D. Hipotesa
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka kesimpulan sementara ataupun hipotesis pada penelitian ini dapat saya paparkan
adalah • Tingkat Pendidikan mempengaruhi masyarakat untuk tidak menggunakan
Hak pilih nya pada pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara 2013.
• Tingkat Pekerjaan mempengaruhi Masyarakat Untuk tidak mempergunakan hak Pilihnya Pada Kepala Daerah Dan Wakil Kepala
Daerah Sumatera Utara 2013. • Tingkat Penghasilan Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak
Mempergunakan hak Pilihnya Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara 2013.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu : 1
Untuk Mengetahui Alasan Pemilih Mengapa Tidak Menggunakan Hak pilih nya pada pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Tahun
2013, serta untuk mengetahui hal apa faktor-faktor apa saja yang Mempengaruhi Masyarakat Tidak Menggunakan Hak Pilihnya dalam
memilih pasangan calon Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
F. Manfaat Penelitian
1 Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya
penelitian dibidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya mengenai partisipasi politik.
2 Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai konsep- konsep masyarakat, negara, kekuasaan, dan lain-lain dalam teori politik
terutama dalam konteks ideologi politik. 3
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti partisipasi politik, khususnya
mengenai partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala Daerah.
G. Kerangka Teori
Teori adalah alat dari ilmu tool of science untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natural yang ingin diteliti
7
. Dengan demikian teori itu menerangkan bagaimana suatu peristiwa atau fenomena yang
menjadi kajian itu muncul, karena kemunculannya memang bukan serta merta, melainkan merupakan produk dari interaksi antara beberapa unsur yang terlibat
8
G.1. Perilaku Pemilih
.
Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian
memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat
7
M. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 21.
8
Matias Siagian. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: Grasindo Monoratama. Hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang
kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Selain itu, pemilih juga bisa saja bagian dari masyarakat luas yang bisa saja tidak
menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, dimana
ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan
program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.
9
Adapun perilaku pemilih menurut Surbakti adalah : aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan
untuk memilih atau tidak memilih to vote or not to vote didalam suatu pemilihan umum pilkada secara langsung. Bila voters memutuskan untuk memilih to vote
msks voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.
10
Adapun bentuk-bentuk perilaku pemilih yang dimaksud disini adalah antara lain keikutsertaan masyarakat dalam kampanye, keikutsertaan masyarakat dalam
partai politik dan juga puncaknya keikutsertaan masyarakat dalam pemungutan suara vote.
• Sebagai komunikasi politik, kampanye diarahkan pada penciptaan kondisi yang memungkinkan terbangunnya kepercayaan dan pertanggungjawaban
terhadap program-program yang ditawarkan calon. Sebagai pendidikan
9
Firmanzah. 2007. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 102.
10
Arbi Sanit. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
politik, kampanye mengandung penguatan rasionalitas dan kritisme pemilih. Dan melalui kampanye kita dapat melihat, apakah memang
masyarakat ikut andil dalam pelaksanaan kampanye tersebut karena dengan ikut di dalam pelaksanaan kampanye merupakan salah satu bentuk
dari perilaku pemilih. • Kegiatan seseorang dalam parpol adalah merupakan sebuah partisipasi
politik. Sehingga adapun peran dan fungsi partai politik di dalam pilkada adalah : 1sebagai komunikasi politik yaitu contohnya melakukan
kampanye; 2sebagai pendidikan politik yaitu memberikan pengarahan untuk ikut serta memberikan suara vote; 3sosialisasi pilkada yang
menjelaskan untuk apa dan mengapa diadakan pilkada; 4fungsi rekrutmen politik.
11
• Yang terakhir adalah puncaknya pada saat pemungutan suara atau vote. Disini akan dilihat seberapa besar masyarakat yang benar ikut ambil
bagian dalam pemilihan tadi. Yaitu ketika mereka memberikan suara mereka memberikan suara mereka di TPS lingkungan mereka masing-
masing. Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi
apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya
kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.
11
Irtanto. 1997. Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.170.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku pemilih juga sarat dengan ideology antara pemilih dengan partai politik atau konsisten pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideology yang
saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan
mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang bersebrangan
dengan mereka.
12
Di dalam mengambil keputusannya, maka masyarakat diperkirakan mempunyai tolak ukur yang tradisional yang meliputi 3 aspek penting, yakni :
13
• Identifikasi terhadap partai • Isu yang diusung partai atau calon, dan
• Penampilan, gaya dan kepribadian calon.
G.1.1. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Prilaku Golongan Putih
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi perilaku golongan putih yaitu :
14
Berikut akan di paparkan beberapa factor yang mempengaruhi seseoprang berperilaku tidak memilih di lihat dari sisi tingkah laku pemilih
dan dari sisi Struktur ataupun system yang di terapkan Pertama Dari sisi tingkah laku antara lain :
a. Faktor Sosiologis. Faktor sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa. Karena itu, dia disebut
sebagai model sosiologi politik Eropa. David Denver, ketika menggunakan
12
Muhammad Asfar. 2006. Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka. hal.137.
13
Joko J Prihatmoko. 2008. Mendemokratisasikan Pemilu. Semarang: Pustaka Belajar. Hal. 50.
14
Muhammad Asfar. 2006. Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka. Hal. 137-144.
Universitas Sumatera Utara
pendekatan ini untuk menjelaskan perilaku pemilih msyarakat Inggris, menyebutkan model ini sebagai social determinism approach.
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku pemilh seseorang. Karakteristik sosial seperti pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya dan karakteristik atau latar
belakang sosiologis seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pendek
kata, pengelompokan sosial seperti umur tua-muda, jenis kelamin lelaki- perempuan, agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup
menentukan dalam membentuk pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organsasi-organisasi keagamaan, pertemanan,
ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, yang merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok
inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
b. Faktor Psikologis Bila Faktor sosiologis berkembang di Amerika Serikat dan berasal dari
Eropa Barat, maka pensekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat karena dikembangkan sepenuhnya oleh Amerika Serikat melalui Survey Research
Centre di Universitas Michigan. Oleh karena itu pendekatan ini juga disebut Mazhab Michigan. Pelopor utama pendekatan ini adalah August Champbell.
Universitas Sumatera Utara
Faktor ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variable-
variabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih kalau ada proses sosialisasi.oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah yang sebenarnya
yang menentukan perilaku memilih politik seseorang. Oleh karena itu, pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang memilih
partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Penganut pendekatan ini menjelaskan sikap seseorang sebagai refleksi dari
kepribadian seseorang merupakan variable yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologis
menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi
terhadap kandidat. c. Faktor Pilihan Rasional
Penggunaan Faktor Pilihan Rasional dalam menjelaskan perilaku pemilih oleh ilmuan politik sebenarnya diadaptasi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat
adanya analogi antara pasar ekonomi dan perilaku pemilih politik. Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional, yaitu mereka
menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar- besarnya, maka dalam perilaku politik pun masyarakat akan bertindak secara
rasional, yakni memberikan suara ke OPP yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih partai atau calon presiden yang tengah berkompetisi, ia
tidak akan melakukan pilihan pada pemilu. Hal ini dilandaskan pada kalkukasi ekonomi, dimana perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih besar dengan apa
yang akan didapatnya kelak. Maka jalan terbaik bagi pemilih adalah melakukan kegiatan atau aktivitas kesehariannya.
faktor ini juga mengandaikan bahwa calon presiden atau partai yang bertanding akan berupaya dan berusaha untuk mengemukakan pelbagai program
untuk menarik simpati dan keinginan pemilih memilih. Namun, apabila partai ataupun calon presiden itu gagal mempromosikan programnya pada pemilih,
maka pilihan untuk tidak memilih adalah rasional bagi pemilih. Oleh karena itu, pada Pemilu 2008 sistem pemilihan diubah,dan mempersilahkan rakyat untuk ikut
andil memilih pasangan presiden yang mereka anggap dapat memberikan harapan. Layaknya seorang pembeli dipasar, pemilih melakukan pilihan dengan cermat
bukan hanya dalam memilih presiden tetapi juga anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD,danDewab Perwakilan Daerah DPD.
Sedangkan dari faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih dilihat dari sisi struktur ataupun sistem yang di terapkan antara lain:
• Faktor Sitem politik Konsep sistem di sini tidak semata-mata dalam pengertian prosedur dan
aturan main,tetapi lebih mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinrjanya dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. salah
satunya adalah sistem politik yang sedang di kembangkan rejim yang
Universitas Sumatera Utara
berkuasa dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik di tingkat elit maupun massa ketidak percayaan pada sistem politik yang ada
dapat mempengaruhi tingginya angka ketidak hadiran pemilih. Dimana alasan pemilih tidak hadir dalam pemilu karena mereka cukup puas
dengan keadaan yang ada. Ketidak hadiran dalam pemilu pemilu merupakan merupakan pertanda kepercayaan pada sistem poilik yang ada
Selain itu rendah nya kepercayaan politik juga mempengaruhi ketidak hadiran pemilih dalam pemilu. Artinya Ketidak hadiran dalam pemilu
atau perilaku golput merupakan bentuk protes atas ketidak percayaan mereka terhadap sistem politik yang ada. Adapun faktor-faktor penyebab
rendahnya kepercayaan politik ialah, Pertama, tidak berfungsinya lembaga perwakilan rakyat, Kedua, tidak berfungsinya lembaga peradilan.
Ketiga, praktik-praktik korupsi,kolusi dan nepotisme yang di lakukan oleh pemerintahan. Keempat, praktik-praktik kebohongan dan dan
inkosistensi kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah. Kelima, berbagai kebijakan politik pemerintah an yang tidak kondusif.
• Sistem Pemilu Sikap tidak memilih juga berkaitan dengan persepsi dan evaluasi
terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu. Dengan sistem pemilu yang tidak jelas di nilai tidak akan menjanjikan perubahan apapun pemilu
hanyalah sebagai simbol bahwa kehidupan politik dijalankan melalui cara demokrasi, namun pemilu itu sendiri tidak di jalankan dengan semangat
dan cara-cara demokratis. Fungsi pemilu lebih berperan sebagai upaya
Universitas Sumatera Utara
untuk memperuduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Artinya, pemilu lebih di maknai sebagai sarana untuk
mempertahankan status quo penguasa di banding sebagai sarana untuk melekukan perubahan politik .
G.1.2. Orientasi Pemilih
Dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu:
15
1. Orientasi ‘policy-problem-solving.’
Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem-solving’ yang terpenting bagi mereka adalah sejauh
mana para kontestan menawarkan program kerja atas solusi bagi permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung memilih partai politik atau kontestan yang
memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dan kejelassan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung
tidak dipilih. 2.
Orientasi ‘ideology’ Suatu partai atau seorang kontestan, akan lebih menekankan aspek
subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau caon kontestan, pemilih
jelas akan cenderung memberikan suaranya ke partai dan kontestan tersebut.
15
Firmansyah. 2007. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
G.1.3. Jenis-Jenis Pemilih
Jenis-jenis pemilih terdiri dari empat jenis pemilih, yaitu :
16
1 Pemilih Rasional
Pemilih dalam hal ini mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dengan program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut
melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau,dan tawaran program yang diberikan sang calon atau partai politik dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang sedang terjadi. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan
ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan yang telah dilakukan
oleh sebuah partai atau seorang kontestan pemilu. 2
Pemilih Kritis Proses untuk menjadi pemilih ini bisa terjadi melalui 2 hal,yaitu yang
pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai atau kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya dimana pemilih partai terdahulu dengan
program kerja yang ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi
pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya
16
Muhammad Asfar. 2006. Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka. Hal. 144-149.
Universitas Sumatera Utara
mereka akan selalu menganalisis kaitan antara ideologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat.
3 Pemilih Tradisional
Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu
yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya,nilai,asal-usul, paham dan agama sebagai
ukuran untuk memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu. Kebijakan seperti yang berhubungan dengan masalah ekonomi,kesejahteraan, pendidikan
dan lainnya dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye, pemilih jenis ini memiliki loyalitas yang
sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh seorang kontestan pemilu atau partai politik yang merupakan kebenaran yang tidak bisa
ditawar lagi. 4
Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi
dengan sebuah partai politik atau kontestan pemilu,pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka
berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam
pemilu, hasilnya sama saja tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi kondisi daerah atau negara ini.
Universitas Sumatera Utara
Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kotestan pemilu nanti harus bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut,
yaitu tentunya melalui kampanye. Karena dengan memmahami jenis pemilih yang ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi semakin kuat. Mereka
harus mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang ada. Untuk itu mereka pada umumnya dukungan dari tokoh-tokoh ataupun hal-hal yang membuat setiap
jenis pemilih di atas mau mendukung mereka dalam pemilu ataupun pilkada nanti.
G.2. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan –
kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan
pemerintah.Wahyudi Kumorotomo mengatakan, ”Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya
hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya”
17
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu: pertama, partisipasi dalam
pemilihan electoral participation,kedua, partisipasi
kelompok group participation,ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah
citizen government contacting dan keempat, partipasi warga negara secara langsung.
.
17
Wahyudi Kumorotomo.2009. Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali pers. hal.112.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Politica participation in developing : ”Partisipasi adalah kegiatan warga yang
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
18
Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
19
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang poiltik,
keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat- pejabat pemerintah.
Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa.
Ketiga, kegiatan politik adaalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau
menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk
18
Samuel P Hutington dan Joan M. Nelson.2007. No easy choice : Political Participation In Developing. Countries cambridge, mass : harvard universiry press 2007. Hal 3, dalam Miriam Budiarjo.
19
Arifin Rahmat.2008. Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC. hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek- aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk
kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan
yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung,
artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan
kepemerintah. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang
dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan
keluaran suatu sistem politk. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum
yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta
dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. b.
Partisipasi Pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturanperintah, menerima, dan
melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
20
20
Sudijono Sastroadmojo.2005. Perilaku politik. UNS Semarang Press.hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang
dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,
alienasi, dan anomie. 1.
Apatis masa bodoh dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari
manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk
apapun sia-sia dan tidak ada hasilnya. 3.
Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecendrungannya berpikir mengenai
pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang lain tidak adil.
4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai
dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang
mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.
21
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik
22
21
Michael rush dan althof.2009. pengantar sosiologi politik.PT Rajawali. Jakarta. hal.131.
:
22
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa
mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu.
Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktifitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah
antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani.
Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong
aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi
dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam
hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relatif kecil.
Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat
dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku, baik menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan aktivitas politik tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal yang mendorong individu untuk berpartisipasi.
Menurut Max Weber, ada beberapa jenis motivasi Seseorang melakukan aktivitas politik
23
a. Motif yang rasional
.
Motif ini merupakan motif yang mendorong tingkah laku untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan logis dan rasional terdapat suatu kelompok.
Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas politik telah didukung oleh penilaian-penilaian objektif terhadap suatu kelompok tertentu. Artinya, bukan
berarti motif ini terlepas dari unsur-unsur subjektif, tetapi seorang individu telah dibekali cara-cara rasional, melalui pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan
menentukan pilihan sikapnya atau dalam menilai organisasi sosial tertentu. b.
Motif yang efektual-emosional Motif ini didasarkan atas kebencian tertentu yang melekat pada individu
dalam menilai gagasan, organisasi atau individu lainnya. Dorongan ini pula membentuk katidaksamaan terhadap suatu kelompok yang kemudian dalam
bentuknya yang konkrit menjadi bentuk apatisme politik. c.
Motif yang tradisional Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dalam
suatu kelompok sosial. Yang menyebabkan individu tersebut mau bergabung dengan partisipasi dalam kelompok sosial tersebut.
23
Sudijono sastroadmojo.op.cit, hal. 83-84.
Universitas Sumatera Utara
d. Motif rasional – bertujuan
Motif ini didasarkan atas pertimbangan keuntungan pribadi. Bila aktifitas tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa padanya, ia tidak akan ikut serta,
demikian juga sebaliknya.
G.3. Kampanye
Menurut Kotler dan Roberto 1989, kampanye adalah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok agen perubahan yang ditunjuk untuk memersuasi
target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi dan membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Dalam studi perencanaan komunikasi dikenal beberapa langkah
yang harus ditempuh dalam pelaksanaan kampanye. Assifi dan French 1982 menyusun delapan langkah yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan kampanye,
yakni: 1 menganalisis masalah; 2 menganalisis khalayak; 3 merumuskan tujuan; 4 memilih media; 5 mengembangkan pesan; 6 merencanakan
produksi media; 7 merencanakan manajemen program; 8 monitoring dan evaluasi.
24
Dalam konteks antar partai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan alami para pengikut suatu partai dan agar mereka
memilih sesuai dengan kesetiaan itu; kedua, ada kegiatan untuk menjajaki warga negara yang terikat pada partai dan, menurut istilah Keneth Burke untukk
menciptakan pengidentifikasi diantara golongan independen; ketiga, ada kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan
kepercayaan dan nilai anggota partai, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa
24
Hafied Cangara. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 284,287.
Universitas Sumatera Utara
keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye ini mereka memilih dari partai lain.
25
• Jenis-Jenis Kampanye
Menurut Charles U. Larson, kampanye dibagi dalam tiga kategori, yakni:
26
1 Product-oriented campaigns commercials campaigns atau corporate
campaign atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi dilingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh
keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga
diperoleh keuntungan yang diharapkan. 2
Candidate-oeriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik.
Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaigns kampanye politik. Tujuannya adalah antara lain untuk
memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang
diperebutkan lewat proses pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. 3
Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali
berdimensi perubahan sosial.
25
Dan Nimmo. 1989. Komunikasi Politik. Bandung: Remadja Karya. Hal. 219.
26
Antar Venus. 2004. Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa Rakatama Media. Hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
• Media Kampanye
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentiann Kepala Daerah telah dilakukan
selama 14 empat belas hari dan berakhir 3 tiga hari sebelum hari pemungutan suara. Jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan usul dari
pasangan calon. Dalam kampanye, pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan
program secara lisan maupun tertulis. Rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri atau tidak menghadiri kampanye.
Menurut Pasal 56 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah,
kampanye dapat dilakukan melalui:
27
a. Pertemuan terbatas;
b. Tatap muka dan dialog;
c. Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
d. Penyiaran melalui radio dan televisi;
e. Penyebaran bahan kampanye kepada umum;
f. Pemasangan alat peraga ditempat umum;
g. Rapat umum;
h. Debat publikdebat terbuka antarcalon;
i. Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
27
Daniel S. Salossa.2005. Mekanisme, Persyaratan, dan Tata Cara Pilkada Langsung Menurut Undang- Undang No. 322004 Tentang Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
G.4. Partai Politik
Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang sedang membangun proses demokratisasi, partai politik menjadi sarana
demokrasi yang bisa berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintahan. Pembentukan partai politik berdasarkan atas prinsip-prinsip
demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas melalui pemilihan umum. Untuk menciptakan pemerintahan yang mayoritas, diperlukan partai-partai
yang dapat digunakan sebagai kendaraan politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Melalui partai politik rakyat berhak menentukan; siapa yang akan menjadi
wakil mereka serta siapa yang akan menjadi pemimpin yang menentukan kebijakan umum public policy.
28
• Fungsi Partai Politik
Ada beberapa fungsi partai politik yang terdapat di negara demokrasi, yaitu:
29
1 Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai perantara broker dalam suatu bursa ide-ide clearing house of ideas. Kadang-
kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintahan bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintahan yang resmi
28
Hafied Cangara. 2009.Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 207.
29
Mirriam Budiardjo. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 405-409.
Universitas Sumatera Utara
dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas
Di mayarakat yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok
akan hilang apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan interest
aggregation. Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur atau dinamakan perumusan
kepentingan interest articulation. Partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan
rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas kebawah dan dari bawah keatas.
Dalam pada itu, partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebgai jembatan sangat penting,
karena disatu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan pada semua kelompok masyarakat, dan dilain pihak pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat. 2
Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang
melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari
proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
sarana sosialisasi politik, partai politik melaksanakan fungsinya melalui berbagai cara. Yaitu : media massa, ceramah-ceramah,penerangan, kursus kader, penataran,
dan sebagainya. Sisi lain dari fungsi sosialisasi partai adalah upaya menciptakan citra
image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam
pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang
kuat dengan partainya. 3
Sebagai Sarana Rekrutmen Politik Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan,baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan
mempunyai kader-kader yang baik,partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk
masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas
atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak- banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya orrganisasi-
organisasi massa sebagai onderbouw yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, mahasiswa,wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi
Universitas Sumatera Utara
diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon
pemimpin. Ada beberapa cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi ataupun cara-cara lain.
4 Sebagai Sarana Pengatur Konflik
Menurut Arend Liphart 1968 perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bahwa dapat diatasi oleh kerjasama diantara elite-elite politik. Pada
masyarakat yang bersifat heterogen,baik dari segi etnis suku bangsa, sosial- ekonomi, maupun agama setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik.
Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat
tempat. Akan tetapi didalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertetangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya
dapat ditekan seminimal mungkin,elite partai dapat menumbuhkan pengertian diantara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
G.5. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan kepala daerah langsung pilkada langsung juga merupakan jalan keluar terbaik untuk mencairkan kebekuan demokrasi. Kekuatan pilkada
langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat. Mereka juga wajib bertanggung jawab kepada
rakyat. Dengan pemilihan terpisah dari DPRD, kepala daerah memiliki kekuatan
Universitas Sumatera Utara
yang seimbang dengan DPRD sehingga mekanisme check and balances niscaya akan bekerja. Kepala daerah dituntut mengoptimalkan fungsi pemerintahan daerah
protective, public service, development. Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin taken for granted
peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya
mekanisme check and balances. Dimensi check and balances meliputi hubungan kepala daerah dengan rakyat; DPRD dengan rakyat; kepala daerah dengan DPRD;
DPRD dengan kepala daerah tetapi juga kepala daerah dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.
30
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten,
serta Wakikota dan Wakil Walikota untuk Kota. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil
melalui pemungutan suara. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokratis,
keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan
Neraga Kesatuan Republik Indonesia.
31
30
Joko. J. Prihatmoko. Mendemokratisasikan Pemilu. Semarang: Pustaka Belajar. Hal. 164-165.
31
Dikutip dari Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Sistem dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung
David Easton menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah 1 terdiri dari banyak bagian-
bagian; 2 bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung; dan 3 mempunyai perbatasan boundaries yang memisahkannya dari lingkungannya
yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.
32
Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder secondary system atau sub-sub sistem
subsystems. Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electroral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala
ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan
peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk kepada ketentuan
perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis,
administratif atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pecapaian tujuan
dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.
Sistem pemilihan adalah suatu mekanisme atau tatacara untuk menentukan pasangan calon yang berhak menduduki jabatan kepala daerahwakil
32
Mohtar Mas’oed Colin Mac Andrews. 2008. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. xii.
Universitas Sumatera Utara
kepala daerah. Kualitas kompetisi dalam pilkada langsung dapat dilihat dari sistem pemilihan yang digunakan. Ada lima sistem dalam pemilihan kepala
daerah langsung, yaitu:
33
a. First Past The Post System
Sistem first past the post ini dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis
memenangkan pilkada dan menduduki kursi Kepala Daerah. Karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana simple majority.
Konsekuensinya, calon Kepala Daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya
sering dipersoalkan.
b. Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System
Cara kerja sistem preferential voting atau approval voting adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon
Kepala Daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan
suaranya mencapai peringkat pertama terbesar. Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas sederhana simple majority namun dapat
membingungkan proses penghitungan suara di setiap tempat pemungutan suara TPS sehingga perhitungan suara ditempat pemungutan suara mungkin harus
dilakukan secara terpusat.
33
Joko J. Prihatmoko. 2008. Mendemokratisasikan Pemilu. Semarang: Pustaka Belajar. Hal. 284, 115-120.
Universitas Sumatera Utara
c. Two Round System atau Run-off System
Cara kerja sistem two round ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran run off dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut
lebih dari 50 persen dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasangan calon Kepala Daerah dengan perolehan suara terbanyak harus
melalui putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya,jumlah suara minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan
putaran pertama agar dapat ikut dalam pemilihan putaran kedua bervariasi, dari 20 persen sampai 30 persen. Sistem ini paling popular di negara-negara demokrasi
presidensial.
d. Sistem Electoral College
Cara sistem electoral college adalah setiap daerah pemilihan kecamatan, dan gabungan kecamatan untuk bupati walikota; kabupaten kota dan gabungan
kabupatenkota untuk gubernur diberi alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih Eletoral College sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada, keseluruhan
jumlah suara yang diperoleh tiap calon disetiap daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara
Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan pilkada langsung. Umumnya,
calon yang berhasil memenangkan suara didaerah-daerah pemilihan dengan jumlah penduduk padat terpilih menjadi kepala daerah.
Universitas Sumatera Utara
H. Metodologi Penelitian H.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif yang bersifat memberikan gambaran secara sistematis
mengenai masalah yang terjadi berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam usaha- usaha menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
H.2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara . Karena lokasinya sangat strategis, karena di daerah
lokasi tersebut banyak penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya, hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi masyarakat yang ada di kecamatan tersebut tidak mempergunakan hak pilihnya dan hal ini salah satu faktor yang menarik peneliti untuk melakukan
penelitian di lokasi tersebut.
H.3. Populasi dan Sampel H.3.1. Populasi
Populasi berasal dari kata bahasa inggris yaitu “population” yang berarti jumlah penduduk. Populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek
penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan, udara, gejala nilai, peristiwa,sikap hidup dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi
sumber data penelitian.
34
34
Burhan Burngin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 101.
Universitas Sumatera Utara
Maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat Kecamatan Bandar yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013. Jadi untuk mencari masyarakat yang golput yaitu dengan cara , Jumlah DPTDaftar Pemilih
Tetap - Jumlah pemilih yang hadir, yaitu: 52.984 - 22.282 = 30.702. Jadi masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih nya pada pemilihan Kepala Daerah
dan wakil Kepala Dearah Tahun 20013 adalah sebanyak 30.702 orang.
H.3.2. Sampel
Sampel merupakan bagian kecil dari populasi yang menjadi contoh ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi. Dalam menentukan jumlah
sampel dapat digunakan rumus Taro Yamane. Dengan presisi 10, yakni: N
n = Nd
2
+ 1 Dimana :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah Populasi
d : Presisi 100,1 dengan derajat kepercayaan 90
Berdasarkan data yang di peroleh oleh dari Kecamatan Bandar . bahwa jumlah golongan putih Golput pada pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah tahun 2013 di Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun adalah sebanyak 30.702 orang . Maka dengan menggunakan rumus taro Yamane dapatlah
jumlah sampel yang di gunakan dalam penelitian sebanyak:
Universitas Sumatera Utara
30.03 n =
30.03 10
2
+ 1 30.03
n = 30.03 0,1
2
+ 1 30.03
n = 31.03
n = 96.77 97 orang responden Penelitian ini Mengambil sampel sebanyak 97 orang dari total populasi ,
data tersebut dapat di lihat dari penjelasan diatas maka disimpulkan data sebanyak 97 orang Responden . Penarikan sampel dilakukan secara stratified
sampling, yaitu penarikan sampel sampai jumlah sampel mencapai 97 orang Yaitu dengan Cara , Data golput keseluruhan Dibagi Data golput dari setiap
Desa dan di kali jumlah responden maka dapatlah hasil sampel dari setiap desa. Yaitu sebagai berikut:
Desa pematang kerasaan =
97 03
. 30
1773 x
=
6 orang
Desa Pematang Kerasaan Rejo =
97 03
. 30
2076 x
= 7 orang
Desa Marihat Bandar =
97 03
. 30
2692 x
= 8 orang
Desa Timbaan =
97 03
. 30
1087 x
= 3 orang
Desa Nagori Bandar =
97 03
. 30
1762 x
= 6 orang
Desa Bandar Rakyat =
97 03
. 30
854 x
= 2 orang
Universitas Sumatera Utara
Desa Bandar Pulo =
97 03
. 30
1061 x
= 3 orang
Desa Bandar Jawa =
97 03
. 30
1895 x
= 6 orang
Desa Perdagangan I =
97 03
. 30
4509 x
= 15 orang
Desa Perdagangan III =
97 03
. 30
3757 x
= 12 orang
Desa Bahlias =
97 03
. 30
634 x
= 2 orang
Desa Sugaran Bayu =
97 03
. 30
1390 x
= 4 orang
Desa Perdagangan II =
97 03
. 30
2437 x
= 8 orang
Desa Perlanaan =
97 03
. 30
2697 x
= 9 orang
Desa Sidotani =
97 03
. 30
2078 x
= 6 orang Setelah peneliti mendapat jumlah sampel dari setiap desa, lalu peneliti
menggunakan tekhnik pengambilan data secara Simple Random Sampling, yaitu dengan cara mengundi semua nama-nama responden yang tidak menggunakan
hak pilihnya pada pemilihan tersebut, cara pengundian data dilakukan sampai lima belas kali sesuai dari daftar sampel masing – masing desa tersebut , yang
mana data responden yang akan menjadi sampel atau nama-nama responden yang akan menjadi sampel sudah di peroleh sebelumnya oleh peneliti. jadi cara yang
di gunakan untuk menentukan siapa yang akan menjadi responden tersebut adalah dengan cara mengundi nama-nama responden yang ada. peneliti
Universitas Sumatera Utara
mengambil 50 sampel dari setiap desa, lalu peneliti mengundi sampel tersebut dengan cara mengambil beberapa nama - nama responden yang akan menjadi
sampel sesuai dengan ketentuan yang telah di tentukan dari 50 jumlah sampel yang ada, itu di lakukan sebanyak 15 kali hingga jumlah sampel menjadi 97
responden dari jumlah keseluruhan masyarakat yang ada di Kecamatan Bandar Kabupaten Simalungun yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2013. Setelah peneliti mendapat siapa-siapa saja nama - nama responden yang akan di wawancari dan yang akan
menjadi sampel , barulah peneliti memulai penelitian tersebut kesetiap desa.
H.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pertama-tama peneliti mengumpulkan teori-teori dalam kepustakaan, kemudian mengumpulkan data dari lapangan dan selanjutnya
membuat tabulasi data maupun pengelolaan data yang diperoleh dari lapangan dan selanjutnya membuat tabulasi data maupun pengelolaan data yang diperoleh dari
lapangan serta melakukan analisa data dan akhirnya menarik kesimpulan. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden secara langsung dari responden yang terpilih pada lokasi penelitian. Data primer
diperoleh dengan memberikan daftar pertanyaan ataupun kuesioner yag dibagikan kepada masyarakat Kecamatan Bandar. Dalam hal ini peneliti turun kelapangan
mencari responden untuk mendapatkan informasi mengenai perilaku pemilih
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tentang pemilihan kepala daerah dan Wakil kepala daerah Sumatera Utara tahun 2013.
2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder. Sumber data sekunder dapat membantu member keterangan, atau data
pelengkap sebagai bahan pembanding. Ada dua kategori data sekunder, yakni: • Internal data, yaitu tersedia tertulis pada data sekunder, seperti buku,
jurnal, internet dan laporan hasil riset sebelumnya. • Eksternal data, seperti data sensus dan data register, serta data yang
diperoleh dari badan atau lembaga yang aktifitasnya mengumpulkan data atau keterangan yang relevan dengan berbagai masalah
35
H.5. Teknik Analisa Data
.
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan informasi dan data
yang diperoleh dari penelitian. Data yang dikumpulkan dari hasil kuesioner dan wawancara yang kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
dan dianalisa maka akan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diberlakukan.
35
Burhan Burngin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
I. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup.
BAB I : PENDAHALUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian dan sistematika penelitian. BAB II
:PROFIL KECAMATAN BANDAR
PILKADA SUMETARA UTARA 2013
Pada Bab kedua merupakan deskripsi penelitian berisikan gambaran umum tentang lokasi penelitian serta profil calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara 2013 dan profil calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sumatera
utara 2013.
BAB III :FAKTOR–FAKTOR
MASYARAKAT TIDAK
MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA PADA PILKADA 2013
Bab ini memuat tentang penyajian data dan analisis data.Data yang di peroleh dari penelitian yang di lakukan dan juga
menyajikan pembahasan dan analisis dari data dan fakta yang ada.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini akan berisi beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan penelitian yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara