M. paratuberkulosis sampai saat ini belum pernah dilaporkan, sehingga data untuk
menentukan status infeksi paratuberkulois pada sapi perah belum lengkap. Karena itu , Indonesia masih dianggap bebas dari penyakit ini.
1.2 Etiologi dan Ekologi
Paratuberkulosis atau Johne’s Disease merupakan penyakit infeksius yang terutama dapat menyerang hewan ruminansia baik domestik maupun liar dengan
manifestasi klinis berupa enteritis granuloma kronik, terutama pada ileum dan sekum. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri M. paratuberculosis Harris Barletta 2001;
Quinn et al. 2006. M. paratuberculosis
termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae dan selanjutnya dikelompokkan dalam kelompok Mycobacterium avium complex, dimana
anggota dari jenis ini adalah M. avium, M. paratuberculosis dan M. silvicatum Harris Barletta 2001; Collins 2003. M. paratuberculosis dapat ditemukan di alam,
merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0,2 – 0,7 x 1,0 – 2 µm, non motil, merupakan bakteri tahan asam, suhu pertumbuhannya antara
25 – 43
o
C dan optimal pada 39
o
C Griffiths 2003; Quinn et al. 2006, waktu tumbuhnya 4 – 24 minggu Yokomizo 1997; OIE 2004; Quinn et al. 2006 dan mampu
tumbuh pada konsentrasi garam kurang dari 5 pada pH 5,5 Griffiths 2003. Bakteri ini sangat tergantung dengan senyawa mycobactin untuk pertumbuhannya secara in
vitro , karena M. paratuberculosis tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesis
senyawa ini dalam jumlah yang cukup. Mycobactin
merupakan senyawa yang dihasilkan oleh Mycobacteriaceae terutama Mycobacterium phlei yang mempunyai fungsi sebagai pengikat dan atau untuk
transpor besi ke dalam sel. Zat besi sangat diperlukan dalam metabolisme bakteri ini dan pemenuhan zat ini diperoleh dari lingkungannya. Masuknya zat besi ke dalam sel
membutuhkan senyawa pengikat besi iron-binding compound yang diproduksi oleh bakteri itu sendiri atau oleh bakteri lainnya. Ketidakmampuan M. paratuberculosis
untuk mensintesis mycobactin dalam jumlah yang cukup, menyebabkan bakteri ini sangat tergantung dengan senyawa ini dalam pertumbuhannya secara in vitro. Hal ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk membedakan M. paratuberculosis dengan bakteri dari golongan Mycobacteriaceae lainnya Collins Manning 2004.
Gambar 1. Struktur Mycobatin Bentuk, ukuran dan tekstur koloni M. paratuberculosis sangat tergantung pada
media yang digunakan untuk pertumbuhannya secara in vitro. Pada Herrold Egg Yolk Medium Agar
HEYM dengan mycobactin J, koloni bakteri ini kecil, permukaan halus sampai dengan agak kasar dan berwarna agak putih sampai dengan kuning. Koloni yang
berwarna kuning dilaporkan merupakan galur M. paratuberculosis yang ditemukan pada domba. Pada media Middlebrook Agar tanpa tween 80, bentuk koloni sangat kasar
di permukaannya dan mirip dengan bentuk koloni M. tuberculosis, sedangkan pada media tersebut di atas yang ditambah dengan tween 80, koloni akan berkembang dan
mempunyai bentuk halus dan cembung mirip dengan koloni M. avium Yokomizo 1997; Collins Manning 2004
M. paratuberculosis bukan merupakan bakteri yang dapat tumbuh dan
berkembang di lingkungan free-living, hal ini karena bakteri ini tidak mempunyai kemampuan menghasilkan mycobactin yang cukup untuk pertumbuhannya.
Mikroorganisme ini hanya dapat tumbuh dan bermultiplikasi di dalam sel, tempat bakteri ini dapat mengambil zat besi dari sel inang makrofag, sehingga bakteri ini
dikatagorikan sebagai obligat patogen Harris Barletta
2001; Collins Manning 2004. M. paratuberculosis dapat bertahan hidup di air, feses, tanah
dan lumpur kandang dalam waktu yang relatif lama ± 250 hari, tergantung dari kondisi lingkungannya tersebut Whittington et al. 2004; Whan et al. 2005;
Grewal et al. 2006. Kemampuan hidup bakteri ini akan lebih pendek jika kondisinya
kering suhu tinggi, terkena sinar matahari secara langsung, pH tinggi dan rendahnya kadar zat besi Collins Manning 2004.
Bakteri tersebut diatas dapat menginfeksi hewan ruminansia baik domestik maupun liar, antara lain : sapi, kambing, domba, rusa, unta, antelope dan bison.
Paratuberkulosis juga dapat ditemukan pada hewan nonruminansia kuda, babi, ayam, kelinci, srigala, primata dan juga manusia Whittington et al. 2000;
Buergelt et al. 2000; Harris Barletta 2001.
1.3 Patogenesis