1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Mempersiapkan pendidikan yang bermutu bagi anak adalah suatu kewajiban yang tidak dapat dihindari. Hal itu karena setiap manusia
membutuhkan pendidikan sampai kapan dan di manapun ia berada. Kualitas hidup seseorang juga akan lebih baik jika dibarengi dengan
tingkat pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, perlu dibentuk sumber daya manusia yang unggul semenjak dini.
Dalam dunia pendidikan formal di Indonesia, terdapat dua jenjang pendidikan yaitu tahap pendidikan dasar yang meliputi jenjang sekolah
dasar dan sekolah menengah pertama, dan tahap pendidikan menengah yang meliputi sekolah menengah atas dan kejuruan. Matematika menjadi
mata pelajaran yang diberikan dalam setiap tahap tersebut. Matematika yang bersifat abstrak selalu menjadi momok tersendiri
bagi peserta didik. Peserta didik sering merasa kesulitan dalam belajar matematika karena sifatnya yang abstrak. Padahal, menurut teori
perkembangan kognisi Piaget Nasution, 2009 : 7, rata-rata usia peserta didik SMP 12
– 15 tahun berada dalam fase operasi formal dan mulai mengembangkan pikiran operasional. Mereka sudah mulai mencapai
logika dan menggunakan abstraksi. Akan tetapi, hal itu bukan perkara mudah bagi mereka, karena sebelumnya sebelum usia 11 tahun mereka
berada dalam fase operasi konkret. Anak sudah memahami hubungan
fungsional, tetapi masih berpikir konkret. Sehingga, kemampuan abstraksi peserta didik belum berkembang secara optimal. Hal ini tentunya akan
berpengaruh pada aspek pemahaman konsep matematika mereka. Selain itu, masih sering dijumpai dominasi guru dalam
pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika masih berpusat pada guru. Mayoritas guru masih berpegangan pada Teori Tabula Rasa John
Locke yang beranggapan bahwa anak adalah kertas putih bersih yang belum ada tulisan, dan orang tua, dalam hal ini guru, bebas
menggambarnya dengan sesuka hati. Guru hanya menyampaikan materi, memberikan contoh soal, peserta didik mengerjakan latihan soal lalu
diakhiri dengan evaluasi berupa tes atau ulangan. Peserta didik tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pola
ini akan dihafal oleh peserta didik dan mereka hanya meniru guru dalam menyelesaikan masalah matematika, tanpa memahami inti sebenarnya dari
apa yang mereka pelajari. Sehingga pembelajaran tidak berlangsung efektif dan tujuan pembelajaran tidak tercapai.
Dalam pembelajaran dikenal berbagai model pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif, model pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik atau student centered instruction yang artinya peserta didik sebagai pusat kegiatan pembelajaran. Mereka aktif
menemukan, membangun sendiri pengetahuan atau ide-ide mereka, mentransformasikan informasi kompleks dengan kerangka berpikir yang
telah mereka miliki sebelumnya. Guru hanya berperan sebagai fasilitator atau membantu menemukan dan membangun pengetahuan, bukan
memindahkan pengetahuannya ke pikiran peserta didik. Suatu kerangka teoritis dan empirik yang kuat untuk pembelajaran kooperatif
mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil. Partisipasi ini membantu
peserta didik belajar keterampilan sosial yang penting. Secara bersamaan, hal tersebut dapat mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan
berpikir logis. Dalam pembelajaran kooperatif dikenal berbagai tipe, salah satunya
adalah pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together NHT. Sebagai model pembelajaran yang kooperatif dan mudah diterapkan, NHT
melibatkan aktivitas peserta didik tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peserta didik sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur
permainan. Dengan membentuk kelompok-kelompok kecil heterogen terdiri dari bermacam-macam ras, jenis kelamin, dan kemampuan yang
terdiri 3-5 orang. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT memungkinkan peserta didik
dapat belajar dengan rileks dan dapat menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar.
Menurut teori konstruksi Bruner, jika seorang peserta didik ingin mempunyai kemampuan memahami dan menguasai suatu konsep dalam
matematika maka ia harus mengkonstruksi sebuah representasi mengungkapkan kembali suatu gagasan atau ide dari konsep tersebut.
Pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT diharapkan mampu mengaktifkan peserta didik untuk bekerja sama dan tidak ada peserta didik
yang hanya menjadi pendengar saja. Kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi akan memudahkannya dalam menemukan suatu konsep
dan dapat menerapkannya dalam situasi yang sesuai. Melalui model pembelajaran koperatif tipe NHT, peserta didik dapat mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya sehingga akan berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep matematika mereka.
Pembelajaran di SMP Negeri 24 Semarang, khususnya mata pelajaran matematika, masih menggunakan metode pembelajaran
ekspositori. Sehingga tidak ada variasi dalam pembelajaran dan tidak memenuhi standar proses yang telah ditetapkan. Yaitu proses
pembelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti bermaksud melakukan penelitian mengenai “Kefektifan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together terhadap Aspek Pemahaman Konsep Peserta Didik SMP Negeri 24 Semarang pada Materi
Pokok Kubus dan Balok
”.
1.2. Rumusan Masalah