Status Sosial Gambaran Kemiskinan Dalam Novel

“Tak ada kursi, meja, atau perabotan lain yang kami punya. Kecuali, sebuah lemari kayu tua di pojok kiri dapur. Bukan untuk menyimpan pakaian, melainkan untuk menaruh barang-barang pecah belah, seperti piring, gelas, dan perabotan dapur lainnya. Lemari itu sudah tua, lebih tua dari aku atau kakak keduaku, Mbak Sofwati.” Sepatu Dahlan:42 Kebutuhan akan peralatan rumah tangga menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan berkeluarga. Namun kemiskinan yang telah menjadi bagian hidup kalangan masyarakat kecil membuat ketidakberdayaan pada hasrat mereka untuk kehidupan yang layak harus terhenti. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini menginginkan kemiskinan dan kehinaan terhadap keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dalam pandangan Setiadi dan Kolip 2011:807 terbatasnya masyarakat miskin dalam mengakses pelayanan dasar semata-mata dilatarbelakangi oleh ketidakberdayaannya didalam memenuhi kebutuhannya.

4.1.3 Status Sosial

Menurut Setiadi dan Kolip 2011:45 Status sosial bermula dari adanya kedudukan sosial. Beliau mengatakan kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya, prestise harga diri, dan hak-hak serta kewajibannya. Dengan demikian, tanpa ada orang lain maka tidak akan ada status sosial. Sebab status sosial terjadi akibat dari atasnya struktur sosial yang secara normatif menempatkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu berdasarkan kualifikasi pribadinya sehubungan kualifikasi orang-orang di sekitarnya. Status sosial adalah posisi yang dimiliki seseorang dalam pola hidup tertentu, seperti di lingkungan masyarakat, kantor, dan keluarga misalnya. Dengan Universitas Sumatera Utara lahirnya status sosial, tanpa disadari manusia mulai membentuk kelompok yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan kelas sosial. Dalam hal ini, Setiadi dan kolip 2011:424 juga berkomentar bahwa biasanya kelas sosial terdiri dari sejumlah sejumlah orang yang memiliki status sosial yang baik yang diperoleh berdasarkan kelahiran ascribed status, perjuangan untuk meraih status sosial achieved status, dan karena pemberian assigned status. Hingga tidak terhindarkan lagi kesenjangan yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan kelas sosial antara yang miskin, berkecukupan, dan kaya. Berikut contoh gambaran status sosial yang terdapat pada novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara: “Paling tidak, kalau aku kaya, pasti aku bisa beli sepatu dan sepeda. Dengan demikian, aku tidak perlu berangkat sekolah terlalu pagi dan kali lecet-lecet karena terpeleset di batu-batu jalanan yang licin akibat tersapu embun semalaman.” Sepatu Dahlan:31 Dengan kata lain, status sosial mengarahkan masyarakat kepada dua permasalahan, yakni kelas sosial dan kesenjangan sosial.

A. Kelas Sosial

Menurut KBBI 2007, kelas sosial adalah golongan orang di kalangan masyarakat petani, nelayan, pedagang, dan sebagainya. Sedangkan menurut Setiadi dan Kolip 2011:109 kelas sosial adalah penggolongan manusia dalam bentuk penggolongannya yang tidak sederajat dengan kelompok sosial. Dalam lingkungan masyarakat kita dapat melihat perbedaan yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat itu sendiri. secara jabatan misalnya, ada Universitas Sumatera Utara pemimpin daerah provinsi yang dinamakan gubernur, pemimpin kabupaten atau kota yang disebut walikota atau bupati, ada juga dibawahnya camat, lurah dan sebagainya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kelas dalam bentuk tanggung jawab dan ruang lingkup dari tanggung jawabnya. Tidak hanya jabatan, perbedaan kelas sosial juga dapat kita temui dalam hal ciri fisik, keyakinan, dan lain-lain. Tidak terkecuali yang paling lumrah terjadi pada kelas ekonomi. Perbedaan antara golongan ekonomi yang berkecukupan dengan golongan ekonomi yang serba kekurangan menjadi perseteruan yang terjadi dalam masyarakat. Perbedaan kelas sosial dalam hal ekonomi juga bisa kita temui dalam bentuk karya sastra, salah satunya pada novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Perbedaan kelas sosial itu dapat dilihat dalam penggalan teks berikut: “Tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu, kecuali rumah Mandor Komar yang luas, berlantai semen, temboknya bercat biru langit, gentengnya merah mengilap, dan punya beberapa perabotan seperti meja, kursi, lemari berukir, dan radio transistor” Sepatu Dahlan:15 Tidak banyak yang memiliki barang perabotan ataupun kebutuhan rumah tangga seperti yang dimiliki oleh Mandor Komar. Bahkan hanya beberapa orang yang memiliki keadaan ekonomi yang setara dengan Mandor Komar. Kemiskinan yang melanda kebon dalem yang terdapat dalam novel “Sepatu Dahlan” ini merupakan hal yang memprihatinkan dan patut menjadi renungan bagi masyarakat Indonesia, khususnya pemerintahan. Perlengkapan rumah tangga bagi golongan kelas atas akan mencerminkan kelas sosial yang dimilikinya, sehingga perlengkapan rumah tangga yang Universitas Sumatera Utara digunakan sehari-hari tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga memiliki nilai seni dan gaya hidup. Berbeda halnya dengan masyarakat kelas bawah dengan kebiasaan memasak sehari-harinya menggunakan tungku dan bahan bakar kayu bakar, alat masak dengan menggunakan periuk dari tanah. Hal itu juga terlihat jelas pada kalimat yang ada dalam novel Sepatu Dahlan berikut: “Atau, mungkin karena dia belum bisa merebus pisang atau ketela atau makanan lain di tungku, yang harus sabar di tunggui: sebab kayu akan padam sendiri ketika seluruh bagiannya termakan api; sebab meniup dengan embusan yang tepat membutuhkan teknik dan kesabaran tersendiri; dan – ini yang paling tidak disukai oleh Zain – kelilipan terkena abu sebab terlalu keras meniup tungku. Biasanya, sepulang sekolah, akulah yang memasak” Sepatu Dahlan, 185-186 Begitulah cara kalangan kelas bawah dengan perlengkapan rumah tangga yang mereka miliki. Memanfaatkan apa yang bisa dimiliki dengan cara yang tidak membutuhkan biaya, atau meminimalisir pengeluaran biaya. Usaha yang gigih hanya untuk memasak makanan demi memenuhi kebutuhan perut dengan perlengkapan seadanya. Seringkali perbedaan antara kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi rendah menimbulkan perseteruan antar kubu seiring perkembangan zaman. Yang kaya merasa bisa membeli apapun yang mereka mau, dan yang miskin hanya akan melihat kesenangan mereka. Hingga akhirnya golongan kelas sosial atas selalu berusaha memandang lemah golongan kelas sosial rendah. Hal tersebut terpapar dalam penggalan dialog novel tersebut: “Begini saja, aku ndak yakin sampean bisa mengganti sepeda itu dalam waktu singkat. Sepeda itu kan mahal. Di Takeran, Cuma dua orang yang mampu beli. Karena juragan Akbar ini orangnya Universitas Sumatera Utara baik hati, ta’ kasih sampean waktu satu bulan” Sepatu Dahlan:135. Kesombongan juragan akbar yang begitu memandang rendah keluarga yang tingkat ekonominya jauh di bawahnya membuat ia begitu besar kepala. Meskipun pada akhirnya, Iskan – ayah Dahlan – akhirnya langsung membayar ganti rugi atas kerusakan sepeda anak juragan Akbar, Maryati. Bagi kelas sosial atas, mereka adalah tuan bagi rakyat miskin. Dan begitu pun hal sebaliknya. Bagi mereka yang memiliki kelas sosial atas sudah selayaknya mengasingkan diri dengan golongan kelas rendah.

B. Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial adalah salah satu dampak dari faktor masalah sosial, yaitu ketidakseimbangan keadaan sosial yang ada di masyarakat sehingga timbul perbedaan keadaan ekonomi yang sangat mencolok. Menurut Setiadi dan Kolip 2011:526 kesenjangan sosial merupakan keadaan yang tumbuh tanpa disadari, yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberi jaminan bagi terisinya jabatan penting oleh orang-orang yang paling cakap. Beliau menambahkan bahwa hak-hak istimewa kelas sosial akan mengalami perubahan jika kelas sosial rendah menentang dan mengubah hak-hak istimewa tersebut. namun hal itu sepertinya sulit terwujud disebabkan tidak adanya penyamarataan hak dan kewajiban dalam menciptakan masyarakat adil dan makmur. Tidak hanya di dunia nyata, dalam karya sastra hal itu juga dapat di lihat dalam novel sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Universitas Sumatera Utara Kesenjangan sosial pada masyarakat yang begitu signifikan semakin diperjelas dalam kalimat teks pada novel berikut ini: Tidak ada penduduk asli kampung ini yang kaya. Bahkan, sekadar setengah kaya pun tak ada. Tanah yang gembur dan subur itu bukan milik mereka. Ladang-ladang itu sebagian milik “tuan tanah” – orang pendatang berduit yang punya tanah berhektare-hektare – dan sebagian lainnya milik negara Sepatu Dahlan:14 Masyarakat kebon dalem yang memiliki keseharian dalam berladang ternyata hanya menjadi pekerja buruh bagi ladang orang lain atau yang biasa disebut “tuan tanah” itu. Kalaupun ada buruh yang makmur dia lah Mandor Komar yang bekerja sebagai Mandor di ladang milik pemerintahan. Dalam hal ini, keadaan ekonomi yang dirasakan Mandor Komar termasuk ke dalam golongan kelas atas. Hal ini didasari oleh keadaan ekonomi di sekitar Mandor Komar yang tergolong dalam keadaan ekonomi yang berbanding terbalik. Dalam pandangan Setiadi dan Kolip 2011:109 secara ekonomi, manusia dikelompokkan menurut kepemilikan harta benda, sehingga seseorang yang memiliki harta benda dalam kapasitas yang banyak seperti perusahaan, tanah pertanian yang luas, mobil, rumah mewah, dan sebagainya dikelompokkan pada kelas atas. Dalam novel Sepatu Dahlan hal itu dapat terlihat pada penggalan naskah tersebut: “Hanya ada satu-dua pribumi yang memiliki ladang tebu. Mereka hidup makmur, bahkan ada yang bisa membeli mobil. Selain itu, ladang-ladang tebu adalah milik dua perusahaan penggilingan tebu milik negara, baik yang berstatus sewa maupun milik negara” Sepatu Dahlan:84 Universitas Sumatera Utara Namun, jika harta benda yang ia miliki hanya dikategorikan lebih dari kecukupan namun tidak melimpah, maka termasuk dalam kelompok kelas menengah. Sedangkan bagi mereka yang memiliki harta yang kurang dari kata cukup akan digolongkan kedalam kelompok kelas bawah. Hal inilah yang dimanfaatkan pengarang sastra dalam memberi wawasan kepada masyarakat lewat tulisan karya-karya agar mereka menyadari permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sekitar mereka. Apa yang dijelaskan pada ciri-ciri kelompok kelas bawah dapat di lihat dalam novel Sepatu Dahlan sebagai berikut: “Rumahku, seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah. Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat” Sepatu Dahlan:42 Sangat berbanding terbalik jika melihat keadaan Mandor Komar yang memiliki keadaan rumah lebih baik daripada Bapak Iskan selaku ayah Dahlan. Meskipun pada kenyataannya status sosial yang dimiliki keluarga Dahlan dan sebagian besar lainnya dapat dikelompokkan ke dalam kelas sosial rendah. Hal itu terjadi karena sebagian dari mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka sendiri.

4.1.4 Masalah Kesehatan

Dokumen yang terkait

Pesan Moral dan Motivasi dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra

15 305 73

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA

1 8 1

Pencitraan Dalam Novel Sepatu Dahlan (Studi Analisis Wacana Kritis Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara)

1 24 119

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Sosial Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 3 12

ASPEK SOSIAL DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Aspek Sosial Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

3 7 24

NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KRISNA PABHICARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Nilai-Nilai Edukatif Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Krisna Pabhicara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Di SM

0 2 13

NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KRISNA PABHICARA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Nilai-Nilai Edukatif Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Krisna Pabhicara: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Di SM

0 3 17

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

1 1 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara Pendekatan Sosiosastra

0 3 9

NOVEL SEPATU DAHLAN KARYA KHRISNA PABICHARA: SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA - UNWIDHA Repository

0 1 23