Metode Analisis Data
D. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis,yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.
1. Analisis Deskriptif
Merupakan teknik analisis data yang tidak berwujud angka, analisis ini berdasarkan pendapatan atau pikiran yang penyajiannya dalam bentuk keterangan-keterangan, penjelasan dan pembahasan secara tertulis. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang perkembangan komponen APBD Kabupaten Pati dari waktu ke waktu.
2. Analisis Kuantitatif
Merupakan analisis yang menggunakan data yang diukur dalam suatu skala numerik atau angka (Mudrajad Kuncoro, 2003: 124).
Tujuan menggunakan analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah, kemandirian daerah dan kinerja/kesiapan Kabupaten Pati serta kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam menghadapi pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan
Kabupaten Pati. Untuk mengetahui kondisi perkembangan dan tingkat kemampuan keuangan daerah di Kabupaten Pati, maka digunakan beberapa indikator kemampuan keuangan daerah yang terdiri dari:
1) Derajat Desentralisasi Fiskal Untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dapat menggunakan beberapa indikator sebagai berikut (Sukanto Reksohadiprodjo, 2001: 155):
tan
imaanDaera TotalPener imaanDaera
Pendapa AsliDaerah
DDF = ..........................(1.1)
imaanDaera TotalPener imaanDaera
ajak BagiHasilP ajak
DDF = ................(1.2)
imaanDaera TotalPener imaanDaera
BantuanDae Sumbangan BantuanDae
DDF = ...................(1.3)
Dimana:
DDF adalah Derajat Desentralisasi Fiskal. Ukuran Derajat Desentralisasi Fiskal = 50%.
Apabila nilai DDF1, DDF2 > 50% maka Daerah dikatakan semakin mandiri dan ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat semakin kecil. Jika nilai DDF, DDF2 < 50% maka ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi. Untuk DDF3 berlaku sebaliknya, jika DDF3 < 50% maka daerah dikatakan semakin mandiri, dan jika DDF3 > 50% ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat semakun besar.
Upaya Fiskal yang merupakan sumber pendapatan yang digunakan untuk membiayai pembangunan dapat dihitung dengan (Abdul Halim, 2004: 25-26):
(TanpaMigas Berlaku PDRB Berlaku
Kemudian dihitung Tingkat PAD Standar dan Indeks Kinerja PAD:
/ Kabupaten Kota
PDRB PAD PDRB
TPAD
prop prop
Dimana: UP PAD adalah Upaya Fiskal Kabupaten Pati.
TPADs adalah Tingkat Pendapatan Asli Daerah Standar. IK PAD adalah Indeks Kinerja Pendapatan Asli Daerah.
3) Posisi Fiskal Posisi Fiskal (tax effort) dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB. Semakin elastis PAD suatu daerah, maka struktur PAD di daerah tersebut makin baik dengan formula sebagai berikut (Abdul Halim, 2001: 105):
Elastisitas PAD =
n Pertumbuha n
n Pertumbuha n
4) Kebutuhan Fiskal Kebutuhan fiskal dihitung dengan mengukur Indeks Pelayanan Publik Per Kapita dengan rumus (Abdul Halim, 2004: 25):
/ Kabupaten Kota
PendudukJa nJateng Pengeluara nJateng KFPJateng
KFPJateng
Pembanguna nRutin Pengeluara nRutin KFKPt
Dimana: KFP Jateng adalah Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah KFKPt adalah Kebutuhan Fiskal Kabupaten Pati. Semakin besar hasilnya, maka semakin tinggi Kebutuhan
Fiskal Pemerintah Daerah.
5) Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal dihitung dengan rumus (Abdul Halim, 2004: 25):
/ Kabupaten Kota
PendudukJa u PDRBBerlak u
KF Jateng S ......(1.10)
KF Jateng
PendudukKa u PDRBBerlak u
KF Pt
Dimana : KFs Jateng adalah Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah. KFs Pt adalah Kapasitas Fiskal Kabupaten Pati. Semakin besar hasilnya, maka semakin tinggi Kapasitas Fiskal Pemerintah Daerah.
Dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Mulyanto, 2004: 7):
100 x 100
Daerah Penerimaan Daerah
PAD
DOF
Dimana: DOF adalah Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pati.
a. Hipotesis 1
Untuk mengetahui tingkat kemandirian daerah Kabupaten Pati terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah jika diukur dengan rasio kemandirian daerah dengan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Rasio Kemandirian dan Pola Hubungan
Ada empat macam pola hubungan yang terkenal dengan “Hubungan Situasional” yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu:
1) Pola Hubungan Instruktif di mana peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi).
2) Pola Hubungan Konsultatif di mana campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
3) Pola Hubungan Partisipatif di mana peranan pemerintah pusat 3) Pola Hubungan Partisipatif di mana peranan pemerintah pusat
4) Pola Hubungan Delegatif di mana campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Berdasarkan teori di atas, pedoman dalam melihat hubungan dengan kemampuan daerah dari sisi keuangannya dapat dikemukakan tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah