Status dan Kedudukan Penduduk Sipil Menurut Konvensi Den Haag

B. Status dan Kedudukan Penduduk Sipil Menurut Konvensi Den Haag

1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan

Seperti telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, penduduk sipil pada hakikatnya adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak ikut ambil bagian dalam sebuah konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau bagian objek militer. Adapun status dan kedudukan penduduk sipil pada dasarnya bersumber pada asas pembedaan yang memiliki tujuan untuk melindungi penduduk sipil dengan cara mengategorikan serta membedakan antara kombatan maupun penduduk sipil. Dengan adanya asas pembedaan ini diharapkan pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata ataupun perang dapat membedakan obyek penyerangan dan sasaran dalam suatu pertempuran. Menurut Jean Pictet, asas pembedan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan “The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation” yang berarti bahwa penduduk sipil dan orang- orang sipil harus mendapatkan perlindungan umum bahaya yang ditimbulkan akibat operasi militer. Universitas Sumatera Utara Asas ini membutuhkan penjabaran ke dalam sejumlah asas pelaksanaan principal of aplication antara lain : Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil; Penduduk sipil demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal reprisal pembalasan; Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang; Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin; Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Adapun kombatan dalam halnya sebagai sasaran penyerangan dapat dikategorikan dalam beberapa golongan dan kian memperjelas kedudukan penduduk sipil yang bukan merupakan sasaran ataupun obyek penyerangan, berikut penggolongan kombatan 23 : 1. Angkatan Bersenjata resmi reguler dari suatu negara; 2. Milisi dan Korps Sukarela; 3. Levee en masse; 23 M. Veuthey, The International Committee of the Red Cross and Human Rights, 1979, Unpublished Paper, Paper presented at International Conference on Human Rights in South Africa. Universitas Sumatera Utara 4. Gerakan perlawanan yang terorganisir Organized Resistance Movement, seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans, maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars, panjsheries, mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge liberation tiger, mau-mau, fedayins, dan sebagainya. Pada Konvensi Den Hague 1907 artikel ke-3 penggolongan angkatan bersenjata terdiri dari kombat dan nonkombatan. Nonkombatan disini bukanlah penduduk sipil melainkan angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur seperti petugas medis medical personel maupun rohaniawan chaplain yang tergabung dalam angkatan bersenjata tetapi tidak ikut ambil bagian secara langsung dilindungi dikarenakan tugas khusus mereka. Menurut Konvensi Jenewa 1949, tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah : 1. Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya; 2. Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh; 3. Mereka yang membawa senjata secara terbuka; Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istilah kombatan dinyatakan secara eksplisit, protokol ini secara tegas membedakan penduduk sipil dengan Universitas Sumatera Utara kombatan. Mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata armed force. Pengertian angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri atas : Angkatan bersenjata yang terorganisir organized armed force; Kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku bawahannya kepada pihak yang bersangkutan. Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini defenisi nonkombatan pun diperluas, sehingga nonkombatan adalah kombatan yang tidak dapat bertempur lagi; dan warga negara netral termasuk personil militer yang tidak berjuang untuk salah satu pihak yang terlibat perang dalam konflik bersenjata. Protokol ini semakin mempertegas status dan kedudukan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil, maka dari itu pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara obyek- obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer. Dengan adanya asas pembedaan dan perkembangannya melalui Konvensi maupun Protokol Tambahan yang mengatur serta mendefenisikan warga negara yang sedang melakukan pertikaian dapat dikategorikan menjadi dua golongan besar, kombatan dan penduduk sipil, memperjelas status dan kedudukan penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata yang tidak tergabung kedalam angkatan bersenjata militer, milisi, leeve and masse maupun gerakan perlawanan maka berhak mendapat perlindungan sebagai mana mestinya. Universitas Sumatera Utara

C. Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Pada Konflik Bersenjata