Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia zollingeriana Kds: studi kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur

(1)

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT

Rafflesia zollingeriana

Kds.

(Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan

Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur)

MIETRA AYU DHISTIRA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

(Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan

Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur)

MIETRA AYU DHISTIRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

MIETRA AYU DHISTIRA Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur). dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO

Rafflesia zollingeriana Kds memiliki habitat alami hanya di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Perkembangbiakannya ditentukan oleh beberapa faktor habitat yaitu: tumbuhan inang, tipe vegetasi, hewan penyerbuk dan penyebaran biji, iklim, angin, tanah, topografi, aktivitas manusia dan pengelola. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka dapat dibuat model kesesuaian habitat Rafflesia zollingeriana Kds t di TNMB.

Pengambilan data dilaksanakan di Resort Sukamade SPTN I TN Meru Betiri pada bulan Desember 2009 – Januari 2010. Pengolahan data dilakukan pada bulan Juni 2010 – Februari 2011. Penelitian ini menggunakan enam variabel fisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, tanah, curah hujan dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Pengolahan peta menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1, perangkat lunak ArcGIS 9.3, perangkat lunak Microsoft Excell 2007, perangkat Lunak SPSS 19.0. Penentuan bobot model menggunakan Analisis Komponen Utama.

Berdasarkan Analisis Komponen Utama diperoleh 3 komponen utama dengan nilai vektor ciri sebesar 2,025, 1,635 dan 1,019. Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat adalah curah hujan dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Model yang digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat R.zollingeriana di TN Meru Betiri adalah sebagai berikutY = (1,019 × jarak dari sungai) + (2,025 × NDVI ) + (1,635 × ketinggian) + (1,019 × kemiringan Lereng) + (1,635 × kelompok tanah) + (2,025 × curah hujan). Model kesesuaian habitat diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang, dan kesesuaian rendah. Habitat yang mempunyai kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar 6131,8 Ha, kesesuaian sedang sebesar 2883,88 Ha, kesesuaian rendah sebesar 139,418 Ha. Peta kesesuaian habitat dapat diterima dengan nilai validasi sebesar 60% untuk kelas kesesuaian habitat tinggi.


(4)

MIETRA AYU DHISTIRA Suitable Habitat Mapping of Rafflesia zollingeriana Kds. (Case Study in Sukamade Resort Section I Sarongan Meru Betiri National Park East Java). Under supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO.

The natural habitat of Rafflesia zollingeriana Kds is in Meru Betiri National Park (TNMB). Rafflesia zollingeriana Kds breeding habitat is determined by several factors such as: host plants, vegetation types, animal pollinators and seed dispersal, climate, wind, soil, topography and human activity and the manager (Zuhud et al. 1998). Based on these factors, the habitat models of Rafflesia zollingeriana Kds can be developed in order to measure the level of habitat suitability in the Meru Betiri National Park.

Data collection was conducted at the Resort Sukamade SPTN I Meru Betiri National Park during December 2009 - January 2010. Furthermore, the data processing was conducted in June 2010 until February 2011. This study used six physical variables: altitude, slope, distant from river, soil, rainfall, and Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). The map processing has been done using Erdas Imagine 9.1 and ArcGIS 9.3, whereas the attribute tables were processed using Microsoft Excel 2007 and SPSS 19.0. The Principal Component Analysis (PCA) was used for determining the weight of the model.

Based on Principal Component Analysis, there are 3 main components with eigen value of 2.025, 1.635 and 1.019. The physical variables that have most influence on habitat suitability model are rainfall and NDVI. The habitat model of R. zollingeriana follows: Y = (1.019 × distance from river) + (2.025 × NDVI) + (1.635 × height) + (1.019 × slope) + (1.635 × soil group) + (2.025 × rainfall). Habitat suitability map is divided into 3 classes: high suitability, medium suitability and low suitability. The area of high suitability habitat is 6131.8 ha, medium suitability habitat is 2883.88 ha, and low suitability habitat is 139.418 Ha. Habitat suitability maps can be accepted by the validation value 60% for high suitability class.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Mietra Ayu Dhistira NRP E34052869


(6)

Nama Mahasiswa NIM

: :

Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur). Mietra Ayu Dhistira

E34052869

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr.Ir. Agus Hikmat M.Sc NIP. 19620918 198903 1 002

Pembimbing II

Prof.Dr.Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc NIP. 19620316 198803 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir Sambas Basuni, M.S NIP 19580915 198403 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 18 Agustus 1987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan H Faisal Armaya S.H. dan Hj Rintan br Kemit. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Pembina, SD Kartika I-2 Medan, SLTPN 16 Medan, dan SMA Kartika I-2 Medan. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun 2006.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai wakil bendahara HIMAKOVA periode 2007-2008 dan ketua biro kekeluargaan HIMAKOVA periode 2007-2008-2009. Penulis juga tergabung dalam Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu (KPK)-HIMAKOVA.

Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2007, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di TN. Bantimurung-Bulusaraung pada tahun 2007, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di CA Leuweung Sancang dan TWA Kamojang pada tahun 2007, Praktek Umum Konservasi Ek-Situ (PUKES) di Penangkaran Rusa Jonggol dan Kebun Raya Bogor pada tahun 2008, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN. Bromo Tengger Semeru pada tahun 2010.

Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


(8)

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada:

1. Bapak H. Faisal Armaya SH. dan Ibu Hj. Rintan br Kemit selaku orangtua serta Arie Adhitya, Dwi Auliani, Reza Farhan dan Yulia Sari selaku abang dan kakak atas kasih sayang, doa, serta dukungan moral dan materi yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku penguji dari Departemen Menejemen Hutan, Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan, Dr. Ir. Priyanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop selaku penguji Departemen Silvikultur, atas bimbingan, saran dan pesan yang diberikan kepada penulis. 4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis

selama kuliah.

5. Kepala TN Meru Betiri berserta staf dan pegawai atas bantuan peneliti selama di lapangan.

6. Chandra I. Wijaya, S.Hut. M.Sc. yang telah bersedia membagi ilmu, dorongan, motivasi dan ketulusan hati dalam masa penulisan ini berlangsung. 7. Arif Prasetyo,S.Hut., Yohana Maria I, S.Hut. dan Muis Fajar S.Hut. atas

bantuannya dalam analisis data.

8. Muhammad Habibi atas bantuan serta dukungan semangat yang diberikan. 9. Sahabat terbaikku Indri Hapsari SP atas kebersamaan, bantuan, dan saran

yang diberikan kepada penulis.

10. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial atas pertukaran ilmu, kerjasama, dan bantuan yang diberikan.


(9)

11. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE “Tarsius” 42 atas bantuan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang telah terjalin selama ini. 12. Keluarga besar Kelompok Pemerhati Kupu-Kupu “Sarpedon” HIMAKOVA

atas pengalaman dan dukungan yang telah diberikan.

13. Pengurus HIMAKOVA periode 2007-2008 dan 2008-2009 atas pertukaran ilmu, pengalaman serta dukungannya selama ini.

14. Crew Wisma Kardhita atas kekeluargaan dan kebersamaannya. (Rucitra Widyasari, Rhama Budi Yahna, Muhammad Taufan, Irwani Gustina, Kharia Nafia, Risto Laksono, Koko Erlianto, Nugroho Ari Setiawan, Elia Ernawati, Nicanor J.V. Sitorus)

15. Keluarga besar rumah cengkareng indah blok AP 16 (bapa tua, bibi tua, kak lia, kak ami dan kak singit). Terima kasih atas bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis.

16. Sahabat-sahabat terbaiku Nina, Dora, Iska, Berry, Bono, Teh Lin, Muthe, Cimut, Poe, Dieta, Bayu terima kasih buat nasehat dan motivasi yang telah kalian berikan.

17. Tim PKLP TNBTS 2010 Ebay, Harray, Agung, Iman, Suratman dan Fika senang berjuang dan berpetualang bareng kalian.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.


(10)

   

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (Studi Kasus di Resort Sukamade Wilayah Seksi I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur).” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2011


(11)

ii  

   

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rafflesia zollingeriana Kds ... 3

2.1.1 Taksonomi ... 3

2.1.2 Bioekologi ... 3

2.1.3 Habitat dan Penyebaran Rafflesia zollingeriana Kds... 4

2.2 Tetrastigma sp. ... 4

2.2.1 Taksonomi ... 4

2.2.2 Bioekologi ... 5

2.2.3 Hubungan Tegtrastigma sp terhadap Rafflesia ... 5

2.3 Sistem Informasi Geografis... 6

2.3.1 Konsep dasar dan definisi ... 6

2.3.2 Subsistem ... 7

2.3.3 Komponen ... 8

2.3.4 Aplikasi SIG ... 9

2.4 Penginderaan Jauh ... 11

2.4.1 Definisi ... 11

2.4.2 Citra Landsat ... 11

2.5 Global Positioning System dan Ketelitian Global Positioning System (GPS) ... 13


(12)

   

BAB III METODA

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 17

3.4 Metode Penelitian ... 17

3.4.1 Pengumpulan data ... 17

3.4.2 Pengolahan data ... 18

3.4.2.1 Pengelolaan Citra ... 18

3.4.2.2 Pembuatan Peta Digital ... 19

3.4.2.3 Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng ... 20

3.4.2.4 Pembuatan Peta Jarak dari Sungai ... 21

3.4.3 Analisis data ... 22

3.4.3.1 Analisis Komponen Utama (Principle component analysis) ... 22

3.4.3.2 Analisis Peta Kesesuaian Habitat R. zollingeriana Kds ... 22

3.4.3.3 Kelas kesesuaian habitat R. zollingeriana Kds ... 22

3.4.3.4 Validasi model ... 23

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan ... 25

4.2 Letak dan Luas Kawasan ... 27

4.3 Topografi dan Iklim ... 28

4.4 Potensi Taman Nasional ... 28

4.4.1 Flora dan tipe habitat ... 28

4.4.2 Fauna ... 30

4.5 Kondisi Pendidikan, Mata Pencaharian dan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 31

4.5.1 Pendidikan ... 31

4.5.2 Mata pencaharian ... 31


(13)

iv  

   

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat ... 33

5.1.1 Penutupan Lahan ... 33

5.1.2 Ketinggian Tempat ... 37

5.1.3 Kemiringan Lereng ... 37

5.1.4 Jarak dari Sungai ... 38

5.1.5 Tanah ... 42

5.1.6 Curah Hujan ... 44

5.1.7 Nilai Normalized Difference vegetation Index (NVDI) ... 44

5.1.8 Leaf Area Index ... 46

5.2 Analisis Komponen Utama ... 48

5.3 Kesesuaian Habitat Rafflesia zollingeriana Kds ... 49

5.3.1 Model Kesesuaian Habitat ... 49

5.3.2 Kelas Kesesuaian Habitat ... 50

5.3.3 Validasi Model ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 53

6.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54


(14)

   

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper... 12

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian penentuan posisi dengan GPS ... 15

3. Cara perhitungan selang kesesuaian habitat ... 23

4. Penutupan lahan TN Meru Betiri ... 33

5. Kunci interpretasi tipe Penutupan lahan pada citra landsat ... 34

6. Luas tiap kelas ketinggian ... 37

7. Luas tiap kelas kemiringan lereng... 37

8. Luas tiap kelas jarak dari sungai ... 38

9. Luas tiap kelas landsystem ... 42

10. Nila NDVI ... 46

11. Keragaman total komponen utama... 48

12. Vektor ciri dari PCA ... 49

13. Bobot masing-masing variabel ... 49

14. Skor tiap variabel ... 50

15. Luas tiap kesesuaian habitat ... 51


(15)

vi  

   

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Ilustrasi pemisahan penyimpanan data dan presentasi

dalam SIG (Prahasta,2001)... 7

2. Uraian subsistem SIG (Prahasta, 2001) ... 8

3. Peta batas administrasi TN Meru Betiri ... 16

4. Diagram alir pengolahan citra ... 19

5. Diagram alir pembuatan peta digital ... 20

6. Diagram alir pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng ... 21

7. Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai... 21

8. Diagram alur proses analisis peta kesesuaian habitat R. zollingeriana Kds………...24

9. Peta zonasi kawasan TN Meru Betiri ... 27

10. Peta penutupan lahan TN Meru Betiri ... 36

11. Peta ketinggian TN Meru Betiri ... 39

12. Peta kemiringan lereng TN Meru Betiri... 40

13. Peta buffer sungai TN Meru Betiri... 41

14. Peta landsystem TN Meru Betiri ... 43

15. Peta curah hujan TN Meru Betiri ... 45

16. Foto yang diambil dengan menggunakan hemispherical photograph ... 46

17.Peta NDVI TN Meru Betiri ... 47


(16)

   

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Koordinat titik R.zollingeriana Kds. beserta jumlahnya ... 57

2. Nilai LAI di setiap tipe penutupan lahan ... 58

3. Foto-foto kondisi habitat R.zollingeriana Kds. ... 59

4. Classification accuracy assessment report ... 60

5. Cara perhitungan rentang kelas kesesuaian habitat dan validasi model ... 63


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rafflesia merupakan salah satu bunga langka dan sangat dikenal dalam dunia botani yang memiliki penyebaran di Indonesia. Rafflesia merupakan tumbuhan yang sangat istimewa karena tumbuhan ini hanya mempunyai bagian bunga dan tidak mempunyai bagian akar maupun daun dan batang.

Secara umum perkembangbiakan Rafflesia berkembang biak pada ekosistemnya sangat ditentukan oleh beberapa faktor habitat yaitu: tumbuhan inang, tipe vegetasi, hewan penyerbuk dan penyebaran biji, iklim (suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan curah hujan), angin, tanah, topografi dan aktivitas manusia dan pengelola (Zuhud et al. 1998).

Kawasan Meru Betiri yang terletak di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 277/Kpts-VI/1997 seluas 58.000 ha. Sebagai Taman Nasional, karena di dalam kawasan banyak terdapat flora dan fauna yang dilindungi. Salah satunya adalah Rafflesia zollingeriana Kds.

Berdasarkan Hikmat (2008) populasi R. zollingeriana tersebar di hutan hujan tropika bawah bagian selatan TN Meru Betiri yang terkonsentrasi di delapan lokasi dekat dengan pantai, yaitu Rajegwesi, Pasir Pendek, Sukamade Pantai Timur dan Barat, Meru, Kempul, Ngaling dan Demangan. Disamping itu pula R. zollingeriana banyak ditemukan tumbuh di sekitar hutan Bandealit.

Informasi mengenai data spasial ataupun non spasial sangat diperlukan untuk memetakan habitat potensial dari R. zollingeriana. Informasi mengenai habitat yang potensial ini merupakan salah satu langkah yang penting dalam upaya konservasi tumbuhan langka yang dilindungi tersebut.

Pemetaan habitat yang menggunakan suatu sistem yang dikombinasikan dengan informasi yang bersifat spasial ataupun non spasial, yaitu dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem informasi ini dapat digunakan dengan perangkat komputer lunak yang berfungsi untuk


(18)

menyimpan, manipulasi dan keluaran informasi geografis beserta atribut-atributnya (Prahasta 2002).

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan faktor yang paling mempengaruhi terhadap kesesuaian habitat R. zollingeriana

2. Memetakan model kesesuaian habitat R. zollingeriana. 3. Menentukan luas kesesuaian habitat R. zollingeriana.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam upaya konservasi R. zollingeriana di Taman Nasional Meru Betiri.


(19)

   

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rafflesia zollingeriana Kds 2.1.1 Taksonomi

Tumbuhan Rafflesia termasuk ke dalam famili Rafflesiceae yang terdiri dari 8 marga (genera) dan beranggotakan sekitar 50 spesies, umumnya terdapat di daerah tropika indo-Malaysia. Menurut klasifikasi dunia tumbuhan R. zollingeriana Kds dikelompokkan ke dalam:

Divisi : Spermatopyta Kelas : Angiospermae Anak Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Aristolochiales

Suku : Raffesiaceae

Marga : Rafflesia

Spesies : Rafflesia zollingeriana Kds.

R. zollingeriana merupakan tumbuhan holoparasit yang sepenuhnya menggantungkan kebutuhan pada tanaman lain. Tumbuhan inang Raffesia merupakan tumbuhan liana dari genus Tegtrastigma (Zuhud et al. 1998).

2.1.2 Bioekologi

R. zollingeriana merupakan spesies tumbuhan yang memiliki sifat holoparasit yaitu tumbuhan yang sepenuhnya bergantung pada tumbuhan inang untuk mendapatkan kebutuhan makanannya. Tumbuhan ini dapat mengambil sari-sari makanan dari tumbuhan inangnya karena tumbuhan ini mempunyai akar isap (haustorium) yang berfungsi sebagai penyerap makanan yang dibutuhkannya (Zuhud et al. 1998).

R.zollingeriana mempunyai ukuran bunga yang besar mencapai diameter 15-33 cm. Rafflesia ini mempunyai bunga berwarna merah cerah dan memiliki 5 lembar kelopak dan bunganya berukuran. Pada bagian atas bunga terdapat lubang diafragma yang berukuran 44-47 cm. (Zuhud et al 1998). Pertumbuhan Rafflesia dimulai


(20)

dengan pembentukan kecambah yang terdapat di dalam kulit akar tumbuhan inang dan berkembang menjadi benang-benang (La Rue 1957 diacu dalam Zuhud et al. 1998). Selanjutnya terjadi pembengkakan serta terbentuknya knop pada permukaan akar tumbuhan inangnya.kemudian membesar sampai knop tersebut robek yang nantinya akan menjadi bunga (Meijer 1958 diacu dalam Zuhud et al. 1998).

Rafflesia merupakan tumbuhan berumah dua, sehingga proses penyerbukan memerlukan bantuan hewan penyerbuk yang berupa serangga antara lain dari spesies lalat seperti Lucilia sp., Sarcophaga sp., Protocaliphora sp. dan Drosophyla sp., sedangkan untuk penyebaran biji R.zollingeriana hewan yang sangat berperan yaitu berasal dari mamalia besar sepeti babi hutan, kijang, rusa dan tapir dan jenis tupai (Zuhud et al. 1998).

2.1.3 Habitat dan Penyebaran Rafflesia zollingeriana Kds

Secara ekologi R. zollingeriana memiliki habitat yang berekosistem hujan tropika, yang hidup di derah berbukit-bukit pada ketinggian 1-270 m dpl dan jarak garis pantai ± 1-1.000 m. Kemiringan habitat dari tumbuhan R. zollingeriana berkisar 85% (Zuhud et al. 1998). Hampir seluruh habitat rafflesia ditutupi vegetasi berupa hutan lebat yang menyebabkan sebagian besar keadaan tanahnya lembab. Jenis tanah yang terdapat pada habitat rafflesia berjenis latosol dan regosol coklat. Tanah latosol dan regosol umunya terdapat di lereng dan puncak bukit, sedangkan tanah aluvial terdapat di daerah lembah dan tempat rendah sampai pantai (Zuhud et al 1998).

2.2 Tetrastigma sp. 2.2.1 Taksonomi

Menurut Zuhud et al. (1998) klasifikasi dunia tumbuhan Tetrastigma sp. dikelompokkan ke dalam:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Anak Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales Suku : Vitaceae


(21)

5

Marga : Tetrastigma

Spesies,a.l : Tetrastigma lanceolarium Tetrastigma papillosum 2.2.2 Bioekologi

Tetrastigma merupakan tumbuhan berbiji dan berumah dua. Tetrastigma dapat digambarkan sebagai tumbuhan pemanjat yang besar, mempunyai batang yang tebal, berkayu dan panjang, daun majemuk dengan bentuk menjari (palmately) terdiri dari 1 sampai 3 helai daun atau berbentuk bangun kaki (pedately) terdiri dari 4 sampai 6 daun, mempunyai sulur, (tendril), tanpa cakram (diskus) yang melekat. Buah berkelopak (berry), berbentuk bulat (globose) atau elips (ellipsoid). Biji berjumlah 1 sampai 4 buah, berkerut melintang diatas ventral, ukuran biji relatif kecil (Latief 1983diacu dalam Hikmat 1988).

Menurut (Richards 1964 diacu dalam darjat 1989) anakan tumbuhan muda dari Tetrastigma sp. pada awal pertumbuhannya untuk sementara waktu tidak berbeda dengan penampilan pohon-pohon muda dan semak-semak. Proses selanjutnya terjadi pemanjangan pada internode bagian atas, batang muda terjadi lentur dan mudah melengkung sehingga menuntut suatu peyangga. Batang-batang muda sering mempunyai internode yang sangat panjang dan daun yang sangat kecil, pemanjangan batang pada awalnya berjalan cepat kemudian menjadi lambat. Bila penyangga sudah tidak kuat maka batang liana muda akan melengkung ke bawah dan menjalar sampai ke permukaan tanah sehingga mendapatkan suatu peyangga yang tepat untuk dapat merambat dan tumbuh dengan cepat. Pada umumnya penyangga cukup tinggi sehingga liana tersebut dapat mendapatkan cahaya matahari sendiri. Penyangga alami liana ini biasanya berupa suatu pohon, semak atau batang dari liana yang lain.

2.2.3 Hubungan Tegtrastigma sp terhadap Rafflesia

Menurut Kuitjt (1969) dan Musselman & Press (1995) diacu dalam Nais (2001) hubungan antara tumbuhan inang dan rafflesia dihubungkan oleh haustorium. Haustorium memiliki fungsi seperti akar yang menghisap dan menyimpan makanan. Bagian haustorium yang ada di dalam tumbuhan inang disebut endophyte.


(22)

Penembusan haustorium Rafflesia kedalam jaringan inang hampir sama dengan jenis Cyntinus Hypocistis seperti yang telah dijelaskan oleh Forstmeier et al ( 1983) diacu dalam Nais (2001). Pada tumbuhan inang tersebut, kambium merupakan bagian pertama yang terlepas dari xilem sebelum parasit berpengaruh pada aktivitasnya. Ketika rafflesia menjadi aktif lagi, lapisan baru dari xilem akan dibentuk pada jaringan parasit. Selanjutnya jaringan parasit akan masuk kedalam xilem dan memisahkan kambium inang dari xilem induk.

Hubungan antara tumbuhan inang dengan parasit pada tingkat populasi dipengaruhi oleh penyebaran dan letak bibit rafflesia serta akar tumbuhan inang. Distribusi tunas rafflesia pada akar tetrastigma tidak mempunyai pola yang nyata atau cenderung menyebar disekitar tumbuhan inagnya.

2.3 Sistem Informasi Geografis 2.3.1 Konsep dasar dan definisi

Menurut Prahasta (2002) sistem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk, secara umum disebut sistem informasi geografis. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:

1. Pengorganisasian data dan informasi. 2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya, serta analisa spasial lainnya.

Prahasta juga menyebutkan bahwa dalam beberapa literatur, SIG dinilai sebagai hasil penggabungan dua sistem, yaitu antara sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAD) dengan teknologi basis data (database). Dengan demikian SIG mempunyai keunggulan inherent karena penyimpanan data dan presentasinya dipisahkan sehingga data dapat dipresentasikan dalam berbagai cara dan bentuk seperti Gambar 1.

Hingga saat ini terdapat cukup banyak definisi SIG yang berasal dari berbagai pustaka. Hal ini dikarenakan SIG terus berkembang dan bervariasi. Menurut (Puntodewo et al. 2003) secara harfiah SIG diartikan sebagai komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya manusia yang


(23)

7

bekerjasma secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Dari definisi tersebut dapat diartikan SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen dan tidak dapat berdiri sendiri.

Gambar 1 Ilustrasi pemisahan penyimpanan data dan presentasi dalam SIG

(Prahasta 2002).

2.3.2 Subsistem

Berdasarkan definisi mengenai SIG yang telah disebutkan di atas, Prahasta (2002) menguraikan SIG dalam beberapa subsistem yaitu:

1. Data masukan:

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber, serta bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format data asli menjadi format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Hasil data:

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran (seluruh atau sebagian) basis data, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti table, grafik, peta, dan lainnya.

3. Manajemen data:

Subsistem ini mengorganisasikan data spasial dan atribut menjadi sebuah basis data yang sedemikian rupa, sehingga akan mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.


(24)

4. Manipulasi data dan analisis:

Subsistem ini menentukan informasi yang dapat di hasilkan oleh SIG. Subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

Uraian mengenai jenis masukan, proses, dan jenis keluaran dari subsistem SIG dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Uraian subsistem SIG (Prahasta 2001). 2.3.3 Komponen

Gistut (1994) diacu dalam Prahasta (2001) menjelaskan bahwa SIG merupakan suatu sistem yang kompleks, dan biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer lainnya pada tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen, yaitu:

1. Perangkat keras:

Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. Hingga saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras seperti PC desktop, workstation, dan multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan oleh banyak orang dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, mempunyai ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, serta mempunyai kapasistas memori yang besar. Meskipun demikian fungsionalitas SIG tidak terikat erat dengan karakteristik perangkat keras ini, sehingga keterbatasan memori pada PC dapat diatasi.


(25)

9

2. Perangkat lunak:

Jika dilihat dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci.

3. Data dan informasi geografi:

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung (import dari perangkat lunak SIG lainnya) maupun secara langsung (melakukan dijitasi data spasial dari peta dan memasukan data attributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard).

4. Manajemen:

Diperlukan manajemen yang baik dan orang-orang yang memiliki keahlian pada semua tingkatan untuk mengerjakan proyek SIG agar berhasil.

2.3.4 Aplikasi SIG

Penggunaan SIG untuk kehutanan tropis di negara-negara berkembang belum cukup lama dimulai dan bervariasi di setiap negara dalam hal tujuan, aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan (Puntodewo et al. 2003). Hingga saat ini aplikasi SIG telah cukup banyak digunakan oleh para peneliti termasuk di dalamnya para peneliti dari bidang kehutanan, contohnya untuk memonitoring pergerakan satwa dan membuat model kesesuaian habitat flora dan fauna.

Beberapa penelitian pada bidang konservasi yang menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah:

1. Aplikasi (SIG) untuk pemetaan kesesuaian habitat kedaung (Parkia timoriana (D.C Merr) di Taman Nasional Meru Betiri yang dilakukan oleh Sebastian pada tahun 2007. Penelitian ini menggunakan tiga variabel fisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng dan jarak dari sungai. Pengolahan peta menggunakan Software Arc View 3.2 dan Erdas Imagine 8.5. Penentuan bobot model dilakukan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama. Model kesesuaian habitatnya adalah Y = (0.4 x kelas tinggi) + (0,3 x kelas lereng) + (0,2 x jarak dari sungai) + (0,1 x aspect) yang menghasilkan nilai akurasi sebesar 80,4%


(26)

2. Pemetaan kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan menggunakan SIG yang dilakukan Gamasari pada tahun 2007. Pengolahan peta dilakukan dengan menggunakan Software ArcView GIS 3.3 dan Erdas Imagine 8.5. pengolahan LAI menggunakan Software Hemiview 2.1. Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel yang diuji dengan jumlah R. patma. Faktor fisik yang mendukung habitat R. patma yaitu: ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai, Leaf Area Index (LAI) dan tanah. Dengan faktor-faktor tersebut model kesesuaian habitat yang digunakan adalah sebagai berikut Y = - 0,642 – 0,557ketinggian + 0,465kemiringan lereng + 0,423LAI. Kesesuaian habitat R. patma di CA dan TWA Pangandaran dikelaskan menjadi 3 kelas yaitu kesesuian tinggi 250.017 Ha, kesesuaian sedang 190.211 Ha dan kesesuaian rendah 84.053 Ha.

3. Pemetaan kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat dengan menggunakan SIG yang dilakukan Herdiyanti pada tahun 2009. Penelitian ini menggunakan lima variabel fisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, LAI (Leaf Area Index) dan tanah. Pengolahan peta menggunakan Software Arc View 3.2 dan Erdas Imagine 9.1. Pengolahan foto LAI menggunakan Software Hemiview 4.1. Penentuan bobot model menggunakan Analisis Komponen Utama. Model yang digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat R. patma di CA Leuweung Sancang adalah sebagai berikut Y = (3,077 x jarak dari sungai) + (3,077 x kelompok tanah) + (1,148 x ketinggian) + (1,148 x kemiringan lereng) +(1,148 x LAI). Model kesesuaian habitat diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu: habitat yang mempunyai kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar 324 Ha, habitat yang mempunyai tingkat kesesuaian sedang sebesar 1.701,435 Ha sedangkan habitat dengan kesesuaian rendah sebesar 692,893 Ha. Peta kesesuaian habitat dapat diterima dengan nilai validasi sebesar 93% untuk kelas kesesuaian habitat tinggi.


(27)

11

2.4 Penginderaan Jauh 2.4.1 Definisi

Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisi pengindraan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa adanya kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh memberikan kemampuan kepada manusia untuk melihat sesuatu yang tidak tampak mata.

Definisi lain mengenai pengindraan jauh juga diuraikan oleh Lo (1996), dimana pengindraan jaun merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan leingkungannya dari jarak jauh tanpa adanya sentuhan fisik. Teknik ini akan menghasilkan bentuk citra yang selanjutnya perlu diproses dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat misalnya dalam aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, perencanaan, dan lainnya.

2.4.2 Citra Landsat

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa satelit Landsat yang digunakan sebagai satelit pengindraan jauh merupakan hasil perubahan nama program ERTS (Earth Resources Technology Satellite/Satelit Teknologi Sumberdaya Bumi) menjadi program Landsat secara resmi pada tanggal 22 Januari 1975. Penggantian nama program ditujukan untuk membedakannya dengan program oseanografi “seasat” yang telah direncanakan pada saat itu. Landsat banyak digunakan sebagai alat pemetaan planimetrik di beberapa daerah tertentu di dunia.

Lo (1996) menjelaskan bahwa terdapat sensor pada satelit Landsat yang berfungsi sebagai sistem pencitraan, diantaranya adalah kamera Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM). Sistem pencitraan Landsat 1, 2, dan 3 adalah RBV dan MSS. Sedangkan pada Landsat 4 ditambahkan dengan sistem pencitraan TM yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spectral, kecermatan data radiometrik, dan ketelitian geomterik. TM merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah, dan saluran spektral yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.


(28)

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa aplikasi Remote Sensing dalam pemakaian citra landsat untuk studi penutupan lahan atau penggunaan lahan sebaiknya disajikan pada peta secara terpisah dan tidak dijadikan satu seperti sistem United States Geological Survey/Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS). Tetapi kegiatan ini akan lebih efisien apabila menggabungkan dua sistem tersebut apabila data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk kegiatan pemetaannya.

Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper. Saluran

(Band)

Panjang Gelombang

(µm)

Potensi Pemanfaatan

1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer.

2 0,52 – 0,69 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan,

3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi.

4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk dilineasi badan air.

5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembapan vegetasi dan kelembapan tanah. Juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan.

6 10,40 – 12,50 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk analisis pemetaan vegetasi, diskriminasi kelembapan tanah, dan pemetaan termal.

7 2,08 – 2,35 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

Sumber : Lo (1995)

Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan United States Geological Survey/Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), disusun berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85%.


(29)

13

3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain.

4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.

5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutupan lahannya.

6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda.

7. Kategori harus dapat dirinci kedalam subkategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan.

8. Pengelompokan kategori harus dapat dilakukan.

9. Membandingkan data penutupan lahan dan penggunahan lahan pada masa yang akan datang.

10.Dapat mengenali lahan multiguna bila mungkin.

2.5 Global Positioning System (GPS) dan Ketelitian GPS

Sistem Pencari Posisi Global (Global Positioning System) atau yang biasa disingkat GPS merupakan suatu jaringan satelit yang memancarkan sinyal radio dengan frekuensi yang sangat rendah secara terus menerus (Puntodewo et al. 2003). Satelit GPS bekerja pada referensi waktu yang sangat teliti dan akan memancarkan data untuk menunjukan lokasi dan waktu pada saat itu. Sinyal radio tersebut akan diterima oleh alat penerima GPS secara pasif dengan syarat tak ada halangan apapun di langit (pandangan terbuka). Alat penerima GPS memerlukan sedikitnya 4 buah satelit GPS, sehingga posisinya dalam tiga dimensi dapat dihitung.

Puntodewo et al. (2003) juga menjelaskan bahwa hingga saat ini, sedikitnya terdapat 24 satelit GPS yang dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, satelit tersebut mengorbit selama 12 jam (dua orbit per hari) pada ketinggian 11.500 mil dan bergerak dengan kecepatan 2000 mil per jam. Terdapat stasiun penerima di bumi yang akan menghitung lintasan orbit tiap satelit dengan teliti.

Data GPS merupakan salah satu bentuk sumber data spasial SIG. Puntodewo et al. (2003) menyebutkan bahwa teknologi GPS meberikan terobosan yang sangat


(30)

penting dalam menyediakan data untuk SIG karena keakuratan data yang diberikan oleh data GPS sangat tinggi. Data GPS biasanya dipresentasikan dalam bentuk vektor.

Menentukan suatu ketelitian GPS terbagi atas tiga tipe diantaranya sebagai berikut:

1. Tipe navigasi:

Tipe ini pada umumnya digunakan untuk penentuan posisi absolute secara instan yang tidak menunutut ketelitian yang terlalu tinggi. Receiver navigasi tipe sipil ini dapat memberikan ketelitian posisi sekitar 50-100 m, dan tipe militer sekitar 10-2-m.

2. Tipe pemetaan:

Receiver tipe pemetaan pada umumnya data yang diperoleh direkam kemudian dipindahkan (down-load) ke komputer untuk dapat diproses lebih lanjut. Selanjutnya sama halnya seperti receiver tipe navigasi, receiver tipe pemetaan ini dapat digunakan untuk penentuan posisi secara diferensial, dan dalam hal ini ketelitian yang dapat diperoleh adalah sekitar 1-5 meter.

3. Tipe Geodetik:

Receiver tipe geodetik umumnya digunakan untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut ketelitian yang relatif tinggi (dari orde mm sampai dm), seperti pegadaan titik-titik control geodesi, pemantauan deformasi dan studi geodinamika.

Ketelitian posisi yang didapatkan dengan pengamatan GPS secara umum akan bergantung pada empat faktor yaitu:

1. Metode penentuan posisi yang digunakan.

2. Geometri dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati. 3. Ketelitian data yang digunakan.

4. Strategi atau metode pengolahan data yang diterapkan.

Berdasarkan cara memperhitungkan dan memperlakukan faktor-faktor tersebut, maka kita dapat memperoleh tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Dalam hal ini adalah jika GPS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrum yang


(31)

15

cukup luas, dari yang sangat teliti (orde milimeter) sampai yang sederhana (orde meter).

Tabel 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian penentuan posisi dengan GPS Ketelitian data ƒ Tipe data yang digunakan

ƒ Kualitas receiver GPS

ƒ Level dari kesalahan dan bias Geometri Satelit ƒ Jumlah satelit

ƒ Lokasi dan distribusi satelit

ƒ Lama pengamatan

Metode penentuan posisi ƒ Absolute & differential positioning

ƒ Static, rapid static, pseudo-kinematic, stop-and-go,

kinematic

ƒ One & multi monitor stations

Stretegi pemrosesan data ƒ Real-time & post processing

ƒ Strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalah dan bias

ƒ Metode estimasi yang digunakan

ƒ Pemrisesan baseline & perataan jaringan

ƒ Kontrol kualitas Sumber : Abidin (2000)


(32)

  3.1 Lokas Pe Desa Saro Sukamade data dilak Departeme IPB. Pe Pengambi dilakukan

si dan Wak ngambilan ongan Kabu e, resort Raj kukan di La en Konserv

nelitian di lan data su

selama 10 Gamb ktu Peneliti data atribut upaten Bany ajegwesi dan aboratorium vasi Sumber

ilakukan p urvei lapang

bulan.

bar 3 Peta B

BAB I METOD

an

t berupa da yuwangi ya n resort Kar m Analisis rdaya Huta pada bulan g dilakukan Batas Admin III DA

ata survei la ang mempun

rang Tamba Lingkungan an dan Ekow

n Desemb selama 2 b

nistrasi TN

apang dilak nyai tiga re ak (Gambar n dan Perm wisata, Fak

er 2009-D bulan, dan

Meru Betiri

kukan di SP esort yaitu r r 3). Pengo modelan Sp kultas Kehu

Desember 2 pengolahan i. PTN I resort olahan pasial, utanan 2010. n data


(33)

17  

 

3.2Alat dan Bahan

Peralatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah GPS, Tripod, kamera, alat tulis, meteran, seperangkat PC beserta Software Hemiview 2.1, SPSS 19, ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 8.5. Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah Citra Satelit Landsat ETM 7 liputan 28 Mei 2002, peta TN Meru Betiri, peta batas, peta kontur, peta landsystem, peta jaringan sungai TN Meru Betiri, peta curah hujan Jawa Timur.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data sekunder yang diperlukan yaitu bio-ekologi Rafflesia zollingeriana, kondisi umum penelitian. Data primer yaitu: citra landsat, peta topografi, peta TN Meru Betiri, peta batas, peta kontur, peta jenis tanah, peta jaringan sungai di TN Meru Betiri.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Pengumpulan data

1. Data primer

Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini akan diperoleh langsung dari lapangan seperti:

a. Ground Control Point (GCP) untuk setiap penutupan lahan. Data ini di peroleh dengan mengambil titik dengan pada GPS.

b. Titik keberadaan R. zollingeriana knop dan Tegtrastigma sp. Data ini di peroleh dengan mengambil titik pada GPS.

c. Nilai LAI (Leaf Area Index) di setiap penutupan lahan dan di setiap dimana R. zollingeriana ditemukan. LAI diambil dengan metode hemispherical photograph (hemipot). Data ini diperoleh dengan cara mengambil foto dari bawah (lantai hutan), dengan menggunakan kamera dengan lensa Fisheye yang diletakkan pada tripod. Sehingga data yang dihasilkan merupakan data foto.


(34)

 

2. Data skunder

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka seperti bio-ekologi R. zollingeriana kondisi umum lokasi penelitian, citra landsat, peta topografi, peta TN Meru Betiri, peta batas, peta jenis tanah, peta jaringan sungai di TN Meru Betiri.

3.4.2 Pengolahan data 3.4.2.1 Pengelolaan citra

a. Pemulihan citra (image restoration)

Pemulihan citra merupakan prosedur operasi agar diperoleh data permukaan bumi sesuai dengan aslinya atau tanpa distorsi (Purwadhi 2001). Adapun langkah yang dilakukan meliputi koreksi geometri yang bertujuan utnuk memperbaiki distorsi geometri.

b. Pemotongan citra (subsetimage)

Pemotongan citra bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian, yaitu dengan memotong batas wilayah mengunakan peta batas TNMB.

c. Klasifikasi citra (image classification)

Pada proses ini tiap pengamatan piksel dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok kelas penutupan lahan. Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan di lapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Klasifikasi merupakan tahap dimana citra satelit diklasifikasikan dengan teknik supervised classification sehingga diperoleh peta penutupan lahan.


(35)

19  

 

Gambar 4 Diagram alir pengolahan citra.

3.4.2.2 Pembuatan Peta Digital

Peta jenis tanah dibuat menjadi peta digital dengan cara melakukan digitasi on screen dengan menggunakan Software ArcGis 9.3 sehingga menghasilkan data digital. Proses pembuatan peta digital dapat terlihat pada Gambar 5.

Diterima  

Tidak diterima Peta digital

Koreksi geometris

Subset image

Klasifikasi citra

Peta batas TNMB

Akurasi

Penutupan lahan Citra Satelit Landsat ETM 7

liputan 28 Mei 2002 

Citra Koreksi

Citra lokasi penelitian


(36)

 

Gambar 5 Diagram alir pembuatan peta digital.

3.4.2.3 Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng

Peta kontur diolah dengan program ArcGIS 9.3 menghasilkan peta TIN (Triangulated Irregular Network) yaitu model topologi berbasis vector yang merepresentasikan data permukaan bumi (Prahasta 2002). Setelah data TIN terbentuk selanjutnya peta kemiringan lereng dirubah menjadi peta ketinggian. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 6.

scan

Screen digitizing

Editing

Atributing

Transformasi koordinat Peta


(37)

21  

 

Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng.

3.4.2.4 Pembuatan Peta Jarak dari Sungai

Peta jarak sungai dibuat berdasarkan peta digital jaringan sungai yang dianalisi menggunakan software ArcGIS 9.3. Proses pembuatannya dapat di lihat dari Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai. Create buffer (ArcGIS 9.3)

Peta Sungai

Peta jarak sungai Analisis topografi

Slope Peta kountur

Peta ketinggian

Peta kemiringan lereng DEM


(38)

 

3.4.3 Analisis Data

3.4.3.1 Analisis Komponen Utama (Principle component analysis)

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 19.0. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap R. zollingeriana berdasarkan letak titik ditemukan R. zollingeriana dengan masing-masing layer yaitu: jarak dari sungai, NDVI, ketinggian, slope, tanah dan curah hujan. Selanjutnya dari hasi PCA dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran R.zollingeriana.

3.4.3.2 Peta kesesuaian habitat R. zollingeriana

Hasil analisis PCA digunakan sebagai bobot masing-masing variable habitat. Model persamaan yang digunakan sebagai berikut:

Y = (aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4 + eFk5 + fFK6) Y = Skor Kesesuaian Habitat

a-f = Nilai bobot setiap variabel Fk1 = Faktor jarak dari sungai Fk2 = Faktor NDVI

Fk3 = Faktor ketinggian

Fk4 = Faktor kemiringan lereng Fk5 = Faktor kelompok tanah Fk6 = Faktor curah hujan

3.4.3.3 Kelas kesesuaian habitat R.zollingeriana

Kesesuaian habitat R. zollingeriana dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung dari nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat.

Selang Smaks SminK  

Keterangan :

Smaks = nilai indeks kesesuaian habitat tertinggi Smin = nilai indeks kesesuaian habitat terendah K = banyaknya kelas kelas kesesuaian habitat


(39)

23  

 

Tabel 3 Cara perhitungan selang kesesuaian habitat

No. Kelas Kesesuaian Selang

1. Kelas Kesesuaian Rendah Nilai Min – (Nilai Min + Selang) 2. Kelas Keseuaian Sedang (Nilai Min + Selang) – (Nilai Maks - Selang) 3. Kelas Kesesuaian Tinggi (Nilai Maks - Selang) – Nilai Maks 3.4.3.4 Validasi model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu R.zollingeriana yang terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh jumlah individu yang digunakan untuk validasi.

Validasi =   % Keterangan:

n = jumlah R. zollingeriana pada satu kelas kesesuaian N = jumlah total R. zollingeriana


(40)

 

Gambar 8 Diagram alur proses analisis peta kesesuaian habitat R. zollingeriana. Validasi model Ketinggian

Kemiringan

Jarak dari sungai

Curah Hujan

Landsystem

skoring

Kumpulan total skor Analisis spasial

Pembuatan rentang kelas

NDVI

Peta Kesesuaian Habitat R. zollingeriana

Diterima Tidak di terima


(41)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kawasan

Pada tahun 1929 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan bahwa Meru Betiri dan sekitarnya perlu dilestarikan. Dengan surat keputusan Hindia Belanda yaitu melalui Besluit van den Direktur van Lanbouw en Handel No. 7347/B tanggal 29 Juli 1931 serta Bseluit Directur van Economiche Zaken No.5751 tanggal 28 April 1938. Kawasan Meru Betiri berstatus kawasan Hutan Lindung. Pada tahun 1967 kawasan Meru Betiri ditunjuk sebagai Suaka Alam dan kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.276/Kpts/Um/6/1972. Komplek hutan lindung Meru Betiri ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 Ha dengan tujuan utama untuk melindungi jenis satwa Hariamau jawa (Panthera tigris sondaica) (Laporan Tim PKLP 2010).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.429/Kpts/Um/6/1978. Kawasan Seksi Perlindungan dan Pelestarian Alam (Seksi PPA) Jawa Timur II. Wilayahnya dibagi menjadi dua Sub Balai, yaitu Sub Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam Jawa Timur II Jember dan Sub Balai Kawasan Pelestarian Baluran dan sekitarnya di Banyuwangi. Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 529/Kpts/Um/6/1982 tanggal 21 Juli 1982 kawasan suaka marga satwa Meru Betiri kemudian diperluas 8.000 Ha dari luasan 50.000 Ha menjadi 58.000 Ha.

Suaka Marga Satwa Meru Betiri kemudian dinyatakan sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 pernyataan ini dikeluarkan bersamaan dengan dikeluarkannya kongres III di Denpasar, Bali. Sejak berakhirnya izin HGU perkebunan PT. Sukamade Baru dan PT. Bandealit tahun 1980, maka status kawasan TNMB menjadi 58.000 Ha diperkuat dengan dengan keputusan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.337/Kpts-II/1986 tentang pengaturan pengelolaan dalam masa peralihan areal perkebunan.


(42)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan No.144/Kpts-II/1991 tanggal 1 Maret 1991 Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II dijadikan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) di bidang Konservasi Sumberdaya Alam di bawah manajemen dan bertanggung jawab kepada Balai Konservasi Alam Jawa Timur IV dan secara administratif di bawah binaan kantor wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (Buku II Data, Proyeksi dan Analisis TNMB 1995-2020).

Suaka Margastwa Meru Betiri yang dinyatakan sebagai Taman Nasional yang kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.277/Kpts-VI/1997. Dalam rangka optimalisasi fungsi dan pengelolaan kawasan telah ditetapkan sistem zonasi TNMB berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam No. 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 31 Desember 1999 dengan zonasi sebagai berikut:

a. Zona Inti seluas 27.915 Ha terdiri atas hutan pantai, hutan hujan tropis dan hutan bambu. Zona ini hanya dimanfaatkan untuk penelitian dan inventarisasi flora dan fauna yang bermanfaat, yang hingga saat ini masih belum banyak diketahui.

b. Zona Rimba seluas 22.622 Ha terdiri atas hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan hujan tropis dan hutan bambu. Zona ini umumnya digunakan untuk menunjang upaya penelitian seperti pengamatan satwa dan habitatnya serta ekosistem yang menunjang pendidikan dan rekreasi. c. Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285 Ha merupakan formasi hutan

hujan tropis dan hutan bambu. Kawasan rimba ini secara khusus telah dimanfaatkan penduduk setempat untuk menanam palawija dan tanaman endemik, dan dipergunakan juga oleh peneliti untuk merehabilitasi kawasan yang telah rusak atau gundul.

d. Zona Rehabilitasi seluas 4.023 Ha tersusun atas hutan pantai dan hutan bambu yang secara khusus dimanfaatkan untuk pendidikan, pelatihan, paket wisata.

e. Zona Pemanfaatan Khusus atau penyangga seluas 2.155Ha yang hanya merupakan hutan hujan tropis ini dikembangkan untuk ekoagrotourism dan budidaya tanaman obat serta penangkaran satwa jenistertentu.


(43)

27  

Gambar 9 Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Meru Betiri.

4.2 Letak dan Luas Kawasan

Kawasan Meru Betiri ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas 58.000 Ha yang terletak pada dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Jember seluas 37.585 Ha dan Kabupaten Banyuwangi seluas 20.415 Ha. Secara geografis kawasan ini terletak pada 113º38’38” - 113º58’30” BT dan 8º20’48” - 8º33’48” LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Adapun batas-batas wilayah kawasannya meliputi:

• Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Malangsari dan kawasan hutan Perum PERHUTANI.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sanen, kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan Treblasala dan Desa Sarongan.


(44)

• Sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan Perum PERHUTANI, PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kotta Blater, Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko.

4.3 Topografi dan Iklim

Pada umumnya Taman Nasional Meru Betiri memiliki topografi berbukit-bukit dengan kisaran elevasi mulai dari tepi laut hingga ketinggian 1.223 meter dari permukaan laut (dpl) di puncak Gunung Betiri. Kondisi topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-sungai yang berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di pantai selatan Pulau Jawa.

Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson Taman Nasional Meru Betiri memiliki dua tipe iklim, pada bagian Utara dan Tengah termasuk tipe iklim B yaitu daerah tanpa musim kering dan hutan hujan tropika yang selalu hijau, sedangkan di bagian lainnya termasuk tipe iklim C yaitu daerah dengan musim kering nyata dan merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim. Curah hujan di kawasan ini bervariasi antara 2.544 - 3.478 mm per tahun dengan bulan basah antara bulan Nopember - Maret, dan kering antara April - Oktober.

4.4 Potensi Taman Nasional 4.4.1 Flora dan Tipe Habitat

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri mempunyai flora sebanyak 518 jenis, terdiri 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi. Contoh jenis yang dilindungi yaitu balanopora (Balanophora fungosa) yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp. dan Padmosari/Rafflesia (Rafflesia zollingeriana) yang hidupnya tergantung pada tumbuhan inang Tetrastigma sp. Selain itu terdapat pula jenis flora sebagai bahan baku obat/jamu tradisional sebanyak 239 jenis. Beberapa jenis tumbuhan obat unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah cabe jawa (Piper retrofractum), kemukus


(45)

29  

(Piper cubeba), kedawung (Parkia roxburghii), kluwek/pakem (Pangium edule), kemiri (Aleuritus moluccana), pule pandak (Rauwolfia serpentina), kemaitan (Lunasia amara), anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora), sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata).

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis yang mempunyai 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tipe Vegetasi Hutan Pantai

Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari 2 tipe utama yaitu formasi ubi pantai (Ipomea pescaprae) dan formasi Barringtonia (25 - 50 m). Formasi Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba, sebagian tumbuh menjalar. Spesies yang paling banyak adalah ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan rumput lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari keben (Baringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain. Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang sempit, umumnya menempati daerah sekitar teluk yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi.

b. Tipe Vegetasi Hutan Mangrove

Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Spesies yang mendominasi adalah bakau-bakauan (Rhizophora sp), api-api (Avicenia sp) dan tancang (Bruguiera sp). Di muara sungai Sukamade terdapat nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.

c. Tipe Vegetasi Hutan Rawa

Spesies tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya mangga hutan (Mangifera sp), sawo kecik (Manilkara kauki), ingas/rengas (Gluta renghas),


(46)

pulai (Alstonia scholaris), kepuh (Sterculia foetida), dan Barringtonia spicota. Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan payau Sukamade.

d. Tipe Vegetasi Hutan Rheophyt

Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit. Jenis yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontanum), rumput gajah (Panisetum curcurium) dan beberapa jenis herba berumur pendek serta rumput-rumputan.

e. Tipe Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah

Tipe vegetasi ini merupakan hutan campuran antara hutan hujan dataran rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Sebagian besar kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana. spesies tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya spesies walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischoffia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur (Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstromia speciosa), segawe (Adenanthera microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Langsium domesticum), bendo (Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti: bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizostachyum iraten), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, diantaranya: rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectomocomia longistigma), rotan warak (Plectomocomia elongata) dan lain-lain.

4.4.2 Fauna

Fauna yang telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri hingga saat ini sebanyak 217 spesies, terdiri dari 92 spesies yang dilindungi dan


(47)

31  

115 spesies yang tidak dilindungi, meliputi 25 spesies mamalia (18 diantaranya dilindungi), 8 reptilia (6 spesies diantaranya dilindungi), dan 184 spesies burung (68 spesies diantaranya dilindungi).

Jenis mamalia yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah kijang (Muntiacus muntjak), banteng (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus), musang luwak (Phardoxurus hermaphrodytus), kukang (Nycticebus councang), landak (Hystrix brachyura), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kera hitam/lutung budeng (Trachypithecus auratus), kera (Macaca irus), dan trenggiling (Manis javanicus).

4.5 Kondisi Pendidikan, Mata Pencaharian dan Sosial Ekonomi Masyarakat 4.5.1 Pendidikan

Kondisi masyarakat Taman Nasional Meru Betiri sebagian besar masih berpendidikan rendah, hal ini dapat dilihat dari proporsi yang rata-rata (54, 4%) masih tidak tamat Sekolah Dasar, sebanyak 31,1% mengaku tamat SD, 10% mengaku tamat SLTP, dan hanya 3,3% tamat SLTA, serta 1,1% menyelesaikan Perguruan Tinggi. Proporsi rendahnya tingkat pendidikan penduduk tersebut memiliki pengaruh terhadap rendahnya tingkat pemahaman lingkungan hutan yang ada di sekitarnya.

4.5.2 Mata Pencaharian

Yuswadi dan Bowo (2003) menemukan indikasi bahwa di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri telah terjadi tekanan penduduk yang cukup tinggi. Sistem Pertanian sebagai sumber mata pencaharian tampaknya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup penduduk desa, khususnya petani. Masyarakat mencari beberapa alternatif sumber mata pencaharian lain sebagai sumber pendapatan seperti: mengambil hasil hutan, beternak, buruh tani, bekerja di kota dan menjadi tukang atau pengrajin. Hal ini menunjukkan bahwa selama kurang lebih 17 tahun telah terjadi bahwa pekerjaan tambahan mengambil hasil hutan pada sebagian penduduk telah bergeser menjadi pekerjaan utama justru dengan motivasi yang tinggi.


(48)

4.5.3 Sosial Ekonomi

Hasil penelitian Yuswadi dan Bowo (2003) menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan budaya penduduk di daerah penyangga Taman Nasional memiliki andil besar bagi kelestarian lingkungan hutan Taman Nasional. Secara sosial ekonomi daerah penyangga ini mengalami kelangkaan tanah pertanian sehingga tidak memadai untuk hidup layak bagi penduduknya (Man land ratio 15 orang/Ha sawah dan 22 orang/Ha pekarangan). Kondisi ini mengakibatkan tekanan (perusakan/pengambilan hasil hutan) terhadap Taman Nasional Meru Betiri. Disamping itu faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran lingkungan dan rendahnya tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingkat motivasi dan pengambilan hasil hutan Taman Nasional Meru Betiri


(49)

   

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat 5.1.1 Penutupan Lahan

Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang ada di TN Meru Betiri SPTN I Sarongan dianalisis berdasarkan hasil klasifikasi Citra Satelit Landsat ETM 7 liputan 28 Mei 2002, yang dikelompokkan menjadi 9 kategori. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4 Penutupan lahan TN Meru Betiri

No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha)

1 Hutan 7.196,55

2 Perkebunan 613,22

3 Ladang 648,50

4 Semak belukar 185,57

5 Lahan pertanian 2,07

6 Lahan terbuka 457,82

7 Lahan terbangun 24,83

8 Badan air 271,71

9 Tidak ada data 42,24

Klasifikasi penutupan lahan terbagi dalam 9 tipe yaitu hutan, perkebunan, ladang, semak belukar, lahan pertanian, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air, awan dan bayangan awan. Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada Citra Landsat, kombinasi band 5,4,3 dapat dijelaskan sebagai berikut (Handini 2010):

1. Tipe penutupan lahan hutan adalah seluruh penampakan hutan alam, hutan tanaman dan hutan sekunder.

2. Perkebunan merupakan suatu lahan pertanian yang didominasi oleh tanaman perkebunan, dan umumnya lahan ini masih dikelola atau sangat erat dengan campur tangan manusia.

3. Ladang merupakan lahan pertanian kering yang ditanami bukan tanaman keras. Umumnya ladang ditanami dengan sayuran atau tanaman pangan. 4. Semak adalah lahan yang didominasi oleh tumbuhan bawah dan rumput. 5. Lahan pertanian merupakan pertanian lahan basah yang ditanami oleh padi. 6. Lahan terbuka adalah lahan yang tidak bervegetasi.


(50)

7. Lahan terbangun adalah lahan yang terdapat bangunan baik permanen maupun semi permanen.

8. Badan air merupakan penampakan permukaan air, berupa sungai. Badan air ditandai dengan warna biru.

9. Tidak ada data adalah penampakan awan dan bayangan pada citra. Adanya awan dan bayangan mengakibatkan citra tidak dapat diklasifikasi.

Berdasarkan data yang diperoleh titik keberadaan R. zollingeriana terdapat pada penutupan lahan di tipe hutan. Hal ini disebabkan habitat dari tumbuhan inang spesies R. zollingeriana yaitu Tegtrastigma lanceolarium dan Tetrastigma papilosum banyak ditemukan di dalam hutan. Peta penutupan lahan TN Meru Betiri dapat dilihat pada Gambar 10.

Tabel 5 Kunci Interpretasi Tipe Penutupan Lahan Pada Citra Landsat No. Tipe Penutupan

Lahan

Deskripsi Tampilan Citra Gambar Citra Landsat 1. Hutan Hutan berwarna hijau tua hingga

hijau agak terang dan berada pada kelas kelerengan yang curam

2. Perkebunan Perkebunan berwarna hijau agak pudar dan agak kekuning-kuningan mempunyai tekstuk yang halus

3. Ladang Ladang berwarna kecoklatan kekuningan dan bercak kemerahan


(51)

35 

 

4. Semak Belukar Semak belukar berwarna hijau sangat terang hingga kuning dan kuning sangat terang. Memiliki tekstur yang kasar hingga agak kasar

5. Lahan Pertanian Lahan pertanian berwarna merah ke ungu-unguan dan keabuan

6. Lahan Terbuka Lahan terbuka berwarna merah muda agak gelap, dan keabuan

7. Lahan Terbangun

Lahan terbangun berwarna merah agak gelap sampai agak terang dengan tekstur yang halus dan menyebar berkelompok

8. Badan Air Badan air berwarna biru tua

9. Awan dan Bayangan

Awan berwarna putih dan bayangan berwarna hitam


(52)

   

Ga

m

bar 10 Peta Penutu

p

an Lahan


(53)

37 

 

   

5.1.2 Ketinggian Tempat

Berdasarkan data yang diperoleh titik-titik keberadaan R. zollingeriana berkisar antara 0-250 m dpl. Hal ini senada dengan apa yang diungkapan oleh (Zuhud et al. 1998) bahwa pada umumnya R. zollingeriana hidup mulai dari kaki bukit sampai lereng-lereng bukit sebelah atas, ketinggian yang dicapai mulai dari 1 -270 m dpl.

Berdasarkan data yang diperoleh TN Meru Betiri dapat dibagi menjadi 3 kelas ketinggian yaitu 0-400 m, 400-800 m dan > 800 m, dari ketiga kelas tersebut kelas 0-400 merupakan kelas terluas yaitu sebesar 7830,63 Ha, kelas yang memiliki luas paling kecil adalah kelas >800 m yaitu sebesar 255,599 Ha. Luas tiap kelas ketinggian dapat dilihat pada Tabel 6 peta ketinggian TN Meru Betiri dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 6 Luas tiap kelas ketinggian

No Kelas Ketinggian (m) Luas (Ha)

1 0 – 400 7.830,63

2 400 – 800 1.675,59

3 >800 255,59

5.1.3 Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng atau slope adalah ukuran dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat atau persen (Jaya 2002 diacu dalam Hendriyanti2009). Kemiringan lereng dibagi menjadi lima kelas seperti yang tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas tiap kelas kemiringan Lereng

No Kemiringan Lereng % Luas (Ha)

1 0-8 3.336,41

2 8-15 2.150,61

3 15-25 2.050,65

4 25-40 1.488,62

5 >40 552,23

Titik keberadaan R. zollingeriana di TN Meru Betiri juga didominasi pada kemiringan lereng >40% yang dikategorikan sangat curam. Hal ini dikarenakan titik-titik tersebut menyebar di sekitar tebing di tepi pantai. Beberapa titik


(54)

   

ditemukan pada kelas kemiringan curam yaitu pada kelas kemiringan >25%. Pada kelas ini juga masih dapat ditemui titik-titik penyebaran R. zollingeriana. Peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 12.

5.1.4 Jarak dari Sungai

Sungai berperan penting sebagai sumber air tawar bagi makhluk hidup di sekitar TN Meru Betiri. TN Meru Betiri merupakan hilir beberapa sungai yang mengalir di sekitar kawasan. Sungai-sungai yang terdapat di TN Meru Betiri antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di Pantai Selatan Pulau Jawa. Sungai-sungai ini rata-rata mengalir sepanjang tahun tetapi ada juga yang mengalami kekeringan pada musim kemarau.

Pada penelitian ini jarak dari sungai di TN Meru Betiri dibagi menjadi 3 kelas jarak dari sungai-sungai yaitu 0-300 m, 300-600 m dan > 600 m. Luas dari masing-masing jarak dari sungai disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas tiap kelas jarak dari sungai

No Jarak dari Sungai (m) Luas (Ha)

1 0 – 300 8.979,84

2 300 – 600 481.14

3 >600 1,53

Berdasarkan hasil pengamatan, R. zollingeriana ditemukan melimpah di sekitar sungai. Semakin jauh dengan sungai, jumlah R. zollingeriana yang ditemukan makin sedikit. Tidak ditemukan R. zollingeriana untuk kelas buffer sungai yang > 600 m. Peta jarak dari sungai TN Meru Betiri disajikan pada Gambar 13.


(55)

   

39 

 

Gambar 11 Peta Ketinggian TN Meru Betiri.


(56)

40 

 

Gambar 12 Peta Kemiringan Lereng TN Meru Betiri.

40


(57)

   

41 

 

Gambar 13 Peta Buffer Sungai TN Meru Betiri.

41


(58)

   

5.1.5 Tanah

Peta tanah TN Meru Betiri diperoleh dari peta geologi Jawa Timur dengan skala 1 : 50.000. Berdasarkan peta tersebut TN Meru Betiri terbagi dalam lima kelompok landsystem yaitu yang tersaji dalam Tabel 9 sebagai berikut:

Tabel 9 Luas tiap kelas landsystem

No Kelompok tanah Luas (Ha)

1 PTG (Beting pantai ) 72,9

2 TWI (Punggung gunung) 748,62

3 BBR (Bukit-bukit teratur) 282,33

4 BKN (Dataran banjir) 1.173,6

5 BYN (Punggung bukit sangat curam) 7.121,79

Berdasarkan Zuhud et al. (1998) jenis tanah tempat tumbuh inang dari R. zollingeriana adalah latosol yang berbatu-batu, pH tanah agak masam, kandungan C organik, Ca, K dan Na sangat tinggi, N total dan kapasitas tukar kation (KTK) sedang, P tersedia sangat rendah, kandungan Mg dan kejenuhan basa sangat tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapang ketebalan serasah di permukaan tanah tempat perakaran inang Tegtrastigma sp. yang ditumpangi R. zollingeriana memiliki penutupan serasah yang cukup tebal, yaitu berkisar antara 5 – 12 cm. Menurut Zuhud et al. (1998) faktor ini diduga berguna untuk menjaga kelembaban tanah dan udara serta temperatur di sekitar bunga konstant terutama di musim kemarau sehingga tetap menyediakan kondisi habitat mikro yang optimum bagi pertumbuhan knop R. zollingeriana. Peta landsystem TN Meru Betiri dapat dilihat pada Gambar 14.


(59)

43

 

 

Ga

m

bar 14 Peta Landsystem

TN Me

ru Betiri.


(60)

   

5.1.6 Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan tahun 2009, TN Meru Betiri mempunyai dua tipe curah hujan, yaitu curah hujan rata-rata tahunan 2.000-2.500 mm dengan luas 5.708,25 Ha mempunyai sebaran titik distribusi rafflesia sebanyak 19 titik dan 2.500-3.000 mm dengan luas 3.488,31 Ha mempunyai sebaran titik distribusi rafflesia sebanyak 3 titik. Berdasarkan data tersebut habitat R. zollingeriana banyak ditemukan pada curah hujan rata-rata tahunan 2.000-2.500 mm. Menurut Zuhud et al. (1998) curah hujan rata-rata tahunan untuk spesies R. zollingeriana yang sesuai sebesar 1.867-2.397 mm.

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi suhu rata-rata 26 – 31 0C dengan tingkat kelembaban sebesar 71 – 99 %. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi habitat R. zollingeriana. Menurut Zuhud et al. (1998) iklim yang sesuai untuk habitat dari spesies R. zollingeriana adalah berkisar 21 – 26 0C dengan tingkat kelembaban 80 – 96 %. Hal ini menunjukan adanya perubahan yang signifikan yang terjadi pada suhu di sekitar habitat rafflesia yaitu yang dipengaruhi oleh perubahan penutupan tajuk yang terdapat di sekitar habitat rafflesia. Peta Curah Hujan TN Meru Betiri dapat dilihat pada Gambar 15.

5.1.7 Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Indeks vegetasi digunakan untuk mengukur biomassa atau intensitas vegetasi di permukaan bumi dengan pengukuran kuantitatif berdasarkan digital number dari data penginderaan jauh Tampubulon et al. (2009). Salah satu metode umum yang digunakan untuk menghitung indeks vegetasi adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Nilai NDVI menggambarkan penutupan lahan vegetasi di atas permukaan tanah dengan nilai kecerahan yang berbeda-beda diperoleh dari penerimaan gelombang elektromagnetik merah (red) dan infra merah dekat (near IR). Nilai NDVI -1 – 0 menunjukan tutupan lahan berupa badan air (air ataupun es), nilai 0 – 0,1 menunjukan tanah terbuka, dan nilai >0,1 menunjukan vegetasi (Anonim 2002) diacu dalam (Koeswara 2010).


(61)

   

44 

 

Gambar 15 Peta Curah Hujan TN Meru Betiri.


(62)

Berdasarkan hasil pengamatan keberadaan titik-titik R. zollingeriana dapat disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Nilai NDVI

No Nilai NDVI Luas (Ha)

1 -0,67 – 0 247,20

2 0 – 0,2 545,80

3 0,2 – 0,4 6.400,81

4 0,4 – 0,6 2.280,58

Hasil identifikasi habitat R. zollingeriana banyak ditemukan di lokasi penelitian terhadap nilai NDVI. Habitat R.zollingeriana banyak berada di rentang nilai NDVI 0,2 – 0,4 dengan luasan 6.400,81 Ha. Pada nilai rentang ini menunjukan bahwa habitat R. zollingeriana mempunyai vegetasi yang rapat. Peta NDVI TN Meru Betiri dapat lihat pada Gambar 17.

5.1.8 Leaf Area Index (LAI)

Dalam penelitian ini untuk menghitung indek luas daun dilaksanakan dengan menggunakan metode hemispherical photograph (hemipot). Data ini diperoleh dengan cara mengambil foto dari bawah (lantai hutan), dengan menggunakan kamera dengan lensa Fisheye yang diletakkan pada tripod. Sehingga data yang dihasilkan merupakan data foto. Contoh foto LAI dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Foto yang diambil dengan menggunakan hemispherical photograph. Dari Gambar 16 tersebut dapat menghasilkan sekelompok data yang diproses dengan menggunakan sebuah software Hemiview. Data tersebut disajikan pada Lampiran 2.

Setelah dilakukan analisis, ternyata data tersebut tidak dapat digunakan untuk mencari hubungan antara leaf area index terhadap NDVI karena jumlah titik dari leaf area index tersebut tidak mewakili untuk dikorelasi terhadap NDVI.


(63)

46

 

 

 

 

Ga

m

bar 17 Peta NDVI TN Meru Betiri.


(64)

5.2 Analisis Komponen Utama

Analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) merupakan suatu teknik analisis statistik untuk mentransformasi peubah-peubah asli yang masih saling berkorelasi satu dengan yang lain menjadi satu set peubah baru yang tidak berkorelasi lagi. Peubah-peubah baru itu disebut sebagai komponen utama (Johnson dan Wichern 1982 diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2006).

Berdasarkan analisis komponen utama menggunakan software SPSS 19 didapatkan 6 komponen utama. Dari keenam komponen utama tersebut digunakan 3 komponen utama yang dianggap mampu menerangkan keragaman total data dengan persentasi total sebesar 77,98% dan nilai total akar ciri telah melebihi angka 1. Menurut Timm (1975) diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (2006) proporsi keragaman yang dianggap cukup mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70%-80%, sedangkan menurut Wuensch (2005) pemilihan komponen utama yang digunakan adalah jika nilai akar cirinya lebih dari 1. Nilai dari total akar ciri yang dimiliki oleh kedua komponen tersebut digunakan sebagai bobot dalam pemetaan kesesuian habitat R. zollingeriana. Keragaman total komponen utama dijelaskan pada Tabel 11.

Tabel 11 Keragaman total komponen utama Komponen

utama

Akar Ciri

Total % keragaman % kumulatif keragaman

1 2,025 33.747 33.747

2 1,635 27.248 60.995

3 1,019 16.991 77.986

4 0,836 13.941 91.927

5 0,355 5.916 97.843

6 0,129 2.157 100.000

Keeratan hubungan antara keenam variabel habitat kesesuaian R. zollingeriana dengan komponen utama dapat dilihat dari vektor ciri dari PCA yang disajikan dalam Tabel 12.


(1)

1 816608

9053053 DSCN0537.JPG 1,932744254 Hutan

2 816608

9053053 DSCN0538.JPG 1,834706271 Hutan

3 816608

9053053 DSCN0539.JPG 1,737569189 Hutan

4 816608

9053053 DSCN0540.JPG 2,111297183 Hutan

5 817711

9052743 DSCN0544.JPG 0,822500509 Hutan

6 817711

9052743 DSCN0545.JPG 0,343523937 Hutan

7 817711

9052743 DSCN0546.JPG 0,393390285 Hutan

8 DSCN0555.JPG

2,853228879

perkebunan

coklat

9 DSCN0556.JPG

2,946498843

perkebunan

coklat

10 819151

9053414

DSCN0557.JPG

0,806875

perkebunan

kelapa

11 823294

9052062

DSCN0579.JPG 2,294633458

Hutan

12 823294

9052062

DSCN0580.JPG 2,177309467

Hutan

13 823294

9052062

DSCN0581.JPG 2,153224971

Hutan

14 DSCN0558.JPG

1,640944912

perkebunan

karet

58


(2)

59

 

Lampiran 3 Foto-foto kondisi habitat

R.

zollingeriana

Kds

a

b

c

d

Gambar a-d adalah kondisi habitat

R.

zollingeriana

Kds di Sukamade

e

f


(3)

Lampiran 4

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT ---

Image File : d:/maps/titipan/ayu/skripsi/landcover/sptn1landcover.img User Name : Prasetyo

Date : Mon Nov 29 12:37:36 2010

ERROR MATRIX --- Reference Data ---

Classified Data hutan perkebunan ladang --- --- --- --- ---

1 0 1 0

hutan 0 7 0 1

perkebunan 0 0 2 0

ladang 0 1 0 3

lahan pertanian 0 0 0 0

lahan terbuka 0 0 0 0

awan 0 0 0 0

bayangan awan 0 0 0 0

lahan terbangun 0 0 0 0

semak belukar 0 0 0 0

badan air 0 0 0 0

Column Total 1 8 3 4

Reference Data --- Classified Data lahan pert lahan terb awan bayangan a --- --- --- --- --- 0 0 0 0

hutan 0 0 0 0

perkebunan 0 0 0 0

ladang 0 0 0 0

lahan pertanian 0 0 0 0

lahan terbuka 0 2 0 0

awan 0 0 0 0

bayangan awan 0 0 0 0

lahan terbangun 0 0 0 0

semak belukar 0 0 0 0

badan air 0 0 0 0

Column Total 0 2 0 0

Reference Data --- Classified Data lahan terb semak belu badan air Row Total --- --- --- --- --- 0 0 0 2

hutan 0 0 0 8

perkebunan 0 0 0 2

ladang 0 0 0 4


(4)

lahan terbuka 0 0 0 2

awan 0 0 0 0

bayangan awan 0 0 0 0

lahan terbangun 2 0 0 2

semak belukar 0 2 0 2

badan air 0 0 3 3

Column Total 2 2 3 25

--- End of Error Matrix --- ACCURACY TOTALS --- Class Reference Classified Number Producers Users Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy --- --- --- --- --- --- 1 2 1 --- ---

hutan 8 8 7 87.50% 87.50% perkebunan 3 2 2 66.67% 100.00% ladang 4 4 3 75.00% 75.00% lahan pertanian 0 0 0 --- ---

lahan terbuka 2 2 2 100.00% 100.00% awan 0 0 0 --- ---

bayangan awan 0 0 0 --- ---

lahan terbangun 2 2 2 100.00% 100.00% semak belukar 2 2 2 100.00% 100.00% badan air 3 3 3 100.00% 100.00% Totals 25 25 22

Overall Classification Accuracy = 88.00% --- End of Accuracy Totals ---

KAPPA (K^) STATISTICS ---

Overall Kappa Statistics = 0.8547 Conditional Kappa for each Category. --- Class Name Kappa --- ---

0.4792

hutan 0.8162

perkebunan 1.0000 ladang 0.7024

lahan pertanian 0.0000 lahan terbuka 1.0000 awan 0.0000

bayangan awan 0.0000 lahan terbangun 1.0000


(5)

semak belukar 1.0000 badan air 1.0000 --- End of Kappa Statistics ---

_______________________________________________________________________________ ________________________________________


(6)

Lampiran 5

Cara Perhitungan Selang Kesesuaian Habitat dan Validasi model

Rentang Kelas Kesesuaian Habitat

Nilai Minimum

= 32,362

Nilai Maksimun

= 14,666

 

Selang =

    

=

5,898

 

No. Kelas Kesesuaian Habitat Selang

1 Kesesuaian rendah 14,666 – (14,666 + 5,898 )

2 Kesesuaian sedang (14,666 + 5,898) – (32,362 – 5,898)

3 Kesesuaian Tinggi (32,362 – 5,898) – 32,362

Validasi Model

 

% =

  .        

    .

x 100

= 3 x 100 %

5