14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Utang Piutang Menurut Hukum Islam
1. Pengertan Utang Piutang
Al-Qardhu secara bahasa artinya adalah al- qath’u memotong.
Dinamakan demikian karena pemberi utang muqrid memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang. Adapun definisinya
secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
1
Adapun utang piutang secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan
gantinya dikemudian hari.
2
Menurut Firdaus, al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam
literatur fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad
saling membantu dan bukan transaksi komersil.
3
P ara ulama’ berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian
utang piutang, diantaranya yaitu: a.
Menurut ulama’ Hanafiyah, Qardh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil yang memiliki perumpamaan untuk
kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan
1
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari Jakarta, Gema Insani Press, 2005, h. 410.
2
Muhammad ath-Thayar bin Abdullah, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah terj. Miftahul Khair, Yogyakarta, Maktabah al-Hanif, 2009, h.153.
3
Nawawi Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer Bogor, Ghalia Indonesia, 2012, h.178.
15
yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta mal mitsil kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
4
b. Menurut Mazhab Maliki yang dikutip oleh Mohammad
Muslehuddin dalam bukunya yang berjudul Sistem Perbankan Dalam Islam, mendefinisikan
“Qardh” sebagai pinjaman atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas
kasihan, dan bukan merupakan bantuan ariyah atau pemberian hibah, tetapi harus dikembalikan seperti bentuk
yang dipinjamkan.
5
c. Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh, Al-qardh adalah
harta yang diberikan oleh pemberi utang muqridh kepada penerima utang muqtarid untuk kemudian dikembalikan
kepadanya muqridh seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
6
Al-Qardhu memberikan utang merupakan kebijakan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan
membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang tidaklah terhitung sebagai peminta-minta, karena Rasulullah sendiri pernah
berutang kepada orang lain.
7
4
Muslich Wardi Ahmad, Fiqh Muamalah Jakarta, Amzah, 2010, h.273.
5
Mohammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam Jakarta, Rineka Cipta, 1990,
h.74.
6
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Beirut, Dar Al-Fikr, 1977, h.128.
7
Saleh Al-Fauzan, Op. Cit., h.411.