PERLINDUNGAN TERHADAP HAK EKONOMI PENCIP (1)

2.3. Konvensi Internasional yang Berkaitan dengan

79

Perlindungan Hak Cipta dan Ketentuan TRIPs-WTO .......

79

2.3.1. Konvensi Bern..............................................................

81

2.3.2. Universal Copyright Convention (UCC) 1955 ..............

82

2.3.3. Perjanjian Bilateral .......................................................

84

2.3.4. World Intellectual Property Organization (WIPO) ........

85

2.3.5. Perjanjian TRIPs-WTO ................................................

BAB III. PELANGGARAN HAK EKONOMI PENCIPTA MUSIK DAN LAGU SERTA ORGANISASI PERLINDUNGAN

91

PENCIPTANYA DI INDONESIA ................................................

91

3.1. Proses Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu

91

3.1.1. Penciptaan Musik dan Lagu ..........................................

3.1.2. Unsur-Unsur Penting dalam Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu .............................................

91

3.1.3. Prinsip Dasar yang Harus dipenuhi dalam Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu .......................

93

3.2. Organisasi Perlindungan Pencipta Musik dan Lagu di

3.2.1. Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) .......................

3.2.2. Dasar Pemungutan Royalti oleh YKCI ......................... 104

3.2.3. Cara Pembagian Royalti yang didistribusikan oleh YKCK Kepada Pencipta Musik dan Lagu ..................... 105

3.3. Organisasi Perlindungan Pencipta Musik dan Lagu di

Indonesia ............................................................................... 110

3.3.1. Kriteria Pelanggaran Terhadap Peniruan Karya Cipta Musik dan Lagu ........................................................... 110

3.3.2. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Karya Cipta Musik Dan Lagu ..................................................................... 111

3.3.3. Motivasi Melakukan Pelanggaran Karya Cipta Musik dan Lagu serta Kasus-Kasus Pelanggaran Di Bidang Musik dan Lagu ........................................... 113

3.3.4. Perbandingan Pembuktian Pelanggaran Karya Cipta Musik dan Lagu di Negara Lain dan Kasus-kasusnya .... 121

BAB IV. IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HAK EKONOMI PENCIPTA TERHADAP KARYA CIPTAAN MUSIK DAN LAGU DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1997

DIKAITKAN DENGAN PERJANJIAN TRIPS-WTO................ 129

DAFTAR SINGKATAN

ASCAP : The American Society of Composers, Authors and Publisher

ASIRI : Asosiasi Industri Rekaman Indonesia

BMI : The Broadcast Inc

BPHN : Badan pembinaan Hukum Nasional

BUMA : Het Bureau voor Muziek Autersrecht

CD : Compact Disc

Ditjen HCPM

: Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek

Ditjen HaKI

: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

Divisi MR-KCI : Divisi Mechanical Right Karya Cipta Indonesia

e-commerce : Electronic commerce

GATT : General Agreement on Tariff and Trade

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara

GDP : Gross Domestic Product

GNP : Gross National Product

GSP : General System of Preferences

HaKI atau HKI : Hak Kekayaan Intelektual

HMI : Hak Milik Intelektual

IIPA

: International Intellectual Property Alliance

IIPS : Indonesia Intellectual Property Society

IPR : Intellectual Property Right

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

LD : Laser Disc

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

MC : Master ceremony

MP3 : MPEG Layer 3 MTO

: Multilateral Trade Organization

N.N. : No name

PAPPRI : Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman

Indonesia

PERC : Political and Economic Risk Consultancy

POLRI : Polisi Republik Indonesia

PPN : Pajak Pertambahan Nilai

PPNS : Pejabat Pegawai Negeri Sipil

P3

: Pimpinan produser, produser, perusahaan rekaman

RUU : Rancangan Undang-undang

SEBA : De stichting tot Eksploitatie en Bescherming van Autersrechten

SESAC : The Society European Stage Authors and Compusers

Sinetron : Sinema Elektronik

SLPM : Sertifikat Lisensi Pengumuman Musik

SPO : Song Permission Order

STEMRA : De stichting tot Eksploitatie van Mecanische

Reproduktierechten van Auters

TRIPs : Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property

Rights in Counterfeit Goods

UUHC : Undang-undang Hak Cipta

UUD : Undang-Undang Dasar

VCD : Video Compact Disc

WCT : WIPO Copyright Treaty

WIPO : World Intellectual Property Organization

WTO : World Trade Organization

YKCI/KCI : Yayasan Karya Cipta Indonesia/Karya Cipta Indonesia

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Halaman

1. Perbedaan Sistem Pembayaran Royalti dan Flat Pay ............................

2. Data Peserta YKCI Tahun 1992 – 1999 ...............................................

3. Data Karya Cipta Musik dan Lagu 1992 – 1999...................................

4. Daftar Lagu yang diterima pendaftarannya Tahun 1997-1999 .............. 101

5. Daftar Musik dan Lagu yang ditolak Pendaftarannya Tahun

6. Cara Membagi Royalti.........................................................................

7. Ikhtisar Eksplitasi dan distribusi royalty atas hak mengumumkan

Dan hak menggandakan tahun 1998-1999 ........................................... 114

8. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1995 ................

9. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1996 ................

10. Kasus Pelanggaran Hak Cipta Musik dan Lagu Tahun 1997 ................

11. Kerugian Pembajakan HaKI di Indonesia Tahun 1998 – 1999 .............

DAFTAR DIAGRAM

No. Diagram Judul Halaman

1. Penggolongan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) .................................

2. Dua Macam Hak Pencipta, Hak Ekonomi dan Hak Moral ....................

3. Hak Ekonomi Pencipta Musik dan Lagu di Indonesia ..........................

4. Rangkaian Pengalihan Hak Ekonomi Pencipta dalam Musik dan

5. Keberadaan YKCI Sebagai Performing Right Society .........................

6. Proses Pendaftaran Hak Cipta Berdasarkan UUHC Tahun 1997 ..........

7. Mechanical Right YKCI ......................................................................

8. Alur Pembajakan Kaset, CD, VCD di Indonesia ..................................

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

III (abad 21) hamper tidak terlihat lagi batas-batas Negara, karena lalu lintas perdagangan dan informasi teknologi telah berjalan sangat cepat. Fenomena tersebut oleh Sudargo Gautaman, diibaratkan

Memasuki pintu gerbang millennium

dengan hidup dalam suatu dunia yang menciut 1 (shrinking world). Semenjak itu persaingan barang dalam perdaganan internasional tidak hanya berkaitan dengan

barang dan jasa semata-mata, tetapi terlibat juga sumber daya manusia berupa hasil kemampuan intelektual dan teknologi. 2

Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI atau HKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta. Selain itu berdasarkan Keppres Nomor 144 Tahun 1998, mulai 1 Januari 1999 Departemen Kehakiman Direktorat jenderal Hak Cipta Paten dan Merek (Ditjen HCPM) diubah menjadi Direktorat jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang- undangan RI No.M.03.PR-07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 24/M.PAN/1/2000 Tanggal 19 Januari 2000, mengubah istilah Hak atas kekayaan Intelektual menjadi Hak Kekayaan Intelektual, disingkat dengan HKI atau HaKI. Alasan pengubahan agar lebih menyesuaikan dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang tidak menuliskan kata depan “atas” atau

1 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta (1997), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 3.

2 Sylvia Ostry dan Michael Gestrine dalam Ahmad M. Ramli, Perlindungan Rahasia Dagang Dalam Era Globalisasi Dikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya di Indonesia, Disertasi,

Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran Bandung, 1999, hlm. 1.

“dari” untuk pemakaian istilah. Sejauh ini masih ditemuakn berbagai pendapat di antara penyebutan istilah HaKI dengan Hak Milik Intelektual (HMI), namun demikian dalam tulisan ini akan dipergunakan istilah HaKI. Selanjutnya HaKI terdiri atas dua kelompok, yaitu (1) Hak Cipta dan Hak yang Berkaitan dengan Hak Cipta serta (2) Hak kekayaan Industri. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada diagram di bawah ini.

Diagram 1. Penggoloongan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI): 3

Hak Kekayaan Intelektual Intellectual Property Rights

(1) Hak Cipta dan Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (2) Hak Kekayaan Industri Copyrights and Neighboring rights

Industrial Property Rights

a. Tulisan-tulisan ( writings )

a. Paten ( patents )

b. Model dan rancang bangun ( utility song works )

b. Ciptaan Musik atau Lagu ( musical or

models )

c. Ciptaan Drama ( dramatic works ) c. Desain Industri ( industrial design )

d. Ciptaan Audiovisual ( audiovisual works )

d. Rahasia dagang ( trade secrets )

e. Merek dagang ( trade marks ) drawings )

e. Lukisan dan Gambar ( painting and

f. Merek Jasa ( service marks ) f. Patung ( sculptures )

g. Nama dagang atau nama niaga ( trade

g. Ciptaan Photo ( photographic works ) names or commercial names )

h. Sebutan asal ( appletations of rigin ) i. Rekaman Suara ( sound recordings )

h. Ciptaan Arsitektur ( architectural works )

i. Indikasi asal ( indications of rigin ) j. Pertunjukkan Pemusik, Aktor dan j. Perlindungan terhadap persaingan curang

Penyanyi ( performances of musicians, ( unfair competition protection )

actors and singers ) k. Perlindungan varietas baru tanaman ( new k. Penyiaran ( broadcasts )

varieties of plants protection ) l. Terjemahan, Adaptasi/saduran l. Desain tata letak sirkit terpadu ( layout

( translation, adaption ) design of integrated circuits )

Ketentuan mengenai hak kekayaan industri untuk selanjutnya, tidak akan dibahas di sini, karena penulis hanya membatasi menyangkut hak cipta saja.

3 Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights-Agreement Establishing the World Trade Organization (TRIPs-WTO) yang kemudian diikuti oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun

1997 Tentang Hak Cipta. Lihat juga Eddy Darnian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi

Internasional, Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya Terhadap Buku serta

Perjajian Penerbitannya, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 23. Bandingkan dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 mengenai Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, “Musik atau lagu” diatur dalam sub d. Selanjutnya Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO), kemudian TRIPs-WTO menambah dua bidang lagi yaitu pada nomor k & l “ New Varieties of Plants Protection” dan Layout-design of Integrated Circuits” .

Adapun mengenai hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighboring rights ), merupakan hak yang berbeda dengan hak cipta. Hai ini lahir sejak ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra diwujudkan. Neighboring rights deberikan kepada para pelaku pertunjukan, produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran yang

terwujud karena adanya suatu kegiatan yang berhubungan dengan hak cipta. 4 Hak ini disebut juga dengan 5 related rights. Selanjutnya sebagai subjek hak, pelaku

pertunjukan, produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran tidak dianggap sebagai pencipta. Alasannya karena kegiatan yang mereka lakukan bukan merupakan proses kreatif yang melahirkan suatu karya cipta melinkan mereka hanya menampilkan (perform ) suatu karya seni. Dengan demikian tidak dibahas lebih lanjut, karena tidak menyangkut kajian dalam perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu.

Hak cipta yang merupakan bagian HaKI, memerlukan pengaturan perlindungan hukum yang lebih memadai, berupa pengembangan implementasi baik hukum internasional maupun hukum nasional. Terdapat juga kaitan yang eraat antara perlindungan hukum hak cipta dengan globalisasi perdagangan. Menyikapi hal tersebut Negara-negara maju, antara lain Amerika Serikat mendesak Negara-negara berkembang, supaya HaKI langsung dikaitkan dengan perdagangan. Hal ini disebabkan HaKI khususnya hak cipta, dapat menjadi salah satu kekuatan ekonomi nasional suatu Negara. Amerika Serikat nisalnya, semakin memilih peran sebagai

produsen HaKI yang dapat menunjang ekonomi negaranya. 6 Keadaan ini dimungkinkan karena keunggulan sumber daya manusia dan teknologi yang

dimilikinya. Demikian besar manfaat yang dirasakan dengan adanya perlindungan

4 WIPO, Background Reading Material on Intellectual Property, Geneva: WIPO, 1988, hlm. 216

5 Henry Sulistyo Budi, “Perlindungan Hak-hak yang Berkaitan Dengan Hak Cipta dan Permasalahannya”, Makalah , Jakarta 27 November 1997, hlm. 2.

6 Dylan A Macleod, U.S. Trade Pressure and The Developing Intellectual Property Law of Thailand and Indonesia, dalam Cita Citrawinda Priapantja, “Budaya Hukum Indonesia Menghadapi

Globalisasi: Studi Kasus Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi”, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 185.

HaKI, dan Negara-negara maju akan berusaha memberikan perlindungan yang ketat terhadap HaKI.

Mendukung pendapat di atas, Cornish mengatakan sebagai berikut: 7 “ The United States has led other industrial countries ini demanding that broad

and effective intellectual property la ws should become a condition of the package of mutual concessions that are to be agreed”

Pendapat tersebut menegaskan bahwa Amerika Serikat sebagai negara maju, meminta negara-negara berkembang untuk mengefektifkan pengatauran HaKI dan menjadikan keadaan demikian, sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi.

Negara yang tidak memberikan perlindungan dan melakukan pelanggaran HaKI atau tidak mematuhi standar-standar yang telah digariskan secara internasional menurut Sudargo Gautaman dan Rizawanto Winata, dapat dikenakan sanksi yaitu, dicabutnya berbagai fasilitas yang diberikan antara lian berupa General System of Preferences (GSP), atau adanya sanksi perdaganan dan pembalasan (retaliation) terhadap tiap negara yang mengeskpor barang ke Amerika. Wakil Amerika dalam Bank Dunia diminta untuk memveto pinjaman-pinjaman yang hendak diberikan kepada

suatu negara yang tidak memberikan perlindungan HaKI. 8 Kasus yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal tersebut yaitu, tanggal 1

Juni 1988 Indonesia diketahui telah mengekspor kaset bajakan (pira cy) ke wilayah Amerika Serikat. Pelanggar hak cipta tersebut juga melakukan pembajakan terhadap lagu-lagu asing (Amerika) dan diedarkan di wilayah Indonesia. Hal ini merupakan salah satu alasan Indonesia dimasukkan ke dalam negara priority-watchlist , yaitu daftar negara-negara yang harus diamati secara khusus karena tidak memberikan

7 Cornish W.R. Intellectual Property; Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Right, Second Edition, Sweet & Maxwell, London, 1989, hlm. 255.

8 Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual, Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 20-21 8 Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual, Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 20-21

UUHC Tahun 1997 tidak menggunakan istilah bajakan, yang berasal dari terjemahan piracy , namun istilah ini tertera pada Konsiderans UUHC Tahun 1987 dan Penjelasan Umum dari UUHC tersebut. Stilah tersebut juga dipakai secara umum oleh para ahli dalam tulisannya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bajakan (piracy) bermakna, “Mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan atau seizin

penciptanya.” 10 Industri hak cipta pun telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi

Negara-negara maju untuk pendapatan negaranya, seperti yang dinyatakan Hummel dalam Sanusi Bintang sebagai berikut: 11

“Industri yang berbasis hak cipta telah memberikan kontribusi yang tinggi dalam pembentukan Gross Domestik Producht (GDP) atau Gross National Product (GNP), terutama di negara-negara maju. Oleh karena, negara-negara maju memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan yang merupakan salah satu sumber keunggulan kompetitif industri mereka.”

Keuntungan lain dari industri yang berbasis hak cipta, adalah membuka kesempatan berusaha dan peluang kerja. Industri ini meliputi bidang-bidang industri musik dan perdaganngannya; industri pentas dan orkestra; industri film; industri radio dan TV; industri museum dan perdagangan seni; industri periklanan, desain, dan photografi; industri percetakan dan penerbitan (buku, surat kabar, majalah, jurnal dan sebagainya); industri arsitektur; industri penelitian dan pengembangan; industri perangkat lunak dan komputer serta produk multi media.

9 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta (1997) Op. Cit., hlm. 132

10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, 1996, hlm. 77. Selain itu istilah piracy merupakan istilah resmi yang digunakan dalam

TRIPs-WTO. 11 Hummei dalam Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1998,

hlm. 8.

Di era global keberadaan dan perkembangan karya cipta musik dan lagu sebagai salah satu bagian yang dilindungi hak cipta, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri teknologi (paten, know how , dan lain sebagainya). Industri ini dibentuk dari industri cultural yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan. Posisi tersebut menurut Arnel Affandi dicontohkan, Amerika Serikat sebagai Negara adi daya yang mengandalkan industri musik dan lagu, sebagai sumber devisa dalam

perdagangan internasionalnya. 12 Industri ini juga merupakan salah satu komoditi yang paling potensial bagi transaksi perdaganan internasional. 13 Hal tersebut karena

mempunyai segmen pasar yang sangat luas dan mampu melewati batas-batas negara. Selain itu musik dan lagu juga diminati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa mengenal batas usia. Pencipta musik dan lagu atau pemegang hak ciptanya memperoleh keuntungan komersial dari keunggulan kompetitif, dari kekhasan tertentu yang dihasilkan dari keindahan irama, lirik, melodi dan sebagainya, yang dibentuk melalui promosi atas periklanan, kritik, reputasi dan karya-karya pencipta sebelumnya. Dengan demikian, musik dan lagu sebagai seb uah komoditi mempynyai nilai ekonomi yang tinggi.

Latar belakang inilah yang menyebabkan Indonesia menandatangani perjanjian multilateral pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Afrika Utara. Deklarasi Marakesh melahirkan World Trade Organization (WTO) yang mencantumkan 28 kesepakatan global dan ditandatangani oleh 125 negara, mengatur segala bentuk perdagangan internasional di seluruh dunia. Perundingan yang dimulai sejak tahun 1986 di Punta del este, lazim juga dikenal dengan Uruguay Round , diantaranya memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) atau

12 Arnel Affandi, “Perlindungan dan Penegakan Hukum Hak Cipta Dalam Industri Musik Nasional”, Makalah, Asosiasi Industri Rekaman Indonesia, 1997, hlm. 1.

13 ASIRI, “Tinjauan Praktikal Terhadap Implementasi Penegakan Hukum HaKI Dalam Industri Musik Nasional”, Makalah , Seminar Pada Adhika Karya Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 20 Juli

1995, hlm. 2.

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights in Counterfeit Goods (TRIPs). Persetujuan ini memuat norma-norma dan standar perlindungan bai karya intelektual manusia, penegakan hukum HaKI secara ketat dan menempatkan perjanjian internasional di bidang HaKI sebagai dasarnya. Lahirnya TRIPs juga menyebabkan adanya suatu standar internasional yang mengacu kepada konvensi HaKI, dan adanya harmonisasi peraturan-peraturan HaKI bagi anggotanya. Selanjutnya ratifikasi TRIPs-WTO tersebut, pada tanggal 2 Nopember 1994 diwujudkan melalui pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organiztion) . Dimuat dalam Lembaran Negara Nomor

57 Tahun 1994, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1561. 14 Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus mengubah Undang-undang Hak

Cipta yang telah ada sebelumnya yaitu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 diubah mendadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 (selanjutnya disebut UUHC Tahun 1997), yang telah disesuaikan

berdasarkan TRIPs-WTO. 15 Pada tahun itu juga, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan tiga Keputusan Presiden berkenaan dengan hak cipta, yakni Keputusan

Presiden Nomor 15 Tahun 1997, Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997, dan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. 16

14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization ).

15 Ketika penulisan tesis ini, dibentuk Rancangan Undang-Undang Hak Cipta dan Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta Tahun 2000 yang merevisi UUHC yang telah ada sebelumnya. Saat ini

keberadaan RUU tersebut sedang dibahas di DPR. 16 Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Paris (Paris

Convention) dan Konvensi mengenai pembentukan WIPO; Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun

1997 Perlindungan Karya Sastra dan Seni ( Berne Convention for Protection of Literary and Artistic

Works); Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 Tentang WIPO Copyright Treaty . Treaty ini dinamakan Special Agreement dari Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Ilmiah. Jadi kaitannya hanya dengan Konvensi Bern.

Henry Sulistyo budi mengatakan pula alasan dilakukan penyempurnaan UUHC Thaun 1997 sesuai TRIPs disebabkan adanya: 17

”Kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah yang ditemui di lapangan, bahwa penyebab pelanggaran hak cipta adalah (1) etika masyarakat rendah dalam menghargai hak cipta; (2) pemahaman yang kurang dari masyarakat dan aparat penegak hukum; (3) ancaman UUHC yang terlalu ringan”.

Setelah dilakukan tindakan konkret tersebut di atas, konsekuensi lainnya sebagai negara peserta menyangkut pengaturan hak cipta, maka TRIPs-WTO menghendaki anggotanya terikat dengan Konvensi Bern (Pasal 3 ayat (2) TRIPs). Selanjutnya setiap anggota TRIPs harus memberlakukan prinsip National Tratment yaitu, setiap anggota wajib memberikan perlindungan yang sama kepada warga negara lain sebagaimana perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya sendiri dengan memperhatikan konvensi Berne, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Pemberlakukan prinsip Most-Favoured-Nation yaitu, semua anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama, yang harus dijalankan seketika dan tanpa syarat terhadap produk kekayaan

memperhatikan Konvensi bern, (Pasal 4 TRIPs). 18 Ketentuan lainnya setiap anggota TRIPs harus memetuhi Pasal 1 sampai dengan Pasal 21 Konvensi Bern, (Pasal 9 ayat

(1) TRIPs). Dari uraian tersebut menunjukkan setiap anggota TRIPS-WTO, juga harus terikat dengan Konvensi Bern. Berlakunya Konvensi Bern merupakan hal yang wajar

serta berlaku dengan sendirinya sebagai akibat ratifikasi TRIPs bagi negara peserta. 19

17 Henry Sulistyo Budi, “Tindakan Pemerintah yang merupakan Kebijakan Umum Dalam Mengantisipasi atau mencegah Pelanggaran di Bidang HaKI”, Makalah, Sekretariat Tim Keppres 34,

Jakarta, 1994. Hlm.2. 18 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan

Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 15 Dan 17. 19 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Konvensi-Konvensi Hak Milik Intelektual Baru

Untuk Indonesia (1997). Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 67-68. Indonesia kembali menjadi anggota Konvensi Bern pada Tahun 1997 berdasarkan Keppres Nomor 18 Tahun 1997 yang diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 35 Tahun 1997, setelah sebelumnya sempat keluar dari konvensi Bern ketika Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) tahun 1958. Salah satu alasan keluar dari Konvensi ini karena Indonesia sebelum mempunyai UUHC nasionalnya sendiri, maka sesungguhnya tidak layak untuk ikut serta dalam persetujuan internasional yang mengatur hak cipta. Indonesia pada saat itu hanya memiliki ketentuan perlindungan hak cipta dalam bentuk Auteursweet Belanda Tahun 1912. Pada tahun 1997 kita kembali meratififikasi Konvensi Bern mengingat saat ini kita terikat oleh TRIPs-WTO. Konvensi tentang Hak Cipta yang juga berlaku dikalangan masyarakat Internasional lainnya adalah Universal Copyright Convention (UCC) 1955, yang telah direvisi pada tanggal 21 Juli 1971 di Paris.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 mengimplementasikan ketentuan mengenai perlindungan dan penghargaan hak cipta

serta royalti bagi pelaku seni dan budaya yaitu: 20

”Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi bagi kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan budaya.”

Lebih lanjut GBHN Tahun 1999-2004 mengatur sebagai berikut: 21

”Melestarikan apresiasi nilai-nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian utnuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional.”

Adanya UUHC Tahun 1997 yang disesuaikan dengan TRIPs-WTO dan tekad Pemerintah untuk menegakkan dan memberi perlindungan terhadap hak cipta (musik dan lagu), yang tercermin dalam GBHN ternyata tidak menyurutkan terjadinya pelanggaran terhadap karya tersebut. Hal ini menimbulkan kerugian baik hak ekonomi maupun hak moral pencipta, padahal diketahui pelanggaran itu adalah pekerjaan liar, tersembunyi, tidak dapat diketahui oleh orang banyak apalagi petugas pajak. Pelanggar hak cipta musik dan lagu, tidak mungkin membayar pajak kepada negara. Jelaslah bahwa perbuatan yang mereka lakukan itu, di samping merugikan pencipta atau pemegang hak cipta juga merugikan negara. Pelanggaran hak cipta merupakan salah satu dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang grafika dan

elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum. 22 Jika perbuatan itu dilakukan terus-menerus dan dalam jumlah yang makin meningkat akan menimbulkan akibat

negatif terhadap laju pembangunan di bidang hak kekayaan intelektual. 23

20 Ketetapan MPR/Nomor IV/MPR/1999-2004 BAB IV (F) Sosial dan Budaya Butir 2

Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata sub d.

21 Ibid, sub f. 22 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

1999, hlm. 442 23 Ibid, hlm. 425.

Mengomentari mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta musik dan lagu, Chandra Darusman menyatakan sebagai berikut: 24

”Penegakan hukum terhadap kasus-kasus hak cipta musik dan lagu seringkali masih ragu-ragu. Pihak penegak hukum masih enggan bertindak tegas kepada pedagang kaki lima yang menjual ”kaset seribu tiga”, atau kaset yang tidak memiliki izin. Pertimbangannya karena masalah sosial ekonomi, maka sepertinya tidak manusiawi menindak mereka yang jelas-jelas melawan hukum. Pedagang kaki lima sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kalangan bawah karena masyarakat golongan ini, tidak akan mampu membeli kaset di toko dengan harga resmi”.

Masalah penegakan hukum dan masih kurangnya pemahaman terhadap hak cipta juga diutarakan Henry Soelistyo Budi, sebagai berikut: 25

”Kurangnya pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum mengenai (arti dan fungsi), perlu kerja keras semua pihak baik pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat maupun para pencipta sendiri, untuk memperbaikinya. Adanya kelemahan dari segi pelaksanaan (enforcement ), sampai saat ini masih relevan untuk dipersoalkan”.

Masalah lainnya adalah, hak cipta masih dianggap hal baru di Indonesia terutama bagi polisi, jaksa dan hakim, sehingga banyak kasus-kasus pelanggaran tersebut tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan UUHC yang ada, melainkan tuntutan pelanggaran sering menggunakan pasal-pasal dalam KUHP, sekalipun dalam

UUHC sendiri telah mencantumkan ketentuan pidana. 26 Kasus yang dapat dicontohkan untuk hal ini adalah Kasus Fam Ing Tjun di

Pengadilan Jakarta Utara, yang meniru lagu ”Apanya dong” ciptaan Titik Puspa diubah menjadi ”Mau apanya dong.” Peniruan tersebut berupa, judul lagu yang hampir bersamaan; harmoni yang sama mulai tengah sampai akhir; refrain lagu yang sama dan nada lagu hampir 50% sama. Jaksa dalam surat dakwaannya mengajukan tuntutan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal 380 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 44 ayat

24 Chandra Darusman, dalam Paul Goldstein, Copyright’s Highway, From Gutenberg to the Celestial Jukebox, (Diterjemahkan “Hak cipta: Dahulu, Kini dan Esok”), Masri Maris

(Penerjemah), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. IX 25 Henry Sulistyo Budi, “Tindakan Pemerintah yang Merupakan Kebijakan Umum Dalam

Mengantisipasi atau Mencegah Pelanggaran di Bidang HaKI,” Op. Cit. hlm. 2

26 Bambang Kesowo, “Suara Pembaharuan”, Tanggal 12 September 1997, hlm. 2.

(1) jo 11 ayat (1) ke-3 UUHC Tahun 1982; dan dakwaan subsider Pasal 380 ayat (1) ke-2 KUHP dan Pasal 44 ayat (2) jo Pasal 11 ayat (1) ke-3 UUHC Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dan akhirnya terdakwa dihukum enam bulan penjara. Putusan ini dikuatkan

oleh Pengadilan Tinggi jakarta dan Mahkamah Agung. 27 Kasus lainnya adalah Grup Bimbo yang menggugat mantan produsernya

(Eugene Timothy ) dan perusahaan yang dimilikinya (PT. Remaco), yaitu perusahaan yang merekam karya cipta Bimbo. Gugatan Bimbo menyangkut mengenai pembayaran royalti, penggandaan rekaman serta peredaran cover album mereka yang dilakukan produsernya dan PT. Remaco tanpa seizin Bimbo. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memutuskan, bahwa Bimbo bersalah telah melakukan Pasal 1372 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum berpa pencemaran nama baik/penghinaan kepada mantan produsernya, selanjutnya menghukum bimbo

membayar ganti rugi 500 juta rupiah kepada produsernya dan PT. Remaco. 28 Keadaan demikian menunjukkan bahwa perlindungan hukum masih jauh dari harapan pencipta

musik dan lagu di Indonesia. Putusan hakim juga tidak berlandaskan UUHC Tahun 1997, sebagaimana yang dijadikan landasan gugatan Bimbo selaku Penggugat.

Pada tahap inilah perlindungan hukum yang disertai kepastian hukum diperlukan oleh pencipta musik dan lagu. Adanya perlindungan hukum disertai kepastian hukum bagi pencipta tersebut akan mendorong lahirnya suatu karya seni yang bermutu. Karya itu berasal dari tenaga, waktu, pikiran dan biaya pencipta. Pelanggaran terhadap hak ekonominya akan menyebabkan kreativitas mereka berkurang atau lahirlah karya yang tidak bermutu sama sekali.

27 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 1331/K/Pid/S/1983, tanggal 11April 1984 jo Putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 57 /Pid/1984/PT DKI, tanggal 28 September 1984 jo

Mahkamah Agung RI No. 1266.K/Pid/1985, tanggal 26 April 1989. 28 Putusan Perdata No. 164/PDT.G/1999/PN. Jak. Sel tanggal 30 Maret 1999. Selanjutnya

Kompas, “Nama dan Peristiwa”, Jakarta, Minggu, 19 September 1999, hlm. 12. Dan Republika, “Manusia-manusia”, Jakarta, Minggu, 26 September 1999, hlm. 16. Lebih lanjut Infra, BAB III

Selain pelanggaran terhadap musik dan lagu yang terjadi di Indonesia, lagu ciptaan pencipta Indonesia pun banyak dilanggar di luar negeri, misalnya lagu Bengawan Solo telah dilanggar di Jepang, demikian juga dengan lagu ”Madu dan

Racun” juga dibajak di luar negeri, 29 yaitu di Malaysia dan Singapura. Pelanggaran terjadi juga antara sesama pencipta lagu seperti pada lagu ”Pretty Woman” yang

diciptakan Roy Orbison dan William Dees. Tahun 1990 atau setelah 25 tahun lagu laris dan terkenal ini beredar diubah tanpa seizin penciptanya, dari irama pop menjadi rap oleh kelompok rapper terkenal ”2 Live Crew.” demikian juga dengan lagu ”Me so

Horny dan My Seven Bizos.” 30 Menurut Johny Tarigan seperti yang dikutip Ismail Saleh bahwa untuk

pembajakan kaset yang dilakukan di luar negeri, negara sekurang-kurangnya dirugikan 7,5 milyar rupiah setahun, belum terhitung kerugian bea masuk untuk kaset kosong yang digunakan. Kerugian ini timbul karena pembajak tidak membayar bea masuk, biaya sensor, dana sertifikat produksi, biaya penggandaan, dan pajak pertambahan nilai

(PPN). 31 Mengomentari hal yang sama Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia

(ASIRI), Rinto Harahap menyatakan setiap bulan pihaknya dirugikan 6 milyar rupiah akibat ulah pembajak. Bahkan menurutnya lebih dari 60 persen lagu-lagu yang beredar

di Indonesia adalah bajakan. 32 Dalam beberapa hal menyangkut perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan

lagu, belum terdapat pengaturannya dalam UUHC tahun 1997. salah satu contoh tindakan seseorang yang mengambil sebuah karya orang lain untuk diparodikan. Karya

29 Sri Sunarni Sunarto, “Peranan Suatu Perjanjian Internasionall Untuk Melengkapi Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran

Bandung, 1989, hlm. 3. 30 Paul Goldstein, Copyright’s Highway, From Gutenberg to the Celestial Jukebox,

(Diterjemahkan “Hak cipta: Dahulu, Kini dan Esok”), Masri Maris (Penerjemah), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 3

31 Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. 47-48 32 Ismail Saleh. Loc. Cit 31 Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. 47-48 32 Ismail Saleh. Loc. Cit

Era multi media pun mengakibatkan media internet merupakan suatu arena baru yang memunculkan dan memperkenalkan rekaman musik dan lagu, kepada masyarakat dan users-nya. Pengaturan perlindungan hak ekonomi bagi pencipta, melalui internet adalah sarana yang dapat mengumumkan, menggandakan, mendistribusikan, dan men- download musik dan lagu karya mereka, yang sampai saat ini belum tercakup dalam UUHC Tahun 1997. semuanya ini memerlukan kajian lebih lanjut sehingga dalam penyusunan RUU yang sedang dibahas saat ini, semua persoalan di atas dapat diakomodasikan.

Hukum hak cipta, meskipun bertujuan melindungi pencipta namun di dalamnya juga mengandung fungsi sosial. Ketentuan ini oleh Pasal 14 UUHC Tahun 1997 ditentukan bahwa, selain berfungsi sosial juga secara negatif disebutkan bukan perbuatan pelanggaran terhadap hak cipta jika:

(1) Sumbernya disebutkan atau dicantumkan; (2) Penggunaan ciptaan pihak lain untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta; (3) Tidak untuk kepentingan komersial, yaitu pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan pertunjukan atau (1) Sumbernya disebutkan atau dicantumkan; (2) Penggunaan ciptaan pihak lain untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta; (3) Tidak untuk kepentingan komersial, yaitu pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan pertunjukan atau

Ketentuan pasal di atas menyiratkan bahwa walaupun hak cipta dilindungi undang-undang, masyarakat tetap diizinkan memanfaatkan ciptaan orang lain tanpa seizin penciptanya sampai batas tertentu, yaitu untuk kepentingan kemanusiaan atau mencerdaskan bangsa. Dengan demikian pada hak cipta terkandung dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan individual dalam melindungi hak ekonomi dan moral yang dilindungi undang-undang, serta kepentingan sosial yang dijamin oleh undang- undang sampai batas tertentu dengan alasan tertentu pula.

Sehubungan dengan perlindungan hak ekonomi pencipta karya ciptaan musik dan lagu, pranata hukum belum berperan secara baik untuk melindungi hak ekonomi pencipta musik dan lagu. Kemajuan teknologi yang secara luar biasa, menghadirkan berbagai peralatan canggih, berdaya guna tinggi dengan sistem pengoperasian sederhana, membuka peluang bagi pelanggaran, misalnya dengan cara merekam ulang karya ciptaan musik dan lagu tanpa seizin pencipta. Dihadapkan pada realita tersebut yang menawarkan peluang secara ekonomi sangat menjanjikan keuntungan, logikan pelanggar hak cip adalah naluri keberanian untuk mengambil risiko melawan hukum. Apresiasi masyarakat yang rendah terhadap karya dari pencipta musik dan lagu antara lain, membeli kaset bajakan dengna harga murah meskipun dengan mutu rendah, ikut mempengaruhi pelanggarah hak cipta. Pembajak musik dan lagu mempunyai pangsa pasarnya. Barang bajakan mudah diperoleh dan merupakan hal yang biasa dilihat Sehubungan dengan perlindungan hak ekonomi pencipta karya ciptaan musik dan lagu, pranata hukum belum berperan secara baik untuk melindungi hak ekonomi pencipta musik dan lagu. Kemajuan teknologi yang secara luar biasa, menghadirkan berbagai peralatan canggih, berdaya guna tinggi dengan sistem pengoperasian sederhana, membuka peluang bagi pelanggaran, misalnya dengan cara merekam ulang karya ciptaan musik dan lagu tanpa seizin pencipta. Dihadapkan pada realita tersebut yang menawarkan peluang secara ekonomi sangat menjanjikan keuntungan, logikan pelanggar hak cip adalah naluri keberanian untuk mengambil risiko melawan hukum. Apresiasi masyarakat yang rendah terhadap karya dari pencipta musik dan lagu antara lain, membeli kaset bajakan dengna harga murah meskipun dengan mutu rendah, ikut mempengaruhi pelanggarah hak cipta. Pembajak musik dan lagu mempunyai pangsa pasarnya. Barang bajakan mudah diperoleh dan merupakan hal yang biasa dilihat

Berdasarkan pemikiran di atas, perlu dilakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang ”Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta Terhadap Karya Ciptaan Musik

dan Lagu di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Dikaitkan dengna perjanjian TRIPs-WTO.”

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:

2.1. Sejauhmana Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 telah mengakomodasikan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia dikaitkan dengan TRIPs-WTO?

2.2. Bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia setelah ratifikasi TRIPs-WTO?

2.3. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indonesia setelah adanya Undang- undang Nomor 12 Tahun 1997?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

3.1. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh sejauhmana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 telah mengakomodasikan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu di Indoesi dikaitkan dengan TRIPs- WTO.

3.2. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia setealah ratifikasi TRIPs-WTO.

3.3. Untuk mengetahui dan memahami lebih jauh apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hak ekonomi pencipta musik dan lagu Indonesia setelah adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997.

4. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum tentang Hak kekayaan Intelektual ( Intellectual Property Rights ), juga dapat melengkapi literatur pada pengajaran hukum bisnis dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut, khususnya hak cipta musik dan lagu.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada:

4.1. Pencipta musik dan lagu, produser, praktisi hukum, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik rekaman Indonesia (PAPPRI);

4.2. Pemerintah khususnya aparat penegak hukum;

4.3. Masyarakat luas sebagai konsumen dan user sebagai pengguna ciptaan musik dan lagu dalam rangka mendukung usahanya;

5. Kerangka Pemikiran

HaKI baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, atau dapat digunakan. Berdasarkan hal tersebut David I. Bainbridge mengatakan bahwa, Intellectual property is the

collctive name given to legal rights which protect the product of the human collctive name given to legal rights which protect the product of the human

intellectual property seem to be the best available to cover that body of legal rights which arise from mental and artistic endeavour. 34

Dari uraian ini diketahui bahwa HaKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut berupa bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Pengaturan HaKI secara implicit ditemukan dalam system hukum benda yang mengacu pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata adalah sebagai berikut: “Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap

barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.”

Mahadi menguraikan lebih lanjut mengenai rumusan pasal tersebut yaitu, yang dapat menjadi objek hak milik adalah barang dan hak. Adapun yang dimaksud dengan

barang adalah benda materil, sedangkan hak adalah benda immaterial. 35 Selanjutnya Pitlo sebagaimana dikutip Mahadi menegaskan pula bahwa HaKI termasuk dalam hak-

hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata sebagai berikut: 36 ”HaKI termasuk ke dalam hak-hak yang disebut oleh Pasal 499 KUH Perdata.

Hal ini menyebabkan hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Hak benda, adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda. Inilah yang disebut dengan HaKI (intellectual property rights)”.

Selanjutnya Pasal 503 KUH Perdata menggolongkan benda ke dalam dua bentuk yaitu, ”Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh”. Ketentuan

33 David I. Bainbridge, Computer and the Law, dalam Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual; Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Cipta Aditya Bakti,

Bandung, 1997, hlm 20. 34 John F. William, A Manager Guide to Patents, Trade Marks & Copyright, Cetakan ke-1, Kogan

Page, London, 1986, hlm. 11 35 Mahadi, Hak Milik Immateril, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 65

36 Ibid. hlm. 5-6 36 Ibid. hlm. 5-6

Sebagai suatu hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia, maka pemilikan terhadap HaKI dalam masyarakat beradab diakui seperti yang

dinyatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut: 37 ”Atas hasil kreasi dari kemampuan intelektual dalam masyarakat beradab diakui

bahwa yang menciptakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluas-luasnya meliputi milik tak berwujud.

Berkaitan dengan masalah ini, Van Apeldoorn menyatakan sebagai berikut. 38 ”Hak pemilikan hasil intelektual sangat abstrak jika dibandingkan dengan hak

pemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagi pula kedua hak tersebut bersifat mutlak. Selanjutnya terdapat analogi, bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan seni, sastra dan ilmu pengetahuan atau dalam bentuk pendapat, jadi berupa benda berwujud (lichamelijk zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda.”

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang disebut hak kebendaan yaitu hak mutlak atas sesuatu benda. Hak itu memberikan kekuasan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Adapun ciri pokok hak kebendaan,

adalah sebagai berikut: 39 (1) Merupakan hak yang mutlah, artinya dapat dipertahankan terhadap siapa

pun;

37 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Muhammad Rajab, (Penerjemah), Jakarta, Bhatara Karya Aksara, 1982, hlm. 118.

38 Van Apedoom L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Oetarid Sadino (Penerjemah), Cetakan Keduapuluhdua, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 173.

39 Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta 1985, hlm. 24-25.

(2) Mempunyai hak yang mengikuti ( zaaksgevolg atau droit de suite ), artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga atau dalam tangan siapa pun benda itu berada. Hak itu terus mengikuti orang yang mempunyainya; (3) Sistem yang dianut hak kebendaan adalah di mana yang lebih dahulu terjadi mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi daripada yang kemudian; (4) Mempunyai sifat hak yang didahulukan (droit de preference); (5) Adanya gugat kebendaan; (6) Untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara penuh dilakukan.”

Jika dikaitkan dengan hak cipta maka hak cipta itu termasuk ke dalam hak kebendaan. Hal ini karena yang menjadi ciri pokok kebendaan terkandung di dalam hak cipta. Lebih lanjut hak cipta itu dalam Pasal 3 UUHC Tahun 1997 dan Penjelasannya dianggap sebagai benda bergerak dan immateril.

Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta khususnya musik dan lagu, hukum bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dengan bantuan negara. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah merupakan kepentingan pemilik hak cipta musik dan lagu baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu maka hukum memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin dalam sistem HaKI yang berkembang dengna menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta musik dan lagu dan kebutuhan masyarakat umum.

Sunaryati Hartono menyatakan ada 4 prinsip dalam sistem HaKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, sebagai

berikut: 40

(1) Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan

40 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung, 1982, hlm. 124 40 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung, 1982, hlm. 124

(2) Prinsip ekonomi (the economic argument) HaKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Adanya nilai ekonomi pada HaKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.

(3) Prinsip kebudayaan (the cultural argument) Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HaKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

(4) Prinsip sosial ( the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. System HaKI dalam memberikan perlindungan kepada (4) Prinsip sosial ( the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, akan tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. System HaKI dalam memberikan perlindungan kepada

Indonesia adalah untuk memberikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya kepada seluruh masyarakat, yaitu kesejahteraan lahir dan batin, materil dan sprituil yang oleh

sri soemantri dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut: 41 “(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(2) Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa: dan (3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial.”

Untuk mencapai tujuan kemerdekaan tersebut diperlukan pembinaan dan tertib hukum,sehingga sebagai negara hukum pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum di sertai kepastian hukum bagi seluruh warga negara.termasuk pencipta musik dan lagu.

Pengakuan universal terhadap perlindungan HaKI di atur juga dalam Pasal 27 Declaration of Human Rights, 42 10 december 1948, yaitu:

“(1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community,to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benevits;

(2) everyone has the right to protect tiohal of the moral and material interest resulting from any scient ifik, lite rary or artistic production of which he is author .”

41 Sri Soemantri, Azas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Penyunting), Moh. Busyro, Salman dan Muh.