Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

(1)

GAMBARAN KEMISKINAN

DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYAKHRISNA PABHICARA PENDEKATAN SOSIOSASTRA

SKRIPSI

OLEH

JAKA LARIZAL 100701072

D E P A R T E M E N S A S T R A I N D O N E S I A F A K U L T A S I L M U B U D A Y A U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A

MEDAN 2015


(2)

GAMBARAN KEMISKINAN

DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABHICARA PENDEKATAN SOSIOSASTRA

Oleh

Jaka Larizal NIM 100701072

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Kristiana M.Hum. Dra. Yulizar Yunaz, M. Hum. NIP 19610610 198601 2 001 NIP 19500411 198102 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

ABSTRAK

GAMBARAN KEMISKINAN

DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABHICARA PENDEKATAN SOSIOSASTRA

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, (2) Mendeskripsikan solusi dalam mengatasi kemiskinan yang dirasakan tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

Sumber data penelitian ini adalah novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara yang diterbitkan oleh PT Mizan Publika pada tahun 2014 cetalan XII. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan pendekatan teknik analisis isi.

Kemiskinan yang terjadi dalam novel Sepatu Dahlan berlatar Magetan, Jawa Timur di alami oleh Dahlan dan warga Kebon Dalem pada umumnya. Masyarakat Kebon Dalem terus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Namun hal itu tidak cukup membantu jika melihat kemiskinan yang seolah sudah menjadi takdir bagi warga tersebut untuk menjalani hidup setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan gambaran kemiskinan yang dialami dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah sebagai berikut: (1) pendidikan, (2) kebutuhan primer, (3) status sosial, dan (4) masalah kesehatan. Adapun solusi yang terus dilakukan masyarakat dalam novel Sepatu Dahlan untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka adalah sebagai berikut: (1) bekerja keras (memaksimalkan potensi diri), (2) pemberdayaan masyarakat, (3) pendidikan, dan (4) pemanfaatan lahan


(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di perguruan tinggi. Sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis maupun diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan sebagai sumber referensi pada skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Jaka Larizal 100701072


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkat, serta kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara” ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dalam memperoleh gelar sarjana ilmu budaya. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak baik dalam bentuk ide atau gagasan, moral, maupun materi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, umur yang panjang, dan juga kuasaNya sehingga penulis masih dalam keadaan sehat wal’afiat.

2. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.


(6)

4. Ibu Dra. Kristiana, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Yulizar Yunaz, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Program Studi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

6. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda Ismail dan Ibunda Nurhayati, serta saudara kandung saya Muhammad Nur, Muhammad Iqbal, Ardiansyah Chaniago, Indriani, Shahrul Ramadhan, Syafrizal Nur, dan Abdul KHadafi yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup bagi penulis dan turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini. 7. Terima kasih kepada Seluruh keluarga besar Unit Kegiatan Mahasiswa Teater

‘O’ USU, BTM Al-Iqbal Fakultas Ilmu Budaya USU, KBSI USU dan kawan

seperjuangan yang menjadi keluarga kedua saya, terima kasih atas jasa-jasa dan pelajaran yang saya terima sejak menjadi bagian dari keluarga-keluarga ini, serta mampu membentuk karakter.

8. Terima kasih kepada Alumni Fakultas Ilmu Budaya, senior, dan juga adik-adik yang masih dalam satu barisan untuk selalu menjaga almamater Fakultas Ilmu Budaya.

9. Seluruh pihak yang telah berperan memberi dukungan terhadap penulisan skripsi ini, Wahyu, Ghafur, Ridho, Anwar, Yudha, Va’i, Ichsan, Fiqar, Emma, Mariska, Joko, Bambang Riyanto, Holong, Rozy, Igo, T eguh, Arif,


(7)

Achyar, Firman, Zunaidi, Milham, Araf, Bima, Andriansyah, Dewi, Ayu, Eka, Aulia, Madzi, Roby, Joshua, Dhila, ,Rina, Ami, Ba’im, Ra’uf, Barry, Onesi, Vandy, Ferry, Doni, Likha, Novia, Dira, Nuriza, Dhani, Sulaiman, Ridho S, Randy, Syahrizki, Nihe, Hardy, Edo, Chandra, Edi, Fredrick, Susan, Yuni, Yulia, Rini, Almira, dan lain-lain.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Jaka Larizal 100701072


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

PERNYATAAN ... ii

PRAKATA... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 8

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 10

2.1 Konsep ... 10

2.1.1 Masalah Sosial ... 10

2.1.2 Kemiskinan ... 12

A. Kemiskinan Absolut ... 13

B. Kemiskinan Relatif ... 14

2.2 Landasan Teori ... 15

2.3 Tinjauan Pustaka ... 20

BAB III METODE PENELITIAN 26

3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.2 Sumber Data ... 27


(9)

BAB IV GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL SEPATU

DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA 29

4.1 Gambaran Kemiskinan dalam Novel Sepatu Dahlan ... 29

4.1.1 Pendidikan ... 29

A. Biaya Pendidikan ... 31

B. Seragam Sekolah ... 34

C. Kebutuhan Transportasi ... 37

4.1.2 Kebutuhan Primer ... 40

A. Sandang ... 41

B. Pangan ... 44

C. Papan ... 47

4.1.3 Status Sosial ... 49

A. Kelas Sosial ... 50

B. Kesenjangan Sosial ... 53

4.1.4 Masalah Kesehatan ... 55

4.2 Solusi Kemiskinan dalam Novel Sepatu Dahlan ... 60

4.2.1 Bekerja Keras (Memaksimalkan Potensi diri) ... 61

4.2.2 Pemberdayaan Masyarakat ... 63

4.2.3 Pendidikan ... 67

4.2.4 Pemanfaatan Lahan ... 70

` BAB V SIMPULAN DAN SARAN 73

5.1 Simpulan ... 73

5.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(10)

ABSTRAK

GAMBARAN KEMISKINAN

DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABHICARA PENDEKATAN SOSIOSASTRA

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, (2) Mendeskripsikan solusi dalam mengatasi kemiskinan yang dirasakan tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

Sumber data penelitian ini adalah novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara yang diterbitkan oleh PT Mizan Publika pada tahun 2014 cetalan XII. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan pendekatan teknik analisis isi.

Kemiskinan yang terjadi dalam novel Sepatu Dahlan berlatar Magetan, Jawa Timur di alami oleh Dahlan dan warga Kebon Dalem pada umumnya. Masyarakat Kebon Dalem terus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Namun hal itu tidak cukup membantu jika melihat kemiskinan yang seolah sudah menjadi takdir bagi warga tersebut untuk menjalani hidup setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan gambaran kemiskinan yang dialami dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah sebagai berikut: (1) pendidikan, (2) kebutuhan primer, (3) status sosial, dan (4) masalah kesehatan. Adapun solusi yang terus dilakukan masyarakat dalam novel Sepatu Dahlan untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka adalah sebagai berikut: (1) bekerja keras (memaksimalkan potensi diri), (2) pemberdayaan masyarakat, (3) pendidikan, dan (4) pemanfaatan lahan


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan seni cipta antara perpaduan imajinasi pengarang dan pengalaman kehidupan yang ada disekitarnya, mungkin pernah ia alami sendiri. Dalam hubungannya dengan kehidupan, sastra adalah wujud tertulis yang menggambarkan hal-hal yang terjadi dalam sebuah masyarakat, antara individu dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dengan alam, atau dengan Tuhan sang pencipta. Sejalan dengan pendapat Ratna (2003:43) yang mengatakan “tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd. Meskipun hanya melalui teks, karya sastra mampu untuk menciptakan suatu dunia yang baru, dunia yang sama sekali berbeda dengan ruang dan waktu fakta-fakta sosialnya”.

Pada hakekatnya karya sastra sebagai struktur yang kompleks mencoba menceritakan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat melalui pemikiran kreatif seorang pengarang. Sebagai karya yang kreatif, sastra merupakan lahan yang tepat sebagai penyalur ide-ide yang ada dalam pikiran penulis terhadap realita kehidupan sosialnya. Sastra tetaplah karya yang membicarakan dunia fiktif dan imajinasi yang telah tersusun di otak seorang pengarang. Wellek dan Warren (1989:112) mengatakan “pengarang adalah warga masyarakat. Ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat pengarang tinggal dan berasal."


(12)

Berkenaan dengan hal tersebut, kronologi karya tidak hanya berdasar pada biografi pengarang. Kenyataannya, sering pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan pengalaman kehidupan seseorang yang terjadi dalam suatu masyarakat, terutama di zaman sastra modern ini. Seperti pada novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Pada karya tersebut pengarang murni mengambil inspirasi penulisannya melalui biografi tokoh masyarakat, yakni bapak Dahlan Iskan. Berdasarkan pengalaman hidup yang diambil sebagai sumber, karya sastra selaku tulisan fiktif akan terasa nyata jika dikemas dengan sangat baik oleh pengarangnya. Apakah pengalaman pribadi pengarang atau berdasarkan biografi orang lain yang akan menjadi sumbernya.

Novel sebagai salah satu karya sastra, merupakan sarana atau media yang berusaha menggambarkan gejolak yang terjadi dalam masyarakat saat karya itu tercipta. Pengarang mencoba menuangkan kronologi suatu peristiwa yang ada di masyarakat, dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi objek dalam proses terciptanya sebuah karya. Luxemburg, dkk. (1984:23) mengatakan, "Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu."

Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Manusia pada umumnya mampu berbaur dengan individu, kelompok, maupun organisasi lain. Proses pembauran itu dilakukan dengan saling membantu dan penuh perhatian, agar kemungkinan masalah yang terjadi dapat dihindarkan. Meskipun pada pengaplikasiannya dalam masyarakat terdapat begitu banyak masalah sosial yang


(13)

Menurut Soerjono (1982:312) “masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.” Tentu dalam novel terdapat banyak masalah sosial yang bisa kita temukan, salah satunya adalah masalah kemiskinan.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang belum terpecahkan dalam masyarakat dunia. Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial-ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, namun juga pernah dialami negara-negara maju seperti Inggris (tahun 1700-an) dan Amerika (tahun 1930-an).

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan (wikipedia). Tingkat kemiskinan dapat diukur berdasarkan pendapatan dalam sebuah keluarga yang akan menutupi kebutuhan hidupnya. Kenyataannya persepsi dari kemiskinan itu sendiri telah berkembang dan bervariasi seiring berjalannya waktu, dari segi pandangan antar budaya. Hal itu terjadi disebabkan ketidakpuasan yang menjadi sifat dasar individu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Soerjono (1982:320) berpendapat “kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas”.

Dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara terlihat jelas bagaimana masalah kemiskinan yang terjadi terhadap masyarakat Kampung Dalem. Terdapat begitu banyak permasalahan yang intrik, memacu emosi kita


(14)

untuk menanggapi bagaimana perjuangan hidup yang dijalani seorang tokoh utama.

Betapa tidak, meski dengan rumah beratapkan tepas, berdinding kayu, beralaskan tanah dan tikar pandan sebagai alas tidur dan duduknya, Dahlan harus bersekolah dengan berjalan kaki sejauh lima kilometer setiap harinya. Sementara disaat memasuki tahun ajaran baru Tsanawiyah (setara SMP) iya juga harus berkecamuk dengan obsesinya yang ingin masuk ke sekolah Takeran, tempat anak-anak elit bersekolah dengan segala hal yang selalu berurusan dengan uang. Karena ditempat itu pula sebagian besar teman Sekolah Rakyatnya (selanjutnya SR) melanjutkan pendidikan. Hal itu pula yang memacunya untuk bekerja mencari uang sendiri agar dapat membeli barang-barang yang sesuai dengan keadaan sekolah Takeran, hal yang paling ia dambakan sejak di masa SR sebelumnya, yakni memiliki sepatu dan sepeda agar tidak lecet kaki karena berjalan jauh. Dalam mewujudkan mimpinya untuk memiliki dua hal yang selalu ia dambakan, ia harus menghadapi pergolakan jiwanya sendiri saat keinginannya yang begitu besar bertolak belakang dengan keadaan ekonomi orangtuanya yang memprihatinkan. Banyak hal dan cobaan yang harus ia hadapi dalam mewujudkan impiannya itu. Dahlan selaku tokoh utama, memiliki seorang ayah yang hanya bekerja kesehariannya sebagai bertani dan Nguli jika ada warga yang ingin memperbaiki rumah. Dan juga ibunya yang memiliki hobi yang sehari-harinya membatik, juga tidak cukup membantu untuk mewujudkan mimpinya membeli sepatu dan sepeda. Bahkan ia juga menyempatkan diri bekerja untuk menambah penghasilan sebagai tabungan demi memenuhi dua impiannya itu. Dahlan


(15)

memiliki tiga hobi yang tidak pernah lepas dalam kehidupannya, yaitu menulis, bernyanyi, dan bermain voli. Dengan ketiga hobi itulah ia selalu menghibur dirinya saat masalah kehidupan sosial mulai dirasakannya. Dan melalui hobi itu pula ia mulai mengumpulkan uang untuk membeli dua hal yang ia impikan; sepatu dan sepeda.

Novel Sepatu Dahlan ini telah menunjukan perjuangan seorang anak yang dengan serba keterbatasannya dengan tingkat ekonomi yang terbilang sangat rendah dan keadaan masyarakat disekitar Kampung Dalem. Begitu terasanya gambaran kemiskinan, bagaimana usaha tokoh utama dalam meraih pendidikan, kehidupan berkeluarga disekitar Kampung Dalem yang begitu memprihatinkan, dan keadaan malam hari dengan hanya menggunakan penerangan lampu sentir.

Bahasa yang sederhana, lugas, dan mudah dipahami telah mampu diungkapkan sang pengarang agar pesan dalam novel tersebut bisa dirasakan oleh pembaca biasa maupun penikmat sastra. Seperti yang telah dikemukakan oleh Tantawi (2013:33) seperti berikut:

“Setiap manusia mempunyai rasa seni. Bahasa merupakan salah satu alat untuk mengungkapkan rasa seni di samping alat pengungkapan seni lainnya”

Novel bernilai edukasi spirit kehidupan dengan masyarakat desa ini, tergambar plot yang diisi oleh empat mandor kebun tebu, Arif, Kadir, Maryati, Komariyah, Imran, Zain, Aisyah, Dahlan, serta kedua orangtuanya. Dari para tokoh inilah penulis merasa betapa Dahlan kecil menempa diri dan dibina dengan kehidupan yang keras berpeluh luka, duka, dan kesedihan mendalam. Dan semua


(16)

bermula dengan sepatu dan sepeda sebagai hasrat yang bertolak belakang dengan keadaan ekonomi keluarga yang ala kadarnya.

Dari hal inilah penulis mencoba mengkaji gambaran kemiskinan yang terjadi dalam novel Khrisna Pabichara yang berjudul Sepatu Dahlan. Cerita yang begitu menginspirasi tentang seorang anak yang begitu menentang keadaan dan takdirnya dalam hidup yang akrab dengan kemiskinan. Juga membuktikan bahwa bukan hanya orang yang tergolong kaya saja yang mampu bersepatu dan bersepeda saat pergi ke sekolah. Seolah-olah membawa perasaan siapapun yang pernah membaca novel ini ikut dan mengalami kisah itu. Mengingat suasana yang begitu memprihatinkan sekaligus memotivasi sungguh kental dan kelihatan dalam novel ini.

Salah seorang sastrawan ternama Indonesia, Anwar Fuadi juga turut berkomentar tentang novel ini. Penulis novel best seller Negeri 5 Menara ini mengatakan:

“Ini jenis buku yang bikin candu, sekali menyibak halaman pertama, saya tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat. Candu itu adalah isi cerita dan cara bercerita yang kuat. Hikayat manusia-manusia sederhana dengan tekad luar biasa ini membekas dalam hati. Bahwa bagi yang percaya dan berusaha, impian bisa jadi kenyataan yang berlipat-lipat, jauh dari nalar manusiawi kita. Karena Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada”.


(17)

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, permasalahan yang akan dikaji antara lain:

1. Bagaimanakah kemiskinan yang tergambar dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara?

2. Solusi apakah yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi kemiskinannya dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara?

1.3 Batasan

Dalam bentuk masalah sosial, kemiskinan memiliki pengertian dan cakupan yang luas seiring dengan berjalannya waktu. Secara sosiohistoris, makna kemiskinan memiliki variasi yang luar biasa, jika bertolak pada pemikiran masing-masing budaya dan negara asal. Untuk itu dalam pengkajian ini diperlukan adanya batasan.

Untuk mencapai tujuan penelitian agar lebih sistematis dan terarah, maka penelitian tersebut membutuhkan batasan masalah. Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara menyentuh banyak aspek kehidupan dan unsur sosial didalamnya. Namun, hal yang ingin dikemukakan penulis dalam penelitian ini adalah mengenai gambaran kemiskinan. Makna kemiskinan itu sendiri masih di pandang luas oleh para ahli sosiolog, sehingga kemiskinan akan dibatasi ke dalam gambaran kemiskinan dari sisi materi. Gambaran kemiskinan ini sering disbut kemiskinan absolut yang meliputi: segi pendidikan, kebutuhan primer (sandang, pangan, papan), status sosial, dan kesehatan melalui teori sosiologi sastra.


(18)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

2. Mendeskripsikan solusi dalam mengatasi kemiskinan yang dirasakan tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu: a. Manfaat Teoritis

1. Penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu sastra Indonesia terutama dalam pengkajian novel Indonesia modern dengan pendekatan sosiologi sastra.

2. Memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya analisis novel dengan tinjauan sosiologi sastra.

b. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam memperluas paradigma dan apresiasi pembaca umum, khususnya sastra Indonesia terhadap penganalisisan sosiologi sastra.


(19)

2. Melalui pemahaman mengenai kajian sosiologi sastra dari sudut pandang kemiskinan masyarakat, diharapkan dapat membantu pembaca dalam mengungkapkan makna yang terkandung dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.


(20)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

Dalam setiap penelitian, perlu adanya konsep. “Karena ada konsep, anggapan dasar dapat dilihat” (pradopo, 2001:38). Konsep memiliki arti sebagai berikut; (1) rancangan, (2) ide yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, (3) gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang dipergunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007:588). Dengan kata lain, konsep merupakan langkah awal dari sebuah penelitian agar penelitian terstruktur dengan baik. Dengan adanya konsep, sebuah penelitian lebih sistematis dan terarah.

2.1.1 Masalah Sosial

Masalah sosial adalah masalah yang menyangkut kemasyarakat, baik individu maupun kelompok. Suatu kejadian yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat perhatian sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapatkan sorotan masyarakat juga belum tentu merupakan masalah sosial (Soerjono, 1982:318). Menurut Setiadi dan Kolip (2010:51), “jika di dalam kehidupan sosial antara elemen satu dan elemen lainnya tidak melaksanakan fungsi dan peranannya sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku, maka keadaan tersebut disebut dengan ketidakteraturan sosial (patologi sosial). Patologi sosial sebagai bagian dari kajian objek sosiologi sering disebut dengan masalah sosial”.


(21)

Dalam hal ini, Soerjono Soekanto (Setiadi dan Kolip, 2010:51) membuat beberapa kriteria masalah sosial, antara lain:

1. Faktor ekonomi terdapat masalah kemiskinan, yang dalam hal ini kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan absolut.

2. Faktor biologis yang didalamnya terdapat persoalan yang harus dipecahkan seperti masalah endemis atau penyakit menular sebagaimana terjadi dewasa ini, yaitu kasus flu burung, virus SARS, HIV, dan penyakit kelamin yang menyerang di beberapa daerah.

3. Faktor psikologis seperti depresi, stres, gangguan jiwa, gila, tekanan batin, dan sebagainya.

4. Faktor sosial dan kebudayaan seperti perceraian, masalah kriminal, pelecehan seksual, kenakalan remaja, konflik ras, krisis moneter, dan sebagainya.

Sosiologi adalah ilmu yang membahas masalah dan gejala sosial sebagai langkah untuk mencari dan menelaah data tentang berbagai masalah sosial di dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai sumber dan mencari sumber dari masalah ini sehingga dapat dicari langkah solusinya (Setiadi dan Kolip, 2011:926). Di dalam bentuk karya sastra, juga terdapat masalah dan gejala sosial yang dibahas dalam proses penceritaan kehidupannya. Maka masalah sosial juga dapat diteliti secara sastra yang sering disebut masalah sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan cabang ilmu sastra yang membahas tentang kehidupan masyarakat yang ada dalam karya. Karya sastra sebagai cerminan dalam masyarakat tentu memiliki berbagai permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan nyata. Dengan berbagai konflik yang ada dalam karya sastra, akan menyulut emosi pembaca untuk merenungkan kenyataan yang ada disekitarnya. Pandangan yang amat populer dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin pada zamannya (Endraswara, 2008:88).


(22)

Dalam penelitian sastra, masalah sosial merupakan kajian yang tidak pernah selesai dibahas oleh para peneliti, baik dalam kenyataan maupun tinjauan fiksinya. Dalam proses penulisan karya sastra, pengarang seolah telah terbius dan secara taksadar telah mengungkapkan masalah-masalah sosial ke dalam teks sastra.

2.1.2 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu contoh masalah sosial. Masalah kemiskinan bukanlah suatu hal yang baru dalam kehidupan masyarakat diseluruh penjuru dunia. Setiadi dan Kolip (2011:788) secara luas memandang bahwa kemiskinan seolah sudah menjadi tren bagi kehidupan berbangsa. Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dapat dengan mudah diidentifikasikan dari waktu ke waktu.

Berbeda halnya dengan Soerjono (1982:320) yang menilai bahwa kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, Soerjono memandang kemiskinan dari segi individual atau kelompok. Sedangkan menurut Brendley (Setiadi dan Kolip, 2011:795) berpandangan bahwa kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.

Menurut Suharto (2009: 27-29), kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, pemahaman utamanya mencakup hal-hal berikut.


(23)

1. Gambaran materi, yang mencakup kebutuhan primer sehari-hari, seperti sandang, pangan, papan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas. Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan, rendahnya mutu layanan dan kurangnya perilaku hidup sehat. Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, dan kesempatan memperoleh pendidikan.

2. Gambaran sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Keterkucilan sosial sebagai dampak dari ketidakmampuan individu untuk memperbaiki keadaan hidupnya menimbulkan kesenjangan dan ketergantungan kepada pihak lain. Rendahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran dan ketidakterlibatan mereka dalam perumusan kebijakan.

3. Gambaran penghasilan, mencakup tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai dikaitkan dengan jumlah pendapatan dengan jumlah anggota keluarga. Menurut Badan Pusat Statistik, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin.

Pada dasarnya masalah kemiskinan sudah ada sejak manusia hidup. Tidak ada batasan yang pasti tentang gambaran kemiskinan itu sendiri. Setiap negara memiliki standar yang berbeda dalam memaknai kemiskinan. Sebagian orang memahami kemiskinan secara subjektif, sedangkan sebagian lainnya memandang kemiskinan dari segi moral.

Jika menilik dari bentuk kemiskinan itu sendiri, Baswir dan Sumodiningrat (Setiadi dan Kolip, 2011:795) membaginya menjadi dua bentuk secara sosioekonomis, yakni:

2.1.2.1Kemiskinan Absolut

Kemiskinan Absolut adalah kemiskinan dimana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.


(24)

Kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, pendidikan, dan lain-lain. Kemiskinan absolut diukur dari satu set standar yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat.

Kemiskinan jenis ini berhubungan dengan garis kemiskinan yang didefinisikan secara internasioanal atau national. Kesulitan konsep kemiskinan absolut adalah menentukan komposisi tingkat kebutuhan minimum karena dua hal tersebut tidak hanya di suatu Negara adat kebiasaan saja tetapi juga oleh iklim tingkat kemajuan suatu negara dan berbagai faktor ekonomi lainya.

Menurut Murni (2009:11) tinggi rendahnya tingkat kemiskinan absolut yang dialami oleh suatu masyarakat tergantung kepada tingkat penyimpangan ke bawah dari patokan yang dipakai untuk mengukur tingkat kemiskinan dalam masyarakat tersebut. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari jumlah makanan yang dikonsumsi di bawah jumlah yang cukup untuk menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari.

2.2.1.2Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Murni mengatakan (2009:10) kemiskinan relatif menggambarkan tingkat


(25)

kesejahteraan ekonomi seseorang (kelompok orang) yang relatif jauh di bawah kondisi ekonomi anggota masyarakat (kelompok) yang lain di dalam suatu lingkungan masyarakat. Misal, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa lainnya.

Di samping itu, terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan, yaitu:

a. Kemiskinan Natural adalah keadaan miskin yang sudah menjadi turun-temurun dalam suatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya alam yang memadai. b. Kemiskinan Kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok

yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budaya saat mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Baswir yang mengatakan bahwa seseorang itu miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, dan boros.

c. Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi, serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan merencanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun, karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.

2.2 Landasan Teori

Sebuah penelitian tentu perlu adanya landasan teori yang mendasarinya untuk memperkuat keaslian sebuah karya. Dan landasan teori yang dipakai adalah pendekatan sosiosastra analisis masalah sosial.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan


(26)

berikutnya mengalami perubahan makna, soio atau socius berarti masyarakat, logi atau logos berarti ilmu. jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, dan empiris (Ratna 2003:1).

Sebenarnya defenisi dari sosiologi sastra sangat Beragam, akan tetapi defenisi yang paling mendekati dengan penelitian ini adalah pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Secara esensial, Endraswara (2008:87) menilai sosiologi sastra adalah penelitian tentang: (a) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, (b) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, (c) studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana masyarakat melangsungkan hidupnya. Studi tersebut secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial.

Selanjutnya, peneliti memilih analisis sosiologi sastra pada penelitian ini karena adanya hubungan antara karya sastra dengan kenyataan. Kenyataan pada hakikatnya mengandung makna yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang tidak berada di dalam karya sastra. Endraswara (2008:78) mengungkapkan bahwa aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra. Luxemburg (1984:24) menyatakan bahwa yang diteliti adalah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dengan suasana masyarakat. Ratna (2005:299) menjelaskan bahwa hubungan masyarakat dengan sastra merupakan hubungan


(27)

struktural, bukan artifisial, bukan juga arbitrer. Hubungan tersebut dapat dilacak asal usulnya, melalui generalisasi sosiologis bahkan mungkin dapat diprediksikan. Menurut Endraswara (2008:77) sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cerminan masyarakat. Sosiologi sastra disebut sebagai konsep cermin (mirror) karena penelitian ini lebih mengarah pada permasalahan antara pengarang, karya yang diciptakan, dan kenyataan kehidupan masyarakat. Konsep cermin dalam ilmu sosiologi sastra tentunya sudah banyak dikemukakan oleh para ahli sastra. Goerge Lukacs (Endraswara, 2008:89) adalah salah satu tokoh sosiologi sastra yang mempergunakan istilah “cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karya. Menurutnya, mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas melainkan lebih dari itu, memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum.

Pandangan “sastra sebagai cermin masyarakat” pada pengkajiannya masih belum diterima banyak kalangan, namun Ratna (2005:285) menegaskan bahwa “Pada umumnya, masyarakat yang terkandung dalam karya sastralah yang paling banyak menarik perhatian. Secara teoritis masyarakat ini merupakan masyarakat imajiner yang sesuai dengan hakikat karya sebagai rekaan”.

Pada dasarnya, teori sosiologi sastra ini sudah tercetus sejak zaman Plato dan Aristoteles, filsuf zaman Yunani kuno. Jika Plato memandang karya seni (sastra) semata-mata sebagai tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide, atau


(28)

sering dikenal dengan istilah tiruan dari alam dan menganggap bahwa karya sastra membuat manusia jauh dari kenyataan. Dan hal ini langsung dibantah oleh Aristoteles yang menurutnya, bahwa seni justru mengangkat jiwa manusia melalui proses penyucian (katharsis). Sebab karya seni membebaskan manusia dari nafsu rendah. Kenyataan yang didominasi oleh penafsiran, membuat seniman bukan hanya semata-mata meniru kenyataan, melainkan menciptakan dunianya sendiri (Teeuw, 1988:221).

Meskipun hubungan antara sastra dan masyarakat sudah dibicarakan sejak dulu, namun Ratna (2003:7) menganggap bahwa teori sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang baru dan mulai berdiri sendiri sejak abad ke-18. Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) “sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya memiliki persamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat”.

Hubungan antara sosiologi dan sastra tentunya memiliki pengaruh timbal balik yang kuat. Karena pada kenyataannya sastra selalu menggambarkan kehidupan manusia, meskipun tokoh dalam cerita disebutkan dalam bentuk dewa ataupun hewan. Pada akhirnya pesan yang ingin disampaikan dalam karya sastra adalah tentang bagaimana kehidupan sosial manusia setiap harinya. Endraswara (2008:80) memandang bahwa “Secara implisit, karya sastra merefleksikan proposisi bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau, sekarang, dan masa mendatang. Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai


(29)

yang hidup dan dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diberlakukan secara data jadi, melainkan data mentah yang harus diolah dengan fenomena lain”.

Hippolyte Taine (Endraswara, 2008:80) peletak dasar sosiologi sastra modern. Beliau merumuskan, bahwa “sosiologi sastra dianggap ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti. Namun demikian, karena karya sastra adalah fakta yang multiinterpretable, tentu kadar kepastiannya tidak sebanding dengan ilmu pasti.”

Dalam pandangan Ratna (2003:9) sampai saat ini, penelitian sosiologi sastra lebih banyak memberi perhatian pada sastra nasional, sastra modern, khususnya mengenai novel. Dikaitkan dengan masyarakat sebagai latar belakang proses kreatif, masalah yang menarik adalah kenyataan bahwa masyarakat berada dalam kondisi berubah yang dinamis, yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan barat.

Seiring dengan perkembangan sastra dalam masyarakat, tentu tidak lepas dari peran seorang pengarang dan fakta sosial yang selalu menjadi objek kajiannya. Ratna (2005:280) memaparkan bahwa “Sesuai dengan situasi dan kondisi, tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat inilah, maka cerita-cerita yang menarik adalah cerita-cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan kemajuan-kemajuan peradaban manusia pada umumnya”.

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1989:111) membagi telaah sosiologi sastra menjadi tiga klasifikasi, yaitu:


(30)

1. Sosiologi pengarang, yakni mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang,

2. Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya, 3. Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh

sosialnya terhadap masyarakat.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil pandangan sosiologi karya sastra yang didalamnya juga terdapat bentuk tingkat kemakmuran masyarakat dalam karya dan perjuangan tokoh utama dalam menghadapi masalahnya.

Ratna (2005:274) menyimpulkan bahwa ”dengan memberikan intensitas pada kualitas hubungan, maka masalah pokok sosiologi sastra adalah hubungan antara sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi, dan bagaimana akibat-akibat yang ditimbulkannya, baik terhadap karya sastra maupun masyarakat itu sendiri”. Beliau juga menambahkan bahwa “hubungan antara karya sastra dengan masyarakat bukanlah hubungan yang dicari-cari sebagaimana dituduhkan oleh para penganut strukturalisme. Sastra dan masyarakat berhubungan secara potensial. Menolak intensitas hubungannya berarti meniadakan potensi-potensi kedua aspek dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan.”

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Sepatu Dahlan sudah bukan sesuatu yang asing lagi bagi para penikmat sastra dikalangan masyarakat, begitu juga bagi para akademik sastra di seluruh Indonesia. Novel ini telah banyak diteliti, dan dijadikan sebagai objek


(31)

sastra. Namun demi keaslian sebuah penelitian, penulis akan mencantumkan tinjauan pustaka yang pernah diteliti untuk mempertegas dan memperkuat kajian bahwa novel Sepatu Dahlan belum diteliti dari segi kemiskinan lewat pendekatan sosiologi sastra.

Reza Fathur Rahmi (USU, 2013), dalam skripsi yang berjudul “Pesan Moral dan Motivasi dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khirsna Pabichara” yang dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan pesan moral dan motivasi yang terkandung dalam novel Sepatu Dahlan. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti mempergunakan teori sosiologi sastra dalam menganalisis data. Masalah di dalam skripsi ini dibatasi menjadi pesan moral yang terbagi atas: kejujuran, ketaatan dalam beribadah, ketaatan pada orang tua, loyalitas dalam berteman, dan motivasi yang terbagi atas: pepatah yang memotivasi, motivasi dari teman, motivasi dari keluarga. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi positif terhadap ilmu pengetahuan di bidang sastra, khususnya pada interdisiplin ilmu sosiologi sastra dalam hal menggali pesan moral serta motivasi yang terkandung dalam sebuah novel, membantu para pembaca untuk memahami isi dari Sepatu Dahlan khususnya dalam hal pesan moral dan motivasi yang tidak semua tertulis secara eksplisit, melainkan memerlukan pemahaman dalam menganalisis isi ceritanya. Teknik pengumpulan data dilakuan dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Teknik pengkajian untuk menganalisis data mempergunakan metode kualitatif dengan interdisiplin sosiologi sastra sebagai landasan teori, sehingga dapat ditemukan pesan moral dan motivasi yang terbagi atas empat jenis


(32)

pesan moral yaitu: kejujuran, ketaatan dalam beribadah, ketaatan pada orang tua, loyalitas dalam berteman dan motivasinya terbagi atas: pepatah yang memotivasi, motivasi dari teman, dan motivasi dari keluarga. Selain itu analisis ini juga mendapatkan hasil bagaimana proses penyampaian dari pesan moral dan motivasi dalam novel Sepatu Dahlan.

Isnaini Mutmainah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013). Skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah”. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan nilai pendidikan karakter dalam novel Sepatu Dahlan yaitu religius, jujur, toleransi, bekerja keras, disiplin, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, bertanggung jawab. Adapun relevansinya nilai-nilai pendidikan karakter tersebut dengan pendidikan akhlak adalah dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter memiliki orientasi yang sama, yaitu pembentukan karakter. Maka dapat disimpulkan bahwa ada relevansi atau hubungan antara nilai-nilai pendidikan karakter dengan dengan pendidikan akhlak di Madrasah Ibtidaiyah.

Ika Damayanti (UNSRI Sriwijaya, 2013) dengan skripsi yang berjudul

“Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna

Pabhicara: Kajian Psikologi Sastra”. Penelitian ini dilakukan untuk membahas mengenai bagaimanakah kepribadian tokoh utama dikaitkan dengan unsur-unsur intrinsik (tokoh, penokohan, latar, gaya bahasa, alur, sudut pandang, dan tema).


(33)

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kepribadian tokoh utama karena tokoh utama mengalami hal-hal yang penuh ketegangan antara id, ego, dan superego dalam dirinya dan ketiga aspek inilah yang membentuk kepribadiannya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Teknik analisis data yang digunakan adalah psikologi sastra dikaitkan dengan usur-unsur intrinsik dalam pembentukan suatu tema tertentu. Hasil dan pembahasan penelitian ini menunjukkan kepribadian tokoh utama dilatarbelakangi oleh 12 aspek id, 6 aspek ego, dan 13 aspek superego yang terbukti memiliki kaitan dengan unsur-unsur intrinsik novel terutama penokohan yang bersama-sama mendukung membawakan tema yaitu berusaha dan pantang menyerah dalam mencapai cita-cita dan impian. Dengan demikian, kepribadian tokoh utama dapat dideskripsikan melalui analisis psikologi sastra yaitu id, ego, dan superego yang dikaitkan dengan unsur-unsur intrinsik.

Dari tinjauan pustaka tersebut, hanya beberapa analisis yang berhubungan dengan novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara yang dicantumkan. Kebanyakan dari penelitian tentang novel ini hanya membahas tentang keadaan tokoh dan kehidupan sosial yang telah menjadi bahasan biasa bagi dunia ilmiah sastra.

Adapun yang membahas kajian yang sama, namun dengan bahan objek yang berbeda adalah Andri Kharisma Nur, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2007.

Andri Kharisma Nur (UNY Yogyakarta, 2013) dengan skripsi yang berjudul

Gambaran kemiskinan Dalam Novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata


(34)

Tinjauan Sosiologi Sastra”. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan gambaran kemiskinan dalam novel Padang Bulan karya Andrea Hirata; (2) mendeskripsikan penyebab kemiskinan dalam novel Padang Bulan karya Andrea Hirata; (3) mendeskripsikan solusi yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi kemiskinan dalam novel Padang Bulan karya Andrea Hirata. Sumber data penelitian ini adalah novel Padang Bulan karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan pendekatan teknik analisis isi. Validitas data diperoleh dengan validitas semantik. Sedangkan reliabilitas data diperoleh dengan intrarater dan interrater. Data diperoleh dengan teknik membaca dan mencatat. Kemiskinan yang terjadi dalam novel Padang Bulan dan berlatar Belitung ini dialami oleh Zamzami, Syalimah, dan Enong. Mereka berusaha keras untuk keluar dari garis kemiskinan agar kehidupan menjadi lebih baik. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel Padang Bulan karya Andrea Hirata meliputi: (1) gambaran penghasilan yang berhubungan dengan pendapatan seseorang; (2) gambaran materi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari; (3) gambaran sosial, yaitu mengenai hubungan masyarakat dengan lingkungan sosialnya. Penyebab kemiskinan dalam penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) penyebab individual; (2) penyebab keluarga; (3) penyebab sub-budaya; (4) penyebab agensi; (5) penyebab struktural. Solusi yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan ada empat yaitu: (1) menciptakan lapangan kerja; (2) pendidikan; (3) reformasi tanah untuk rakyat; (4) nasionalisasi tambang asing.


(35)

Dengan alasan inilah penulis mencoba mengambil sudut pandang yang berbeda dalam dunia sastra untuk menelusuri permasalahan yang ada dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara ini. Yang ingin coba dikaji penulis melalui novel ini yaitu tentang masalah sosial yang kerap terjadi dalam kehidupan nyata. Lebih dalam lagi penulis ingin memaparkan tentang gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel tersebut. Setelah melakukan pengamatan dalam perkembangan kajian sastra, masalah sosial seperti kemiskinan sangat jarang dijumpai dalam penelitian akademik sastra. Seperti ungkapan Pradopo bahwa “lebih luas lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra adalah untuk memahami karya sastra sedalam-dalamnya” (Endraswara, 2008:10). Hal ini yang menjadi landasan penulis bahwa keaslian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data

Noor (2013:138) mengatakan, “Data merupakan informasi yang diterima tentang suatu kenyataan atau fenomena empiris berupa seperangkat ukuran (kuantitatif) dan berupa ungkapan kata-kata (kualitatif)”. Endraswara (2008:8) menyatakan bahwa yang jelas, apapun alasannya, sebuah penelitian memang membutuhkan metode. Tanpa metode, penelitian sastra juga sekadar membaca untuk kenikmatan sementara. Untuk mempermudah penelitian kali ini, teknik yang digunakan berupa teknik heuristik , teknik hermeneutika (baca ulang) dan kepustakaan (Library Research). Pradopo (2001:84) menyatakan:

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan dari awal sampai akhir secara berurutan. Hasilnya adalah sinopsis cerita. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang atau retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya. Konvensi sastra yang dimaksud adalah memberikan makna cerita.

Metode membaca heuristik harus diulang dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik sehingga pada sistem semiotik tingkat kedua isi cerita rekaan atau novel dapat memberikan pemahaman serta penafsiran makna cerita keseluruhan dari novel yang dibahas. Selanjutnya, penafsiran data tersebut dicatat pada kartu data. Penafsiran tersebut dicatat berdasarkan masalah yang berhubungan dengan unsur-unsur ekstrinsik terkait gambaran kemiskinan yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan.


(37)

Hermeneutika merupakan teknik penelititan terhadap suatu objek dengan cara membaca berulang- ulang. Dengan membaca berulang-ulang maka akan mudah ditemukan inti permasalahan sebuah penelitian yang menjadi tujuan objek itu diteliti. Sedangkan kepustakaan mempermudah penelitian dalam hal teori sebagai penguat gagasan yang akan disampaikan. Selain itu, data dapat juga diperoleh dari internet berupa artikel-artikel terkait sebagai bahan pendukung penelitian. Setelah data terkumpul, maka penelitian ini dilanjutkan dengan menganalisis data objek dengan membaca, melihat latar, melihat dialog antartokoh dan ungkapan-ungkapan di dalamnya. Data yang akan diteliti, terlebih dahulu dirumuskan berdasarkan masalah.

3.2 Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah: Judul : Sepatu Dahlan

Pengarang : Khrisna Pabhicara Penerbit : PT. Mizan Publika Tebal Buku : 392 hlm.; 14x21 cm Cetakan : dua belas (12) Tahun Terbit : 2014

Warna Sampul : Kuning, hijau, coklat, putih, dan hitam Gambar Sampul : Terdapat gambar tokoh dahlan kecil


(38)

kedua orangtuanya, dan gambar bawah dengan ibunya yang sedang memeluk dahlan dan zain didepan rumah gubuk mereka.

Desain Sampul : Tyo/RAI studio

Data yang tercantum di atas merupakan data pasti sebagai sumber data atau biasa disebut dengan data primer. Selain data primer, tentu dibutuhkan juga data sekunder sebagai pendukung dalam kelangsungan penelitian seperti buku ilmiah yang berkaitan dengan sastra, artikel, majalah, internet, dan lain sebagainya.

3.3 Teknik Analisis Data

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada objek kajian dan memusatkan perhatian pada masalah aktual. Searah dengan pendapat Ratna (2004:53), metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan.


(39)

BAB IV

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA

4.1 Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan

Telah dipaparkan sebelumnya penjelasan tentang kemiskinan itu sendiri. Murni (2009:18) mengatakan “Bila membicarakan masalah kemiskinan, maka yang menjadi pusat perhatian adalah rendah tingkat pendapatan, kurangnya konsumsi kalori yang diperlukan bagi tubuh manusia, dan melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin”. Adapun gambaran kemiskinan yang ingin dideskripsikan yaitu hanya menyangkut gambaran kemiskinan beberapa hal saja. antara lain:

4.1.1 Pendidikan

Pendidikan adalah proses yang terjadi karena interaksi berbagai faktor yang menghasilkan penyadaran diri dan penyadaran lingkungan sehingga menampilkan rasa percaya diri dan rasa percaya akan lngkungan (Setiadi dan Kolip, 2011:340). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penidikan berasal dari kata didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan)mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. sedangkan pengertian pendidikan itu sendiri yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik (KBBI:2007).


(40)

Setiadi dan Kolip (2011:531) mengatakan pendidikan dapat digunakan untuk membantu dalam meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri. Penegasan ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Masalah ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat jelas terhadap kelancaran kegiatan pendidikan, bahkan ditekankan bahwa kurikulum juga dipengaruhi oleh tuntutan pekerjaan perdagangan dan industri. Namun, kebutuhan akan pendidikan tidak bisa selalu di dapat dengan cara yang mudah karena beberapa faktor tertentu. Adapun yang menjadi faktor terhambatnya proses pendidikan antara lain: rendahnya kualitas sarana pendidikan, rendahnya kesejahteraan guru, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, dan lain sebagainya.

Hal tersebut tergambar dalam tulisan diary yang menjadi hiburan Dahlan disebabkan kesenangannya terhadap menulis. Segala keluh kesah yang ada di dalan fikirannya langsung saja ia tuangkan ke dalam buku catatannya itu. Seperti penggalan teks tersebut:

“Dahlan tahu alasan Bapak pasti karena biaya sekolah yang

selangit, buku-buku yang mahal, seragam yang tak terbeli, belum lagi harus ada sepatu dan sepeda. Dahlan janji, tak perlu pakai sepatu atau sepeda ke sekolah, pak. Dahlan bisa jalan walau tanpa alas kaki. Dahlan kuat, pak.

Boleh ya, pak?” (Sepatu Dahlan:22)

Dalam kajian ini, terdapat 3 hal yang menggambarkan masalah pendidikan dalam novel Sepatu Dahlan yaitu:


(41)

A. Biaya Pendidikan

Menurut Setiadi dan Kolip (2011:531) pendidikan dapat digunakan untuk membantu penduduk dalam meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri. Hal ini dianggap dapat membantu perkembangan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Namun hal itu tidak akan terwujud jika masalah ekonomi itu sendiri tidak mendukung untuk untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan di Indonesia menguras biaya yang sangat besar. Bagi mereka yang tergolong mampu, pendidikan merupakan sebuah investasi jangka panjang, namun bagi mereka yang tergolong lemah dalam tingkat ekonomi pendidikan merupakan masalah utama kebutuhan yang di anggap sulit bagi mereka untuk menjangkaunya.

Di Indonesia terdapat berbagai macam sekolah, baik dari jenis bidang keahlian, kualitas pengajaran yang menjadi unggulan, hingga kumpulan orang-orang kaya yang menempatkan anaknya untuk bersekolah sesuai keinginan. Perbedaan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya menjadi permasalahan bagi tiap-tiap orangtua. Hal ini terjadi disebabkan keinginan si anak yang selalu ingin berada disekolah unggulan agar bisa menjadi lebih baik lagi.

Hal ini terlihat dari kutipan dialog dalam novel berikut: “Sekolah bisa di mana saja, Pak.”pintaku lagi.

“Bapak tahu, Le, tapi kamu harus tahu diri, harus tau kemampuan orang tua. Kalau di Pesantren Takeran, biaya lebih


(42)

Dahlan selaku tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan, mencoba menjelaskan kepada ayahnya bahwa sekolah bukan hal yang mutlak dalam menentukan kualitas belajar seseorang. Dan ayahnya pun sangat paham akan keinginan Dahlan. Dengan ekonomi keluarga yang begitu memprihatinkan, ayahnya harus menasihatinya untuk sekolah di Pesantren Takeran dan mengingatkan agar Dahlan harus menyesuaikan keinginannya menuntut ilmu dengan keadaan ekonomi orangtuanya. Kemiskinan yang dialami keluarga Dahlan tidak mendukung keinginannya untuk bersekolah di tempat yang selalu berurusan dengan uang.

Hal ini semakin dipertegas dengan penggalan dialog berikut:

“lagi pula, kamu harus mikir. Apa kamu sanggup jalan kaki

nyeker tiap hari sejauh lima belas kilo? Bagaimana dengan baju seragam, buku-buku pelajaran, iuran sekolah, ato biaya lainnya? Semuanya pake duit. Pokoke kalo masih mau lanjut sekolah,

kamu harus lanjut ke Tsanawiyah!”(Sepatu Dahlan:20).

Ayah Dahlan yang ia kenal begitu tegas dan tidak sering berbicara membuat ia harus mengurungkan beberapa saat niatnya untuk sekolah di tempat yang ia idamkan itu. Jauhnya jarak yang harus ditempuh dan biaya keperluan yang berhubungan dengan pendidikan yang sangat tinggi menjadi bahan pertimbangan kenapa ayahnya memaksa Dahlan untuk melanjutkan sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Ketegasan ayahnya tersebut menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi Dahlan selaku tokoh utama, hingga ia harus melupakan mimpinya untuk melanjutkan ke sekolah yang telah ia idamkan sejak duduk di bangku Sekolah Rakyak (SR).


(43)

Suara Bapak seperti guntur yang menggetarkan jantungku. Suara keras yang selama ini jarang terdengar di rumah ini. Aku benar-benar kecewa. SMP Magetan adalah sekolah idaman bagi anak-anak di kampung kami. Belum seorang pun yang bisa masuk atau bersekolah di sana. Tapi, biasanya setelah sekali

mengatakan “tidak bisa!”, maka selamanya Bapak akan mengatakan hal yang sama”(Sepatu Dahlan:19-20).

SMP Magetan adalah SMP yang menjadi idola bagi anak-anak warga Kampung Dalem. Hal itu yang membuat Dahlan begitu ingin bersekolah di sana. Namun karena kebutuhan biaya yang sangat tinggi untuk bisa bersekolah di SMP tersebutlah yang membuat ayahnya menasihati dirinya agar mengurungkan niat untuk bersekolah ditempat itu dan melanjutkan sekolah ke Tsanawiyah Takeran yang dianggap biayanya terjangkau. Meski begitu, orangtua Dahlan tetap berfikir bahwa pendidikan tetap hal yang utama bagi hidup mereka.

Seperti yang terlihat dalam kutipan novel berikut:

“Apabila Mbak Sofwati butuh biaya kuliah, domba jatah kami di jual. Itu pun cuma sesekali, jarang terjadi” (Sepatu Dahlan:74)

Pentingnya pendidikan bagi keluarga Dahlan memaksa ayahnya untuk menjual domba agar masalah biaya kuliah Mbak Sofwati bisa diselesaikan. Meski begitu, ayahnya tidak menjual domba mereka tanpa berfikir panjang. Karena domba itu di jual hanya saat keadaan benar-benar mendesak. Betapa keadaan ekonomi yang dialami keluarga Dahlan begitu memprihatinkan namun tetap mengutamakan pendidikan.

Pada tahun 2008 pemerintah menyediakan BOS bagi 41,9 juta siswa pada jenjang pendidikan dasar, yang mencakup, SD, MI, SDLB, SMP, MTS, SMPLB, dan pesantren salafiyah, serta satuan pendidikan keagamaan lainnya yang


(44)

menyelanggarakan pendidikan dasar sembilan tahun. Penyediaan BOS ini ditujukan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan bagi siswa yang lain, agar mereka memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun (Setiadi dan Kolip, 2011:822).

Namun banyak dari mereka yang tidak merasakan program pemerintah tersebut. Kenyataan ini terjadi karena banyak faktor. Pemerintah mencanangkan dana BOS namun cukup banyak peserta didik dan sekolah yang tidak menerima dana tersebut. Hal ini harusnya menjadi perhatian utama pemerintah, selain harus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

B. Seragam Sekolah

Kewajiban menggunakan seragam sekolah telah menjadi bagian tata tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat diseluruh sekolah Indonesia. Mulai dari ketentuan atribut, bentuk, ukuran, badge nama sekolah, bahan, bahkan aturan pembelian. Di Indonesia, ketentuan dalam mengenakan seragam dibedakan sesuai jenjang maupun jenis pendidikan. Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku secara nasional. Kendati demikian, pada sekolah-sekolah tertentu sudah ada yang menerapkan seragam khusus sesuai dengan kekhasan sekolah yang bersangkutan.

Masalah seragam dalam hal pendidikan akan menunjukan kelas ekonomi pada strata mana keluarga tersebut digolongkan. Bahkan ada sebagian sekolah yang mewajibkan baju khusus pada hari tertentu sebagai simbolis identitas


(45)

sekolah itu. Peraturan ini semakin memberatkan keluarga yang tingkat ekonominya dalam keadaan miskin. Karena bagi mereka, bisa memiliki seragam dan pakaian yang layak sehari-hari saja sudah bersyukur.

Hal tersebut sejalan dengan yang pernah dipaparkan oleh Setiadi dan Kolip (2011:437) dengan mengatakan “bagi golongan kelas bawah, busana biasanya hanya digunakan sekadar menutupi anggota badan yang tidak layak untuk ditampakkan, tetapi bagi golongan kelas atas, biasanya busana selalu dikaitkan dengan nilai (seni) dan gaya hidup (life style) sehingga ada perasaan harga dirinya akan turun jika mengenakan busana apa adanya sebagai mana golongan kelas bawah”.

Bagi orangtua, khususnya yang tidak atau kurang mampu,akan menjadi masalah besar, karena harus menyediakan seragam baru yang layak bagi anaknya. Di sisi lain, orangtua menghendaki sekolah murah, yang juga merupakan program pemerintah.

Hal tersebut juga merupakan bagian dari masalah yang terkandung dalam novel Sepatu Dahlan.

“bagaimanapun, aku pasti akan merasa malu, minder, atau rendah diri. Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orangtua yang mampu membelikan mereka

banyak pakaian” (Sepatu Dahlan:21-22)

Bayangan dalam benak Dahlan, bukti bahwa ia sangat menyadari keadaan ekonomi orangtuanya yang sangat terbatas. Perbedaan tingkat ekonomi antara orangtua dahlan dan orangtua murid yang lain membuat ia harus melupakan mimpinya untuk bersekolah di tempat yang ia idamkan. Dengan hanya memiliki


(46)

sepasang seragam saja, Dahlan pun harus menghindarkan hinaan dan cacian yang kemungkinan akan berimbas pada orangtuanya kelak. Keterbatasan ekonomi orangtuanya hanya mampu membelikan Dahlan sepasang seragam, baju dan celana. Itu belum termasuk sepatu dan yang lainnya.

Seperti yang terlihat jelas dalam penggalan dialog berikut:

“kadang, ada pertandingan yang menganjurkan agar seluruh

pemain memakai sepatu. Kalian bisa main kalo memakai sepatu,

kn?”

Fadli terdiam.

“belum tahu.” Jawab ku, “soalnya bau sepatu saja aku belum tahu, mas” (Sepatu Dahlan:61)

Sepatu adalah salah satu hal yang menjadi motivasi Dahlan selama ia mengenal dunia pendidikan. Sejak masa Sekolah Rakyat Dahlan selalu menginginkan Sepatu untuk ia pakai berangkat ke sekolah. Kenyataan untuk terlahir dari orangtua yang miskin harus membuat Dahlan bersabar atas keinginannya yang tidak kunjung terpenuhi, yaitu sepatu. Bukan hanya memiliki atau pernah memakai, bahkan untuk mencium bau sepatu saja ia belum tahu. Sementara itu, sepatu yang sangat ia dambakan merupakan salah satu peralatan utama dalam kegiatan sekolah yang ia ikuti jika ada pertandingan.

Sepatu yang di pandang sebagai bagian dari seragam juga merupakan salah satu masalah pendidikan yang harus dihadapi orangtua ketika keadaan ekonomi mereka dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan absolut. Hal ini juga yang membuat orangtua Dahlan menahan kesedihan karena tidak bisa memenuhi kebutuhan Dahlan sebagai anaknya.


(47)

Hatiku terasa getir, merasa bersalah telah membuat ibu bersedih. Aku tahu gumamanku tentang sepatu pasti berbekas di hati ibu, dan aku tahu itu adalah kesalah bagiku. Meskipun ibu pasti menyadari bahwa aku memang sejak dulu ingin sepatu, dan keinginan itu semakin bertambah setelah aku menginjak usia remaja. Dengan sepatu itu, kakiku tidak perlu melepuh atau

lecet-lecet”(Sepatu Dahlan:40-41).

Keterbatasan ekonomi dengan biaya yang hanya mencukupi makanan seadanya membatasi pendidikan seorang Dahlan yang harus berkutat dengan masalah yang universal; uang. Seragam yang seadanya tidak membuat niat bersekolah Dahlan menyurut. Bahkan ia sangat yakin suatu hari dia akan memiliki hal-hal yang selalu ia mimpikan. Dengan sejuta kebanggaan dan harapan, ia lalui segala bentuk kemiskinan yang menghalangi tugas dan haknya atas pendidikan yang begitu penting bagi keluarganya. Hal itu yang selalu ditanamkan oleh sang ayah.

C. Kebutuhan Transportasi

Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan akibat aktifitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Kegiatan ekonomi dan transportasi memiliki keterkaitan yang sangat erat, dimana keduanya dapat saling mempengaruhi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Tamin (1997:4) bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan dengan transportasi, karena akibat pertumbuhan ekonomi maka mobilitas seseorang meningkat dan kebutuhan pergerakannya pun menjadi meningkat melebih kapasitas prasarana transportasi yang tersedia.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa transportasi dan perekonomian memiliki keterkaitan yang erat. Di satu sisi transportasi dapat mendorong peningkatan


(48)

kegiatan ekonomi suatu daerah, karena dengan adanya infrastruktur transportasi maka suatu daerah dapat meningkat kegiatan ekonominya. Namun di sisi lain, akibat tingginya kegiatan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi meningkat maka akan timbul masalah transportasi, karena terjadinya kemacetan lalu lintas, sehingga perlunya penambahan jalur transportasi untuk mengimbangi tingginya kegiatan ekonomi tersebut.

Permasalahan transportasi menurut Tamin (1997:5) tidak hanya terbatas pada terbatasnya prasarana transportasi yang ada, namun sudah merambah kepada aspek-aspek lainnya, seperti pendapatan rendah, urbanisasi yang cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas sumber daya manusia, disiplin yang rendah, dan lemahnya perencanaan dan pengendalian, sehingga aspek -aspek tersebut memperparah masalah transportasi.

Dalam hal pendidikan, transportasi menjadi begitu diperhitungkan jika melihat fungsi terhadap disiplin dan kebutuhan siswa setiap hendak berangkat sekolah. Menurut Soesilo (1999:11) transportasi memiliki manfaat yang sangat besar dalam mengatasi permasalahan suatu kota atau daerah. Beberapa manfaat yang dapat disampaikan adalah penghematan biaya operasi, penghematan waktu, pengurangan resiko kecelakaan, dan lain-lain.

Namun, justru hal yang tersebut di atas yang menjadi konflik dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. hal-hal yang harusnya menjadi manfaat bagi pendidikan Dahlan malah menjadi masalah besar yang harus ia tanggung sebab kenyataan hidup yang terbalut dalam kemiskinan tidak kunjung selesai.


(49)

Bukan perjuangan mudah baginya karena jarak antara rumah dengan sekolah yang di tuju memerlukan tenaga dan waktu yang tidak sedikit.

Dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara juga membicarakan betapa pentingnya transportasi untuk bisa sampai ke sekolah. Dengan jarak 6 kilometer Dahlan harus berjalan dari rumahnya ke sekolah hanya dengan bertelanjang kaki. Meski ia tahu bahwa sepeda akan sangat membantunya dalam perjalanan ke sekolah. Namun karena masalah kemiskinan yang akrab dengannya sejak lahir, Dahlan harus melupakan salah satu mimpinya itu.

Seperti yang terlihat pada penggalan teks dalam novel tersebut:

“Dulu aku juga sering memikirkan enaknya memperpendek jarak

tempuh dengan sebuah sepeda, dan ku pikir akan sangat menghemat waktu di banding jalan kaki, hingga aku sangat

menginginkan sebuah sepeda” (Sepatu Dahlan:337)

Sepeda merupakan salah satu alat transportasi yang hingga kini masih begitu akrab dan disenangi oleh anak-anak, terutama bagi kalangan pelajar Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun tidak semua anak dapat memiliki sepeda ini. Begitulah yang terlihat dalam kenyataan sosial masyarakat Indonesia, jika bertolak pada kemiskinan sebagai masalah utama Negara. Hal tersebut juga terjadi dalam novel Sepatu Dahlan.

Mimpi bersepeda yang terus tertanam dalam benak Dahlan terus ia jaga. Meski tetap berharap bahwa takdir suatu saat akan memihak padanya dengan tetap bersabar dan ikhtiar, serta berdoa agar Allah SWT mengabulkan doa dan harapannya kelak. Bukan membeli sepeda keren dari hasil keringat sendiri, keadaan justru semakin memburuk dalam perjalanan usahanya untuk


(50)

mendapatkan mimpi bersepeda. Hingga suatu ketika ia harus mengorbankan tiga ekor dombanya. Kekecewaan bapak Dahlan terhadap dirinya harus ia terima karena kelalaiannya.

Hal ini dipaparkan dalam penggalan novel tersebut:

“Ibu, lagi-lagi aku bikin Bapak kecewa. Tiga ekor domba kita terpaksa ditukarkan dengan sebuah sepeda karena kelalaianku. Ya, aku melanggar larangan Bapak agar memakai sepeda orang lain. Padahal sungguh, aku tak mau bapak bersedih lagi.

Maafkan Dahlan ya, bu...”(Sepatu Dahlan:138)

Kelalaian Dahlan terhadap nasihat Bapaknya yang telah melarangnya untuk meminjam barang orang lain, terutama dalam hal bersepeda. Bukan karena untuk untuk menghindari luka, namun karena kekhawatiran sang Bapak bila sepeda yang di pinjam itu rusak dan malah pemilik menuntut ganti rugi. Hingga pada akhirnya kekhawatiran Bapaknya pun menjadi kenyataan. Sepeda Maryati yang rela dipinjamkan kepada Dahlan untuk dikendaraipun akhirnya rusak pada bagian setang sepeda, dan keesokan harinya Bapak Maryati malah menuntut ganti rugi kepada Bapak Dahlan. Tiga ekor Domba pun menjadi alat tukar dengan sepeda yang dirusakkan Dahlan sebagai ganti rugi.

4.1.2 Kebutuhan Primer

Menurut Matias (2012:25) jika ditinjau dari standar kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan


(51)

Friedmann (Setiadi dan Kolip, 2011:794) pernah merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar seperti halnya yang juga dilakukan pada konferensi ILO tahun 1976 yang salah satunya berisikan tentang “kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat seperti pangan, sandang, dan papan”. Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari kebutuhan primer yang harus terpenuhi bagi sebuah keluarga. Jika hal yang pokok saja sudah tidak terpenuhi, keluarga tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga miskin. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok ini akan semakin memperburuk keadaan keluarga miskin yang bersangkutan. Kebutuhan primer tersebut merupakan masalah negara yang telah menjadi perhatian sejak lama. Masalah tersebut ternyata juga dapat kita temukan dalam karya sastra, seperti halnya yang terjadi pada novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara.

Berikut ini merupakan contoh kecil dari kemiskinan akan kebutuhan pokok yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara:

“Upah nguli nyeset terus ku tabung demi dua mimpi besarku – sepatu dan sepeda. Namun seringkali ku serahkan sebagian besar kepada ibuku dengan sepenuh-penuh kebahagiaan. Kebutuhan kami untuk mengisi perut lebih mendesak ketimbang mimpi

sederhanaku itu” (Sepatu Dahlan:73)

A. Sandang

Sandang adalah pakaian yang diperlukan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya. Pakaian berfungsi untuk menghangatkan tubuh dan menutup aurat. Saat ini penggunaan pakaian sudah tidak lagi hanya sebatas menutupi aurat atau hanya penghangat tubuh semata. Namun juga sebagai penghias tubuh dan salah satu hal yang menentukan status sosial dan kelas sosial seseorang.


(52)

Setiadi dan Kolip (2011:437) mencoba mengilustrasikan kebutuhan sandang yang menjadi perbedaan kelas sosial sebagai berikut: “anda tentu dapat membedakan cara berbusana masyarakat pedesaan dari golongan buruh tani miskin dan cara berbusana para selebriti di perkotaan”.

Pakaian mengacu pada apapun untuk menutupi tubuh manusia yang di pakai. Kebutuhan akan sandang bervariasi tergantung tingkat sosial dan selera masing-masing orang. Ada yang dalam 1 tahun pun sama sekali tidak pernah membeli baju baru, ada yang bisa membeli baju kapan pun ia inginkan. Dalam novel Sepatu Dahlan, tokoh utama tidak pernah mempunyai pilihan dalam pakaian yang akan ia kenakan. Kenyataan berada dikehidupan keluarga yang terbatas dalam makanan dan tempat tinggal saja, harus di lalui Dahlan. Apalagi menuntut untuk berpakaian lebih menarik.

Hal tersebut terlihat dalam penggalan cerita novel tersebut:

Setelah mandi dan berkemas dengan pakaian seadanya - baju dan celana yang juga ku pakai semasa SR- aku mendapati bapak

sudah menunggu di beranda rumah”. (Sepatu Dahlan:27)

Keterbatasan ekonomi dengan kebutuhan hidup yang semakin menuntut kelangsungan tetap membuat seorang Dahlan tidak bisa memilih angan yang banyak. Dengan pakaian seadanya ia menjalani keseharian hidup, dan bahkan saat kembali mendaftar ke Tsanawiyah Takeran, sekolah lanjutan yang akan ia jalani. Jumlah dan jenis pakaian tergantung pada pertimbangan fungsional seperti kebutuhan untuk kehangatan atau perlindungan dari hal-hal yang menyerang kulit.


(53)

pakaian itu sendiri berdasarkan fungsinya. Sebagian orang berpikiran bahwa pakaian di rancang untuk menjadi modis seringkali memiliki nilai pelindung dan pakaian yang di rancang untuk fungsi sering menganggap sebagai gaya hidup di desain mereka.Dalam novel Sepatu Dahlan, masalah sandang masih menjadi hal yang memprihatinkan, bahkan saat mereka harus menikmati kesangan yang begitu sederhana. Ia harus menjaga pakaiannya tetap kering dan menggunakan sarung sebagai ganti pelindung tubuhnya.

Seperti yang terdapat dalam teks novel berikut:

“Sarung memang bukan sekadar pelengkap busana bagi kami. Ketika malam tiba, sarung adalah selimut yang membantu kami mengusir hawa dingin. Waktu mandi di sungai atau di rumah, sarung ada kain pengering tubuh. Manakala perut kami lapar, sarung itu diikatkan sekuat mungkin di perut sebagai obat penangkal lapar. Kalau solat, sarung pun dengan setia menemani kami. Begitulah sarung tak bisa dipisahkan dengan kehidupan kami, seperti sekarang ketika ku jadikan sebagai parasut terjun

ke sungai”. (Sepatu Dahlan:244)

Pakaian merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Hanya dengan satu pakaian saja bisa begitu berguna jika kita bisa memanfaatkannya dengan baik. Hal ini yang terjadi dalam kehidupan Dahlan selaku tokoh utama dalam novel karya Khrisna Pabichara ini. Tidak hanya melindungi tubuhnya agar tetap terlihat sopan, sebuah sarung bisa ia gunakan sesuai dengan keadaan dan fungsinya. Keterbatasan ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan tidak menghalangi rasa syukurnya untuk tetap menikmati apapun pemberian yang ia terima dari Tuhan Sang Penguasa Alam Semesta.


(54)

B. Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok atau dasar bagi mausia selain papan, sandang, pendidikan dan kesehatan.karena tanpa pangan maka tidak ada kehidupan dan tanpa kehidupan tidak ada kebudayaan. Dan kebutuhan pangan dapat diutarakan secara naluri; bayi menangis karena lapar.

Hal ikhwal pangan telah secara legal tercantum dalam undang-undang Namun masih no 7 tahun 1996 yang terdiri dari 16 bab dan 65 pasal, yang salah satu pasalnya berbunyi “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan masyarakat”. Kenyataan yang terjadi adalah banyak penduduk yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

Pangan berarti makanan dan minuman. Tanpa makanan dan minuman manusia tidak akan mampu bertahan hidup. Salah satu kebutuhan primer dalam kelangsungan hidup ini juga dapat dijadikan tolak ukur dalam standar tingkat untuk menentukan sekelompok tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok garis kemiskinan atau tidak. Dalam hal ini, fungsi pangan tidak hanya sebagai pengganjal perut, namun juga sebagai alat untuk memberikan asupan gizi dan nutrisi yang baik bagi tubuh.

Namun hal tersebut hanya tinggal harapan bagi keadaan yang sangat memprihatinkan, layaknya yang dialami oleh Dahlan, selaku tokoh utama dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Jangankan memikirkan gizi yang


(1)

Soesilo, Nining I. 1999. Ekonomi Perencanaan dan Manajemen Kota. Jakarta: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Jakarta: Alfabeta.

Tamin, Ofyar Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB.

Tantawi, Isma. 2013. Terampil Berbahasa Indonesia. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan ( Terjemahan Oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Internet

Ika Damayanti, 2013, Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara: Kajian Psikologi Sastra, 23 November 2013, (http//www.akademik.unsri.ac.id). Diunduh pada tanggal 7 April 2015 pukul 12:04 WIB.

Isnaini Mutmainah, 2013, Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah, 27 Februari 2013, (http//www.digilib.uin-suka.ac.id). Diunduh pada tanggal 7 April 2015 pukul 11.55 WIB.

Reza Fathur Rahmi, 2013, Pesan Moral dan Motivasi dalam Novel Sepatu Dahlan

Karya Khirsna Pabichara, 10 Desember 2013,

(http//www.repository.usu.ac.id). Diunduh pada tanggal 7 April 2015 pukul 22.39 WIB.


(2)

Andri Kharisma Nur, 2013, Gambaran kemiskinan Dalam Novel Padang Bulan Karya Andrea Hirata Tinjauan Sosiologi Sastra, 20 Juli 2013, (http//eprint.uny.ac.id). Diunduh pada tanggal 9 Juli 2015 pukul 13.34 WIB. Id.m.Wikipedia.org/wiki/kemiskinan.


(3)

Lampiran

Sinopsis Sepatu Dahlan

Muhammad Dahlan. Ia merupakan anak dari keluarga kurang mampu yang tinggal di Kebon Dalem, sebuah kampung yang menyimpan banyak kenangan baginya. Dahlan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakak perempuannya bersekolah di perguruan tinggi dan adiknya, Zain masih sekolah di SR. Ayah Dahlan bekerja serabutan sedangkan Ibunya adalah ahli pembuat batik di desanya.

Kehidupan yang Dahlan alami penuh liku-liku. Walaupun begitu, Ia menjalani dengan semangat dan ikhlas. Keinginan mungil Dahlan adalah memiliki sepasang sepatu dan sebuah sepeda. Keinginannya inilah yang membawa Dahlan ke dalam petualangan hidup yang penuh warna dan tidak dialami sebagian besar anak-anak pada masa itu.

Saat lulus dari Sekolah Rakyat, ia lulus dengan nilai pas-pasan. Saat itu ia merasa gagal membanggakan orang tuanya. Cita-cita melanjutkan sekolah ke SMP Magetan-pun pupus. Bukan karena nilai merahnya, namun sang ayah memiliki maksud lain dengan mensekolahkan Dahlan ke MTs Takeran.

Pernah suatu hari Dahlan mencoba membantu ibunya membatik, namun ia menumpahkan lilin dan merusak kain batik yang dipesan tetangganya. Beberapa hari kemudian, sepulang sekolah Dahlan mendapati ibunya tergeletak dan muntah darah. Panik. Jelas. Setelah itu ibunya dirawat di rumah sakit di Madiun, dengan terpaksa Dahlan dan Zain ditinggalkan di rumah sendirian. Karena kelaparan ia


(4)

mencoba mencuri tebu, namun penjaga kebun tersebut mengetahuinya dan menghukum Dahlan dengan hukuman paling ringan yang pernah dijatuhkan kepada bocah pencuri tebu.

Esoknya, seperti biasa Dahlan berangkat sekolah bersama kawannya. Hari itu ia bersama Maryati yang sedang menaiki sepeda cantiknya. Maryati memaksa Dahlan untuk belajar sepeda pagi itu, namun Dahlan, sepeda Maryati dan pemiliknya itu jatuh ke selokan. Tidak sengaja Dahlan bertemu sesosok gadis cantik, Aisha namanya. Dengan pakaian basah kuyub Dahlan terpaksa pulang kembali ke rumahnya. Tidak disangka saat pulang, Ibu Dahlan telah berada di rumahnya tanpa nyawa. Mulai saat itulah kehidupan yang menderita makin tersiksa tanpa sosok ibu di sampingnya. Sepeda Maryati yang rusak harus diganti oleh beberapa ekor domba milik Dahlan.

Semenjak kelas II, Dahlan mulai aktif dalam organisasi dan kegiatan sekolah. Dahlan terpilih sebagai pengurus Ikatan Santri dan kapten tim bola voli MTs Takeran. Hingga pada suatu hari Dahlan dan tim bola volinya dapat mengikuti perlombaan bola voli ditingkat Kabupaten Magetan. Saat itulah keinginan akan sepatu makin menggebu-gebu.

Pertama kali bertanding, tim voli Dahlan melawan SMP Bendu dan berhasil. Di babak final, mereka melawan SMP terkuat saat itu, yakni SMP Magetan. Usaha keras selama ini membuahkan hasil kemenangan dan membanggakan pelatih serta orang tua mereka. Semenjak pertandingan itu, tim bola voli Gorang Gareng melirik Dahlan sebagai pelatihnya. Dengan upah yang lumayan besar, Dahlan dapat membeli sepeda bekas dan tentunya sepatu baru.


(5)

Setiap pulang melatih tim bola voli Gorang Gareng, Aisha selalu menunggu Dahlan untuk pulang bersamanya.

Saat melatih tim voli, pernah dengan beraninya Dahlan mengeluarkan Fauzan, anak seorang saudagar di pabrik tersebut. Namun sebagai bentuk tanggung jawabnya, Dahlan berani mengambil resiko yang besar saat itu demi kemenangan tim asuhannya.

Suatu ketika, Kadir sahabatnya bercerita bahwa ayahnya dahulu pernah tersangkut masalah Laskar Merah. Konon itu hanya sebuah fitnah dan salah sasaran. Begitupula dengan ibunya. Ibu Kadir saat itu juga menjadi korban salah tangkap. Cerita inilah yang membuat persahabatan anatara Kadir dengan Imran hampir hancur. Orang tua Imran meninggal karena dibunuh oleh pasukan Laskar Merah yang ganas. Namun ini hanya salah paham dan dapat diselesaikan baik -baik.

Hari-hari dilalui Dahlan dengan senang serta rasa cintanya kepada keluarga dan tentunya, Aisha. Gadis cantiik pujaan hatinya. Makin hari rasa cintanya kepada Aisha makin besar dan tak terbendung lagi. Akhirnya saat kelulusan Dahlan dari Madrasah Aliyah, tiba. Lulus dengan nilai tertinggi merupakan kebanggaan tersendiri bagi Dahlan. Namun Dahlan makin bingung dengan cita -citanya. Hidup di desanya atau merantau ke kota untuk memperbaiki nasibnya. Sedangkan temannya yang lain sudah mempunyai rencana mereka masing-masing.

Namun suatu ketika Aisha mengirim surat harapan kepada Dahlan untuk mengikuti jejak Aisha untuk kuliah. Surat ini membuat tekad Dahlan yang baru,


(6)

kuliah. Dengan kalimatnya Dahlan berhasil membujuk ayahnya untuk mengizinkan Dahlan kuliah. Selanjutnya mimpi-mimpi Dahlan yang barupun bermunculan di benaknya.

Beginilah hidup Dahlan, penuh keterbatasan. Namun keterbatasannya ini tidak membuatnya jatuh dan terpuruk, justru menjadi sebuah penyemangat hidup untuk lebih baik dan dapat membanggakan sekelilingnya. Keterbatasan sebenarnya akan menjadi sesuatu yang indah, tergantung bagaimana kita menyikapinya.


Dokumen yang terkait

Pesan Moral dan Motivasi dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra

15 305 73

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA

1 8 1

Pencitraan Dalam Novel Sepatu Dahlan (Studi Analisis Wacana Kritis Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara)

1 24 119

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Sosial Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 3 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Sosial Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

3 7 24

NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KRISNA PABHICARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Nilai-Nilai Edukatif Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Krisna Pabhicara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Di SM

0 2 13

NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KRISNA PABHICARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Nilai-Nilai Edukatif Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Krisna Pabhicara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Di SM

0 3 17

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

1 1 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

0 3 9

NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA - UNWIDHA Repository

0 1 23