5 pemerintah berupa APN kurang berhasil karena kualitas pemahaman bidan
DIII lebih baik dari pada bidan DI.
1.2 Perumusan Masalah
“Apakah strata pendidikan bidan berpengaruh terhadap
pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelayanan APN di kabupaten Sukoharjo?”
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pemahaman tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN dan mengetahui hubungan strata pendidikan bidan
dengan pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk mengetahui peran tingkat pendidikan terhadap pengetahuan manajemen aktif kala III dari
hasil pelatihan APN oleh bidan dalam pertolongan persalinan.
1.5 Keaslian Penelitian
Menurut penelurusan kepustakaan bahwa penelitian yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :
Penelitian Sumali, AM 2004 di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah tentang hubungan tingkat pengetahuan bidan desa dengan cakupan
penanganan persalinan. Hasil penelitian tersebut tingkat pengetahuan bidan mempunyai hubungan bermakna dengan cakupan penanganan persalinan.
Penelitian ini berfokus untuk mengetahui hubungan strata pendidikan bidan dengan pengetahuan manajemen aktif kala III. Dengan
variabel bebas pendidikan bidan dengan lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo serta waktu penelitiannya Tahun 2009.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.2.1 Manajemen Aktif Kala III
Untuk membantu proses kelahiran plasenta memerlukan tindakan manajemen aktif kala III, hal ini akan mencegah kejadian
perdarahan postpartum. Mengingat kematian ibu bersalin yang terjadi sebagian besar adalah perdarahan postpartum, utamanya disebabkan
karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya yang dianjurkan bagi penolong persalinan adalah dengan menerapkan manajemen aktif
kala III. Manajemen aktif kala III, yaitu dengan penggunaan oksitosin
profilaksis, penjepitan tali pusat segera dan melahirkan plasenta dengan traksi terkontrol, telah dipergunakan secara luas dengan tujuan untuk
pencegahan perdarahan postpartum dan retensi plasenta McDonald, dkk, 1993. Uterotonika profilaksis menurunkan resiko perdarahan postpartum
sekitar 60 persen dan menurunkan kebutuhan uterotonika tambahan sekitar 70 persen dihubungkan dengan efek samping obat seperti nausea
dan nyeri kepala. Khan dkk, 1995. Telah diterangkan bahwa pendekatan yang dipilih harus
berdasarkan keuntungan dan kerugian yang sesuai dengan masing-masing daerah. Manajemen pasif dapat dikerjakan pada ibu hamil dengan resiko
rendah yang melahirkan di rumah sakit atau yang melahirkan di rumah bidanklinik serta mudah dirujuk ke rumah sakit dalam waktu singkat bila
ada kedaruratan. Hal ini biasanya berlaku di negara industrialis. Di negara berkembang bagaimanapun ada beberapa faktor resiko yang perlu
dipertimbangkan : 1. Di daerah pedesaan kurangnya tenaga penolong persalinan terlatih
untuk memberikan suntikan dan mengirim ke klinikrumah sakit bila ada kedaruratan.
7 2. Tingginya insidensi anemia dalam kehamilan pada sebagian besar
negara berkembang mendorong upaya-upaya untuk mencegah kehilangan darah yang tidak diinginkan.
3. Almari pendingin untuk obat-obatan dan pelayanan tranfusi darah yang tidak adekuat McDonald dkk, 1993.
Manajemen aktif kala III tidak hanya pemberian oksitosin saja tetapi komponen yang lain harus dilaksanakan. Komponen manajemen
aktif kala III terdiri dari : a. Pemberian Oksitosin
Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang adekuat. Ada dua jenis uterotonika yang dapat dipakai, yaitu oksitosin
dan ergometrin, tetapi yang dianjurkan adalah oksitosin 10 IU intramuskuler. Penelitian yang dilakukan Prendiville 2000, oksitosin
10 IU intramuskuler yang digunakan pada manajemen aktif kala III lebih
efektif dapat
mencegah perdarahan
postpartum jika
dibandingkan dengan manajemen fisiologi. Perdarahan yang terjadi pada paska persalinan pada persalinan yang dilakukan manajemen
aktif kala III relatif menurun Prendeville, 2000. Ketepatan dosis, waktu pemberian dan penyimpanan oksitosin
menentukan pengaruh rangsangan kontraksi pada uterus. Pemberian oksitosin yang tepat adalah dosisnya 10 IU intramuskuler, waktunya
segera setelah bayi lahir. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosin menurun karena tidak disimpan dengan cara yang
benar Mario dkk, 2003 .
b. Penegangan Tali Pusat Terkendali atau Controled Cord Traction Penegangan tali pusat terkendali adalah tindakan yang dilakukan
untuk membantu proses kelahiran plasenta. Hasil penelitian, bahwa penegangan tali pusat terkendali tidak mencegah perdarahan
postpartum tetapi bersama-sama oksitosin membantu proses kelahiran plasenta.
8 Langkah-langkah tindakan penegangan tali pusat terkendali, adalah
sebagai berikut: a satu tangan penolong diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simpisis pubis. Selama ada kontraksi tangan penolong
mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso cranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu, b tangan yang satu memegang tali
pusat dekat dengan pembukaan vagina dan melakukan penarikan tali pusat terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tekanan ke
uterus selama ada konstraksi. Langkah-langkah ini diulangi setiap ada kontraksi sampai plasenta lahir.
c. Massase Fundus Uteri Setelah Plasenta Lahir Setelah plasenta lahir, maka kala III berakhir, tetapi tugas penolong
persalinan belum selesai, karena masih ada resiko perdarahan. Penyebab terbesar kejadian perdarahan postpartum adalah atonia
uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia uteri dilakukan masase fundus uteri secara aktif untuk menunjang kontraksi uterus yang baik.
2.2.2 Bidan
Bidan DI adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang diakui oleh pemerintah dan lulus
ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku IBI, 1999. Menurut Zapata dan Godue 1997, bidan adalah seorang wanita yang telah mendapatkan
pendidikan kesehatan, untuk memberikan perawatan pada wanita, perawatan kehamilan dan persalinan yang beresiko rendah. Bidan DIII
adalah pelaksana asuhan kebidanan berdasarkan atas instruksi dokter Depkes RI 2002.
Tahun 19891990 pendidikan bidan mulai digalakkan, pendidikan bidan diselenggarakan agar menghasilkan bidan dalam jumlah
yang cukup untuk ditempatkan di desa. Lama pendidikan 1 tahun untuk lulusan SPK dan 3 tahun untuk lulusan SMP. Setelah lulus mereka
ditempatkan di desa sebagai upaya untuk menggantikan peranan dukun dalam pelayanan kesehatan ibu yang dianggap sebagai penyebab tingginya
angka kematian ibu. Setelah jumlah bidan terpenuhi, angka kematian
9 belum menunjukkan penurunan yang berarti. Upaya pemerintah yang
ditempuh salah satunya meningkatkan pendidikan bidan lebih tinggi yaitu DIII Kebidanan.
Sampai proposal ini disusun 2009 lama kerja bidan antara 3 tahun sampai 30 tahun. Menurut Muchlas 1998 pengalaman bidan dalam
bidang tertentu belum menjamin bahwa mereka lebih produktif dan bijaksana dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan mereka yang
belum lama bekerja. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Robbin 1996, masa kerja tidak berhubungan dengan pengetahuan kinerja,
semakin senior seorang pekerja belum berarti akan lebih baik pengetahuan kinerjanya dibandingkan dengan pekerja yang senioritasnya lebih rendah.
Selain lama kerja, status kepegawaian ternyata tidak mempengaruhi pengetahuan dan kinerja bidan, baik pegawai negeri sipil atau pegawai
tidak tetap. Hal ini sesuai dengan temuan Syah dan Prawitasari 1998, bahwa kinerja dan pengetahuan bidan yang berstatus PNS tidak jauh
berbeda dengan bidan dengan status pegawai tidak tetap. Lulusan program pendidikan bidan saat ini relatif masih muda
umurnya dan waktu pendidikannya sangat singkat. Disisi lain mereka dihadapkan dengan luasnya cakupan kemampuan yang harus dimiliki dan
kekurangsesuaian antara masalah di lapangan dengan materi pendidikan yang mereka peroleh di bangku pendidikan. Banyak kendala yang
dihadapi bidan di desa dan dianggap program ini belum berhasil menurunkan AKI, sehingga bidan memerlukan pendidikan yang
berkelanjutan continuing education Mukti, 1998. Temuan Suhadi dan Hakimi 2000, bidan yang telah mengikuti
pendidikan ternyata penanganan kasus rujukannya meningkat dari 19 kasus 6,2 menjadi 34 kasus 7,2. Kajian lain ditemukan oleh
Muchlas 1997 yang mengatakan bahwa produk dan jasa yang dihasilkan sangat tergantung pada karyawan yang diberdayakan, dilatih dan diakui
kerjanya. Bidan dengan usia yang relatif muda dan kurangnya pengalaman
dalam menolong persalinan membutuhkan supervisi dan pengawasan dari
10 mereka yang berkompeten. Hal ini sesuai dengan pendapat Syah dan
Prawitasari 1998, bahwa semakin efektif pimpinan atau pengawas melakukan supervisi terhadap bidan akan meningkatkan pengetahuan
yang berpengaruh terhadap kinerja bidan.
2.2.3 Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau
tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang
lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi
pengetahuan yang dimilikinya Tirtaraharja., 2005. Pendidikan menurut sifatnya dibedakan menjadi Ahmadi A.,
Uhbiyati N, 1991 : 1 Pendidikan informal, adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar maupun tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-
hari, maupun dalam pekerjaan. 2 Pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah.
Dapat dikatakan bahwa semua manusia dalam aspek kehidupannya agar tidak dikatakan ketinggalan dari yang lainnya mereka
memerlukan suatu pendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan nantinya memiliki pengetahuan yang lebih rasional dalam aspek
kehidupan. Semua manusia yang telah memperoleh pendidikan tentunya mempunyai tingkatan pendidikan yang mereka peroleh juga berbeda-beda.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan daya nalar dalam menghadapi
suatu masalah. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang terlatih pola pikirnya dan daya nalarnya tentu akan lebih
11 mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya, dan
menerapkan makna dan segi-segi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari Mardiatmadja, 1996. Frekuensi informasi yang sering diterima dan
berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat dan akan menimbulkan sikap terhadap informasi tersebut Ahmadi, 1991.
Menurut Azwar 1995 lembaga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena lembaga pendidikan
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh
dilakukan yang diperoleh dari pendidikan dan ajaran-ajarannya. Menurut pemahaman perubahan perilaku, pendidikan dapat
menjadi faktor internal sebagai penentu perubahan perilaku sehat. Pendidikan dapat juga menjadi faktor eksternal yang memudahkan
seseorang melakukan perilaku sehat. Lingkungan pendidikan seperti teman, guru dan orang lain dapat menjadi pendorong peningkatan perilaku
dalam Simon Morton, 1995. Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat
pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap seseorang. Tingkat pendidikan formal memungkinkan seseorang lebih tinggi tingkat
pengetahuannya.
2.2.4 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek atau informasi
tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk memperoleh pengetahuan dbutuhkan proses kognitif yang merupakan hal
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Bila
seseorang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban
12 verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan knowledge
Notoatmodjo, 2003. Petanyaan dapat dipergunakan untuk mengukur pengetahuan dan dapat
dikelompokan jadi 2 jenis yaitu : 1. Pertanyaan subyektif misalnya jenis pertanyaan essay
2. Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan berganda, benar- salah dan pertanyaan menjodohkan.
Dari kedua jenis pertanyaan tersebut, pertanyaan obyektif terutama pilihan berganda lebih disukai untuk dijadikan sebagai alat pengukuran karena
lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur serta lebih cepat dinilai
Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai
bentuk termasuk pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman
hidup Simon-Morton, 1995. Pengetahuan dapat diukur melalui beberapa metode yaitu :
wawancara, observasi dan uji tertulis Elwes dan Simnet, 1995.
2.2.5 Pelatihan
Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu pelatihan, sebagaimana kita ketahui pelatihan yang diberikan pada para
Bidan dapat dikategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan pelatihan – pelatihan di bidang yang lain yang penuh
dengan unsur
pendidikan, informasi
dan penularan
pengetahuanketrampilan yang semuanya diperlukan waktu dan sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan
motifasi pada diri sendiri Widyawati S, 2003 Komunikasi pada pelayanan kesehatan dapat dimasukkan dalam
bentuk komunikasi pribadi interpersonal communication yaitu merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka 2
orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun kerumunan orang.
13 Untuk melaksanakan komunikasi pribadi yang efektif baik pemberi
maupun penerima informasi harus memiliki ciri : keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Sedangkan penilaian akan
keberhasilannya adalah terjadinya sikap perilaku dari penerima informasi Wiryanto, 2006. Maka selain dari pada itu dalam unsur pendidikan
mengandung pokok – pokok penting yang mengait proses pembelajaran, proses sosial, memanusiakan manusia dan berusaha mengubah atau
mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif. Sehubungan dengan banyaknya pesan yang harus disampaikan
pada pelatihan APN, kondisi sarana dan prasarana yang belum mencukupi serta masih majemuknya bidan di bidang pendidikan dan banyaknya
faktor yang menghadang, maka pemahaman terhadap materi pelatihan tidak menjamin pemahaman mengenai hasil pelatihan James D, 1996.
Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya
pertukaran informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang
bersih dan pelatih yang ramah adalah modal utama dalam penyelenggaraan
pelatihan agar
selalu dapat
memahami pelatihanpengetahuan yang diberikan pelatih. Penyelenggaraan pelatihan
yang penuh dengan informasi harus disampaikan oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengertiditerima oleh para bidan. Oleh karenanya
penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat lancar dan
mudah Lubis H, 2008.
14
2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Bidan mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ibu bersalin
dalam mencegah perdarahan postpartum dengan mengacu pada standar pelayanan yang telah ditetapkan. Manajemen aktif kala III sesuai standar
pelayanan yaitu pemberian oksitosin 10 IU, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri setelah plasenta lahir akan dapat mencegah ibu hamil
bersalin dari perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian
ibu, apabila tidak ditangani dengan manajemen aktif kala III yang benar akan berdampak meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu bersalin. Pengetahuan
manajemen aktif kala III dalam pertolongan persalinan oleh bidan dipengaruhi oleh faktor pendidikan.
2.3 Hipotesis