PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MENULIS DESKRIPSI BERBAHASA LAMPUNG PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 1 SUKARAMEDUA BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

MENULIS DESKRIPSI BERBAHASA LAMPUNG PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 1 SUKARAMEDUA

BANDAR LAMPUNG Oleh

RENY SEPTIANI

Tujuan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan : (1) penyusunan RPP mata pelajaran Bahasa Lampung dengan menggunakan CTL, (2) pelaksanaan proses pembelajaran Bahasa Lampung dengan CTL, (3) pelaksanaan evaluasi pembelajaran dengan CTL yang dilakukan Mulok Bahasa Lampung, dan (4) peningkatan prestasi belajar siswa Mulok Bahasa Lampung kelas 5 SD N 1 Sukaramedua Bandar Lampung dengan CTL.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode tindakan (action research) dengan penekanan terhadap proses pembelajaran Bahasa Lampung siswa kelas 5 SDN 1 Sukaramedua Bandar Lampung. Objek penelitian adalah siswa kelas 5 A dan 5 B pada Tahun Pelajaran 2009/2010 yang berjumlah 60 siswa, terdiri dari 34 putri dan 26 putra. Penelitian ini dilakukan dalam 3 (Tiga) siklus. Siklus pertama, sisw melakukan pengamatan secara langsung pada gambar disekitar kelas. Siklus kedua, siswa melakukan pengamatan langsung pada gambar dan benda nyata di dalam kelas. Siklus ketiga siswa melakukan pengamatan secara langsung di lingkungan sekolah dan melakukan kegiatan menulis deskripsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terjadi peningkatan penyusunan RPP Bahasa Lampung dengan menggunakan CTL dari Siklus 1 sampai dengan Siklus 3, (2) Terjadi peningkatan pelaksanaan pembelajaran Bahasa Lampung dengan CTL yang pada Siklus 1 komponen CTL sebagian digunakan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran meningkat menjadi seluruhnya digunakan pada Siklus 3, (3) Terjadi peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran Bahasa Lampung di SDN 1 Sukaramedua Bandar Lampung yang pada Siklus 1 masih ada 55 % siswa yang tidak aktif atau 45% siswa yang aktif mengikuti pembelajaran. Pada Siklus 3 terdapat 76,66% siswa aktif mengikuti pembelajaran atau mengalami peningkatan 31,6%, dan (4) Terjadi peningkatan prestasi belajar Bahasa Lampung kelas 5 SDN 1 Sukaramedua Bandar Lampung dari Siklus 1 sampai dengan Siklus 3. Pada Siklus 1 nilai rata-rata siswa adalah 62,66. Pada Siklus 2 nilai rata-rata siswa adalah 67,25 yang berarti meningkat 4,59% dari nilai rata-rata Siklus 1. Pada Siklus 3 nilai rata-rata siswa 79,41 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 12,16% dari Siklus 2 atau mengalami peningkatan 16,75% dari Siklus 1 pembelajaran Mulok Bahasa Lampung dengan CTL.


(2)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING APPROACH TO INCREASE THE STUDENT LEARNING ACHIEVEMENT

IN DESCRIPTIVE WRITING OF LAMPUNG LANGUAGE LESSON FOR GRADE 5 (FIVE) IN SDN 1 SUKARAME DUA TELUK BETUNG BARAT

BANDAR LAMPUNG BY

RENY SEPTIANI

The general purpose of this research was describe : 1) formation of lesson plan using

CTL , 2) learning process, 3) learning evaluation, 4) progress of grade 5 student’s

learning activity in Lampung language at SDN 1 Sukarame dua, trough CTL. Action Research was the method used in this research, by emphasizing the student’s learning process. The research objects were all grade 5A and 5B in academic year 2009/2010, consist of 60 students ; 34 girls and 26 boys. It was held in 3 (three) cycle.

First cycle held with student’s activity in observation of picturesthose were in the classroom. Second cycle, students did observation using picture and object in the classroom. Third cycle, students did observation and plant some descriptive writing of Lampung language.

Research result showed that 1) there was progress in the formation of lesson plan of Lampung language lesson using CTL from 1st cycle to 3rd cycle, 2) there was progress in the learning process using CTL; in 1st cycle the compenents used were just several, then in the 3rd cycle it was all used, 3) there was progress in the student learning activity; in 1st cycle there were 55 % students not following the lesson actively or only 45% students can follow it actively. In 3rd cycle there were 76,6% students active following the lesson, it was mean 31,6% increase from 1st cycle to 3rd cycle. 4) there

was progress in student’s learning activity from 1st

cycle to 3rd cycle in 1st cycle the score average of students was 62,66. it increase become 67,25 in 2nd cycle, or 4,59% increase from the score average of 1st cycle. In 3rd cycle the students average was 79,41 its mean the score was increase 16,75 % from 1st cycle in Lampung descriptive writing through CTL.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan pemerintah menerapkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 (Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2003 No. 4301), khususnya pasal 37 ayat (1) tentang bahasa dijelaskan bahwa bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan (1) bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, (2) bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik, (3) bahasa asing terutama bahasa Inggris, merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global (Sumanto: 2005: 46). Hal ini menjelaskan eksistensi bahasa daerah sejajar dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya sebagai bahasa global.

Diamanatkan dalam UU No. 20 Th 2003 tentang Sisdiknas pasal 37 ayat (1)

“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat muatan lokal”. Celah

inilah yang sebenarnya harus dimanfaatkan dalam rangka memberikan porsi terhadap pembelajaran bahasa daerah. Muatan lokal dalam pasal tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah yang memanfaatkan kekuatan otonominya, untuk menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, diantaranya adalah kurikulum Muatan Lokal bahasa Lampung.


(4)

Sekolah merupakan institusi tempat aktivitas pendidikan dapat berjalan dengan melibatkan semua sistem yang baik dan terstruktur serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Melalui pembelajaran bahasa daerah di sekolah, akan memberikan kesadaran pada generasi penerus untuk selalu melestarikan khasanah budaya daerah yang semakin terdesak oleh pengaruh globalisasi.

Secara umum, bahasa daerah memiliki tiga keistimewaan yaitu dari unsur psikologi, bahasa daerah merupakan sesuatu yang secara lebih bermakna mampu dipahami, secara otomatis mampu berfungsi untuk mengekspresikan dan memahami informasi. Secara sosiologis, bahasa daerah merupakan alat identifikasi sesama anggota komunitas bahasa tersebut. Sementara dalam faktor edukatif, pembelajaran melalui media bahasa daerah, lebih cepat dibandingkan melalui media bahasa yang tidak familier atau asing.

Pembelajaran bahasa daerah di sekolah merupakan upaya terstruktur yang dapat dilakukan untuk mengurangi kekhawatiran atas kepunahan bahasa tersebut, atau dapat meminimalisasi. Aktivitas pembelajaran bahasa daerah tersebut juga dapat merupakan langkah antisipatif dan sekaligus sebagai sarana proses pelestarian secara terprogram.

Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mencapai tujuan pembelajaran Menulis Deskripsi berbahasa Lampung diperlukan perencanaan yang matang. Perencanaan ini dikemas dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang seharusnya dibuat sebagai panduan yang operasional dalam pembelajaran. Dengan menyesuaikan antara standar kompetensi, kompetensi dasar, strategi, metode, sumber maupun evaluasi pembelajarannya. Namun sayangnya, terkadang RPP


(5)

yang telah disusun tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna sesuai keinginan. Bukan hanya karena kemampuan dasar anak dalam berpikir dan gaya belajar tapi lebih dari itu juga ditentukan oleh materi pelajaran, fasilitas dan lingkungan. Hal ini yang mengakibatkan tujuan dalam RPP tidak dapat terwujud dengan maksimal dalam beberapa materi pembelajaran Menulis Deskripsi berbahasa Lampung di kelas 5 SDN 1 Sukarame dua. Terbukti dari hasil pra-penelitian yang diwujudkan dalam bentuk kuesioner (lampiran 1.1). dari enam indikator ternyata, terdapat empat indikator yang termasuk dalam kategori kurang. Indikator tersebut adalah, RPP yang disusun berpusat pada peserta didik untuk medorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar. Indikator kedua mengenai penyusunan RPP yang memperhatikan minat, motivasi belajar, potensi, kemampuan sosial, emosi, kecepatan belajar, latar belakang budaya, dan/atau lingkungan peserta didik. Selanjutnya RPP yang disusun untuk memberikan umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi. Indikator yang terakhir adalah RPP yang disusun dengan menerapkan pendekatan kontekstual. Keempat indikator penyusunan RPP tersebut masih direvisi.

ada hal lain juga yang menjadi penyebab siswa mendapatkan prestasi rendah. Diantara penyebab tersebut adalah pemilihan strategi pembelajaran yang kurang tepat, yaitu: pendekatan, metode, media, dan sumber belajar. Dalam pengamatan pra-penelitian, ditemukan bahwa pemilihan strategi pembelajaran ternyata kurang sesuai dengan materi pelajaran. Materi pembelajaran tentang “Menulis Deskripsi” dalam RPP dicantumkan menggunakan metode ceramah, Tanya jawab, dan latihan (lampiran 1.2), ternyata strategi ini membuat siswa tidak bisa


(6)

mengoptimalkan cara berpikir analisis. Penggunaan metode ceramah untuk menjelaskan materi pelajaran tentang menulis deskripsi dinilai kurang efektif, seharusnya dilakukan dengan pengamatan langsung, dengan kata lain menggunakan pendekatan kontekstual.

Umumnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu mengikuti pembelajaran di kelas dengan aktif, akan tetapi jika diadakan tes tertulis ataupun diadakan unjuk kerja di lain waktu, banyak siswa yang lupa tentang materi yang telah dipelajari bersama, mereka hanya menghafal materi tersebut sehingga memperoleh hasil akhir yang tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa berupa nilai yang didapatkan berdasarkan tes awal (lampiran 1.3) tes dilakukan pada dua kelas, yaitu kelas 5A dan kelas 5B di SDN 1 Sukarame Dua , secara umum, diperoleh data sebagai berikut.

Tabel: 1.1 Hasil Tes Prapenelitian Pelajaran Bahasa Lampung Kelas V-a

No Kategori Nilai Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Sangat Baik 90 – 100 2 3

2 Baik 80 – 89 6 22

3 Sedang 70 – 79 8 29

4 Buruk 40 – 69 13 46

Jumlah 29 100

Sumber: Data nilai Guru Bahasa Lampung kelas 5 Semester Ganjil SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung. TP.2008/2009 (Lampiran 1.4)

Demikian halnya nilai yang diperoleh pada kelas 5B yang tergolong masih rendah seperti tertera pada tabel 1.2 berikut

Tabel: 1.2 Hasil Tes Prapenelitian Pelajaran Bahasa Lampung Kelas V-b

No Kategori Nilai Jumlah Siswa Persentase (%)

1 Sangat Baik 90 – 100 1 3

2 Baik 80 – 89 6 19

3 Sedang 70 – 79 10 32

4 Buruk 40 – 69 14 46

Jumlah 31 100

Sumber: Data nilai Guru Bahasa Lampung kelas 5 Semester Ganjil SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung. TP.2008/2009 (Lampiran 1.5)


(7)

Menulis deskripsi merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai siswa kelas V semester 1 (pertama), memperhatikan dokumen sekolah kemampuan siswa materi menulis deskripsi rata-rata rendah. Hal ini menunjukkan bahasa Lampung belum dikuasai secara utuh oleh siswa kelas V Sekolah Dasar, terutama di kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.

Peran evaluasi pembelajaran tidak kalah penting untuk mengiringi pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan RPP terancang. Sebab dengan evaluasi ini akan dapat diketahui apakah pendekatan pembelajaran yng dipilih telah sesuai dengan materi yang diharapkan. Idealnya, evaluasi dapat dikatakan baik sebagai alat ukur jika memenuhi persyaratan evaluasi, yaitu memiliki : 1) validitas, 2) reliabilitas, 3) objektivitas, 4) praktibilitas, dan 5) ekonomis (Arikunto, 2005:57). Maka alangkah kurang bermakna jika pembelajaran tanpa perencanaan dan evaluasi. Meskipun dalam kenyataan, perencanaan dan evaluasi pembelajaran ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh guru. Keterbatasan waktu guru dalam menerapkan sistem evaluasi yang baik dan ideal merupakan salah satu penyebabnya.

Terwujudnya tujuan diatas, diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran kontekstual, yang menuntut pendidik dapat mengeksplorasi dan mengkombinasi aneka sumber belajar yang ada disekitar peserta didik, baik itu di sekolah maupun di rumah. Karena segala sesuatu yang ada di sekitar mereka diyakinkan mampu memberi pengalaman langsung, dengan begitu peserta didik dapat melihat dan terlibat langsung di dalamnya.


(8)

Guru merupakan faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Depdikbud (1994 : 4) bahwa komponen yang mempengaruhi proses belajar mengajar (PBM)

adalah siswa, kurikulum, guru, metode, sarana prasarana dan lingkungan.” Dari

komponen tersebut, gurulah yang lebih menentukan, karena guru yang akan mengelola komponen yang lainnya, sehingga guru diharapkan dapat meningkatkan proses belajar mengajar sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, keefektifan guru merupakan salah satu karakteristik yang berpengaruh pada prestasi akademik siswa di sekolah. Artinya, semakin efektif seorang guru melakukan tugas dan kegiatannya maka akan semakin tinggi prestasi akademik siswa yang diperoleh. Sebaliknya, semakin tidak efektif guru menjalankan tugasnya, semakin rendah prestasi akademik siswa di sekolah tersebut.

Pembelajaran CTL adalah konsep belajar yang menghadirkan dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, saat itu pula sedikit demi sedikit siswa mengkonstruksikan pemikirannya. Hasil dari proses ini dijadikan siswa sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Pembelajaran CTL mengakui bahwa “belajar” merupakan sesuatu yang kompleks dan multi dimensional yang jauh melampaui berbagai metode belajar lainnya yang hanya berorientasi pada latihan dan rangsangan/ tanggapan (stimulus-respon) Pembelajaran kontekstual menganjurkan bahwa belajar hanya terjadi jika siswa


(9)

memproses informasi atau pengetahuan baru seemikian rupa sehingga dirasakan sesuai dengan kerangka pikiran yang dimilikinya (ingatan, pengalaman dan tanggapan).

Berdasarkan kondisi inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan (Action Research). dengan judul ”Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Menulis Deskripsi Bahasa Lampung pada Siswa Kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.” Penelitian ini dilakukan secara berkesinambungan untuk memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran. Penulis berharap melalui inovasi dalam pembelajaran menulis deskripsi menggunakan CTL dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, dapat meningkatkan hasil belajar menulis deskripsi bahasa Lampung sebagai pelajaran Mulok di Sekolah Dasar, terutama di kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Prestasi belajar siswa di SDN 1 Sukarame Dua pada pelajaran bahasa Lampung umumnya rendah

2. Motivasi siswa mempelajari bahasa Lampung kurang yang tercermin dengan kurang antusiasnya siswa dalam pembelajaran bahasa Lampung. 3. Perencanaan pembelajaran bahasa Lampung belum maksimal karena RPP

belum disusun berdasarkan analisis dan belum disesuaikan dengan pembelajaran menulis deskripsi berbahasa Lampung yang benar.


(10)

4. Pemilihan pendekatan pembelajaran belum sesuai dengan tujuan pembelajaran.

5. Evaluasi pembelajaran belum inovatif dan belum mencerminkan evaluasi yang sebenarnya sesuai dengan prinsip penilaian yang benar.

6. Pembelajaran CTL belum diterapkan dalam pembelajaran menulis deskripsi yang memungkinkan pembelajaran lebih aktif, efektif, inovatif, kreatif dan menyenangkan.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada (1) Perencanaan pembelajaran Bahasa Lampung yang belum disusun dengan menggunakan pendekatan pembelajarankontekstual, (2) Proses pelaksanaan pembelajaran bahasa Lampung yang belum dilakukan secara kontekstual., (3) Evaluasi pembelajaran secara kontekstual yang belum dilakukan, dan (4) Prestasi belajar siswa Mata Pelajaran Bahasa Lampung kelas 5 yang belum sesuai harapan.

D. Perumusan Masalah

Mengacu pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka agar penelitian ini lebih jelas dan terarah, dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah perbaikan penyusunan perencanaan pembelajaran Bahasa Lampung menggunakan pendekatan CTL pada siswa kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung?


(11)

2. Bagaimanakah perbaikan pelaksanaan proses pembelajaran Bahasa Lampung menggunakan pendekatan CTL pada siswa Kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung?

3. Bagaimanakah pelaksanaan evaluasi pembelajaran Bahasa Lampung menggunakan pendekatan CTL pada siswa kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung?

4. Bagaimanakah prestasi menulis deskripsi berbahasa Lampung siswa kelas V/a dan kelas V/b SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung dengan pendekatan pembelajaran kontekstual?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini secara umum bertujuan untuk medeskripsikan perbaikan pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Lampung melalui pendekatan pembelajaran kontekstual siswa kelas 5 semester ganjil SDN 1 Sukarame dua Bandar Lampung tahun pelajaran 2009 – 2010. Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk:

1. Menyusun perencanaan pembelajaran menulis deskripsi bahasa Lampung menggunakan pendekatan CTL pada siswa kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.

2. Melaksanakan pembelajaran menulis deskripsi bahasa Lampung menggunakan pendekatan CTL pada siswa Kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung?

3. Melaksanakan tindakan evaluasi pembelajaran menulis deskripsi bahasa Lampung pada siswa kelas V SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.


(12)

4. Meningkatkan prestasi menulis deskripsi berbahasa Lampung siswa kelas V/a dan kelas V/b SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Bermanfaat bagi pengembangan teori pendidikan khususnya Teknologi Pendidikan dalam kawasan desain dan pengelolaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk menulis deskripsi Bahasa Lampung siswa kelas V SD. Penelitian ini berkaitan erat dengan bagimana mengelola pembelajaran sehingga meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, terutama berkaitan dengan pembelajaran menulis deskripsi berbahasa Lampung.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, diharapkan siswa dapat memperoleh kemudahan dalam mempelajari menulis deskripsi berbahasa Lampung kelas V Sekolah Dasar. b. Bagi guru, diharapkan guru memperoleh tindakan alternatif teknik

pembelajaran menulis deskripsi berbahasa Lampung kelas V Sekolah Dasar. c. Bagi peneliti, diharapkan memberikan tambahan bagi peneliti guna

melengkapi dan memperluas pengetahuan yang sudah diperoleh melalui penelitian.

d. Bagi sekolah, akan terbantu terciptanya sekolah yang melaksanakan pembelajaran menulis deskripsi berbahasa Lampung yang aktif, kreatif, dan kondusif.


(13)

II. KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka 1. Menulis Deskripsi

a. Pengertian Menulis Deskripsi

Banyak para ahli yang mengungkapkan pengertian menulis deskripsi. Pendapat para ahli secara umum memiliki kesamaan walaupun terdapat perbedaan cara mengungkapkan. Menurut Akhadiah (1992:3) menulis merupakan kegiatan menyampaikan pesan (gagasan, perasaan, dan informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Menulis adalah usaha komunikasi yang mempunyai aturan maian serta kebiasaan-kebiasaan sendiri.

Lebih lanjut Suparno dan Yunus (2006: 46) mengungkapkan:

”Deskripsi berasal dari bahasa Latin describere yang berarti

menggambarkan atau memerikan sesuatu hal”. Deskripsi adalah suatu

bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan) apa yang dilukiskan penulis, karangan ini bermaksudmenyampaikan pean tentang sesuatu dengan sifat dan gerak-geriknya kepada pembaca.”

Keraf (1982: 93) menjelaskan bahwa deskripsi merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha penulis untuk memberikan perincian dari objek yang sedang dibicarakan. Dalam deskripsi penulis memindahkan kesan-kesannya, hasil pengamatan dan perasaannya, menyampaikan sifat dan semua perincian wujud yang dapat ditemukan pada objek tersebut.


(14)

Akhadiah dalam Suparno dan Yunus (2006: 48) mengungkapkan bahwa deskripsi yang baik dituntut tiga hal, pertama, kesanggupan berbahasa kita yang memiliki kekayaan nuasa dan bentuk. Kedua, kecermatan pengamatan dan kelaluasaan pengetahuan kita tentang sifat, ciri dan wujud objek yang dideskripsikan. Ketiga, kemampuan kita memilih secara detail khusus yang dapat menunjang ketepatan

dan kehidupan deskripsi”.

Deskripsi adalah upaya pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat dengan tujuan agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak langsung mengalami sendiri (http://.id.wikipedia.org/wiki/deskripsi). Pada umumnya deskripsi menegaskan sesuatu, seperti apa sesuatu itu kelihatannya, bagaimana bunyinya, rasanya dan sebagainya. http://id.wikipedia. org/wiki/karangan)

Karangan deskripsi memiliki ciri-ciri seperti: (1) menggambarkan atau melukiskan sesuatu, (2) penggambaran tersebut dilakukan sejelas-jelasnya dengan melibatkan kesan indera, dan (3) membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri/ mengalami sendiri.

b. Jenis-jenis Karangan Deskripsi

Karangan/wacana deskripsi berdasarkan tujuannya menurut Keraf (1982:96) dibe-dakan menjadi dua macam yaitu, 1) deskripsi sugestif; 2) deskripsi ekspositoris. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:


(15)

1) Deskripsi Sugestif

Di dalam deskripsi ini penulis bermaksud menciptakan sebuah pengalaman pada diri pembaca, pengalaman karena perkenalan langsung dengan objeknya. Sasaran deskripsi sugestif adalah dengan perantaraan tenaga rangkaian kata-kata yang dipilih oleh penulis untuk menggambarkan ciri, sifat, watak dari objek tersebut, dengan kata lain deskripsi sugestif berusaha untuk menciptakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut melalui imajinasi pembaca.

2) Deskripsi Ekspositoris atau Deskripsi Teknis

Deskripsi jenis ini bertujuan untuk memberikan identifikasi atau informasi mengenai objeknya sehingga pembaca dapat mengenalnya bila bertemu atau berhadapan dengan objek tadi. Deskripsi ekspositoris tidak berusaha untuk menciptakan kesan atau imajinasi pada diri pembaca.

c. Unsur-unsur Karangan Deskripsi

Menurut pendapat Burhan (1974:100) dalam pembuatan karangan itu sekurang-kurangnya tercakup lima unsur yaitu,

1) isi karangan adalah hal-hal yang dikarang atau gagasan;

2) bentuk karangan adalah susunan atau cara menyajikan isi karangan;

3) tata bahasa adalah penggunaan bentuk-bentuk tatabahasa dan pola-pola kalimat;


(16)

4) gaya adalah pilihan struktur dan kosakata untuk memberikan nada atau warna tertentu terhadap karangan itu;

5) ejaan dan tanda baca adalah penggunaan tata cara penulisan lambang bahasa tertulis yang diadatkan dalam bahasa itu.

d. Syarat-syarat Karangan yang Baik

Suatu karangan menurut Akhadiah (1996:9) mengatakan, sekurang-kurangnya memenuhi unsur-unsur yang berhubungan dengan hal-hal berikut:

1) kejelasan tema;

2) kesesuaian isi dengan judul; 3) kesesuaian jenis karangan; 4) ketepatan ide dalam paragraf; 5) ketepatan susunan kalimat; 6) ketepatan pemilihan kata /diksi; 7) ketepatan penggunaan ejaan. 1) Kejelasan Tema

Dalam mengarang, tema atau topik karangan harus ditetukan terlebih dahulu karena ia merupakan isi karangan itu. Akhadiah (1996:9) menyatakan bahwa topik adalah pokok pembicaraan dalam keseluruhan karangan yang dikarang. Oleh karena itu, baik tidaknya suatu karangan sangat ditentukan tepat tidaknya topik yang dipilih.


(17)

2) Kesesuaian Isi dengan Judul

Judul sebuah karangan akan menggambarkan isi keseluruhan (Akhadiah, 1996:10) Sementara Keraf (1994:128) menyatakan bahwa judul hendaknya menyebutkan ciri-ciri utama atau menghubungkan hal-hal penting dari karangan, sehingga para pembaca sudah dapat membayangkan apa yang diuraikan di dalam karangan itu.

3) Kesesuaian Jenis Karangan

Jenis karangan berkaitan dengan maksud atau tujuan penulisan. Untuk menentukan tujuan mengarang diperlukan tesis. Akhadiah (1996:47) menyatakan bahwa tesis adalah suatu kalimat penyataan yang mengandung tujuan tulisan. Penyataan ini mengandung gagasan atau amanat yang akan dikembangkan atau diuraikan lebih lanjut melalui tulisan.

4) Ketepatan Ide dalam Paragraf

Topik suatu karangan diuraikan di dalam tiap paragraf berupa satu ide pokok dan beberapa ide penjelas. Suatu paragaf yang baik haruslah memenuhi tiga syarat be rikut:

(a) kesatuan yaitu semua kalimat yang ada di dalam paragraf secara bersama-sama membangun suatu pokok pikiran;

(b) kepaduan atau koherensi yaitu kekompakan hubungan antara satu kalimat yang lain dalam membangun paragraf itu;

(c) pengembangan yaitu adanya keteraturan dalam merinci dan menyusun pokok pikiran ke pikiran-pikiran penjelasnya (Keraf, 1994:67).


(18)

5) Ketepatan Susunan Kalimat

Ketetapan unsur-unsur yang membangun suatu kalimat akan sangat menentukan kejelasan pikiran yang dimuat dalam kalimat itu . Kalimat-kalimat yang diguna-kan dalam karangan hendaknya kalimat efektif. Keraf (1993:35) menyatakan bahwa kalimat efketif itu dapat mewakili isi pikiran dan perasaan pengarang sehingga menarik perhatian pembicara serta dapat menimbulkan kembali gagas-an pembaca yang sesuai dengan gagasan pengarang .

6) Ketepatan Pemilihan Kata/Diksi

Susunan kata di dalam kalimat sangat berguna untuk menjaga kontinuitas (Caraka, 1999:54). Pernyataan ini berkaitan dengan pemilihat kata yang tepat dalam membangun gagasan akan menjaga kesinambungan dan kekompakan da-lam karangan. Akhadiah (1996:32) menyatakan dalam memilih kata harus diperhatikan dua persyaratan pokok, yaitu:

a) ketetapan; berkaitan dengan makna aspek logika kata-kata. Kata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan pengertian yang disampaikan. b) kesesuian; berkaitan dengan kecocokan antara kata yang digunakan

dengan kesempatan, situasi dan keadaan pembaca. 7) Ketepatan Penggunaan Ejaan

Ejaan artinya kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb.) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca (Moeliono, 1995 : 250). Yang termasuk di dalamnya ialah penulisan huruf, kata, kalimat, dan tanda-tanda baca. Ejaan memegang peranan penting dalam karangan, oleh karenanya dalam mengarang hendaklah berpedoman pada


(19)

ketentuan yang berla-ku, yaitu buku Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (EyD).

e. Langkah-langkah Mengarang

Agar dapat mencapai hasil mengarang yang baik ada beberapa saran yang berupa langkah-langkah mengarang yang harus diperhatikan, langkah-langkah itu ialah ;

1) memilih dan membatasi topik

2) menentukan tema dan merumuskan tesis 3) mengumpulkan bahan-bahan Pembicaraan 4) menyusun garis besar.

1) Memilih dan Membatasi Topik

Kegiatan memilih serta membatasi topik merupakan langkah awal yang ditempuh pengarang, apalagi bagi pengarang pemula. Hal ini harus dilakukan secara tertulis, agar membantu mengarahkan pengarang tentang apa yang akan ditulisnya.

2) Menentukan Tema dan Merumuskan Tesis

Setelah topik dipilih, lanjutkan dengan menentukan tema; mengenai apa yang hendak kita katakan tentang topik itu. Tema merupakan pusat karangan. Tema merupakan pernyataan, pandangan, pendirian penulis mengenai topik. Tema dapat disebut juga sebagai gagasan pokok.


(20)

3) Mengumpulkan Bahan-bahan Pembicaraan

Setelah tema karangan dirumuskan, yang merupakan pendirian atas tesis, maka sekarang akan diuraikan, dipertahankan, dan dibuktikan. Ada dua sumber pokok pembuktian yaitu dari diri sendiri dan dari luar. Pengalaman serta hasil pengamatan penulis yang objektif dan cermat merupakan bahan-bahan pembicaraan yang menginspirasikan penulis mengenai apa yang akan dituliskannya. Selain diri pribadi, dunia luar pun merupakan bahan yang sangat veriatif, dan inspiratif. Dunia luar sebagai sumber bahan berupa kesaksian-kesaksian orang lain, anggapan-anggapan umum yang sudah diterima masyarakat merupakan bahan yang aktual yang dapat dipergunakan sebagai bahan pembicaraan.

4) Menyusun Garis Besar atau Kerangka Karangan

Menyiapkan garis besar atau kerangka karangan merupakan “pengaman” yang sangat membantu penulis. Penulis akan merasa pasti dan lebih aman jika garis besar atau kerangka karangan disiapkan sebelum mulai mengarang. Jika garis besar itu betul-betul dipersiapkan dengan sebaik-baiknya maka pekerjaan mengarang akan semakin lancar. Garis besar ada yang bersifat formal (lengkap), bersifat topikal, dan ada yang bersifat kalimat. Jika siswa menulis karangan deskripsi tetapi pengetahuan pungtuasi tidak dimilikinya maka siswa akan mengarang sesuka hatinya, akibatnya perintah ini tidak akan terlaksana. Berikut digambarkan dalam diagram kerangka berpikir penelitian pada halaman berikut:


(21)

Pola pengembangan paragraf deskripsi:

a) paragraf deskripsi spesial; paragraf ini menggambarkan objek khusus ruangan, benda/ tempat;

b) paragraf deskripsi subjektif; paragraf ini menggambarkan objek seperti tafsiran/ kesan perasaan penulis;

c) paragraf deskripsi objektif; paragraf ini menggambarkan objek dengan apa adanya atau sebenarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas deskripsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah karangan tentang sesuatu yang dijelaskan sesuai dengan pengamatan terhadap objek sebenarnya menggunakan bahasa Lampung.

2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Hakikat Contextual Teaching and Learning (CTL)

Depdiknas (2003) menjelaskan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut Sanjaya (2006: 109), pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Hal ini berarti pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa bukan pada guru. Guru bukan sebagai sumber ilmu, malainkan perancang, fasilitator, dan motivator


(22)

dalam pembelajaran. Kelebihan pembelajaran menggunakan pendekatan CTL menurut Nurhadi, dkk (2004:32), dapat meningkatkan hasil dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Kebaikannya sebagai berikut.

1) Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang

dipelajarinya dari pada “mengetahuinya”.

2) Pembelajaran dapat membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka.

3) Kontekstual merupakan pndekatan baru yang lebih memberdayakan siswa, tidak menghafal fakta tetapi mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

4) Kontektual merupakan pembelajaran yang mengajak anak mengetahui makna belajar dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.

Blanchara (2001: 72) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan, mengalami apa yang sedang dipelajarinya, berhubungan dengan kehidupan dan dunia nyata. Center of Educations and Work at the Univercity of Wisconsin-Madison (TEACHNET) mengeluarkan pernyataan penting tentang CTL sebagai berikut.

Contextual teaching and learning is conception of teaching and that helps teacher relate subject ter content to real world situations and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizen, and wokers and engange in the hard work that learning requires (Johnson, 2002: 38-39).

Teachnet menekankan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang mampu menolong guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata, CTL juga mampu memotivasi siswa dalam menghubungkan antara pengetahuan yang diperoleh dengan aplikasinya dalam hidupnya baik sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja.


(23)

Pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual menuntut guru mampu memotivasi siswa belajar dalam situasi dunia nyata, dengan konsep belajar ini siswa dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi yang dipelajari sehingga pembelajaran diharapkan akan lebih bermakna.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang menghadirkan dunia nyata dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, saat itu pula sedikit demi sedikit siswa mengkonstruksikan pemikirannya. Hasil dari proses ini dijadikan siswa sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.

Pembelajaran kontekstual mengakui bahwa “belajar” merupakan sesuatu yang kompleks dan multi dimensional yang jauh melampaui berbagai metode belajar lainnya yang hanya berorientasi pada latihan dan rangsangan/ tanggapan (stimulus-respon) Pembelajaran kontekstual menganjurkan bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan sesuai dengan kerangka pikiran yang dimilikinya (ingatan, pengalaman dan tanggapan).

Lebih lanjut Johnson (2006: 25) menjelaskan CTL sebagai berikut.

“The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying in the academicsubjects with the context of their daily lives, that is with thecontexst of the personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significans work, self regulated learning.


(24)

Collaborating, critical and creative thingking, nurturing the individual reaching high standars, using authentic assessmen.”

Pemahamanya hakikat CTL merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan membantu siswa melihat makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial dan budaya, menuntut siswa belajar bermakna, mengatur belajar sendiri, bekerjasama, berfikir kritis dan kreatif, mencapai standar yang tinggi.

Zahorik (1999:14-22) menjelaskan ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual: (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), (2) pemerolehan pengetahuan baru, kemudian memperhatikan detailnya, (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), (4) mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman, (5) melakukan refleksi (reflection knowledge).

Pendekatan CTL menurut Nurhadi (2004:31) memiliki tujuh komponen yaitu: konstruktivisme, inquiry, bertanya, masyarakat belajar, permodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya. Hal serupa diungkapkan oleh Sanjaya (2006:113) bahwa komponen-komponen pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah Construktivisme, Inquiri, Questioning, Learning community, Modeling, refleksi, dan Authentic Assesment. Penerapan masing-masing komponen dapat dijelaskan sebagai berikut.


(25)

1) Konstruktivisme

Merupakan aliran pembelajaran yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu (Hati, 2007). Siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa “mengkonstruksi” bukan

“menerima” pengetahuan. Siswa menjadi “Subjek” bukan “Objek” belajar. Bentuknya adalah siswa mengerjakan sesuatu:

a) menulis karangan deskripsi

b) mendemonstrasikan yakni bahasa komunikasi yang digunakan adalah bahasa lampung.

c) menciptakan ide karangan deskripsi sesuai yang diamati. d) memecahkan masalah

Tugas guru dalam hal ini adalah memfasilitasi proses belajar dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan, menerapkan idenya sendiri dan memotivasi siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar, mengerjakan tugas. Implementasinya terdiri dari kegiatan menyebutkan, mengidentifikasikan, mengkategorikan, dan membuktikan. Pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, beraktifitas di dalam laboratorium, membuat laporan ilmiah, mendemonstrasikan hasil kerja baik berupa laporan maupun hasil eksperimen di laboratorium, menciptakan ide, dan sebagainya.


(26)

2) Menemukan (Inquiry)

Kegiatan pembelajarannya diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Setelah itu siswa akan mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis. Siswa menemukan sendiri pengetahuan dan keterampilan mereka melalui tahap:

1) Mengamati atau melakukan observasi (observation) 2) Membaca referensi untuk informasi pendukung. 3) Bertanya jawab dengan teman (questioning)

4) Menduga (hypotesis) dan memunculkan ide-ide baru. 5) Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya(data gathering)

6) Menganalisis, menyimpulkan (conclusion), dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar dll.

7) Siswa membuat laporan ilmiah sendiri

8) Siswa mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

9) Disampaikan pada orang lain untuk mendapat masukan.. 10) Melakukan refleksi.

11) Menempelkan gambar, karya tulis di mading, majalah sekolah, dsb.

3) Bertanya (Questioning)

Suatu pembelajaran akan tampak hidup dan bergairah kalau disertai dengan tanya jawab antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa lainnya, antara siswa dengan orang lain. Manfaat tanya jawab dalam pembelajaran sangat banyak yaitu, untuk memotivasi siswa, menghindari pembelajaran yang monoton. Teknik bertanya merupakan hal mendasar dalam pembelajaran kontekstual.


(27)

Menurut Senduk (2004: 45), bertanya merupakan suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa pilar bertanya dalam pembelajaran kontekstual merupakan bagian penting, karena merupakan induk dari strategi pembelajaran. Kegiatan bertanya yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk

mengarahkan, membimbing, dan mengevaluasi cara berfikir siswa.

Sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. (Hati, 2007).

Dengan bertanya, siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasikan sesuatu, mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui, bertanya dapat diterapkan saat berdiskusi, kerja kelompok, ketika mengamati, dan saat mengalami kesulitan. Hampir pada semua aktifitas belajar, questioning dapat diterapkan:

1) Antara siswa dengan guru 2) Antara guru dengan siswa 3) Antara siswa dengan siswa

4) Antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

4) Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agat hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Dalam pembelajaran menggunakan pendekatan CTL guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar. Kelompok belajar atau sekelompok


(28)

komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. (Hati, 2007).

Mengutamakan kerjasama dengan orang lain atau kelompok, dapat dilakukan jika anggotanya mau saling mendengarkan, tidak merasa paling tahu, serta tidak segan untuk bertanya kepada lainnya. Prakteknya dapat terwujud dalam:

1) Pembentukan kelompok kecil 2) Pembentukan kelompok besar. 3) Mendatangkan „ahli‟ ke kelas. 4) Bekerja dengan kelas sederajat. 5) Bekerja dengan kelas di atasnya. 6) Bekerja dengan masyarakat.

Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, yang pandai mengajari yang lemah yang pandai belajar cepat membantu teman yang lamban. Hal ini dapat membantu siswa menuangkan deskripsi menggunakan kalimat bahasa lampung yang tepat.

5) Permodelan (Modeling)

Pengertian permodelan menurut Yasin (2004: 49), merupakan suatu cara mengaktualisasikan sesuatu yang abstrak. Permodelan dapat juga dimaksudkan untuk membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang diharapkan guru. Jadi permodelan merupakan cara melakukan sesuatu, mempraktekkan cara mendeskripsikan sesuatu yang dilihat dan lain-lain. Sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru,


(29)

dengan begitu guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Kegiatan mendemonstrasikan suatu perbuatan agar siswa dapat mencontoh atau belajar, atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. (Hati, 2007).

Model ini dapat dirancang dengan melibatkan media lingkungan misalnya, guru menunjukkan pohon kelapa sawit di halaman sekolah, kemudian salah satu siswa bisa ditunjuk untuk menyebutkan suatu kata dalam bahasa lampung yang berhubungan dengan media tersebut. Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-satunya model, tetapi model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.

6) Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan respon terhadap sesuatu kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima, contohnya:

a) pertanyaan langsung tentang ketentuan apa saja yang boleh diamati; b) komentar siswa tentang pembelajaran hari itu;

c) catatan atau konsep siswa; d) diskusi;

e) hasil karya.

Refleksi merupakan cara berfkir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan masa lalu (Senduk, 2004: 510). Siswa memahami apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa perlu diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian


(30)

diperluas sedikit demi sedikit. Siswa mencatat apa yang telah dipelajari dan bagaimana menemukan ide-ide baru. Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu untuk melakukan refleksi.

Kegiatan dalam refleksi menurut Hati, (2009) berupa melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk

mengidentifikasi hal-hal yang sudah diketahui, dan hal-hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Dapat juga dikatakan sebagai respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima, contohnya:

1) Pertanyaan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 2) Komentar siswa tentang pembelajaran hari itu.

3) Catatan atau jurnal dibuku siswa. 4) Diskusi

5) Hasil karya

Penerapan refleksi menurut Nurhadi (2004: 51) memiliki ciri sebagai berikut: (a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, (b) catatan atau buku jurnal di buku siswa, (c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (d) diskusi, (e) hasil karya, (f) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa pada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari. Jadi reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan perbaikan jika diperlukan.


(31)

7) Penilaian yang Sebenarnya (Autentic Assessment)

Agar penilaian yang dilakukan benar-benar menggambarkan keadaan siswa yang sebenarnya, perlu dilakukan suatu penilaian yang mampu mengukur keadaan siswa yang sebenarnya. Siswa tidak hanya dinilai dari satu aspek, melainkan dari berbagai aspek sehingga data yang didapat bisa menggambarkan keadaan siswa yang sebenar proses.

Penilaian autentik memiliki beberapa karakteristik, menurut Senduk (2004: 52) penilaian autentik memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) harus mengukur semua aspek pembelajaran, (b) dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran, (c) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (d) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian, (e) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian dari kehidupan siswa.

Berdasarkan pendapat tersebut penilaian autententik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa menggambarkan perkembangan siswa. Penilaian ini menekan pada perkembangan kemampuan siswa dalam memahami dan mempelajari pengetahuan atau keterampilan. Penilaian ini dilakukan dengan berbagai cara yaitu pemberian tugas, proses pembelajaran, kinerja, performan, hasil karya atau produk dan sebagainya.

Autentic Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, dan perlu diketahui oleh guru untuk bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Penekanannya pada assesment dalam proses pembelajaran, data yang dikumpulkan diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat


(32)

melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses pembelajaran, bukan melalui hasil.

Karakteristik assessment adalah: (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b) bisa digunakan untuk formatif dan sumatif, (c) yang diukur keterampilan dan performansi bukan fakta, (d) berkesinambungan, (e) terintegrasi, (f) dapat digunakan sebagai feed back. Bentuk-bentuk penilaian autentik: fortofolios, story reteling, interview, video, tape evaluation of performance, audio tepe evaluation of reading, teacher observations, close test. Dalam hal iniakan dilakukan penilaian terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran dan produk tulisan deskripsi siswa dalam bahasa lampung.

b. Perbedaan Pendekatan kontestual dengan Pendekatan Konvensional Menurut pendapat Nurhadi (2003: 7) terdapat perbedaan antara pendekatan CTL dan konvensional yaitu:

No Pendekatan CTL Pendekatan Konvensional 1 Siswa secara aktif terlibat dalam

proses pembelajaran.

Siswa adalah penerima informasi secara pasif.

2 Siswa belajar dari teman melalui kerja.

Siswa belajar secara individual. 3 Pembelajaran dikaitkan dengan

kehidupan nyata atau masalah yang disimulasikan.

Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis.

4 Perilaku dibangun atas kesadaran diri.

Perilaku dibangun atas kebiasaan. 5 Hadiah untuk perilaku baik adalah

kepuasan diri

Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (raport).

6 Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.

Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.

7 Seseorang tidak melakukan yang jelek karana dia sadar hal itu keliru dan merugikan.

Seorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman.


(33)

pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam monteks nyata.

struktural: rumus, diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan (drill). 9 Pemahaman rumus dikembangkan

atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa.

Rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan dan dilatihkan.

10 Pemahaman rumus relatif berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan skemata siswa.

Rumus adalah kebenaran absolut, hanya ada dua kemungkinan yaitu pamahaman rumus yang salah atau yang benar.

11 Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.

Siswa secara fasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengar, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.

No Pendekatan CTL Pendekatan Konvensional 1 Pengetahuan yang dimiliki

manusia, dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Manusia menciptakan atau membangun pengetahauan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya.

Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri manusia.

2 Ilmu pengetahuan dikonstruksi oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami

peristiwa baru maka

pengetahuan.tidak pernah stabil, selalu berkembang.

Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final.

3 Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing.

Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.

4 Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan.

Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.

5 Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes dan lain-lain.

Hasil belajar diukur hanya dengan tes.


(34)

tempat, konteks dan setting

7 Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek

Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek.

8 Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik.

Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik.

9 Seorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat.

Seseorang berperilaku baik karena terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan.

c. Beberapa Hal Penting Dalam Pembelajaran CTL

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL harus memperhatikan hal-hal yang yang terkait, baik berkaitan dengan konsep, langkah-langkah, maupun pelaksanaan pembelajaran dengan CTL. Contextual Teaching and Learning (CTL) menurut Clifford dan Wilson (2000:2) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang dapat membantu siswa menemui ketuntasan belajar berdasarkan kompetensi yang telah ditetapkan. Siswa dapat dikatakan tuntas belajar jika ia dapat berguna dan mampu mengaplikasikan pengetahuannya terhadap lingkungan sekitar kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, sebagai seorang anggota keluarga, warga negara, dan pekerja atau karyawan.

CTL dikatakan efektif digunakan dalam pembelajaran karena: (Clifford dan Wilson, 2000:2):

1. emphasizes problem-solving,

2. recognizes the need for teaching and learning to occur in multiple contexts,

3. teaches students to become self-regulated learners, 4. anchors teaching in students‟ diverse life contexts,

5. encourages students to learn from each other in interdependent groups, and


(35)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran dengan Contextual Teaching Learning, terutama berkaitan dengan pembelajaran Bahasa Lampung adalah sebagai berikut

1. CTL adalah model pembelajaran yang menekankan aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.

2. CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.

3. Kelas, dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.

4. Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain. (Sanjaya, 2006:125).

3. Media Pembelajaran

Media berasal dari kata “medium” yang berasal dari bahasa latin “medius” yang

berarti “tengah atau sedang”. Pengertian media ini mengarah pada sesuatu yang

menjadi penghantar untuk meneruskan suatu informasi dan sumber informasi kepada penerima informasi. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan, ringkasnya media adalah alat untuk menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran. Arsyad (2005: 54) mengartikan media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan/ informasi.

Heinich dalam Arsyad (2005: 82) menyatakan, media sebagai perantara yang mengantar informasi apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi


(36)

yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud pengajaran. Hamidjojo dalam Latuheru mengemukakan bahwa, media pembelajaran adalah media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi pengajaran (biasanya sudah dituangkan dalam GBPP atau silabus) yang dimaksudkan untuk mempertinggi kegiatan belajar. Media pembelajaran adalah bahan, alat, maupun metode/ teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara siswa dan sumber belajar dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna. Jadi media yang dimanfaatkan untuk belajar adalah lingkungan yang terdekat dengan siswa.

National Education Assosiation” memberi definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual dan peralatannya dengan demikian dapat dimanipulasi, dilihat, didengar atau dibaca. Menurut Lohan dalam Sihkabuden (999: 58), media suatu sarana atau chanel sebagai perantara antara si pemberi pesan kepada penerima pesan.

Menurut Olson dalam Budiningsih (2005: 62) mendefinisikan media sebagai teknologi untuk menyajikan, merekam, membagi dan mendistribusikan simbol dengan melalui rangsangan indera tertentu, disertai penstrukturan informasi. Gagne dalam Sagala (2005: 281) menyatakan bahwa media pendidikan adalah berbagai jenis komponen lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Briggs dalam yang sama, lebih lanjut menyatakan bahwa media pembelajaran adalah sarana untuk memberikan perangsang bagi si belajar supaya proses belajar terjadi.


(37)

media pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan. Pertama, adalah alat-alat yang merupakan benda sebenarnya yang memberi pengalaman langsung dan nyata. Kedua, alat-alat yang merupakan benda pengganti yang seringkali dalam bentuk tiruan dari benda sebenarnya, memberikan pengalamannbuatan atau tidak langsung. Ketiga, bahasa lisan maupun tertulis memberikan pengalaman melalui berbahasa.

Secara umum, peranan media dalam proses pembelajaran dapat: a. menghemat waktu belajar;

b. memudahkan pemahaman; c. meningkatkan perhatian siswa; d. meningkatkan aktivitas siswa; e. mempertinggi daya ingat siswa.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim kepada penerima serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si belajar, sehingga dapat memotivasi terjadinya belajar yang baik dengan sengaja, bertujuan dan terkendali. Media pembelajaran sebagai salah satu komponen sumber dan merupakan bagian integral dari keseluruhan komponen pembelajaran menempati posisi yang penting dan akan turut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pembelajaran.

Pada kenyataannya, pengembangan dan penerapan media pembelajaran diharapkan dapat memotivasi belajar terhadap pembelajaran sehingga berdampak pula pada peningkatan hasil belajarnya. Selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka guru harus mampu mengembangkan media pembelajaran secara bervariasi, baik yang dirancang khusus (by design) maupun dengan


(38)

memanfaatkan (by utilization) sejumlah media yang telah ada. Dengan demikian media pendidikan dan media pengajaran dirangkum saja dengan media pembelajaran.

Kegunaan media dalam pembelajaran menurut Miarso (2005: 536):

(a) Media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita sehingga otak kita dapat berfungsi secara optimal, (b) Media dapat mengatasi keterbatasan pengamatan yang dimiliki oleh siswa, (c) Media dapat melampaui batas ruang kelas, (d) Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dan lingkungan, (e) Media menghasilkan keseragaman pengamatan, (f) Media membangkitkan keinginan dan minat baru, (g) Media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar, (h) Media memberikan pegalaman yang integral/ menyeluruh dari sesuatu yang konkret maupun yang abstrak, (i) Media memberikan kesempatan untuk belajar mandiri, (j) Media meningkatkan keterbacaan baru (membedakan dan menafsirkan objek), (k) Media mampu meningkatkan efek sosialisasi, (l) Meningkatkan kemampuan ekspresi diri guru maupun siswa.

Kriteria pemilihan media menurut Arsyad (2005: 39), sebagai berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep prinsip atau generalisasi, (c) praktis, luwes dan bertahan, (d) guru trampil menggunakannya, (e) pengelompokan sasaran, (f) mutu teknis (memiliki persyaratan teknis yang tertentu)

Tiga kategori media menurut Haney dan Ullmer yang dikutip Miarso (2005:25), yaitu:

(1) Media Penyaji: Grafis, bahan cetak dan gambar diam, Proyeksi diam, Audio/ kaset, Audio ditambah visual diam, Gambar hidup/ film, Televisi, Multi media, (2) Media Objek: Objek sebenarnya: alami (hidup dan tak hidup), buatan: gedung, mesin-mesin, alat-alat komunikasi, jaringan transportasi dan semua benda yang dibuat, Objek pengganti: replika, model, dan benda tiruan, (3) Media Interaktif: memperhatikan penyajian objek dan berinteraksi (internet, komputer).


(39)

Media yang akan digunakan dalampenelitian ini adalah media objek sebenarnya alami hidup dan tak hidup yang terdapat di lingkungan sekitar sekolah yaitu, sugai, gunung, kebun, pantai dan benda-benda tak hidup lainnya.

4. Pembelajaran Menulis Deskripsi Berbahasa Lampung Menggunakan CTL Bahasa Lampung adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat penuturnya yaitu suku Lampung dalam berkomunikasi dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi

dan mengidentifikasikan diri” (Chaer, 1997: 68). Nababan (1999: 96) mengemukakan bahwa bahasa memiliki empat fungsi yaitu fungsi kebudayaan, kemasyarakatan, perorangan, dan pendidikan.

Fungsi kebudayaan meliputi tiga hal yaitu: pelestarian kebudayaan, pengembangan kebudayaan dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan. Fungsi kemasyarakatan meliputi ruang lingkup dan bidang pemakaian. Fungsi perorangan meliputi fungsi instrumental, kepribadian, pemecahan masalah, khayalan dan informatif. Fungsi pendidikan meliputi fungsi integratif, instrumental, kultural dan penalaran.

Fungsi dan tujuan pembelajaran bahasa Lampung untuk membelajarkan siswa didik dalam belajar bahasa Lampung dan berfungsi memberikan kemampuan menggunakan bahasa Lampung bagi kepentingan berpikir, merasa dan


(40)

berkomunikasi dalam kehidupan budaya masa kini, sebagai lanjutan dari kehidupan masa lalu, dengan memperhatikan peristiwa penggunaannya.

Pada proses pembelajaran berlangsung, guru memotivasi siswa melakukan pengamatan terhadap gambar kemudian mengungkapkan hasil pengamatannya melalui deskripsi. Siswa menulis deskripsi sesuai dengan kaidah bahasa Lampung, baik ejaan, struktur maupun kosa kata. Dengan demikian, pembelajaran dalam terlaksana dengan mengoptimalkan masyarakat belajar dalam pembelajaran bahasa Lampung dengan pendekatan CTL.

Pembelajaran bahasa Lampung meliputi pengenalan, pemahaman, dan keterampilan mencakup unsur bahasa Lampung (Depdikbud Provinsi Lampung 2003: 16) yaitu:

a) Lafal dan ejaan, yang berkenaan dengan lafal yang baik dan ejaan yang sesuai dengan pedoman Ejaan Bahasa Lampung.

b) Struktur, yang berkenaan dengan bebtuk kata, frase, dan kalimat Bahasa Lampung yang baik dan yang diterima bukan teoritis.

c) Kosa kata, yang berkenaan dengan kata-kata bahasa lampung dari berbagai lingkungan kehidupan yang diperlukan sebagai alat berpikir, merasa dan berkomunikasi dengan lancar.

d) Wacana, berkenaan dengan karangan jenis narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi dan drama.

Lebih lanjut dijelaskan pokok-pokok bahasan pembelajaran mencerminkan kegiatan berbahasa dalam bahasa Lampung, khususnya menulis adalah pembelajaran menulis untuk mengomunikasikan gagasan, perasaan, dan pesan, dengan bahasa Lampung secara tertulis, baik dalam bentuk prosa atau puisi maupun dalam berbagai jenis karangan, seperti pada karangan deskripsi berbahasa Lampung.


(41)

Pembelajaran menulis disesuaikan dengan ketentuan menulis. Hamer (1999: 48) mengatakan bahwa dalam keterampilan menulis harus diperhatikan beberapa hal misalnya penyusunan kalimat menjadi paragraf; bagaimana paragraf digabungkan dan dikelompokan sehingga menjadi tulisan yang koheren. Penerapan pembelajaran pendekatan kontekstual (CTL) dalam penelitian ini adalah guru mendesain proses pembelajaran menulis teks deskripsi berbahasa Lampung dengan memanfaatkan lingkungan sebagai media. Mengonstruksi pengetahuan siswa sedikit demi sedikit sehingga pengetahuannya bermakna dalam proses menemukan, bertanya, masyarakat belajar, memberi permodelan, melaksanakan refleksi dalam pembelajaran dan melaksanakan penilaian autentik.

5. Prestasi Belajar

a. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi adalah istilah yang diambil dari bahasa Belanda “prestatie” yang berarti

hasil usaha. Kata prestasi dalam berbagai penggunaan selalu dihubungkan dengan aktivitas tertentu. Prestasi belajar adalah kemampuan nyata yang dapat langsung diukur dengan tes tertentu dan dapat dihitung hasilnya, menurut Zainal dalam Sagala (2005: 101), bahwa: “Prestasi merupakan kemampuan siswa yang dapat dicapai saat dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap berbagai hal yang pernah dilatihkan/ diajarkan sudah dapat diperoleh gambaran yang nyata tentang pencapaian program pembelajaran secara

menyeluruh”.

Di samping itu menurut Wittrock dalam Latuheru (1999: 46), “prestasi belajar adalah suatu terminology yang menggambarkan suatu proses perubahan melalui


(42)

pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relative permanen berupa sikap, pengetahuan, informasi, kemampuan dan keterampilan melalui

pengalaman”.

Skiner dengan teori operant conditioning sebagaimana dikutip Gredler (dalam Slameto, 2003: 49) mengatakan bahwa, prestasi belajar merupakan respon/ tingkah laku yang baru. Walaupun Skiner mengatakan demikian namun pada dasarnya respon yang baru itu sama pengertiannya dengan tingkah laku/ pengetahuan, sikap, keterampilan yang baru.

Prestasi menurut Hamalik (1983:84) adalah perubahan tingkahlaku yang diharapkan kepada murid setelah diadakan proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Yusuf (1982:24) prestasi adalah tingkatan kepandaian keterampilan yang telah dicapai setelah melakukan kegiatan pekerjaan atau latihan itu sendiri. Menurut Adi Nugroho prestasi adalah segala jenis pekerjaan yang berasil dan prestasi itu menunjukkan kecakapan.. Selanjutnya, Purwadarminto menyebutkan bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu terhadap hal-hal yang dikerjakan/ dilakukan.

Reigeluth dalam yang sama berpendapat, prestasi belajar dapat juga dikatakan sebagai pengaruh yang memberikan suatu ukuran nilai dari metode (strategi) alternatif dalam kondisi yang berbeda, ada hasilnyata dan diinginkan. Hasil nyata, hasil-hasil kehidupan nyata dari menggunakan metode (strategi) spesifik dalam kondisi yang spesifik pula, sedangkan hasil yang diinginkan adalah tujuan-tujuan (goals) yang umumnya berpengaruh pada pemilihan suatu metode.


(43)

Ini berarti prestasi belajar sangat erat kaitannya dengan metode (strategi) yang digunakan pada sesuatu kondisi (pembelajaran) tertentu. Semakin ketepatan pemilihan metode atau strategi (pembelajaran) pada suatu kondisi semakin baik hasil belajar. Selanjutnya juga mengatakan, secara spesifik hasil belajar adalah suatu kinerja (peformance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang diperoleh. Hasil belajar tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan-tujuan khusus perilaku (unjuk kerja).

Muhibin (1997:141) menyebutkan bahwa prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Demikian pula pendapat Albach, Arnove dan Kelly (1999:201) bahwa prestasi belajar hanya ukuran keberhasilan di sekolah tidak termasuk keberhasilan dalam keluarga dan masyarakat. Davis dalam Slameto (1985:21) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah pengetahuan yang diperoleh siswa sebagai hasil dari pembelajaran.

Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa prestasi belajar dipergunakan untuk menyebut berbagai macam hasil kegiatan atau usaha. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Istilah prestasi belajar sering digunakan untuk menyebut hasil yang dicapai dalam berbagai kegiatan, misalnya prestasi olahraga, prestasi seni, prestasi kerja, prestasi belajar, prestasi usaha, dan sebagainya.


(44)

Berdasarkan uraian di atas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar, yaitu penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu. Prestasi belajar sering dipergunakan dalam arti yang sangat luas, seperti prestasi belajar dalam ulangan harian, prestasi pekerjaan rumah, prestasi belajar tengah semester, prestasi akhir semester, dan sebagainya.

Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat prestasi belajar adalah dengan menggunakan tes. Tes prestasi dapat digunakan sebagai suatu tes diagnosis yang dirancang untuk membuktikan mengenai gambaran kelebihan dan kekurangan siswa.

Pada proses pembelajaran, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil dari pembelajaran yang meliputi penguasaan, perubahan emosional, dan perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes objektif maupun tes uraian. Dengan demikian, prestasi belajar Bahasa Lampung adalah prestasi belajar siswa pada tes ujian akhir semester atau pada Konpetensi Dasar pada mata pelajaran Bahasa Lampung.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar Bahasa Lampung merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari pelajaran Bahasa Lampung di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi tertentu.

Prestasi belajar memiliki beberapa kategori. Gagne (1992:5) mengklasifikasikannya menjadi lima kategori yakni: 1) Intellectual skill, 2) Cognitive strategies, 3) Verbal information, 4) Motor skill, dan 5) Attitudes.


(45)

1) Keterampilan intelektual.

Kemampuan ini merupakan keterampilan yang membuat seseorang secara cakap berinteraksi dengan lingkungan melalui penggunaan lambang-lambang. 2) Strategi kognitif.

Kemampuan yang mengatur cara bagaimana si belajar mengelola belajarnya. 3) Informasi verbal.

Kemampuan ini berupa perolehan label atau nama, fakta dan pengetahuan yang sudah tersusun rapi.

4) Keterampilan motorik.

Kemampuan yang mendasari pelaksanaan perbuatan jasmaniah secara mulus. 5) Sikap.

Kemampuan yang mempengaruhi pilihan tindakan yang akan diambil.

Lebih lanjut, Bloom dan kawan-kawan sebagai mana dikutip oleh Degeng dalam Hamalik (2004: 90) mengklasifikasikan prestasi belajar menjadi 3 (tiga) domain atau ranah, yaitu ”ranah kognitif, psikomotor, dan afektif” ranah kognitif, menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektual, ranah psikomotor berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau keterampilan motorik, dan ranah efektif berkaitan dengan pengembangan

perasaan, sikap, nilai, dan emosi”. Ketiga ketegori prestasi belajar itu mempunyai aspek masing-masing.

Kognitif, aspek-aspek dari domain ini terdiri dari: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Afektif, domain ini terdiri dari aspek-aspek penerimaan tanggapan, penilaian, pengorganisasian, dan pengarahan.


(46)

Psikomotorik, terdiri dari beberapa aspek: kemampuan gerak refleks, kemampuan gerak dasar, kemampuan perseptual, kemampuan fisik, kemampuan gerak terampil, dan kemampuan gerak komunikatif.

Dapat diasumsikan bahwa untuk menghasilkan kategori kapabilitas atau kelima ranah prestasi belajar tersebut sedikitnya banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor internal seperti pengetahuan prasyarat atau kemampuan awal dari masing-masing kategori hasil belajar yang dimiliki oleh siswa, yang berkaitan dengan kapabilitas atau keterampilan yang sedang dipelajari/ baru.

Gagne (1992:66) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pemngetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku. Belajar adalah suatu aktivitas yang melibatkan bukan hanya penguasaan kemampuan akademik baru saja, melainkan juga perkembangan emosional, interksi sosial dan perkembangan kepribadian. Menurut Gagne (1992:3) belajar adalah perubahan dalam diri manusia atau kemampuan yang berlangsung selama satu masa waktu yang tidak semata-mata disebabkan oleh perubahan pertumbuhan.

Jenis perubahan yang dimaksud dalam belajar ini meliputi perubahan tingkah laku setelah siswa mendapatkan berbagai pengalaman dalam proses pembelajaran. Pengalaman tersebut akan menyebabkan proses perubahan pada diri sibelajar, dengan kata lain bahwa proses belajar senantiasa merupakan perubahan tingkahlaku dan terjadi karena pengalaman.


(47)

Yang dimaksud prestasi belajar siswa dalam penelitian ini adalah prestasi yang ditunjukkan siswa setelah dilakukan pembelajaran, jika prestasi belajar mengalami peningkatan maka siswa dapat dinyatakan mencapai prestasi belajar atau mengalami peningkatan setelah mengalami belajar, jika tidak prestasi belajar tidak tercapai atau belum tuntas.

Memperhatikan pernyatan tersebut belajar merupakan upaya siswa untuk memahami materi ajar yaitu, menulis deskripsi bahasa Lampung sesuai dengan aturan penulisan atau kaidah bahasa, diharapkan siswa memiliki pengetahuan dan kemampuan dan dapat mengaplikasikan serta melaksanakan nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Dipahaminya suatu ilmu dalam proses pembelajaran akan tercermin melalui hasil evaluasi. Penggunaan pendekatan CTL, media dan alat belajar yang tepat dalam pembelajaran akan sangat membantu siswa belajar. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa penggunaan pendekatan, media dan alat dalam proses pembelajaran dapat mempertinggi hasil belajar, siswa dapat menjadi aktif belajar, berkolaborasi dan belajar dalam waktu yang telah ditentukan, pesan dapat disalurkan, dapat merangsang berpikir, perhatian, minat siswa, sehingga proses belajar berlangsung dengan baik. Pemahaman siswa terhadap materi mengarah pada tercapainya tujuan pembelajaran dan mencapai prestasi yang tinggi.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah berupa pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap sesuai tujuan atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dari indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang diharapkan diperoleh setelah melalui proses pembelajaran.


(48)

Pretasi belajar yang dimaksudkan peneliti adalah perolehan dari proses pembelajaran yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik mencapai lebih besar atau sama dengan KKM pelajaran bahasa Lampung, dari tujuan pembelajaran yang diturunkan dari indikator, kompetensi dasar dan standar kompetensi yang diperoleh siswa melalui interaksi dengan lingkungan belajar dan suatu kondisi pembelajaran materi menulis deskripsi yang dirancang guru sebagai fasilitator.

c. Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal

Standar nasional Pendidikan (Depdiknas, 2008: 5) menyatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah kriteria tertentu yang digunakan untuk menentukan kelulusan peserta didik. KKM ditentukan oleh kelompok guru mata pelajaran pada awal tahun pelajaran dan menjadi acuan bagi pendidik dan peserta didik. KKM setiap standar kompetensi merupakan rata-rata KKM kompetensi dasar. KKM setiap kompetensi dasar merupakan rata-rata KKM dari indikator yang terdapat dalam kompetensi dasar tersebut. Penentuan KKM didasarkan pada tiga unsur.

Pertama, Tingkat kompleksitas: Kesulitan/ kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai peserta didik. Suatu indikator dikatakan memliliki tingkat kompleksitas tinggi apabila dalam pencapaiannya didukuoleh sekurang-kurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai berikut:

1) Guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada peserta didik;


(49)

2) guru yang kreatif dan inovatif dengan metode pembelajaran yang bervariasi;

3) Guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan;

4) Peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi; 5) Peserta didik yang cakap/ terampil menerapkan monsep;

6) Peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/ pekerjaan;

7) Waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan pengulangan/ latihan;

8) Tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar.

Kedua, Kemampuan daya pendukung: meliputi a. Sarana dan prasarana peendidikan yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat/ bahan untuk proses pembelajaran; b. Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah dan kepedulian stakeholders sekolah.

Ketiga, Tingkat Kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang bersangkutan. Penetapan intake di kelas V dapat didasarkan pada nilai prestasi rata-rata siswa saat kenaikan kelas atau dikelas sebelumnya yaitu kelas IV.

KKM mulok Bahasa Lampung kelas V, sesuai yang telah ditetapkan dalam Kurikulum Sekolah atau KTSP SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung Tahun


(50)

Pelajaran 2009/2010 adalah 65. KKM ini akan dijadikan tolak ukur evaluasi keberhasilan siswa belajar, apakah siswa telah mencapai ketuntasan atau belum baik secara individual maupun secara klasikal.

B. Teori Belajar Bahasa dan Pembelajaran 1. Hakikat Belajar Bahasa

Dalam teori belajar konstruktivistik dikemukakan bahwa pembelajaran sebagai proses mengkonstruksi pengetahuan yang menghubungkan yang sudah ada dengan yang dipelajari. Seperti dijelaskan Paul Suparno dalam Sardiman (2006: 175), belajar merupakan proses aktif dari subyek belajar untuk mengkonstuksi makna sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahkan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah di miliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.

Guru sebagai pemrakarsa harus memberi peluang yang optimal bagi siswa. Niat dan kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa (Budiningsih, 2005: 59)). Sehingga guru tidak mentransfer pengetahuan yang dimiliki melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri. Menurut teori konstruktivisme prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan bahwa, guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat memberi kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siwa untuk menentukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa


(1)

Kekurangan yang masih terlihat pada tindakan siklus ini menurut penilaian guru sebagai mitra penelitian yaitu observer, peneliti masih agak mendominasi proses pembelajaran dan kurang mengarahkan anak pada kegiatan menyimpulkan materi pelajaran bersama-sama dengan siswa, hal ini disebabkan karena peneliti memberikan materi terbatas.

3) Analisis Terhadap Tindakan Siklus III

Pada tindakan ketiga menurut penilaian patner peneliti atau observer, peneliti kelihatan sudah terbiasa menerapkan pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa melalui peningkatan mutu proses pambelajaran. Saat menanggapi pertanyaan siswa peneliti tidak langsung menjawab, melainkan memberi kesempatan kepada siswa yang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini menunjukkan peneliti bertindak sebagai mediator dalam proses pembelajaran, bukan sebagai satu-satunya sumber yang harus menjawab semua pertanyaan siswa.

Pembiasaan ini merupakan sikap guru menghargai setiap pendapat, sehingga siswa akan termotivasi untuk komunikasi multi arah, juga pemberian penghargaan dengan nilai maupun kata-kata pujian telah diterapkan untuk membangkitkan siswa berpotensi. Hal ini didukung oleh Gagne dalam Dahar (1999: 78), bahwa penggunaan kata yang bisa memberikan motivasi siswa belajar perlu dikemukakan seperti bentuk penghargaan.

Nilai perolehan tes tertulis kelas V/a menunjukkan siswa yang tuntas berjumlah 28 orang (96,5%), karena terdapat 1 orang siswa yang tidah hadir. Sedangkan


(2)

0 20 40 60 80 100 120

Siklus I (IVa) Siklus I (IVb) Siklus II (IVa) Siklus II (IVb) Siklus III (IVa) Siklus III (IVb) Column 10 Column 11

pada kelas V/b siswa yang tuntas berjumlah 30 orang (96,7%), juga tidak hadir 1 orang, artinya tuntas secara klasikal, meningkat dari Siklus II atau pada Siklus III ini siswa tuntas klasikal.

Ketuntasan pembelajaran pada kelas V/a dari Siklus I ke Siklus II meningkat 24%, Siklus II ke Siklus III meningkat 24,5%, pada kelas V/ b, dari Siklus I ke Siklus II meningkat 16%, Siklus II ke Siklus III meningkat 22,7%.

Data tersebut di atas dapat digambarkan pada diagram berikut ini,

96,5% 96,7% 74% 72%

48% 58%

Gambar 4.8 Diagram Perbandingan Ketuntasan Siswa Kelas V/a dan V/b Siklus I s.d. Siklus III

Perbandingan perolehan nilai hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dapat dijelaskan dalam tabel berikut,


(3)

Tabel 4.14 Perbandingan Nilai Pengamatan Siklus I s.d. Siklus III

Kelas

Nilai Rata-rata (%)

Siklus I Siklus II Siklus III

V/ a

50

67 78

V/ b 58 66 80

Perbedaan 8 1 2

Berdasarkan tabel di atas perolehan nilai pengamatan terhadap aktivitas siswa dari siklus ke siklus meningkat, yaitu rata-rata nilai aktivitas siswa kelas V/a dari Siklus I ke Siklus II meningkat 17%, dari Siklus II ke Siklus III meningkat 11%. Sedangkan siswa kelas V/ b dari Siklus I ke Siklus II meningkat 8%, dari Siklus II ke Siklus III meningkat 14%.

Berdasarkan analisis di atas, secara umum pembelajaran menggunakan pendekatan CTL sangat efektif untuk meningkatkan hasil belajar. Pada pembelajaran Siklus I, 60% siswa mencapai ketuntasan individual atau belum mencapai ketuntasan klasikal, dan pada pembembelajaran Siklus II hampir seluruh siswa telah mencapai ketuntasan individual, berarti tuntas secara klasikal, sedangkan pembelajaran Siklus III juga mencapai ketuntasan secara klasikal atau sama dengan siklus ke dua, siswa mencapai ketuntasan tetap sama yaitu seluruh siswa mencapai ketuntasan secara klasikal dalam penguasaan konsep materi menulis deskripsi.


(4)

Dari analisis perbandingan ketiga siklus pembelajaran yang telah dilakukan peneliti menunjukkan peningkatan perolehan yang sangat tinggi. Dengan demikian, pembelajaran menulis deskripsi menggunakan pendekatan CTL sangat bermanfaat untuk meningkatkan prestasi belajar bahasa Lampung, terutama siswa yang tergolong berkemampuan sedang dan rendah atau lamban. Dalam hal ini guru telah merubah iklim belajar dan berperan sebagai fasilitator, membimbing siswa menemukan konsep, menyimpulkan materi bersama-sama, memberikan reward dan refleksi, telah menciptakan situasi belajar yang menyenangkan memanfaatkan lingkungan yang terdekat dengan siswa, hal ini dibuktikan dengan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Peningkatan prestasi menulis deskripsi berbahasa Lampung tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 4.15 Peningkatan Prestasi Menulis Deskripsi Berbahasa Lampung

No Kelas Siklus I Siklus II Siklus III

1 V/a 42% 24% 24,5%

2 V/b 36% 16% 22,7%

Data tabel di atas menunjukkan bahwa pada Siklus I kelas V/a mengalami peningkatan 42% dan kelas V/b mengalami peningkatan 36% dibandingkan hasil tes awal pembelajaran. Siklus II kelas V/a mengalami peningkatan 24% dan kelas V-b mengalami peningkatan 16% dibandingkan hasil Siklus II. Pada Siklus III kelas V/a mengalami peningkatan 24,5% dan kelas V/b mengalami peningkatan 22,7% dibandingkan hasil tes awal pembelajaran .


(5)

Aktivitas belajar merupakan seluruh kegiatan siswa baik kegiatan jasmani maupun rohani yang mendukung keberhasilan belajar. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh siswa diharapkan siswa akan semakin memahami dan menguasai materi pelajaran. Peneliti berhasil mencapai tujuan pembelajaran bahasa Lampung materi menulis deskripsi menngunakan pendekatan CTL, pembelajaran ini dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa belajar, melalui peningkatkan mutu pembelajaran, memanfaatkan lingkungan yang terdekat dengan siswa sebagai sumber dan media belajar, dan menuju pencapaian ketuntasan belajar secara klasikal.

Secara umum pendekatan CTL sangat efektif sebagai cara meningkatkan aktivitas belajar siswa, memudahkan dan ketuntasan belajar dapat tercapai. Proses terpenting yang menjadikan pembelajaran ini berhasil adalah peran guru dalam memilih pendekatan, sumber belajar, media belajar yang tepat, motivasi kegairahan dan antusiasme siswa mengikuti pembelajaran, memotivasi bertanya, melakukan presentasi. Jika dilihat dari permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini termasuk kawasan teknologi pendidikan dalam bidang pengelolaan, dan memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sumber dan media belajar.

E. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut.

1. Waktu yang digunakan oleh peneliti dalam mengamati pembelajaran menulis deskripsi berbahasa Lampung dengan pendekatan CTL pada SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung kurang maksimal karena keterbatasan waktu peneliti.


(6)

2. Ada hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas siswa yang tidak terekam oleh guru peneliti maupun guru kolaborator. Hal ini bisa disebabkan guru peneliti lebih fokus pada pengendalian pembelajaran sehingga ada hal-hal yang tidak tercatat oleh guru peneliti dan tidak tercatat pula oleh guru kolabotator.

3. Terdapat faktor-faktor lain yang tidak dibahas oleh penelitian ini yang berkaitan dengan peningkatan prestasi menulis deskripsi berbahasa Lampung dengan pendekatan CTL pada SDN 1 Sukarame Dua Bandar Lampung.