Profil Informan Budaya Kerja dan Kesejahteraan Petani Sawit”(Budaya Kerja Petani Sawit di Desa Bakti Mulya Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi)

30 Tabel 4.6 Komposisi penduduk berdasarkan agama No Agama Jumlah Persentase 1. Islam 1.823 77,83

2. Kristen

304 12,99

3. Katholik

215 9,18 Total 2.342 100 Sumber: Data Kantor Kepala Desa Apabila dilihat dari tabel diatas, maka hampir seluruh penduduk di Desa Bakti Mulya ini memeluk agama Islam yakni hampir mencapai 80 . Kehidupan beragama di Desa ini lebih di warnai oleh nilai-nilai Islami, namun begitu masyarakat di Desa ini cukup memiliki rasa toleransi. Warga Desa yang menganut agama Islam mendiami dusun I, dusun III dan sebagian kecil pada dusun II. Warga Desa yang menganut agama Kristen sebanyak 12,99 dan keseluruhannya mendiami dusun IV . Sedangkan sisanya adalah menganut agama Katholik yang banyak tinggal di dusun II.

4.2. Profil Informan

1. Nama : Jumiran Umur : 47 tahun Lama Tinggal : 29 tahun Luas Lahan : 7 Hektar Bapak Jumiran adalah seorang petani sawit yang cukup ulet, ia menanam sawit dilahan miliknya yang lumayan luas. Tidak hanya bergantung pada hasil panen sawit dari Universitas Sumatera Utara 31 lahan miliknya saja, tetapi ia juga memanfaatkan waktu luangnya dengan melakukan berbagai kegiatan lain, yang dapat menjadi pengahasilan tambahan baginya kelak. Bapak Jumiran bukan asli warga Desa Bakti Mulya, ia lahir dijawa lalu memutuskan untuk merantau ke daerah Jambi dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Bapak Jumiran menjadi penduduk Desa Bakti Mulya pada tahun 1982, ketika ia menikahi seorang gadis asli Desa Bakti Mulya lalu kemudian mereka tinggal di dusun II, Desa Bakti Mulya. Bapak Jumiran dan istri bersuku jawa dikaruniai 4 orang anak, 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. 2 orang anaknya perempuan sudah menikah dan memiliki anak, hal ini dikarenakan umumnya warga Desa Bakti Mulya menikah pada usia muda. Sementara putri bapak Kastari yang masih bungsu saat ini masih Sekolah dibangku SMA. Ketiga orang anak Bapak Kastari telah menamatkan pendidikannya hingga bangku SMEA dan STM. Hal ini cukup baik, karena tidak banyak anak dari tetangganya yang mau menamatkan pendidikannya hingga jenjang SMA. Bapak Kastari menginginkan anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik darinya, tetapi hanya tamatan STM anaknya hanya bekerja sebagai buruh pabrik dan sekarang juga telah berhenti. Sementara dua oarang anak perempuannya telah menikah dan sibuk mengurus keluarganya. Hanya anak perempuannya yang bungsu menjadi harapan terakhir baginya untuk dapat lebih maju. Bapak Jumiran semenjak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya bercocok tanam. Bapak Kastari tidak memiliki pendidikan yang tinggi, ia hanya tamatan Sekolah dasar SD. Ia sangat bergantung pada keahliannya ketika di ladang, yang sudah menjadi mata pencaharian utamanya. Ia memiliki lahan seluas 7 hektar, yang sebagian merupakan sumbangan dari pemerintah di masa transmigrasi dulu pada waktu pemerintahan Soeharto dimana tiap-tiap keluarga mendapatkan 2 hektar lahan sawitdan sisanya adalah lahan yang dibelinya sedikit demi sedikit setelah ia menikah dengan istrinya, dari tabungannya yang dikumpulkan mereka. Bapak Jumiran sejak muda tidak pernah melakukan pekerjaan utama Universitas Sumatera Utara 32 lain selain sebagai petani. Sebenarnya ia ingin sekali merubah nasibnya tetapi karena pendidikan yang dimilikinya, ia tidak memiliki kesempatan untuk bekerja yang lain selain sabagai petani, tetapi walaupun hanya seorang petani sawit kehidupannya sudah cukup sejahtera dan tercukupi. Dahulu ketika masih muda untuk mencari tambahan uang belanja dan biaya Sekolah anaknya, Pak Jumiran masih sering menjadi tukang panen di lahan milik orang lain dan istrinya membantu dengan berjualan bakso. Namun karena usianya tidak muda lagi, sekarang ia hanya memilih menjadi petani sabagai pekerjaan utamanya. Bapak Jumiran memiliki ladang sendiri seluas 7 hektar tetapi tempatnya berbeda- beda. Dalam menanam sawit di ladanganya ia dibantu oleh anak laki-lakinya, sementara istrinya sudah tidak dapat lagi membantunya di ladang. Tetapi ketika ia dan anaknya sudah keletihan atau sedang ada kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan, biasanya ia menyuruh orang lain untuk memanen sawitnya dengan upah Rp. 60.000 per ton, sementara untuk mendapatkan hasil penen yang baik ia memupuk lahan sawitnya setiap 6 bulan sekali. Untuk perawatan selanjutnya seperti menerbasi rumput dan membersihkan pelepah sawit yang berlebihan, dikerjakannya berdua dengan anak laki-lakinya. Bapak Kastari menghabiskan waktunya untuk bekerja di ladang selama 7 jam perharinya, ia berangkat pada pukul 07.00 sd 17.00 untuk makan siangnya ia sudah membawa bekalnya dari rumah karena melihat jarak dari ladang ke rumahnya cukup jauh. Sementara hari minggu dihabiskannya untuk beristirahat dirumah dan berkumpul dengan keluarganya. Dengan kemampuan utamanya hanya bercocok tanam, terkadang kalau hasil panen sawitnya mengalami trek atau hasilnya sedikit membuat ia dan istrinya harus sepintar mungkin untuk menghemat pengeluaran kebutuhan rumah tangganya. Apalagi di saat musim kemarau tiba biasanya hasil penen yang didapat mengalami penurunan yang cukup besar sehingga membuat para petani sawit kesulitan untuk membeli pupuk dan melakukan pemupukan karena tidak adanya hujan untuk membantu proses pemupukan. Universitas Sumatera Utara 33 “Habis mau dibilang apalagi, kalau hasil penen mengalami trek terpaksa kami harus menghemat pengeluaran dan terkadang berhutang dulu untuk membeli pupuk dan membayarnya saat penen sudah kembali normal, belum lagi sering ada kebutuhan mendadak seperti harus memberi sumbangan untuk hajatan, untuk berobat dan macam-macam lagi”. Wawancara 16 Februari 2014. Menurut Bapak Jumiran menanam sawit menguntungkan karena harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan menanam yang lainnya apalagi disaat harga sawit naik yang biasanya mencapai Rp.1.600 per kg, tetapi menurut beliau hal ini seimbang dengan modal yang dikeluarkan oleh Bapak Kastari untuk menanam sawit. Modal untuk menanam sawit sebenarnya cukup tinggi, selain harus mengeluarkan modal untuk membeli bibit yang bagus, tanaman sawit juga membutuhkan perawatan yang lebih seperti harus dipupuk setiap 6 bulan sekali dan membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk membeli pupuk dan disemprot dengan anti hama. “Untuk nanam sawit, modal awalnya besar bisa sampai puluhan juta apalagi untuk beli lahannya, itu belum memperhitungkan tenaga kami yang keluar”. Wawancara Februari 2014. Menurutnya menanam sawit relatif sulit dan harus mengeluarkan modal besar, belum lagi resikonya yang cukup tinggi jika bibit sawit yang baru ditanam dirusak oleh babi hutan, karena jarak ladang dari rumah jauh jadi tidak mungkin dapat mengontrolnya setiap saat. Dalam menanam sawit ia mendapatkan bibit dengan membeli dari PTP N 6 karena bibit-bibit dari situ merupakan bibit unggul yang sudah terjamin kualitasnya, petani-petani sawit lainnya juga membeli bibit sawit dari tempat yang sama. Untuk pemupukan ia menggunakan pupuk alami dari ampas dan pelepah sawit yang telah busuk dan menggunakan pupuk kimia seperti Urea NPK, TSP dan pupuk warna dengan perbandingan 5:1. Tanaman ini juga memerlukan Universitas Sumatera Utara 34 penyemprotan pestisida beberapa kali, kerena itu menggolongkannya sebagai tanaman yang cukup sulit dalam perawatannya. Panen sawit biasanya ketika sawit sudah berumur sekitar 5 tahun semenjak ditanam dilahan itu pun buahnya masih kecil-kecil biasanya petani sawit menyebutnya buah pasir dan terkadang buah yang masih kecil-kecil itu harus diberondoli karena takut apabila dijual ke toke tidak laku apabila dalam keadaan utuh. Berbagai tantangan dalam menjalani pekerjaannya sebagai petani sawit pernah dialaminya, ketika panen yang didapatkannya tidak sesuai. Menurutnya itu merupakan masa yang cukup sulit, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari ia harus kasbon ke kedai kerana uang yang didapatkan dari hasil panen tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Ia juga mengeluhkan seringkali kesulitan mencari pupuk, kalaupun ada ada harganya cukup mahal. Bantuan dari dinas pertanian sebenarnya juga ada yang diberikan kepada kelompok tani untuk disalurkan bagi anggotanya, dan itu biasanya berupa pupuk subsidi tetapi menurutnya bantuan pupuk subsidi tersebut tidak selalu ada, dan jumlahnya juga terbatas biasanya hanya 3 goni. Bu Jumiran dan suami memiliki cita-cita bisa menyekolahkan anak bungsunya ini hingga kuliah, karena mereka ingin melihat salah satu anaknya memiliki pendidikan yang tinggi dengan harapan kelak dapat menjadi orang yang sukses dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari mereka. Maka itu sekarang ini mereka berusaha untuk lebih berhemat pengeluaran, demi keinginan mereka untuk menyekolahkan anak bungsu mereka hingga sarjana. Mereka juga berharap pada tanaman sawit yang mereka miliki dapat mewujudkan keinginan mereka. Universitas Sumatera Utara 35 2. Nama : Jalaludin Usia : 43 tahun Lama Tinggal : 25 tahun Status : menikah Luas Lahan : 4 hektar Bapak Jalaludin merupakan warga pendatang yang melakukan transmigrasi ke daerah Jambi dan menetap di desa Bakti Mulya sejak tahun 1989, ia adalah suku jawa. Bapak Jalaludin menikah tahun 1996 dan beristrikan warga asli desa Bakti Mulya. Ia di karunia dua orang anak, yang pertama adalah laki-laki berusia 14 tahun dan masih duduk dikelas 2 SMP, dan anak bungsunya perempuan masih berusia 6 tahun. Bapak Jalaludin sudah sejak kecil diajarkan orang tuanya untuk bertani. Bertani merupakan kemampuan yang dikuasinya, sehingga menjadi mata pencaharian utamanya. Bapak Jalaludin tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani ataupun berusaha mencoba pekerjaan yang lain, buatnya petani merupakan pilihan utama pekerjaan untuknya kerena ia sadar pendidikannya tidaklah tinggi dan bertani merupakan keahlian yang dimilikinya untuk mencari nafkah. Kerena hanya bertani sawit kemampuannya, maka bapak Jalaludin berusaha maksimal untuk melakukan pekerjaannya, ia menginginkan anaknya memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari pada yang hanya tamat SMP dan istrinya yang tamatan SMA. Bapak Jalaludin mengolah tanah yang di dapat dari pemerintah pada waktu program transmigrasi dulu pada masa pemerintahan Soeharto dan sebagian lagi ia hanya membeli tanah dan menanam sendiri bibit kelapa sawitnya. Bapak Jalaludin sudah 20 tahun menjadi petani sawit, ia memilih pekerjaan sebagai petani sawit karena melihat kondisi tanah dan cuaca di daereh Jambi cocok untuk kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik,dan alasan lain Universitas Sumatera Utara 36 kerena ia berpikir bahwa dengan berkebun kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi lahan yang dimiliki bapak Jalaludin sampai saat ini tidak mengalami penyusutan karena ia tidak ada sedikit pun untuk menjual lahan sawit miliknya,malah ia berkeinginan untuk membeli beberapa hektar tanah lagi dan di tanam bibit sawit yang baru. Bapak Jalaludin mengatakan ia senang selama menjadi petani sawit, karena dari bertani kelapa sawit ia dapat menghidupi keluarganya dan dapat menyekolahkan ke dua anaknya, sebenarnya lahan sawit yang ia miliki untuk saat ini sudah cukup kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar uang sekolah anaknya, kerena saat ini anaknya masih duduk dibangku SMP dan anaknya paling bungsu baru akan masuk SD, jadi menurutnya untuk saat ini beban hidupnya belum terlalu berat. Bapak jalaludin pergi ke ladang hampir setiap hari, ia biasanya berangkat dari rumah pukul 09.00 Wib dan pulang ke rumah sekitar pukul 17.00 Wib. Setiap hari ia membersihkan rumput-rumput yang berada di sekeliling batang kelapa sawitnya kerena hama rumput tersebut dapat menyerap makanan dari sawit tersebut, dan ia melakukan penyemprotan apabila rumput-rumput sudah mulai tinggi dan agak sulit untuk membunuh sampai ke akarnya bila hanya di terbas dengan menggunakan parangarit. Biasanyac pada saat anak pak Jalaludin yang SMP sedang libur ia mengajak anaknya ke ladang umtuk membantunya membersihkan lahan sawitnya, karena melihat umur anaknya yang masih kecil ia hanya menyuruh anaknya untuk mencabuti rumput yang tumbuh disekitar batang kelapa sawitnya. Untuk menjaga tanaman sawit yang baru ia tanami, ia menggunakan pelepah sawit yang disusun rapi di sekeliling batang sawit tersebut agar bibit yang baru tanam tidak dirusak oleh binatang-binatang liar, seperti babi hutan. Setelah selesai di tanam selanjutnya ia menyiram bibit sawit yang baru tanam dengan air agar bibit tersebut dapat tumbuh dengan baik. Biasanya dalam menanam bibit baru di ladang milik nya ia meminta bantuan orang lain dan ia membayarnya sebesar Rp. 50.000 per harinya. Untuk pekerjaan menanami bibit sawit Universitas Sumatera Utara 37 diladangnya ini, terkadang ia dibantu oleh istri dan anak laki-lakinya. Hal ini dilakukannya agar lebih mengirit pengeluarannya, dari pada ia harus mengeluarkan biaya ekstra jika harus mengupah lebih banyak orang lain untuk menanam di ladangnya dan juga waktu yang lebih efesien dalam mengerjakannya. Untuk pekerjaan lainnya seperti memberikan pupuk dilakukannya bersama dengan anaknya. Jika semua pekerjaan tersebut sudah selesai, maka sudah tidak banyak lagi yang dapat dilakukan diladang sawitnya tersebut. Pekerjaan selanjutnya hanya merumputi ladangnya atau membersihkan rumput atau gulma yang menganggu tanaman sawitnya, dan itu hanya dilakukan satu atau dua kali saja. Setelah itu Bapak Jalaludin hanya mengawasi tanaman padinya saja agar tidak diganggu oleh babi hutan. Setelah selesai menanam sawit tidak banyak lagi pekerjaan yang dapat dilakukan di ladang sawit yang baru ditanamnya tersebut, tugasnya hanya sesekali mengawasi sawit yang sudah ditanaminya hingga sekitar 4-5 tahun sawit tersebut mulai berbuah tetapi buahnya masih kecil-kecil atau biasa disebut buah pasir. Tidak terlalu banyaknya pekerjaan yang dilakukannya ketika ia selesai menanam sawitnya membuatnya mencari kegiatan lain. Hal itulah yang menjadi salah satu faktornya ia membuat kolam ikan dibelakang rumahnya dan ia memelihara ikan lele dan nila. Bagi pak Jalaludin bertani itu bukan hanya sekedar bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga saja, tetapi sebagai bentuk hobi dan kegiatan dirinya. Memang jika dilihat dari latar belakang keadaan keluarganya, ia tidak perlu ngoyo dalam bekerja diladang. Tetapi bertani baginya adalah bentuk aktualisasi dirinya, walaupun tidak dapat dipungkiri hasil yang didapatkannya dari bertani sawit digunakannnya untuk mencukupi keluarganya. Bertani merupakan keahlian yang dikuasainya, maka ketika pekerjaannya di ladang sawit sudah tidak terlalu banyak, maka ia pun mancari pekerjaan lain sebagai kegiatan bagi dirinya agar tidak terlalu banyak waktu yang terbuang. Kegiatan yang dilakukannya diluar menanami sawit adalah beternak ikan. Dan ketika ada hasil yang didapatkannya dari hal tersebut, itu merupakan nilai tembah baginya. Universitas Sumatera Utara 38 “sebenarnya jika dibandingkan dengan petani sawit lain yang banyak anaknya, wajar mereka berusaha keras kerena hasil dari ladang yang hanya 1 atau 2 hektar tidak cukup untuk keluarga mereka. Tetapi saya ini tidak mau egois walaupun jika hemat pengeluaran bisa dicukup-cukupi. Kemampuan saya bertani, ya bertani lah yang saya kerjakan, karena ini semuanya untuk masa depan keluarga agar bisa Sekolah tinggi nantinya.” Wawancara Februari 2014. Pada sebagian lahannya yang sudah menghasilkan buah atau usia produktif biasanya Pak Jalaludin melakukan pemanenan 2 minggu sekali dan ia memanen sendiri hasil dari ladangnya, dan biasanya ia meminta bantuan orang lain untuk membantunya mengangkati buah sawitnya dengan menggunakan ledoksorong untuk di bawa ke TPH. Pak Jalaludin biasanya mengupah pekerjanya dengan bayaran Rp.70.000 ton nya. Terkadang apabila anak laki-lakinya sedang libur sekolah biasanya ia mengajak anaknya untuk membantunya mengumpulkan brondalan, sayang jika brondolan nya tidak dikumpulkan, karena lumayan untuk menambahi hasilnya. Hasil penen yang didapat biasanya langsung dijual kepada tauke sawit, setelah selesai memanen Pyuak Jalaludin langsung menelepon tauke yang biasa di penggil tauke Juntak, ia sudah biasa menjual hasil penennya kepada tauke tersebut karena cuman itu satu-satunya tauke sawit yang biasanya membeli sawit para petani sawit yang di Desa Bakti Mulya. “ Biasanya saya manen sawit setiap 2 minggu sekali, dan saya menjual hasil penen ke tauke marga Simanjuntak, saya menjual ke dia kerena kalau saya siap manen ia langsung saya telepon dan langsung cepat datang jadi saya tidak menunggu lama, dan harga yang dia kasih pun lebih tinggi di bandingkan tauke sawit yang lain, jadi saya senang menjual hasil panen saya ke tauke Juntak”. Wawancara Februari 2014 Universitas Sumatera Utara 39 Pengeluaran keluarga kecilnya cukup banyak untuk uang belanja, uang jajan anak- anak, disan lainnya, per harinya mencapai Rp.40.000, itu belum termasuk membayar uang listrik, uang wirid dan uang SPP anak tiap bulannya, serta pengeluaran tak terduga lainnya. Dalam setiap bulannya jika ia dan istrinya mengakalkulasi pengeluarannya, bisa mencapai Rp.1.500.000. Upaya penghematan pengeluaran cukup sering ia lakukan dan istrinya, hanya saja terkadang pengeluaran yang tidak direncanakan membuat pengeluarannya semakin banyak apalagi disaat buah mengalami trek atau hasil nya menurun drastis, seperti misalnya dalam sebulannya ia mendapatkan undangan pesta minimal 4 kali dan itu wajib untuk dihadiri mereka. Terkadang karena kebutuhan yang banyak dan serba mahal membuat istrinya harus dapat mengatasinya dan berusaha menghemat pengeluaran, seperti berhemat- hemat ketika belanja disaat buah sawit mengalami trek. Bapak Jalaludin sangat betah tinggal di desa ini, bukan saja karena mata pencaharian dari kelapa sawit yang cukup besar, tetapi kekeluargaan di Desa ini masih terjaga membuat mereka nyaman selain karena memang lokasi ladang yang mereka tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Kekeluargaan di Desa ini masih cukup baik melalui arisan-arisan STM dan perwiridan, sehingga mereka cukup mengenal warga lain yang juga tinggal di Desa ini. Selain itu melalui kebiasaan rewangan pada warga yang akan memiliki hajatan atau pesta, sertta beramai-ramai membantu membangun pondasi rumah warga yang akan membamgun rumah, menurutnya hal tersebut membuat budaya gotong royong masih cukup terlaksana dengan baik dan hal ini belum tentu dapat ditemuinya di kota. Universitas Sumatera Utara 40 3. Nama : Sahpudin Usia : 41 Tahun Lama Tinggal : 10 tahun Status : Menikah Luas Lahan : 2 hektar Bapak Sahpudin lahir dan besar di Simpang Kawat Kabupaten Tanjung Jabung Jambi, ia tinggal di Desa Bakti Mulya semenjak 10 tahun yang lalu, tepatnya sejak ia menikahi seorang gadis dari desa daerah Kota Baru Jambi. Ia tinggal di Desa ini bersama istrinya semenjak menikah, dan mereka tinggal dirumah peninggalan orang tuanya. Pak Pudin memiliki dua orang anak perempuan dari pernikahannya, yang pertama berusia 6,5 tahun bersekolah di SDN 173 Muaro Jambi dan duduk di kelas 1, anak yang kedua masih berusia 3,5 tahun. Pak Pudin bekerja sebagai petani semenjak ia kecil. Semenjak kecil ia telah membantu orang tuanya diladang, tetai pada saat itu orang tuanya memiliki ladang karet, hal ini karena ia adalah anak laki-laki maka orang tuanya mewajibkannya untuk membantu diladang sehabis pulang Sekolah. Kerena semenjak kecil telah diajarkan untuk bekerja diladang, membuatnya tidak mau untuk melanjutkan Sekolah ke tingkat yang labih tinggi. Ia hanya menamatkan Sekolah hingga tingkat SMP saja, dan ketika diminta orang tuanya untuk melanjutkan hingga ke tingkat SMA ia menolaknya. Saat itu ia berpikir jika ia sudah mampu bekerja dan menghasilkan uang sendiri, maka ia tidak perlu lagi melanjutkan Sekolah, dan selanjutnya ia bekerja diladang milik orang tuanya. Keputusan Pak Pudin ketika temaja untuk tidak malanjutkan Sekolah hingga ke tingkat SMA membuatnya menyesal saat ini. Saat itu dia beranggapan apabila sudah bekerja dan mencari uang, itu sudah cukup baginya. Keterbatasan kemampuan dan pendidikan, membuatnya sulit mencari pekerjaan lain yang labih baik dan gajinya tetap, tidak seperti Universitas Sumatera Utara 41 petani sawit yang penghasilan nya tidak menentu. Saat masih lajang ia pernah bekerja dikota sebagai pekerja bangunan, tetai dengan gaji yang kecil dan resiko cukup besar membuatnya meninggalkan pekerjaan tersebut. Belum lagi biaya hidup di kota yang ternyata lebih mahal daripada di Desa, membuat keputusannya semakin bulat untuk pergi ke desa dan memilih pekerjaannya sebagai petani sawit. Setelah memutuskan tinggal di Desa Bakti Mulya ia bekerja diladang sebagai petani sawit. Setelah ia menikah dan tinggal di desa Bakti Mulya, ia pun membeli lahan sawit sebanyak 2 hektar. Saat ia telah menikah, maka ia tidak hanya memikirkan kebutuhannya seorang tetapi sudah ada tanggungan bagi dirinya yaitu istrinya dan anaknya setelah mereka dikaruniai anak. Sawit yang dimiliki Pak Pudin lokasinya kurang bagus karena lahan nya yang tidak rata dan agak sedikit berbukit, kerena ia merupakan warga pendatang yang belum lama tinggal di desa tersebut, jadi pada saat memanen pun ia sulit untuk mengangakagigitinya menggunakan ledok kerena kondisi tanah yang tidak rata. Pada saat hujan turun deras lahan sawit yang dimiliki Pak Pudin mengalami banjir karena lokasinya juga yang berdekatan dengan sungai jadi pada saat musim hujan dan pada saat waktu memanen ia kesulitan untuk mengambil buahnya karena kondisi lahan yang banjir. Kondisi ini terkadang membuat Pak Pudin ingin menjual lahan sawit miliknya dan menggantinya dengan membeli lahan sawit yang lokasinya bagus, akan tetapi karena sulitnya saat ini untuk mencari lahan sawit yang mau dijual terkecuali ia harus membeli tanah yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan membuka lahan sawit di lokasi tersebut. “ginilah sawit yang kami punya dek, ngga bagus tempatnya, kadang aku nih malas nian nengok sawit ini, mau manen pun kadang susah karena bukit-bukit nih, cepat kali capeknya kalau ngeledokinya ke TPH, apalagi kalo udah musim hujan, banjir lah semua, menen nya pun makin susah lah, apalagi nak ngutipi brondolannya, dibiarkanlah terbuang Universitas Sumatera Utara 42 gitu aja karena banjir. Kami nak jual ladang nih, mau beli yang lain, tapi susah nian nyari sawit sekarang orang nak jual, kalo mau beli tanah pun harus jauh lah ke pedalaman sano. Wawancara Februari 2014 Istri dari Pak Pudin memang tidak banyak membantu pekerjaannya di ladang kerena ia memang tidak terbiasa untuk bekerja di ladang, hanya sesekali membantu menerbas rumput di ladangnya. Tetapi istri Pak Pudin juga ikut membantu suaminya dalam mencari nafkah, memang tidak banyak pendapatannya tetapi cukup membantu untuk menambah uang belanja ataupun untuk jajan anaknya. Di pekarang rumahnya istri Pak Pudin berjualan bensin eceran, dalam seharinya ia mampu menjual minimal 15 liter bensin dengan untung per liternya sebanyak Rp.500. Selain itu ia sesekali membantu warga yang membutuhkan bantuannya untuk membantu-bantu dirumahnya, seperti:mencuci, menyetrika ataupun pekerjaan rumah tangga lainnya. Pak Pudin sangat menikmati pekerjaannya sebagai petani sawit yang merupakan keahliannya dan juga ia tidak perlu bekerja pada orang lain ataupun diperintah oleh orang lain. Di saat panen Pak Pudin juga sering membantu petani sawit lain yang memiliki lahan sawit yang luas sebagai tukang panen itu ia lakukan disela kesibukannya mengurus ladangnya sendiri. Biasanya pekerjaan yang dilakukannya adalah memanen sawit dan mengangakati sawit yang telah dipenen dengan upah Rp.70.000 per tonnya. Terkadang ia pun disuruh untuk membantu menunasmemotong pelepah sawit yang tumbuh berlebihan di batangnya agar sawit tersebut buahnya pada saat panen bagus. Meskipun begitu ia tidak menginginkan anaknya mengikuti jejaknya menjadi petani seperti dirinya apalagi lahan yang dimilikinya tidaklah luas, pendapatannya pun terkadang pas-pasan saja apalagi disaat hasil nya tidak banyak dan harga sawit menurun. Jika boleh bermimpi, pak Pudin ingin sekali anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Memiliki pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang jauh lebih baik agar kehidupan yang labih baik lagi. Memiliki pendidikan yang tinggi, Universitas Sumatera Utara 43 pekerjaan yang jauh lebih baik agarb kehidupan anak-anaknya kelak lebih sejahtera. Tetapi sekarang anaknya masih kecil-kecil, masih banyak hal yang harus dilakukan oleh Pak Pudin untuk mewujudkan keinginannya. Saat ini tugas dari Pak Pudin dan istrinya adalah mendidik anaknya dengan budi pekerti yang baik, berusaha memberikan pendidikan formal yang cukup agar kelak mereka dapat hidup lebih baik daripada kedua orang tuanya. Tinggal di Desa Bakti Mulya menurutnya tidak jauh berbeda daripada Desa tempat kelahirannya di Simpang Kawat, hanya saja di tempat ia lahir bertani karet. Kehidupan masyarakatnya sebagian besar bergantung pada pertanian kelapa sawit, dengan tingkat kekerabatan yang cukup erat kerena budaya orang di Desa yang tingkat kepeduliannyabmasih tinggi. Diwadahi oleh STM perwiridan sehingga antar warga Desa saling mengenal dengan baik dan yang lainnya ataupun kebiasaaan saling membantu antar warga yang membuat budaya gotong royong masih terlaksana. 4. Nama : Pak Suwandi Usia : 49 tahun Lama Tinggal : sejak Lahir Status : menikah Luas Lahan : 4 hektar Pak Suwandi lahir di Desa Bakti Mulya pada tahun 1968 dan dibesarkan di Desa tersebut. Ia dan ibu Ngatilah merupakan warga asli Desa Bakti Mulya. Dari pernikahannya mereka dikaruniai oleh 4 orang anak yang keempatnya merupakan anak laki-laki. Anak pertama mereka Ngatilah 23 tahun, sekarang anak pertamanya membantunya di ladang. Anak pertamanya hanya bersekolah hingga tamat SMA saja, saat diminta untuk untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi ia tidak bersedia. Anak kedua Pak Suwandi berusia 16 Tahun dan saat Universitas Sumatera Utara 44 ini masih duduk di bangku SMA kelas 2. Anak ketiganya saat ini masih SMP dan anak bungsunya masih kelas 1 SD. Pak Suwandi bersama keluarganya tinggal dirumahnya sendiri yang merupakan pemberian dari mertuanya. Awalnya rumahnya merupakan semi permanen, tetapi sedikit demi sedikit ia mampu membangun rumahnya maskipun tidak terlalu besar. Mereka memiliki ladang seluas 4 hektar, sebagian merupakan pemberian pemerintah di masa pemerintahan Suharto dulu. Dahulu mereka hanya memiliki ladang seluas 2 hektar, sehingga untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka agak sulit kerena melihat harga sawit dulu tidak semahal sekarang. Pada masa itu ibu Ngatilah juga sering membantu Bapak di ladang, ketika sawit mereka sudah mulai menghasilkanberbuah ia membantu untuk mengutipi brondolan yang berserakan. Pak Suwandi memiliki anak laki-laki, ketika itu anaknya yang bungsu belum lahir dan anak ketiga Pak Kasiman masih balita. Kedua orang anak laki-laki nya juga terkadang diajak Pak Kasiman ke ladang untuk membantunya sehingga pekerjaan mereka menjadi labih ringan. Pada tahun 2000 akhir ibu Ngatilah pernah bekerja menjadi TKW di Malaysia. Selama 2 tahun ia mengadu nasib disana untuk mengumpulkan uang. Gaji ibu Ngatilah dikumpulkannya untuk memperbaiki kehidupannya atau menjadi modalnya ketika ia pulang ke kampung halamannya. Saat ibu Ngatilah bekerja di Malaysia, Pak Suwandilah yang bertugas diladang dan tetap mengawasi anak-anaknya. Anak sulung pak Suwandi bertugas untuk menjaga adik-adiknya serta membantu bapaknya bekerja di ladang. Sebenarnya ibu Nagatilah tidak ingin meninggalkan keluarganya, tetapi ia tidak punya pilihan selain untuk mencari pengalaman ia juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. Setelah pulang bekerja di di Malaysia ia sangat bersyukur, dari gaji yang dikumpulkan ia mampu membeli lahan tanah seluas 2 hektar dan kemudian ditanam dengan sawit sehingga dapat menopang kehidupan keluarganya agar lebih baik lagi. Universitas Sumatera Utara 45 Setelah kepulangannya dari bekerja di Malaysia, Ibu Ngatilah dan suami kembali bekerja di ladang mengurusi lahan sawit mereka. Setelah ia pulang bekerja di Malaysia ia berhasil membeli ladang seluas 2 hektar, Pa hanya bekerja di ladang sawitnya milik sendiri, dan Pak Suwandi tidak lagi bekerja upahan di ladang milik orang lain. Setahun sebelumnya Ibu Ngatilah baru saja memulai berjualan makanan-makanan ringan dan menjual minyak bensin eceran di halaman rumahnya, keuntungan yang didapatkan olehnya cukup untuk menambah penghasilannya. Sehingga Pak Suwandi sudah mulai tidak sehat, sang istri memutuskan agar suaminya tidak terlalu kelelahan bekerja diladang. Saat itu Pak Kasiman hanya mengerjakan ladang miliknya dibantu oleh anak pertamannya serta anak ketiganya jika ia telah pulang sekolah atau pada saat libur. Membuka kios kecil dan menjual bensin eceran di rumahnya dilakukan Ibu Ngatilah untuk menambah penghasilannya sebagai ibu tangga, sekaligus membantu suaminya. Bekerja di ladang buat Ibu Ngatilah tidak ada masalah, tetapi jika harus terus menerus bekerja di ladang tentunya ia sudah tidak seperti saat ia muda. Dengan pendapatan dari berladang yang tidak setiap hari dan juga penghasilan yang didapatkan bergantung dari banyak atau tidaknya panen saat itu dan harga sawit yang naik turun, membuat Ibu Ngatilah mencoba mencari cara yang lain untuk menambah penghasilannya. Membuka kios kecil dan menjual bensin eceran untuk Ibu Ngatilah juga dilakukannya untuk mengisi kegiatannya dirumah agar tidak terlalu banyak waktu terbuang, karena ladangnya telah dikerjakan oleh suami dan anaknya sehingga Ibu Ngatilah tidak lagi banyak kesibukan selain memasak dirumah. Dari kegiatannya berjualan makanan-makanan ringan dan bensin eceran untuk mengisi waktu luangnya sebagai ibu rumah tangga, ternyata hasilnya cukup lumayan untuk menambah uang belanja. Pendapatan bersih ibu Ngatilah per harinya dapat mencapai Rp.100.000. Suami Ibu Ngatilah baru saja memanen sawitnya di ladang, dan hasil yang didapat biasanya mencapai 4-5 ton dan bila di jual ke tauke mereka mendapat hasil Rp.5.000.000- Universitas Sumatera Utara 46 Rp.6.000.000 tetapi jika sawit mengalami trek atau penyusutan hasil, biasanya hasil yang di dapat hanya 2 atau 3 ton dan jika harga sawit sedang turun mereka hanya menerima Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 sekali panen. 5. Nama : Pak Rusik Usia : 56 tahun Lama Tinggal :44 tahun Status : Menikah Luas Lahan : 5 hektar Bapak Rusik tinggal di Desa Bakti Mulya sejak usia 12 tahun atau tepatnya semenjak ia menyelesaikan pendidikan dasarnya hanya sampai tingkat SMP saja, setelah itu ia tidak lagi melanjutkan Sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena ketiadaan biaya. Bapak Rusik menikahi seorang gadis asal Sarolangun bernama Samsiah pada tahun 1980, saat itu ia berusia 25 tahun. Pada pernikahannya tersebut Bapak Rusik dan Ibu Samsiah dikaruniai 4 orang anak, seorang anak perempuan dan 3 orang anak laki-laki. 2 orang lagi masih Sekolah masing-masing SMA dan SD. Anak kedua Bapak Rusik adalah seorang putri, telah menikah dan tinggal berbeda dengan Bapak Rusik. Bapak Rusik bekerja sebagai seorang petani sawit, karena memang itu adalah keahliannya yang semenjak kecil sudah dikuasai olehnya, kerena sering membantu orang tuanya di ladang. Bapak Rusik memiliki lahan seluas lebih kurang 5 hektar yang sebagian pemberian pemerintah di masa program Transmigrasi pada pemerintahan Suharto dulu. Pada ladangnya sendiri ia menanaminya dengan kelapa sawit, yang beberapa hari lalu baru saja tselesai di panennya. Pada panennya kali ini sawit yang dihasilkan tidak sebanyak panen sebelumnya karena musim yang tidak menentu, seperti seringnya kemarau yang membuat hal tersebut berpengaruh pada tanaman sawitnya. Menurut Bapak Rusik jika biasanya dari 2 Universitas Sumatera Utara 47 hektar sawitnya mampu dipanennya sebanyak 2-3 ton sekali panen, jika musim kemarau dan buah mengalami trek hasilnya tidak sebanyak itu. Hasil panen yang didapatkan merupakan harapan kelangsungan hidup Bapak Rusik. Meskipun demikian ia sangat menyadari hasil panen dari ladang sawitnya apabila mengalami trek terpaksa keluarga Bapak Rusik harus menghemat pengeluaran rumah tangganya. Biasanya Bapak Rusik pergi ke ladang sekitar pukul 10.00 Wib untuk membersihkan dan melihat keadaan lahan miliknya, tetapi ini ia lakukan tidak setiap hari dalam seminggu biasanya Pak Rusik ke ladang sebanyak 3 atau 4 kali. Apabila ke ladang biasanya Pak Rusik membawa parang panjang dan egrekdodos untuk memotongmenunas pelepah sawit yang tumbuh berlebihan di sekitar pokok kelapa sawit dan menerbas rumput-rumput dan pohon yang tumbuh secara liar di sekitar lahan sawit miliknya. Untuk makan siang biasanya Pak Rusik membawa bekal dari rumah agar tidak repot untuk pulang ke rumah dulu. Setelah selesai melakukan pekerjaannya di ladangnya Pak Rusik pulang ke rumah sekitar pukul 17.00 Wib, pekerjaan ini menurut ia bukan merupakan beban atau pekerjaan yang sulit karena selain untuk mencari nafkah pekerjaan bertani juga merupakan kegiatan untuk membuang suntuk atau rasa bosan jika hanya diam di rumah saja. Sebenarnya Pak Rusik bisa saja mempekerjakan orang lain untuk mengurus ladang miliknya seperti yang dilakukan beberapa petani sawit lainnya, tetapi karena bertani merupakan hobi baginya jadi lebih baik ia melakukannya sendiri. Bertani merupakan pekerjaaan utamanya, karena hal tersebut adalah keahlian Bapak Rusik dan juga hobinya. Semenjak kecil ia diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk bekerja diladang, hal ini juga diterapkan oleh Pak Rusik kepada anak laki-lakinya, semenjak kecil ketiga anak laki-lakinya turut membantu Pak Rusik bekerja diladang. Bahkan jika ada warga yang meminta ia untuk membantu memanen sawit Pak Rusik mau untuk melakukannya sementara jika Pak Rusik sedang berhalangan, pekerjaan tersebut akan digantikan anak Universitas Sumatera Utara 48 sulungnya tetapi anaknya hanya membantu mengangkatimeledoki ke TPH. Pak Rusik menerapkan hal tersebut agar ketiga anak laki-laki Pak Rusik terbiasa mandiri dan mau bekerja, serta anak-anaknya mampu menghargai jerih payah yang sudah dilakukan oleh orang tua nya. Istri Pak Rusik tidak banyak membantu di ladang, karena ia tidak terbiasa bekerja di ladang sehingga ia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga saja. Bekerja bagi Bapak Rusik bukan saja sebagai jalan untuk mencari nafkah bagi keluarganya, tetapi juga aktivitas utamanya sebagai perwujudan aktualisasi diri baginya. Bapak Rusik bukanlah orang yang dapat berdiam diri saja dirumah, meskipun pekerjaannya diladang selesai. Sehingga untuk mengisi waktu luangnya ia sering kali membantu warga lain yang membutuhkan bantuannya. Bapak Rusik tidak mematok harga apabila ia membantu memanen sawit milik warga lain tetapi biasanya ia dibayar Rp.60.000 per tonnya kerena ini ia lakukan sebagai kegiatan di waktu senggangnya saja. Universitas Sumatera Utara 49 6. Nama : Ilham Usia : 39 tahun Lama Tinggal : Sejak Lahir Status : menikah Luas Lahan : 2 hektar Bang Ilham merupakan warga asli Desa Bakti Mulya, karena ia lahir dan dibesarkan di Desa tersebut. Pada 15 tahun yang lalu Bang Ilham menikah dengan seorang gadis yang juga berasal dari Desa tersebut bernama Raihanun. Dari pernikahannya, Bang Ilham memiliki 2 orang anak dan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pertama Bang Ilham bersekolah di kelas 2 Mts, Anak kedua Bang Ilham duduk di bangku kelas 5 SD dan anak perempuan bungsunya masih Sekolah di TK. Bang Ilham dan Kak Raihanun menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada kedua orang tuanya yang hanya tamat SMP dan SMA. Bang Ilham memilih mata pencaharian sebagai petani sawit, dari 2 hektar ladang miliknya yang tidak terlalu luas ia menanaminya dengan kelapa sawit. Dari 2 hektar lahan sawit miliknya ia mendapatkan hasil panen sebanyak 1,5-2 ton. Bang Ilham menyadari jika hanya bergantung pada ladang miliknya, hasil yang diperoleh tidak akan mencukupi Bang Ilham untuk kebutuhan keluarganya. Maka ia juga membantu warga lain yang ingin memanen lahan sawitnya, dan hasilnya lumayan untuk menambahi penghasilannya sebagai kepala keluarga. Ia biasanya memanen sawit warga lain dalam sehari ia bisa memanen 4-6 hektar dan penghasilan yang di dapat tiap tonnya sebanyak Rp.60.000, dan biasanya Bang Ilham mendapatkan 5 ton jika dikali Rp.60.000 maka ia mendapatkan Rp.300.000 dalam seharinya, namun terkadang jika Bang Ilham tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dalam Universitas Sumatera Utara 50 sehari karena melihat waktu yang sudah terlalu sore ia melanjutkan pekerjaannya keesokan harinya. Bang Ilham bekerja di ladangnya dengan dibantu oleh istri dan anak pertamanya, sebab jika harus mengupah orang lain untuk bekerja di ladangnya, maka ia akan kesulitan untuk membayarnya. Belum lagi ketika sawit mengalami trekpenyusutan hasil panen dan belum lagi pada waktu ia harus mengeluarkan modal untuk membeli pupuk, racun untuk rumput, dan sebagainya. Hal yang cukup memberatkan bagi Bang Ilham adalah ketika pupuk yang akan digunakan sulit dicari, jika kondisinya sudah seperti itu harga pupuk akan semakin tinggi. Bantuan dari pemerintah jarang didapatkan oleh Bang Ilham sebagai petani, baik itu berupa pupuk ataupun penyuluhan dari dinas pertanian setempat. Jikalau ada biasanya bantuan yang diberikan juga sangat terbatas dan disalurkan melalui kelompok tani yang ada. Untuk mengehemat pengeluaran sekaligus juga agar anaknya terbiasa untuk bekerja, ia mewajibkan anak laki-lakinya untuk membantunya di ladang ketika telah pulang dari sekolah. Raihanun juga turut membantu Bang Ilham di ladang, ketika seluruh tugas rumah tangganya sudah selesai dikerjakan ia akan ikut membantu Bang Ilham di ladang jika pekerjaan di ladangnnya sedang banyak. Bang Ilham hingga saat ini masih sering bekerja sebagai tukang panen di ladang milik orang lain. Ada sebagian warga yang memiliki lahan sawit yang cukup luas sering mengupah jasa orang lain untuk bekerja di ladangnya, biasanya pemilik ladang mengupahkan orang lain untuk memanen, merumput, dan menunas pelepah di ladangnya. Bang Ilham sadar kebutuhan hidup semakin banyak dan mahal, jika hanya mengandalkan hasil panen dari ladangnya yang tidak luas apalagi jika hasil panen yang menurun. Menjadi tenaga upahan di ladang milik orang lain merupakan salah satu alternatif yang dijalankan Bang Ilham, disaat pekerjaan di ladangnya telah selesai. Bekerja bagi Bang Ilham merupakan sebuah kewajiban, karena selain ia adalah seorang kepala keluarga yang wajib menafkahi keluarganya, bekerja juga merupakan tempat Universitas Sumatera Utara 51 baginya untuk lebih produktif. Apabila pekerjaan di ladangnya telah selesai dan tidak ada lagi orang lain yang menyuruhnya untuk membantu di ladang, maka Bang Ilham memanfaatkan waktunya dengan mencari pekerjaan lain yang mampu dikerjakannya. Seringkali juga Bang Ilham mencari ikan di sungai atau parit besar dengan menggunakan jaring atau menggunakan setrum. Mencari ikan dimanfaatkan Bang Ilham untuk mencari kegiatan di sela-sela waktunya yang kosong, hasil tangkapannya diberikan kepada istrinya untuk dimasak. Dalam mendidik anak-anaknya Bang Ilham mengajarkan pentingnya nilai-nilai agama dan norma, selain itu baginya mengenyam pendidikan formal sangat diutamakan. Bang Ilham menginginkan anaknya mampu memiliki yang labih tinggi, agar kelak masa depan mereka akan lebih baik. Meski Bang Ilham mewajibkan anak lelakinya membantu di ladang, ketika telah pulang sekolah tetapi tidak berarti akan mengabaikan sekolah mereka. Setelah pulang membantu di ladang anak-anak Bang Ilham wajib untuk belajar mengulang pelajaran mereka saat di sekolah. Membantu di ladang tidak setiap hari dilakukan anak-anak Bang Ilham, hanya ketika pekerjaan di ladang sedang banyak yakni ketika panen, anaknya di suruh untuk mengumpulkan brondolan yang berserakan, selebihnya mereka tidak perlu bekerja di ladang. Bang Ilham membiasakan anak-anaknya untuk membantu di ladang, agar mereka terbiasa untuk bekerja keras dan manghargai jerih payah orang lain. Desa Bakti Mulya merupakan lingkungan tempat tinggal yang nayaman bagi Bang Ilham, meskipun ia tidak pernah mencoba tinggal di lingkungan yang lain,tetapi ia lebih menyukai tinggal di Desa yang memiliki ikatan kekeluargaan yang erat dibanding di kota, tetapi di desanya hal tersebut sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan untuk saling membantu akan semakin terlihat jika ada warga yang akan mengadakan hajatan membangun rumah, beramai-ramai warga akan membantunya, atau jika ada yang sedang tertimpa kemalangan maka warga akan datang untuk membantunya. Universitas Sumatera Utara 52 Tabel 4.7 Kelendar Harian Petani No. Kegaiatan Aktivitas Jumlah jam 1. Bekerja di ladang 5 jam pkl 07.00- 12.00 2. Istirahat 2 ½ jam pkl 12.00- 14.30 3. Kembali ke ladang 1 ½ jam pkl 14.30- 16.00 4. Aktivitas lain mengurus ternak,dll 2 jam pkl 16.00- 18.00 5. Istirahat 13 jam pkl 18.00- 07.00 Jumlah 24 jam Sumber: Hasil wawancara Februari 2014 4.3. Interpretasi Data 4.3.1. Bertani Sawit Sebagai Mata Pencaharian