Perencanaan Geometri Jembatan
4.4. Perencanaan Geometri Jembatan
Karena jembatan merupakan bagian dari jalan, maka penentuan geometri jembatan mengikut pada perencanaan geometri jalan. Dalam merancang geometri jembatan, perlu mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
4.4.1. Kondisi Topografi
Topografi adalah ketinggian suatu tempat yang dihitung dari permukaan air laut. Dari peta topografi yang didapat, jembatan tersebut berlokasi pada Desa Sigandul II, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung yang berada pada elevasi sekitar +1255,35 m di atas permukaan laut. Daerah sekitar jembatan merupaka daerah berbukit dan jurang. Jadi untuk membuat shortcut, diperlukan jembatan yang melintasi jurang yang mempunyai kedalaman yang cukup besar. Jarak antara dasar jurang dengan lantai jembatan sekitar 25 m.
Dari kondisi topografi mempengaruhi alinyemen horizontal dan vertikal jembatan. Rencana jembatan terletak bukan pada tikungan, melainkan pada alinyemen horizontal bagian tangent (lurus). Rencana jembatan dari STA 0+099,00 s.d STA 0+169,00. Untuk tikungan 1 dari STA 0+009,753 s.d STA 0+086,516 dan tikungan 2 dari STA 0+205,247 s.d STA 0+337,181. Sehingga tikungan tidak masuk jembatan.
Sama halnya dengan alinyemen horizontal, lengkung vertikal 1 sebelum jembatan dimulai dari STA 0+054,042 s.d STA 0+094,042. lengkung vertikal 2 setelah jembatan dimulai dari STA 0+169,620 s.d STA 0+205,620. Sehingga lengkung vertikal tidak masuk ke jembatan.
4.4.2. Kondisi Lalu Lintas
Besarnya volume lalu lintas yang ada sangat mempengaruhi lebar efektif jembatan. Perbandingan banyaknya lalu lintas yang melewati jalur tersebut akan menjadi dasar perancangan geometri jalan dan lebar rencana jembatan.
4.4.2.1. Lalu lintas harian
Kondisi lalu lintas berdasarkan data LHR Ruas Jalan Batas
Kab. Wonosobo – Parakan, yang diambil dari Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah tahun 2014.
Tabel 4.10 Volume Kendaraan Ruas Batas Kab. Wonosobo – Parakan
Jenis Kendaraan
Karakteristik
(Kendaraanhari)
1. I Sepeda Motor
MC
2. II Sedan, jeep, station wagoon
Opelet, pick up opelet, sub
LV
urban, combi, mini bus 4. IV Pick up, micro truck, mobil
LV
hantran 5. Va Bus kecil
MHV
6. Vb Bus besar
LB
7. VIa Truk ringan 2 sumbu
MHV
8. VIb Truk sedang 2 sumbu
MHV
9. VIIa truk 3 sumbu
LT
10. VIIb Truk gandeng
LT
11. VIIc Truk semi trailer
LT
12. VIII Kendaraan tak bermotor
Sumber: Dinas Bina Marga Jateng, 2014
Data yang diberikan masih dalam bentuk kendaraanhari. Kemudian untuk mengetahui nilai konversi emp, harus diubah dulu dalam satuan kendaraanjam dengan mengalikan faktor jam sibuk (K) dan membaginya dengan faktor variasi tingkat lalu lintas per seperempat jam dalam satu jam (F).
Tabel 4.11 Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan VLHR
VLHR
Faktor K ()
Faktor F ()
Sumber: PGJAK, 1997 hal 11
Dari data LHR diperoleh jumlah 18495 Kendhari, maka untuk menentukan nilai K dan F, digunakan metode interpolasi.
18495 − 10000
−6
Untuk nilai K =
Untuk nilai F
Konversi dari VLHR ke VJR
VJR
= VLHR x
x
= 18495 kendhari x
x
4.4.2.2. Nilai emp
Mencari nilai emp berdasarkan MKJI Jalan Luar Kota, 1997 untuk jalan dua-lajur dua-arah tak terbagi (22UD) pada tabel II.3. Dari tabel tersebut diperoleh nilai emp untuk masing-masing golongan, yaitu : LV
= 1,0 MHV =1,9 LB
= 0,3 (karena rencana lebar lajur adalah > 8 m)
Kemudian konversi satuan dari kendaraanhari menjadi smphari dengan mengalikannya dengan faktor emp
Tabel 4.12 Konversi dari Satuan kendhari ke smphari
No
Gol
Vol (kendhari)
emp
Vol (smphari)
1. I 10126
2. II 2807
3. III
4. IV 2111
No
Gol
Vol (kendhari)
emp
Vol (smphari)
12. VIII Jumlah
4.4.2.3. Volume Lalu Lintas
Dengan asumsi masa perencanaan 1 tahun (i = 1,8), masa pelaksanaan 2 tahun (i = 2,9), dan umur rencana 30 tahun (i = 3,3). Maka perhitungan LHR adalah sebagai berikut: LHR perencanaan
LHR umur rencana = LHR pelaksanaan
x (1 + i) n
a. Perhitungan LHR pada masa perencanaan
Tabel 4.13 Perhitungan LHR Masa Perencanaan
No
Gol
LHR (smphari)
LHR perencanaan (smphari)
10. VIIb 11. VIIc
12. VIII Jumlah
Tabel 4.14 Perhitungan LHR Masa Pelaksanaan
No
Gol
LHR perencanaan (smphari)
LHR pelaksanaan (smphari)
10. VIIb 11. VIIc
12. VIII Jumlah
c. Perhitungan LHR pada umur rencana
Tabel 4.15 Perhitungan LHR Umur Rencana
No
Gol
LHR pelaksanaan (smphari)
LHR umur rencana (smphari)
10. VIIb 11. VIIc
12. VIII Jumlah
Dari data LHR umur rencana dalam satuan smphari dikonversi ke dalam smpjam dengan dikalikan faktor konversi K (6,85) dan dibagi faktor F (0,855)
VJR = VLHR x
x
= 34778,798 smphari x
x
4.4.2.4. Kapasitas jalan
Dari Tabel II.5 dapat diambil kapasitas dasar (Co) = 2900 smpjam Dari Tabel II.6 maka faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu – lintas (FC W ) dapat diambil nilai 1,15 dengan lebar 9 m Dari Tabel II.7 maka faktor Penyesuaian Kapasitas akibat Pemisah Arah (FC SP ) dapat diambil nilai 1,00 dengan asumsi distribusi arus sebesar 50 dan 50. Dari Tabel II.8 dan II.9 dapat diambil nilai FC SF = 0,98 dengan menggunakan lebar bahu jalan sebesar 2,00 m dan kondisi hambatan samping adalah sedang (M). Maka nilai kapasitas jalan dihitung sebagai berikut :
C = Co x FC W x FC SP x FC SF (smpjam) = 2900 smpjam x 1,15 x 1,00 x 0,98 = 3268,3 smpjam
4.4.2.5. Degree of Saturation (DS)
4.4.3. Kondisi Tanah
Kondisi tanah sangat menentukan perencanaan bawah jembatan. Analisis terhadap kondisi tanah dasar dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisis dan sifat teknis dari tanah untuk mengetahui daya dukung tanah sehingga dapat ditentukan jenis pondasi yang sesuai dengan keadaan tanah pada Jembatan Sigandul II.
Untuk mengetahui kondisi tanah ini, dibutuhkan adanya penyelidikan tanah yang dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penyelidikan tanah Untuk mengetahui kondisi tanah ini, dibutuhkan adanya penyelidikan tanah yang dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penyelidikan tanah
Penyelidikan di lapangan yang dilakukan meliputi pekerjaan sondir dan pengeboran, serta pengambilan sampel tanah disturbed dan undisturbed. Kemudian sampel tanah tersebut dibawa ke laboratorium untuk diselidiki sifat tanah.
Berikut merupakan data Bore Log yang didapat dari Lab. Mekanika Tanah Teknik Sipil Undip.
Gambar 4.1 Data Bore Log 1 Jembatan Sigandul II
Gambar 4.2 Data Bore Log 2 Jembatan Sigandul II
Berdasarkan hasil bore log yang tersedia, terdapat 2 titik bore log yang dapat mewakili dalam penentuan jenis tanah. Jenis tanah yang mendominasi adalah lanau kepasiran hingga pasir kasar dan boulder. Jenis tanah tersebut sudah masuk ke dalam keluarga batu, namun masih termasuk dalam batu lunak atau soft rock. Tanah ini sudah termasuk tanah keras dengan nilai NSPT >60 di kedalaman 3 m. Biasanya ujung tiang pancang atau tiang bor hanya ditempelkan pada permukaan tanah keras.
Berdasarkan nilai NSPT yang tersedia, untuk mencari nilai sudut geser ( ∅) dan kohesi (Cu), bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan. Namun, pada nilai NSPT yang sudah tergolong besar tersebut sudah bisa dipastikan sudut geser ( ∅) dan kohesi (Cu) akan besar pula. Pendekatan yang dilakukan menggunakan rumus empiris:
∅ = 27,1 + 0,3 N SPT + 0,00054 (N SPT ) 2 (9)
Cu = 2 sampai 7 dikali N SPT ( 2 )
Rumus-rumus empiris tersebut dapat digunakan asalkan nilai dari NSPT sudah diketahui. Dari nilai NSPT tersebut sudah menghasilkan nilai sudut geser yang cukup besar yaitu > 30 o dan tergolong ke dalam batuan. Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa tanah keras berada di kedalaman ±2 m.
Terdapat 2 alternatif mengenai penggunaan pondasi dalam yaitu tiang pancang (driven pile) dan tiang bor (bore pile). Penggunaan tiang pancang maupun tiang bor dapat dilakukan berdasarkan jenis tanah yang harus dilalui oleh tiang tersebut. Tiang pancang dapat digunakan apabila jenis tanah yang ada adalah tanah berjenis lempung, sehingga ujung tiang masih dapat mendesak masuk hingga kedalaman tanah keras. Sedangkan tiang bor digunakan apabila jenis tanah yang dilalui berupa tanah berpasir. Apabila tiang pancang tetap dipaksa digunakan untuk mendesak tanah berpasir yang lapisannya lebih dari 2 meter maka hammer hanya akan memantul di pangkal tiang sehingga tiang tidak dapat terdesak turun.
Oleh karena itu, dalam perencanaan jembatan ini digunakan tiang bor sepanjang 5 m yang ditanam lebih dalam ke tanah superkeras atau batu karena besarnya berat jembatan dan beban yang dipikul oleh jembatan.
4.4.4. Kondisi Hidrologi
4.4.4.1. Periode Ulang
- Analisa frekwensi dengan Metode Gumbel
Pada cara ini data curah hujan harian maksimum yang tersedia adalah
10 tahun pengamatan.
Tabel 4.16 Perhitungan Periode Ulang
Curah Hujan
No Tahun Harian Max
T = 1-(1T)
n adalah jumlah data tahun n = 10
Untuk nilai n=10, dari Tabel 2.13 Nilai Yn didapat nilai Yn = 0,4952 Untuk nilai m=10, dari Tabel 2.14 Nilai Sn didapat nilai Sn = 0,9496
= + 1 . Yt didapat dari tabel
Tabel 4.17 Perhitungan Curah Hujan Metode Gumbel
T (tahun)
XT (mm) Rt (mm)
4.4.4.2. Debit Banjir
Data yang diketahui untuk lokasi Jembatan adalah : o Panjang sungai dan alur ke jembatan = 4,602 km
o Luas DPS
= 3,78403 km²
o Elevasi hulu sungai
= +2423,16 m
o Elevasi bangunan (yang ditinjau)
= +1253,95 m
o Koefisien penutup lahan (C)
Gambar 4.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) Sigandul
Penentuan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sigandul dicari dengan cara manual dengan menghubungkan gunung-gunung yang berada di sekitar sungai yang memungkinkan jika air hujan turun, akan mengumpul di sungai Sigandul.
Perhitungan :
H = elevasi hulu sungai – elevasi bangunan yg ditinjau = +2423,16 m - +1253,95 m = 1169,21 m = 1,16921 km
L
= 0,9 x panjang sungai = 0,9 x 4,602 km = 4,1418 km
V =
= 31,6447 kmjam = 8,79 ms
3.6 = 27,707 m 3 detik
Jadi debit banjir yang diperoleh adalah 27,707 m 3 detik. Debit itu tergolong debit banjir yang kecil, karena lokasi perencanaan jembatan Jadi debit banjir yang diperoleh adalah 27,707 m 3 detik. Debit itu tergolong debit banjir yang kecil, karena lokasi perencanaan jembatan
4.4.4.3. Tinggi Muka Air Banjir
Untuk menentukan tinggi muka air banjir, ditentukan terlebih dahulu luas permukaan basah (A) dengan membagi debit (Q) dengan kecepatan pengaliran (V).
Setelah mendapatkan luasan, maka luasan tersebut coba diplot ke penampang sungai. Akan tetapi, penampang sungai yang digunakan tidak beraturan. Dengan cara coba-coba diplot di AutoCAD, didapat tinggi muka air banjir hanya ± 1,2 m.
Muka air banjir yang didapat tidak mempengaruhi banyak terhadap penentuan elevasi lantai jembatan, karena elevasi lantai jembatan yang cukup tinggi dengan selisih ± 25 m di atas tinggi muka air banjir.
4.4.4.4. Gerusan (Scouring)
Untuk analisa gerusan tidak dihitung karena dalam perencanaan digunakan 1 bentang jembatan. Maka tidak digunakan pilar di tengah bentang karena jika digunakan akan membutuhkan struktur bentang yang sangat tinggi. Sehingga tidak ada gerusan yang terjadi.