2 Daerah Diterima Dan Ditolak Uji F

GAMBAR 3.2 Daerah Diterima Dan Ditolak Uji F

Ho ditolak

Ho diterima

F( a ;k-1 : n-k) sumber: Modul Laboratorium Ekonometrika UNS

d) Uji Koefisien Determinasi ( 2 R )

Untuk mengukur kebaikan dari model regresi maka diperlukan perhitungan determinasi ( 2 R ), yaitu angka untuk persentase total variasi variabel dependen yang

dapat dijelaskan variabel independen dalam model.

c. Uji Asumsi Klasik

Uji ini dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik, maka dilakukan pengujian terhadap gejala autokorelasi, multikolinieritas dan heteroskedastisitas.

1) Uji Autokorelasi

Autokorelasi terjadi karena adanya korelasi antar variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Metode yang digunakan adalah dengan percobaan Durbin-Watson (d-test), dimana langkah-langkah yang dilakukan adalah berikut : Autokorelasi terjadi karena adanya korelasi antar variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Metode yang digunakan adalah dengan percobaan Durbin-Watson (d-test), dimana langkah-langkah yang dilakukan adalah berikut :

2) Mencari nilai kritis L d dan u d

3) Mambandingkan nilai Durbin-Watson yang sudah diperoleh dengan nilai teoritis dengan menggunakan derajat kebebasan (n; k-1), dimana k merupakan jumlah

variabel bebas

termasuk variabel konstanta.

Hipotesis yang digunakan untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi adalah :

TABEL 3.2 Uji Statistik Durbin-Watson

Tidak ada autokorelasi positif

Ditolak

0<d<d L Tidak ada autokorelasi positif

Tidak ada keputusan

d L ≤d≤d U Tidak ada autokorelasi negatif

Ditolak

4-d L < d<4 Tidak ada autokorelasi negatif

Tidak ada keputusan

4-d U ≤d≤4-d L Tidak ada autokorelasi positif/

negatif

Diterima

d U <d<4-d U Sumber : Ekonometrika, 2003

GAMBAR 3.3 Autokorelasi

Ragu-ragu Ragu-ragu

Autokorelasi Autokorelasi Positif

Negatif

TidakadaAutokorelasi

0 d L d u 4- u

d 4- L d 4

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah pada model ditemukan korelasi antar variabel independen. Jika terjadi kolinieritas maka terdapat masalah multikolinieritas. Metode yang digunakan adalah metode Klein. Menurut L.R Klein, masalah multikolinieritas menjadi masalah apabila derajatnya lebih tinggi dibanding dengan korelasi antara variabel secara bersama-sama. Langkah-langkah yang dilakukan adalah semua variabel independen diregres secara

berpasangan, kemudian 2 r hasil regres tersebut dibandingkan dengan 2 R awal. Jika 2 R > 2 r maka tidak terjadi masalah

multikolinieritas, sebaliknya jika

R 2 < 2 r maka terjadi masalah multikolinieritas (Gujarati, 1997:159).

3) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan

White Test , yaitu dengan cara meregresi residual kuadrat ( Ei

) dengan variabel bebas, variabel bebas kuadrat dan perkalian

variabel bebas. Dapatkan nilai R

untuk menghitung χ2, di

mana χ2 = Obs*R square (Gujarati, 2003).

Uji Hipotesis untuk menetukan ada tidaknya heterokedastisitas.

1 ≠ρ 2 ≠....≠ ρ q ≠ 0 , Ada heterokedastisitas

Perbandingan antara

2 c hitung dengan χ2 tabel . Jika menunjukkan χ2 hitung < χ2 tabel , berarti Ho diterima dan Tidak ada heterokedastisitas, dan bila hasilnya χ2

maka berarti ha yang diterima dan terjadi heterokedastisitas.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab IV ini akan mendeskripsikan daerah penelitian yang meliputi gambaran umum daerah penelitian, keadaan geografis, kondisi demografis, kondisi sosial ekonomi yang meliputi kondisi sosial masyarakat, kondisi perekonomian daerah yang ditinjau dari aspek keuangan daerah, perbankan, pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan inflasi. Dalam bab ini juga akan diuraikan hasil analisis data yang meliputi analisis deskriptif dan analisis kuantitatif.

Analisis kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah (perkembangan keuangan daerah), kemandirian daerah dan kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam menghadapi penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan menggunakan beberapa indikator kinerja keuangan daerah. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Pati menggunakan: Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Upaya Fiskal, Posisi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal (DOF).

Untuk mengukur mengetahui apakah Derajat Desentralisasi Fiskal, Upaya Fiskal, Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten Pati berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati dilakukan dengan uji regresi maupun uji statistik.

A. Deskripsi Wilayah Kabupaten Pati

1. Kondisi Geografis

a. Letak Kabupaten Pati Kabupaten Pati merupakan bagian dari 35 Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Patisebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Laut Jawa dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara. Kabupaten Pati terletak diantara 110° 50’ - 111º, 15’ bujur timur dan 6º 25’ - 7º,00 lintang selatan, dan mempunyai luas wilayah 150.368 Ha, yang terbagi menjadi 21 kecamatan.Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Gembong dengan ketinggian 380 m dari permukaan air laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan Juwana dengan ketinggian 4 m dari permukaan air laut.

b. Keadaan Iklim Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Pati dan Kantor Meteorologi dan Geofisika, Kabupaten Pati memiliki rata – rata curah hujan di Kabupaten Pati di tahun 2008 sebanyak 1.002 mm dengan 51 hari hujan, untuk keadaan hujan cukup, sedangkan untuk temperatur Suhu maksimum 39ºC dan suhu minimum 23ºC.Berdasarkan curah hujan wilayah di Kabupaten Pati terbagi atas berbagai tipe iklim (oldeman).

Secara administratif Kabupaten Pati terbagi menjadi 21 kecamatan. Luas Kabupaten Pati tercatat 150.368 Haatau sekitar 4,62 % dari luas Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu lahan sawah seluas 58.448 Ha atau 38,87 % dan lahan bukan sawah seluas 91.920 Ha atau 61,13 %.

Menurut penggunaannya lahan kering/ bukan sawah terbagi kedalam berbagai penggunaan, yaitu 27.077 Ha merupakan rumah dan pekarangan atau sekitar 18,04 %, tegal/ kebun seluas 26.952 Ha atau sekitar 17,95 %, padang rumput seluas 2 Ha, hutan rakyat seluas 1.592 Ha atau sekitar 1,06 %, hutan negara seluas 17.766 Ha atau sekitar 11,83 %, perkebunan seluas 2.464 Ha atau sekitar 1,64 %, Rawa-rawa seluas 19 Ha, Tambak seluas 10.544 Ha atau 7,02 %, kolam 314 Ha, dan untuk penggunaan lainnya seluas 4.284 Ha atau sekitar 2,85 %.

2. Pemerintahan

a. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Pati terbagi menjadi 21 Kecamatan dan 406 Desa/Kelurahan, 401 merupakan Desa dan 5 merupakan Kelurahan. Menurut klasifikasinya semua desa/kelurahan sudah menjadi desa/kelurahan swasembada. Disamping itu Pemerintah Daerah Kabupaten Pati juga didukung oleh lembaga tingkat Desa/Kelurahan yaitu RT dan RW, adapun jumlah RT 7.463 dan RW sebanyak 1.464.

Keanggotaan DPRD Kabupaten Pati pada tahun 2009 berjumlah 50 anggota, terdiri dari 7 fraksi, yaitu: Fraksi PDIP (12 kursi), Fraksi Partai Demokrat (8 kursi), Fraksi Partai Golkar (5 kursi), Fraksi Partai PKS (5 kursi) dan Fraksi Partai PKB (4 kursi), Fraksi BPPN PB (8 kursi), Fraksi Djoyo Kusumo (8 kursi).

3. Penduduk dan Tenaga Kerja

a. Jumlah dan Komposisi Penduduk Penduduk Kabupaten Pati setiap tahun terus bertambah pesat. Menurut registrasi penduduk pada akhir tahun 2009 jumlahnya mencapai 1.265.225 jiwa yang terdiri dari laki-laki 625.183 jiwa dan perempuan 640.042 jiwa. Selama 5 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 0,62 %, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006 (1,45 %) dan pertumbuhan terendah pada tahun 2009 (0,08 %).

Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukan jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dibanding penduduk perempuan, yang diindikasikan dengan angka sex rasio sebesar 97,68. Sementara itu dari distribusi penduduk menurut kecamatan, menunjukan Kecamatan Pati adalah yang paling banyak penduduknya, yaitu sebesar 107.998jiwa (8,5 %), diikuti Kecamatan Juwana93.851jiwa (7,4 %) kemudian Kecamatan Sukolilo 90.442 jiwa (7,1 %), sedangkan yang jumlah penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Gunung Wungkal 18.713 jiwa (1,5 %).

kegiatan produksi dan segi ekonomi, dimana segala kebutuhannya ditanggung mereka sendiri. Sedangkan penduduk usia tidak produktif adalah penduduk yang belum bisa bekerja untuk dapat mencukupi kebutuhan sendiri dan penduduk yang diangggap tidak mampu bekerja. Batasan penduduk usia tidak produktif adalah 0-14 tahun dan

65 tahun ke atas, meskipun pada kenyataannya orang yang telah berusia 65 tahun atau lebih masih banyak yang mampu bekerja termasuk juga anak–anak yang berumur kurang dari 15 tahun, banyak yang sudah mencari nafkah. Dari jumlah penduduk usia produktif dan tidak produktif bisa diketahui angka beban tanggungan yaitu angka yang menunjukkan banyak penduduk pada usia tidak produktif (0–14 dan 65 + ) yang harus ditanggung oleh setiap penduduk usia produktif (15–64 tahun ). Jumlah penduduk usia produktif tahun 2009 adalah 856.500 jiwa (67,7 %) dan penduduk usia tidak produktif adalah 408.724 jiwa (32,3 %) dari total jumlah penduduk Kabupaten Pati sebesar 1.265.225 jiwa.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Pati tahun 2009 yaitu 841 jiwa/km 2 , penduduk terpadat berada di Kecamatan Pati (2.542 jiwa/km 2 ) dan yang kepadatan penduduknya terendah adalah

Kecamatan Pucakwangi (421 jiwa/km 2 ).

b. Tenaga Kerja

Dalam konsep ketenagakerjaan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja ditambah dengan penduduk pencari kerja. Data Dalam konsep ketenagakerjaan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja ditambah dengan penduduk pencari kerja. Data

Terbatasnya lapangan pekerjaan menyebabkan tidak semua pencari kerja segera mendapatkan pekerjaan. Penempatan tenaga kerja melalui Dinas Tenaga Kerja pada tahun 2009 sebanyak 1.252 orang atau sebesar 14,92 % dari total jumlah pencari kerja terdaftar.

4. Kondisi Sosial Ekonomi

a. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perhatian pemerintah dalam bidang ini antara lain diwujudkan melalui penyediaan sarana/prasarana pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar. Perhatian pemerintah tersebut sesungguhnya tidak cukup tanpa disertai partisipasi aktif dari masyarakat.

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Pati, jumlah murid SD dan MI tahun 2009 sebanyak 101.369 siswa. Jumlah murid SMP/Sederajat pada tahun 2009sebanyak 59.159 siswa. Sedangkan jumlah murid SMA/Sederajat pada tahun 2009sebanyak 39,523 siswa.

Pembinaan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Salah satu sasaran pembinaan kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan balita. Usaha yang dilakukan ditujukan untuk menurunkan angka kematian bayi dan memperpanjang usia harapan hidup, usaha–usaha tersebut terkait dengan penanganan kelahiran, imunisasi, pemberian ASI dan status gizi balita.

Penggalakan program KB sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui pengendalian angka kelahiran juga telah menunjukkan peningkatan. Persentase peserta KB aktif tertinggi adalah Kecamatan Jakenan yaitu mencapai 85,21 % terhadap pasangan usia subur (PUS).

c. Agama Dari total 1.263.092 penduduk Kabupaten Pati Sebagian besar merupakan pemeluk agama Islam yaitu berjumlah 1.229.797 orang atau sekitar 97.36%. Sedangkan penduduk yang beragama Kristen (Katolik & Protestan) tercatat 1,67 % dan sisanya merupakan pemeluk agama katolik, Budha, Hindu dan lainnya.

5. Keuangan, Perbankan dan Perekonomian

a. Keuangan Daerah Realisasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pati tahun anggaran 2009 sebesar Rp.929.172.521.485,- yang merupakan pendapatan yang terbagi menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp.90.396.847.846,-. Dana Perimbangan sebesar Rp.752.673.931.046,- dan Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp.86.101.742.593,-. Belanja Daerah terbagi menjadi belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik. Jumlah realisasi belanja daerah tahun anggaran 2009 sebesar Rp.957.324.511.392-. Dari realisasi APBD Kabupaten Pati tahun 2005 terjadi defisit Rp.28.151.989.907,-.

b. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Kondisi perekonomian daerah dapat diketahui dengan menghitung

pertumbuhan

ekonomi

daerah. Pertumbuhan perekonomian daerah dapat dilihat melalui jumlah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas dasar harga berlaku maupun harga konstan.

Tabel 4.1

Pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan

Tahun

PDRB Harga Berlaku (Ribuan)

Δ PDRB

PDRB Harga Knstan (Ribuan)

4.07 Sumber: BPS Kabupaten Pati (Beberapa Tahun). Pati Dalam Angka.

Berdasar tabel 4.1 di atas dapat diketahui besar pertumbuhan PDRB atas harga konstan dan berlaku Kabupaten Pati pada masa sebelum dan selama Otonomi Daerah. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Pati mengalami fluktuasi naik turun, dimana pertumbuhan terendah terjadi pada tahun anggaran 2009 sebesar 9,68 % dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2006 yaitu sebesar 16,01 %. Rata-rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Pati yaitu 11,76 %.

Jika ditinjau dari pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan, maka dapat diketahui bahwa pertumbuhan PDRB yang tertinggi adalah pada tahun anggaran 2007 sebesar 5,19 % dan terendah pada tahun anggaran 2003 sebesar 2,31 %. Rata-rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan yaitu 4,07 %.

B. Hasil Analisis Data dan Pembahasan

1. Analisis Deskriptif

a. Rasio Pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Rasio pertumbuhan APBD bertujuan mengukur seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode sebelumnya ke periode berikutnya.

Tabel 4.2

Pertumbuhan APBD Kabupaten Pati Tahun 2000-2009

Belanja Daerah

Surplus/Defisit

Pertumbuhsn surplus/deficit(%)

-28.151.989.515 -105,89 Rata-rata 543.946.122.298 532.773.289.600

11.172.832.698 -472,262

Sumber: Kabupaten Pati Dalam Angka (2000-2009). Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa pertumbuhan surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati tertinggi terjadi

pada tahun anggaran 2002, yaitu sebesar 1111,12% (dari -3.985.118.037 menjadi 40.294.323.874), sedangkan yang mengalami penurunan paling besar surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati adalah pada tahun anggaran 2005, yaitu sebesar - 5747,45 % (dari -311.631.438 menjadi - pada tahun anggaran 2002, yaitu sebesar 1111,12% (dari -3.985.118.037 menjadi 40.294.323.874), sedangkan yang mengalami penurunan paling besar surplus/defisit pada APBD Kabupaten Pati adalah pada tahun anggaran 2005, yaitu sebesar - 5747,45 % (dari -311.631.438 menjadi -

b. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kontribusi PAD terhadap APBD bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh PAD dalam membiayai roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Pati

Tabel 4.3

Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati Tahun

2000-2009

Tahun PAD APBD Kontribusi (%) 2000 12.732.616.632 135.846.756.356 9.37

Rata-rata 53.176.079.687 532.773.289.942 10.05 Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009).

kontribusi PAD Kabupaten Pati yang tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2004, yaitu sebesar 12,58% sedangkan kontribusi terendah terjadi pada tahun anggaran 2001, yaitu senilai 7,55%. Jika dilihat dari rata-ratanya Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Pati adalah sebesar 10,05. Hal ini menunjukan bahwa kontribusi PAD terhadap APBD relatif masih rendah, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Pati masih perlu mengoptimalkan lagi penggalian potensi-potensi daerahnya yang potensial bagi pemasukan PAD.

2. Analisis Kuantitatif

Indikator Kinerja Keuangan Daerah kabupaten Pati tahun 2000-2009

1) Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam mengumpulkan pendapatannya sesuai dengan potensi daerahnya. DDF dapat diukur menggunakan tiga rumus, rumus pertama yaitu dengan membandingkan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF I. Besarnya DDF I menunjukan kemandirian murni Kabupaten Pati. Rumus kedua yaitu dengan membandingkan antara Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF II. Besarnya DDF II menunjukan kemandirian semu Kabupaten Pati. Rumus ketiga yaitu dengan membandingkan antara Sumbangan & Bantuan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah 1) Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam mengumpulkan pendapatannya sesuai dengan potensi daerahnya. DDF dapat diukur menggunakan tiga rumus, rumus pertama yaitu dengan membandingkan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF I. Besarnya DDF I menunjukan kemandirian murni Kabupaten Pati. Rumus kedua yaitu dengan membandingkan antara Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) yang disebut dengan DDF II. Besarnya DDF II menunjukan kemandirian semu Kabupaten Pati. Rumus ketiga yaitu dengan membandingkan antara Sumbangan & Bantuan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah

Tabel 4.4 Ukuran DDF Kabupaten Pati

DDF

Kemampuan Keuangan Daerah

Sumber: Sukanto Reksohadiprodjo. (2001). Ekonomika Publik, Edisi I. Yogyakarta: BPFE UGM, hal 155.

Tabel 4.5

Derajat Desentralisasi Fiskal 1 Kabupaten Pati

Tahun DDF 1

Kemampuan

Keuangan Daerah 2000 9,80 Rendah

2001 7,64 Rendah 2002 9,49 Rendah 2003 9,78 Rendah 2004 12,59 Rendah 2005 11,91 Rendah

2006 9,71 Rendah 2007 8,80 Rendah

2008 9,10 Rendah 2009 9,73 Rendah

Rata-rata 9,85 Rendah

Sumber: Pati Dalam Angka, data diolah.

Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat kemandirian murni (rasio PAD terhadap Total Penerimaan Daerah) yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya angka DDF I yang menunjukan persentase di bawah 50% dimana persentase DDF I Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat kemandirian murni (rasio PAD terhadap Total Penerimaan Daerah) yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya angka DDF I yang menunjukan persentase di bawah 50% dimana persentase DDF I

Tabel 4.6 Derajat Desentralisasi Fiskal 2 Kabupaten Pati

Tahun DDF 2 Kemampuan

Keuangan Daerah 2000 7,68 Rendah

2001 6,62 Rendah 2002 6,25 Rendah 2003 5,14 Rendah 2004 5,21 Rendah 2005 5,26 Rendah 2006 4,71 Rendah 2007 4,74 Rendah 2008 4,88 Rendah 2009 5,99 Rendah

Rata-rata 5,65 Rendah Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah

Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat kemandirian semu (Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat kemandirian semu (Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari

Tabel 4.7

Derajat Desentralisasi Fiskal 3 Kabupaten Pati

Tahun DDF 3

Ketergantungan

Keuangan Daerah 2000 73,09 Tinggi

2001 82,93 Tinggi 2002 84,36 Tinggi 2003 84,09 Tinggi 2004 83,05 Tinggi 2005 85,81 Tinggi 2006 89,59 Tinggi 2007 89,95 Tinggi 2008 92,51 Tinggi 2009 79,98 Tinggi

Rerata 84,54 Tinggi

Sumber:

Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah. DDF3 < 50% berarti ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati terhadap pemerintah Pusat rendah dan semakin mandiri, sedangkan Jika DDF3 > 50% berarti ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi.

Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya angka DDF III yang menunjukan persentase di atas 50%, dimana persentase DDF III tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2008 sebesar 92,51%, hal ini bisa disebabkan karena inflasi yang terjadi dan meningkatnya belanja rutin pemerintah daerah. Sedangkan yang terendah terjadi pada tahun anggaran 2000 yaitu sebesar 73,09%. Rata-rata besarnya DDF III Kabupaten Pati adalah sebesar 84,54.

2) Upaya Fiskal Upaya fiskal digunakan untuk mengukur sejauh mana sumber pendapatan yang ada mampu membiayai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Upaya fiskal dapat dilihat dari usaha pengumpulan PAD, yang merupakan perbandingan antara penerimaan PAD terhadap kapasitas PAD. Kapasitas PAD adalah pendapatan yang diterima jika seluruh potensi telah digunakan secara optimal. Karena untuk mengetahui kapasitas PAD sangat sulit, maka digunakan PDRB sebagai proyeksi kapasitas PAD.

Tabel 4.8 Upaya Fiskal Kabupaten Pati

Tahun UP PAD TPADs IKPAD 2000 0,00418 0.00012 34.30

Rata-rata 0,00955 0.00025 37.70

Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah.

Berdasarkan tabel 4.8 di atas diketahui bahwa besarnya upaya fiskal Kabupaten Pati tahun 2000-2009, dimana upaya fiskal terendah terjadi pada tahun anggaran 2007, yaitu sebesar 31,92% dan yang tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2004, yaitu sebesar 42,97%. Jika dilihat dari reratanya. Nilai rata-rata upaya fiskal Kabupaten Pati tahun 2000-2009 adalah sebesar37,70% yang menandakan bahwa Indeks Kinerja PAD Kabupaten Pati masih cukup rendah karena masih kurang dari 50%.

Posisi fiskal digunakan untuk mengukur sejauh mana pertumbuhan PAD terhadap pertumbuhan PDRB mampu tumbuh secara sinergis. Posisi fiskal diukur dengan menggunakan rasio pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Tabel 4.9 Posisi Fiskal Kabupaten Pati

Tahun Posisi Fiskal

Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah.

Berdasarkan tabel 4.9 di atas diketahui bahwa besarnya nilai posisi fiskal tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2001 dan yang terendah terjadi pada tahun anggaran 2005, yaitu sebesar 0,32. Dari tahun 2000-2009 posisi fiskal Kabupaten Pati mengalami fluktuasi dengan rata-rata sebesar 2,22. Artinnya pertumbuhan PAD dan pertumbuhan PDRB mampu tumbuh secara sinergis karena

4) Kebutuhan Fiskal Kebutuhan fiskal digunakan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan perkapita penduduk suatu daerah jika jumlah seluruh pengeluaran Pemerintah Daerah dibagi secara merata kepada semua penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan fiskal juga dapat diartikan sebagai biaya pemeliharaan sarana prasarana sosial ekonomi suatu daerah. Kebutuhan fiskal juga menunjukan besarnya nilai indeks pelayanan publik per kapita daerah tersebut.

Tabel 4.10

Kebutuhan Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati

Tahun KFP Jateng KFK Pati 2000 0.796 14,55

2001 1.387 20,23 2002 1.923 14,21 2003 2.481 14,19 2004 2.269 16,02 2005 2.549 16,09 2006 3.553 13,10 2007 2.591 23,14 2008 3.594 20,00 2009 4.521 16,73 Rata-rata 2.566 16,83

Sumber:

Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah .

Berdasarkan tabel 4.10 di atas diketahui bahwa standar kebutuhan fiskal Propinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan, dimana tahun anggaran 2000 merupakan yang terendah, yaitu sebesar 0,796 dan yang tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2009, yaitu sebesar 4,521 dan apabila dilihat dari rata-rataadalah Berdasarkan tabel 4.10 di atas diketahui bahwa standar kebutuhan fiskal Propinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan, dimana tahun anggaran 2000 merupakan yang terendah, yaitu sebesar 0,796 dan yang tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2009, yaitu sebesar 4,521 dan apabila dilihat dari rata-rataadalah

5) Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa pendapatan per kapita. Peningkatan kapasitas fiskal daerah pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah.

Kapasitas fiskal digunakan untuk mengetahui seberapa besar usaha daerah untuk mengumpulkan pendapatannya apabila setiap penduduk harus memberi pemasukan yang sama kepada daerah.

Tabel 4.11

Kapasitas Fiskal Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati

Tahun KFs Jateng KFs Pati 2000 108.378 23.94

Rata-rata 209.407 21.45 Rata-rata 209.407 21.45

sedangkan kapasitas fiskal Kabupaten Pati cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dimana kapasitas fiskal Kabupaten Pati yang tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2001, yaitu sebesar 24,37 dan yang terendah sebesar 19,27 pada tahun anggaran 2008. Jika dilihat dari rata-ratanya, kapasitas fiskal Propinsi Jawa Tengah adalah sebesar 209.407. Kapasitas fiskal Kabupaten Pati cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun walaupun tidak terlalu signifikan, dilihat dari rata-rata kebutuhan Kabupaten Pati adalah sebesar 21,45. Hal tersebut berarti terdapat sedikit hambatan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam mengoptimalkan sumber- sumber penerimaannya.

6) Derajat Otonomi Fiskal Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal) menunjukan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Abdul Halim, 2004: 150).

menggunakan perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap penerimaan daerah tanpa subsidi.

Tabel 4.12

Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pati

Tahun DOF 2000 20,45% 2001 42,77% 2002 35,92% 2003 36,69% 2004 45,78%

Rata-rata 42,51% Sumber:Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah.

Berdasarkan tabel 4.12 di atas diketahui Derajat Otonomi Fiskal terendah terjadi pada tahun anggaran 2000, yaitu sebesar 20,45% dan yang tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2008, yaitu sebesar 75,21%. Sedangkan pada masa sesudah Otonomi Daerah. Secara rerata besarnya Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pati sebesar 42,51%. Hal ini berarti masih ada kecenderungan ketergantungan finansial Pemerintah Daerah Kabupaten Pati terhadap Pemerintah Pusat.

a. Hipotesis 1 Kemandirian Daerah dan Pola Hubungan

Kemandirian Daerah dengan Pola Hubungan digunakan untuk mengetahui kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Rasio Kemandirian Daerah dapat dihitung dengan membandingkan PAD terhadap Bantuan & Sumbangan Daerah.

Tabel 4.13

Kemandirian Daerah dengan Pola Hubungan Kabupaten Pati

Tahun Rasio Kemandirian Pola Hubungan 2000 13,41 Instruktif

2001 9,22 Instruktif 2002 11,25 Instruktif 2003 11,63 Instruktif 2004 15,16 Instruktif 2005 13,87 Instruktif 2006 10,84 Instruktif 2007 9,78 Instruktif 2008 9,84 Instruktif 2009 12,16 Instruktif

Rata-rata 11,72 Instruktif

Sumber: Pati Dalam Angka (2000-2009), data diolah.

Berdasarkan tabel 4.25 di atas dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pati cenderung mempunyai tingkat kemandirian yang rendah dalam mencukupi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya Rasio Kemandirian yang menunjukan persentase di bawah 25% sehingga

Pusat lebih dominan dibanding kemandirian Pemerintah Daerah. Rasio Kemandirian tertinggi dicapai pada tahun anggaran 2004 sebesar 15,16% sedangkan yang terendah terjadi pada tahun anggaran 2001 yaitu sebesar 9,22%.

Untuk meningkatkan rasio kemandirian daerah Kabupaten Pati dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pos-pos penerimaan daerah yang merupakan komponen PAD, seperti

1) Mengoptimalkan pemungutan pajak yang dikelola oleh Pemerintah daerah.

2) Mengoptimalkan pemungutan retribusi

3) Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdya alam yang ada di daerah.

b. Hipotesis 2

1) Hasil Regresi

Analisis hasil regresi ini menggunakan alat bantu yaitu program komputer Eviews. Hasil regresi linier berganda yang didapat adalah sebagai berikut :

TABEL 4.14 Hasil Regresi Linear

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic Prob.

0.896759 Mean dependent var 4.074444

Adjusted R-squared

0.793518 S.D. dependent var 0.923947

S.E. of regression

0.419844 Akaike info criterion 1.402315

Sum squared resid

0.705077 Schwarz criterion 1.511884

Log likelihood

-1.310416 F-statistic

Durbin-Watson stat

2.756387 Prob(F-statistic)

Sumber: Hasil olah data Eviews

2) Koefisien Determinasi ( 2 R )

Perhitungan yang dilakukan untuk mengukur proporsi atau prosentase dari variasi total variabel dependen yang mampu dijelaskan oleh model regresi. Diperoleh nilai 2 R dalam regresi sebesar 0,793518. Ini berarti variabel pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati dapat dijelaskan oleh DDF1, IKPAD, KFK dan KFS sebesar 79,3518 persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

3) Pengujian t-Statistik

Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Pengujian t-statistik dilakukan dengan cara membandingkan antara t-hitung dengan t-tabel. (Gujarati, 2003)

t-tabel = { α ; df ( n-k ) }

t-hitung =

Keterangan : α = Level of significance, atau probabilitas menolak hipotesis

yang benar. n = Jumlah sampel yang diteliti. k = Jumlah variabel independen termasuk konstanta. Se = Standar error.

Uji t-statistik yang dilakukan menggunakan uji satu sisi (one tail test), dengan α = 5 %.

Jika t-tabel < t-hitung berarti Ho ditolak atau variabel Xi berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen, tetapi jika t- tabel ≥ t-hitung berarti Ho diterima atau variable Xi tidak berpengaruh terhadap variabel dependen.

TABEL 4.15 Hasil Uji t-Statistik

Variabel

Koefisien t-hitung

2,132 Tidak signifikan

Sumber: Hasil olah data Eviews

a) Uji t-Statistik Variabel Derajat Desentraliasi Fiskal (DDF1) Hipotesis pengaruh variabel Derajat Desentraliasi Fiskal (DDF1) terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati yang digunakan adalah :

Ho : β 1 ≤0 , berarti variabel Derajat Desentraliasi Fiskal (DDF1) terhadap tidak berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Pati.

Ha : β 1 > 0, berarti variabel Derajat Desentraliasi Fiskal (DDF1) terhadap berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi

di Kabupaten Pati.

Hasil perhitungan yang didapat adalah t-hitung X 1 = 0.083128 sedangkan t-tabel = 2,132 (df (n-k) 9-5 = 4 , α = 0,05), sehingga t-hitung < t-tabel ( 0. 083128 < 2,132). Perbandingan

antara t-hitung dengan t-tabel, yang menunjukkan bahwa t- hitung < t-tabel, Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Derajat Desentraliasi Fiskal DDF1 tidak berpengaruh signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati.

Hipotesis pengaruh variabel Upaya Fiskal (IKPAD) terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati yang digunakan adalah :

Ho : β 2 <0 , berarti variabel Upaya Fiskal (IKPAD) tidak berpengaruh terhadap variable Pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten Pati.

Ha : β 2 > 0, berarti variabel Upaya Fiskal (IKPAD) berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati.

Hasil perhitungan yang didapat adalah t-hitung X 2 = 2.299625 sedangkan t-tabel = 2,132 (df (n-k) = 4 , α = 0,05), sehingga t-hitung > t-tabel ( 2.299625 < 2,132). Perbandingan

antara t-hitung dengan t-tabel, yang menunjukkan bahwa t- hitung > t-tabel, Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Upaya Fiskal (IKPAD) berpengaruh signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati.

c) Uji t-Statistik Variabel Kebutuhan Fiskal (KFK) Hipotesis pengaruh variabel Variabel Kebutuhan Fiskal (KFK) terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati yang digunakan adalah : Ho : β

<0 , berarti variabel Variabel Kebutuhan Fiskal (KFK) tidak berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten Pati.

berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati.

Hasil perhitungan yang didapat adalah t-hitung X

= 3.654358 sedangkan t-tabel = 2,132 (df (n-k) = 4 , α = 0,05),

sehingga t-hitung > t-tabel (3.654358 > 2,132). Perbandingan antara t-hitung dengan t-tabel, yang menunjukkan bahwa t- hitung > t-tabel, Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Variabel Kebutuhan Fiskal (KFK) berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati.

d) Uji t-Statistik Variabel Kapasitas Fiskal (KFs)

Hipotesis pengaruh variabel Variabel Kapasitas Fiskal (KFs) terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati yang digunakan adalah : Ho : β

<0 , berarti variabel Variabel Kapasitas Fiskal (KFs) tidak berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten Pati.

Ha : β 4 > 0, berarti variabel Variabel Kapasitas Fiskal (KFs) berpengaruh terhadap variabel Pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten Pati.

= 4.350609 sedangkan t-tabel =2,132 (df (n-k) = 4 , α = 0,05), sehingga t-hitung > t-tabel (4.350609 > 2,132 ). Perbandingan

antara t-hitung dengan t-tabel, yang menunjukkan bahwa t-hitung > t-tabel, Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Variabel Kapasitas Fiskal (KFs) berpengaruh signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pati.

4) Pengujian F-Statistik

Uji F-statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Pengujian F-statistik ini dilakukan dengan cara membandingkan antara F-hitung dengan F-tabel. (Gujarati, 2003)

F-hitung =

F-tabel = ( α : k-1, n-k ) α = 5 %, ( 5-1= 4 ; 9-5 = 4 ) Jika F-tabel < F-hitung berarti Ho ditolak atau variabel

independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel independen, tetapi jika F-tabel ≥ F-hitung berarti Ho diterima atau variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Hipotesis yang digunakan adalah : Ho : b1 = b2 = b3 = 0, berarti variabel independen secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap variabel independen.

keseluruhan berpengaruh terhadap variabel independen. Hasil perhitungan yang didapat adalah F-hitung = 8.686073 sedangkan F- tabel = 6,39 (α = 0,05 ; 4 ; 4), sehingga F- hitung > F-tabel (86.686073 > 6,39). Perbandingan antara F-hitung dengan F-tabel yang menunjukkan bahwa F-hitung > F-tabel, menandakan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen,

5) Pengujian Asumsi Klasik

a) Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel independen atau variabel independen yang satu fungsi dari variabel independen yang lain. Pengujian terhadap gejala multikolinieritas dapat dilakukan dengan membandingkan

koefisien determinasi parsial (r

) dengan koefisien determinasi

majemuk (R

), jika r

lebih kecil dari R

2 maka tidak ada

multikolinieritas.

TABEL 4.16 Hasil Pengujian Mulitkolinearitas

Sumber: Data diolah dengan Eviews

Variabel

Keterangan

X 1 dengan X 2 ,X 3 ,X 4 0.277811 0.896759 Tidak ada multikolinieritas

X 2 dengan X 1 ,X 3 ,X 4 0.572302 0.896759 Tidak ada multikolinieritas

X 3 dengan X 1 ,X 2 ,X 4 0.477719 0.896759 Tidak ada multikolinieritas

X 4 dengan X 1 ,X 2 ,X 3 0.360039 0.896759 Tidak ada multikolinieritas

Dari tabel 4.5 diketahui bahwa nilai 2 R > 2 r berarti tidak ada gejala multikolinieritas. Variabel satu atau lebih variabel independen tidak terdapat korelasi (hubungan) dengan variabel independen lainnya. Dengan kata lain satu atau lebih variabel independen tidak merupakan fungsi linier dari variabel independen lainnya.

b) Autokorelasi

Autokorelasi terjadi karena adanya korelasi antar variabel gangguan sehingga penaksir tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Metode yang digunakan adalah dengan percobaan Durbin-Watson (d-test), dimana langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan regresi seperti biasa untuk memperoleh nilai

residual 1 e dan d.

2. Mencari nilai kritis dL dan dU.

3. Mambandingkan nilai Durbin-Watson yang sudah diperoleh dengan nilai teoritis dengan menggunakan derajat kebebasan (n;k-1), dimana k merupakan jumlah variabel bebas termasuk variabel konstanta.

Dalam penelitian ini k=4 dan n=9, maka dari tabel Durbin Watson diperoleh nilai dL=0,2957 dan dU=2,5881. Dari hasil perhitungan analisis Durbin-Watson dengan program Evies diperoleh nilai Durbin-Watson (DW) sebesar 2,756.

GAMBAR 4.1 Autokorelasi

Autokorelasi Positif Negatif

4-dU 4-dL 4

Dari analisis perhitungan Durbin-Watson diperoleh nilai DW sebesar 2,756. Diperoleh kesimpulan bahwa nilai DW berada di daerah antara 4-dU dan 4-dL, artinya berada di area ragu-ragu.

c) Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan

White Test, yaitu dengan cara meregresi residual kuadrat ( Ui

) dengan variabel bebas, variabel bebas kuadrat dan perkalian

variabel bebas. Dapatkan nilai R

2 untuk menghitung χ2, di mana

χ2 = Obs*R square ( Gujarati, 2003 ).

Uji Hipotesis untuk menetukan ada tidaknya heterokedastisitas.

Ho : ρ 1 =ρ 2 = ....= ρ q = 0 , Tidak ada heterokedastisitas Ha : ρ 1 ≠ρ 2 ≠....≠ ρ q ≠ 0 , Ada heterokedastisitas

TABEL 4.17 Hasil Uji White Test

White Heteroskedasticity Test: Obs*R-squared

9.000000 Probability 0.342296

Sumber: Data diolah dengan Eviews .

Hasil perhitungan yang didapat adalah Obs*R square ( χ2 hitung ) = 9,00 sedangkan χ2 tabel = 9.48773 (df = 3 , α = 0,05),

(9,00 < 9.48773). Perbandingan antara χ2 hitung dengan χ2 tabel , yang menunjukkan bahwa χ2 hitung < χ2 tabel ,

berarti Ho tidak dapat ditolak. Dari hasil uji White Test tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada heterokedastisitas.

6) Interpretasi Hasil Secara Ekonomi

1) Secara bersama-sama variabel independen (derajat desentralisasi fiskal, upaya fiskal, kebutuhan fiskal, dan upaya fiskal) dengan tingkat signifikansi 5% di dalam penelitian ini berpengaruh signifikan terhadap terhadap variabel dependen (pertumbuhan PDRB Kabupaten Pati). Terlihat dari nilai probabliitas F sebesar 0,0000 dan nilai F statistik sebesar 8,6686073 lebih besar dibandingkan dengan F tabel sebesar 6,39.

signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati. Semakin besar Derajat Desentralisasi Fiskal maka akan menyebabkan Pertumbuhan PDRB semakin besar pula. Koefisien regresi variabel Deajat Desentralisasi Fiskal diperoleh hasil sebesar 0,009557. Nilai koefisien regresi tersebut memberikan makna bahwa pada kondisi cateris paribus, jika jumlah Deajat Desentralisasi Fiskal meningkat sebesar satu satuan, maka Pertumbuhan PDRB akan mengalami peningkatan sebesar 0,009557 satuan.

3) Upaya Fiskal berpengaruh positif signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati. Semakin besar Upaya Fiskal maka akan menyebabkan Pertumbuhan PDRB semakin besar pula. Koefisien regresi variable Upaya Fiskal diperoleh hasil sebesar 0,159180. Nilai koefisien regresi tersebut memberikan makna bahwa pada kondisi cateris paribus, jika jumlah Upaya Fiskal meningkat sebesar satu satuan, maka Pertumbuhan PDRB akan mengalami peningkatan sebesar 0,159180 satuan.

4) Kebutuhan Fiskal berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati. Semakin besar Kebutuhan Fiskal maka akan menyebabkan Pertumbuhan PDRB semakin besar pula. Koefisien regresi variabel Kebutuhan Fiskal diperoleh hasil sebesar 0,223996. Nilai koefisien regresi tersebut memberikan makna bahwa pada kondisi cateris paribus, jika

Pertumbuhan PDRB akan mengalami peningkatan sebesar 0,223996 satuan.

5) Kapasitas Fiskal berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Pati. Semakin besar Kapasitas Fiskal maka akan menyebabkan Pertumbuhan PDRB semakin besar pula. Koefisien regresi variabel Kapasitas Fiskal diperoleh hasil sebesar 0,409272. Nilai koefisien regresi tersebut memberikan makna bahwa pada kondisi cateris paribus, jika jumlah Kapasitas Fiskal meningkat sebesar satu satuan, maka Pertumbuhan PDRB akan mengalami peningkatan sebesar 0,409272 satuan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan mengenai kemandirian keuangan daerah dan pengaruhnya terhada pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pati tahun 2000-2009, maka penulis menyimpulkan kesimpulan dan saran sebagai berikut :