Prinsip Dasar Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu
2.2. Prinsip Dasar Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu
2.2.1. Asas Perlindungan Hak Cipta
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi dari “Perlindungan” sebagai berikut: “Tempat berlindung, hal (perbuatan), memperlindungi.” 122 Hal ini
berarti harus ada yang melindungi. Bertitiktolak dari pemahaman itu, maka setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah Indonesia, termasuk didalamnya perlindungan hak cipta.
Pasal 9 ayat (2) TRIPs menentukan, kriteria untuk mendapat perlindungan hak cipta. 123 Ketentuan tersebut menegaskan yang dilindungi adalah ekspresi dari
perwujudan ide yang asli (original expression of ideas) bukan gagasan, prosedur atau konsep-konsep. Mengenai hal ini Chairul Anwar mengatakan, jika pada paten yang menjadi tumpuan adalah kegunaannya, sifat inventif dan penemuan itu haruslah baru,
maka hak cipta bertumpu pada ekspresi ide yang asli. 124
Ibid., hlm. 85. Lebih lanjut Insan Budi Maulana Op. Cit. hlm. 158. Jika diperhatikan sistem non-pendaftaran yang dianut dalam doktrin hak cipta Eropa Kontinental, yang menimbulkan aliran “Seni untuk seni” atau “L’art pour art”, yaitu menganggap suatu karya seni dan sastra merupakan ekspresi dari penciptanya dan tetap melekat pada dirinya sehingga tidak perlu dibuat suatu lembaga yang menerima pendaftaran ciptaan karena suat karya akan selalu mudah diketahui siapa pemilik sah dan sebenarnya atas karyaitu. Lihat juga Penjelasan Pasal 29 UUHC Tahun 1997:” “Adanya pendaftaran ciptaan sama sekali tidak menentukan atau tidak mempengaruhi dapat atau tidaknya dimiliki hak ciptanya atas sesuatu ciptaan. Pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan, melainkan semata-mata hanya untuk memudahkan pembuktian pemilik jika ada sengketa. Hal ini mengakibatkan bahwa suatu ciptaan itu tidak mutlak milik seseorang”. Penjelasan Pasal 30 UUHC Tahun 1997: “Pejabat yang bertugas melakukan pendaftaran tidak bertanggungjawab atas isi, arti, atau bentuk ciptaan yang terdaftar”.
122 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hlm. 595. 123 Pasal 9 ayat (2) TRIPs, “ Copyright protection shall extend to expressions and not to ideas,
procedures, methods of operation or mathematical concepts as such. ” 124 Chairul Anwar, Hak Cipta Pelanggaran Hak Cipta dan ; perundang-undangan Terbaru
Hak Cipta Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 1999, hlm. 8
Senada dengan pendapat tersebut Athur R. Miller dan Michael H. Davis mengemukakan bahwa: 125
“ The essence of copyright is originality, which implies that the copyright owner or claimant originated the work. By contrast to a patent, however, a work of originality need not be novel. An Author can claim copyright in a work as long as he created it himself, even if a thousand people created it before him.”
Hal tersebut menegaskan bahwa perlindungan hak cipta diperoleh berdasarkan criteria keaslian, bukan peniruan terhadap karya pihak lain. Persyaratan keaslian pada hak cipta tidaklah sama dengan persyaratan kebaruan (novelty) pada paten. Persyaratan keaslian sudah cukup ditunjukkan dibuat oleh pencipta sendiri, walaupun tidak baru. Apabila sebelumnya telah banyak orang yang membuat karya yang sama atau hamper bersamaan, kesamaan itu tidak mengurangi perlindungan hak cipta.
Pendapat tersebut selaras dengan makna TRIPs, yang diikuti UUHC Tahun 1997. Pasal 1 angka 2 UUHC Tahun 1997 menyatakan, untuk mendapatkan perlindungan hak cipta diperlukan unsure keaslian dari suatu karya ciptaan. Lebih lanjut syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat perlindungan hak cipta
sebagai berikut: 126 (1) Mempunyai bentuk yang khas
Hal ini berarti karya tersebut telah selesai diwujudkan sehingga dapat dilihat atau didengar atau dibaca. Termasuk dalam pengertian yang dapat dibaca adalah pembacaan huruf braile. Oleh karena suatu karya harus berwujud dalam bentuk yang khas, maka perlindungan hak cipta tidak diberikan pada sekedar ide. Hal ini karena ide belum memiliki wujud yang memungkinkan untuk dilihat, didengar atau dibaca. (2) Menunjukkan keaslian
125 Arthur, R. Miller dan Michael, H. Davis, Intellectual Property: Patents, Trademarks, and Copyright, In A Nutshell, Second Edition, West Publishing Co., St. Paul., Minn, USA, 1990, hlm. 290.
126 Pasal 1 angka 2 UUHC Tahun 1997 yaitu “Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.”
Lihat juga Penjelasan pasal tersebut.
Sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat pribadi.
Ketentuan serupa ada baiknya dikaji dari negara yang menganut sistam Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat. Dalam hukum hak cipta kedua negara ini
menentukan syarat untuk memperoleh hak cipta sebagai berikut: 127 (1) Keaslian (original)
(2) Dilaksanakan dalam bentuk yang riil dan dapat dibaca Untuk mendapatkan perlindungan hak cipta di Singapura berdasarkan Copyright Act 1987 George Wei mengatakan, meskipun mengikuti definisi dan criteria hukum Inggris dan Amerika Serikat akan tetapi UUHC Singapura memberi definisi yang lebih luas dari definisi UUHC Inggris tentang “Bentuk yang riil dan dapat dibaca” sebagai
berikut: 128 (1) All works must be original in order to enjoy copyright. Originality, however,
relates solely to the form of expression. As will be seen later, the form of expression will be regarded as original if it is not slavish copy of somebody else’s work. (2) All work in order to have copyright must be reduced to writing or some other material form – for unless it has, it could be suggested that it is a mere idea or information without any real form of expression. (3) The copyright monopoly serves only to protect the form of expression. For copyright to be infringed, the defendant must be shown to have copied that form of expression,”
Hal ini menegaskan yang mendapatkan perlindungan hak cipta, harus merupakan karya ali ekpresi dari sebuah ide. Bentuk ekspresi itu dapat tertulis atau dalam bentuk material lainnya, misalnya direkam dalam kaset, komputer dan lain sebagainya. Suatu karya cipta dianggap telah memenuhi unsur keaslian, jika karya tersebut bukan berasal dari pembajakan karya pencipta lain. Selanjutnya ditentukan bukanlah merupakan pelanggaran hak cipta, jika yang diambil adalah ide dari suatu karya, karena yang dilindungi oleh hak cipta adalah perwujudan dari ide tersebut.
127 Chairul Anwar, Op. Cit. hlm. 7. Sebagai contoh di dalam Copyright Act of USA Pasal 102 (b) memuat hal-hal yang tidak dilindungi oleh hak cipta yaitu: ideas, procedures, process, system, method of
operation, concepts, principles, facts, news. 128 George Wei, Op. Cit., hlm. 13. Adapun yang dimaksud memperluas definisi tersebut adalah, di
Inggris pada awalnya untuk memenuhi perwujudan ide, hak cipta disampaikan atau dituangkan secara tertulis dalam bentuknya yang orisinil. Mengenai bentuknya yang tertulis ini banyak pihak yang masih memperdebatkannya. Keadaan di Singapura berdasarkan UUHC Tahun 1987, meskipun masih terdapat perdebatan mengenai “bentuk yang orisinil” tersebut, namun lebih tegas dan jelas jika dibandingkan dengan UUHC Inggris.
Singapura di bawah UUHC Tahun 1987 menentukan keberadaan karya musik itu muncul, seperti yang diuraikan oleh George Wei sebagai berikut: 129
(1) Bab III, Bagian 1, Pasal 16 mengatur, dalam hal karya sastra, musik atau drama, maka bentuknya harus selalu tertulis; (2) Untuk karya sastra, musik dan drama setiap acuan yang mengacu pada waktu karya itu dibuat, adalah harus dianggap sebagai acuan pada waktu karya pertama dibuat dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya. Jika karya itu belum dibuat dalam bentuk tertulis atau bentuk lainnya maka karya tersebut dianggap tidak ada. Hal tersebut dapat dibenarkan dengan alasan bahwa, sebuah nyanyian yang hanya dijumpai dalam pemikiran pencipta atau dalam bentuk ide dianggap karya musik dan lagu itu belum ada. Dalam kaitannya dengan masalah ini
timbul suatu pemikiran yang berbeda dalam buku Modern La w of Copyright seperti yang dikutip oleh George Wei, yaitu: 130
“ They argue that work which is protected by copyright is simply the product of the author’s mind. The marks on paper or other material record, merely serve to define and evidence the work. Once a work is perfect in the author’s mind it ha s a real existence. However, in order to complete the copyright title, one further step is necessary to fix the work in a material form. Accordingly, they conclude that “ failure to fix a work in a material form is not fatal to the existence of a good copyright, it merely delays the moment when it begins to subsist.”
Berdasarkan pendatapat tersebut dipahami bahwa, kegagalan untuk membuat suatu ide dalam bentuk yang tertulis atau nyata, tidak mengakibatkan hilangnya keberadaan hak cipta. Hal ini hanya dianggap sebagai penghambatan dari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang ada pada karya tersebut. (3) Bab III, Bagian 1, Pasal 16 ayat (2) lebih lanjut menegaskan bahwa jika suatu karya sastra, drama, atau karya musik telah dibuat dalam bentuk suara-suara atau bunyi-bunyian yang direkam ke dalam tape recorder, hal ini
129 George Wei, Loc. Cit. 130 George Wei, Loc. Cit.
sudah dapat dikatakan bahwa karya tersebut telah berbentuk material atau nyata. (4) Bab III, Bagian 1, Pasal 17 menyatakan bahwa, refernsi di dalam undang- undang untuk mereduksi setiap karya ke dalam bentuk nyata, termasuk karya yang disimpan di dalam komputer. Hal ini mengakibatkan bentuk tertulis bukanlah merupakan unsur yang paling penting, setiap bentuk yang berwujud (material form) dari suatu karya telah cukup membuktikan keberadaan karya tersebut.
2.2.2. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta
Untuk mencapai keadilan, jangka waktu perlindungan hak cipta dikaitkan dengan kepentingan umum terhadap suatu ciptaan. Dalam hal ini milik masyarakat (public domain), sering berhadapan dengan milik individu pencipta. Oleh karena itu diperlukan prinsip keseimbangan antara hak pribadi untuk melakukan monopoli dalam jangka waktu tertentu, dan hak masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan ciptaan tersebut. Jangka waktu yang singkat menyebabkan pencipta belum maksimal menikmati keuntungan ekonomi dari hasil investasi yang telah dikeluarkan selama proses penciptaan. Jangka waktu yang terlalu lama akan menyebabkan masyarakat terhambat untuk mendapatkan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dengan demikian jangka waktu perlindungan disesuaikan dengan kepentingan ekonomi dari pencipta yang telah menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, keahlian, atau dana dalam menghasilkan suatu ciptaan.
Secara umum UUHC Tahun 1997 membagi jangka waktu perlindungan ke dalam tiga kelompok besar yang dihitung sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, atau setelah pencipta meninggal dunia, walaupun pada dasarnya hak cipta sebagaimana yang ditegaskan Pasal 28 B UUHC Tahun 1997 Secara umum UUHC Tahun 1997 membagi jangka waktu perlindungan ke dalam tiga kelompok besar yang dihitung sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, atau setelah pencipta meninggal dunia, walaupun pada dasarnya hak cipta sebagaimana yang ditegaskan Pasal 28 B UUHC Tahun 1997
(1) Selama hidup pencipta dan terus berlangsung 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jika penciptanya lebih dari satu orang maka ukuran yang dipakai adalah pencipta yang terlama hidupnya di antara pencipta itu. Ciptaan dalam kategori ini adalah, buku, pamlet, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan; ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk kerawitan; drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim; karya pertunjukan; karya siaran; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukus, gambar, seni ukir, kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan berupa seni kerajinan tangan; arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan. (2) Selama 50 tahun sejak pertama sekali diumumkan. Kategori ini terdiri dari ciptaan program komputer; sinematografi; rekaman suara; karya pertunjukan; karya siaran; semua karya yang disebutkan pada angka (1) di atas yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum; ciptaan yang hak ciptanya dipegang penerbit karena tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samara sebagaimana diatur Pasal 10 A kepentingan penciptanya, apabila tidak diketahui penciptanya dan belum diterbitkan. Perhitungan jangka waktunya dimulai pada saat pertama kali diketahui umum. (3) Selama 25 tahun sejak pertama sekali diumumkan. Tercakup di dalamnya adalah fotografi; safuran bunga rampai dan karya lainnya dari hasil (1) Selama hidup pencipta dan terus berlangsung 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jika penciptanya lebih dari satu orang maka ukuran yang dipakai adalah pencipta yang terlama hidupnya di antara pencipta itu. Ciptaan dalam kategori ini adalah, buku, pamlet, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan; ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk kerawitan; drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim; karya pertunjukan; karya siaran; seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukus, gambar, seni ukir, kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan berupa seni kerajinan tangan; arsitektur; peta; seni batik; fotografi; sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan. (2) Selama 50 tahun sejak pertama sekali diumumkan. Kategori ini terdiri dari ciptaan program komputer; sinematografi; rekaman suara; karya pertunjukan; karya siaran; semua karya yang disebutkan pada angka (1) di atas yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum; ciptaan yang hak ciptanya dipegang penerbit karena tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samara sebagaimana diatur Pasal 10 A kepentingan penciptanya, apabila tidak diketahui penciptanya dan belum diterbitkan. Perhitungan jangka waktunya dimulai pada saat pertama kali diketahui umum. (3) Selama 25 tahun sejak pertama sekali diumumkan. Tercakup di dalamnya adalah fotografi; safuran bunga rampai dan karya lainnya dari hasil
2.2.3. Teori-teori Mengenai Perlindungan Hak Cipta
Menurut Nico Kansil seperti yang dikutip oleh Rooseno ada beberapa teori mengenai perlindungan karya cipta, yaitu: 131
(1) Rewa rd theory , yaitu kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan , seni dan sastra diberikan suatu penghargaan dan pengakuan terhadap karya cipta yang dihasilkannya; (2) Recovery theory , yaitu atas usaha mencipta suatu karya, pencipta telah mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Untuk itu kepada pencipta diberikan hak eksklusif mengeksploitasi karyanya guna meraih kembali segala sesuatu yang telah dikeluarkannya; (3) Insentive theory , yaitu insentif diberikan kepada pencipta untuk menumbuhkan upaya atau kreativitas lebih lanjut; (4) Risk theory, yaitu pada dasarnya karya cipta itu bersifat rintisan, sehingga ada resiko pihak lain untuk meneruskan atau melampaui dan mengembangkan lebih lanjut karya tersebut. (5) Public benefit theory, atau economic growth stimulus theory atau more thing will happen theory , yaitu karya cipta merupakan suatu alat untuk meraih dan mengembangkan ekonomi.
2.2.4. Definisi Karya Ciptaan Musik dan Lagu
Sebelum dijelaskan definisi musik dan lagu maka diuraikan terlebih dahulu definisi “karya” dan “ciptaan” yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia
131 Nico Kansil dalam Rooseno, “Masalah Pungutan Royalti dan Perlindungan Karya Cipta”, Karya Ilmiah , Proyek Pengembangan Hukum Nasional BPHN, 1993/1994, hlm. 17-18.
sebagai berikut, “Karya adalah pekerjaan, hasil perbuatan, sedangkan ciptaan adalah pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru/kreatif atau hasil cipta.” 132
Dalam konvensi internasional dan literatur asing, sepanjang yang diketahui hanya ditemukan difinisi “musik” (music work) , sedangkan definisi “lagu” (song work) belum ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada Konvensi Bern yang memberikan batasan mengenai komposisi musik yang dilindungi dengan atau tanpa teks, tetapi tidak
ditemukan definisi mengenai lagu 133 (song work) yaitu: “ Musical compositions with or without words: here one of considers music in
its widest form, light (Palm Court or pop) or heavy (hymns choruses, symphonies), whether scored for a single instrument or several (sonata s, chamber music, etc) or for large orchestras, and whatever its popular appeal or its purpose (radio and TV advertising jingles as well as symphonic works). … Finally, the words “ with or without words in the Convention mean that any words accompanying the music are protected like the music itself.”
UUHC Singapura menyatakan tidak ada suatu definisi mengenai karya musik dan untuk merumuskannya diserahkan kepada pengadilan. Hal tersebut sebagaimana
dikemukakan oleh George Wei yaitu: 134 “ Under the Copyright Act 1987, there is no statutory definition of what
constitutes a musical work. It has been entirely left to the courts to decide just what is a musical work.”
Selanjutnya Sterling dan Carpenter memberikan batasan mengenai karya musik dalam bukunya Modern La w of Copyright seperti dikutip George Wei sebagai
berikut: 135 “ An original musical work is the product of the mind of human author which is
intended to be performed by the production of a combination of sounds to be appreciated by the ear for reasons other than linguistic content.”
UUHC Tahun 1987 Pasal 11 ayat (1) sud d pada Penjelasannya, tidak merumuskan definisi musik dan lagu, demikian pula dengan UUHC Tahun 1997. Oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hlm. 449 dan 191.
WIPO, Op. Cit., Pasal 2.6.(e), hlm.14 134 George Wei, Op. Cit, hlm. 27.
135 George Wei, Loc. Cit.
karena itu untuk memahami definisinya dapat mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: 136
“Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Lagu adalah ragam suara yang berirama.”
137 Atan Hanju dan Armillah Windawati mendefinisi sebagai berikut:
“Musik diartikan sebagai cetusan ekspresi hati yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bahasa bunyi (lagu). Apabila cetusan ekspresi hati dikeluarkan melalui mulut disebut vocal, dan apabila dikeluarkan lewat alat musik disebut instrumental.”
UUHC Tahun 1987 sekalipun tidak mendefinisikan musik dan lagu, namun pada Penjelasan Pasal 11 dari UUHC tersebut memberi batasan bahwa, karya musik atau lagu sebagai suatu karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri dari unsur lagu atau melodi, syair atau lirik dan aransemennya termasuk notasi. Tidak disebutkan lebih lanjut makna dari unsure yang dikandung dalam musik atau lagu tersebut. Untuk lebih memahaminya dapat mengacu pada pendapat M. Soeharto yang merumuskan definisi komposisi musik dan lagu yang terdiri dari, lirik, notasi, melodi, dan aransemen adalah
sebagai berikut: 138 “(1) Lirik adalah kata-kata atau syair yang dinyanyikan;
(2) Notasi adalah nada-nada yang terdiri dari bilangan atau lambing (tanda); (3) Melodi adalah rangkaian dari sejumlah nada, yang berbunyi atau dibunyikan secara berurutan; (4) Aransemen adalah karya tambahan yang disusun sebagai hiasan terhadap komposisi tertentu yang sudah ada sebelumnya, agar dapat disajikan lebih menarik.”
Menyangkut mengenai pengertian “karya yang bersifat utuh” dalam UUHC Tahun 1987 yaitu, musik atau lagu yang diciptakan secara bersama-sama merupakan satu karya cipta. Artinya hak cipta atas ciptaan itu pemilikannya hanya ada satu. Pengertian dalam UUHC tersebut, sama halnya dengan definisi yang diberikan oleh M. Soeharto yang mengatakan, keempat unsur dalam musik dan lagu (lirik, notasi, melodi, dan aransemen) merupakan kesatuan uruh yang harus dilindungi, meskipun penciptanya lebih dari satu orang. Dalam pengertian ini hanya ada satu hak cipta yang
136 Ibid., hlm 676 dan 552. 137 Atan Hanju dan Armilah Windawati, Pengetahuan Seni Musik, Mutiar, Jakarta, 1981, hlm. 9 138 M. Soeharto, Belajar Membuat Lagu, PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hlm.52 Lihat juga Angka
8 Penjelasan Pasal 11 UUHC Tahun 1987.
dimiliki bersama-sama. Semua mempunyai hak dan kewajiban untuk melindungi serta membela kepentingan kalau hak cipta mereka dilanggar. Apabila terjadi sengketa dan salah seorang dari pencipta tidak mau mengajukan gugatan, maka hal tersebut dapat diwakilkan oleh salah satu di antara pencipta musik dan lagu itu. Ketentuan ini harus ada persetujuan terlebih dahulu di antara sesamanya disertai penyerahan kuasa dari pencipta yang diwakilkannya.
Perlindungan hak cipta musik dan lagu berdasarkan lirik, notasi, melodi, dan aransemen yang diatur UUHC Tahun 1997 sangat berbeda, jika dibandingkan dengan
UUHC Tahun 1987 Singapura sebagaimana diuraikan George Wei, sebagai berikut: 139 “ So far as song are concerned, it should be borne in mind that there are two
distinct copyrights. First, the tune and musical score can attract copyright as an original musical work. Second, the lyrics can acquire copyright as a type of original literate work. It is important to bear in mind that a song is really a composite of two separate works. The copyrights can belong two different individuals – the author of the lyrics acquires the literary copyright while the author of the tune acquires the musical copyright. Another example of composite work is opera. The musical score is musical work. The libretto is a type of dramatic wo rk.”
Ketentuan di atas menyebabkan suatu karya musik yang terdiri dari lirik, melodi, notasi, dan aransemen dilindungi secara terpisah. Suatu lirik lagu mendapatkan hak cipta dalam karya kesusastraan, sedangkan melodi, notasi dan aransemen masuk ke bidang karya musik dan lagu. Dapat dicontohkan yaitu opera, penyusunan melodi, notasi, dan aransemen, masuk ke dalam cakupan karya musik sedangkan liriknya dilindungi oleh karya drama.
2.2.5. Pembatasan Terhadap Karya Ciptaan Musik dan Lagu
Selain hal-hal yang diatur Pasal 14 UUHC Tahun 1997, pembatasan lain karya cipta musik dan lagu merujuk pada pasal 13 dan 48. Pasal 13 menentukan tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika diperuntukkan sebagai: 140
“(a) Pengumuman dan perbanyakan dari lembaga negara dan lagu kebangsaan menurut sifat asli;
139 George Wei, Loc. Cit.
Pasal-pasal lain yang mengatur Pembatasan Hak Cipta berdasarkan UUHC Tahun 1997 adalah pasal, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 23.
(b) Pengumuman dan perbanyakan dari segala sesuatu yang diumumkan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu diumumkan; (c) Pengambilan, baik seluruhnya maupun sebagian, berita dari kantor berita, badan penyiar radio atau televisi dan surat kabar setelah 1 x 24 jam terhitung dari saat pengumuman pertama berita itu dan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.”
Berdasarkan Pasal 48 UUHC Tahun 1997, perlindungan hukum hak cipta diberikan bukan saja terhadap ciptaan dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta dari warga negara Indonesia, penduduk dan badan hukum Indonesia, namun mencakup juga bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan Indonesia atau negaranya dan negara Indonesia adalah sesama peserta perjanjian multilateral. Adapun bunyi Pasal 48 UUHC Tahun1997 selengkapnya adalah sebagai berikut:
“a. Warga negara, penduduk dan badan huku Indonesia;
b. Bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia atau diumumkan di Indonesia dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sejak ciptaan itu diumumkan untuk pertama kali di luar Indonesia;
c. Bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia, dengan ketentuan:
(1) Negaranya mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta dengan negara Republik Indonesia; atau (2) Negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak peserta dalam suatu perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta.”
2.2.6. Konsepsi yang Terkandung dalam Suatu Ciptaan khususnya Karya Cipta Musik dan Lagu
Tujuan kemerdekaan berarti negara memberikan kesejahteraan lahir batin, materil dan sprituil seperti yang terdapat dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini berarti negara memberikan perlindungan hukum disertai kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk pencipta musik dan lagu. Pemikiran tersebut sejalan dan mendapat pengakuan universal pada Pasal 27 ayat (1 ) Declaration of Human Rights 1948, yang melindungi masalah seni (art ). Kenyataan ini menimbulkan teori bahwa karya seni (musik dan lagu) bermanfaat bagi kehidupan manusia ( life worthy ) Tujuan kemerdekaan berarti negara memberikan kesejahteraan lahir batin, materil dan sprituil seperti yang terdapat dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini berarti negara memberikan perlindungan hukum disertai kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk pencipta musik dan lagu. Pemikiran tersebut sejalan dan mendapat pengakuan universal pada Pasal 27 ayat (1 ) Declaration of Human Rights 1948, yang melindungi masalah seni (art ). Kenyataan ini menimbulkan teori bahwa karya seni (musik dan lagu) bermanfaat bagi kehidupan manusia ( life worthy )
(1) Konsepsi kekayaan; (2) Konsepsi hak; (3) Konsepsi perlindungan hukum; (4) “Konsepsi nilai”
Khusus untuk konsepsi nilai dipahami bahwa hukum harus dilihat sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Pencipta dengan hasil ciptaannya harus dihargai dan mendapat perlindungan hukum untuk itu, karena ciptaan tersebut membawa manfaat dan bernilai begi kehidupan manusia. Selanjutnya makna hukum merupakan
perwujudan nilai tertentu menurut Satjipto Raharjo adalah sebagai berikut: 142 “Bila kita melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, maka
pilihan tersebut akan membawa kita kepada metoda yang bersifat idealis. Metoda ini akan senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang harus mewujudkan nilai-nilai tertentu.”
Nilai yang dimaksudkan itu menurut Asip F. Hadipranata sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakekatnya, yang dapat dibedakan sebagai
berikut: 143 (1) Nilai estetika atau nilai keindahan, yaitu nilai untuk manusia sebagai subjek
indra-jiwa, misalnya keindahan, kehalusan, kemesraan; (2) Nilai etik atau nilai moral atau nilai susila, yaitu nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, kebenaran, keadilan, kemerdekaan, kebahagiaan, dan cinta.
141 Eddy Darnian, Op. Cit. hlm. 18, mengatakan ada 3 macam konsepsi yakni, Konsepsi kekayaan, Konsepsi Hak, konsepsi perlindungan hukum. Tanda Petik pada nomor 4 berasal dari
pendapat penulis sendiri yang menambahkan suatu konsep lagi yaitu konsep nilai yang akan menimbulkan apresiasi masyrakat terhadap suatu karya cipta khususnya musik dan lagu.
Satjipto Raharjdo, Op. Cit., hlm. 5-6.
Asip F. Hadipranata, Peran Perguruan Tinggi Dalam Menumbuhkan Teori-teori dan Prinsip-Prinsip Kode Etik Bisnis di Indonesia, dalam Yunial Laili Mutiara “Perlindungan Hukum Hak Cipta dalam Bidang Rekaman Suara Di Indonesia (UU Nomor 7 Tahun 1987), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 48.
Dari uraian tersebut diketahui pentingnya perlindungan hukum bagi pencipta musik dan lagu. Pelanggaran hak cipta musik dan lagu berarti melanggar keempat konsep tersebut di atas.
2.2.7. Lisensi Pada Musik dan Lagu
Definisi liesensi tidak ditemukan dalam UUHC Tahun 1997, namun demikian untuk mengetahuinya dapat diketahui dari Copinger dan Skone James, seperti dikutip
oleh Rooseno sebagai berikut: 144 “Lisensi diberikan apabila hak cipta digunakan oleh seseorang yang bukan
pemiliknya, tanpa lisensi dari pemilik, perbuatan itu akan melanggar hak cipta. Lisensi diberikan berupa sub-lisensi apabila hal itu diizinkan oelh pemegang lisensi atau seseorang yang memperoleh alas hak penerimaan lisensi sesuai dengan ketentuan (termasuk yang tersirat) dalam lisesi untuk dilaksanakan sesuai dengan tujuan undang-undang, guna diberikan dengan lisensi oleh pemberi lisensi kepada setiap orang dan kepada siapapun lisensi itu mengikat.”
Seorang yang telah menerima alas hak dari ketentuan lisensi, tidak dapat mengenyampingkan hak moral yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Sehubungan dengan hal ini, David I. Bainbridge mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: 145 “ ….therefore, the ultimate owner of a copyright is not entirely free to do as he
wishes with the work that is the subject matter of the copyright. Nevertheless, in most cases, respecting the author’s moral rights will not be a hindrance to the economic exploitation of copyright.”
Selanjutnya dalam UUHC Tahun 1997 selain lisensi wajib yang diatur pada pasal 15, khusus tentang ketentuan lisensi terdapat dalam Pasal 38A, Pasal 38B dan 38C.
Pasal 38 A UUHC Tahun 1997 sebagai berikut:
(1) Pemegang hak cipta berhak memberi lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.
Copinger and Skone James on Copyright, Eleventh edition, Sweet & Maxwell Publisher, London, 1971, dalam Rooseno, Op. Cit., hlm. 13.
David. I. Bainbridge, Op. Cit. hlm. 75.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia;
Pasal 38 B UUHC Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
“kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.”
Pasal 38 C UUHC Tahun 1997 sebagai berikut:
“(1) Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian negara.
(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan di kantor Hak Cipta. (3) Permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditolak oleh Kantor Hak Cipta selanjutnya, permintaan pencatatan lisensi harus ditolak oleh kantor Hak Cipta. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi, termasuk cara pencatatannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Sampai saat ini ketentuan dari pasal tersebut di atas belum terealisasi dengan baik khususnya mengenai lisensi hak cipta musik dan lagu, baik sarana maupun prasarana pencatatan lisensi belum tersedia pada Direktorat Jenderal HaKI Direktorat Hak Cipta.
2.2.8. Sistem Pembayaran Royalti
Terminologi royalti dalam New Encyclopaedia Britannica tahun 1980 adalah: 146
“Pembayaran yang diberikan kepada seorang pencipta, komposer, atau artis atas setiap penggandaan karya ciptanya yang terjual, juga digunakan pada penemuan baru, desain, dan hak pertambangan.”
Sistem pembayaran royalti mulai digunakan pada abad ke-16 di Inggris. Istilah royalti itu berasal dari suatu kenyataan, bahwa tambang-tambang emas, perak, gas alam, dan minyak serta tambang-tambang mineral lainnya adalah milik kerajaan Inggris yang hanya dapat ditambang jika membayar royalti pada raja. Dalam perkembangan selanjutnya istilah royalti tidak hanya merupakan suatu pembayaran seseorang kepada raja karena telah diizinkan untuk menambang bahan-bahan tambang milik kerajaan
146 The New Encyclopedi Britannia, hlm. 701, 1980, dalam Rooseno, Op. Cit., hlm. 15.
saja, tetapi istilah tersebut juga digunakan untuk pembayaran yang diberikan kepada pencipta atau penemu dan lain sebagainya atas penggunaan hak eksklusif dari karya cipta ataupun karya temuannya.
UUHC Tahun 1997 tidak memberikan definisi mengenai royalti musik dan lagu, namun demikian ketentuan lain yang dapat dijadikan rujukan adalah Copyright
Royalties for Music dan Sound Rocordings 147 dalam Rooseno sebagai berikut: “Suatu pembayaran yang diserahkan kepada pemilik hak cipta tau pemain atas
penggunaan hak miliknya. Hal ini didasarkan pada perjanjian persentase atau dengan ukuran-ukuran lain dari pendaptan yang timbul dari penggunaan hak milik itu.”
Dari ketentuan di atas istilah royalti di bidang musik dan lagu, dipahami sebagai suatu pembayaran yang dilakukan oleh pengelola hak cipta, berupa uang kepada pencipta atau pemegang hak cipta, atas izin yang diberikan untuk mengeksploitasi suatu karya cipta.