Latar Belakang Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal ini seperti yang dijelaskan Koenjaraningrat 1985:89 sebagai berikut; “Keanekaragaman kebudayaan tidak saja menyebabkan perbedaan dalam gaya dan pola hidup, tetapi juga menyebabkan perbedaan– perbedaan terhadap nilai-nilai, pengertian atau makna peralihan tingkat sepanjang hidup yang dalam ilmu antropologi disebut “stage a long the life cycle” seperti masa bayi, masa penyapihan, masa remaja, masa pubertes, masa sesudah nikah, masa tua dan sebagainya”. Masyarakat Karo adalah salah satu bagian dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi Kabupaten Karo, dan sebagian menyebar merantau ke seluruh pelosok tanah air. Menurut Neumann dalam Martin Perangin-angin 1986:13 wilayah Karo adalah seluruh wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan-perbedaan antara suku, yang menganggap dirinya termasuk ke dalam Karo. Seluruh perpaduan suku-suku Karo diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada perbedaannya antara satu dengan yang lain. Masyarakat Karo bermukim di Kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Dairi, dan Aceh Tenggara. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa, kesenian, dan tata pergaulan yang hampir sama Bangun,1986:148. Universitas Sumatera Utara 2 Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo, masyarakat Karo terkenal dengan struktur susunan masyarakatnya yaitu kuta 1 Masyarakat Karo yang pada umumnya masih memegang teguh nilai dan norma-norma dari sangep nggeluh . Sendi-sendi kehidupan terutama mengenai pelaksanaan adat masih dipegang teguh oleh masyarakatnya Sitepu,1996:63. Namun, terjadinya perubahan dan perkembangan dalam masyarakat, menimbulkan perbedaan golongan terutama dikaitkan dengan sejarah dan keturunan suatu keluarga. Meskipun demikian tidak merupakan suatu ancaman bagi kesatuan dan kekompakan masyarakat Karo karena hal itu mereka terima sebagai suatu kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari adanya perbedaan itu tidak merupakan suatu penonjolan kekuasaan atau mendapatkan perlakuan istimewa. Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan lain yang cukup besar fungsinya seperti hubungan keluarga dan adat yang berlaku. 2 . Pada masa sekarang ini hubungan kekerabatan masyarakat Karo masih tetap merupakan suatu unsur yang penting dalam segala aspek kehidupan. Jaman Tarigan 1980:2 mengatakan hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo berdasarkan merga 3 . Lebih lanjut Tarigan 1980:23 mengatakan pada seminar gelemen 4 “Merga Ginting terdiri dari Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Anjartambun, Capah, Beras, Garamata, Jadibata, Munte, Manik, Sinusinga, Jawak, Saragih, Tumangger, Pase. Merga Karo-karo merga silima, iket sitelu, tutur siwaluh merkomendasikan pengunaan merga berdasarkan Gelemen Silima dan jumlah sub marga 86, yaitu: 1 Kuta desa dihuni oleh merga tertentu.Mereka ini disebut “si mateki kuta”kelompok pendiri kampung.Untuk mendirikan kuta ini, si mateki kuta membawa serta anak beru, senina,dan kalimbubunya.anak beru dibawa pada waktu mendirikan kuta ini beserta keturunanya disebut anak beru si ngian rudang. Selanjutnya kalimbubu yang dibawa pada waktu pendirian kuta ini beserata keturunanya disebut kalimbubu si majek lulan. 2 Sangkep nggeluh adalah istilah kelompok kekerabatan pada masyarakat Karo 3 Merga adalah istilah yang dipaki masyarakat karo dalam menyebutkan nama merga, nama keturunan yang didapatkan menurut garis ayah dan untuk perempuan disebut beru 4 Gelemen adalah istilah kelompok-kelompok merga dalam suku Karo Universitas Sumatera Utara 3 terdiri dari Karo Sekali, Sinulinga, Surbakti, Barus, Sinukaban, Sinubulan, Ujung, Purba, Ketaren, Gurusinga, Kaban, Sinuhaji, Kemit, Bukit, Sinuraya, Kandibata, Samura, Sitepu, Kacaribu, Karo Biring. Merga Sembiring terdiri dari Sembiring si man biang: Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung, Sembiring simantangken biang: Brahmana, Colia, Pandia, Depari, Guru kinayan, Pande Bayang, Meliala, Pelawi, Tekang, Muham, Depari, Busuk, Sinuhaji, Keling, Bunuhaji. Merga Tarigan terdiri dari Sibero, Silangit, Tua, Tambak, Tegor, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Jampani, Tambun, Bondong, Pekan, Kahak, Purba. Merga Peranginangin terdiri dari Mano, Sebayang, Sinurat, Pinem, Namohaji, Sukatendi, Pincawan, Perbesi, Ulinjandi, penggurun, Uwir, Lakasa, Singarimbun, Kelit, Kacinambun, Bangun, Tanjung, Benjerang”. Ideologi-ideologi merga telah mempersatukan masyarakat Karo ke dalam sitem kekerabatan sangkep nggeluh meskipun mereka tidak memiliki keterikatan genelogis yang dapat ditelusur. Namun, ada dua hal penting yang mempengaruhi hubungan sangkep nggeluh, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hal tersebut akan menimbulkan hubungan genetika yang dapat diketahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Karo itu sendiri. Sarjani Tarigan 2009:108 mengatakan pada masyarakat Karo, perkawinan menjadi petanda bahwa seseorang telah mempunyai hak untuk bicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan saranan perluasan tali ikatan antara kelompok kekerabatan sangkep nggeluh, yaitu sukut, kalimbubu dan anak beru. Perkawinan merupakan kebutuhan seksual yang harus dipenuhi oleh setiap manusia yang sudah dewasa untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dan meneruskan keturunan Konentjaraningrat,1980:89-90. Perkawinan adalah moment yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan dikenang sepanjang hidup. Pernikahan menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga menyatukan dua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahan, dilakukan beberapa acara mulai dari ritual pernikahan atau acara–acara adat sampai dengan resepsi Universitas Sumatera Utara 4 pernikahan. Resepsi pernikahan yang identik dengan pesta pernikahan, baik itu secara sederhana maupun pesta besar –besaran. Perkawinan perjabun pada masyarakat Karo bersifat religius dengan menganut sistem Eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang-orang di luar merganyaklan kecuali pada merga Peranginangin dan merga Sembiring. Sifat religius dalam perkawinan masyarakat Karo terlihat dengan adanya perkawinan yang jujur, maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat kedua belah pihak keluarga termasuk arwah-arwah leluhur mereka Prinst 2004:71. Adanya larangan perkawinan semerga dalam masyarakat Karo, karena masyarakat Karo menganggap bahwa orang yang semerga adalah satu nenek moyang atau sedarah. Namun, ada pengecualian pada merga Peranginangin dan Sembiring. Merga Peranginangin membagi merga tersebut menjadi dua kelompok merga besar yakni Bangun dan Sebayang karena menurut apa yang diketahui oleh masyarakat Karo bahwa kedua kelompok merga tersebut memiliki nenek moyang yang berbeda. Merga Sembiring juga membagi merga tersebut menjadi dua kelompok berdasarkan larangan makanan si man biang dan si la man biang 5 5 si man biang dan si la man biang adalah larangan pada kelopok merga sembiring yang yang bias memakan daging anjing dan kelompok yang dilarang memakan daging anjin . Hal larangan perkawinan semerga juga ditulis oleh Pdt. Surbakti di dalam buku bimbingan Permata GBKP, Pdt.Surbakti 2008:64 mengatakan: “Perkawinan semerga sumbang atau incest dalam masyarakat Karo merupakan suatu hal yang memalukan karena dianggap masih ada hubungan darah” Universitas Sumatera Utara 5 Larangan perkawinan semerga yang dilangsungkan oleh masyarakat Karo dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan gelemen merga silima, sangkep nggeluh, tutur siwaluh pada masyarakat Karo. Larangan perkawinan dalam masyarakat Karo tidak hanya pada merga tetapi juga dalam kekerabatan sangkep nggeluh, misalnya dengan sepemeren adalah orang-orang yang bersaudara ersenina,erturang 6 karena ibu mereka bersaudara, atau beru 7 ibu mereka adalah sama. siperibanen adalah orang-orang yang bersaudara ersenina karena istri mereka bersaudara sembuyak, atau beru istri mereka sama. Sipengalon adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan kita menikah kepada merga tertentu, kalimbubu dari suami anak perempuan kita menjadi sipengalaon dengan kita. Sendalanen adalah persaudaraan yang timbul karena ia menjadi menantu laki-laki dari “mama” 8 , atau karena ia mengawini impal 9 Masyarakat Karo sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya khususnya dalam hal perkawinan Prinst, 2004:71. Namun, kenyataannya pada masyarakat Karo telah terjadi pelanggaran terhadap nilai dan norma-norma dalam budaya sangkep nggeluh khususnya di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang. Pelanggaran yang dilakukan itu adalah perkawinan semerga. Adapun yang melakukan perkawinan semerga tersebut antara lain merga Karo-karo Sitepu dengan beru Karo- karo Gurusinga, merga Karo-karo Gurusinga dengan beru Karo, merga Karo-karo sepupu silang. 6 Senina adalah istilah pangilan kepada sesame Laki-laki yang mempunya merga yang sama dan pangilan kepada sesame perempuan jika beru mereka sama dan erturang adalah istilah pangilan kepad seorang laik-laki kepada perempuan dan sebaliknya jika merga laki-laki sama denga beru siperempuan. 7 Beru adalah istilah yang sama dengan merga, merga digunakan untuk anak laki-laki sedangkan beru untuk anak perempuan 8 Mama istilah pagilan kepada saudara laki-laki ibu atau pangilan kepada ayah istri kita 9 Impal adalah istilah yang dipakai oleh dalam masyarakat Karo untuk sapaan kepada mereka yang sepupu silan dan bagi mereka yang berbeda merga. Universitas Sumatera Utara 6 Gurusinga dengan beru Karo-karo Sinuraya, merga Tarigan Tambak dengan beru Tarigan Sibero, merga Karo-karo Sinuraya dengan beru Karo. Pada masyarakat Karo, perkawinan semerga seorang pria dan seorang perempuan adalah sebuah larangan keras, sebab perkawinan semerga itu sama dengan menikahi saudara kandung sendiri. Dari penjelasan di atas perkawinan semerga merupakan tindakan yang tidak sesuai peraturan-peraturan dalam budaya Karo khususnya dalam perkawinan. Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo dan pada masyarakat Karo dataran tinggi Kabupaten Karo, pasangan yang melakukan pelanggaran atas ketetapan akan dihukum berat seperti pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota merga, dilarang mengikuti upacara adat Bangun,1986:24. Di desa Kandibata, kecamatan Munthe seorang yang melakukan perkawinan semerga diusir dari kampung dan disuruh tinggal di ladang dan konon di desa Serdang, kecamatan Barusjahe orang yang melakukan perkawinan semerga akan dihukum mati dengan dipengal kepalanya. Namun, berbeda di desa Sugau pasangan yang melakukan perkawinan semerga tidak diberi sanksi walaupun perkawinan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan adat perkawinan masyarakat Karo. Hal ini menunjukkan bahwa adat istiadat kebudayaan Karo yang asli diduga telah mengalami pergeseran nilai budaya Karo pada masyarakat Sugau, kecamata Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang. Wan Chaidir Barus, ketua Pemangku Adat Urung Senembah Patumbak mengatakan: “Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi adat istiadat asli tersebut lebih kuat, sedangkan di dataran rendah dipengaruhi Universitas Sumatera Utara 7 kebudayaan melayu dan agama islam”Wawancara TV One dengan Wan Chidrin Barus,patumbak,11 November 2013. Desa Sugau termasuk dataran rendah wilayah Karo dan dimanteki merga Purba. Mayoritas suku dari penduduk yang ada di desa Durin Pitu adalah suku Karo, Toba, dan Jawa. Sedangkan, mayoritas agama yang dianut Kristen Protestan GBKP yang lainnya adalah Katholik, Pentakosta, dan Islam. Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh dan mencatat mengenai bagaimana sebenarnya perkawinan semargasumbang pada masyarakat Karo di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang, provinsi Sumatra Utara.

1.2. Tinjauan Pustaka