Tabel 2.2
Faktor Risiko Kanker Kolon Zinner dan Ashley, 2007
RISK FACTOR COMMENT
Geographic variation Highest risk in Western countries and lowest risk in developing
countries Age
Risk increase sharply after the fifth decade Diet
Increased with total and animal fat diets Physical inactivity
Increased with obesity and sedentary life style Adenoma
Risk dependent on type and size FAP penetrance in gene carriers
100 HNPCC penetrance in gene carriers
80 Hamartomatous syndromes
Risk increased with Peutz-Jeghers syndrome and juvenile polyposis but not isolated juvenile polyps
Previous history of colon cancer Increased risk for recurrent cancer
Ulcerative colitis 10
–20 after 20 years Radiation
Associated with mucinous histology and poor prognosis Ureterosigmoidostomy
100 –500 times increased risk at or adjacent to the uretero-
colonic anastomosis
Reproduced, with permission, from Wu JS, Fazio VW, 2000
2.4 Test Skrining
2.5.1 Prinsip Skrining
CCI Conference on Preventive Aspects of Chronic Disease pada tahun 1951 mendefinisikan uji skrining sebagai identifikasi penyakit atau cacat yang tidak
diakui melalui suatu tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat. Menurut Wilson dan Jungner 1968, test skrining memilah orang-
orang yang mungkin memiliki penyakit dari orang-orang yang mungkin tidak. Sebuah
test skrining
bukanlah suatu
alat diagnostik.
Berdasarkan definisi, gejala yang belum diakui serta penyakit presimptomatik termasuk
pemeriksaan fisik dianggap sebagai bagian dari prosedur skrining.WHO pada 1968 mengeluarkan pedoman alat skrining, antara lain: Boyle, 2005.
1. Harus menjadi masalah kesehatan yang penting.
Di seluruh dunia, kanker kolorektal menempati urutan kedua sebagai kanker paling sering pada wanita dan kanker tersering ketiga pada laki-laki, dan
penyakit ini tidak hanya terbatas pada negara dengan gaya hidup barat. Risiko meningkat di negara yang sebelumnya dianggap berisiko rendah.
2. Harus ada pengobatan untuk kondisi tersebut.
Five-year survival rate kanker kolorektal Duke A yang menjalani reseksi tumor sekitar 80 dan rata-rata survival rate setelah pembedahan dan reseksi
adenomatous pedunculated polyp yang mengandung karsinoma in situ atau mengalami displasia berat atau karsinoma intramukosal mencapai 100.
Perbedaan survival rate stadium dini dan stadium lanjut sangat besar, sehingga deteksi dini memegang peranan penting. Pengangkatan polip atau
lesi prekanker berguna untuk mencegah perubahan menjadi kanker, sehingga menurunkan risiko kanker kolorektal invasif.
3. Fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan harus tersedia.
Sangat penting untuk memandang uji skrining sebagai satu langkah awal penatalaksanaan kanker kolorektal, perlu disadari bahwa diagnosis
multidisiplin dan pengobatan terintegrasi berperan sangat penting. 4.
Harus ada fase laten dari penyakit tersebut. Sebagian besar kanker invasif muncul dari polip adenomatosa dan menjadi
penanda biologis terbaik untuk identifikasi risiko pasien saat pemeriksaan.
5. Harus ada tes atau pemeriksaan untuk kondisi tersebut.
FOBT, sigmoidoskopi, double-contrast barium enema dan kolonoskopi merupakan alat skrining kanker kolorektal yang efektif. Suatu penelitian acak
randomized trials menunjukkan penurunan angka insidensi dan kematian akibat kanker kolorektal pada individu yang menjalani uji FOBT
Haemoccult. Pada suatu studi observasional didapatkan sigmoidoskopi sekali satu tahap dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian
akibat penyakit ini. Studi observasional lainnya menunjukkan bahwa kolonoskopi juga dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal dan kematian
akibat kanker ini. 6.
Tes harus dapat diterima oleh masyarakat. Partisipasi dalam berbagai pencobaan sebelumnya menunjukkan FOBT dan
sigmoidoskopi dapat diterima sebagian besar populasi, meskipun terdapat variasi individu dalam memilih tes skrining kanker kolorektal yang diminati.
7. Perjalanan alami dari penyakit harus sudah dipahami secara memadai.
Telah diketahui bahwa pemahaman mengenai kanker kolorektal lebih baik dari pada jenis kanker padat lainnya.
8. Harus ada kebijakan mengenai siapa yang berwenang mengobati.
Sangat tidak rasional bila kita mencari sukarelawan, menemukan kankernya namun, tidak memberikan pengobatan. Diperlukan suatu panduan berbagai
modalitas pengobatan dan tindak lanjut setelah menegakkan diagnosis. 9.
Total biaya harus ekonomis dan seimbang dengan pengeluaran medis.
Penanaman investasi dalam program kesehatan preventif didasarkan pada beberapa pertimbangan, termasuk bukti ilmiah, tekanan publik dan kemauan
politik dari pemerintah. Penelitian menunjukkan uji skrining kanker kolorektal telah terbukti cost-effective. Namun, pengambilan keputusan
menghabiskan sejumlah dana untuk skrining tidak bisa hanya diliat dari segi nominal saja.
10. Proses berkesinambungan, bukan hanya proyek once and for all.
Setelah program skrining dilakukan, penting melakukan tindak lanjut hasil.
2.5.2 Test Skrining Feses Fecal screening test