100 dalam memimpin diri dan mengatasi rintangan dalam memimpin diri sendiri akan
jalan bagi kesuksesan dalam kepemimpinan-kepemimpinan lainnya yang melibatkan orang lain.
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar
memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab
yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt pekerja rumah tangga di bawah standar UMP upah minimu provinsi, maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk
kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah
bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
O. Larangan Meminta dan Memburu PangkatKedudukan
Rasulullah SAW bersabda:
101 Artinya:
Dari Abdurrahman bin Samurah, dia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda, „Hai Abdurrahman janganlah kamu meminta pangkat kedudukan.
Apabila kamu diberi karena kamu memintanya, maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. Lain halnya apabila kamu diberi tanpa adanya
permintaan darimu, maka kam
u akan ditolong.‟” Muslim 66.
71
Terhormat dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat identik dengan penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak orang
berlomba dan melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan, tanpa peduli dengan banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan bahkan ada
yang nekat melanggar norma agama, dengan melakukan ritual tertentu di kuburan atau tempat-
tempat yang dianggap keramat. Terjebak dalam perbuatan bid‟ah atau syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah mereka khawatir akan beban berat yang
akan mereka pikul di dunia ini? Yang lebih berat lagi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Terlebih meminta jabatan itu sendiri adalah hal terlarang
dalam Islam. Jika meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan
orang-orang yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang melanggar norma-norma agama. Semoga Allah SWT memelihara kita dan seluruh kaum
Muslimin dari jebakan-jebakan syaitan yang terus berusaha menyeret manusia dalam berbagai perbuatan maksiat. Hadits di atas sebenarnya mengajarkan tentang
etika politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari etika, sebagaimana
71
Op. Cit, hlm. 9.
102 ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang politisi dan
kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika, maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu
kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, Nabi Muhammad S.A.W sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadits di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke- kotoran” dari politik itu sebenarnya bersumber dari sikap para pelakuknya yang
ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari
ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih
jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dan sebagainya. Oleh sebab itu, “menjaga ambisi” adalah sebuah etika
politik yang diajarkan islam kepada umatnya, terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia politik.
P. Pemimpin yang baik dan Pemimpin yang buruk