TINJAUAN PUSTAKA

KUHP).

4) Delik culpa, tinda pidana yang dilakukan dengan alpa (Pasal 359

KUHP).

5) Delik biasa, tindak pidana yang penegakan hukumnya tidak

memerlukan aduan dari pihak yang dirugikan.

6) Delik ommissionis, tindak p idana dengan cara si pelaku justru tidak melakukan perbuatan yang merupakan kewajiban/ keharusan.

7) Delik commissionis, tindak pidana dengan melakukan perbuatan

sesuatu yang dilarang (perbuatan fisik/ materiil).

8) Delik commissionis per ommissionis comisa, tindak pidana tersebut adalah bentuk tindak pidana commissionis namun dilakukan dengan cara tidak berbuat.

9) Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang

lain baik p ihak korban/ ahli warisnya.

10) Delik bukan aduan, perbuatan pidana yang tidak memerlukan pengaduan orang lain. Dengan kata lain setiap orang boleh melaporkan pada pihak yang berwajib (Moeljatno, 2008: 82-84).

2. Tinjauan tentang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)

a. Pengertian ABH Anak merupakan generasi penerus bangsa dan pembangunan yang berkelanjutan serta pemegang kendali masa depan suatu negara, termasuk anak Indonesia. Sehingga keberadaan anak wajib dilindungi adanya. Melindungi anak Indonesia berarti melindungi sumber daya manusia untuk dipersiapkan sebagai manusia pembangun bangsanya, hal ini merupakan semangat spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pelindungan terhadap anak di suatu masyarakat, merupakan tolak ukur peradapan bangsa, karenanya wajib diusahakan upaya tersebut. Dengan demikian perlu adanya jaminan hukum yang jelas bagi anak dan perlindungan anak. Diawali dengan pemahaman pengertian mengenai anak. Menurut Nashriana dalam bukunya yang berjudul “Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia” mengatakan bahwa batasan tentang anak sangat penting dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan anak dengan benar dan terarah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang yang tangguh dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Pengertian tentang anak dapat dilihat pada:

1) Pengertian anak beradasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-undang 1) Pengertian anak beradasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-undang

2) Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata (BW) memuat batasan antara belum dewasa dengan telah dewasa yaitu 21 (dua puluh satu) tahun kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (Pasal 419 KUH Perdata) berlaku untuk Golongan Timur Asing bukan Tionghoa.

3) KUHP tidak merumusakan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal

72 yang memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun (Untuk Golongan Timur Asing dan Tionghoa).

4) Lembaran Negara 1931-54 menyebutkan yang dimaksud belum dewasa, yang biasa disebut minderjaring (yang dimaksud disini adalah golongan pribumi) yaitu orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin; bila perkawinan terputus sebelum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, meraka tidak menjadi tidak dewasa lagi; yang dimaksud dengan perkawinan oleh ordonansi in i bukanlah perkawinan anak-anak, yaitu perkawinan antara anak-anak yang masih sangat muda dan tidak diikuti dengan hidup bersama

5) Pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) tidak pula megatur secara eksplisit tentang batasan usia pengertian anak, tetapi dalam Pasal 153 ayat (5) memberikan wewenang pada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun untuk menghadiri sidang.

6) Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

7) Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, maka anak adalah seorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

8) Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a,b, dan c Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan bahwa anak didik pemasyarakatan baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

9) Dalam Pasal 1 sub 5 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diyatakan bahwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

10) Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

11) Pada hukum adat dan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia terjadi perbedaan didalamnya. Untuk hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut sebagai anak sangat pluralistik. Terdapat beberapa istilah batasan anak dikatakan dewasa anatara alain “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut yurisprudensi Mahkamah Agung yang berorientasi pada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 15 (lima belas) tahun seperti putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 53 K/Sip/1952 tanggal 1 juni 1955 dalam perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartika (Nashriana, 2011:3). Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) yang sejalan dengan

Anak, yang disebut sebagai anak yang dapat diperkarakan ke sidang anak hanyalah anak yang berumur antara 8 tahun sampai 18 tahun dan belum kawin. Terhadap anak yang walaupun belum mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, secara a contrario tidak dapat diajukan ke sidang anak, tetapi sidang orang dewasa berdasarkan KUHP dan KUHAP. Namun pada hari Kamis, 24 Februari 2011 di Ruang Sidang P leno MK, Mahkamah

mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan tentang batas umur minimum pertanggungjawaban pidana ABH adalah 12 (dua belas) tahun.

Dalam pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustifikasi oleh setiap orang. Pemberian kategori “Anak Nakal” merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan dibuktikan di muka hukum. Dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum (minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child ) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin ”. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya

namun Pasal a quo merupakan jiwa atau ruh dari Undang-Undang Pengadilan Anak, terutama Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU pengadilan Anak, sehingga batas umur minimum juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yakni

12 (dua belas) tahun (Nur Rosihin Ana/mh. 28 Februari 2011website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). Putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia minimum

pertanggung jawaban anak, selanjutnya yang akan menjadi acuan penulis dalam memahami tentang batas usia minimum pengajuan perkara anak pertanggung jawaban anak, selanjutnya yang akan menjadi acuan penulis dalam memahami tentang batas usia minimum pengajuan perkara anak

Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku anak nakal (juvenile delinquency), dilakukan dengan mendasarkan pada tingkat usia, artinya pada usia tingkat berapakah seseorang dikatakan sebagai anak. Selain itu adapula yang melakukan pendekatan psikososial dalam merumuskan tentang anak. Batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang melingkupi pengertian anak nakal menurut Maulana Hasan Wadong, meliputi dimensi pengertian sebagai berikut:

1) Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;

2) Pengembalian hak-hak anak dari lapangan hukum keperdataan, tata

negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

3) Rehabilitasi pada anak;

4) Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;

5) Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana (Maulana Hasan

Wadong, 2000:22 dalam Nashrian, 2011: 8).

Istilah juvenile delinquency pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam rangka membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya sependapat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat antisosial. Nashriana dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, menuliskan beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian juvenile delinquency, yaitu antara lain :

1) Menurut Paul Moedikno, juvenile delinquency adalah semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency; semua penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat; semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dll.

2) Menurut Kartini Kartono, juvenie delinquency adalah perilaku jahat

(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.

3) Menurut Fuad Hasan, yang dikatakan juvenile delinquency adalah perbuatan antisosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

4) Menurut Paul M. Tappan, juvenile delinquency adalah the juvenile delinquent is a person has been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction though he may be no different up until the time of court contact and adjudication at any rate, from masses of children who are not delinquent.

5) Sementara Maud A. Merril, merumuskan juvenile delinquency adalah seorang anak digolongkan sebagai anak delikuen apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan antisosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya (Nashriana, 2011: 26-28).

Penyebutan juvenile delinquency oleh Sri Widoyati Wiratmo Soekito dalam bukunya Anak dan Wanita dalam Hukum adalah kenakalan remaja. Beliau mengartikan kenakalan remaja merupakan tingkah laku anak dan remaja yang tidak baik atau menyimpang dari perilaku kelompok-kelompok atau golongan yang tentunya hampir segala sesuatu yang dilakukannya tidak disukai oleh orang lain. Pengertian tersebut diambil beliau dari bagian laporan kepada Kongres Amerika Serikat mengenai kenakalan remaja pada 1960 dari Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat. Juvenile delinquency ditentukan atas dasar usia para pelaku dan atas dasar tingkah laku para pelaku Pengadilan Anak. Kebanyakan negara memiliki batas minimum usia dan batas maksimum usia seorang anak untuk dapat diajukan di muka pengadilan (Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1989: 3).

Maidin Gultom dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Anak menyebutkan, anak nakal adalah anak cacat sosial yang disebut juga juvenile delinquency. Selain itu menurut Romli Atmasasmita mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsir sebagai perbuatan yang tercela (Romli Atmasasmita dalam Maidin Gultom, 2010:55).

Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-undag Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak nakal sebagai:

1) Anak yang melakukan tindak pidana; atau

Tindak pidana yang dimaksud adalah selain tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP, juga tindak pidana yang dirumuskan diluar KUHP misalnya: UU tentang Narkotika, UU Psikotropika, UU Hak Cipta dan sebagainya. Pada saat proses pembuatan UU Peradilan Anak telah diadakan workshop Perundang-undangan tentang anak dan pemuda penyelenggaranya Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak (BKN-KKA), muncul salah satu rekomendasi bahwa pengertian tindak pidana anak adalah semua perbuatan yang dirumuskan dalam perundang- undangan pidana dan perbuatan-perbuatan lainnya yang pada hakikat merugikan perkembangan si anak sendiri serta masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci dalam Undang-undang Pengadilan Anak.

2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan; Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilarang bagi anak nakal adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun 2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan; Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilarang bagi anak nakal adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun

Pengertian anak nakal tersebut di atas, yang dapat diselesaikan dengan jalur hukum hanyalah anak nakal dalam pengetian huruf a, sedangkan pengertian huruf b KUHP tidak mengenal anak nakal dalam pengetian tersebut, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana.

Dari berbagai pendapat tentang pengertian juvenile delinquency, penulis mengambil kesimpulan bahwa juvenile delinquency adalah perilaku anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Namun dirasa terlalu kejam apabila menyebut pelaku anak sebagai penjahat.

Anak nakal yang dapat diproses secara hukum diistilahkan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Istilah ABH muncul dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahakamah agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Penanganan ABH yang ditandatangani pada tanggal 22 Desember 2009 (DS. Dewi dan Fatahillah, 2011:9). SKB tersebut dibuat sebagai payung hukum sementara bagi aparat penegak hukum karena perangkat yang sekarang tidak bisa dijadikan landasan langsung bagi pelaksanaan keadilan restoratif dalam menangani kasus ABH yang bersifat tidak hanya legal juctice tetapi juga mempertimbangkan social justice maupun moral justice . Selanjutnya penulis dalam hal ini menyebutkan anak nakal dengan istilah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Keputusan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara penanganan ABH yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak hukum dan semua pihak terkait. Ruang lingkup SKB mengatur tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi penanganan di tingkat penyidikan, Keputusan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara penanganan ABH yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak hukum dan semua pihak terkait. Ruang lingkup SKB mengatur tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi penanganan di tingkat penyidikan,

1) terwujudnya persamaan persepsi diantara jejaring kerja dalam

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

2) meningkatkan koordinasi dan kerja sama dalam upaya menjamin perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

3) meningkatkan efektivitas penangan anak yang berhadapan dengan hukum secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan dan terpadu (DS. Dewi dan Fatahillah, 2011:46).

b. Sistem Pemidanaan pada ABH Sistem pemidanaan merupakan aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Dari pengertian tersebut sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional dan sudut norma substansial. Dari sudut fungsional dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Dilihat dari norma substansial, sistem pemidanaan diartikan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiil untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana (Nandang Sambas, 2010:1).

Dalam arti mengkaji sistem pemidanaan sebagai keseluruhan norma hukum pidana materiil penjatuhan dan pelaksanaan pidana terhadap anak, baik yang ada dalam Buku I KUHP sebagai ketentuan umum, maupun ketentuan khusus yang diatur dalam Buku II dan Buku

III KUHP, serta yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 103 KUHP, bahwa bab satu sampai dengan bab delapan Buku I KUHP berlaku pula bagi ketentuan lain di luar KUHP sepanjang tidak ditentukan lain (lex specialist de rogat legi generalis).

Aturan tersebut antara lain meliputi ketentuan tentang jenis sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 10, masalah pidana bersyarat dalam Pasal 14 a-f, pelepasan bersyarat yang diatur dalam Pasal 15 dan

15 a-b KUHP, alasan penghapusan dalam Pasal 44, 48 KUHP, percobaan dalam Pasal 53, 54 KUHP, penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 a-b KUHP, alasan penghapusan dalam Pasal 44, 48 KUHP, percobaan dalam Pasal 53, 54 KUHP, penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal

Secara khusus ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana anak ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perlu diketahui, bahwa terdapat perbedaan pengaturan jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP yaitu menyangkut masalah pidana pokok dan pidana tambahan, dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 diatur pula jen is sanksi yang berupa “tindakan”. Pasal 22 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menegaskan bahwa: ”Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Menyimak Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal, pidana pokok terdiri atas:

1) Pidana penjara

2) Pidana kurungan

3) Pidana denda

4) Pidana pengawasan Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:

1) Perampasan barang; dan atau

2) Pembayaran ganti rugi Jenis sanksi yang berupa pidana dan tindakan, pidana mati sebagai pidana pokok dalam KUHP secara tegas bukan lagi jenis sanksi yang dapat diancamkan. Sanksi p idana pokok yang berupa pidana pengawasan, pidana tambahan yang berupa perampasan barang dan pembayaran ganti rugi, merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam rumusan KUHP. Dengan demikian sanksi pidana 2) Pembayaran ganti rugi Jenis sanksi yang berupa pidana dan tindakan, pidana mati sebagai pidana pokok dalam KUHP secara tegas bukan lagi jenis sanksi yang dapat diancamkan. Sanksi p idana pokok yang berupa pidana pengawasan, pidana tambahan yang berupa perampasan barang dan pembayaran ganti rugi, merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam rumusan KUHP. Dengan demikian sanksi pidana

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal meliputi:

1) mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;

2) menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja; atau

3) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak d i bidang pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja; Pasal 24 ayat (2) tindakan disertai dengan teguran atau syarat tambahan

lainnya. Bagi anak nakal sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 huruf a “anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana”, Hakim menjatuhkan sanksi pidana maupun tindakan. Sedangkan bagi anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 hurif b “anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 24, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan (2).

Untuk anak yang melakukan sebagaimana tindak pidana diancam dengan sanksi pidana dan tindakan, dan lamanya pidana diatur dalam Pasal 26 yaitu:

1) Pidana penjara paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman

pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1))

2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2)).

Namun demikian, bagi anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun hanya dapat dikenakan tindaan berupa:

3) Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja jika melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup (Pasal 26 ayat (3)).

4) Salah satu tindakan dari ketiga jen is tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 23, jika melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau seumur hidup (Pasal 26 ayat (4)).

Terdapat perbedaan perlakuan dan perbedaan ancaman pidana terhadap anak, hal ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memeperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Pidana kurungan dinyatakan dalam Pasal 27, dimana pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Yang dimaksud dengan ancaman pidana kurungan orang dewasa adalah maksimum ancaman pidana pada tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau undang-undang lainnya.

Penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, hal ini sesuai apa yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1). Undang-undang Pengadilan Anak megatur pula ketentuan yang relatif baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Hal tersebut dikarenakan untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya (Pasal 28 ayat (2)).

Lama wajib latihan kerja sebagai pengganti denda, paling lama

90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak leb ih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28 ayat (3)).

Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial anak serta perlindungan anak.

Pasal 29 mengatur tentang Pidana Bersyarat/ Pidana Percobaan, dengan rumusan:

1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun.

2) Untuk menjatuhkan pidana bersyarat umum maupun yang bersyarat

khusus diberlakukan ketentuan berikut:

a) Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindal pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

b) Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam Putusan Hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek dari pada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.

3) Pengawasan dan bimbingan

a) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.

b) Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan berstatus sebagai klien pemasyarakatan.

c) Selama anak nakal berstatus sebagai klien pemasyrakatan dapat

mengikuti pendidikan seko lah. Pasal 30 mengatur tentang pidana pengawasan, lama pidana ini

paling singkat selama (3) bulan dan paling lama (2) tahun. Sedangkan dalam hal Pembebasan Bersyarat, undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menentukan apabila:

1) Telah menjalani pidana penjara selama 2/3 (dua pertiga) dari pidana yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan

2) Masa percobaan, sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya

(Pasal 62 ayat (3));

Dibandingkan dengan apa yang diatur dalam KUHP, masa percobaan untuk anak waktunya jauh lebih singkat yaitu selama sisa pidana yang harus dijalankan. Sedangkan dalam KUHP selain selama sisa pidana yang harus dijalankan, ditambah selama satu tahun.

Jadi, ketentuan sistem pemidanaan pada ABH tidak hanya terdapat pada KUHP namun juga terdapat dalam Undang-undang Nomor

3 Tahun 1997. Dengan demikian aturan umum Buku I KUHP juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan anak. Bahkan pengaturan tindak pidana dalam aturan khusus di luar KUHP juga merupakan bagian/ sub sistem dari sistem pemidanaan anak, karena didalamnya memuat ketentuan/ unsur-unsur untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang dilakukan o leh pelaku termasuk anak. Aturan sistem pemidanaan mengatur tentang jenis-jenis sanksi pidana, lamanya pidana, cara pelaksanaan pemidanaan, percobaan, penyertaan, berbarengan, tenggang waktu kadaluwarsa penuntutan, dan pelaksanaan pidana, serta prinsip-prinsip umum pemidanaan lainnya, sepanjang tidak ditentukan lain menurut undang-undang, masih tetap berlaku ketentuan umum yang ada dalam KUHP (asas lex specialis de rogat lex generalis) (Nandang Sambas, 2010:93).

B. KERANGKA PEMIKIRAN

Bagan 2: Skematik Kerangka Pemikiran

KETERANGAN:

Pada Pengadilan Anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut tindak pidana yang dilakukan ABH oleh Hakim. Dalam melaksanakan ketentuan sistem pemidanaan, Hakim Anak mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. Namun perlu diketahui sebelumnya pengaturan ancaman sanksi pemidanaan bagi ABH diatur dalam tiga pasal, yaitu Pasal 45, 46, dan 47 KUHP. Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi, sepanjang tidak ditentukan lain menurut undang-undang, masih tetap berlaku ketentuan umum yang ada dalam KUHP (asas lex specialis

de rogat lex generalis ).

Pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan vonis Hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya suatu perbuatan pidana yang dilakukan. Adapun mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu pada KUHP. Namun untuk hukum pidana khusus terdapat perluasan atau penambahan bentuk atau jenis pidana tambahan diluar yang termaktub dalam KUHP.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Hakim Mengadili

Hak-hak ABH

Pertimbangan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pengadilan Anak

Pemidanaan

KUHP telah menetapkan jenis-jenis pidana yaitu dalam Pasal 10 KUHP. Pada Pasal in i diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok sendiri terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri dari tiga jenis pidana. Sedangkan dalam Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Pasal 22 menyebutkan, “Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan hukuman pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”.

Salah satu bentuk perlindungan pada ABH adalah dengan memenuhi hak-hak yang dimiliki ABH. Beberapa hak-hak ABH dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan (dengan memperhatikan hak-hak lainnya). Proses peradilan pidana adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang berdiskusi, dapat memperjuangkan pendirian tertentu, mengemukakan kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya, dan dimana keputusan yang diambil itu mempunyai motivasi tertentu. Maka, sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan pula hak-hak ABH yang harus dilindungi dan diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama

Melihat adanya perluasan atau penambahan bentuk atau jenis pidana tambahan diluar yang termaktub dalam KUHP, maka penulis akan meneliti pelaksanaan pemidanaan terhadap ABH yang dipergunakan Hakim dalam menjatuhkan Putusan, jenis pidana yang dijatuhkan serta bentuk pemenuhan hak-hak anak ditinjau dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.