat proses penghisapan aktif oleh cacing dan juga akibat perembesan darah disekitar tempat hisapan. Cacing berpindah tempat menghisap setiap 4 sampai 6 jam. Perdarahan ditempat yang ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali dengan cepat karena turn over sel epithel usus sangat cepat. Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi kecacingan dapat disebabkan oleh adanya lesi pada dinding usus, juga oleh karena dikonsumsi oleh cacing itu sendiri, walaupun belum terjawab dengan jelas berapa besar jumlah darah yang hilang dengan infeksi cacing ini. 27 Untuk mengetahui jumlah cacing didalam usus dapat dilakukan dengan menghitung jumlah telur dalam tinja. Bila dalam tinja terdapat sekitar 2000 telur per gram tinja, berarti ada sekitar 80 ekor Ancylostoma duodenale dan Necator americanus didalam perut dan menyebabkan kehilangan darah sekitar 2 ml per hari. Bila terdapat 20.000 telur per gram tinja berarti ada sekitar 1000 ekor cacing dalam perut yang dapat menyebabkan anemia 27 Universitas Sumatera Utara berat. Anemia disebabkan karena pada cacing tambang terdapat enzim protease chatepsin D yang dapat menghancurkan makromolekul kulit. Dengan demikian cacing dapat masuk melalui kulit dan juga migrasi ke jaringan. Gigi yang terdapat pada cacing tambang digunakan untuk menempel pada tunika mukosa sehingga dapat mengakibatkan perdarahan. 27 Universitas Sumatera Utara Kerusakan mukosa anoreksia obstruksi lumen anemia STATUS NUTRISI 2.4 . Kerangka Konseptual : yang diamati dalam penelitian Gambar 2.4. Kerangka Konseptual Pejamu: Umur Jenis kelamin Jumlah anak Pendidikan Sumber penyakit: - Ascaris lumbricoides - Trichuris trichiura - Ancylostoma duodenale dan Necator americanus - Campuran Lingkungan: Iklim Sanitasi Higienitas INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS STH Kehilangan darah Gangguan absorbsi k Gejala: Anoreksia, nyeri perut, mual, muntah, diare, demam Nafsu makan ↓↓ Asupan nutrisi ↓↓ seperti energi, protein, vitamin, zat besi Kehilangan nutrisi ↑↑ Penurunan simpanan zat besi Aktivitas fisik ↓↓ Ketidakhadiran Sekolah ↑ Perkembangan kognitif ↓↓ Universitas Sumatera Utara

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain

Desain penelitian ini adalah cross sectional untuk menilai perbandingan status nutrisi antara anak dengan dan tanpa infeksi STH, serta membandingkan derajat intensitas infeksi STH dengan status nutrisi.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di 3 sekolah dasar SD yaitu SD Negeri 040467 dan SD Negeri 044832 di desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat dan SD Advent di desa Sumbul, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010 pada anak sekolah dasar kelas 1 sampai 6.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak sekolah dasar kelas 1 sampai 6. Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar kelas 1 sampai 6 yang berada di Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara yang menderita infeksi STH dan tanpa infeksi STH. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Universitas Sumatera Utara