Latar Belakang Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa Dan Akibat Hukumnya

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Untuk itu, sebelum melangkah ke jenjang perkawinan harus selalu dimulai dengan suatu persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa dimulai oleh persiapan yang matang, dalam perjalanannya akan banyak mengalami kesulitan. Apalagi jika perkawinan hanya bertolak dari pemikiran yang sederhana dan pemikiran emosional semata. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang, karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang merupakan hakikat dari tujuan perkawinan, tidak hanya dipengaruhi oleh unsur rohani, tetapi juga harus memenuhi unsur yuridis, yakni perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan yang memeluk agama Islam, maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi pasangan yang memeluk agama selain Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Universitas Sumatera Utara 2 Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat beberapa hukum yang mengatur perkawinan diantaranya : 1 1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat. 2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. 3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia S. 1993 No.74. 4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. 5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing. 6. Bagi orang - orang Eropa dan Warga Negara Indonesia Keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. 7. Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemeng de Huwelijken S.1898 No.158. Dengan adanya perbedaan budaya dan agama yang ada, maka terjadi juga perbedaan dalam hukum perkawinan yang berlaku. Perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti adat setempat dan agama yakni Agama Hindu, Budha, Kristen serta Agama Islam. Adanya beragam pengaruh dalam masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan. “Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan, dan kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.” 2 Di dalam menciptakan kepastian hukum dalam perkawinan yang dapat mengatur semua warga, agama dan golongan serta kebudayaan yang ada di Indonesia. 1 Penjelasan butir 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2 Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat Hukum Agama , CV Mandar Madju, Bandung, 2003, hal.2. Universitas Sumatera Utara 3 Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 yang merupakan Undang-Undang perkawinan yang bersifat nasional, yang bersumber dari budaya dan agama yang ada di Indonesia dan tetap berpijak pada keanekaragaman suku bangsa dan budaya serta adat-istiadat bangsa Indonesia dan tentunya berlaku bagi semua golongan dan daerah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka telah ada unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan selain merupakan masalah keagamaan juga merupakan suatu perbuatan hukum, sebab dalam hal melangsungkan perkawinan harus tunduk pada peraturan-peraturan tentang perkawinan yang ditetapkan oleh Negara. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni : 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara 4 Terdapat berbagai variasi dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia di antaranya perkawinan yang tidak dicatatkan dikenal dengan berbagai istilah seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘nikah siri’, nikah secara agama, yakni perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pencatatan nikah, nikah tamasya, yakni perkawinan yang dipublikasikan di media massa dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam. 3 Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum. 4 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu- satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut agama. 5 Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah adalah merupakan perkawinan yang tidak sah karena perkawinan jenis ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan 3 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat – Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974 , makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal.4. 5 Ibid. , hal.6. Universitas Sumatera Utara 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni dalam Pasal 2 ayat 2 mengenai pencatatan perkawinan. Berbagai faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan perkawinannya di lembaga pencatatan. Ada yang karena faktor biaya, karena tidak mampu membayar administrasi pencatatan sehingga tidak dicatatkan, ada pula karena faktor penyeludupan hukum untuk melanggar aturan asas monogami, ada pula karena faktor malas untuk mencatatkan perkawinan karena pertimbangan- pertimbangan tertentu. 6 Berkembang pendapat mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan bahwa antara suami isteri tidak ada hubungan pewarisan antara yang satu dengan lainnya. Artinya jika suami meninggal dunia, maka isteri dan anak – anak keturunannya tidak memiliki hak mewaris dari harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku apabila si isteri yang meninggal dunia. 7 Mengenai status perkawinan yang tidak dicatatkan serta akibat hukumnya terhadap kedudukan isteri yang dinikahi dan anak yang dilahirkan serta harta kekayaannya di dalam perkawinan ini adalah masalah yang akan diteliti dalam tulisan ini. Bagi orang Tionghoa, di dalam melaksanakan perkawinan harus berdasarkan adat–istiadat Tionghoa, agama, dan kepercayaan yang dianut. Pasangan yang melakukan perkawinan tanpa melalui aturan yang digariskan oleh adat adalah tidak 6 Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia MAKIN, tanggal 8 Januari 2013 7 Ibid. Universitas Sumatera Utara 6 sah dalam pandangan orang Tionghoa. 8 Sehingga sebagian besar warga Tionghoa tidak mencatatkan perkawinannya seperti sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Kantor Catatan Sipil, karena perkawinan dianggap telah sah apabila dilakukan menurut adat-isitiadat Tionghoa. Hal ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Tionghoa dan merupakan suatu masalah yang serius. Tidak dicatatkannya perkawinan di kalangan masyarakat Tionghoa disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan. Ada yang menganggap pencatatan perkawinan merupakan urusan yang berbelit-belit sehingga perkawinan tidak didaftarkan. Karena suatu perkawinan adalah sah apabila telah dilaksanakan menurut adat istiadat Tionghoa, ritual agama yang dianut, dan diadakannya resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan juga merupakan suatu pemberitahuan atau pengumuman kepada segenap keluarga kedua mempelai, relasi bisnis, sahabat, dan tetangga bahwa telah terbentuknya suatu ikatan perkawinan antara seorang pria sebagai suami dan seorang perempuan sebagai isteri. 9 Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 47774054 tanggal 18 November 1978, terdapat 5 agama yang diakui di Indonesia yakni agama Islam, Budha, Hindu, Kristen Protestan, Kristen Katolik. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 8 Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, Penerbit Fajar Bakti, Kuala Lumpur, 1994, hal.30. 9 Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia MAKIN, tanggal 8 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara 7 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa, maka Konghucu diakui sebagai agama yang diakui di Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 memotivasi Warga Negara Indonesia WNI keturunan Tionghoa yang menganut ajaran dan kepercayaan Konghucu melalui Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia MATAKIN menuntut pengembalian hak – hak sipil umat Konghucu yaitu: 10 1. Pelaksanaan perkawinan secara Konghucu 2. Pencantuman agama Konghucu pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk KTP 3. Pemberian pelajaran agama Konghucu di sekolah-sekolah bagi murid-murid yang beragama Konghucu 4. Menuntut suatu unit kerja di lingkungan Departemen Agama Namun lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tidak dapat dijadikan acuan atau dasar hukum formal bagi pengakuan agama Konghucu. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa memberikan kesempatan bagi perayaan upacara agama dan adat istiadat Tionghoa yang dapat dilakukan secara terbuka, dimana substansi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 menyatakan bahwa “perayaan upacara agama dan adat istiadat Tionghoa tidak dapat dilakukan secara menyolok di depan umum”. Demikian pula terhadap penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional, bukan serta merta mengakui Konghucu sebagai 10 Ibid. Universitas Sumatera Utara 8 suatu agama. Ini didasari karena penetapan hari libur tidak selalu dikaitkan dengan hari besar keagamaan. 11 Di kota Medan terdapat banyak WNI Tionghoa yang masih menganut kepercayaan dan ajaran Konghucu. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk mencatatkan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil dikarenakan Pemerintah belum mengakui secara yuridis mengenai pengakuan Konghucu sebagai agama. Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia MAKIN Medan Utara , Bhaktiar Kamil, mengatakan bahwa, apabila agama tidak dikaitkan dengan urusan pencatatan sipil, maka bagi WNI Tionghoa yang memeluk ajaran Konghucu tidak akan ada kesulitan dalam pencatatan perkawinan, dimana sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan, pencatatan perkawinan tidak dikaitkan dengan agama. Sehingga orang yang tidak memeluk kepercayaan agama apapun dapat mencatatkan perkawinannya. 12 Staf ahli Mentri Agama Musdah Mulia menyatakan bahwa “saat ini perkawinan Konghucu sudah dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan”. Namun perjuangan umat Konghucu agar dapat mencatatkan perkawinannya memakan waktu yang lama dan tidak produktif. Padahal banyak penduduk Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional. Oleh karena itu menurut Penasehat Matakin, Rip Tockary, akan sangat tidak produktif jika umat dari 11 HenryIrawan,“Pembuktian Agama Konghucu adalah Agama” , http:asia.groups.yahoo.comgroupJunzigroupmessage288.html.diakses pada tanggal 27 Desember 2012 ,hal.5. 12 Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia MAKIN, tanggal 8 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara 9 agama-agama tradisional harus menunggu bertahun-tahun agar Pemerintah bersedia mencatatkan perkawinan mereka. 13 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu mengalami hambatan dalam pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil untuk memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan di muka hukum. Proses yang panjang dan berbelit-belit, biaya yang mahal, jangka waktu yang panjang mengakibatkan keengganan bagi WNI Tionghoa yang memeluk kepercayaan Konghucu untuk mendaftarkan perkawinan mereka. Dengan tidak dicatatkannya perkawinan, maka perkawinan yang dilakukan menurut agama Konghucu tersebut batal demi hukum karena tidak terdaftar. 14 Banyak etnis Tionghoa yang mempunyai cara pandang bahwa perkawinan telah sah dilakukan apabila telah dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Cara pandang yang demikian akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari seperti mengenai status anak, kedudukan suami isteri, harta perkawinan. Resepsi perkawinan di dalam adat Tionghoa bukanlah suatu hal yang wajib dilaksanakan. Hal ini tergantung kepada kesepakatan antara keluarga kedua calon mempelai di dalam pelaksanaan resepsi perkawinan. Ada kalangan yang menganggap resepsi tidak perlu dilaksanakan, karena perkawinan telah sah meskipun tidak 13 Majalah Gatra, Umat Konghucu Sudah Dapat Mencatatkan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Dinas Kependudukan, edisi 7 Februari 2006, Jakarta, hal. 15. 14 Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia MAKIN, tanggal 8 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara 10 dilaksanakan resepsi. Publikasi perkawinan tidak harus dilakukan melalui resepsi. Publikasi dapat juga dilakukan dengan pengumuman pada media cetak seperti yang sering kita lihat yakni nikah tamasya. Dengan adanya pemberitahuan yang demikian, khalayak ramai telah mengetahui mengenai adanya pelaksanaan pernikahan dan terjadinya ikatan lahir batin antara dua insan suami isteri. 15 Banyak etnis Tionghoa yang mempunyai cara pandang bahwa perkawinan telah sah dilakukan apabila telah dilaksanakan berdasarkan adat istiadat Tionghoa walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Cara pandang yang demikian akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari seperti mengenai status anak, kedudukan suami isteri, harta perkawinan. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-isteri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan timbullah hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut. 16 Pada dasarnya semua orang sebagai pendukung hak dan kewajiban mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum equality before the law tanpa membedakan status sosial, faktor keturunan, ras, agama, dan lain-lain. Hal ini tentunya membawa konsekuensi yaitu adanya persamaan atas kewenangan hukum rechts bevoegdheid dari setiap subjek hukum tersebut. 15 Ibid. 16 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, PT Abadi, Jakarta, 2001, hal.1. Universitas Sumatera Utara 11 Kedudukan orang sebagai subjek hukum sebagaimana tersebut di atas bukan merupakan suatu kedudukan yang berlaku mutlak. Hukum atas hak-hak tertentu dapat memberikan pengecualian-pengecualian atas dasar factor-faktor tertentu yang mengakbatkan terjadinya pengaturan atau dengan kata lain melakukan penyimpangan atas hak dasar sebagaimana disebutkan di atas. Perbedaan pengaturan tersebut di lingkungan hukum perdata membawa dampak yang antara lain adalah terjadinya pembatasan-pembatasan kewenangan subjek hukum tertentu untuk mendapatkan hak- hak tertentu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kewenangan seseorang untuk mempunyai dan melaksanakan hak-hak tertentu adalah status perkawinan. Ketidaktahuan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan tanpa disadari menimbulkan akibat hukum tidak hanya bagi kedua suami isteri, juga pada anak- anak, keluarga, dan harta perkawinan. Akibat hukum perkawinan secara adat Tionghoa terhadap isteri adalah isteri bukan merupakan isteri yang sah sehingga tidak berhak atas nafkah, warisan, harta gono gini dari suami dalam hal apabila terjadi perpisahan. Terhadap anak, statusnya menjadi anak luar kawin dan karenanya ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan sewaktu-waktu ayahnya dapat menyangkal keberadaan anak tersebut, selain itu ia tidak berhak atas nafkah hidup, biaya pendidikan, serta warisan dari ayahnya. 17 Fenomena ini disebabkan sebagian etnis Tionghoa berpegang teguh bahwa perkawinan telah sah apabila dilaksanakan secara adat istiadat Tionghoa walaupun tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan. Fenomena demikian tidak disebabkan 17 Kesimpulan penelitian Ananda Mutiara, 2008, Perkawinan Siri di Mata Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta akibat hukumnya terhadap isteri dan anak yang dilahirkan dalam perkawinan siri , tesis S2, UI Universitas Sumatera Utara 12 tinggi atau rendahnya tingkat ekonomi suatu keluarga, melainkan lebih pada cara pandang masyarakat etnis Tionghoa yang belum menyadari mengenai pencatatan suatu perkawinan. Pada dasarnya setiap pasangan di dalam mengikatkan dirinya dalam sebuah ikatan pernikahan, selalu beritikad untuk menikah sekali untuk selamanya, membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Namun sering kali antara pasangan suami isteri setelah suatu waktu yang tidak ditentukan dalam kehidupan keluarganya timbul perbedaan idealiasme yang dapat merujuk ke suatu perselisihan yang berkepanjangan. Mungkin tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan antara suami dan isteri, malah mungkin terjadi perselisihan yang berkepanjangan, walaupun telah diusahakan penyelesaiannya, atau mungkin telah terjadi pertengkaran terus menerus atau pertentangan yang tidak mungkin didamaikan kembali. 18 Perkawinan yang buruk keadaannya itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak, perkawinan demikian itu lebih baik diputuskan. 19 Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya putus. 20 Istilah “putus” perkawinan dapat diganti istilah lain anderword, yaitu “penghentian” atau “pecah” perkawinan, tiga istilah tersebut mempunyai pengertian 18 Ibid., hal. 41. 19 Ibid. , hal.41. 20 Ibid. Universitas Sumatera Utara 13 makna sama. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan dapat putus karena : 21 a. Kematian b. Perceraian c. Atas keputusan pengadilan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : 22 1 Akibat terhadap anak dan isteri; a bapak dan ibu tetap berhak memelihara dan mendidik anak-anak mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak, pengadilan memberikan keputusannya. b bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas isteri, danatau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. pasal 41 Undang-undang Perkawinan. 2 Akibat terhadap status Bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian memperoleh status perdata dan kebebasan sebagai berikut: 21 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal.150. 22 Ibid , hal.156. Universitas Sumatera Utara 14 a Kedua mereka itu tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status janda atau duda. b Kedua mereka itu bebas untuk melakukan perkawinan dengan pihak lain. c Kedua mereka itu boleh melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak dilarang undang-undang atau agama mereka. 3 akibat terhadap harta perkawinan 23 Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah produk peraturan perundang – undangan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hukum adat dan hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dan hukum yang dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian nasional dimana hukum adat dapat diterima dan dimasukkan ke dalam Undang – Undang Perkawinan. Pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu sendiri terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu menjadi milik bersama suami 23 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia, Jakarta, 2008, hal.39. Universitas Sumatera Utara 15 isteri. Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung dan harta yang diperoleh masing-masing suamiisteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan disebut dengan harta bawaan. 24 Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Maka secara implisit jelaslah diungkapkan bahwa pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa yang dimaksud dengan: “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan penjelasannya, ternyata Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. akibatnya timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta bersama. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 , maka Undang-Undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut: 25 1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian. 24 Abdul Manaf. Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung , CV. Mandar Maju, 2006, Bandung, hal. 25. 25 M. Yahya Harahap [1], Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 , Cet. 1 Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal.125. Universitas Sumatera Utara 16 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan 3. Atau hukum-hukum lainnya. Dengan demikian, Undang-Undang perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak bersifat rinci. Undang-Undang bagaimana tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing. Dari ketentuan di atas jelaslah bahwa akibat perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan oleh masyarakat etnis Tionghoa yakni mengenai anak, dan harta perkawinan dapat diselesaikan secara hukum agama, hukum adat pada masyarakat etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa yang tidak mencatatkan perkawinan dan pada saat melangsungkan perkawinan akan mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi ikatan perkawinan melalui media massa. Begitu pula halnya dengan perceraian, sering kita lihat pada media cetak bagi etnis Tionghoa yang perkawinannya tidak didaftarkan, maka pada saat terjadinya perceraian , juga akan diumumkan kepada khalayak ramai bahwa telah terjadi pemutusan hubungan perkawinan antara kedua suami istri. Akibat dari perceraian seperti mengenai hak asuh anak, tanggung jawab finansial, pembagian peran orang tua, pembagian harta bersama adalah hal – hal yang tidak dapat dihindari. Untuk itu, dalam penelitian ini mencoba untuk menguraikan aturan hukum yang akan diberlakukan untuk kasus seperti itu. Universitas Sumatera Utara 17 Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang diatas dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul : “Perceraian Atas Perkawinan yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Tionghoa dan Akibat Hukumnya” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, berikut ini dirumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana status harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa? 2. Bagaimana tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan nafkah anak dalam hal terjadinya perceraian antara suami isteri yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum adat Tionghoa?

C. Tujuan Penelitian