Konvensi International yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Cipta dan Ketentuan TRIPs-WTO

2.3. Konvensi International yang Berkaitan dengan Perlindungan Hak Cipta dan Ketentuan TRIPs-WTO

2.3.1. Konvensi Bern

Konvensi Bern mengatur perlindungan terhadap karya sastra dan artistic. Konvensi ini ditandatangani pada tanggal 9 September 1886, dan telah beberapa kali mengalami revisi. Revisi pertama di Paris tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin tanggal 13 November 1908, kemudian disempurnakan di Bern tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1929 dan di Brussels tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm tanggal 14 Juli 1967 dan terakhir sekali di Paris

pada tanggal 24 Juli 1971. 148

147 Copyright Royalties for Music and Sound Recordings, Chapter 5, Copyright & Home Copying Technology Challenges the Law, Congress of the United States, Office of Technology Assessment,

Oktober 1989, dalam Rooseno, Op. Cip., hlm. 40 148 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 1997, hlm. 134.

Sampai tahun 1996 tercatat 117 negara yang telah meratifikasinya. 149 Perubahan dilaksanakan agar dapat memenuhi tantangan dari kemajuan teknologi di

bidang pemanfaatan karya pengarang agar dikenal pula hak-hak baru dalam melaksanakan revisi yang diperlukan.

Penyempurnaan Konvensi Bern yang mempunyai arti penting khususnya bagi negara berkembang adalah, revisi Stockholm 14 Juli 1967. Konvensi ini memuat protokol yang merupakan suplemen dari suatu perjanjian utama. Protokol ini diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri. Adanya protokol Stockholm ini menyebabkan negara-negara berkembang mendapatkan pengecualian atau reserve berkenaan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Reserve dari ketentuan ini hanya berlaku terhadap negara yang melakukan ratifikasi dari protokol tersebut. Pengecualian ini didasarkan demi kepentingan ekonomi, sosial, atau cultural

dari negara-negara tersebut. 150 Adapun tujuan dari Konvensi Bern sebagaimana tercantum dalam Preambelnya adalah, “ To protect, in as effective and uniform a

manner as possible, the rights or authors in their literary and artistic works” Konvensi Bern 1886 mempunyai tiga prinsip utama. Keikutsertaan suatu negara

sebagai anggotanya menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam UUHC nasionalnya tiga prinsip utama ini, sebagai berikut:

(1) Prinsip National Treatment atau Assimilation Prinsip yang memberikan perlindungan yang sama atas ciptaan yang berasal dari negara perserta konvensi seperti halnya dalam memberi perlindungan atas ciptaan warga negara sendiri. (2) Prinsip Automatic Protection

149 Eddy Darnian, Op. Cit., hlm. 59 150 Saidin, Op. Cit. hlm. 136

Perlakuan nasional tidak tergantung dari formalitas, hal ini berarti perlindungan diberikan secara otomatis dan tidak memerlukan pendaftaran, deposit atau pemberitahuan formal dalam kaitan dengan publikasi. (3) Prinsip Independence of Protection Perlindungan tersebut adalah independen tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.

Adapun yang dilindungi oleh Konvensi Bern adalah, pencipta yang berkewarganegaraan negara anggota konvensi, baik yang menciptakan karya ciptaan yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan. Bagi pencipta yang bukan warga negara dari anggota Konvensi Bern, perlindungan diberikan atas karya ciptaan yang diumumkan pertama kali di salah satu negara anggota Konvensi Bern, secara stimultan di negara yang bukan anggota Konvensi Bern dan di salah satu negara anggota Konvensi Bern. Konvensi ini juga mengakui cerita rakyat ( foklslore) , yang berkembang sebagai bagian dari warisan mereka dengan kemungkinan untuk mengeksploitasinya.

Selanjutnya hak-hak ekonomi yang merupakan hak ekslusif pencipta dalam Konvensi Bern secara umum sebagai berikut: (1) Hak untuk menerjemahkan (Pasal 8 Konvensi Bern), (2) Hak untuk reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun (Pasal 9 Konvensi Bern), (3) Hak untuk membuat gambar hidup dari suatu karya ( audiovisual) , Pasal 9 ayat (3) Konvensi Bern, (4) Hak mempertunjukkan di muka umum ciptaan drama, drama musik, dan ciptaan musik, (Pasal 11 Konvensi Bern), (5) Hak penyiaran (Pasal 11 bis Konvensi Bern), (6) Hak mendeklamasikan (to recite) di muka umum ciptaan sastra (Pasal 11 ter Konvensi Bern),

(7) Hak untuk membuat aransemen dan adaptasi (Pasal 12 Konvensi Bern), (8) Hak memperbanyak yang dimiliki oleh pencipta (Pasal 13 Konvensi Bern)

Lamanya waktu perlindungan yang ditetapkan dalam Konvensi Bern adalah selama hidup pencipta ditambah 50 tahun sesudah pencipta meninggal dunia. Menyangkut mengenai perlindungan hukum hak cipta yang tidak diketahui penciptanya (anonymous ) atau pencipta memakai nama samara (pseudonymous) atau pencipta merahsiakan jati dirinya, jangka waktu yang diberikan adalah 50 tahun, semenjak pengumumannya secara sah dilakukan. Selanjutnya tugas administrasi Konvensi Bern dilaksanakan oleh WIPO.

2.3.2. Universal Copyright Convention (UCC) 1955

UCC ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1952 dan baru mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Sebagaimana Konvensi Bern, konvensi ini mengalami revisi pada tanggal 24 Juli di Paris. Konvensi UCC terdiri dari 21 Pasal dan

3 Protokol. Konvensi ini merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah yang berbeda berkenaan dengan hak cipta, yang berlaku di kalangan masyarakat internasional. Aliran falsafah pertama adalah, masyarakat dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law ) mengacu kepada Konvensi Bern, yaitu menganggap hak cipta sebagai hak alamiah yang dimiliki pencipta. Asas ini dicakup dalam asas kedua Konvensi Bern, yang disebut dengan “automatic protection”, yaitu secara otomatis memberikan perlindungan hukum kepada

pencipta, sejak ciptaan itu lahir dan diwujudkan dalam suatu karya. 151 Aliran falsafah kedua yaitu, masyarakat dengan sistem hukum Anglo Saxon (Common La w)

151 Saidin, Op. Cit., hlm. 139 151 Saidin, Op. Cit., hlm. 139

Dengan demikian UCC mencoba mempertemukan antara falsafah Eropa dan Amerika, walaupun akhirnya falsafah Amerika yang dikedepankan, yaitu mengutamakan hak monopoli pencipta dengan memperhatikan kepentingan umum. Kenyataan menunjukkan bahwa ada kerjasama di antara negara-negara yang menganut ke dua konvensi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan diperkenankan negara-negara anggota UCC menjadi perserta pada Konvensi Roma 1961 tentang Perlindungan Hukum para Artis Pelaku Pertunjukan (Performers), Produser Rekaman Suara

(Producers of Phonogram) 153 , dan Lembaga Penyiaran (Broadcasting Organization) ,

2.3.3. Perjanjian Bilateral

Perjanjian antara negara (treaty ) biasanya dibedakan ke dalam perjanjian bilateral (dua negara) dan multilateral (banyak negara). Perjanjian bilateral ini dibuat berdasarkan perlindungan timbale balik ( reciprocal) , yaitu saling melindungi hak cipta

negara lainnya berdasarkan hukum nasionalnya. 154 Selanjutnya untuk mengikat negara- negara peserta, perjanjian ini perlu diratifikasi oleh negara yang bersangkutan setelah

ditandatangani oleh pemerintahnya. 155 Terdapat tiga tahapan dalam pembuatannya yaitu:

(1) Perundingan (negotiation ); (2) Penandatanganan ( signature );

(3) Pengesahan ( ratification ). Ratifikasi dari perjanjian tersebut dilakukan dengan menuangkannya ke dalam bentuk produk hukum nasional tertentu, misalnya undang-undang atau keputusan presiden, sesuai dengan tingkat kepentingan perjanjian itu. Beberapa perjanjian bilateral hak cipta yang telah diratifikasi Indonesia adalah:

152 Paul Goldstein, dalam Eddy Darnian, Op. Cit., hlm. 67 153 Eddy Darnian, Op. Cit., hlm. 72.

154 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 81 155 Sanusi Bintang, Op. Cit., hlm. 28

(1) Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun 1988 27 Mei 1988 Tentang Pengesahan Persetujuan Pemerintah RI dengan masyarakat Eropa (Belgia, Denmark, Belanda, Inggris, Perancis, Irlandia, Itali dan Spanyol) mengenai Pemberian Perlindungan Hukum secara timbal balik atas rekaman suara ( sound recording), (2) Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 1989 tanggal 29 Mei 1989 Tentang Ratifikasi Persetujuan Perlindungan Hak Cipta antara RI dengan Amerika Serikat. (3) Keputusan Presiden RI Nomor 38 Tahun 1993 tanggal 15 Mei 1993 tentang Ratifikasi Persetujuan Perlindungan Hak Cipta antara RI dengan Australia. (4) Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun 1994 tanggal 28 Juli 1994 Tentang Ratifikasi Perlindungan Hak Cipta antara RI dengan Inggris.

2.3.4. World Intellectual Property Organization (WIPO)

WIPO merupakan salah satu lembaga khusus ( specialized agencies ) dari PBB seperti halnya ILO, UNESCO, dan WHO. Hampir semua konvensi internasional mengenal HaKI selama ini berada di bawah administrasi WIPO. Di samping mengadministrasikan konvensi-konvensi internasional, WIPO juga bertugas untuk memajukan HaKI di seluruh dunia melalui kerjasama antar negara, misalnya melakukan pelatihan, seminar, dan menyiapkan model-model hukum untuk negara berkembang.

Tujuan umum WIPO adalah memelihara dan meningkatkan penghargaan terhadap HaKI di seluruh dunia sehingga mendukung pengambangan perindustrian dan kebudayaan melalui pemberian semangat untuk melakukan kegiatan kreatif, pemberian kemudahan untuk alih teknologi, dan penyebaran ciptaan. Untuk itu WIPO pada dasarnya memiliki tiga kegiatan, yaitu kegiatan pendaftaran, kegiatan promosi kerjasama internasional di dalam pengelolaan HaKI, dan kegiatan substansi atau program.

Khusus di bidang hak cipta, tujuan program tetapnya meliputi: (1) Mendorong lahirnya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan di negara-negara berkembang; (2) Menyebarkan sesuai dengan kewenangannya, dengan syarat-syarat yang adil dan masuk akal, ciptaan yang dilindungi hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta di negara-negara sedang berkembang;

(3) Mengembangkan perundang-undangan dan kelembagaan dalam lapangan hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta di negara-negara sedang berkembang.

Untuk mencapai tujuan tersebut WIPO telah melakukan kegiatan di bawah program tetapnya, antara lain kursus, pelatihan, seminar, dan pertemuan informasi, penyusunan draft model-model hukum yang khusus dirancang untuk negara sedang

berkembang di bidang hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta. 156 WIPO, meskipon selalu aktif melaksanakan tugas-tugasnya tetapi pihak negara-

negara maju terutama Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dan Jepang tidak puas dengan mekanisme perlindungan HaKI yang selama ini berjalan, karena dianggap belum cukup memberikan perlindungan hukum menurut ukuran yang mereka inginkan. Selain itu sistem pemungutan suara “ One country one vote ,” yang dipakai WIPO dianggap tidak menguntungkan negara maju, karena banyak anggotanya berasal dari negara berkembang. WIPO juga dianggap tidak dapt memaksakan negara anggota suatu konvensi internasional untuk mematuhi peraturan yang digariskan dalam konvensi itu.

Konvensi Bern, misalnya tidak berlaku untuk Indonesia. 157 Kelemahan WIPO lainnya adalah tidak adanya suatu mekanisme penyelesaian

sengketa yang efektif. Akibat kelemahan ini pelanggaran hukum HaKI terjadi di mana- mana, terutama di negara-negara berkembang. Untuk memperbaiki kelemahan WIPO yang sekaligus untuk memenuhi keinginan negara-negara maju mempertinggi standar pengaturan HaKI, berbagai cara dilakukan antara lain dengan melakukan tekanan- tekanan ekonomi dan politik terhadap negara-negara berekembang, seperti Indonesia, Brazil, Indian, Malaysia dan Thailand, menjadi sasaran penekanan Amerika Serikat untuk memperkuat perlindungan HaKI baik dari segi substansi hukum maupun penegakannya. Indonesia pernah diancam akan dicabut GSP apabila tidak memperbaiki

hukum HaKInya. 158

2.3.5. Perjanjian TRIPs-WTO

Bagi negara-negara maju, TRIPs-WTO mengatur sistem disiplin pelaksanaan peraturan yang lebih efektif, potensial, dan menjanjikan untuk menangani pelanggaran HaKI di negara-negara berkembang. Masuknya masalah HaKI dalam TRIPs-WTO

156 WIPO, Op. Cit. hlm. 46 157 Sanusi Bintang, Op. Cit., hlm. 71 158 Supra, BAB I.

berarti HaKI sudah menjadi salah satu isu perdagangan internasional, bukan lagi hanya sebagai masalah intern hukum nasional. Argumentasi negara-negara maju mengaitkan HaKI dengan perdagangan internasional menurut Sanusi Bintang karena, perlindungan HaKI yang ketat akan mengurangi hambatan-hambatan perdanganan (trade barriers ), yang merupakan tujuan dari perjanjian multilaral TRIPs-WTO. Pelanggaran HaKI

dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme. 159 Semula masuknya HaKI ke dalam agenda perudingan GATT-WTO putaran

Uruguay ditentang oleh negara-negara berkembang yang diprakarsai oleh Brazil dan India. Menurut mereka WIPO yang paling tahu mengenai masalah-masalah HaKI, karena pengalamannya dalam mengurus soal-soal ini. WIPO dianggap lebih mampu daripada GATT-WTO, perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang terletak bukan pada perlu tidaknya perlindungan HaKI, tetapi pada standard dan ruang lingkup perlindungan, yang ditimbulkan oleh berbedanya tingkat kebutuhan masing-masing negara. Negara maju, menginginkan standar yang lebih tinggi karena keperluannya untuk melindungi industry-industrinya yang dalam beroperasi sangat bergantung pada sumber daya manusia dan teknologi, yang merupakan keunggulan kompetitif mereka dari negara-negara berkembang. Keunggulan kompetitif inilah yang akan dijadikan sebagai sumber kekuatan pasar.

Kenyataan seperti ini menurut Sanusi Bintang adalah sebagai berikut: 160 “Bagi negara berkembang perlindungan HaKI dengan standar tinggi dan ruang

lingkup yang luas seperti sekarang akan lebih menguntungkan negara-negara maju, karena sebagian besar HaKI dikuasai atau dimiliki oleh mereka.” Tampaknya argumentasi negara maju lebih kuat, ditambah dengan mekanisme

pengambilan keputusan dalam perundingan TRIPs-WTO yang menguntungkan negara maju. Pendekatan yang mirip dengan “ take it or leave it” , dan tidak adanya kesamaan

159 Sanusi Bintang, Op. Cit., hlm. 72

160 Ibid., hlm. 73 160 Ibid., hlm. 73

pemenangnya”. 161 Masuknya HaKI dalam sistem TRIPs-WTO akan membawa dampak terhadap

masa depan eksistemsi WIPO, kiranya WIPO perlu tetap dipertahankan karena masih diperlukan. Saat ini perlu diperhatikan pembagian tugas yang jelas antra WIPO dengan TRIPs-WTO yang ditangani oleh The Council for TRIPs . WIPO karena pengalaman dan keahliannya dapat diserahkan tugas-tugas administasi konvensi internasional tentang HaKI dan memasyarakatkannya di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Adapun The Council for TRIPs dapat diberikan tugas pengawasan pelaksanaan peraturan-peraturan HaKI yang dihasilkan perundingan TRIPs-WTO.

Meerhagaege dalam A.F. Ely Erawati mengatakan tujuan dari TRIPs-WTO adalah: 162

(1) Mewujudkan sistem perdagangan internasional yang stabil dan transparan; (2) Melaksanakan liberalisasi perdangangan internasional; dan (3) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan manusia.”

Untuk mencapai tujuan tersebut TRIPs-WTO berfungsi sebagai berikut: 163

(1) Perangkat hukum internasional yang mengatur sistem dan mekanisme perdagangan internasional; (2) Forum negoisasi antar bangsa untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan internasional; dan (3) Forum konsultasi dan penyelesaian sengketa perdagangan internasional antar negara anggotanya”.

Ada lima prinsip yang dimiliki TRIPs yang tertuang dalam Bab I Pasal 1 sampai dengan Pasal 8 TRIPs yaitu:

161 Bambang Kesowo dalam Sanusi Bintang, Loc. Cit.

162

A.F. Elly Erawati, “Sistem dan Mekanisme Perdagangan Internasional”, Pro Justitia, Vol. 4 1994, hlm. 87-112.

163

A.F. Elly Erawati, Loc. Cit.

(1) Prinsip Free to Determine Prinsip yang memberikan kebebasan kepda anggotanya untuk menentukan cara- cara yang dianggap sesuai untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistam dan praktek hukum nasionalnya. Negara anggota dapat menerapkan sistem perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HaKI dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota. (2) Prinsip Intellectual Property Convention Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional di bidang HaKI, \khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs). (3) Prinsip National Treatment Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HaKI yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya berlaku bagi warga negara perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum. (4) Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HaKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4 TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya perlakuan diskriminasi suatu negara

terhadap negara lainnya dalam memberikan perlindungan HaKI. Setiap negara anggota diharuskan memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya. (5) Prinsip Exhaution Ketentuan yang mengharuskan anggotanya, di dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan HaKI di dalam negara mereka (Pasal 6 TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya. Menyangkut prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan tugas sebagai pengelola TRIPs. Pengawasan pelaksanaan TRIPs, dilakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara structural merupakan bagian dari WTO. Jika WIPO tidak dapat memaksakan negara anggotanya untuk mematuhi

peraturan yang digariskan dalam konvensinya, maka berbeda halnya dengan TRIPs. Menyangkut hak cipta TRIPs mewajibkan negara anggotanya terikat dengan Konvensi Bern sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (2) TRIPs tentang Intellectual Property Convention: “ Nothing in Parts I to IV of this Agreement shall derogate from existing

obligations that members may have to each other under the Paris Convention, the Berbe Convention, the Rome Convention and the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrate Circuits.”

Pasal 3 ayat (1) TRIPs tentang National Treatment: “ Each Member shall accord to the nationals of other Members treatment no

less favourable than that it accords to its own nationals with rega rd to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided n, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In respect of performers, producers of phonograms and less favourable than that it accords to its own nationals with rega rd to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided n, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention or the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits. In respect of performers, producers of phonograms and

Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) TRIPs mengatur kewajiban anggota untuk melaksanakan Pasal 1 sampai dengan Pasal 21 Konvensi Bern yaitu, “ Members shall comply with Articles 1 through 21 of the Berne Convention (1971) and the Appendix thereto” .

TRIPs tidak mengatur hak ekonomi pencipta musik dan lagu. Selanjuntya TRIPs menyebut hak ekonomi dengan hak eksklusif (exclusive right). Ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Pasal 13 TRIPs sebagai berikut:

“ Members shall confine limitations or exceptions to exclusive rights to certain special cases which do not conflict with a normal exploitation of the work and do not unreasonably prejudice the legitimate interest of the right holder.”

Berdasarkan pasal-pasal yang telah diuraikan di atas maka perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu merujuk pada Konvensi Bern.