Perbandingan Efikasi Dosis Tunggal Mebendazol Dengan Dan Tanpa Levamisol Terhadap Soil-Transmitted Helminths Pada Anak Usia Sekolah Dasar

(1)

PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED

HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

TESIS

Oleh DEWI SAPUTRI

057027002/IKT

MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED

HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

TESIS

Oleh DEWI SAPUTRI

057027002/IKT

MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED

HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh DEWI SAPUTRI

057027002/IKT

MAGISTER KEDOKTERAN TROPIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(4)

Judul Penelitian : PERBANDINGAN EFIKASI DOSIS TUNGGAL MEBENDAZOL DENGAN DAN TANPA LEVAMISOL TERHADAP SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Nama : Dewi Saputri

Nomor Pokok : 057027002

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(dr. Tiangsa Sembiring, SpA(K) Ketua

(dr.Endang H Gani, DTM&H, SpPark) (Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan FK USU,

(Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, (Prof.dr. Gontar A Siregar, Sp.PD MSc.(CTM),SpA(K) KGEH)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Tiangsa Sembiring, SpA(K)

Anggota : 1. dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, SpPark 2. Drs. Abdul Jalil Amri Amra, MKes

3. Prof. dr. Aman A P Depari, DTM&H,MSc, SpPark 4. Prof. dr. Iskandar Z Lubis, SpA(K)


(6)

ABSTRAK

Soil-transmitted helminths merupakan parasit cacing nematoda yang menginfeksi manusia yang menyebabkan kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi mebendazol 500 mg dengan dan tanpa levamisol dosis tunggal pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.

Penelitian dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda, dilaksanakan pada 176 anak kelas 1-6 dari enam Sekolah Dasar Negeri yang dibagi atas dua kelompok; kelompok I (pengobatan tunggal mebendazol 500 mg/dosis tunggal) dan kelompok II (pengobatan kombinasi mebendazol 500 mg dan levamisol/dosis tunggal). Contoh tinja dikumpulkan untuk data awal dan 21 hari setelah pengobatan, selanjutnya diperiksa secara kuantitatif dengan metode Kato-Katz. Uji Chi-square, uji t independen dan uji t berpasangan dilakukan untuk melihat hubungan antara pengobatan dengan angka penyembuhan dan angka penurunan jumlah telur.

Prevalensi infeksi soil-transmitted helminths adalah 63,8%; 28,5% infeksi cacing tunggal, 34,5% infeksi cacing ganda dan 0,82% infeksi tiga jenis cacing. Angka penyembuhan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada kelompok I 94,3% dan 68,5% dan pada kelompok II 94,2% dan 68,5%. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna angka penyembuhan Ascaris lumbricoides

(p=0,985) dan Trichuris trichiura (0,993) pada kedua kelompok pengobatan. Didapati angka penurunan jumlah telur yang signifikan (p=0,0001) baik pada infeksi Ascaris lumbricoides maupun Trichuris trichiura dari kedua kelompok dibandingkan dengan sebelum pengobatan.

Disimpulkan bahwa efikasi pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol sama baik dengan pengobatan tunggal mebendazol terhadap infeksi

soil-transmitted helminths pada intensitas infeksi sedang untuk ascariasis dan intensitas infeksi ringan untuk trichuriasis.

Kata kunci: Soil-transmitted helminths, Mebendazol, Levamisol, Ascariasis, Trichuriasis


(7)

ABSTRACT

Soil-transmitted helminths are nemathelminthes parasites to infect human being resulting in retardation in physical growth and intellectual development. The objective of research would be evaluate the efficacy single dose of mebendazole 500 mg alone and in combination with levamisole in treatment of soil-transmitted helminths infection on children of elementary school age in Kelurahan Kenangan, sub district of Percut Sei Tuan, Deli Serdang district.

This was a double blind randomized clinical trial, it had been conducted on 176 children of classes 1-6 from six state elementary schools that was divided inti two groups; group I (single treatment by mebendazole 500 mg/single dose) dan group II (combined treatment by mebendazole 500 mg dan levamisole/single dose). The sample of feses was collected for initial data and 21st day after treatment, and then it was examined quantitatively by Kato-Katz method. The Chi-Square test, independent t–test and paired t-test were conducted to analyze the correlation between treatment with cure rate and egg reduction rate.

The prevalence of soil-transmitted helminths infection was 63,8%;28,5% of single worm infection, 34,5% of multipe worm infection and 0,82% of three spesies of worm infection. The cure rate of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in group I was 94,3% and 68,5% and in group II it was 94,2% and 68,6%, respectively.There was no significant difference in cure rate of Ascaris lumbricoides (p=0.985) and Trichuris trichiura (p=0.993) in both groups of treatment. There was a significant egg reduction rate (p=0.0001) either in Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura infection of both groups in comparison to pre-treatment.

It could be the concluded that the efficacy of combined treatment mebendazole with levamisole was as effective as single treatment of mebendazole on soil-transmitted helminths infection in moderate intensity of infection fo ascariasis and mild intensity of infection for trichuriasis.

Keywords: Soil-transmitted helminths, Mebendazol, Levamisole, Ascariasis, Trichuriasis


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis dengan judul Perbandingan efikasi dosis tunggal mebendazool dengan dan tanpa levamisol terhadap soil— transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar magister pada Program Magister Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dr. Sahrul, SpS yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penulis untuk mengikuti pendidikan program magister di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis


(9)

Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc.(CTM),SpA(K) atas semangat, bimbingan, dan dorongan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magíster di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr.Tiangsa Sembiring, SpA(K) (sebagai ketua komisi pembimbing), atas perhatian, bimbingan dan dorongan selama ini kepada penulis

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada dr. Endang H Gani, DTM&H,SpPark dan Drs. Abdul Jalil Amri Amra, MS (sebagai anggota komisi pembimbing), atas perhatian, bimbingan dan dorongan selama ini kepada penulis.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof.dr. Iskandar Lubis, SpA(K) dan Prof.dr. Aman A P Depari, DTM&H,MSc,SpPark (sebagai komisi pembanding) yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, semangat, serta saran-saran yang membangun kepada penulis dari awal tesis sampai selesainya tesis ini.

Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada semua dosen yang telah membimbing dan membagi ilmu kepada penulis selama mengikuti program magister ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan bakti penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Alm. H. Sulaiman dan Hj. Jeumpa serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama penulis menjalani pendidikan di Program Magister Fakultas Kedokteran USU.


(10)

Kepada suamiku tercinta, dr. Almaycano Ginting, M.Kes, yang dengan penuh cinta kasih, semangat dan kesabaran yang terus memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian dan pendidikaan penulis.

Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kepala-kepala sekolah serta para guru di SDN No 066667, SDN No 067951, SDN No 066662, SDN No 066431, SDN No 066663 dan SDN No 066664 atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penelitian ini berlangsung, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan, mahasiswa Pascasarjana USU Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis dan terutama sekali angkatan 2005 atas segala kerjasama dan kekompakan yang telah terjalin selama ini. Kepada seluruh pihak yang telah membantu selama penulis mengikuti pendidikan ini tak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga.

Akhirnya penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 14 Oktober 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Dewi Saputri

NIP : 132299323

Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk.I/ Assisten Ahli/IIIb Tempat/Tgl Lahir : Kabupaten Pidie, 8 Agustus 1976

Agama : Islam

Nama Suami : dr. Almaycano Ginting, MKes

Alamat : Komplek Bougenviel Indah Residence Blok B-53 Jl Sei Mencirim, Sunggal

II. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : MIN Merduati, Banda Aceh, tamat tahun 1989 2. Sekolah Menengah Pertama : MTs Ulumul Qur’an, Langsa, tamat tahun

1992

3. Sekolah Menengah Atas : MAN I, Banda Aceh, tamat tahun 1995

4. Srata I (S1) : Fakultas Kedokteran Unsyiah, Banda Aceh, tamat tahun 2002

III. PEKERJAAN


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

UCAPAN TERIMA KASIH... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR SINGKATAN... xiii

DAFTAR LAMBANG... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

I.1. Latar Belakang Penelitian... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 4

I.3. Hipotesis... ... .4

I.4. Tujuan Penelitian... ... .4

I.4.1. Tujuan umum... .4

I.4.2. Tujuan khusus... ...5

I.5. Manfaat Penelitian... ... .5


(13)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... .7

II.1. Soil-transmitted Helmints... .7

II.1.1. Ascariasis………...8

II.1.2. Trichuriasis ... 11

II.1.3. Infeksi cacing tambang... 13

II.2. Pembarantasan Kecacingan ... 15

II.2.1. Higiene dan sanitasi... 16

II.2.2. Pengobatan ... 17

II.2.3. Resistensi obat pada nematoda... 21

BAB III METODOLOGI... 27

III.1. Desain Penelitian... 27

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

III.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

III.4. Etika penelitian ... 28

III.5. Kriteria ... 28

III.5.1. Kriteria inklusi ... 28

III.5.2. Kriteria eksklusi ... 29

III.6. Perkiraan Besar Sampel ... 29

III.7. Variabel dan Definisi Operasional ... 30

III.7.1. Variabel yang diamati ... 30

III.7.2. Definisi Operasional... 30


(14)

III.8.1. Pengobatan ... 35

III.8.2. Pemeriksaan tinja ... 36

III.9. Analisis Data ... 36

III.10.Kerangka Kerja ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

IV.1.Hasil Penelitian ... 39

IV.1.1. Karakteristik sampel penelitian... 40

IV.1.2. Efek samping obat... 43

IV.1.3. Efikasi obat terhadap Ascaris lumbricoides... 44

IV.1.4. Efikasi obat terhadap Trichuris trichiura... 46

IV.2.Pembahasan... 47

IV.2.1. Umur ... 48

IV.2.2. Jenis kelamin... 48

IV.2.3. Status gizi... 48

IV.2.4. Intensitas infeksi ... 49

IV.2.5. Efek samping ... 49

IV.2.6. Efikasi pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal dan pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol dosis tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 53

V.1 Kesimpulan ... 53


(15)

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Infeksi soil-transmitted helmiths pada manusia... 8 2. Klasifikasi intensitas infeksi berdasarkan jumlah telur per gram tinja .... 32 3. Klasifikasi status gizi ... 34 4. Karakteristik sampel penelitian... 41 5. Efek samping obat ... 43 6 Kesembuhan dari infeksi A.lumbricoides setelah pengobatan pada

kedua kelompok perlakuan ... 44 7. Perbedaan rerata telur A.lumbricoides sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan... 45 8. Perbedaan rerata telur per gram tinja 21 hari setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46 9. Kesembuhandari infeksi T.trichiura setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46 10. Perbedaan rerata telur T.trichiura sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan ... 46


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Kerangka konsep penelitian ... 6

2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides... 9

3. Siklus hidup Trichuris trichiura... 12

4. Siklus hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale... 14

5. Struktur kimia levamisol hidrokhlorit... 18

6. Struktur kimia mebendazol ... 20


(18)

DAFTAR SINGKATAN

AP Angka penyembuhan

APJT Angka penurunan jumlah telur

ARR Egg reduction rate

BB Berat badan

BBL Berat badan lebih

CR Cure rate

NCHS National center for health statistics

P Probabilitas

SPSS Statistical program for social science

STH Soil-transmitted helminths

TB Tinggi badan

TPG Telur per gram tinja

USU Universitas Sumatera Utara RTPG Rerata telur per gram tinja


(19)

DAFTAR LAMBANG n1 atau n2 Jumlah subyek

P1 Proporsi kesembuhan penderita STH dengan mebendazol P2 Proporsi kesembuhan penderita STH dengan kombinasi

mebendazol-levamisol

α Tingkat kemaknaan

β Hasil negatif palsu

zα Deviat baku normal untuk α zβ Deviat baku normal untuk β

Σtpg Jumlah semua telur per gram tinja dari setiap individu N Jumlah orang yang diperiksa tinjanya

N+ Jumlah orang yang positif terinfeksi STH pada pemeriksaan tinja sebelum pengobatan

% Persen

n21- Banyaknya orang yang mempunyai jumlah telur negatif pada hari

ke-21 setelah pengobatan

n+ Banyaknya orang dengan jumlah telur >0 sebelum pengobatan

H0 Sebelum pengobatan

H21 Hari ke-21 setelah pengobatan


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Persetujuan komite etik ... 61

2. Surat pernyataan kesediaan ... 62

3. Pemeriksaan tinja cara Kato-Katz... 63

4. Pemantauan efek samping obat... 66


(21)

ABSTRAK

Soil-transmitted helminths merupakan parasit cacing nematoda yang menginfeksi manusia yang menyebabkan kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi mebendazol 500 mg dengan dan tanpa levamisol dosis tunggal pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.

Penelitian dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda, dilaksanakan pada 176 anak kelas 1-6 dari enam Sekolah Dasar Negeri yang dibagi atas dua kelompok; kelompok I (pengobatan tunggal mebendazol 500 mg/dosis tunggal) dan kelompok II (pengobatan kombinasi mebendazol 500 mg dan levamisol/dosis tunggal). Contoh tinja dikumpulkan untuk data awal dan 21 hari setelah pengobatan, selanjutnya diperiksa secara kuantitatif dengan metode Kato-Katz. Uji Chi-square, uji t independen dan uji t berpasangan dilakukan untuk melihat hubungan antara pengobatan dengan angka penyembuhan dan angka penurunan jumlah telur.

Prevalensi infeksi soil-transmitted helminths adalah 63,8%; 28,5% infeksi cacing tunggal, 34,5% infeksi cacing ganda dan 0,82% infeksi tiga jenis cacing. Angka penyembuhan Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura pada kelompok I 94,3% dan 68,5% dan pada kelompok II 94,2% dan 68,5%. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna angka penyembuhan Ascaris lumbricoides

(p=0,985) dan Trichuris trichiura (0,993) pada kedua kelompok pengobatan. Didapati angka penurunan jumlah telur yang signifikan (p=0,0001) baik pada infeksi Ascaris lumbricoides maupun Trichuris trichiura dari kedua kelompok dibandingkan dengan sebelum pengobatan.

Disimpulkan bahwa efikasi pengobatan kombinasi mebendazol dengan levamisol sama baik dengan pengobatan tunggal mebendazol terhadap infeksi

soil-transmitted helminths pada intensitas infeksi sedang untuk ascariasis dan intensitas infeksi ringan untuk trichuriasis.

Kata kunci: Soil-transmitted helminths, Mebendazol, Levamisol, Ascariasis, Trichuriasis


(22)

ABSTRACT

Soil-transmitted helminths are nemathelminthes parasites to infect human being resulting in retardation in physical growth and intellectual development. The objective of research would be evaluate the efficacy single dose of mebendazole 500 mg alone and in combination with levamisole in treatment of soil-transmitted helminths infection on children of elementary school age in Kelurahan Kenangan, sub district of Percut Sei Tuan, Deli Serdang district.

This was a double blind randomized clinical trial, it had been conducted on 176 children of classes 1-6 from six state elementary schools that was divided inti two groups; group I (single treatment by mebendazole 500 mg/single dose) dan group II (combined treatment by mebendazole 500 mg dan levamisole/single dose). The sample of feses was collected for initial data and 21st day after treatment, and then it was examined quantitatively by Kato-Katz method. The Chi-Square test, independent t–test and paired t-test were conducted to analyze the correlation between treatment with cure rate and egg reduction rate.

The prevalence of soil-transmitted helminths infection was 63,8%;28,5% of single worm infection, 34,5% of multipe worm infection and 0,82% of three spesies of worm infection. The cure rate of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in group I was 94,3% and 68,5% and in group II it was 94,2% and 68,6%, respectively.There was no significant difference in cure rate of Ascaris lumbricoides (p=0.985) and Trichuris trichiura (p=0.993) in both groups of treatment. There was a significant egg reduction rate (p=0.0001) either in Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura infection of both groups in comparison to pre-treatment.

It could be the concluded that the efficacy of combined treatment mebendazole with levamisole was as effective as single treatment of mebendazole on soil-transmitted helminths infection in moderate intensity of infection fo ascariasis and mild intensity of infection for trichuriasis.

Keywords: Soil-transmitted helminths, Mebendazol, Levamisole, Ascariasis, Trichuriasis


(23)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

Di Indonesia dan di berbagai negara sedang berkembang, Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang merupakan parasit usus golongan nematoda yang paling sering menyebabkan infeksi, dan merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan paling sedikit dua milyar penduduk atau hampir sepertiga populasi dunia telah terkena infeksi soil-transmitted helminths. Di antaranya, 300 juta penduduk yang terinfeksi menderita penyakit yang berat dan sekitar 400 juta anak usia sekolah di seluruh dunia yang mendapat infeksi tersebut mengalami masalah pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual seperti penurunan konsentrasi, ketidakmampuan belajar, dan tingginya angka kegagalan sekolah (WHO, 2006).

Sampai saat ini masih terus dilakukan berbagai penelitian untuk mencari kombinasi anthelmintik berspektrum luas yang memiliki kemampuan penyembuhan yang tinggi terhadap cacing usus pada umumnya atau nematoda usus pada khususnya. Infeksi nematoda usus pada sebagian besar penderita tidak hanya infestasi tunggal tapi juga terjadi infestasi campuran oleh beberapa spesies cacing usus. Oleh karena itu pengobatan terhadap nematoda usus tidaklah dapat dikatakan berhasil bila hanya mampu menyembuhkan terhadap salah satu macam nematoda saja, tetapi harus mampu membebaskan penderita dari semua nematoda usus yang ada. Anak merupakan kelompok yang sangat rentan untuk terkena


(24)

infeksi parasit usus tersebut. Hal ini disebabkan karena anak cenderung lebih sering berkontak dengan sumber infeksi yaitu tanah.

Situmeang dkk (2004), dalam penelitiannya pada anak Sekolah Dasar di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara mendapat prevalensi Ascaris lumbricoides 60%, Trichuris trichiura 79%, dan cacing tambang 28% di mana infeksi tunggal 17,7% dan infeksi campuran 69,3%, sedangkan Dewayani dkk (2004) mendapatkan A. lumbricoides 56%, T. trichiura 78,6%, dan cacing tambang 33,8% di mana infeksi tunggal 17,3% sedang infeksi campuran 69%.

Dari data di atas menunjukkan infeksi campuran cukup tinggi yang memerlukan pengobatan dengan antelmintik spektrum luas. Program kesehatan masyarakat untuk mengendalikan kesakitan yang disebabkan oleh infeksi soil-transmitted helminths sebagian besar tergantung pada pemberian obat antelmintik kepada anak sekolah dasar (WHO, 1996). Secara teoritis terdapat beberapa obat antelmintik berspektrum luas dosis tunggal antara lain : Albendazol, levamisol, mebendazol, dan pirantel pamoat yang dapat membasmi cacing dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya. Namun dalam pelaksanaannya, kebanyakan program pengendalian infeksi cacing nematoda usus hanya menggunakan preparat golongan benzimidazol (albendazol dan mebendazol) (WHO, 1995).

Pemberian obat antelmintik golongan benzimidazol mempunyai banyak keuntungan, antara lain mengurangi jumlah cacing sehingga obat tersebut mampu meningkatkan status gizi dan perkembangan kognitif anak yang terinfeksi oleh


(25)

tambang pada anak dan wanita usia produktif (Stoltzfus dkk, 1997). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahman pada tahun 1990 di Penang, Malaysia dengan menggunakan mebendazol dosis tunggal mendapatkan angka penyembuhan 81,2% untuk A. lumbricoides, 89% dan 48,2% masing-masing untuk T. trichiura dan cacing tambang

Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Albanico, dkk pada tahun 1999 di Pemba Island, Zanzibar mendapatkan angka penyembuhan terhadap A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang dengan pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan 7,6% serta Angka Penurunan Jumlah Telur 99%, 81%, dan 52,1%. Levamisol juga digunakan pada program pengendalian cacing dengan hasil yang baik, walaupun levamisol kurang efektif dibandingkan dengan mebendazol dalam mengobati infeksi T. trichiura

dan Necator americanus (Al Saffar dkk, 1971; Kan dkk, 1986; Ismail dkk, 1991). Albanico dkk (2003) pada pemberian kombinasi mebendazol 500 mg dan levamisol 40 mg atau 80 mg dosis tunggal memperoleh Angka Penyembuhan 98,5%, 23%, dan 26 % serta Angka Penurunan Jumlah Telur 99,1%, 85%, dan 88,7% masing-masing untuk A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang.

Dalam usaha mencari obat cacing yang benar-benar efektif terhadap cacing usus yang ada, kami mencoba melihat efikasi dari mebendazol secara terpisah dan kombinasi dengan levamisol pada anak dengan infeksi soil-transmitted helminths.


(26)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberantasan infeksi

soil-transmitted helminths dengan menggunakan pengobatan tunggal cenderung belum dapat menuntaskan masalah. Maka permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal mempunyai efikasi yang lebih baik dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar dibandingkan dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal?

I.3. Hipotesis

Pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal mempunyai efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar.

I.4. Tujuan Penelitian I.4.1. Tujuan umum

Mengetahui perbandingan efikasi dari pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal dalam mengobati infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar.


(27)

I.4.2. Tujuan khusus

1. Membandingkan angka penyembuhan antara pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal.

2. Membandingkan angka penurunan jumlah telur cacing antara pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol dosis tunggal dengan pengobatan tunggal mebendazol dosis tunggal.

3. Mengetahui jumlah rata-rata telur cacing pada setiap kelompok sebelum dan sesudah pengobatan.

I.5. Manfaat Penelitian

1. Memperoleh alternatif terapi untuk pengobatan infeksi soil-transmitted helminths pada anak usia sekolah dasar dengan efektifitas penyembuhan yang tinggi serta efek samping yang rendah dan biaya yang relatif murah. 2. Sebagai masukan kepada dunia kedokteran dalam menentukan obat

antelmintik alternatif yang efektif untuk digunakan pada pengobatan dan pemberantasan kecacingan pada anak usia sekolah dasar.


(28)

I.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan studi kepustakaan, maka disusun kerangka konsep penelitian yang diuraikan pada diagram berikut.

SOIL-TRANSMITTED HELMINTHIASIS CAMPURAN

PENGOBATAN TUNGGAL MEBENDAZOL DOSIS

TUNGGAL

- LINGKUNGAN - HIGIENE - SANITASI

PENGOBATAN KOMBINASI MEBENDAZOL-LEVAMISOL

DOSIS TUNGGAL

ƒ SEMBUH

ƒ PENURUNAN JUMLAH TELUR CACING

PENGOBATAN DENGAN ANTELMINTIK


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Soil-transmitted Helminths

Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa soil-transmitted helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran percernaan manusia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh paling sedikit satu spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).

Soil-transmitted helminths merupakan salah satu penyebab utama kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual yang berdampak terhadap pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang sering terabaikan. Kurangnya perhatian para tenaga kesehatan dan masyarakat dunia terhadap kondisi ini disebabkan (Chan, 1997; WHO, 2006):

1. Kebanyakan penduduk yang terinfeksi oleh Soil-transmited helmiths berasal dari negara-negara miskin.

2. Infeksi parasit ini menyebabkan gangguan kesehatan kronis dengan manifestasi klinis yang tidak nyata.

3. Pengukuran efek yang timbul akibat infeksi soil-transmitted helminths terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendidikan sulit dilakukan.


(30)

Tabel 1. Infeksi soil-transmitted helminths pada manusia Cacing penyebab utama di

seluruh dunia

Penyakit Perkiraan populasi

yang terinfeksi (juta) Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221 Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795 Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale

Infeksi cacing tambang 576-740

Strongyloides strecoralis Infeksi cacing benang (threadworm)

30-100

Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28% anak (Sumber : Bethony dkk , 2006)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi soil-transmitted helminths

memiliki dampak yang sangat besar terhadap tingkat kehadiran dan prestasi sekolah serta produktivitas ekonomi dimasa mendatang (Miguel and Kremer, 2003). World Health Assembly berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan membuat sebuah resolusi bagi negara-negara anggota dalam upaya mengontrol angka kesakitan akibat infeksi soil tramitted helminths melalui pemberian obat antelmintik dalam skala besar kepada anak usia sekolah dasar di negara-negara miskin ( Horton, 2003).

II.1.1. Ascariasis

Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di


(31)

seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab, dengan angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Angka prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak usia 5-15 tahun (Ditjen PP&PL Dep.Kes. RI, 2005; Bethony dkk, 2006).

Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides. 1)Cacing dewasa, 2) telur infertil dan telur fertil, 5) larva yang telah menetas, 7) larva matur

(Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu empat hingga delapan minggu untuk menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang (telur berembrio). Telur yang telah berkembang tadi menetas menjadi larva di


(32)

usus halus. Selanjutnya larva bergerak menembus pembuluh darah dan limfe usus mengikuti aliran darah ke hati atau ductus thoracicus menuju ke jantung. Kemudian larva dipompa ke paru. Larva di paru mencapai alveoli dan tinggal disitu selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva telah berukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis dan kemudian esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama bisa lebih dari 20 bulan, cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup di tanah selama 17 bulan sampai beberapa tahun (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk , 2000).

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh dua stadium sebagai berikut (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk, 2000): 1. Kelainan oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru

(manifestasi respiratorik). Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu, batuk, malaise bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 4-16 hari setelah infeksi. Cyanosis dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi. Semua gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler. Kelainan ini akan menghilang dalam waktu ± 1 bulan.

2. Kelainan oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya cukup banyak, akan terbentuk bolus dan menyebabkan obstruksi parsial atau


(33)

total. Migrasi yang menyimpang dapat menyebabkan berbagai efek patologi, tergantung kepada tempat akhir migrasinya. Infeksi Ascaris lumbricoides

dapat menyebabkan gangguan absorbsi beberapa zat gizi; seperti karbohidrat dan protein, dan cacing ini dapat memetabolisme vitamin A, sehingga menyebabkan kekurangan gizi, defisiensi vitamin A dan anemia ringan

II.1.2. Trichuriasis

Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura (cacing cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum yang penularannya melalui tanah. Cacing ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya paling tinggi berada di daerah panas dan lembab seperti di negara tropis dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah-daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999).

Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang. Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan, dan sayuran segar. Selanjutnya


(34)

larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja setelah 70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).

Gambar 3. Siklus hidup Trichuris trichiura. (Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala. Kelainan patologi disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup banyak dapat menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade lumen appendics. Infeksi


(35)

yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan lendir (disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak, cacing ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia dan gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).

II.1.3. Infeksi cacing tambang

Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi parasit cacing nematoda N. americanus dan Ancylostoma duodenale yang penularannya melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Cacing ini merupakan penyebab infeksi kronis yang paling sering, dengan jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan mencapai seperempat dari populasi penduduk dunia di negara tropis dan subtropis. Jumlah penderita infeksi cacing tambang paling banyak dijumpai di Asia, kemudian diikuti negara-negara sub–Sahara Afrika. N. americanus merupakan cacing tambang yang paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia, sedangkan A. duodenale penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000;).

Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian atas

ileum. Cacing betina N. americanus dapat memproduksi 10.000 telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C. Penularan terjadi karena penetrasi larva filariform melalui kulit atau pada


(36)

Ancylostoma duodenale lebih sering tertular karena tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut melalui kulit. Selanjutnya cacing ini tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa, kawin dan mulai bertelur empat sampai tujuh minggu setelah terinfeksi. Larva filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat hidup selama satu tahun (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).

.

Gambar 4. Siklus hidup Necator americanus dan Ancylostona duodenale

(Sumber : Strikland, G.T. dkk, 2000 )

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984): 1. Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang


(37)

menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.

2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang disertai dengan wheezing dan demam.

3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus

dan 5 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale,

sehingga kadar hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik dan mental.

II.2. Pemberantasan Kecacingan

Strategi pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung bagaimana Intervensi yang dilakukan pada salah satu siklus hidup parasit, akan


(38)

mempengaruhi transmisi parasit tersebut. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths

berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat. Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar guna mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak sekali bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted helminths dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan daya kognitif yang rendah pada anak (Bundy dkk, 2002).

II.2.1. Higiene dan sanitasi

Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk (1991) mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-transmitted helminths (infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi serta sanitasi lingkungan. Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan bahwa pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.

Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan program kebersihan di masyarakat (Schulz dan kroeger, 1992). Menurut O’lorcain


(39)

dan Holland (2000) untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil-transmitted helminths. II.2.2. Pengobatan

Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan benzimidazol pada anak usia sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi yang tidak dapat menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :

a. Meningkatkan cadangan besi.

b. Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.

c. Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah. d. Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder.

Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan berdasarkan indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus, malnutrisi, perawakan yang pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993; Stoltzfus dkk, 1997) .

Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang terakhir ini adalah albendazol. Pada prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium cacing (yaitu telur, larva, dan dewasa), mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis nematoda usus dan efek samping minimal.


(40)

Levamisol hidrokhlorit

Levamisol hidrokhlorit merupakan isomer dari tetramisol. Obat ini digunakan pada pengobatan infeksi nematoda usus. Dosis tinggi levamisol efektif mengobati ascariasis (90%) dan sedikit berperan dalam melawan infeksi cacing tambang. Obat ini bekerja dengan meningkatkan frekuensi aksi potensial dan menghambat transmisi neuromuskular cacing, sehingga cacing berkontraksi diikuti dengan paralisis tonik, kemudian mati (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood, 1984; Sukarban dan Santoso, 2001).

.

Gambar 5. Struktur kimia levamisol hidrokhlorit (Sumber : Csaky & Barnes, 1984)

Pada pemberian oral, levamisol diserap dengan cepat dan sempurna. Kadar puncak tercapai dalam waktu 1-2 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Dalam waktu 24 jam, 60% obat dieksresikan bersama urin sebagai metabolit.

Dosis rendah levamisol hanya menyebabkan efek samping ringan pada saluran cerna dan SSP. Pemakaian untuk waktu yang lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi (rash), neutropenia, dan Flu-like syndrome. Tetapi pemakaian dosis tunggal secara oral 3 mg/kgbb cukup aman dan


(41)

jarang menimbulkan efek samping (Csaky & Barnes, 1984; Girdwood, 1984; Sukarban dan Santoso, 2001)

Levamisol tersedia sebagai tablet 25, 40, dan 50 mg yang dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb. Pada ascariasis, penderita yang berat badannya lebih dari 40 kg diberikan dosis tunggal 50-150 mg, anak dengan berat badan 10-19 kg diberikan dosis tunggal 50 mg dan 100 mg bagi anak yang mempunyai berat badan 20-39 kg (Sukarban dan Santoso, 2001; Tjay dan Rahardja, 2002).

Mebendazol

Hal yang berbeda dengan obat cacing sebelumnya, mebendazol dikatakan dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus (Abadi, 1985; Pasaribu, 1989; Chan,1992). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efikasi mebendazol ini seperti Abadi (1985) pada pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk

A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Albanico, dkk (2003), mendapatkan Angka Penyembuhan terhadap Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan 7,6%.

Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan massal terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau lebih cacing. Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid. Walaupun mebendazol merupakan derivat dari kelompok yang sama dengan senyawa seperti


(42)

tiabendazol, mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit berbeda. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis mikrotubulus nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan pengambilan glukosa secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing, dan kemudian cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A. lumbricoides

sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Pasaribu, 1989; Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001).

Mebendazol merupakan antelmintik broadspektrum yang sangat efektif terhadap cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang. Nama kimianya ialah N-(5-benzoil-2-benzimidazolil) karbamat dengan rumus kimia sebagai berikut:

Gambar 6. Struktur kimia mebendazol (Sumber : Csaky & Barnes, 1984)

Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang dari 10%. Obat yang diabsorbsi 90% berikatan dengan protein. Bioavailabilitas sistemik yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Dieksresi


(43)

terutama lewat urin dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo 48 jam. Mebendazol merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan dengan metabolitnya. Absorbsi ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan berlemak (Goodman, L.S. & Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001).

Mebendazol merupakan obat yang aman, efek samping berupa gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping mebendazol dosis tinggi berupa reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible,

agranulocytosis, dan hypospermia jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan digunakan pada ibu hamil karena memiliki sifat teratogenik yang potensial dan bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian obat ini pada pasien yang mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan (Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002).

Mebendazol biasanya diminum secara oral, dosisnya sama pada dewasa dan anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Pada pengobatan ascariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari selama 3 hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg dan tidak memerlukan pencahar. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu kemudian (Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Sukarban dan Santoso, 2001; WHO, 2003). II.2.3. Resistensi obat pada nematoda

Beberapa tahun belakangan ini, terdapat laporan penelitian yang menunjukkan kegagalan pengobatan infeksi nematoda pada manusia. Pada penelitian yang


(44)

dilakukan oleh De Clerecq dkk (1997) melaporkan telah terjadinya kegagalan mebendazol dalam mengobati infeksi cacing tambang di bagian selatan Mali. Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Reynoldson dkk (1997) mendapati efikasi yang sangat rendah dari pirantel pamoat dalam mengobati infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale) di daerah Kimberley, Australia Barat laut. Kedua peneliti tersebut menganggap penyebab penurunan sensitifitas obat dari cacing tambang mungkin sebagai suatu perubahan genetik dalam kerentanan dari strain lokal cacing tambang (seperti, bukan akibat seleksi dari tekanan obat) atau faktor host (seperti diet lokal) yang dapat merubah farmakodinamik obat. Walaupun interpretasi dan implikasi dari penelitian tersebut masih diperdebatkan, namun penemuan tersebut telah mendorong peningkatan kewaspadaan akan potensi permasalahan resistensi antelmintik (RA) pada pengobatan dan pengendalian infeksi cacing pada manusia.

Pada saat sekarang, RA merupakan permasalahan penyakit yang paling penting pada industri peternakan domba di Australia, Afrika Selatan dan kemungkinan di Amerika Selatan (Waller dkk, 1995;Waller dkk, 1996; Van Wyk dkk, 1997). Tiga puluh tahun yang lalu, banyak ilmuwan menganggap bahwa fenomena resistensi obat pada cacing-cacing yang menginfeksi hewan di peternakan tidak penting. Sehingga akhirnya prevalensi RA yang tinggi di atas 50% sekarang dilaporkan di semua bagian dunia untuk cacing gastrointestinal pada domba, kambing dan kuda yang terdapat di industri peternakan (Geerts dan Gryseels, 2000).


(45)

Resistensi antelmintik didefinisikan sebagai penurunan sensitivitas suatu populasi parasit terhadap kerja suatu obat yang diturunkan.(Conder dan Campbell, 1995). Menurut Cerami dan Warren (1994) cacing lebih lambat mengembangkan resistensi obat dibandingkan dengan agen infeksi lainnya karena cacing berkembang biak lebih lambat. Namun demikian sikap berhati-hati dalam mengobati infeksi cacing pada manusia merupakan tindakan yang bijak. RA boleh jadi belum merupakan permasalah medis, tetapi sedikitnya laporan RA sejauh ini boleh jadi hanya menggambarkan ujung dari sebuah gunung es. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu: a) Kegagalan pengobatan secara individu sering tidak terdeteksi, ketika sebagian besar infeksi cacing hanya menyebabkan penyakit subklinis. b) Sekali RA muncul, itu akan sangat cepat menjadi problem utama baik di klinis maupun pada pengobatan preventif (Geerts dan Gryseels, 2000)

Obat-obat utama yang digunakan saat ini dalam mengobati nematoda yang menginfeksi manusia adalah mebendazol, albendazol, pirantel pamoat dan levamisol untuk nematoda intestinal. Obat-obat tersebut tersedia secara luas di sebagian besar sistem pelayanan kesehatan sebagai pengobatan kuratif dari kasus-kasus klinis selama bertahun-tahun. Disamping itu, saat ini antelmintik juga digunakan sebagai pengobatan preventif pada masyarakat dengan resiko tinggi penularan (seperti anak usia sekolah dan wanita hamil) yang diberikan secara berkala (Bundy dan De Silva, 1998; Albanico dkk, 1999).


(46)

pertama kali dicatat bahwa penyembuhan sempurna infeksi cacing tambang (dan kebanyakan infeksi cacing lainnya) biasanya tidak dicapai dengan beberapa obat. Berdasarkan pada dosis dan tehnik pemeriksaan tinja yang dilakukan, didapatkan angka penyembuhan yang sama rendah yaitu 61% (400 mg) dan 67% (800 mg) untuk albendazol, 0% (dosis tunggal) dan 23% (pengulangan dosis) untuk levamisol, 30% (dosis tunggal) dan 37% ( pengulangan dosis) untuk pirantel pamoat dan 19% (dosis tunggal) dan 45% (pengulangan dosis) untuk mebendazol telah dilaporkan (De Silva dkk, 1997; Krepel dkk, 1993).

Paling sedikit ada beberapa populasi cacing tambang memperlihatkan sedikit toleransi alamiah terhadap paling sedikit satu jenis obat yang digunakan saat ini. Perbedaan kerentanan dua spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus terhadap antelmintik telah dibuktikan. Kemungkinan pengembangan resistensi terhadap mebendazol pada cacing tambang yang menginfeksi manusia (penelitian di Mali) sama sekali tidak mengherankan, semenjak benzimidazol diketahui relatif menjadi selektor yang baik resistensi antelmintik. Pada cacing-cacing yang menginfeksi ternak, resistensi benzimidazol telah muncul dengan cepat dan tersebar dengan mudah (Conder dan Campbell, 1995; Ross, 1997). Hipotesis resistensi obat di Australia diilhami oleh kecurigaan secara klinis resistensi di sebuah area dimana pirantel pamoat telah digunakan pada masyarakat untuk jangka waktu yang lama.

Faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan resistensi antelmintik Sebagaimana yang dikemukakan di atas, RA pada peternakan sekarang


(47)

merupakan sebuah fakta. Beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya resistensi obat telah diidentifikasi dan diteliti. Faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan resistensi obat antelmintik yaitu:

a) Frekuensi pengobatan yang tinggi. Pada penelitian Barton (1983) dan Martin dkk (1984) menunjukkan bahwa frekuensi pengobatan yang tinggi menseleksi resistensi lebih kuat dibandingkan dengan frekuensi pengobatan yang kurang. Dari penelitian tersebut juga terdapat bukti kuat bahwa resistensi obat berkembang lebih cepat pada daerah dimana hewan-hewan diberikan antelmintik secara reguler. Resistensi obat dapat juga terjadi pada frekuensi pengobatan lebih rendah, khususnya ketika obat yang sama diberikan selama bertahun-tahun. Beberapa peneliti telah melaporkan perkembangan resistensi obat terjadi ketika hanya dua atau tiga kali pengobatan diberikan per tahun (Geerts dkk, 1990; Burger dan Bauer, 1994). b) Regimen obat tunggal. Seringkali obat tunggal, yang biasanya sangat efektif pada tahun-tahun pertama pengobatan, digunakan secara terus-menerus sampai obat tersebut menjadi kurang efektif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Geerts dkk (1987) mendapatkan bahwa penggunaan levamisol dalam waktu yang lama pada ternak juga telah memicu perkembangan resistensi, walaupun frekuensi pemberian pengobatan pertahunnya rendah.

c) Dosis yang tidak adekuat. Dosis yang tidak adekuat diduga sebagai faktor penting perkembangan resistensi obat, karena dosis dibawah dosis terapi


(48)

memungkinkan cacing resisten heterozigot tetap bertahan hidup (Smith, 1990). Beberapa penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa dosis yang tidak adekuat terbukti berperan terhadap seleksi resistensi atau strain-strain yang toleran (Hoekstra dkk, 1997). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa bioavailabilitas benzimidazol dan levamisol lebih rendah pada kambing dibandingkan pada domba dan oleh karena itu kambing harus diobati dengan dosis satu setengah atau dua kali lebih tinggi dari dosis yang diberikan kepada domba (Hennessy, 1994). Bagaimanapun juga, selama bertahun-tahun kambing dan domba telah diberikan dosis antelmintik yang sama. Fakta bahwa RA lebih sering terjadi dan tersebar luas pada kambing merupakan konsekuensi langsung dari dosis yang tidak adekuat ( Smith dkk, 1999).


(49)

BAB III

METODOLOGI III.1. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda (double blind randomized trial), dengan memakai desain paralel tanpa pasangan serasi dan dibagi dalam dua kelompok.

Sebelum anak-anak didaftar masuk dalam penelitian, wali atau orang tua dari anak-anak di sekolah yang terpilih diberi suatu penjelasan yang menyeluruh tentang risiko dan keuntungan-keuntungan penelitian dan diminta persetujuan secara tertulis.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak Februari sampai April 2009 diantara anak-anak yang didaftar dari kelas 1 sampai kelas 6 dari enam Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Sekolah dipilih secara acak dari 20 Sekolah Dasar Negeri yang terdapat di kelurahan tersebut.

III.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah anak sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang terinfeksi oleh


(50)

enam Sekolah Dasar Negeri yang telah terpilih guna mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan. Siswa yang dipilih sebagai sampel adalah anak yang dinyatakan positif terinfeksi oleh soil-transmitted helminths campuran berdasarkan hasil pemeriksaan tinja di laboratorium dengan metode Kato Katz.

III.4. Etika Penelitian

Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian telah dilakukan sesuai dengan aturan etika penelitian yang diatur dalam Deklarasi Helsinki dan telah memperoleh ”ethical clearance” dari komite etik dan komite ilmiah penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU.

III.5. Kriteria

III.5.1. Kriteria inklusi

a. Subjek penelitian bersedia mengikuti pengobatan yang ditetapkan, yang dibuktikan dengan surat persetujuan orang tua atau wali.

b. Subjek penelitian dipastikan tidak mengkonsumsi obat cacing 1 bulan sebelum penelitian ini dilakukan.

c. Selama waktu penelitian, subjek penelitian tidak melakukan pengobatan (medis atau tradisional) untuk kasus infeksi cacing.

d. Subjek penelitian dalam keadaan sehat (kecuali infeksi cacing) berdasarkan pemeriksaan dokter.


(51)

atau ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang. III.5.2 Kriteria eksklusi

a. Menolak makan obat.

b. Tidak ikut serta memeriksakan tinja ulang setelah pengobatan pada hari ke-21 atau dalam 3 hari sesudahnya.

c. Timbul komplikasi atau efek samping yang berat dari obat cacing yang diberikan.

d. Menderita sakit (diluar kecacingan) yang berat (seperti diare yang berat, atau demam yang tinggi) atau menderita gizi buruk.

III.6. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel ditentukan dengan memakai rumus Uji Hipotesis Terhadap Dua Proporsi, dan dipakai uji hipotesis dua arah.

n1 = n2 = (zα√2PQ + zβ√P1Q1+P2Q2)2

(P1 – P2)2

Pada peneltian ini telah ditetapkan bahwa:

P1 : Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths (T. trichiura)

dengan mebendazol adalah 23% = 0.23 (dari pustaka).

P2 : Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths (T. trichiura)

dengan terapi kombinasi mebendazol-levamisol dengan perbedaan klinis yang dianggap penting 0,20 adalah 43% = 0,43 (Clinical Judgement).


(52)

P = ½ ( P1 + P2 ) = 0,33 Q = 1 – P = 1 – 0,305 = 0,67

Q1 = 1 – P1 = 0,77 Q2 = 1 – P2 = 0,57

α = 0,05 ( tingkat kepercayaan 95%) Æ zα (dua arah) = 1,96.

β = 0,20 ( power penelitian 80% ) Æ zβ = 0,842.

Dengan memakai rumus di atas maka diperoleh jumlah subyek minimal untuk masing-masing kelompok adalah sebanyak 86 orang.

III.7. Variabel dan Definisi Operasional III.7.1. Variabel yang diamati

III.7.1.1. Variabel independen : Pengobatan dengan antelmintik : a) Mebendazol

b) Kombinasimebendazol-levamisol III.7.1.2 Variabel dependen : Keberhasilan pengobatan :

a). Angka Penyembuhan

b). Angka Penurunan Jumlah Telur III.7.2. Definisi Operasional

1. Penderita soil-transmitted helminthiasis campuran adalah individu yang pada pemeriksaan tinja ditemukan dua jenis telur cacing atau lebih (atau ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang). Adapun jenis cacing yang dimaksudkan adalah A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang. 2. Pengobatan dengan antelmintik (variabel independen) adalah suatu kegiatan


(53)

pemberian obat-obat antelmintik tertentu. Obat-obat tersebut diberikan oleh petugas penelitian dan dikonsumsi langsung oleh penderita di lokasi penelitian. Adapun obat-obat yang digunakan sebagai bahan eksperimen dalam penelitian ini sebagai berikut :

a) Regimen pengobatan I, pemberian obat mebendazol 500 mg (Indofarma: blister @ 500 mg) dosis tunggal pada kelompok eksperimen I, diberikan tanpa memperhatikan berat badan.

b) Regimen pengobatan II, pemberian obat kombinasi mebendazol 500 mg dan levamizol (Askamex®, Konimex: tablet @ 25 mg) 50 mg atau

100 mg atau 150 mg dosis tunggal pada kelompok eksperimen II. Pada anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg diberikan obat mebendazol 500 mg dan levamizol 50 mg. Adapun anak yang mempunyai berat badan 21-40 kg diberikan obat mebendazol 500 mg dan levamizol 100 mg atau levamisol 150 mg bila berat badan anak >40 kg.

3. Keberhasilan pengobatan (variabel dependen) adalah kemampuan obat yang diberikan untuk menurunkan intensitas infeksi menjadi lebih ringan daripada sebelum pengobatan atau sembuh. Keberhasilan pengobatan digambarkan dalam bentuk Angka penyembuhan dan Angka penurunan jumlah telur.

4. Intensitas infeksi adalah distribusi jumlah telur per gram tinja yang menunjukkan beratnya infeksi. Intensitas infeksi digolongkan atas ringan, sedang, atau berat berdasarkan jumlah telur pada tinja. Kategori untuk


(54)

intensitas infeksi dari A.lumbricoides, T.trichiura dan cacing tambang sesuai dengan ketentuan WHO (Montresor et al, 1998).

Tabel 2.Klasifikasi intensitas infeksi berdasarkan jumlah telur per gram (tpg) Intensitas infeksi ( Jumlah telur /gram)

Macam cacing

Ringan Sedang Berat

A. lumbricoides 1 – 4999 5000 – 49 999 ≥ 50 000 T. trichiura 1 – 999 1000 – 9 999 ≥ 10 000 Cacing tambang 1 – 1999 2000 – 3999 ≥ 4000

Intensitas infeksi dalam kelompok dinyatakan dalam bentuk: Rata-rata Telur Per Gram (RTPG) dihitung sebagai mean aritmatik

Mean aritmatik =

tpg

N

Keterangan

∑tpg = Jumlah semua telur per gram dari setiap individu N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya

5. Prevalensi infeksi adalah jumlah orang yang terinfeksi dalam suatu populasi Rumus yang digunakan untuk menghitung prevalensi infeksi pada populasi:

Keterangan

N+ = Jumlah orang yang positif terinfeksi oleh STH pada pemeriksaan sebelum pengobatan

N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya

Prevalensi = (N

+

/ N) x 100


(55)

adalah persentase penurunan jumlah telur yang disebabkan oleh pengobatan (Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003).

Persentase penurunan jumlah telur diperkirakan berdasarkan rumus:

% penurunan TPG = ( RTPG

H0

– RTPG

H21

) X 100

( RTPG

H0

)

Keterangan

RTPGH0 = Rata-rata jumlah telur per gram sebelum pengobatan RTPGH21 = Rata-rata jumlah telur pada hari ke-21 setelah pengobatan. 7. Sembuh adalah apabila pada pemeriksaan tinja setelah pengobatan tidak

ditemukan lagi telur cacing.

8. Angka Penyembuhan (AP) adalah persentase anak yang mempunyai jumlah telur negatif setelah pengobatan dari anak-anak dengan jumlah telur > 0 sebelum pengobatan (Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003).

AP = (n

21 --

/ n

+

) X 100

Keterangan

n21-- = Banyaknya orang yang mempunyai jumlah telur negatif pada hari

ke-21 setelah pengobatan

n+ = Banyaknya orang dengan jumlah telur > 0 sebelum pengobatan. 9. Metode Kato-Katz adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan rutin

telur cacing secara kuantitatip.

10. Status gizi ditentukan dengan cara antropometri, berpatokan pada baku rujukan National Center for Health Statistics yang direkomendasikan oleh


(56)

WHO (NCHS-WHO). Klasifikasi status gizi ditentukan dengan menggunakan berat badan menurut tinggi badan yang dibandingkan dengan baku (median) menurut umur dan jenis kelamin. Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise yang memiliki ketepatan pengukuran pada skala 0,1 cm dan berat badan diukur dengan menggunakan timbangan Camry.

Tabel 3. Klasifikasi status gizi ( Waterlow, 1973 )

Indeks Status Gizi Keterangan

Berat badan lebih > 110%

Gizi-baik 110% - 90%

Gizi kurang < 90% - 70% Berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB)

Gizi buruk < 70%

III.8. Cara Kerja

Dua minggu sebelum tanggal pengobatan yang dijadwalkan, wali atau orang tua dari anak-anak di sekolah yang terpilih diberikan suatu penjelasan yang menyeluruh tentang penelitian, dan diminta persetujuan secara tertulis. Anak-anak yang telah didaftar diberikan sebuah wadah untuk membawa contoh tinja segar pada keesokan harinya. Pemeriksaan tinja secara kualitatif dan kuantitatif dengan metode Kato-Katz (terlampir) dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Anak-anak yang positif terinfeksi oleh soil-transmitted helminths campuran pada pemeriksaan tinja di


(57)

laboratorium dipilih secara random untuk penelitian. Anak yang terpilih sebagai sampel penelitian, tinjanya akan dianalisa lebih lanjut. Sampel anak dipilih secara acak di mana setiap anak bernomor urut ganjil dimasukkan dalam kelompok I dan anak bernomor urut genap dimasukkan dalam kelompok II. Selanjutnya anak-anak yang masuk dalam kelompok II dibagi lagi berdasarkan berat badan (kelompok yang berat badannya 10-20 kg, 21-40 kg dan >40 kg).

III.8.1. Pengobatan

Pada hari pemberian pengobatan, setiap anak pada kelompok I diberi satu tablet mebendazol 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Pada kelompok II di mana anak-anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg menerima satu tablet mebendazol 500 mg dan 2 tablet levamisol 25 mg, dan yang lain untuk anak yang berat badannya 21-40 kg, menerima satu tablet mebendazol 500 mg dan 4 tablet levamisol 25 mg atau satu tablet mebendazol 500 mg dan 6 tablet levamisol 25 mg bila berat badan anak >40 kg. Obat-obat yang diberi ditempatkan pada wadah

yang disegel dan telah diberi kode dengan nomor dan nama. Anak-anak diidentifikasi berdasarkan nomor-nomor ini selama penelitian.

Selama tiga hari berturut-turut, tiap anak ditanya dan dicatat gejala atau efek samping yang mungkin timbul setelah pengobatan dan pencatatan dimulai sehari sesudah pengobatan. Orang tua dan anak diminta melapor kepada guru atau merujuk pada pusat kesehatan yang paling dekat bila timbul efek samping yang berat pada minggu setelah pemberian obat.


(58)

III.8.2. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja ulang dilakukan pada hari ke-21 setelah pengobatan. Anak yang tidak membawa contoh tinja pada hari ke-21 tetap akan diperiksa tinjanya sampai hari ke-24. Pemeriksaan tinja dilakukan secara kuantitatif dengan metode Kato-Katz di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara.

Pemeriksa laboratorium dibutakan, sehingga analis yang memeriksa sediaan tinja tidak mengetahui obat yang diterima oleh pasien. Sediaan tinja diperiksa dalam satu jam persiapan untuk menghindari perembesan warna reagensia ke dalam telur. Perbandingan jumlah telur cacing sebelum dan setelah pengobatan dikalkulasi untuk menilai Angka Penyembuhan (AP) atau Cure Rate (CR) dan Angka Penurunan Jumlah Telur (APJT) atau Egg Reduction Rate (ARR).

III.9. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:

1) Uji Kai kuadrat, digunakan untuk menganalisis perbedaan kesembuhan antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal mebendazol dengan kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol. 2) Uji t independen, digunakan untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata

telur cacing antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal mebendazol dan kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol sebelum dan sesudah pengobatan. Bila data tidak


(59)

berdistribusi normal dilakukan uji Mann-Whitney.

3) Untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata telur cacing pada setiap kelompok sebelum dan sesudah pengobatan digunakan uji t berpasangan. Bila data tidak berdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon Sign.

Perhitungan statistik diselesaikan dengan menggunakan program SPSS 11,5. Hasil yang diperoleh dinyatakan signifikans pada tingkat 5%.


(60)

III.10. Kerangka Kerja

Pemeriksaan tinja dengan metode Kato-Kazt Populasi terjangkau

Soil-transmitted helminthiasis campuran

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Randomisasi

Pengobatan dengan antelmintik

Mebendazol 500 mg + levamisol 50 mg / 100

mg dosis tunggal

Keberhasilan pengobatan Telur cacing pada tinja Pemeriksaan tinja pada hari ke-21 setelah pengobatan dengan metode

Kato-Katz Mebendazol 500 mg

dosis tunggal


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Penelitian

Dari 1108 murid di enam Sekolah Dasar Negeri, hanya 611 anak yang memeriksakan tinja, sedangkan 497 lainnya tidak bersedia. Dari 611 anak yang memeriksakan tinja, 390 anak (63,8%) positif mengandung telur cacing usus, dengan 174 (28,5%) anak mendapat infeksi tunggal, 211 (34,5%) anak mendapat infeksi ganda dan 5 anak (0,82%) mendapat infeksi tiga jenis cacing. Selanjutnya dari 390 anak yang positif mengandung telur cacing usus, 279 anak (71,5%) di antaranya mengandung telur A.lumbricoides, 328 anak (84,1%) mengandung telur

T. trichiura dan hanya 10 anak (2,5%) yang mengandung telur cacing tambang. Di antara 390 anak ini, ternyata 216 anak menderita infeksi campuran (55,4%) dan 174 anak menderita infeksi tunggal (44,6%), dengan 207 (53%) anak dengan infeksi campuran A.lumbricoides dan T.trichiura, 3 anak (0,77%) dengan infeksi campuran T.trichiura dan cacing tambang, 1 anak (0,26%) dengan infeksi campuran A.lumbricoides dan cacing tambang, serta 5 anak (1,3%) dengan infeksi campuran dengan tiga jenis cacing.

Pada penelitian ini, dari 390 anak yang positif mengandung telur cacing usus, hanya 200 anak yang menderita infeksi campuran saja yang dilibatkan lebih lanjut dalam penelitian ini dan dibagi secara acak ke dalam dua kelompok pengobatan, tiap-tiap kelompok terdiri dari 100 anak. Adapun anak yang positif mengandung


(62)

telur cacing usus dan tidak dilibatkan lebih lanjut dalam penelitian ini, tetap diberikan pengobatan untuk infeksi cacing yang mereka derita berupa pemberian tablet mebendazol 500 mg dosis tunggal. Dari 200 anak yang telah dipilih untuk mengikuti penelitian lebih lanjut dan diberikan pengobatan sesuai dengan kelompok masing-masing, 176 anak (88%) mengembalikan contoh tinja pada saat pemeriksaan tinja ulang. Terdapat 10 anak dari kelompok I dan 14 anak dari kelompok II yang tidak mengembalikan pot tinja pada pemeriksaan tinja ulang pada hari ke-21 setelah pengobatan.

IV.1.1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik sampel penelitian untuk usia rata-rata, jenis kelamin dan status gizi dianalisa berdasarkan jumlah anak yang mengikuti penelitian dari awal sampai selesai pada kedua kelompok; 90 anak pada kelompok I dan 86 anak pada kelompok II. Adapun derajat infeksi cacing, jumlah telur dan kesembuhan dianalisa berdasarkan jumlah anak yang menderita infeksi cacing tertentu dari kedua kelompok yang mengikuti penelitian sampai selesai.

Jumlah anak yang dianalisa untuk infeksi A.lumbricoides adalah 87 anak pada kelompok I dan 86 anak pada kelompok II. Pada infeksi T. trichiura, jumlah anak yang dianalisa adalah 89 pada kelompok I dan 86 pada kelompok II. Sedangkan untuk infeksi cacing tambang tidak dianalisa lebih lanjut karena jumlah sampel tidak memenuhi standar minimal.


(63)

Tabel 4. Karakteristik sampel penelitian Pengobatan

Mebendazol Mebendazol + levamisol No. Karakteristik

(n=90) (n=86)

P

1. Umur: 5 - 10 11 - 13

63 (70,0%) 27 (30%)

61 (70,9%) 25 (29,1%)

0.892

2. Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan 44 (48.9%) 46 (51,1%) 42 (48,8%) 44 (51,2%) 0,995

3. Status gizi: BBL Baik Kurang 7 (7,8%) 59 (65,6%) 24 (26,7%) 6 (7%) 57 (66,3%) 23 (26,7%) 0,979

4. Intensitas infeksi A. A. lumbricoides Ringan

Sedang Berat B. T. trichiura Ringan Sedang

(n = 87) 52 (59,8%) 31 (35,6%) 4 (4,6%)

(n = 89) 76 (85,4%) 13 (14,6%)

(n = 86) 49 (57%) 31 (36%) 6 (7%) (n = 86) 75 (87,2%) 11 (12,8%) 0,785 0,727 RTPG sebelum pengobatan

A. A.lumbricoides 12548,7 ±18836,2 11613,8 ±16930,7 0,534 5.

B. T. trichiura 459,2 ± 661,9 489,3 ± 836,8 0,765

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat sebagai berikut. 1. Umur


(64)

kedua kelompok perlakuan (p>0.05). Terlihat bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths tertinggi pada usia 5-10 tahun (70,45%).

2. Jenis kelamin

Pada penelitian ini terdapat perbedaan proporsi laki-laki terhadap perempuan yaitu 48,9% adalah anak laki-laki dan 51,1% adalah anak perempuan. Namun demikian, jumlah laki-laki dan perempuan pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna ( p=0.995 ).

3. Status gizi

Status gizi diukur dengan cara antropometri, ditentukan dengan menggunakan berat badan menurut tinggi badan yang dibandingkan dengan baku (median) menurut umur dan jenis kelamin (NCHS). Hasilnya adalah tidak ada perbedaan status gizi di antara kedua kelompok perlakuan pada penelitian ini (p=0.979). Status gizi kurang sebanyak 47 kasus ( 26,7%), tersebar pada kedua kelompok masing-masing 24 kasus (26,7%) pada kelompok I dan 23 kasus (26,7%) pada kelompok II.

4. Intensitas infeksi

Tidak ada perbedaan bermakna intensitas infeksi Ascaris lumbricoides

(p=0.785) dan Trichuris trichiura (p=0.727) pada kedua kelompok perlakuan. Pada infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura kasus yang terbanyak adalah infeksi dengan intensitas ringan. Pada infeksi Trichuris trichiura tidak dijumpai kasus dengan intensitas infeksi berat, sedangkan pada infeksi Ascaris lumbricoides dijumpai 10 kasus dengan intensitas infeksi berat.


(65)

5. Rerata Telur per Gram Tinja

Pada infeksi A. lumbricoides dan T.trichiura, rerata jumlah telur per gram tinja pada kedua kelompok, yang diambil sebelum pengobatan tidak berbeda bermakna (p=0.534 untuk A.lumbricoides dan p=0.765 untuk T.trichiura). Berdasarkan data rerata jumlah telur sebelum pengobatan terlihat bahwa sampel termasuk dalam intensitas infeksi sedang pada infeksi A.lumbricoides dan intensitas infeksi ringan pada infeksi T. trichiura.

Berdasarkan data di atas, maka kedua kelompok penelitian ini adalah homogen berdasarkan data awal untuk usia, jenis kelamin, status gizi, jumlah telur dan intensitas infeksi cacing.

IV.1.2. Efek samping obat

Pemantauan efek samping obat dilakukan selama penelitian pada semua anak dari kedua kelompok penelitian. 176 anak yang mendapat pengobatan dari kedua kelompok penelitian dipantau efek samping obat yang timbul mulai satu hari sampai dengan tiga hari sesudah pemberian obat.

Tabel 5. Efek samping obat. Pengobatan No Efek samping obat

Mebendazol (n=90)

Mebendazol + Levamisol (n=86)

1. Mencret 0 1 (1,2%)

2. Nyeri kepala 1 (1,1%) 2 (2,3%)

3. Pusing 1 (1,1%) 5 (5,8%)

4. Sakit perut 2 (2,2%) 2 (2,3%)

5. Mual 3 (3,3%) 2 (2,3%)


(66)

1. Efek samping Mebendazol

Pada penelitian ini tidak ditemukan efek samping yang berarti. Beberapa efek samping yang ditemukan adalah nyeri kepala (1,1%), pusing (1,1%), sakit perut (2,2%) dan mual (3,3%). Dengan perkataan lain, mebendazol 500 mg per oral/dosis tunggal aman bagi anak sekolah dasar.

2. Efek samping kombinasi mebendazol dan levamisol

Sebagaimana halnya pada pengobatan dengan mebendazol dosis tunggal, pemberian kombinasi mebendazol dan levamisol pada penelitian ini juga tidak ditemukan efek samping yang berarti. Beberapa efek samping yang ditemukan adalah mencret (1,2%), nyeri kepala (2,3%), pusing (5,8%), sakit perut (2,3%), mual (2,3%) dan muntah (1,2%). Dengan demikian, kombinasi mebendazol 500 mg dengan levamisol 50 mg atau 100 mg per oral/dosis tunggal aman bagi anak sekolah dasar.

IV.1.3. Efikasi obat terhadap Ascaris lumbricoides

Tabel 6. Kesembuhan dari infeksi A.lumbricoides setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Kesembuhan setelah pengobatan Obat yang

diberikan

(n)

Sembuh Tidak sembuh AP P

Mebendazol 87 82 5 94,3%

Mebendazol +

levamisol 86 81 5 94,2%

0,985


(67)

pada masing-masing kelompok perlakuan sangat baik. Pada infeksi

A.lumbricoides kedua regimen pengobatan mempunyai efikasi yang sangat tinggi. Angka penyembuhan pada pemberian mebendazol tunggal adalah 94,3% serta 94,2% pada pemberian kombinasi mebendazol dan levamisol. Secara statistik kita dapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan efikasi kedua regimen obat terhadap infeksi A.lumbricoides. Dengan demikian, pengobatan A.lumbricoides

dengan mebendazol tunggal sama baiknya dengan pengobatan secara kombinasi antara mebendazol dan levamisol.

Tabel 7. Perbedaan Rerata telur A.lumbricoides sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Rerata telur per gram tinja Obat yang

diberikan

(n)

Sebelum pengobatan

Setelah pengobatan

APJT P

Mebendazol 87 12548,7 ± 18836.2 129,1 ± 848 98,97% 0.0001 Mebendazol

+ levamisol 86 11613,8 ± 16930,7 9,5 ± 61,5 99,91% 0.0001

Tabel 8. Perbedaan rerata telur per gram tinja 21 hari setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Pengobatan Spesies cacing

Mebendazol Mebendazol + levemisol

P

Ascaris lumbricoides 129,1 ± 848 9,5 ± 61,5 0,988 Trichuris trichiura 36,4 ± 92,1 26,6 ± 77,5 0,802


(68)

A.lumbricoides seperti terlihat pada tabel 7 mempunyai nilai yang signifikan secara statistik lebih baik pada semua regimen obat dibandingkan dengan sebelum pengobatan (p= 0.0001). Demikian juga sebagaimana terlihat pada tabel 8, kedua regimen pengobatan mempunyai efikasi yang tinggi dan sama baiknya dalam menurunkan jumlah telur (p=0.988). Angka penurunan jumlah telur ditemukan lebih tinggi pada pengobatan kombinasi mebendazol dan levamisol (99.91%) dibandingkan dengan pengobatan tunggal mebendazol (98,97%).

IV.1.4. Efikasi obat terhadap Trichuris trichiura

Tabel 9. Kesembuhan dari infeksi T.trichiura setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Kesembuhan setelah pengobatan Obat (n) Sembuh Belum

sembuh

Angka Penyembuhan

P

Mebendazol 89 61 28 68,5%

Mebendazol

+ levamisol 86 59 27 68,6%

0,993

Tabel 10. Perbedaan Rerata telur T.trichiura sebelum dan setelah pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Rerata telur per gram tinja Obat yang

diberikan (n)

Sebelum pengobatan

Setelah pengobatan

APJT P

Mebendazol 89 459,2 ± 661,9 36,4 ± 92,1 92.07% 0.0001 Mebendazol


(1)

6a. Uji normalitas distribusi data anak-anak penderita

T.trichiura

pada

kelompok yang mendapat mebendazol tunggal

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

89 89

459.21 36.40

661.930 92.111

.255 .363

.237 .363

-.255 -.346

2.410 3.420

.000 .000

N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

jumlah telur cacing T.

trichiura sebelum diberikan obat

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

6b. Uji normalitas distribusi data anak penderita

T.trichiura

pada kelompok

yang mendapat mebendazo + levamisol

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

86 86

489.29 26.63

836.841 77.491

.289 .366

.261 .362

-.289 -.366

2.681 3.390

.000 .000

N

Mean

Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

jumlah telur cacing T.

trichiura sebelum diberikan obat

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(2)

6c. Perbandingan derajat infeksi

T.trichiura

pada kedua kelompok perlakuan

at infeksi cacing T trichiura sebelum diberikan obat * Kelompok pengamatan Crosstabula

76 75 151

50.3% 49.7% 100.0%

85.4% 87.2% 86.3%

43.4% 42.9% 86.3%

13 11 24

54.2% 45.8% 100.0%

14.6% 12.8% 13.7%

7.4% 6.3% 13.7%

89 86 175

50.9% 49.1% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

50.9% 49.1% 100.0%

Count

% within Derajat infeks cacing T trichiura sebelum diberikan oba % within Kelompok pengamatan % of Total Count

% within Derajat infeks cacing T trichiura sebelum diberikan oba % within Kelompok pengamatan % of Total Count

% within Derajat infeks cacing T trichiura sebelum diberikan oba % within Kelompok pengamatan % of Total ringan

sedang Derajat infeksi cacing T trichiura sebelum diberikan obat

Total

Mebendazole

Mebendazole-Levamisole Kelompok pengamatan

Total

Chi-Square Tests

.122b 1 .727

.017 1 .897

.122 1 .727

.827 .449

.121 1 .728

175 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.79.


(3)

6d. Perbandinagn rerata EPG

T.trichiura

sebelum dan 21 hari setelah

pengobatan pada kedua kelompok perlakuan

Mann-Whitney Test

Ranks

89 86.88 7732.00

86 89.16 7668.00

175

89 88.78 7901.00

86 87.20 7499.00

175 Kelompok pengamatan

Mebendazole

Mebendazole-Levamisole Total

Mebendazole

Mebendazole-Levamisole Total

jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsa

3727.000 3758.000 7732.000 7499.000

-.299 -.251

.765 .802

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

jumlah telur cacing T.

trichiura sebelum diberikan obat

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

Grouping Variable: Kelompok pengamatan a.


(4)

6e. Perbandingan angka kesembuhan pasien A. lumbricoides antara

kelompok yang mendapat mebendazol dengan kombinasi mebendazol

+ levamisol

ompok pengamatan * Kesembuhan pasien dari infeksi t trichiura setelah diberikan obat Crosstabulat

61 28 89

68.5% 31.5% 100.0%

50.8% 50.9% 50.9%

34.9% 16.0% 50.9%

59 27 86

68.6% 31.4% 100.0%

49.2% 49.1% 49.1%

33.7% 15.4% 49.1%

120 55 175

68.6% 31.4% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

68.6% 31.4% 100.0% Count

% within Kelompok pengamatan

% within Kesembuhan pasien dari infeksi t trichiura setelah diberikan obat % of Total Count

% within Kelompok pengamatan

% within Kesembuhan pasien dari infeksi t trichiura setelah diberikan obat % of Total Count

% within Kelompok pengamatan

% within Kesembuhan pasien dari infeksi t trichiura setelah diberikan obat % of Total Mebendazole

Mebendazole-Levamisol Kelompok pengamatan

Total

sembuh

belum sembuh Kesembuhan pasien dari infeksi t trichiura setelah diberikan obat

Total

Chi-Square Tests

.000b 1 .993

.000 1 1.000

.000 1 .993

1.000 .561

.000 1 .993

175 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.03.


(5)

6f. Perbandingan rerata EPG T. trichiura sebelum dan 21 hari setelah

pengobatan pada kelompok yang mendapat mebendazol tunggal

Paired Samples Statistics

459.21 89 661.930 70.164

36.40 89 92.111 9.764

jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

87a 44.00 3828.00

0b .00 .00

2c 89 Negative Ranks

Positive Ranks Ties

Total Jumkah telur cacing T.

Trichiura setelah diberikan obat - jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

N Mean Rank Sum of Ranks

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat < jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

a.

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat > jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

b.

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat = jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

c.

Test Statisticsb

-8.106a .000 Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

- jumlah telur cacing T.

trichiura sebelum diberikan obat

Based on positive ranks. a.

Wilcoxon Signed Ranks Test b.


(6)

6g. Perbandingan rerata EPG T. trichiura sebelum dan 21 hari setelah

pengobatan pada kelompok yang mendapat kombinasi mebendazol +

levamisol

Paired Samples Statistics

489.29 86 836.841 90.239

26.63 86 77.491 8.356

jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

85a 43.98 3738.00

1b 3.00 3.00

0c 86 Negative Ranks

Positive Ranks Ties

Total Jumkah telur cacing T.

Trichiura setelah diberikan obat - jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

N Mean Rank Sum of Ranks

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat < jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

a.

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat > jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

b.

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat = jumlah telur cacing T. trichiura sebelum diberikan obat

c.

Test Statisticsb

-8.046a

.000 Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Jumkah telur cacing T. Trichiura setelah diberikan obat

- jumlah telur cacing T.

trichiura sebelum diberikan obat

Based on positive ranks. a.

Wilcoxon Signed Ranks Test b.