pembentukan alat-alat dalam tubuh, berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini berlangsung 2-3 hari, setelah itu metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering
dan panas Noble dan Elmer 1989. Metacercaria berdinding tebal berlapis dua apabila termakan oleh sapi dewasa didalam lambungnya dinding kista yang
berhasil dihancurkan oleh asam lambung hanya lapisan luar saja. Pada anak sapi, kemampuan lambung untuk merusak lapisan luar sangat terbatas sekali, hal ini
menyebabkan tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada anak sapi tidak berpengaruh secara nyata. Di dalam kista ini metacercaria berkembang menjadi
cacing muda Suweta 1982. Agar dapat menginfeksi induk semang definitif, metacercaria didalam induk semang antara ikan, crutacea dan keong atau
tumbuhan air harus termakan dahulu. Setelah mencapai saluran-saluran empedu hati dan mencapai dewasa kelami n, maka mulai memproduksi telur. Telur berada
dalam cairan empedu. Terbawa arus ikut mengalir ke dalam kantung empedu yang kemudian masuk ke dalam usus halus melalui ductus choleduchus. Dalam usus
terbawa keluar bersama tinja Brown 1979. Siput yang menjadi Induk semang antara berbeda spesies dalam wilayah
negara yang berbeda Lapage 1956. Pada umunya jenis-jenis siput yang menjadi induk semang antara sementara cacing hati, dari Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica temasuk family Lymnaeacidae. Lymnaea rubiginosa merupakan induk
semang antara cacing hati Fasciola gigantica di Indonesia. Di Afrika Lymnaea natalensis
, di Pakistan serta India adalah Lymnaea rufescens, Lymnaea truncatula di Eropa dan Lymnaea tomentosa di Australia. Kusumamiharja 1992. Siput
Lymnaea rubiginosa bentuk oval dengan lingkaran spiral pada ujung ekor.
Dinding rumah transparan, berwarna kuning coklat atau agak kehitaman Suweta 1978.
2. 1.3. Patogenesa dan Gejala Klinis
Faciola spp, hidup di dalam tubuh ternak yang terinfeksi sebagai parasit di
dalam saluran empedu. Hidup dari cairan empedu, merusak sel-sel epitel, dinding empedu untuk mengisap darah penderita.
Cacing dewasa dianggap sebagai pengisap darah yang setiap ekornya mampu menghabiskan 0,2 ml darah setiap
hari Kusumamiharja 1992. Secara umum patogenesa dan gejala klinis yang
disebabkan cacing hati Fasciola spp tergantung dari derajat infeksi dan lamanya penyakit. Serta faktor lain seperti lokasi di dalam induk semang, jumlah cacing
yang menginfeksi, invasi telur, larva dan cacing dewasa di dalam jaringan Brown 1979.
Gejala klinis fasciolosis dapat bersifat akut dan kronis Anonim 2004. Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronis akibat dari infeksi yang
berlangsung sedikit demi sedikit Kusumamiharja 1992. Gejala klinis yang ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut
kembung dan terasa sakit apabila disentuh Kusumamiharja 1992. Gejala akut pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi yang jelas dengan
tinja yang kering dan kadang diare, terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan anemia. Kematian mendadak pada kambing dan domba Anonim 2004. Gejala
kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat pada hewan muda, keluar darah dari hidung dan anus seperti pada penyakit antrax,
kelemahan otot berupa gerakan–gerakan yang lamban, nafsu makan menurun, selaput lendir pucat, bengkak diantara rahang bawah bottle jaw, bulu kering,
rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus. Pemeriksaan pasca mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya
pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung
darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal, anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati
Anonim 2006.
Epidemiologi dan Kerugian Ekonomi
Fasciola gigantica merupakan cacing hati asli Indonesia, sedangkan
Fasciola hepatica diduga masuk ke Indonesia bersama-sama dengan sapi-sapi
yang didatangkan dari luar negeri. Val velzen, merupakan orang pertama yang melaporkan penemuan adanya cacing Fasciola spp pada hewan ternak kerbau
yang mati karena Rinderpest di Tanggerang pada tahun 1890 Mukhlis 1985. Pada umumnya infeksi Fasciola spp menyerang sapi, domba dan kambing. Selain
itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing, rusa, kelinci, marmot,
kuda, bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di Cuba, Prancis Selatan, Inggris dan Aljazair Brown 1979 dan Cheng 1973. Infeksi pada
manusia kurang dari 1 Noble dan Elmer 1989. Telur Fasciola juga berhasil ditemukan pada sampel tinja badak Jawa dari Suaka Marga Satwa Ujung Kulon
Pangihutan 2007.
Tingkat prevalensi penyebaran cacing hati Fasciola spp pada ternak masih menunjukan angka-angka yang tinggi, terutama di negara-negara
berkembang termasuk Indoneisa. Prevalensi penyebaran Fasciola spp di Indonesia menurut FAO 2007, mencapai 14-28. Prevalensi cacing Fasciola spp pada
domba yang dipotong di RPH Pegirian Kota Surabaya sebesar 29 Damawi dan Irsad 2004.
Menurut Suweta 1982, prevalensi infeksi cacing hati di Propinsi Bali yaitu sebesar 36,62, untuk Kabupaten Karangasem sebesar
30,33, Kabupaten Buleleng 29,67, Kabupaten Bangli 31,33, Kabupaten jembrana 33,67, Kabupaten Klungkung 35,33 , Kabupaten Badung 41,33,
Kabupaten Gianyar 43,33 dan Kabupten Tabanan sebesar 48,00. Menurut informasi terdahulu tingkat infeksi cacing hati di Jawa Timur di dapatkan sebesar
63,2 Soesetyo 1975 yang diacu dalam Suweta 1982. Infeksi pada sapi dan kerbau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
kambing dan domba, pada sapi dan kerbau mencapai 25-30 pada domba dan kambing 6-10 Anonim 2006. Kejadian infeksi Fasciola spp berkisar antara
50-80 untuk sapi dan kerbau di pulau Jawa dan dibawah 10 untuk pulau Sumba Muchlis 1985. Me nurut Resang 1984 persentasi kejadian untuk seluruh
Indonesia rata-rata 25 dan 60 untuk pulau Jawa. Kejadian infeksi cacing hati di Indonesia, dari dataran rendah sampai
ketinggian 2000 m tetap ditemukan Fasciola gigantica. Hal ini karena Lymnaea rubiginosa
merupakan satu-satunya siput yang menjadi hospes antara mampu hidup baik di dataran rendah maupun dataran tinggi Mukhlis 1977 diacu dalam
Suweta 1985. Siput dapat ditemukan dalam air yang mengalir dengan kecepatan dibawah 20 cm tiap detik. Dalam air yang tergenang dan air yang keruh tidak
ditemukan, hal ini dimungkinkan kandungan oksigen yang rendah dan lebih tinggi pada air jernih dan bergerak Brotowijoyo1987. Lymnaea rubiginosa tidak tahan
kekeringan, tanpa makan dalam lumpur yang memiliki kelembaban 35 siput
mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76 mati dalam 4-16 hari dan dalam kelembaban 80 mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati
tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup bebas cacing, terutama suhu dan pH air Kusumamiharja 1992.
Kerugian akibat infeksi cacing sulit diperkirakan, kerugian yang diakibatkan cacing hati biasanya berupa kematian terutama pada pedet, penurunan
produksi, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan jaringan, penur unan berat badan, penurunan daya tahan tubuh, penurunan tenaga kerja pada ternak kerja
juga dapat menyebabkan penurunan mutu daging. Kerusakan organ tubuh yang mengakibatkan diafkir pada waktu infeksi daging, pembayaran tenaga profesional,
biaya pembelian obat-obatan serta me nurunnya efisiensi makanan Levine 1990, Suweta 1982.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada umumnya dijumpai angka yang tinggi. Kerugian dibeberapa daerah di Indonesia bervariasi, infeksi pada sapi dan
kerbau ditaksir mencapai 5-7,5 juta kilogram daging pertahun. Kerugian mencapai Rp.513 miliar pertahun Anonim 2006. Menurut informasi terdahulu hasil survai
Direktorat Jendral Peternakan Jakarta 1973;1980 kerugian ekonomi akibat infeksi cacing hati ditaksir sekitar 22 milyard rupiah pertahun, kerugian ini
merupakan kerugian nomor dua terbesar setelah New Castle Disease. Menurut FAO 2007, kerugian akibat infeksi cacing hati Fasciola spp di Indonesia
mencapai 32 juta pertahun atau sekitar 28. Pada sapi di Pulau Bali kerugian dapat mencapai Rp.445.220.800,- pertahun Suweta et al. 1978. Di Inggris
kerugian yang ditimbulkan pernah diperkirakan sebesar 200,000 setiap tahun Lapage 1956. Di Amerika Serikat, cacing hati menyebabkan kerugian karena
kematian setiap tahun sebesar 3.002.000 ditambah 1.657.000 disebabkan hati
yang diafkir pada sapi dan 98.000 pada domba Brown 1979.
2.1.5. Diagnosis.