Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan
Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011
Provinsi Komposisi
DAU Pertumbuhan
PDRB Riil
1
Indeks Gini
Perubahan HCI
poin Distribusi
Penduduk Miskin Pertanian
PROVINSI PERTANIAN 1 NAD
43.1 -2.7
0.29 -1.7
59.3 2 Sumut
58.0 6.9
0.32 -0.7
53.8 3 Sumbar
64.8 5.5
0.32 -0.7
60.5 4 Jambi
51.3 11.1
0.30 -0.5
51.8 5 Lampung
60.4 12.5
0.36 -1.2
63.1 6 NTB
64.9 3.7
0.36 -1.5
53.3 7 NTT
70.3 4.0
0.36 -1.6
79.9 8 Kalbar
66.6 4.0
0.33 -1.3
63.4 9 Kalteng
66.5 7.8
0.29 -0.9
70.2 10 Kalsel
47.7 6.5
0.35 -0.6
50.0 11 Sulteng
68.6 9.9
0.34 -1.6
67.9 12 Sulsel
58.8 9.9
0.38 -0.9
60.8
Rata-rata 60.1
6.6 0.33
-1.1 61.2
PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau
14.4 12.4
0.33 -0.7
53.8 14 Sumsel
41.2 6.8
0.32 -1.4
57.7 15 Kepri
24.6 4.5
0.31 -1.0
23.1 16 Jabar
47.5 6.0
0.36 -0.8
38.2 17 Jateng
58.3 6.0
0.33 -1.3
51.0 18 DIY
57.1 4.9
0.39 -0.6
49.0 19 Jatim
52.8 6.7
0.34 -1.4
57.3 20 Banten
41.2 4.7
0.37 -0.7
42.0 21 Bali
46.0 7.1
0.35 -0.6
50.6 22 Kaltim
10.6 6.8
0.35 -0.9
50.1 23 Sulut
64.5 7.8
0.35 -0.6
54.0
Rata-rata 41.7
6.7 0.34
-0.9 47.9
Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan:
1
Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun 2006-2011 menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi
terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan
keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1 memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6 per tahun. NTT dengan komposisi
DAU paling besar yaitu 70.3 memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah
yaitu rata-rat 41.7 memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7 per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang
lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan
pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar
Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100
6.7 per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian
rata-rata 6.6 per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index
rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.Terciptanya
pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan
kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.
6. HASIL ESTIMASI MODEL
Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik
yang memenuhi kriteria ekonomi dan kriteria statistik yaitu tanda dari koefisien- koerfisien parameter sesuai teori ekonomi theoretically meaningful, koefisien
determinasi R
2
Tabel 24 Keragaan Umum Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral cukup besar goodness of fit, serta hasil uji-uji F dan uji-uji t
signifikan secara statistik statistically significant. Namun, karena model tersebut adalah model dinamis dengan variabel lag endogen pada beberapa persamaan
struktural maka untuk menghindari perbedaan unit observasi antara current data dan lag data yang mungkin terjadi pada pemrograman data panel menggunakan
software
SASETS 9.1.3, data tahun 2005 hanya digunakan sebagai lag data tahun 2006 sedangkan data tahun 2006-2011 digunakan sebagai current data dan lag
d ata. Program dan hasil estimasi selengkapnya disajikan pada lampiran 4 dan 5.
Daerah Tahun 2006-2011
No Variabel Endogen
Keterangan Variabel R
F-value
2
Prob F-value
1 PJK Pajak daerah
0.98 1 321
0.0001 2 BHSPJK
Bagi hasil pajak 0.82
201 0.0001
3 DAU Dana alokasi umum
0.98 1 393
0.0001 4 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 0.87
215 0.0001
5 GIND Belanja perindustrian
0.82 209
0.0001 6 GDG
Belanja perdagangan 0.70
103 0.0001
7 GIFR Belanja infrastruktur
0.89 346
0.0001 8 GLN
Belanja lainnya 0.99
5 503 0.0001
9 ASP Panjang jalan aspal
0.75 137
0.0001 10 PDRBPGNKBNTNK
PDRB pangan, kebun, ternak 0.92
530 0.0001
11 PDRBMKN PDRB makanan jadi
0.64 121
0.0001 12 PDRBDG
PDRB perdagangan 0.88
342 0.0001
13 TKTANI Tenaga kerja pertanian
0.90 403
0.0001 14 TKIND
Tenaga kerja industri 0.90
409 0.0001
15 TKDG Tenaga kerja perdagangan
0.87 305
0.0001 16 UPHTANI
Upah pertanian 0.82
308 0.0001
17 UPHIND Upah industri
0.75 200
0.0001 18 UPHDG
Upah perdagangan 0.64
118 0.0001
19 EXPTANI Konsumsi perkapita pertanian
0.62 109
0.0001 20 EXPIND
Konsumsi perkapita industri 0.48
63 0.0001
21 EXPDG Konsumsi perkapita perdagangan
0.35 37
0.0001 22 GINI
Indeks Gini 0.47
29 0.0001
23 POVTANIP0 Headcount index
pertanian 0.69
101 0.0001
24 POVINDP0 Headcount index
industri 0.31
20 0.0001
25 POVDGP0 Headcount index
perdagangan 0.34
23 0.0001
26 POVTANIP1 Poverty gap index
pertanian 0.62
71 0.0001
27 POVTANIP2 Poverty severity index
pertanian 0.58
60 0.0001
28 POVP0 Total headcount index
0.77 146
0.0001
Tabel 24 menunjukkan mayoritas R
2
cukup besar 0.60 yang artinya telah memenuhi syarat kecocokan model goodness of fit. Nilai R
2
yang kecil terdapat pada beberapa persamaan blok kemiskinan kecuali kemiskinan sektor pertanian.
R
2
Blok Fiskal
yang rendah pada estimasi indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga 2006 di Indonesia, Fan, et al.
2006 di Mesir, dan Daniels 2011 di Uganda. Namun demikian, seluruh hasil uji F menunjukkan signifikan secara statistik. Artinya, seluruh variabel penjelas di
seluruh persamaan struktural secara bersama-sama mempengaruhi masing-masing variabel endogennya secara signifikan.
Pajak Daerah
Tabel 25 Hasil Estimasi Pajak Daerah
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Intercept
-94933.9
a
-2.36 0.0198
PDRBKAP 3.06025
b
2.20 0.0296
0.04 0.26
PDRB per kapita PM
0.042283
a
6.01 .0001
0.11 0.77
Penanaman Modal MTR
99.61593
a
4.80 .0001
0.16 1.08
Kendaraan bermotor PJKL
0.851747
a
17.20 .0001
PJK R
t-1
0.98
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Tabel 25 menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah sebagai sumber utama kapasitas fiskal dipengaruhi PDRB per kapita yang mencerminkan potensi
ekonomi atau tingkat kemakmuran penduduk. Koefisien parameter sebesar 3.06 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah
akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 3.06 juta rupiah. Namun, koefisien elastisitas yang kecil yaitu 0.04 menunjukkan rendahnya responsibilitas
pajak daerah terhadap perubahan PDRB per kapita. Artinya, PDRB per kapita yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan penerimaan pajak daerah,
begitu juga PDRB per kapita yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan pajak daerah. Di sisi lain, hal ini dapat mengindikasikan bahwa masih
cukup peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dari objek-objek pajak individual dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Faktor lainnya adalah penanaman modal bahkan hubungannya lebih elastis dibandingkan PDRB per kapita. Artinya, berkembangnya dunia usaha memberi
potensi bagi pemerintah daerah untuk mendorong penerimaan pajak daerah. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor juga mempengaruhi penerimaan pajak
daerah bahkan hubungannya paling elasatis dibandingkan dua faktor sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena data agregat penerimaan pajak daerah didominasi oleh
pajak-pajak provinsi yang mayoritas bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor,
dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Tingginya komposisi pajak provinsi ditunjukkan oleh penerimaan pajak daerah tahun 2011 dimana rata-rata 77 dari
total penerimaan pajak daerah agregat pajak provinsi dan pajak kabupatenkota merupakan pajak provinsi berkisar antara 46 di Kepulauan Riau dan 87 di
Kalimantan Selatan. Namun demikian, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
berdampak buruk pada lingkungan dan menambah beban negara menyediakan subsidi BBM. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi pajak daerah disimpulkan
bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dan investasi swasta yang lebih besar.
Bagi Hasil Pajak
Tabel 26 Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Intercept
77276.63
d
1.22 0.2250
PDRBNONTANI 0.004145
a
7.07 .0001
0.44 0.65
PDRB non tani WLYH
3.330978
a
3.81 0.0002
0.18 0.26
Luas wilayah BHSPJKL
0.314815
a
3.63 0.0004
BHSPJK R
t-1
0.82
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah bagi hasil pajak. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak adalah sumber penerimaan daerah yang
merupakan bagi hasil atas penerimaan pajak negara dari wilayah pemerintahan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan BPHTB, Pajak Penghasilan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri WPOPDN dan PPh Pasal 21. Hasil estimasi
pada Tabel 26 menunjukkan bagi hasil pajak secara signifikan dipengaruhi PDRB non-pertanian yang mencerminkan sumber penerimaan PPh orang pribadi dimana
sebagian besar bekerja di sektor-sektor non-pertanian. PPh orang pribadi adalah bagian dari PPh non-migas yang merupakan sumber penerimaan pajak dalam
negeri terbesar di Indonesia. Data realisasi penerimaan pajak negara tahun 2011 menunjukkan 68 PPh non-migas bersumber dari sektor industri pengolahan,
sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi 4. Sementara itu,
21 penerimaan PPh Non-migas merupakan tiga jenis PPh yang dibagi hasilkan. Dengan demikian, pembangunan sektor-sektor non-pertanian di daerah berpotnsi
meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak khususnya yang bersumber dari PPh. Di sisi lain, peningkatan bagi hasil pajak dari PPh dapat juga dilakukan oleh
pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagian PPh tersebut. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 daerah hanya menerima 20 dari
total PPh di seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan proporsi 8 untuk provinsi dan 12 untuk kabupatenkota.
Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak adalah luas wilayah yang mencerminkan sumber penerimaan PBB dan BPHTB. Namun,
hubungan bagi hasil pajak dengan PDRB non-pertanian lebih elastis dibandingkan hubungannya dengan luas wilayah yang berarti penerimaan bagi hasil pajak lebih
bergantung pada pajak-pajak penghasilan dari pada pajak-pajak properti. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kontribusi PBB pada penerimaan pajak dalam
negeri. Pada tahun 2011 komposisi PBB pada total penerimaan pajak dalam negeri hanya 4. Selain itu, sejak tahun 2011 BPHTB telah dialihkan seluruhnya
ke daerah menjadi sumber penerimaan pajak daerah sehingga tidak lagi menjadi sumber penerimaan pajak dalam negeri.
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi bagi hasil pajak disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak khususnya dari sumber
bagi hasil PPh diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian antar alain sektor industri dan perdagangan. Namun, upaya lain dapat dilakukan pemerintah
pusat dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dengan merrevisi UU No. 33 tahun 2004.
Dana Alokasi Umum
Selain kapasitas fiskal, pendapatan fiskal daerah juga bersumber dari dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum DAU. Fakta menunjukkan bahwa
lebih dari setengah total pendapatan daerah berasal dari DAU. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal yang mengutamakan
sisi pengeluaran dengan mengalihkan tugas-tugas pengeluaran daerah secara penuh dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, ketergantungan
pada DAU dapat memperburuk kinerja fiskal daerah. Menurut teori federalisme fiskal, transfer yang besar menimbulkan disinsentif atau halangan bagi pemerintah
daerah dalam meningkatkan penerimaannya Oates, 1972. Jika dikaitkan DAU sebagai komponen dana perimbangan yang paling penting maka ketergantungan
keuangan daerah pada DAU akan menghalangi kemampuan daerah meningkatkan penerimaannya dari sumber-sumber keuangan lokal.
Tabel 27 Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Intercept
179927.2
c
1.44 0.1532
PDRBL -0.0072
a
-6.10 .0001
-0.16 -0.28
PDRB POP
t-1
107.6154
a
4.26 .0001
0.17 0.29
Jumlah penduduk WLYH
6.338917
a
4.45 .0001
0.06 0.11
Luas wilayah PNS
18.81129
a
6.27 .0001
0.50 0.87
Jumlah PNS DAUL
0.431706
a
6.51 .0001
DAU R
t-1
0.98
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan DAU dipengaruhi faktor-faktor kebutuhan daerah sesuai formula alokasi DAU yaitu PDRB tahun sebelumnya
lag PDRB, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Hubungan DAU dan lag PDRB yang negatif menunjukkan bahwa daerah akan menerima DAU lebih rendah jika
PDRB tahun sebelumnya lebih besar. Hal ini berarti kenaikan PDRB merupakan faktor penting untuk mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Sementara,
faktor-faktor yang meningkatkan DAU adalah jumlah penduduk dan luas wilayah.
Sesuai formula alokasinya, DAU juga ditentukan oleh alokasi dasar sebagai cerminan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah yang diproksi
dari jumlah PNS daerah. Hubungan yang positif mengindikasikan pembiayaan struktur pemerintahan daerah yang lebih luas akan dijamin oleh pemerintah pusat
melalui DAU. Namun, perluasan struktur pemerintahan daerah tidak menjamin peningkatan layanan masyarakat. Selain itu, koefisien elastisitasnya paling besar
yaitu 0.5 yang berarti kenaikan kenaikan jumlah PNS 10 akan menambah DAU 5. Artinya, setengah dari tambahan DAU digunakan untuk membayar gaji PNS.
Temuan ini sesuai hasil penelitian World Bank 2007 dimana lebih dari setengah
kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Peran DAU
yang besar pada alokasi dasar mengindikasikan DAU lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada
kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah.
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi DAU disimpulkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU diperlukan
PDRB yang lebih besar dan perampingan struktur pemerintahan di daerah.
Belanja Sektoral
Tabel 28 Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Belanja Pertanian GPGNKBNTNK
Intercept 36039.57
a
3.27 0.0014
KAPFIS 0.007570
a
3.65 0.0004
0.11 0.25
Kapasitas fiskal DAU
0.008443
a
2.90 0.0043
0.17 0.37
DAU DAK
0.046851
d
1.23 0.2191
0.10 0.21
Dana alokasi khusus GPGNKBNTNKL
0.542576
a
7.55 .0001
GPGNKBNTNK R
t-1
0.87
2
Belanja Perindustrian GIND Intercept
-4952.5
b
-1.86 0.0651
KAPFIS 0.000730
b
1.83 0.0698
0.09 0.35
Kapasitas fiskal DAU
0.002365
a
5.13 .0001
0.37 1.49
DAU GINDL
0.749475
a
13.26 .0001
GIND R
t-1
0.82
2
Belanja Perdagangan GDG Intercept
-1818.01 -0.49
0.6220 KAPFIS
0.002214
a
3.64 0.0004
0.22 0.44
Kapasitas fiskal DAU
0.002753
a
4.73 .0001
0.36 0.73
DAU GDGL
0.504975
a
7.19 .0001
GDG R
t-1
0.70
2
Belanja Infrastruktur GIFR Intercept
256753.3
a
3.97 0.0001
KAPFIS 0.082805
a
5.66 .0001
0.21 0.56
Kapasitas fiskal DAU
0.017387
b
2.08 0.0390
0.06 0.16
DAU GIFRL
0.625046
a
10.82 .0001
GIFR R
t-1
0.89
2
Belanja Lainnya GLN Intercept
-162696 -1.59
0.1148 KAPFIS
0.162246
a
4.89 .0001
0.08 0.44
Kapasitas fiskal DAU
0.302331
a
6.96 .0001
0.19 1.07
DAU GLNL
0.826398
a
20.56 .0001
GLN R
t-1
0.99
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Klasifikasi belanja daerah pada penelitian ini terdiri dari belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja
lainnya. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan pengeluaran pemerintah daerah sektoral dan kinerja perekonomian sektoral. Besar kecilnya
pengeluaran pemerintah tergantung pada penerimaanya. Oleh karena itu, kelima jenis belanja daerah ini diduga dipengaruhi oleh dua sumber utama penerimaan
daerah yaitu kapasitas fiskal dan DAU. Di sisi lain, penggunaan DAU sebagai variabel penjelas dapat memberi informasi ada tidaknya fenomena flypaper effect
pada DAU terhadap alokasinya untuk kelima jenis belanja daerah tersebut. Selain itu, dapat diketahui juga informasi ada tidaknya upaya pemerintah daerah untuk
mencapai pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan pengeluaran daerah. Hasil estimasi pada Tabel 28 menunjukkan kelima jenis belanja daerah dipengaruhi oleh
kapasitas fiskal dan DAU. Namun, perubahan belanja-belanja daerah lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal kecuali belanja infrastruktur.
Artinya, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU karena pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membiayai sebagian besar belanja
daerahnya sementara perubahan kapasitas fiskal kurang direspon. Koefisien DAU yang lebih besar dari koefisien kapasitas fiskal pada estimasi belanja perindustrian
dan belanja perdagangan mengindikasikan pemerintah daerah tidak menggunakan DAU untuk strategi pertumbuhan pro-poor yaitu pembangunan pertanian dan
pembangunan infrastruktur sebagaimana rekomedasi studi-studi terdahulu seperti Balisacan, et al. 2003 dan OECD 2006 dan 2009.
Sementara itu, hasil estimasi belanja pertanian dan belanja infrastruktur menunjukkan koefisien parameter kapasitas fiskal cukup besar. Hal ini
mengindikasikan kapasitas fiskal lebih diandalkan dalam strategi pertumbuhan pro-poor di daerah dari pada DAU. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal lebih
efektif untuk mencapai pertumbuhan pro-poor dari pada DAU. Namun, fakta menunjukkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah
bahkan cenderung berkurang.
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi belanja-belanja sektoral disimpulkan bahwa ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasi belanja-
belanja sektoral yang tidak berdampak besar bagi pertumbuhan pro-poor. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui pembangunan pertanian dan
infrastruktur daerah dibutuhkan kapasitas fiskal yang besar dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak.
Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal
Infrastruktur jalan merupakan faktor penting dalam perekonomian daeerah karena berfungsi sebagai sarana untuk memperluas akses ke pasar input dan pasar
output. Oleh karena ituk, pembangunan infrastruktur jalan aspal juga merupakan fokus pembangunan nasional yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI 2011-2025. Hal ini berawal dari fakta rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia pada umumnya sehingga
menjadi kendala utama dalam melakukan berbagai kegiatan usaha. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jalan aspal. Hasil
estimasi pada Tabel 29 menunjukkan panjang jalan aspal dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, penanaman modal, dan jumlah kendaraan bermotor. Koefisien
parameter belanja infrastruktur sebesar 0.00063 menunjukkan kenaikan belanja infrastruktur satu miliar rupiah hanya mampu menambah jalan aspal 0.63 km. Hal
ini dapat terjadi karena belanja infrastruktur digunakan juga untuk pembangunan
infrastruktur lain seperti irigasi dan sarana air bersih. Akan tetapi, hasil penelitian KPPOD di 41 kabupatenkota tahun 2007-2010 menemukan anggaran belanja
infrastruktur hanya 11-13. Bahkan meningkatnya belanja infrastruktur tidak meningkatkan kualitas infrastruktur khususnya jalan yang diduga disebabkan oleh
korupsi pelaksanaan proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrasttruktur.
Tabel 29 Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan Intercept
2489.701
a
4.16 .0001
GIFR 0.000634
b
1.82 0.0706
0.11 Belanja infrastruktur
PM 0.000148
b
2.52 0.0130
0.06 Penanaman modal
MTR 2.470515
a
15.15 .0001
0.58 Kendaraan bermotor
R 0.75
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Selain itu, penanaman modal juga berpengaruh positif meskipun kurang elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan
peran swasta mengingat kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur dari belanja pemerintah daerah relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil
estimasi belanja sektoral, rendahnya belanja infrastruktur karena belanja tersebut lebih bergantung pada kapasitas fiskal sementara komposisi kapasitas fiskal di
daerah rendah.
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi panjang jalan aspal disimpulkan untuk membangun infrastruktur jalan aspal diperlukan belanja infrastruktur dan
investasi swasta yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana belanja infrastruktur sangat bergantung pada kapasitas fiskal, maka kunci
keberhasilan pembangunan infrastruktur jalan aspal adalah kapasitas fiskal.
PDRB Sektoral
Kinerja perekonomian daerah dapat dicerminkan dari PDRB sektoral. Hasil estimasi pada Tabel 30 menunjukkan PDRB sektoral dipengaruhi belanja sektoral,
tenaga kerja sektoral, dan panjang jalan aspal. Perubahan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan PDRB perdagangan lebih elastis terhadap perubahan
tenaga kerja sektoral dari pada perubahan belanja sektoral. Hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut lebih bersifat padat karya labor intensive. Sebaliknya,
perubahan PDRB industri makanan lebih elastis terhadap perubahan belanja perindustrian dari pada tenaga kerja industri. Hal ini menunjukkan sektor tersebut
lebih bersifat padat modal capital intensive. Faktor lain yang mempengaruhi PDRB sektoral adalah panjang jalan aspal yang mencerminkan perannya sebagai
sarana memperluas akses ke pasar output terutama pertanian dan perdagangan melalui jalur yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Koefisien parameter
panjang jalan aspal pada PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebesar 930 dan PDRB perdagangan sebesar 1656 memberi arti penambahan jalan
aspal sepanjang 1 km akan meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan sebesar 930 juta rupiah dan PDRB perdagangan 1.66 miliar rupiah.
Tabel 30 Hasial Estimasi PDRB Sektoral
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan PDRBPGNKBNTNK
Intercept -6374729
a
-5.34 .0001
GPGNKBNTNK 24.73811
a
4.40 .0001
0.38 Belanja pertanian
TKTANI 5711.454
a
6.67 .0001
0.48 Tenaga kerja pertanian
ASP 930.0316
a
3.82 0.0002
0.47 Panjang jalan aspal
R 0.92
2
PDRB industri makanan jadi PDRBMKN Intercept
-2494254
b
-1.74 0.0840
GIND 195.8402
a
5.48 .0001
0.69 Belanja perindustrian
TKIND 11064.96
a
6.74 .0001
0.55 Tenaga kerja industri
R 0.64
2
PDRB perdagangan PDRBDG Intercept
-1.47E+07
a
-4.83 .0001
GDGKAP 556479.4
a
2.63 0.0097
0.16 Belanja perdagangan
TKDG 24205.45
a
11.89 .0001
0.78 Tenaga kerja perdag
ASP 1655.791
a
5.13 .0001
0.63 Panjang jalan aspal
R 0.88
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi PDRB sektoral dapat disimpulkan untuk mendorong perekonomian daerah maka diperlukan pengeluaran pemerintah
sektoral yang lebih besar terutama di sektor industri serta jumlah tenaga kerja yang lebih besar terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu,
infrastruktur jalan aspal juga dibutuhkan terutama untuk sektor pertanian dan perdagangan. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi belanja-belanja sektoral, maka
kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk mendorong perekonomian daerah mengingat perannya yang besar dalam pada belanja-belanja sektoral khususnya
belanja pertanian dan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan pro-poor.
Tenaga Kerja Sektoral
Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Hasil estimasi menunjukkan jumlah tenaga kerja pertanian
dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan panjang jalan aspal. Hubungannya dengan panjang jalan aspal lebih elastis dari pada PDRB pertanian dengan koefisien
parameter sebesar 0.14 yang berarti pertambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan menyerap tambahan tenaga kerja pertanian sebanyak 140 orang. Hal ini
menunjukkan pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting bagi ekonomi pedesaan yang didominasi sektor pertanian melalui penyerapan tenaga kerja
pertanian. Hubungan tenaga kerja pertanian dan infrastruktur jalan aspal yang lebih elastis dibandingkan tenaga kerja industri dan tenaga kerja perdagangan juga
menjadi indikasi bahwa kondisi infrastruktur di wilayah pertanian yang mayoritas berada di pedesaan lebih buruk dibandingkan wilayah industri dan perdagangan di
perkotaan sehingga sangat berperan menyerap tenaga kerja pertanian. Sementara itu, upah riil sektoral yang lebih besar menurunkan jumlah tenaga kerja terutama
di sektor industri. Perubahan jumlah tenaga kerja industri sangat elastis terhadap perubahan upah riil industri dimana kenaikan upah riil 10 akan menurunkan
jumlah tenaga kerja industri 11.4. Hal ini mengindikasikan kenaikan upah riil akan mendorong pengusaha sektor industri untuk mengurangi input tenaga kerja
dan mengalihkan kenaikan upah riil untuk menambah modal. Dengan perkataan lain, faktor modal dan tenaga kerja di sektor industri bersifat kompetitif.
Tabel 31 Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan Tenaga Kerja Pertanian TKTANI
Intercept 278.318
d
1.18 0.2404
PDRBTANI 0.000028
a
4.87 .0001
0.41 PDRB pertanian
UPHTANI -1.10432
a
-3.84 0.0002
-0.41 Upah pertanian
ASP 0.138568
a
6.90 .0001
0.83 Panjang jalan aspal
R 0.90
2
Tenaga Kerja Industri TKIND Intercept
507.7032
a
4.61 .0001
PDRBIND 0.000013
a
18.83 .0001
0.95 PDRB industri
UPHIND -0.68291
a
-7.15 .0001
-1.14 Upah industri
ASP 0.010769
b
1.84 0.0678
0.20 Panjang jalan aspal
R 0.90
2
Tenaga Kerja perdagangan TKDG Intercept
360.2438
d
1.22 0.2231
PDRBDG 0.000023
a
10.79 .0001
0.71 PDRB perdagangan
UPHDG -0.41858
c
-1.41 0.1606
-0.41 Upah perdagangan
ASP 0.021856
b
1.76 0.0807
0.26 Panjang jalan aspal
R 0.87
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi tenaga kerja sektoral disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor pertanian
dan perdagangan yang lebih bersifat labor intensive diperlukan infrastruktur jalan aspal yang lebih memadai. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya
dimana pembangunan infrastruktur jalan aspal memerlukan belanja infrastruktur yang memadai yang bergantung pada kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal
menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektoral terutama tenaga kerja pertanian.
Upah Riil Sektoral
Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya. Oleh karena itu,
penelitian ini menggunakan upah riil sebagai proksi pendapatan penduduk untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis fluktuasi tingkat
upah akan mempengaruhi kemiskinan. Indikator upah riil juga digunakan untuk menganalisis siklus bisnis business cycles apabila dianalisis bersama variabel-
variabel ekonomi lain seperti jumlah tenaga kerja dan output Malik dan Ahmed, 2000. Hasil estimasi pada Tabel 32 menunjukkan upah riil pertanian, industri,
dan perdagangan dipengaruhi secara psitif oleh PDRB per kapita sektoral. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed 2000 yaitu ada hubungan positif
output dan upah riil di Pakistan baik total maupun sektoral. Artinya, hubungan pertumbuhan ekonomi dan upah riil bersifat pro-cyclical.
Tabel 32 Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Upah Pertanian UPHTANI
Intercept 63.05079
a
2.70 0.0079
PDRBTANIKAP 0.009624
c
1.63 0.1052 0.05 0.36 PDRB tani perkap
UPHTANIL 0.860639
a
20.23 .0001
UPHTANI R
t-1
0.82
2
Upah Industri UPHIND Intercept
464.3901
a
8.19 .0001
PDRBINDKAP 0.032354
a
6.30 .0001 0.15 0.22 PDRB industri perkap
UPHINDL 0.313735
a
3.79 0.0002
UPHIND R
t-1
0.75
2
Upah Perdagangan UPHDG Intercept
247.4232
a
5.32 .0001
PDRBDGKAP 0.026432
a
3.49 0.0006 0.09 0.23 PDRB perdag perkap
UPHDGL 0.622585
a
9.00 .0001
UPHDG R
t-1
0.64
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi upah riil sektoral dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan upah riil diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal adalah faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah melalui perannya
pada pengeluaran pemerintah dan pembangunan infrastruktur jalan maka hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal berperan penting dalam meningkatkan upah
riil sektoral.
Pengeluaran per Kapita Sektoral
Sebagi proksi tingkat pendapatan, upah riil dapat menggambarkan daya beli penduduk melalui ukuran pengeluaran per kapita. Oleh karena itu, perlu diketahui
bagaimana peran upah riil sektoral dalam meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Tabel 33 menunjukkan upah riil sektoral berpengaruh pada pengeluaran
per kapita masing-masing sektor. Koefisien parameter yang positif memberi arti meningkatnya upah riil sektoral akan meningkatkan pengeluaran per kapita di
setiap sektor. Namun, hubungan upah riil pertanian kurang elastis dibandingkan upah riil industri dan upah riil perdagangan. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa
rumahtangga pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada sektor. Di sisi lain, hal itu juga dapat mengindikasikan rendahnya pendapatan petani dari sektor pertanian
sehingga dibutuhkan pekerjaan tambahan dari sektor lain atau bantuan keuangan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya dari peorangan atau pemerintah
yang biasanya dalam bentuk hibah atau utang. Faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah inflasi. Hubungan negatif menunjukkan kenaikan
harga-harga di tingkat provinsi akan menurunkan pengeluaran per kapita terutama di rumahtangga pertanian. Perubahan pengeluaran per kapita pertanian yang lebih
elastis terhadap perubahan inflasi mengindikasikan bahwa rumahtangga pertanian paling dirugikan oleh kenaikan harga-harga.
Tabel 33 Hasil Estimasi Pengeluaran per Kapita Sektoral
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan Pengeluaran per kapita pertanian EXPTANI
Intercept 210.2986
a
14.59 .0001
UPHTANI 0.221478
a
12.71 .0001
0.47 Upah pertanian
IFL -7.69744
a
-7.03 .0001
-0.22 Inflasi
R 0.62
2
Pengeluaran per kapita industri EXPIND Intercept
153.6796
a
4.41 .0001
UPHIND 0.29305
a
10.79 .0001
0.67 Upah industri
IFL -3.50608
c
-1.36 0.1771
-0.07 Inflasi
R 0.48
2
Pengeluaran per kapita perdagangan EXPDG Intercept
129.4432
a
2.36 0.0199
UPHDG 0.448016
a
7.82 .0001
0.83 Upah
IFL -6.34483
a
-2.46 0.0151
-0.11 Inflasi
R 0.35
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Kesimpulan yang didapat dari hasil estimasi pengeluaran per kapita sektoral adalah untuk meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor pertanian
diperlukan upah riil yang lebih tinggi dan harga-harga yang lebih stabil. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal merupakan faktor
penting yang dapat berdampak meningkatkan upah riil sektoral maka hal ini dapat terwujud apabila keuangan daerah memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar.
Blok Kemiskinan Sektoral Indeks Gini
Studi-studi terdahulu, antara lain Kakwani 1993, Bourguignon 2004, dan Warr 2006, menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat mengurangi
peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan yang
diukur dari Indeks Gini. Hasil estimasi pada Tabel 34 menunjukkan Indeks Gini dipengaruhi oleh share PDRB pertanian, share PDRB industri, dan share PDRB
perdagangan dimana share PDRB pertanian yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini. Selain itu, meskipun share PDRB industri tidak signifikan tetapi
koefisien parameter yang positif menunjukkan share PDRB industri yang lebih besar berpotensi menurunkan Indeks Gini. Sebaliknya, share PDRB perdagangan
yang lebih besar berpotensi meningkatkan Indeks Gini. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi Indeks Gini dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan
dapat berkurang jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan di sektor riil terutama pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana
pembangunan pertanian memerlukan sumber pembiayaan dari kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting dalam mengurangi ketimpangan
pendapatan daerah.
Tabel 34 Hasil Estimasi Indeks Gini
Variabel Estimasi
parameter t-val
Pr |t| Elastisitas
Keterangan S-R
L-R Intercept
0.118165
a
4.28 .0001
SHPDRBTANI -0.00052
d
-1.26 0.2085
-0.03 -0.11
Share PDRB pertanian
SHPDRBIND -0.00033
-1.17 0.2458
-0.02 -0.06
Share PDRB industri
SHPDRBDG 0.000331
0.68 0.4973
0.02 0.06
Share PDRB perdag
GINIL 0.702657
a
10.51 .0001
GINI R
t-1
0.47
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Tingkat Kemiskinan Sektoral
Tabel 35 Hasil Estimasi Tingkat Kemiskinan Sektoral
Variabel Estimasi
t-val Pr |t|
Elastisitas Keterangan
Headcount index Pertanian POVTANIP0
Intercept -6.22684 d
-1.07 0.2858
EXPTANI -0.17003 a
-17.36 .0001
-2.50 Pengeluaran perkap
GINI 60.9337 a
4.56 .0001
1.07 Indeks Gini
GK 0.302195 a
13.13 .0001
2.75 Garis Kemiskinan
R 0.69
2
Headcount index Industri POVINDP0
Intercept -6.93891
-0.70 0.4874
EXPIND -0.0608
a
-7.38 .0001
-1.81 Pengeluaran perkap industri
GINI 42.69824
b
1.91 0.0589
1.12 Indeks Gini
GK 0.163808
a
4.81 .0001
2.22 Garis Kemiskinan
R 0.31
2
Headcount index Perdagangan POVDGP0
Intercept -4.59922
-0.70 0.4832
EXPDG -0.04699
a
-7.83 .0001
-2.42 Pengeluaran perkap perrdag
GINI 44.26502
a
2.78 0.0062
1.72 Indeks Gini
GK 0.111514
a
5.09 .0001
2.23 Garis Kemiskinan
R 034
2
Poverty Gap Index Pertanian POVTANIP1
Intercept -1.23131
d
-0.96 0.3410
EXPTANI -0.03177
a
-14.63 .0001
-2.98 Pengeluaran perkap
GINI 8.428017
a
2.85 0.0051
0.95 Indeks Gini
GK 0.059236
a
11.61 .0001
3.44 Garis Kemiskinan
R 0.62
2
Poverty Severity Index Pertanian POVTANIP2
Intercept -0.33909
-0.82 0.4156
EXPTANI -0.00938
a
-13.41 .0001
-3.31 Pengeluaran perkap
GINI 1.924496
b
2.02 0.0458
0.82 Indeks Gini
GK 0.017944
a
10.91 .0001
3.92 Garis Kemiskinan
R 0.58
2
Total Headcount index POVP0 Intercept
-0.5193 -0.69
0.4923 POVTANIP0 0.460043
a
9.18 .0001
0.64 Headcount index
pertanian POVINDP0
0.307586
a
4.31 .0001
0.28 Headcount index
industri POVDGP0
0.185324
b
1.83 0.0692
0.12 Headcount index
perdag R
0.77
2
Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen
Tingkat kemiskinan umumnya diukur dari tiga indikator kemiskinan FGT yaitu Headcount Index P
, Poverty Gap Index P
1
, dan Poverty Severity Index P
2
Namun, headcount index memiliki kelemahan yaitu mengabaikan perbedaan kesejahteraan antar rumahtangga miskin. Untuk itu, diperlukan Poverty Gap Index
yang dapat mengukur intensitas kemiskinan dimana ukuran Poverty Gap Index yang lebih besar menunjukkan semakin jauh jarak rata-rata pengeluaran penduduk
miskin dengan garis kemiskinan sehingga penduduk miskin semakin sulit keluar dari kondisi kemiskinan. Pada penelitian ini, Poverty Gap Index diestimasi pada
sektor pertanian dengan alasan tingginya tingkat kemiskinan di sektor tersebut dibandingkan dua sektor lainnya. Hasil estimasi juga menunjukkan Poverty Gap
Index
pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Artinya, intensitas kemiskinan pertanian akan berkurang
jika pengeluaran per kapita lebih besar dan distribusi pendapatan lebih merata. . Hasil estimasi pada Tabel 35 menunjukkan Headcount Index pertanian,
industri, dan perdagangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita masing-masing sektor, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana hubungan ketiganya sangat
elastis. Koefisien parameter pengeluaran per kapita sektoral yang bertanda positif memberi arti bahwa pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan
menurunkan headcount index sektoral. Sebaliknya, koefisien parameter Indeks Gini yang negatif menunjukkan Indeks Gini yang lebih besar akan meningkatkan
headcount index
sektoral. Dengan demikian, headcount index sektoral berkurang jika pengeluaran per kapita sektoral lebih besar dan ketimpangan pendapatan lebih
rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Nanga 2006, Miranti 2010, Laabas dan Limam 2004, Bidani dan Ravallion 1993, dan Ravallion dan Chen
1997. Namun, studi-studi tersebut tidak mendekomposisi headcount index secara sektoral. Koefisien elastisitas menunjukkan perubahan headcount index
sektoral lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita sektoral dari pada perubahan Indeks Gini. Artinya, perubahan headcount index lebih responsif
terhadap perubahan pengeluaran per kapita dibandingkan perubahan Indeks Gini. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Miranti 2010 serta Bidani dan
Ravallion 1993 di Indonesia. Hasil estimasi juga menunjukkan total headcount index
lebih dipengaruhi headcount index pertanian dimana kenaikan headcount index
pertanian 10 akan meningkatkan total headcount index 4.6. Artinya, hampir separuh dari total penduduk miskin di Indonesia berasal dari rumahtangga
pertanian. Dengan demikian, strateg pengentasan kemiskinan khususnya melalui upaya pertumbuhan pro-poor lebih efektif jika diproritaskan pada penurunan
kemiskinan penduduk pertanian.
Namun, Poverty Gap Index mengabaikan efek ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin sehingga tidak mampu menangkap perbedaan tingkat
keparahan kemiskinan the severity of poverty diantara penduduk miskin. Oleh karena itu, diperlukan Poverty Severity Index untuk menggambarkan distribusi
pengeluaran di antara penduduk miskin. Pada penelitian ini Poverty Severity Index juga hanya diestimasi untuk sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan Poverty
Severity Index
pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana distribusi pengeluaran penduduk
miskin di sektor pertanian akan lebih merata jika pengeluaran per kapitanya lebih besar dan distribusi pendapatan seluruh penduduk lebih merata.
Berdasarkan temuan dari hasil estimasi headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index
dapat disimpulkan tingkat kemiskinan dapat berkurang jika pendapatan penduduk meningkat dan ketimpangan pendapatan berkurang
terutama pada kelompok penduduk miskin pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana tingkat pendapatan dipengaruhi upah riil dan
distribusi pendapatan dipengaruhi pembangunan pertanian maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini disebakan
karena upah riil akan meningkat jika pertumbuhan sektoral meningkat sementara pertumbuhan sektoral bergantung pada kapasitas fiskal yang berperan besar dalam
membiayai pengeluaran sektoral dan pembangunan infrastruktur sebagai faktor- faktor yang dapat mencipatkan pertumbuhan ekonomi sektoral. Demikian juga,
pembangunan pertanian dapat terwujud melalui peran kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai belanja pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagai
dua faktor penting yang mempengaruhi PDRB pertanian yang pada akhirnya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan.
7. DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL
Hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menjadi dasar simulasi historis tahun 2006-2011 dan simulasi peramalan
tahun 2013-2015. Simulasi historis dilakukan untuk mengevaluasi dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di
Indonesia. Sedangkan simulasi peramalan dilakukan untuk merekomendasikan alternatif kebijakan yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di
Indonesia. Simulasi difokuskan pada variabel yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan ketimpangan pendapatan,
tingkat kemiskinan, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Suatu skenario dianggap paling baik jika memberi dampak paling besar, tidak menimbulkan
trade-off
antar variabel dampak, dan tidak menimbulkan defisit fiskal. Ulasan variabel-variabel endogen yang menggambarkan dampak pada kinerja fiskal
adalah kesenjangan fiskal dan kemandirian fiskal, dampak pada kinerja perekonomian adalah PDRB sektoral dan jumlah tenaga kerja, dan dampak pada
kemiskinan adalah Indeks Gini, headcount index sektoral, total headcount index, jumlah penduduk miskin sektoral, jumlah penduduk miskin, dan proporsi
penduduk miskin pertanian.
Hasil Validasi
Simulasi diawali dengan validasi untuk mengetahui apakah model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dapat mewakili fenomena fiskal,
perekonomian sektoral, dan kemiskinan sektoral daerah. Validasi model dilakukan dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3.
Tingkat validitas model ditentukan berdasarkan Theil’s Inequality Coefficient U dan proporsi U proportion of inequality yaitu proporsi bias U
M
, proporsi variansi U
S
, dan proporsi kovariansi U
C
. Jika U mendekati nol maka model dianggap baik, sedangkan jika mendekati satu maka model dianggap kurang mampu menjelaskan
data yang sebenarnya Sitepu dan Sinaga, 2006. Hasil validasi pada Tabel 36 menunjukkan mayoritas koefisien U mendekati nol, seluruh nilai U
M
mendekati nol yang berarti tidak ada bias sistematik, nilai-nilai U
S
relatif kecil yang berarti fluktuasi nilai-nilai prediksi sesuai dengan fluktuasi nilai-nilai aktualnya, dan
nilai-nilai U
C
Dampak kapasitas fiskal pada perekonomian dan kemiskinan dapat terjadi melalui mekanisme berikut: kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan
kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja sektoral sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi output daerah sehingga PDRB sektoral meningkat.
PDRB sektoral yang lebih besar akan mendorong upah riil sehingga pendapatan penduduk meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pengeluaran per
kapita. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dapat meningkatkan konsumsi penduduk agar memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak basic needs
cukup besar dan mendekati satu yang berarti error tidak sistematik. Berdasarkan keempat ukuran statistik ini dapat disimpulkan bahwa model valid
sehingga dapat dilakukan simulasi historis dan peramalan. Program dan hasil validasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7.
Tabel 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics
Endogen Satuan
Aktual Predicted
U U
U
M
U
S C
Blok Fiskal 1. Pajak daerah
Juta 1 421 350
1 511 125 0.09 0.05 0.26 0.69 2. PAD
Juta 2 107 481
2 197 256 0.06 0.05 0.28 0.67 3. Bagi hasil pajak
Juta 1 068 570
1 040 519 0.17 0.00 0.17 0.83 4. Kapasitas fiskal
Juta 4 449 630
4 511 354 0.04 0.01 0.03 0.96 5. DAU
Juta 5 875 357
5 914 990 0.05 0.00 0.01 0.98 6. Pendapatan daerah
Juta 12 247 142
12 348 0.03 0.01 0.11 0.88 7. Belanja pertanian
Juta 293 924
289 938 0.12 0.00 0.04 0.96 8. Belanja perindustrian
Juta 37 180
36 339 0.23 0.00 0.09 0.91 9. Belanja perdagangan
Juta 44 870
44 797 0.23 0.00 0.11 0.89 10. Belanja perdagangan perkapita
Ribu 7.5
7.2 0.25 0.00 0.23 0.77 11. Belanja infrastruktur
Juta 1 748 045
1 669 634 0.13 0.02 0.07 0.91 12. Belanja lainnya
Juta 9 534 554
9 504 389 0.04 0.00 0.09 0.91 13. Belanja daerah
Juta 11 845 264
11 731 0.04 0.01 0.05 0.94 14. Kesenjangan fiskal
Juta 7 395 634
7 220 434 0.06 0.03 0.02 0.95 15. Kemandirian fiskal
16.1 16.3 0.08 0.01 0.01 0.98
Blok Perekonomian Sektoral 16. Panjang jalan aspal
km 9 804
9 753 0.16 0.00 0.06 0.94 17. PDRB t.pangan, kebun, ternak
Juta 19 366 098
19 015 0.13 0.00 0.19 0.81 18. PDRB pertanian
Juta 23 916 759
23 566 0.11 0.00 0.21 0.79 19. PDRB pertanian per kapita
Juta 3 093
3 501 0.20 0.08 0.04 0.88 20. PDRB makanan jadi
Juta 10 599 563
10 220 0.34 0.00 0.14 0.86 21. PDRB industri pertanian
Juta 19 202 161
18 823 0.20 0.00 0.03 0.97 22. PDRB industri
Juta 38 409 672
38 030 0.10 0.00 0.01 0.99 23. PDRB industri per kapita
Juta 4 151
4 252 0.07 0.01 0.00 0.99 24. PDRB perdagangan
Juta 25 956 611
24 337 0.22 0.01 0.26 0.74 25. PDRB perdagangan per kapita
Juta 2 691
3 166 0.34 0.04 0.18 0.78 26. PDRB non-pertanian
Juta 113 950 000
111 950 0.07 0.01 0.25 0.74 27. PDRB
Juta 137 870 000
135 520 0.07 0.01 0.28 0.71 28. PDRB per kapita
Ribu 17 784
18 769 0.08 0.06 0.14 0.80 29. Share PDRB pertanian
22.0 22.1 0.10 0.00 0.13 0.87
30. Share PDRB industri 19.1
20.7 0.13 0.06 0.06 0.88 31. Share PDRB perdagangan
17.1 16.5 0.34 0.00 0.39 0.60
32. Tenaga kerja pertanian Ribu
1 637 1 602 0.16 0.00 0.19 0.81
33. Tenaga kerja industri Ribu
525 506 0.17 0.00 0.06 0.93
34. Tenaga kerja perdagangan Ribu
835 781 0.23 0.01 0.32 0.67
35. Tenaga kerja total Ribu
4 075 3 966 0.10 0.01 0.39 0.60
36. Upah pertanian Ribu
601 623 0.08 0.05 0.18 0.78
37. Upah industri Ribu
873 880 0.10 0.00 0.08 0.92
38. Upah perdagangan Ribu
826 842 0.11 0.01 0.01 0.98
39. Pengeluaran penduduk pertanian Ribu
281 286 0.07 0.01 0.21 0.77
40. Pengeluaran penduduk industri Ribu
381 384 0.13 0.00 0.28 0.72
41. Pengeluaran penduduk Ribu
449 456 0.10 0.01 0.21 0.79
Blok Kemiskinan Sektoral 42. Indeks Gini
0.338 0.342 0.05 0.01 0.23 0.75
43. Headcount index pertanian 19.16
18.58 0.20 0.01 0.00 0.99 44. Headcount index industri
12.84 12.89 0.28 0.00 0.19 0.81
45. Headcount index perdagangan 8.71
8.57 0.30 0.00 0.27 0.73 46. Poverty gap index pertanian
3.00 2.88 0.26 0.01 0.00 0.99
47. Poverty severity index pertanian 0.80
0.76 0.28 0.01 0.00 0.99 48. Headcount index total
13.86 13.58 0.22 0.00 0.04 0.96
sehingga kesejahteraan rumahtangga miskin meningkat yang berarti penduduk miskin dapat keluar dari kondisi kemiskinan. Jika hal tersebut terjadi secara
menyeluruh maka akumulasi seluruh penduduk miskin yang keluar dari kondisi kemiskinan akan menurunkan kemiskinan daerah. Sementara itu, pembangunan
pertanian akan meningkatkan PDRB pertanian sehingga share PDRB pertanian lebih besar akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan yang berarti
distribusi pendapatan semakin merata. Hal ini akan menambah peran pengeluaran per kapita dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu, simulasi historis dilakukan dengan mengubah variabel- variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal terutama pajak daerah dan
bagi hasil pajak. Dengan mengacu pada hasil estimasi model yang telah diuraikan sebelumnya diketahui bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah
diperlukan potensi ekonomi penduduk dalam ukuran PDRB per kapita yang lebih besar. Sementara dari hasil estimasi juga diketahui bahwa untuk meningkatkan
PDRB diperlukan belanja daerah dan investasi swasta yang lebih besar dimana investasi swasta dalam bentuk penanaman modal berperan dalam pembangunan
infrastruktur jalan aspal. Selain melalui penerimaan pajak daerah, kapasitas fiskal dapat juga ditingkatkan melalui bagi hasil pajak. Berdasarkan hasil estimasi model
diketahui bahwa untuk meningkatkan bagi hasil pajak diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian sebagai sumber utama bagi hasil PPh. Untuk itu,
pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggarannya untuk belanja-belanja non- pertanian seperti belanja perindustrian dan belanja perdagangan serta melakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan penanaman modal daerah dari investor dalam dan luar negeri. Dengan demikian, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah
dan bagi hasil pajak diperlukan belanja-belanja sektoral dan investasi swasta yang lebih besar. Di sisi lain, penerimaan bagi hasil pajak juga dapat ditingkatkan
dengan menambah porsi daerah dari sumber-sumber bagi hasil pajak melalui merevisi UU No. 33 tahun 2004.
Skenario Simulasi
Berdasarkan uraian di atas maka simulasi historis untuk periode 2006-2011 dilakukan dengan meningkatkan belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja
perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal melalui beberapa skenario kebijakan baik tunggal maupun gabungan. Sedangkan simulasi peramalan periode
2013-2015 dilakukan melalui simulasi beberapa skenario kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal dan kombinasi baik historis maupun peramalan
dilakukan menurut provinsi pertanian dan non-pertanian.
Skenario simulasi historis untuk kebijakan tunggal terdiri dari: 1.
SS1: peningkatan belanja pertanian Hasil estimasi menunjukkan peran belanja pertanian dalam meningkatkan
PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan cukup besar. Namun, perubahan belanja pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan DAU
dibandingkan perubahan kapasitas fiskal menunjukkan bahwa kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan belanja pertanian lebih kecil
dibandingkan peningkatan DAU dalam jumlah yang sama. Untuk itu, maka belanja pertanian harus ditingkatkan. Dengan demikian, cukup beralasan
jika peningkatan PDRB pertanian akan meningkatan pengeluaran penduduk
pertanian jika belanja pertanian ditingkatkan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB pertanian akibat meningkatnya belanja pertanian akan mendorong
PDRB dan potensi ekonomi penduduk sehingga mendorong penerimaan pajak daerah dan kapasitas fiskal. Skenario peningkatan belanja pertanian
50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian berdasarkan pertimbangan trend rata-rata kenaikan belanja pertanian periode 2006-2011 yang sangat
rendah yaitu hanya 11 dan 9, sementara periode 2006-2007 mencapai 50 dan 53. Selain itu, komposisi belanja pertanian sangat rendah yaitu
hanya 3 dan 2 sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan.
2. SS2: peningkatan belanja perindustrian
Hasil estimasi menunjukkan belanja perindustrian berperan meningkatkan PDRB industri khususnya industri makanan jadi. Namun, perubahan belanja
perindustrian lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal. Dengan alasan serupa pada skenario peningkatan belanja pertanian
maka belanja perindustrian ditingkatkan 50 di provinsi pertanian dan 25 di provinsi non-pertanian. Pertimbangannya adalah trend rata-rata kenaikan
belanja perindustrian di provinsi pertanian periode 2006-2011 sebesar 23, sementara di provinsi non-pertanian periode 2010-2011 lebih stabil yaitu
43. Alasan lainnya adalah rendahnya komposisi belanja perindustrian baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian dengan rata-rata 0.3 sehingga
masih relevan jika ditingkatkan.
3. SS3: peningkatan belanja perdagangan
Hasil estimasi menunjukkan belanja perdagangan berperan meningkatkan PDRB perdagangan. Oleh karena itu belanja perdagangan perlu ditingkatkan
untuk mendorong PDRB perdagangan. Skenario peningkatan belanja perdagangan 50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian dilakukan
dengan pertimbangan kenaikannya pada periode 2006-2011 di provinsi non- pertanian 54, sementara di provinsi pertanian lebih stabil yaitu pada tahun
2010-2011 sebesar 32. Selain itu, komposisi belanja perdagangan juga sangat rendah dengan rata-rata 0.3 di provinsi pertanian dan 0.4 di
provinsi non-pertanian sehingga masih memungkinkan untuk ditambah.
4. SS4: peningkatan bagi hasil pajak
Peningkatan bagi hasil pajak masing-masing 50 di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber-
sumber pendapatan dari daerah yang bersangkutan untuk dibagihasilkan terutama PPh. Pertimbangannya adalah pertumbuhan penerimaan bagi hasil
pajak periode 2006-2011 sangat rendah rata-rata 1 di provinsi pertanian dan 2 di provinsi non-pertanian. Di sisi lain, penerimaan negara dari PPh
Non Migas sangat besar bahkan meningkat 48 pada tahun 2012. Oleh karena itu, cukup beralasan jika bagi hasil pajak ditingkatkan dengan
menambah porsi daerah dari PPh. Dengan demikian, skenario kenaikan bagi hasil pajak 50 menggambarkan kenaikan porsi daerah dari sumber PPh
sesuai UU No. 332004 Pasal 13 dari 20 menjadi 30.
5. SS5: peningkatan total penanaman modal
Hasil estimasi menunjukkan peran penanaman modal dalam meningkatkan pajak daerah. Peningkatan penanaman modal 90 dan 50 di provinsi
pertanian dan non-pertanian dengan alasan pertumbuhan 2007-2011 lebih stabil yaitu 85 di provinsi pertanian dan 45 di provinsi non-pertanian.
Simulasi historis dan peramalan untuk kombinasi kebijakan mengacu pada arah dan perubahan beberapa variabel endogen utama yang menggambarkan
dampak skenario kebijakan tunggal. Simulasi tersebut dilakukan untuk masing- masing provinsi pertanian dan non-pertanian. Simulasi skenario kombinasi
kebijakan dilakukan secara bertahap yang diawali dengan kombinasi kebijakan peningkatan belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdangan yang diikuti
dengan peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Simulasi diakhiri jika
diperoleh hasil optimal dengan pertimbangan skenario tersebut dapat diterapkan applicable.
Skenario simulasi historis dan peramalan untuk kebijakan kombinasi di masing-masing provinsi pertanian dan non-pertanian terdiri dari:
1. Simulasi historis 2006-2011
a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan
b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak
c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal
d. SM4: kombinasi SM3 dan pengurangan belanja lainnya
2. Simulasi peramalan 2013-2015
a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan
b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak
c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal
Simulasi Historis 2006-2011 Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian
Simulasi peningkatan belanja pertanian 50 dilakukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan hasil analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah
diuraikan sebelumnya, yaitu: 1 belanja pertanian di provinsi pertanian dan non- pertanian tahun 2006-2011 rata-rata naik 11.2 dan 9.1 per tahun, sedangkan
tahun 2006-2007 cukup besar masing-masing 49.7 dan 52.6. Kenaikan yang cukup besar ini menjadi alasan bahwa pemerintah daerah sesungguhnya mampu
meningkatkan belanja pertaniannya; 2 komposisi belanja pertanian sangat kecil masing-masing 3.2 di provinsi pertanian dan 2.1 di provinsi non-pertanian,
sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan 3 ada fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja pertanian sementara peran kapasitas fiskal lebih rendah,
sehingga untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal dalam membiayai pembangunan pertanian maka pemerintah daerah dapat mengintervensinya dengan
meningkatkan belanja pertanian.
Hasil simulasi historis di provinsi pertanian pada Tabel 37 menunjukkan ekspansi belanja pertanian 50 meningkatkan PDRB pertanian 28.7 sehingga
total PDRB meningkat 6.9. Tetapi, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.8 sehingga belanja perindustrian dan belanja perdagangan turun 0.7 dan 0.5
karena hasil estimasi menunjukkan keduanya lebih bergantung pada DAU dari pada kapasitas fiskal. Akibatnya, PDRB industri dan PDRB perdagangan turun
masing-masing 0.4 dan 0.3. Namun, total PDRB yang meningkat 6.9 menyebabkan PDRB per kapita naik yang menunjukkan ada peningkatan potensi
ekonomi penduduk sehingga berdampak meningkatkan PAD 0.9.
Tabel 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian
1
dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian,
Varibel Endogen Satuan
Nilai Dasar Perubahan
Pertanian Non
Pertanian Pertanian
Non Pertanian
Blok Fiskal 1. PAD
Juta Rp 1 024 054
3 477 112 0.9
0.1 2. Bagi hasil pajak
Juta Rp 688 243
1 424 821 -0.1
0.0 3. Kapasitas fiskal
Juta Rp 2 103 080
7 138 562 0.4
0.1 4. Dana alokasi umum
Juta Rp 4 981 834
6 932 979 -0.8
-0.6 5. Total pendapatan
Juta Rp 8 716 324
16 310 871 -0.4
-0.2 6. Belanja pertanian
Juta Rp 240 966
343 362 50.0
50.0 7. Belanja perindustrian
Juta Rp 26 790
46 755 -0.7
-0.4 8. Belanja perdagangan
Juta Rp 30 777
60 091 -0.5
-0.3 9. Belanja infrastruktur
Juta Rp 1 177 511
2 206 496 0.0
0.0 10. Belanja lainnya
Juta Rp 6 736 788
12 523 590 -0.4
-0.2 11. Total belanja
Juta Rp 8 394 643
15 372 310 1.5
0.8 12. Kesenjangan fiskal
Juta Rp 6 291 562
8 233 749 1.9
1.4 13. Kemandirian fiskal
2
11.7 21.3
-0.1 -0.1
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
Juta Rp 15 286 919
32 598 079 28.7
12.8 15. PDRB industri
Juta Rp 9 726 946
68 907 971 -0.4
-0.1 16. PDRB perdagangan
Juta Rp 12 034 913
37 758 339 -0.3
-0.1 17. PDRB total
Juta Rp 62 210 040
215 490 000 6.9
1.9 18. Share PDRB pertanian
2
26.6 17.2
5.7 1.6
19. Share PDRB industri
2
14.4 27.6
-1.3 -0.2
20. Share PDRB perdagangan
2
17.3 15.6
-1.1 -0.1
21. Jumlah tenaga kerja Ribu org
2 202 5 890
4.1 1.7
22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp
283 290
2.3 1.1
23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp
346 424
0.0 0.0
24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp
432 481
0.0 0.0
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
3
0.340 0.344
-0.007 -0.002
26. Headcount index pertanian
2
16.27 21.10
-1.51 -0.68
27. Headcount index industri
2
13.54 12.19
-0.29 -0.08
28. Headcount index perrdagangan
2
8.54 8.60
-0.30 -0.08
29. Poverty gap index pertanian
3
2.42 3.37
-0.26 -0.12
30. Poverty severity index pertanian
3
0.62 0.91
-0.07 -0.03
31. Headcount index total
2
12.72 14.53
-0.84 -0.35
32. Proporsi pddk miskin pertanian
2
59.0 46.0
-1.7 -0.4
33. Pddk miskin pertanian Ribu org
4
387 894
-35.9 -28.7
34. Pddk miskin industri Ribu org
4
31 144
-0.7 -1.0
35. Pddk miskin perdagangan Ribu org
4
46 161
-1.6 -1.6
36. Penduduk miskin total Ribu org
4
656 1 943
-43.2 -47.1
Catatan:
1
Skenario SS1: belanja pertanian naik 50
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
Perubahan dalam satuan jumlah
Di sisi lain, turunnya PDRB industri dan PDRB perdagangan menyebabkan penerimaan bagi hasil pajak turun 0.1. Namun, kapasitas fiskal tetap naik 0.4
karena meningkatnya PAD. Kenaikan PDRB berdampak pada penyerapan total tenaga kerja yang meningkat 4.1. Sampai sejauh ini, meningkatnya kapasitas
fiskal karena alokasi anggaran belanja pertanian yang ditambah 50 berdampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama di sektor pertanian. PDRB
pertanian yang lebih besar menyebabkan perbaikan upah riil pertanian sehingga pengeluaran per kapita pertanian meningkat 2.3. PDRB pertanian yang lebih
besar juga meningkatkan share PDRB pertanian 5.7 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.007 poin. Pengeluaran per kapita pertanian yang lebih besar dan
Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index, poverty gap index
, dan poverty severity index pertanian masing-masing 1.51 persen poin, 0.3 persen poin, dan 0.1 persen poin. Jumlah penduduk miskin juga berkurang 43
ribu orang terutama penduduk miskin pertanian yang berkurang 36 ribu orang. Besarnya penurunan jumlah penduduk miskin pertanian menyebabkan proporsi
penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Dengan demikian, peningkatan belanja pertanian 50 di provinsi pertanian berdampak meningkatkan kapasitas
fiskal 0.4 sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi 6.9, menurunkan Indeks Gini 0.007 poin, dan menurunkan total headcount index 0.84 persen poin.
Selain itu, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Sedangkan, data statistik menunjukkan proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi
penelitian yang tergolong provinsi pertanian tahun 2006-2011 berfluktuasi dengan rata-rata meningkat dari 62.2 menjadi 64.5.
Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian di provinsi non-pertanian 50 menunjukkan arah perubahan yang sama
tetapi besarannya lebih kecil. Ini berarti peningkatan belanja pertanian dengan proporsi yang sama memberi dampak lebih besar di provinsi pertanian. Namun,
hal ini dapat juga menjadi indikasi bahwa meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian tetapi pembangunan pertanian
merupakan hal penting yang perlu dilakukan pemerintah daerah mengingat jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian secara rata-rata lebih banyak
dibandingkan provinsi pertanian. Nilai dasar pada Tabel 37 menunjukkan jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian rata-rata 894 ribu orang per
tahun, sementara di provinsi pertanian 387 ribu orang per tahun.
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan peningkatan belanja pertanian sebesar 50 berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi sektor
pertanian, industri, dan perdagangan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menurunkan ketimpangan pendapatan, dan menurunkan kemiskinan ketiga sektor
tersebut terutama sektor pertanian. Dengan demikian, implikasinya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai
tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, pemerintah daerah harus memprioritaskan pengentasan kemiskinan penduduk pertanian
dengan menggiatkan pembangunan pertanian melalui alokasi belanja pertanian yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan hasil estimasi model terkait
faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi anggaran belanja daerah, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk meningkatkan belanja pertanian.
Program dan hasil simulasi historis peningkatan belanja pertanian di provinsi pertanian dan non-pertanian disajikan secara lengkap pada Lampiran 8 – 11.
Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian
Simulasi peningkatan belanja perindustrian 25 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan
yang mengacu pada analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 1 kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian tahun
2006-2011 rata-rata 23 per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian sangat besar mencapai rata-rata 413 per tahun akibat tingginya kenaikan di tahun 2007
yang mencapai 2000 sementara tahun 2011 hanya 43. Dengan alasan tersebut maka cukup relevan jika belanja perindustrian ditingkatkan 25 di provinsi
pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian; 2 komposisi belanja perindustrian periode 2006-2011 sangat kecil dengan rata-rata 0.3 per tahun baik di provinsi
pertanian maupun non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan 3 hasil estimasi menunjukkan ada fenomena flypaper effect DAU untuk belanja
perindustrian sehingga untuk mengatasi peran kapasitas fiskal yang rendah dalam membiayai pembangunan industri maka pemerintah daerah dapat mengintervensi
dengan meningkatkan belanja tersebut.
Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 38, peningkatan belanja perindustrian 25 di provinsi pertanian meningkatkan PDRB industri 22.6 sehingga total
PDRB naik atau ekonomi tumbuh 3.5. Tetapi, konsekuensi meningkatnya PDRB adalah berkurangnya DAU 0.4. Namun, kenaikan PDRB juga berdampak
meningkatkan penyerapan total tenaga kerja tetapi hanya 0.6 karena penyerapan tenaga kerja baru hanya terjadi di sektor industri dengan jumlah tenaga kerja yang
relatif kecil. Selain itu, meningkatnya PDRB juga meningkatkan PDRB per kapita yang berarti ada perbaikan potensi ekonomi penduduk. Berdasarkan hasil estimasi
model diketahui pajak daerah dipengaruhi PDRB per kapita sehingga kenaikan PDRB per kapita menyebabkan PAD tumbuh 0.4. Demikian juga, kenaikan
PDRB industri meningkatkan PDRB non-pertanian sehingga bagi hasil pajak yang dipengaruhi oleh PDRB non-pertanian meningkat 1.8. Selanjutnya, kenaikan
PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 0.8. Meningkatnya PDRB industri meningkatkan pengeluaran per kapita industri 1.8. Di sisi lain,
kenaikan PDRB industri meningkatkan share pada total PDRB 1.8 persen poin. Mengacu pada hasil estimasi dimana share PDRB industri yang lebih besar akan
menurunkan Indeks Gini maka kenaikan share PDRB industri menurunkan Indeks Gini 0.001 poin yang berarti ada perbaikan distribusi pendapatan. Selanjutnya
pengeluaran per kapita industri yang lebih besar bersama-sama Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index industri 0.44 persen poin.
Indeks Gini yang lebih rendah juga menurunkan headcount index pertanian dan headcount index
perdagangan masing-masing 0.07 persen poin dan 0.05 persen poin walaupun pengeluaran per kapita di kedua sektor tersebut tidak berubah.
Akan tetapi, turunnya headcount index pertanian tidak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian.
Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan sama tetapi besarannya
lebih kecil kecuali kenaikan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Perubahan di
provinsi non-pertanian yang lebih rendah mengindikasikan perlunya peningkatan belanja perindustrian lebih besar karena jumlah penduduk miskin industri lebih
banyak yaitu rata-rata 144 ribu sedangkan di provinsi pertanian hanya 31 ribu.
Tabel 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian
1
Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal,
Varibel Endogen Satuan
Nilai Dasar Perubahan
Pertanian Non
Pertanian Pertanian
Non Pertanian
Blok Fiskal 1. PAD
Juta Rp 1 024 054
3 477 112 0.4
0.1 2. Bagi hasil pajak
Juta Rp 688 243
1 424 821 1.8
1.8 3. Kapasitas fiskal
Juta Rp 2 103 080
7 138 562 0.8
0.4 4. Dana alokasi umum
Juta Rp 4 981 834
6 932 979 -0.4
-0.5 5. Total pendapatan
Juta Rp 8 716 324
16 310 871 -0.1
0.0 6. Belanja pertanian
Juta Rp 240 966
343 362 0.0
0.0 7. Belanja perindustrian
Juta Rp 26 790
46 755 25.0
50.0 8. Belanja perdagangan
Juta Rp 30 777
60 091 -0.1
-0.1 9. Belanja infrastruktur
Juta Rp 1 177 511
2 206 496 0.2
0.2 10. Belanja lainnya
Juta Rp 6 736 788
12 523 590 -0.1
-0.1 11. Total belanja
Juta Rp 8 394 643
15 372 310 0.1
0.1 12. Kesenjangan fiskal
Juta Rp 6 291 562
8 233 749 -0.2
-0.2 13. Kemandirian fiskal
2
11.7 21.3
0.0 0.0
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
Juta Rp 15 286 919
32 598 079 0.0
0.0 15. PDRB industri
Juta Rp 9 726 946
68 907 971 22.6
6.7 16. PDRB perdagangan
Juta Rp 12 034 913
37 758 339 0.0
0.0 17. PDRB total
Juta Rp 62 210 040
215 490 000 3.5
2.1 18. Share PDRB pertanian
2
26.6 17.2
-0.6 -0.4
19. Share PDRB industri
2
14.4 27.6
1.8 1.5
20. Share PDRB perdagangan
2
17.3 15.6
-0.4 -0.3
21. Jumlah tenaga kerja Ribu org
2 202 5 890
0.6 6.7
22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp
283 290
0.0 0.0
23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp
346 424
1.8 1.8
24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp
432 481
0.0 0.0
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
3
0.340 0.344
-0.001 -0.001
26. Headcount index pertanian
2
16.27 21.10
-0.07 -0.05
27. Headcount index industri
2
13.54 12.19
-0.44 -0.49
28. Headcount index perrdagangan
2
8.54 8.60
-0.05 -0.04
29. Poverty gap index pertanian
3
2.42 3.37
-0.01 -0.01
30. Poverty severity index pertanian
3
0.62 0.91
0.00 0.00
31. Headcount index total
2
12.72 14.53
-0.17 -0.18
32. Proporsi pddk miskin pertanian
2
59.0 46.0
0.6 0.5
33. Pddk miskin pertanian Ribu org
4
387 894
-1.6 -2.1
34. Pddk miskin industri Ribu org
4
31 144
-1.0 -5.8
35. Pddk miskin perdagangan Ribu org
4
46 161
-0.3 -0.7
36. Penduduk miskin total Ribu org
4
656 1 943
-8.9 -24.1
Catatan:
1
Skenario SS2: belanja perindustrian provinsi pertanian naik 25, provinsi non-pertanian naik 50
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
Perubahan dalam satuan jumlah
Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada perekonomian dan kemiskinan
karena mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Namun, kebijakan ini berdampak lebih memihak penduduk miskin industri yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan penduduk miskin pertanian dan perdagangan.
Laju penurunan headcount index pertanian yang lambat meningkatkan proporsi penduduk miskin pertanian meskipun jumlah penduduk miskin di sektor tersebut
berkurang. Dengan perkataan lain, kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak mampu mengatasi
permasalahan kemiskinan mendasar yaitu tingginya proporsi penduduk miskin di sektor pertanian. Implikasinya adalah agar pertumbuhan ekonomi sebagai dampak
belanja pertanian yang lebih besar dapat memihak mayoritas penduduk miskin maka perlu kebijakan lain salah satunya adalah meningkatkan belanja pertanian.
Simulasi Peningkatan Belanja Perdagangan
Simulasi peningkatan belanja perdagangan 50 di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: 1 kenaikan
belanja perdagangan di provinsi pertanian tahun 2006-2011 cukup tinggi rata-rata 180 per tahun terutama di tahun 2007 yang mencapai hampir 900, sedangkan
tahun 2011 hanya 32. Sementara itu, kenaikan belanja perdagangan tahun 2006- 2011 di provinsi non-pertanian rata-rata 54 per tahun. Selain itu, hasil estimasi
menunjukkan tingginya share PDRB perdagangan akan meningkatkan Indeks Gini sehingga berdampak buruk pada kemiskinan. Dengan demikian, cukup
relevan jika belanja perdagangan ditingkatkan 50; 2 komposisi belanja perdagangan tahun 2006-2011 sangat kecil masing-masing 0.3 di provinsi
pertanian dan 0.4 di provinsi non-pertanian; dan 3 hasil estimasi menemukan fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja perdagangan sehingga
pemerintah daerah perlu mengintervensinya dengan meningkatkan belanja tersebut untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal.
Hasil simulasi pada Tabel 39 menunjukkan dampak pada kenaikan PDRB perdagangan 23.4 sehingga total PDRB naik 4.5. Namun, kenaikan PDRB
menurunkan DAU 0.5. Kenaikan PDRB juga meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.1 dan meningkatkan PDRB per kapita sehingga PAD naik 0.7. Sementara
itu, meningkatnya PDRB perdagangan menyebabkan kenaikan bagi hasil pajak 2.3. Kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 1.1.
Sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal sebagai dampak belanja perdagangan yang lebih besar memberi dampak positif pada kinerja perekonomian daerah
terutama sektor perdagangan. Naiknya PDRB perdagangan meningkatkan share PDRB perdagangan 3.5 persen poin, sedangkan share PDRB pertanian dan
industri turun 1.2 persen poin dan 0.5 persen poin. Share PDRB perdagangan yang lebih besar disertai berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.004 poin.
Naiknya PDRB perdagangan juga meningkatkan pengeluaran per kapita perdagangan sebesar 4.8 sehingga headcount index perdagangan turun 0.79
persen poin meskipun Indeks Gini meningkat. Hal ini dapat terjadi karena perubahan headcount index perdagangan lebih responsif terhadap perubahan
Tabel 39 Dampak Peningkatan Belanja Perdagangan
1
Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal,
Varibel Endogen Satuan
Nilai Dasar Perubahan
Pertanian Non
Pertanian Pertanian
Non Pertanian
Blok Fiskal 1. PAD
Juta Rp 1 024 054
3 477 112 0.7
0.3 2. Bagi hasil pajak
Juta Rp 688 243
1 424 821 2.3
1.9 3. Kapasitas fiskal
Juta Rp 2 103 080
7 138 562 1.1
0.5 4. Dana alokasi umum
Juta Rp 4 981 834
6 932 979 -0.5
-0.7 5. Total pendapatan
Juta Rp 8 716 324
16 310 871 0.0
0.0 6. Belanja pertanian
Juta Rp 240 966
343 362 0.0
0.0 7. Belanja perindustrian
Juta Rp 26 790
46 755 -0.3
-0.3 8. Belanja perdagangan
Juta Rp 30 777
60 091 50.0
50.0 9. Belanja infrastruktur
Juta Rp 1 177 511
2 206 496 0.2
0.2 10. Belanja lainnya
Juta Rp 6 736 788
12 523 590 -0.1
-0.1 11. Total belanja
Juta Rp 8 394 643
15 372 310 0.1
0.1 12. Kesenjangan fiskal
Juta Rp 6 291 562
8 233 749 -0.3
-0.2 13. Kemandirian fiskal
2
11.7 21.3
0.1 0.1
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
Juta Rp 15 286 919
32 598 079 0.0
0.0 15. PDRB industri
Juta Rp 9 726 946
68 907 971 -0.2
0.0 16. PDRB perdagangan
Juta Rp 12 034 913
37 758 339 23.4
12.9 17. PDRB total
Juta Rp 62 210 040
215 490 000 4.5
2.2 18. Share PDRB pertanian
2
26.6 17.2
-1.2 -1.0
19. Share PDRB industri
2
14.4 27.6
-0.5 -0.5
20. Share PDRB perdagangan
2
17.3 15.6
3.5 4.1
21. Jumlah tenaga kerja Ribu org
2 202 5 890
2.1 1.4
22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp
283 290
0.0 0.0
23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp
346 424
0.0 0.0
24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp
432 481
4.8 6.3
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
3
0.340 0.344
0.004 0.005
26. Headcount index pertanian
2
16.27 21.10
0.26 0.27
27. Headcount index industri
2
13.54 12.19
0.19 0.20
28. Headcount index perrdagangan
2
8.54 8.60
-0.79 -1.22
29. Poverty gap index pertanian
3
2.42 3.37
0.04 0.04
30. Poverty severity index pertanian
3
0.62 0.91
0.01 0.01
31. Headcount index total
2
12.72 14.53
0.03 -0.04
32. Proporsi pddk miskin pertanian
2
59.0 46.0
0.8 0.7
33. Pddk miskin pertanian Ribu org
4
387 894
6.2 11.5
34. Pddk miskin industri Ribu org
4
31 144
0.4 2.3
35. Pddk miskin perdagangan Ribu org
4
46 161
-4.2 -23.0
36. Penduduk miskin total Ribu org
4
656 1 943
1.6 -5.6
Catatan:
1
Skenario SS3: belanja perdagangan naik 50
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
Perubahan dalam satuan jumlah
pengeluaran per kapita dari pada perubahan Indeks Gini sesuai hasil estimasi. Namun, Indeks Gini yang lebih besar meningkatkan headcount index pertanian
dan perdagangan masing-masing 0.26 dan 0.19 persen poin. Meningkatnya headcount index
pertanian yang cukup besar menyebabkan total headcount index meningkat 0.03 persen poin sehingga jumlah penduduk miskin bertambah sekitar
1600 orang. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perdagangan di provinsi non-pertanian sebesar 50 menunjukkan arah perubahan
yang sama tetapi besaran perubahan variabel-variabel fiskal lebih kecil. Share PDRB perdagangan lebih besar sehingga Indeks Gini meningkat. Kenaikan Indeks
Gini berdampak meningkatkan headcount index pertanian dan headcount index industri lebih besar dibandingkan peningkatannya di provinsi pertanian. Namun,
berkurangnya headcount index perdagangan yang lebih besar menyebabkan jumlah penduduk miskin perdagangan berkurang lebih banyak sehingga total
penduduk miskin berkurang sekitar 5600 orang.
Kesimpulannya adalah ekspansi belanja perdagangan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja. Namun dampak
negatifnya adalah ketimpangan pendapatan meningkat menunjukkan peningkatan belanja perdagangan tidak dapat menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan
di sektor pertanian. Implikasinya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menggiatkan pembangunan perdagangan diikuti kebijakan-kebijakan lain
untuk menggiatkan pembangunan pertanian dan industri yang berdampak besar dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui kemampuan
penerimaan kapasitas fiskal yang lebih besar.
Simulasi Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak
Simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
dengan menambah porsi daerah dari bagi hasil PPh. Beberapa pertimbangannya adalah: 1 rata-rata kenaikan bagi hasil pajak sangat rendah masing-masing 1
dan 2 di provinsi pertanian dan non-pertanian. Bahkan, penerimaan bagi hasil pajak tahun 2011 turun masing-masing 9 dan 16. Padahal, data keuangan
negara pada APBN menunjukkan bahwa penerimaan negara dari PPh Non Migas tahun 2001 secara nominal naik 24. Oleh karena itu, cukup beralasan menambah
porsi bagi hasil PPh dari 20 sesuai UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 menjadi 30 yang berarti bagi hasil pajak ditingkatkan 50; 2 komposisi bagi hasil
pajak pada kapasitas fiskal tahun 2006-2011 lebih besar dibandingkan bagi hasil sumber daya alam masing-masing 31 di provinsi pertanian dan 24 di provinsi
non-pertanian sehingga cukup relevan jika bagi hasil pajak ditingkatkan untuk menambah kapasitas fiskal; dan 3 hasil estimasi model menunjukkan peran
kapasitas fiskal lebih rendah pada belanja-belanja sektoral sehingga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU, salah
satunya dengan meningkatkan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak.
Hasil simulasi pada Tabel 40 menunjukkan kenaikan bagi hasil pajak 50 di provinsi pertanian meningkatkan kapasitas fiskal 9.7 sehingga menambah
kemampuan keuangan daerah membiayai belanja-belanja daerah dimana belanja pertanian naik 1.2, belanja perindustrian naik 1.4, belanja perdagangan naik
2.6, dan belanja infrastruktur naik 3.0. Hal ini meningkatkan PDRB sektoral
Tabel 40 Dampak Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak
1
Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal,
Varibel Endogen Satuan
Nilai Dasar Perubahan
Pertanian Non
Pertanian Pertanian
Non Pertanian
Blok Fiskal 1. PAD
Juta Rp 1 024 054
3 477 112 0.1
0.1 2. Bagi hasil pajak
Juta Rp 688 243
1 424 821 50.0
50.0 3. Kapasitas fiskal
Juta Rp 2 103 080
7 138 562 9.7
13.4 4. Dana alokasi umum
Juta Rp 4 981 834
6 932 979 -0.1
-0.3 5. Total pendapatan
Juta Rp 8 716 324
16 310 871 2.3
5.8 6. Belanja pertanian
Juta Rp 240 966
343 362 1.2
3.8 7. Belanja perindustrian
Juta Rp 26 790
46 755 1.4
3.6 8. Belanja perdagangan
Juta Rp 30 777
60 091 2.6
6.1 9. Belanja infrastruktur
Juta Rp 1 177 511
2 206 496 3.0
7.5 10. Belanja lainnya
Juta Rp 6 736 788
12 523 590 1.4
3.5 11. Total belanja
Juta Rp 8 394 643
15 372 310 1.6
4.0 12. Kesenjangan fiskal
Juta Rp 6 291 562
8 233 749 -1.1
-4.1 13. Kemandirian fiskal
2
11.7 21.3
-0.2 -0.8
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
Juta Rp 15 286 919
32 598 079 0.8
1.8 15. PDRB industri
Juta Rp 9 726 946
68 907 971 0.8
0.5 16. PDRB perdagangan
Juta Rp 12 034 913
37 758 339 1.8
2.6 17. PDRB total
Juta Rp 62 210 040
215 490 000 0.7
0.9 18. Share PDRB pertanian
2
26.6 17.2
0.0 0.1
19. Share PDRB industri
2
14.4 27.6
0.0 -0.2
20. Share PDRB perdagangan
2
17.3 15.6
0.2 0.6
21. Jumlah tenaga kerja Ribu org
2 202 5 890
0.5 0.9
22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp
283 290
0.04 0.2
23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp
346 424
0.06 0.2
24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp
432 481
0.23 1.2
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
3
0.340 0.344
0.000 0.000
26. Headcount index pertanian
2
16.27 21.10
-0.01 -0.08
27. Headcount index industri
2
13.54 12.19
0.00 -0.03
28. Headcount index perrdagangan
2
8.54 8.60
-0.04 -0.26
29. Poverty gap index pertanian
3
2.42 3.37
0.00 -0.02
30. Poverty severity index pertanian
3
0.62 0.91
0.00 0.00
31. Headcount index total
2
12.72 14.53
-0.01 -0.09
32. Proporsi pddk miskin pertanian
2
59.0 46.0
0.0 0.1
33. Pddk miskin pertanian Ribu org
4
387 894
-0.2 -3.2
34. Pddk miskin industri Ribu org
4
31 144
0.0 -0.3
35. Pddk miskin perdagangan Ribu org
4
46 161
-0.2 -4.9
36. Penduduk miskin total Ribu org
4
656 1 943
-0.6 -12.3
Catatan:
1
Skenario SS4: bagi hasil pajak naik 50 diperoleh dari kenaikan porsi PPh dari 20 menjadi 30
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
Perubahan dalam satuan jumlah
terutama perdagangan 1.8 sehingga total PDRB meningkat 0.7. Kenaikan PDRB menurunkan penerimaan DAU 0.1 namun menyerap tenaga kerja baru
0.5 . Meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak meningkatkan upah riil sehingga pengeluaran per kapita sektoral meningkat terutama sektor perdagangan.
Namun, kenaikan belanja pertanian dan perindustrian hanya memberi efek yanga cukup kecil pada sektor pertanian dan industri dimana PDRB pertanian dan PDRB
industri hanya meningkat masing-masing 0.8. Hal ini menyebakan kedua sektor tersebut tidak mampu meningkatkan sharenya pada PDRB sehingga Indeks Gini
tidak berubah atau ketimpangan pendapatan tidak berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang relatif kecil tanpa adanya penurunan Indeks
Gini hanya menurunkan headcount index pertanian 0.01 persen poin sehingga proporsi penduduk miskin pertanian tidak berkurang. Peningkatan bagi hasil pajak
50 di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan yang sama dengan provinsi pertanian tetapi nilainya lebih besar. Kapasitas fiskal yang meningkat
lebih besar yaitu 13.4 menambah kemampuan keuangan daerah sehingga kenaikan belanja sektoral lebih besar yang selanjutnya berdampak meningkatkan
PDRB sektoral lebih tinggi. Kenaikan PDRB sektoral yang lebih besar berdampak menurunkan headcount index sektoral lebih besar meskipun Indeks Gini tetap.
Perubahan variabel kemiskinan yang lebih rendah di provinsi pertanian dapat menjadi indikasi bahwa penurunan kemiskinan sebagai dampak meningkatnya
kapasitas fiskal memerlukan porsi bagi hasil pajak yang lebih besar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan bagi hasil pajak dari porsi bagi hasil PPh daerah berdampak menurunkan headcount
index sektoral melalui efek meningkatnya pengeluaran per kapita sektoral karena
meningkatnya PDRB sektoral. Namun, kebijakan tersebut tidak menurunkan ketimpangan pendapatan. Meskipun perekonomian sektoral meningkat, tetapi
dampak kebijakan ini lebih memihak sektor perdagangan dimana perubahan pada belanja perdagangan, PDRB perdagangan, dan headcount index perdagangan
lebih besar dibandingkan perubahannya di sektor pertanian dan industri. Temuan ini memberi implikasi bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah
maka pemerintah pusat dapat menambah porsi bagi hasil PPh daerah. Namun agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat berdampak menurunkan kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan diperlukan kebijakan lain salah satunya meningkatkan belanja pertanian karena berdampak paling besar dalam menurunkan kemiskinan
yang memihak penduduk miskin pertanian.
Simulasi Peningkatan Penanaman Modal
Simulasi peningkatan total penanaman modal 90 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan pertimbangan: 1 tingginya
rata-rata pertumbuhan penanaman modal tahun 2006-2011 di provinsi pertanian yang mencapai 568 per tahun teruma tahun 2007 dan 2010. Sementara itu,
pertumbuhan tahun 2007-2011 lebih konsisten yaitu 85 di provinsi pertanian, sedangkan di provinsi non-pertanian sekitar 45. Oleh karena itu, cukup
beralasan jika penanaman modal ditingkatkan 90 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian; 2 hasil estimasi model menunjukkan total penanaman
modal mempengaruhi penerimaan pajak daerah dan belanja infrastruktur untuk pembangunan jalan aspal sebagai faktor penting bagi perekonomian daerah.
Tabel 41 Dampak Peningkatan Penanaman Modal
1
dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian
Varibel Endogen Satuan
Nilai Dasar Perubahan
Pertanian Non
Pertanian Pertanian
Non Pertanian
Penanaman Modal
5
Juta Rp 1 424 365
6 446 996 90.0
50.0 Blok Fiskal
1. PAD Juta Rp
1 024 054 3 477 112
11.7 9.9
2. Bagi hasil pajak Juta Rp
688 243 1 424 821
0.7 1.0
3. Kapasitas fiskal Juta Rp
2 103 080 7 138 562
5.9 5.0
4. Dana alokasi umum Juta Rp
4 981 834 6 932 979
-0.2 -0.4
5. Total pendapatan Juta Rp
8 716 324 16 310 871
1.3 2.0
6. Belanja pertanian Juta Rp
240 966 343 362
0.5 1.1
7. Belanja perindustrian Juta Rp
26 790 46 755
0.5 0.8
8. Belanja perdagangan Juta Rp
30 777 60 091
1.2 1.8
9. Belanja infrastruktur Juta Rp
1 177 511 2 206 496
1.4 2.3
10. Belanja lainnya Juta Rp
6 736 788 12 523 590
0.5 0.9
11. Total belanja Juta Rp
8 394 643 15 372 310
0.6 1.1
12. Kesenjangan fiskal Juta Rp
6 291 562 8 233 749
-1.1 -2.4
13. Kemandirian fiskal
2
11.7 21.3
1.3 1.7
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
Juta Rp 15 286 919
32 598 079 2.8
3.5 15. PDRB industri
Juta Rp 9 726 946
68 907 971 0.5
0.2 16. PDRB perdagangan
Juta Rp 12 034 913
37 758 339 7.4
6.3 17. PDRB total
Juta Rp 62 210 040 215 490 000
2.2 1.7
18. Share PDRB pertanian
2
26.6 17.2
0.1 0.3
19. Share PDRB industri
2
14.4 27.6
-0.2 -0.5
20. Share PDRB perdagangan
2
17.3 15.6
0.9 0.8
21. Jumlah tenaga kerja Ribu org
2 202 5 890
2.8 2.9
22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp
283 290
0.2 0.2
23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp
346 424
0.0 0.0
24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp
432 481
1.0 1.0
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
3
0.340 0.344
0.001 0.001
26. Headcount index pertanian
2
16.27 21.10
-0.05 -0.06
27. Headcount index industri
2
13.54 12.19
0.02 0.02
28. Headcount index perrdagangan
2
8.54 8.60
-0.17 -0.20
29. Poverty gap index pertanian
3
2.42 3.37
-0.01 -0.01
30. Poverty severity index pertanian
3
0.62 0.91
0.00 0.00
31. Headcount index total
2
12.72 14.53
-0.05 -0.06
32. Proporsi pddk miskin pertanian
2
59.0 46.0
0.1 0.1
33. Pddk miskin pertanian Ribu org
4
387 894
-1.2 -2.5
34. Pddk miskin industri Ribu org
4
31 144
0.0 0.2
35. Pddk miskin perdagangan Ribu org
4
46 161
-0.9 -3.7
36. Penduduk miskin total Ribu org
4
656 1 943
-2.5 -7.8
Catatan:
1
Skenario SS5: penanaman modal provinsi pertanian naik 90, provinsi non-pertanian naik 50
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
Perubahan dalam satuan jumlah;
5
Eksogen
Hasil simulasi pada Tabel 41 menunjukkan peningkatan total penanaman modal di provinsi pertanian sebesar 90 berdampak meningkatkan kapasitas
fiskal 5.9. Mekanismenya terjadi melalui peningkatan pajak daerah dan PDRB sebagai meningkatnya panjang jalan aspal. Pembangunan infrastruktur jalan aspal
membutuhkan pembiayaan dari swasta sehingga meningkatnya penanaman modal akan menggiatkan pembangunan jalan aspal yang berdampak pada pertumbuhan
PDRB sehingga pajak daerah dan bagi hasil pajak sebagai sumber utama kapasitas fiskal meningkat. Kenaikan kapasitas fiskal akan menambah kemampuan daerah
untuk membiayai belanja pertanian, industri, dan perdagangan. Kenaikan belanja- belanja sektoral yang diikuti kenaikan belanja infrastruktur berdampak positif
pada PDRB sektoral sehingga total PDRB meningkat 2.2. Meningkatnya PDRB menyebabkan DAU bekurang 0.2 yang berarti ketergantungan keuangan daerah
pada DAU berkurang. Di sisi lain, kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.8. Kenaikan PDRB sektoral meningkatkan pengeluaran
per kapita sektoral melalui efek kenaikan upah riil sektoral. Namun, kenaikan PDRB sektoral terbesar di sektor perdagangan meningkatkan share PDRB
tersebut sehingga berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.001 persen poin. Kenaikan Indeks Gini mengurangi efek kenaikan pengeluaran per kapita terutama
di sektor industri sehingga headcount index industri naik 0.02 persen poin. Analisis dampak kebijakan peningkatan penanaman modal di provinsi non-
pertanian 50 menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi perubahan pada variabel-variabel kemiskinan lebih besar meskipun memihak sektor perdagangan.
Artinya, kebijakan peningkatan penanaman modal yang berdampak lebih kecil di provinsi pertanian mengindikasikan bahwa untuk memperoleh dampak perbaikan
perekonomian dan kemiskinan daerah diperlukan penanaman modal yang lebih besar di provinsi pertanian. Temuan ini memberi implikasi mengenai pentingnya
upaya-upaya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah yang dapat terwujud melalui kerjasama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
Ringkasan Simulasi Kebijakan Tunggal
Ringkasan dampak simulasi kebijakan tunggal selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun skenario simulasi kombinasi kebijakan berdasarkan arah dan
nilai perubahan pada variabel-variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral. Oleh karena itu, perlu diketahui dampak positif, dampak negatif, dan
trade-off
yang ditimbulkan dari masing-masing kebijakan tunggal. Ringkasan dampak kebijakan tunggal disajkan pada Tabel 42. Rincian lengkap disajikan pada
Lampiran 12 dan 13. Tabel 42 menunjukkan: 1.
Kebijakan peningkatan belanja pertanian berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral. Pembangunan pertanian karena
pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja pertanian lebih besar dapat mewujudkan pertumbuhan pro-poor karena menciptakan pertumbuhan
ekonomi disertai turunnya ketimpangan pendapatan sehingga berdampak menurunkan kemiskinan sektoral yang memihak sektor pertanian. Headcount
index
sektoral yang turun lebih besar di provinsi pertanian menunjukkan peningkatan belanja pertanian memberi dampak lebih besar pada kemiskinan
sektoral di provinsi pertanian dibandingkan provinsi non-pertanian. Tetapi,
Tabel 42 Ringkasan Dampak Kebijakan Tunggal terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011
Variabel Endogen Belanja
Pertanian SS1
Belanja Perindustrian
SS2 Belanja
Perdagangan SS3
Bagi Hasil Pajak
SS4 Penanaman
Modal SS5
Tani Non
Tani Tani
Non Tani
Tani Non
Tani Tani
Non Tani
Tani Non
Tani 50 50
25 50
50 50
50 50 90 50 Blok Fiskal
1. PAD +
+ +
+ +
+ +
+ +++
++ 2. Kapasitas fiskal
+ +
+ +
++ +
++ +++
++ ++
3. Dana alokasi umum
⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻ ⁻
4. Kesenjangan fiskal
++ ++
⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
5. Kemandirian fiskal
⁻ ⁻
+ +
⁻ ⁻
++ ++
Blok Perekonomian Sektoral 6. PDRB total
++ ++
++ ++
++ ++
+ +
++ ++
7. Share PDRB pertanian +++
++
⁻⁻ ⁻⁻
⁻⁻⁻ ⁻⁻
+ +
+ ++
8. Share PDRB industri
⁻⁻ ⁻
++ ++
⁻⁻ ⁻⁻
⁻ ⁻⁻
⁻⁻
9. Share PDRB perdagangan
⁻⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻
+++ +++
++ ++
++ ++
10. Jumlah tenaga kerja +++
++ +
+++ ++
++ +
+ ++
++ Blok Kemiskinan Sektoral
11. Indeks Gini
⁻ ⁻
⁻ ⁻
+ +
+ +
12. HCI pertanian
⁻⁻⁻ ⁻⁻
⁻ ⁻
++ ++
⁻ ⁻
⁻ ⁻
13. HCI industri
⁻⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻
++ ++
⁻
+ +
14. HCI perdagangan
⁻⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻⁻
⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻
15. HCI total
⁻⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
+
⁻ ⁻
⁻ ⁻
⁻
16. Proporsi pddk miskin pertanian
⁻⁻ ⁻
+ +
+ +
+ +
+
17. Pddk miskin pertanian
⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
++ +++
⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
18. Pddk miskin industri
⁻ ⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻
+ +
⁻
+
19. Pddk miskin perdagangan
⁻⁻ ⁻⁻
⁻ ⁻
⁻⁻ ⁻⁻⁻
⁻ ⁻⁻
⁻ ⁻⁻
20. Penduduk miskin total
⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻
⁻⁻ ⁻⁻⁻
+
⁻⁻ ⁻
⁻⁻⁻ ⁻⁻
⁻⁻
Catatan: + meningkat; - berkurang; 0 tetap
jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar menjadi alasan peningkatan belanja pertanian juga perlu dilakukan di provinsi non-pertanian
bahkan proporsinya lebih besar dibandingkan provinsi pertanian. Namun, kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yang ditunjukkan oleh
kesenjangan fiskal yang lebih besar dan kemandirian fiskal yang lebih kecil.
2. Kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada kinerja
fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan. Pembangunan sektor industri dengan menambah belanja perindustrian akan mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi daerah sehingga kinerja fiskal meningkat dan kemiskinan sektoral berkurang. Namun, kebjiakan ini tidak memihak penduduk miskin pertanian
karena dampaknya lebih besar di sektor industri. Dengan perkataan lain, ekspansi belanja perindustrian berdampak mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi daerah namun tidak mewujudkan pertumbuhan pro-poor.
3. Kebijakan peningkatan belanja perdagangan berdampak positif pada kinerja
fiskal dan kinerja perekomian, tetapi berdampak negatif pada kemiskinan. Hal ini terjadi karena naiknya belanja perdagangan menyebabkan share PDRB
perdagangan semakin tinggi sehingga ketimpangan pendapatan meningkat.
Akibatnya, tingkat kemiskinan pertanian dan industri menjadi lebih besar bahkan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat.
4. Kebijakan peningkatan porsi bagi hasil PPh untuk daerah berdampak positif
pada kinerja perekonomian tetapi berdampak negatif pada kemiskinan pertanian yang ditunjukkan oleh proporsi penduduk miskin pertanian yang
meningkat terutama di provinsi non-pertanian. Dampak negatif lainnya adalah turunnya kemandirian fiskal.
5. Peningkatan total penanaman modal berdampak positif pada kinerja fiskal,
kinerja perekonomian, dan kemiskinan sektoral kecuali industri. Perubahan yang lebih kecil di provinsi pertanian menunjukkan bahwa provinsi pertanian
memerlukan penanaman modal yang lebih besar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan alternatif kebijakan yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan kemiskinan:
1. Kinerja fiskal dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja perindustrian dan
belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan penanaman modal.
2. Kinerja perekonomian dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja pertanian,
belanja perindustrian, dan belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, serta meningkatkan penanaman modal.
3. Ketimpangan pendapatan dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian
dan belanja perindustrian. 4.
Total headcount index dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian dan belanja perindustrian, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan
penanaman modal. 5.
Proporsi penduduk miskin pertanian dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian.
Simulasi Kebijakan Kombinasi
Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal ditunjukkan bahwa masing-masing kebijakan memberi dampak positif dan negatif. Oleh karena itu,
untuk memperoleh dampak terbaik pada perekonomian dan kemiskinan yang memihak penduduk miskin pertanian serta mengurangi ketergantungan keuangan
daerah pada DAU maka perlu dilakukan simulasi kombinasi beberapa kebijakan tunggal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi. Hasil
simulasi kombinasi kebijakan di provinsi pertanian yang terdiri dari peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan masing-masing
50, 25, dan 50 SM1 pada Tabel 43 menunjukkan dampak positif pada PDRB sektoral masing-masing PDRB pertanian meningkat 28.7, PDRB industri
meningkat 22.6, dan PDRB perdagangan meningkat 23.4 sehingga total PDRB naik 15.1. Atau dengan perkataan lain, ekonomi tumbuh sebesar 15.1.
Kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 3.9. Perubahan terbesar pada PDRB pertanian menyebabkan share PDRB pertanian meningkat
paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.003 poin. Selain itu, ketiga PDRB sektoral yang meningkat berdampak meningkatkan pengeluaran
per kapita terutama di sektor perdagangan sebesar 4.8. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan
headcount index
sektoral sehingga total headcount index turun 0.94 persen poin.
Tabel 43 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2006-2011
Varibel Endogen Perubahan
SM1 SM2A
SM2B SM3A
SM3B SM4
Penanaman Modal
1
90.0 90.0
90.0 Blok Fiskal
1. PAD 2.0
2.1 2.3
14.0 14.7
14.7 2. Bagi hasil pajak
4.1 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
3. Kapasitas fiskal 2.4
10.7 10.8
16.5 16.8
16.8 4. Dana alokasi umum
-1.8 -1.8
-2.1 -2.3
-2.9 -2.9
5. Total pendapatan -0.5
1.5 1.4
2.7 2.4
2.4 6. Belanja pertanian
50.0 50.0
50.0 50.0
100.0 100.0
7. Belanja perindustrian 25.0
25.0 50.0
50.0 50.0
50.0 8. Belanja perdagangan
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
9. Belanja infrastruktur 0.4
3.1 3.1
4.4 4.4
4.4 10. Belanja lainnya
-0.6 0.6
0.5 1.0
0.7 -0.5
11. Total belanja 1.7
3.1 3.1
3.6 5.0
4.1 12. Kesenjangan fiskal
1.5 0.5
0.5 -0.6
1.0 -0.1
13. Kemandirian fiskal 0.1
2
-0.1 -0.1
1.2 1.1
1.3 Rasio surplusdefisit fiskal
1.6 2.2
2.1 2.8
1.2 2.1
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
28.7 29.0
29.0 31.5
55.9 55.9
15. PDRB industri 22.6
22.6 38.9
39.1 39.1
39.1 16. PDRB perdagangan
23.4 24.1
24.1 30.7
30.7 30.7
17. PDRB total 15.1
15.3 17.9
19.8 25.8
25.8 18. Share PDRB pertanian
3.4
2
3.4 2.7
2.8 6.6
6.6 19. Share PDRB industri
0.0
2
-0.1 1.6
1.5 0.5
0.5 20. Share PDRB perdagangan
2.2
2
2.3 2.0
2.7 1.8
1.8 21. Jumlah tenaga kerja
6.8 7.1
7.6 10.2
13.8 13.8
22. Pengeluaran pddk pertanian 2.3
2.3 2.3
2.4 4.2
4.2 23. Pengeluaran pddk industri
1.8 1.8
3.1 3.1
3.1 3.1
24. Pengeluaran pddk perdagangan 4.8
4.9 4.9
5.8 5.8
5.8 Blok Kemiskinan Sektoral
25. Indeks Gini -0.003
3
-0.003 -0.003
-0.003 -0.007
-0.007 26. Headcount index pertanian
-1.26
2
-1.26 -1.30
-1.35 -2.48
-2.48 27. Headcount index industri
-0.51
2
-0.51 -0.79
-0.77 -0.96
-0.96 28. Headcount index perrdagangan
-1.10
2
-1.11 -1.14
-1.29 -1.49
-1.49 29. Poverty gap index pertanian
-0.23
3
-0.23 -0.23
-0.24 -0.44
-0.44 30. Poverty severity index pertanian
-0.07
3
-0.07 -0.07
-0.07 -0.13
-0.13 31. Headcount index total
-0.94
2
-0.94 -1.05
-1.10 -1.71
-1.71 32. Proporsi pddk miskin pertanian
-0.2
2
-0.2 0.2
0.2 -1.2
-1.2 33. Pddk miskin pertanian
-30.0
4
-30.0 -30.9
-32.0 -58.9
-58.9 34. Pddk miskin industri
-1.2
4
-1.2 -1.8
-1.7 -2.2
-2.2 35. Pddk miskin perdagangan
-5.9
4
-6.0 -6.1
-6.9 -8.0
-8.0 36. Penduduk miskin total
-48.6
4
-48.7 -54.3
-56.5 -88.3
-88.3
Catatan:
1
Eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
SM1 : belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50 Perubahan dalam satuan jumlah;
SM2A: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50
SM2B: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50
SM3A: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90
SM3B: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90
SM4 : belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90, belanja lainnya turun 0.5
Namun, laju penurunan total headcount index yang lebih kecil dibandingkan rata- rata aktual tahun 2006-2011 yaitu 1.10 persen poin per tahun serta dampak negatif
berupa kesenjangan fiskal yang meningkat 1.5 menjadi alasan kombinasi kebijakan tersebut perlu ditambah dengan kebijakan lain.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan laju penurunan total headcount index dan menurunkan kesenjangan fiskal, simulasi kombinasi SM1 ditambah kebijakan
peningkatan bagi hasil pajak 50 SM2A. Pertimbangannya adalah dampak simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50 adalah turunnya kesenjangan fiskal
dan total headcount index. Namun, kombinasi kebijakan tersebut masih memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal meskipun perubahannya lebih
kecil dibandingkan simulasi kombinasi sebelumnya SM1. Selain itu, penurunan total headcount index tidak berubah yaitu 0.94 persen poin. Bahkan, muncul
dampak negatif lain yaitu turunnya kemandirian fiskal 0.1 persen poin yang disebabkan oleh tingginya kenaikan total belanja daerah yang mencapai 3.1
sementara PAD hanya meningkat 2.1. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, belanja perindustrian ditambah 50 SM2B berdasarkan hasil simulasi
peningkatan belanja perindustrian 50 yang berdampak menurunkan jumlah penduduk miskin sektoral. Hasil simulasi kombinasi kebijakan tersebut
berdampak positif pada kemiskinan yang ditunjukkan oleh berkurangnya total headcount index
sebesar 1.05 persen poin. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan adalah memburuknya kinerja
fiskal dan meningkatnya proporsi penduduk miskin pertanian. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut total penanaman modal ditingkatkan 90 SM3A. Hasil
simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index
1.10 persen poin terutama di sektor pertanian 1.35 persen poin. Kesenjangan fiskal juga turun 0.6 dan kemandirian fiskal meningkat 1.2 persen
poin, namun proporsi penduduk miskin pertanian masih tetap tinggi bahkan meningkat 0.2 persen poin. Untuk mengatasi dampak negatif yaitu meningkatnya
proporsi penduduk miskin pertanian maka belanja pertanian ditingkatkan 100 SM3B. Pertimbangannya adalah masih terjadi surplus fiskal 2.8 persen dari total
pendapatan daerah sehingga memungkinkan untuk menambah belanja pertanian. Selain itu, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian menunjukkan dampaknya
yang memihak penduduk miskin pertanian sehingga kombinasi kebijakan tersebut diperkirakan akan menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian. Hasilnya
menunjukkan headcount index pertanian turun 2.48 persen poin sehingga total headcount index
turun 1.71 persen poin. Turunnya headcount index pertanian lebih besar dari pada headcount index industri dan headcount index perdagangan
berdampak menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 1.2 persen poin. Namun, kesenjangan fiskal naik 1.0 akibat total belanja daerah yang naik 5.0.
Untuk mengurangi kesenjangan fiskal, belanja lainnya dikurangi 0.5 SM4. Hasil simulasi menunjukkan belanja daerah hanya naik 4.1 sehingga
kesenjangan fiskal turun 0.1 dan kemandirian fiskal naik 1.3. Dampak pada perekonomian dan kemiskinan adalah PDRB naik 25.8, jumlah tenaga kerja
naik 13.8, Indeks Gini turun 0.007 poin, total headcound index turun 1.71 persen poin, headcount index pertanian turun paling besar yaitu 2.48 persen poin,
proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.2, dan jumlah penduduk miskin berkurang 88300 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual 2006-2011
dimana jumlah penduduk miskin berkurang 56200 orang.
Tabel 44 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2006-2011
Varibel Endogen Perubahan
SM1A SM1B
SM2A SM2B
SM3 SM4
Penanaman Modal
1
25.0 25.0
Blok Fiskal 1. PAD
0.6 0.7
0.8 0.9
5.9 5.9
2. Bagi hasil pajak 3.7
3.7 50.0
50.0 50.0
50.0 3. Kapasitas fiskal
1.0 1.1
13.7 13.8
16.2 16.2
4. Dana alokasi umum -1.8
-2.4 -2.5
-3.1 -3.3
-3.3 5. Total pendapatan
-0.3 -0.5
5.0 4.7
5.7 5.7
6. Belanja pertanian 50.0
100.0 100.0
150.0 150.0
150.0 7. Belanja perindustrian
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
8. Belanja perdagangan 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 9. Belanja infrastruktur
0.3 0.3
7.4 7.4
8.5 8.5
10. Belanja lainnya -0.4
-0.6 2.7
2.5 2.9
-1.0 11. Total belanja
1.0 1.9
5.7 6.5
7.0 4.2
12. Kesenjangan fiskal 1.0
2.6 -1.4
0.2 -0.9
-6.3 13. Kemandirian fiskal
0.1
2
-0.1 -0.8
-0.9 -0.
1 0.0
Rasio surplusdefisit fiskal 4.5
3.5 5.1
4.1 4.6
7.1 Blok Perekonomian Sektoral
14. PDRB pertanian 12.8
27.1 27.7
42.0 43.6
43.6 15. PDRB industri
6.7 6.7
6.7 6.7
6.7 6.7
16. PDRB perdagangan 12.9
12.9 14.0
14.0 17.0
17.0 17. PDRB total
6.3 8.5
8.8 11.0
11.7 11.7
18. Share PDRB pertanian 0.1
2
2.1 2.1
4.0 4.1
4.1 19. Share PDRB industri
0.7
2
0.2 0.1
-0.4 -0.6
-0.6 20. Share PDRB perdagangan
3.4
2
3.0 3.1
2.7 3.0
3.0 21. Jumlah tenaga kerja
3.9 5.8
6.3 8.2
9.5 9.5
22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1
2.4 2.5
3.8 3.9
3.9 23. Pengeluaran pddk industri
1.8 1.8
1.8 1.8
1.8 1.8
24. Pengeluaran pddk perdagangan 6.3
6.3 6.6
6.6 7.0
7.0 Blok Kemiskinan Sektoral
25. Indeks Gini 0.002
3
-0.001 -0.001
-0.003 -0.002
-0.002 26. Headcount index pertanian
-0.46
2
-1.25 -1.27
-2.05 -2.07
-2.07 27. Headcount index industri
-0.39
2
-0.48 -0.48
-0.57 -0.56
-0.56 28. Headcount index perrdagangan
-1.35
2
-1.45 -1.52
-1.61 -1.70
-1.70 29. Poverty gap index pertanian
-0.09
3
-0.23 -0.24
-0.37 -0.38
-0.38 30. Poverty severity index pertanian
-0.03
3
-0.07 -0.07
-0.11 -0.11
-0.11 31. Headcount index total
-0.58
2
-0.99 -1.02
-1.42 -1.44
-1.44 32. Proporsi pddk miskin pertanian
0.9
2
0.5 0.5
0.0 0.0
0.0 33. Pddk miskin pertanian
-19.5
4
-52.8 -54.0
-86.8 -87.9
-87.9 34. Pddk miskin industri
-4.6
4
-5.7 -5.7
-6.7 -6.6
-6.6 35. Pddk miskin perdagangan
-25.4
4
-27.3 -28.5
-30.3 -31.9
-31.9 36. Penduduk miskin total
-77.8
4
-132.6 -135.8
-189.5 -192.8
-192.8
Catatan:
1
Eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50 Perubahan dalam satuan jumlah;
SM2: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50, SM3: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50,
bagi hasil pajak naik 50 SM4: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50,
bagi hasil pajak naik 50 SM5: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50,
bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 25 SM6: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50,
bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 25, belanja lainnya turun 1.0
Hasil simulasi kombinasi kebijakan di provinsi non-pertanian pada Tabel 44 menunjukkan kombinasi peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan
belanja perdagangan masing-masing 50 SM1A berdampak meningkatkan PDRB pertanian, PDRB industri, dan PDRB perdagangan masing-masing 12.8,
6.7, dan 12.9 sehingga total PDRB meningkat 6.3. Kenaikan PDRB meningkatkan jumlah tenaga kerja sebesar 3.9. Namun, perubahan terbesar pada
PDRB perdagangan menyebabkan share PDRB perdagangan meningkat paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini naik 0.002 poin. Di sisi lain,
meningkatnya PDRB sektoral berdampak meningkatkan pengeluaran penduduk sektoral terutama perdagangan yaitu 6.3. Meningkatnya pengeluaran per kapita
sektoral menyebabkan headcount index sektoral berkurang terutama di sektor perdagangan sehingga total headcount index berkurang 0.58 persen poin. Namun,
dampaknya lebih rendah dibandingkan provinsi pertanian karena ketimpangan pendapatan meningkat. Selain itu, laju penurunan headcount index lebih rendah
dibandingkan rata-rata aktual 2006-2011 yaitu 0.89 persen poin per tahun. Alternatif kebijakan ini memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal
1.0 serta proporsi penduduk miskin pertanian 0.9 persen poin akibat headcount index
pertanian yang turun lebih kecil dari headcount index perdagangan. Oleh karena itu, untuk mempercepat laju penurunan headcount index pertanian maka
belanja pertanian ditingkatkan 100 SIM1B. Hasil simulasi menunjukkan headcount index
pertanian turun 1.25 persen poin sehingga total headcount index turun 0.99 persen poin. Total headcount index yang lebih rendah terjadi karena
Indeks Gini turun 0.001 poin yang disebabkan share PDRB pertanian dan share PDRB industri meningkat lebih besar. Akan tetapi, kebijakan kombinasi ini lebih
menguntungkan sektor perdagangan dimana headcount index perdagangan turun paling besar yaitu 1.45 persen poin. Akibatnya, proporsi penduduk miskin di
sektor pertanian masih meningkat meskipun lebih kecil dari pada hasil simulasi sebelumnya yaitu 0.5 persen poin. Kombinasi kebijakan berdampak negatif yaitu
meningkatnya kesenjangan fiskal dan berkurangnya kemandirian fiskal akibat laju kenaikan total belanja daerah lebih cepat dibandingkan laju kenaikan PAD.
Untuk mengatasi dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut maka kapasitas fiskal perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, alternatif kebijakan berikutnya adalah
bagi hasil pajak ditingkatkan 50 SIM2A. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.4
tetapi kemandirian fiskal turun 0.8 persen poin. Sementara dampaknya pada kemiskinan adalah total headcount index turun 1.02 persen poin namun propporsi
penduduk miskin pertanian meningkat 0.5. Untuk mengatasi kenaikan proporsi penduduk miskin pertanian tersebut maka dilakukan simulasi berikutnya dengan
meningkatkan belanja pertanian 150 SIM2B. Kebijakan peningkatan belanja pertanian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada surplus fiskal. Hasil
simulasi menunjukkan kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index
1.42 persen poin dimana penurunan terbesar terjadi di sektor pertanian dengan headcount index pertanian turun 2.05 persen poin. Hal ini menyebabkan
proporsi penduduk miskin pertanian tidak meningkat. Namun, dampak negatifnya adalah kesenjangan fiskal naik 0.2 yang disebabkan oleh meningkatnya total
belanja daerah yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas fiskal yang cukup. Oleh karena itu, kapasitas fiskal perlu ditingkatkan lagi. Salah satu caranya
adalah meningkatkan total penanaman modal untuk mendorong PAD. Hasil
simulasi kombinasi kebijakan yang disertai peningkatan penanaman modal 25 SIM3 menunjukkan dampaknya berupa kesenjangan fiskal yang lebih kecil yaitu
0.9 namun kemandirian fiskal masih berkurang yaitu 0.1 persen poin.
Meskipun kebijakan peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total
penanaman modal berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan, namun kemandirian fiskal yang merupakan indikator kinerja fiskal berkurang
yang berarti permasalahan tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU belum dapat diatasi oleh kombinasi kebijakan tersebut. Salah satu cara untuk
mengatasinya adalah mengurangi total belanja daerah dengan menurunkan belanja lainnya sebesar 1 SM4. Hasil simulasi menunjukkan kemandirian fiskal tidak
berkurang namun juga tidak meningkat. Akan tetapi, peningkatan kemandirian fiskal bukan hal yang krusial bagi provinsi non-pertanian mengingat provinsi non-
pertanian memiliki tingkat kemandirian fiskal yang cukup tinggi selama 2006- 2011 yaitu rata-rata 21 per tahun bahkan cenderung meningkat. Dampak lainnya
adalah PDRB sektoral naik yaitu PDRB pertanian 43.6, PDRB industri 6.7, dan PDRB perdagangan 17.0 sehingga PDRB meningkat 11.7. Kenaikan
PDRB sektoral berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja sektoral sehingga total tenaga kerja bertambah 9.5. Meningkatnya PDRB pertanian menyebabkan
share
PDRB pertanian naik 4.1 persen poin sehingga berdampak menurunkan Indeks Gini 0.002 poin. Selain itu, meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak
meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dan Indeks Gini yang lebih rendah selanjutnya menyebabkan berkurangnya
headcount index
sektoral terutama di sektor pertanian sehingga total headcount index
turun 1.44 persen poin dan jumlah penduduk miskin turun 192800 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya
turun sekitar 116200 orang per tahun. Berdasarkan hasil simulasi historis 2006-2011 terhadap beberapa kombinasi
kebijakan di provinsi pertanian dan non-pertanian dapat disimpulkan bahwa: 1.
Belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal yang lebih besar akan mendorong kapasitas
fiskal sehingga berdampak menurunkan headcount index sektoral. 2.
Laju penurunan kemiskinan yang lebih cepat dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah dapat terwujud jika pemerintah daerah memprioritaskan
pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian, pemerintah pusat menambah porsi bagi hasil PPh untuk daerah, dan pihak swasta menanamkan
modalnya di daerah.
3. Meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor
pertanian namun pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian merupakan hal penting karena akan mempercepat pengentasan kemiskinan
mengingat jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar terutama di kelompok penduduk miskin pertanian.
4. Kebijakan ekspansi belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan
berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral tetapi berdampak negatif pada kinerja fiskal. Bahkan, di provinsi non-pertanian
terjadi trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Namun, dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut dapat diatasi jika alokasi belanja
daerah diprioritaskan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian.
Dengan demikian, temuan dari hasil simulasi hiostoris terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mendorong kapasitas fiskal memberi implikasi bahwa
untuk mempercepat pengentasan kemiskinan melalui efek pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar dari pajak
daerah dan bagi hasil pajak. Kapasitas fiskal yang lebih besar akan menambah kemampuan keuangan daerah tanpa ketergantungan yang tinggi pada DAU untuk
membiayai pembangunan sektoral melalui belanja sektoral yang memprioritaskan pembangunan pertanian. Contoh program simulasi dan hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 14–17. Sedangkan, rekapitulasi hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 18 dan Lampiran 19.
Simulasi Peramalan 2013-2015
Simulasi peramalan 2013-2015 dilakukan terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mengacu pada hasil simulasi historis 2006-2011. Analis simulasi
peramalan juga difokuskan pada variabel-variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal dan berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian,
dan kemiskinan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. Simulasi diawali dengan meramal nilai-nilai dari variabe-variabel eksogen menggunakan
metode Stepwise Autoregressie pada prosedur FORECAST dengan trend linier. Hasil peramalan variabel-variabel eksogen selanjutnya digunakan untuk meramal
nilai-nilai dari variabel-variabel endogen menggunakan metode solusi Newton pada prosedur SIMNLIN dengan software SASETS 9.1.3. Program peramalan
variabel-variabel eksogen dan hasilnya disajikan pada Lampiran 20 dan 21.
Skenario pertama simulasi peramalan di provinsi pertanian terdiri dari kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan masing-
masing 50, 50, dan 30 SM1. Peningkatan belanja perdagangan 30 berbeda dengan skenario simulasi historis yaitu 50 dengan pertimbangan
kenaikan belanja perdagangan 2011 rata-rata hanya 34 dan kenaikan 2007-2011 rata-rata hanya 8 per tahun. Hasil simulasi pada Tabel 45 menunjukkan dampak
positif yaitu PDRB sektoral meningkat sehingga tercipta PDRB tumbuh 11.2 dan jumlah tenaga kerja meningkat 5.4. Kenaikan PDRB sektoral menyebabkan
pengeluaran per kapita sektoral meningkat. Selain itu, pertumbuhan pertanian dan industri yang lebih besar dibandingkan perdagangan menyebabkan share PDRB
pertanian dan share PDRB industri meningkat sehingga Indeks Gini berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang disertai Indeks Gini yang lebih
rendah menurunkan headcount index sektoral dengan penurunan terbesar di sektor pertanian. Turunnya headcount index ketiga sektor menyebabkan total headcount
index
berkurang 0.69 persen poin. Selainn itu, jumlah penduduk miskin berkurang 38600 orang bahkan lebih besar dibandingkan data aktual 2010-2011 dengan rata-
rata 34600. Akan tetapi, alternatif kombinasi kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yaitu kesenjangan fiskal naik 1.6 dan kemandirian fiskal
turun 0.1 persen poin. Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal, salah satu cara meningkatkan kinerja fiskal adalah meningkatkan kapasitas fiskal dari
bagi hasil pajak.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kesenjangan fiskal maka bagi hasil pajak ditingkatkan 50 SM2. Kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan
kesenjangan fiskal 1.2, menurunkan total headcount index turun 0.70 persen
poin, dan menurunkan jumlah penduduk miskin 38900 orang, tetapi kemandirian fiskal berkurang 0.4 persen poin. Berkurangnya kemandirian fiskal di provinsi
pertanian menjadi permasalahan krusial dimana rata-rata aktual kemandirian fiskal tahun 2006-2011 sangat rendah yaitu 12.0 per tahun. Oleh karena itu,
kemandirian fiskal harus ditingkatkan dengan mendorong penanaman modal.
Tabel 45 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian
Tahun 2013-2015
Variabel Endogen Perubahan
SM1 SM2
SM3 Penanaman Modal
1
100.0 Blok Fiskal
1. PAD 0.6
0.7 12.9
2. Bagi hasil pajak 3.9
50.0 50.0
3. Kapasitas fiskal 1.4
13.6 21.3
4. Dana alokasi umum -1.1
-1.1 -1.4
5. Total pendapatan -0.1
3.1 5.0
6. Belanja pertanian 50.0
50.0 50.0
7. Belanja perindustrian 50.0
50.0 50.0
8. Belanja perdagangan 30.0
30.0 30.0
9. Belanja infrastruktur 0.3
3.5 5.4
10. Belanja lainnya -0.1
1.0 1.6
11. Total belanja 1.5
2.9 3.6
12. Kesenjangan fiskal 1.6
-1.2 -3.1
13. Kemandirian fiskal -0.1
2
-0.4 1.6
Rasio surplusdefisit fiskal 2.1
3.8 4.9
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
18.1 18.4
22.4 15. PDRB industri
30.6 30.6
31.1 16. PDRB perdagangan
9.4 9.9
17.3 17. PDRB total
11.2 11.4
14.5 18. Share PDRB pertanian
5.9
2
5.9 6.5
19. Share PDRB industri 19.6
2
19.4 16.8
20. Share PDRB perdagangan -1.2
2
-1.0 2.7
21. Jumlah tenaga kerja 5.4
6.9 9.9
22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1
1.1 1.3
23. Pengeluaran pddk industri 2.4
2.4 2.5
24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.1
2.2 3.7
Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini
-0.003
3
-0.003 -0.002
26. Headcount index pertanian -0.79
2
-0.80 -0.91
27. Headcount index industri -0.67
2
-0.67 -0.66
28. Headcount index perrdagangan -0.67
2
-0.69 -1.06
29. Poverty gap index pertanian -0.14
3
-0.14 -0.16
30. Poverty severity index pertanian -0.04
3
-0.04 -0.05
31. Headcount index total -0.69
2
-0.70 -0.82
32. Proporsi pddk miskin pertanian -0.3
2
-0.3 -0.2
33. Pddk miskin pertanian -19.3
4
-19.4 -22.2
34. Pddk miskin industri -1.0
4
-1.0 -1.0
35. Pddk miskin perdagangan -3.3
4
-3.4 -5.2
36. Penduduk miskin total -38.6
4
-38.9 -45.4
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
satuan jumlah Perubahan dalam
SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30 SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50
SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 100
Untuk itu, skenario berikutnya adalah meningkatkan total penanaman modal 100 SM3 dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan penanaman modal 2007-
2011 di provinsi pertanian cukup tinggi dengan rata-rata 85 per tahun, bahkan tahun 2011 mencapai 188. Hasil simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan
tersebut memberi dampak lebih besar pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal turun 3.1 dan kemandirian fiskal naik 1.6 persen poin. Dampak positif
lainnya dalah PDRB naik 14.5, jumlah tenaga kerja bertambah 9.9, Indeks Gini turun 0.002 poin, total headcount index turun 0.82 persen poin, dan jumlah
penduduk miskin berkurang 45400 orang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agar kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi pertanian tahun 2013-2015 lebih baik dengan ketimpangan
pendapatan yang lebih rendah, diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Hal ini dapat tercapai dengan menambah belanja-belanja sektoral untuk mendorong
PDRB yang menstimulasi kenaikan pajak daerah serta menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah. Selain itu, diperlukan juga penanaman modal yang lebih
tinggi untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang.
Hasil simulasi peramalan di provinsi non-pertanian disajikan pada Tabel 46. Kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan
masing-masing 50, 50, dan 30 SM1A berdampak meningkatkan PDRB sektoral sehingga PDRB naik 5.7 dan jumlah tenaga kerja naik 3.6. Kenaikan
PDRB pertanian yang tinggi yaitu 13.3 menyebabkan share PDRB pertanian meningkat 7.2 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.001 poin. Kenaikan
pengeluaran per kapita sektoral sebagai dampak kenaikan PDRB sektoral disertai dengan berkurangnya Indeks Gini berdampak menurunkan total headcount index
0.59 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 84900 orang bahkan lebih besar dibandingkan rata-rata aktual di provinsi non-pertanian tahun 2011
yang berkurang 66300 dari tahun 2010. Namun, kombinasi kebijakan tersebut berdampak negatif pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal naik 1.8 dan
kemandirian fiskal turun 0.2 persen poin. Dampak negatif lainnya adalah proporsi penduduk miskin pertanian naik 0.3 persen poin akibat laju penurunan headcount
index
pertanian yang lebih lambat. Untuk mempercepat laju penurunan headcount index
pertanian belanja pertanian ditingkatkan 80 SM1B sehingga berdampak menurunkan total headcount index 0.80 persen poin dengan penurunan terbesar di
sektor pertanian. Laju penurunan headcount index pertanian yang lebih tinggi menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 0.1 persen poin sehingga jumlah
penduduk miskin berkurang lebih besar yaitu 114400 orang. Tetapi, kinerja fiskal semakin buruk dimana kesenjangan fiskal meningkat 3.0 dan kemandirian fiskal
berkurang 0.4 persen poin.
Dari hasil simulasi kebijakan tunggal diketahui salah satu cara mengatasi kesenjangan fiskal adalah meningkatkan bagi hasil pajak. Untuk itu, skenario
berikutnya adalah meningkatkan bagi hasil pajak 50 SM2 yang berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.7. Namun kemandirian fiskal turun 0.8 persen
poin sehingga PAD harus ditambah dengan meningkatkan penanaman modal 50 SM3. Dampaknya pada kinerja fiskal positif dimana kemandirian fiskal naik 0.5
persen poin dan kesenjangan fiskal turun 3.7. Dampak pada perekonomian adalah PDRB sektoral naik masing-masing sektor pertanian 24.2, sektor industri
9.5, dan sektor perdagangan 9.6 sehingga total PDRB naik 8.6 dan jumlah
tenaga kerja naik 7.6. Tingginya kenaikan PDRB pertanian menurunkan Indeks Gini 0.002 poin dan bersama kenaikan pengeluaran per kapita sektoral berdampak
menurunkan headcount index sektoral sehingga total headcount index turun 0.88 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 125600 orang.
Tabel 46 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian
Tahun 2013-2015
Variabel Endogen Perubahan
SM1A SM1B
SM2 SM3
Penanaman Modal
1
50.0 Blok Fiskal
1. PAD 0.2
0.3 0.3
6.0 2. Bagi hasil pajak
3.0 3.0
50.0 50.0
3. Kapasitas fiskal 0.6
0.7 9.1
12.2 4. Dana alokasi umum
-1.3 -1.6
-1.7 -2.0
5. Total pendapatan -0.1
-0.2 3.6
5.0 6. Belanja pertanian
50.0 80.0
80.0 80.0
7. Belanja perindustrian 50.0
50.0 50.0
50.0 8. Belanja perdagangan
30.0 30.0
30.0 30.0
9. Belanja infrastruktur 0.2
0.2 4.0
5.2 10. Belanja lainnya
-0.1 -0.2
1.2 1.6
11. Total belanja 1.3
1.9 3.5
4.0 12. Kesenjangan fiskal
1.8 3.0
-1.7 -3.7
13. Kemandirian fiskal -0.2
2
-0.4 -0.8
0.5 Rasio surplusdefisit fiskal
3.8 3.1
5.2 5.9
Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian
13.3 21.2
21.5 24.2
15. PDRB industri 9.4
9.4 9.4
9.5 16. PDRB perdagangan
4.5 4.5
5.0 9.6
17. PDRB total 5.7
7.0 7.1
8.6 18. Share PDRB pertanian
7.2
2
13.8 13.9
14.9 19. Share PDRB industri
3.3
2
1.9 1.8
-0.2 20. Share PDRB perdagangan
1.0
2
-0.7 -0.4
2.5 21. Jumlah tenaga kerja
3.6 4.8
5.1 7.6
22. Pengeluaran pddk pertanian 0.9
1.4 1.5
1.6 23. Pengeluaran pddk industri
1.7 1.7
1.7 1.8
24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.3
2.3 2.4
3.3 Blok Kemiskinan Sektoral
25. Indeks Gini -0.001
3
-0.002 -0.002
-0.002 26. Headcount index pertanian
-0.64
2
-1.04 -1.05
-1.12 27. Headcount index industri
-0.53
2
-0.58 -0.58
-0.57 28. Headcount index perrdagangan
-0.73
2
-0.77 -0.80
-1.03 29. Poverty gap index pertanian
-0.12
3
-0.19 -0.19
-0.20 30. Poverty severity index pertanian
-0.03
3
-0.05 -0.05
-0.06 31. Headcount index total
-0.59
2
-0.80 -0.81
-0.88 32. Proporsi pddk miskin pertanian
0.3
2
-0.1 -0.1
0.0 33. Pddk miskin pertanian
-27.8
4
-45.1 -45.5
-48.4 34. Pddk miskin industri
-5.0
4
-5.4 -5.4
-5.3 35. Pddk miskin perdagangan
-12.5
4
-13.4 -13.8
-17.8 36. Penduduk miskin total
-84.9
4
-114.4 -115.6
-125.6
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin;
4
satuan jumlah Perubahan dalam
SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30 SM2: belanja pertanian naik 80, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30
SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50 SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 50
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi non-pertanian tahun 2013-2015 disertai
tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian yang lebih rendah diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Salah
satu caranya adalah meningkatan belanja-belanja daerah untuk urusan pertanian, perindustrian, dan perdagangan namun lebih difokuskan pada belanja pertanian.
Hal ini disebabkan kenaikan belanja sektoral akan mendorong pertumbuhan PDRB sehingga dapat menstimulir kenaikan pajak daerah. Selain itu, peningkatan
porsi daerah dari bagi hasil pajak diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal. Peran swasta dalam bentuk penanaman modal yang lebih besar juga diperlukan
untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang.
Secara umum, hasil simulasi peramalan menunjukkan bahwa jika kapasitas fiskal tahun 2013-2015 lebih besar sebagai dampak ekspansi belanja-belanja
pertanian, perindustrian, dan perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal maka laju penurunan kemiskinan semakin cepat
yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dan berkurangnya ketimpangan pendapatan. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang memihak sektor pertanian
terutama melalui ekspansi belanja pertanian yang berdampak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian akan mempercepat laju penurunan tingkat kemiskinan
mengingat mayoritas penduduk miskin di Indonesia hidup dari sektor pertanian. Hasil simulasi peramalan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 22 dan 23.
8. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Selama tahun 2006-2011 kinerja fiskal daerah di Indonesia umumnya rendah
dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU sedangkan kapasitas fiskal rendah dan berkurang. Pertumbuhan ekonomi daerah terindikasi tidak pro-
poor karena meskipun tingkat kemiskinan headcount index berkurang tetapi ketimpangan pendapatan Indeks Gini dan proporsi penduduk miskin
rumahtangga pertanian meningkat.
2. Kapasitas fiskal berpengaruh besar pada belanja pertanian dan infrastruktur
yang merupakan faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan panjang jalan aspal. Pertumbuhan sektor pertanian yang
lebih tinggi dan bertambahnya panjang jalan aspal bepengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin
rumahtangga pertanian yang mengindikasikan pertumbuhan pro-poor.
3. Sumber kapasitas fiskal pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan
penanaman modal swasta. 4.
Sumber kapasitas fiskal bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB sektor non- pertanian yang berpotensi meningkatkan pajak penghasilan PPh perorangan
sebagai sumber utama bagi hasil pajak di daerah. 5.
Alternatif kebijakan peningkatan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada peningkatan belanja perdagangan disertai kebijakan
peningkatan porsi bagi hasil pajak untuk daerah dan peningkatan penanaman modal swasta terutama di provinsi pertanian akan meningkatkan kapasitas
fiskal sehingga berdampak terhadap perbaikan kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral dengan indikasi meningkatnya kemandirian fiskal,
pertumbuhan PDRB sektoral, dan jumlah tenaga kerja sektoral serta berkurangnya headcount index sektoral, Indeks Gini, dan proporsi penduduk
miskin rumahtangga pertanian.
Implikasi Kebijakan
Temuan-temuan penting dari penelitian ini memberi implikasi yaitu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar diikuti penyerapan tenaga kerja
dan berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian serta untuk mencapai target-target kemiskinan pada
agenda pembangunan nasional RPJMN 2014 sebesar 8-10 dan MDGs 2015 sebesar 7.5, maka pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kapasitas
fiskal dengan cara: 1.
Pemerintah daerah meningkatkan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada belanja perdagangan.
2. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait
bersama-sama menciptakan iklim investasi swasta yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal swasta dalam dan luar negeri terutama di
provinsi pertanian.
3. Pemerintah pusat merevisi UU No. 332004 pasal 13 dengan menambah porsi
bagi hasil pajak untuk daerah dari PPh perorangan dari 20 menjadi 30.
Saran Penelitian Lanjutan
1. Data pajak daerah pada penelitian ini adalah data agregat pajak, sedangkan
jenis-jenis pajak kabupatenkota dan pajak provinsi sangat berbeda. Pajak kabupatenkota sebagian besar adalah pajak-pajak tidak langsung terutama
dari sektor perdagangan, sedangkan pajak provinsi sebagian besar pajak-pajak langsung terutama pajak-pajak terkait kendaraan bermotor. Oleh karena itu,
pada penelitian lanjutan disarankan melakukan kajian untuk setiap jenis pajak daerah agar dapat diketahui jenis pajak yang paling berpotensi meningkatkan
kapasitas fiskal.
2. Data belanja daerah adalah gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan
yang merupakan konsekuensi perubahan format APBD sejak tahun 2005. Sementara itu, saat ini belum ada metode disagregasi yang dapat memisahkan
belanja rutin dan belanja pembangunan sedangkan studi-studi terdahulu menunjukkan perbedaan dampak kedua jenis belanja tersebut terhadap
perekonomian dan kemiskinan. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kajian mengenai metode diasgregasi belanja daerah yang tepat.
3. Kajian pengentasan kemiskinan pada penelitian ini menggunakan pendekatan
pertumbuhan pro-poor. Akan tetapi, menurut de Janvry dan Sadoulet 2010 pengentasan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan transfer pendapatan
cash transfer langsung kepada rumahtangga miskin. Pada prakteknya, pendekatan ini beberapa kali dilakukan di Indonesia selama beberapa tahun
terakhir. Namun, studi-studi cash transfer di Indonesia umumnya dilakukan untuk cakupan nasional dengan sumber anggaran APBN atau bantuan asing.
Sementara studi-studi serupa di tingkat daerah sangat terbatas dan hanya dilakukan pada daerah-daerah tertentu serta tidak dikaji secara sektoral. Oleh
karena itu, disarankan untuk melakukan kajian dampak cash transfer terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah secara menyeluruh.
4. Kajian sektoral pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan keterkaitan
belanja daerah, PDRB, dan kemiskinan di setiap sektor. Sedangkan, studi- studi terdahulu seperti Suryahadi, et al. 2009 dan Ravallion dan Datt 1996
menunjukkan adanya keterkaitan pertumbuhan dan kemiskinan antar sektor. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan studi dampak dan keterkaitan
pertumbuhan antar komponen sektoral terhadap kemiskinan sektoral.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, D. 2007. Pro-poor policies: what are they? How do they contribute to the achievement of the MDGs?
Paper presented at Sub-Regional Workshop for the North Pacific: Integrating MDGs into National Development Strategies and
Budgets, 26 – 29 June 2007. UNDP, Bangkok. ADB. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction
Strategy . Asian Development Bank, Manila.
Afrizawati. 2012. Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah KabupatenKota di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi, 21: 21-30.
Ariyanto, B. 2002. Studi Transfer Pemerintah dalam Era Desentralisasi di Indonesia: Kasus Dana Perimbangan. Tesis Magister. Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia, Depok. Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty
Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show? Bulletin of Indonesian Economic Studies
, 382: 201-22. Balitbang Depdagri dan Fisipol UGM. 1991. Pengukuran Kemampuan Daerah
Tingkat II Dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab
. Balitbang Depdagri, Jakarta. Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga,
Jakarta. Bidani, N., M. Ravallion. 1993. A Regional Poverty Profile for Indonesia. Bulletin
of Indonesian Economic Studies , 293: 37-68.
Bird, R.M. 2011. Subnational Taxation in Developing Countries: A Review of the Literatur. Journal of International Commerce, Economic and Policy, 21: 139-
161. Booth, A., Firdaus. 1996. Effect of Price and Market Reform on the Poverty
Situation of Rural Communities and Firm Families . Working Paper. United
Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pacific UN ESCAP, New York.
Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank, Washington, D.C.
BPS. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
------. 2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Brodjonegoro, B. 2001. Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Case of General Allocation Fund
. Paper presented at An International Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian
Countries: Issues and Practices. Asian Tax and Public Policy Program, Hitotsubashi University, 9-10 February 2001, Tokyo.
Cheema, G.S., D.A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development. Sage. Beverly Hills.
Daniels, L. 2011. Measuring Poverty Trends in Uganda with Non-monetatry Indicators
. Paper presented at the Fourth Global Conference on Agricultural and Rural Household Statistics. Wye City Group. 9-11 November 2011, Rio de
Janeiro, Brazil. De Janvry, E. Sadoulet 2010. Agricultural Growth and Poverty Reduction:
Additional Evidence. The World Bank Research Observer, 251: 1-20. Devas, N. 1989. Financing Local Government in Indonesia. Ohio University
Center for International Studies, Ohio. DJPK. 2005. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. Internet, diacu 9
Desember 2013. Tersedia dari http:www.djpk.depkeu.go.id. Dornbusch, R., S. Fischer, R. Startz. 2008. Macroeconomics. Tenth edition.
McGraw-Hill International Edition, Singapore. Eastwood, R., M. Lipton. 2001. Pro-poor Growth and Pro-Growth Poverty
Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications. Asian Development Review
, 182: 1-37. Fan, S., P. Al-Riffai, M. El-Said, B. Yu, A. Kamaly. 2006. A Multi-level Analysis
of Public Spending, Growth and Poverty Reduction in Egypt . Discussion Paper,
International Food and Policy Research Institute, Washington, D.C. Foster, J.E. 1998. Absolute versus Relative Poverty. The American Economic
Review , 882: 335-341.
Foster, J.E., J. Greer, E. Thorbecke. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measures. Econometrica 523: 761-766.
Fukasaku, K., de Mello Jr. 1999. Fiscal Decentralization in Emerging Economies. Governance Issues
. OECD Development Centre. Paris. Gramlich, E.M. 1977. Intergovernmental Grants: A Review of the Empirics
Literature. In The Political Economy of Fiscal Federalism, ed. Wallace Oates, 219-239. MA: Heath-Lexington, Lexington.
Gujarati. D. 2008. Basic Econometrics. Fifth edition. McGraw-Hill, New York. Haughton, J., S.R. Khandker. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World
Bank, Washington D.C. Hines, J.R., R.H. Thaler, 1995. Anomalies the Flypaper Effect. Journal of
Economic Perspectives , 94: 217-226.
Hsiao, C. 1995. Analysis of Panel Data. Econometric Society Monograph No. 11. Cambridge University Press, Cambridge.
Inman, Robert P. 2008. The Flypaper Effect. Working Paper 14579. National Bureau of Economic Research
. Cambridge. Kadmasasmita. A.D. 2014. Akuntabilitas Keuangan Negara: Konsep dan
Aplikasi . Internet, diacu 16 Desember 2013. Tersedia dari:
http:www.stialan.ac.idartikelartikel20achmad_djuaeni.pdf.
Kakwani, N. 1993. Poverty and Economic Growth with Application to Cote D’Ivoire. Review of Income and Wealth, 392: 121-139.
Kakwani, N., E.M. Pernia. 2000. What is Pro-poor Growth?, Asian Development Review
, 181: 1-16. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan . Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Klasen, S. 2004. In Search of The Holy Grail: How to Achieve Pro-Poor Growth?, in Toward Pro-Poor Policies: aid, institutions and globalization, ed. B
Tungodden, N Stern, I Kolstad, 63-94. Oxford University Press for the World Bank, New York.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: an Introductory Exposition of Econometric Methods
. Second edition. The MacMillan Press Ltd, London. Kukk, K. 2008. Fiscal Policy Effects on Economic Growth: Short Run vs Long
Run. TUTWPE No. 167. Tallinn University of Technology, Tallinn. Kuncoro, H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah Pada Kinerja Fiskal
Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan
, 91: 47-63. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American
Economic Review , 451: 1-28.
Laabas, B., I. Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth
. Paper prepared in the context of the IFPRIAPI Collaborative Research Project: “ Public Policy and Poverty Reduction in the
Arab Region”. Arab Planning Institute, Kuwait. Lucas, R.E., Jr. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of
Monetary Economics, 221: 3-42.
Mahi, R. 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia
, 61: 39-49. Makmun. 2008. Studi Kemampuan Daerah dalam Memberikan Subsidi Listrik.
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan , 161.
Malik, A., A.M. Ahmed. The Relationship between Real Wages and Output: Evidence from Pakistan. The Pakistan Development Review, 394: 1111-1126.
Mallick, S.K. 2008. A macroeconomic policy approach to poverty reduction. Working paper. Brooks World Poverty Institute, University of Manchester,
Manchester. Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Penerbit Eerlangga, Jakarta.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. McKay, A. 2002. Assessing impact of fiscal policy on poverty. Discussion paper,
No. 200243. World Institute for Development Economics Research, United Nations University, Helsinki.
Miranti, R. 2010. Poverty in Indonesia 1984-2002: The Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 461: 79-97.
Musgrave, R.A. 1959. The Theory of Public Finance. McGraw-Hill, New York. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia:
Suatu Analisis Simulasi Kebijakan . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Niskanen, W. 1968. The Peculiar Economics of Bureaucracy. The American
Economic Review , 582: 293-305.
Oates, W. 1972. Fiscal Federalism. Harcourt Brace Jovanovich Inc., New York. Oates, W. 1999. An Essay of Fiscal Federalism. Journal of Economics Literature,
373: 1120-1149. OECD. 2006
a
---------. 2006 . Promoting Pro-Poor Growth: Agriculture. DAC Guidelines and
Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris.
b
---------. 2009 . Promoting Pro-Poor Growth: Infrastructure. DAC Guidelines and
Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris.
a
---------. 2009 . Promoting Pro-Poor Growth: Social Protection. DAC Guidelines
and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris.
b
Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara:
Suatu Pendekatan Ekonometrika . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. . Promoting Pro-Poor Growth: Employement. DAC Guidelines and
Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris.
Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupatan Tapanuli Utara dan Kota Medan: Aplikasi Model Input-
Output . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. Pyndick, R.S., D.L. Rubinfeld. 1991. Economic Models and Economic Forecasts.
Richard D. Irwin and MacGraw-Hill, Boston. Ravallion, M. 1995. Growth and Poverty: Evidence for Developing Countries in
the 1980s. Economic Letters, 48: 411-417. Ravallion, M. 1998. Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards
Measurement Study. Working paper, No. 13. World Bank, Washington, D.C. Ravallion, M., G. Datt. 2002. Why has economic growth been more pro-poor in
some states of India than others? Journal of Development Economics, 682: 381-400.
Ravallion, M., S. Chen. 1997. What can new survey data tell us about redent changes in distribution and poverty?, World Bank Economic Review, 112:
357-382. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long Run Growth. Journal of Political
Economy , 945: 1002-1037.
Rondinelli, D.A. 1990. Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response. Development and Change, 213: 491-500.
Rosen, H.S. 1999. Public Finance. McGraw-Hill, New York. Samuelson, P.A., W.D. Nordhaus. 2005. Macroeconomics. Eighteenth Edition.
McGraw-Hill, New York Saruc, N.T., I. Sagbas. 2008. The Surge Impact of the Flypaper, Substitution and
Stimulation Effect on Local Tax Effort in Turkey. International Research Journal of Finance and Economics
, 13: 42-49. SAS Institute. 2004. SASETSR 9.1 User’s Guide. Cary, NC: SAS Institute Inc.
New York. Seers, D. 1969. The Meaning of Development. International Development
Review , 114: 3-4.
Sinaga, B.M., H. Siregar. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia
. Laporan penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitepu, R.K., B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stiglitz, J.E. 2000. Economics of the Public Sector. W W Norton, New York. Sulistiyawan, E. 2009. Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap TSLS dalam
Strutural Equation Models SEM. Stigma Journal of Science, 031: 17-21. Supriyati, Saptana, Sumedi. 2001. Dinamika Ketenagakerjaan dan Penyerapan
Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa Kasus di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian PSE. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian R.I., Bogor.
Suryahadi, A., D. Suryadarma, S. Sumarto. 2009. The Effects of Location and Sectoral Components of Economic Growth on Poverty: Evidence from
Indonesia. Journal of Development Economics 89: 109-117. Suryahadi, A., G. Hadiwidjaja, S. Sumarto. 2012. Economic Growth and Poverty
Reduction in Indonesia Before and After the Asian Financial Crisis. Working paper. The SMERU Research Institute, Jakarta.
Susilowati, S.H. 2010. Pendekatan Skala Ekivalensi untuk Mengukur Kemiskinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 282: 91-105.
Tanzi, V. 2004. Measuring efficiency in public expenditure. Paper presented in Conference on Public Expenditure Evaluation and Growth. World Bank,
Washington, D.C. Thorbecke, E. 1993. Impact of State and Civil Institutions on the Operation of
Rural market and Nonmarket Configurations. World Development, 214: 565- 575.
Todaro, M.P., S.C. Smith. 2003. Economic Development. Eighth edition. Longman, New York
Turnbull, G.K. 1998. The Overspending and Flypaper Effect of Fiscal Illusion: Theory and Empirical Evidence. Journal of Urban Economics, 441: 1-26.
Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor. Walpole, R.E., R.H. Myers. 1978. Probability and Statistics for Engineers and
Scientists . Second edition. Macmillan Publishing Co., Inc., London.
Warr, P. 2006. Poverty and Growth in Southeast Asia. ASEAN Economic Bulletin, 233: 279-302.
Whitfield, L. 2008. Pro-Poor Growth: a review of contemporary debates. Working paper. Danish Institute for International Studies DIIS, Copenhagen.
Widarjono, A. 2006. Does Intergovenmental Transfers Cause Flypaper Effect on Local Spending? Jurnal Ekonomi Pembangunan, 112: 115-123.
Wilde, J.A. 1968. The Expenditure Effects of Grants-in-Aid Programs. National Tax Journal
, 213: 340-348 World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. World Bank
Office, Jakarta. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for
Development . World Bank, Washington, D.C.
World Bank. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World Bank, Washington, D.C.
Yanizar. 2012. Dampak Alokasi Pengeluaran Dana Pembangunan Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan
Kemiskinan Provinsi Jambi . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Halaman ini sengaja dikosongkan
Lampiran 1. IHK Provinsi Tahun 2005-2011 2007=100
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
1. NAD 76.19 91.30 100.00 108.85 115.86 120.34 127.71
2. Sumatera Utara 81.47 92.47 100.00 109.82 115.32 121.55 129.99
3. Sumatera Barat 81.49 91.88 100.00 110.54 116.64 122.62 131.19
4. Riau 82.60 92.62 100.00 110.69 116.04 121.10 128.74
5. Jambi 79.90 90.59 100.00 110.70 115.84 123.40 130.71
6. Sumatera Selatan 80.79 92.98 100.00 111.72 116.60 121.19 127.16
7. Lampung 82.32 95.13 100.00 112.14 120.32 128.49 138.63
8. Kepulauan Riau 86.10 94.95 100.00 109.22 114.35 119.42 125.70
9. Jawa Barat 81.99 93.04 100.00 110.03 115.81 121.28 126.81
10. Jawa Tengah 83.40 94.14 100.00 108.21 113.32 119.01 124.40
11. D.I. Yogyakarta 80.80 92.36 100.00 109.24 114.85 120.72 127.78
12. Jawa Timur 83.61 94.26 100.00 110.01 115.25 121.19 127.54
13. Banten 83.67 93.95 100.00 110.94 117.88 123.20 128.65
14. Bali 87.78 95.64 100.00 107.74 113.92 121.12 128.53
15. NTB 83.24 93.58 100.00 111.92 119.72 127.23 135.36
16. NTT 79.62 91.40 100.00 112.03 119.82 130.49 138.49
17. Kalimantan Barat 83.06 93.30 100.00 111.54 117.99 124.97 132.85
18. Kalimantan Tengah 84.18 94.48 100.00 110.15 114.88 122.05 130.27
19. Kalimantan Selatan 79.99 92.05 100.00 110.38 116.53 125.18 132.30
20. Kalimantan Timur 83.42 94.40 100.00 112.90 120.50 128.81 138.47
21. Sulawesi Utara 82.50 93.33 100.00 111.15 115.43 121.09 125.61
22. Sulawesi Tengah 81.29 94.07 100.00 110.11 117.45 123.80 131.99
23. Sulawesi Selatan 83.05 94.62 100.00 113.75 121.31 127.27 133.27
Sumber : BPS data diolah
Lampiran 2. Data dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menurut Provinsi, 2005-2011
1. Pajak Daerah Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 207 262
365 033 434 903
554 119 564 205
624 333 750 241
Sumut 1 608 350
1 685 214 1 885 251
2 408 105 2 292 295
2 830 624 4 158 694
Sumbar 472 147
516 429 599 002
808 069 752 648
920 612 1 185 693
Riau 739 382
852 666 1 039 747
1 414 862 1 245 331
1 294 166 2 094 242
Jambi 314 744
350 500 411 470
580 171 500 605
681 052 962 525
Sumsel 585 094
742 998 851 892
1 165 446 1 062 003
1 430 245 2 038 019
Lampung 518 092
564 763 627 660
856 174 817 077
1 075 278 1 411 906
Kepri 291 193
457 876 614 056
875 162 853 500
921 860 1 186 796
Jabar 4 049 733
4 161 383 4 776 659
5 941 094 6 109 385
7 879 233 10 988 176
Jateng 2 426 186
2 643 122 2 974 884
3 683 449 3 908 492
4 760 511 5 828 730
DIY 455 789
473 087 558 634
669 929 708 624
820 377 1 047 434
Jatim 3 823 084
4 080 198 4 475 989
5 512 123 6 038 255
7 251 230 10 118 998
Banten 1 310 707
1 390 900 1 607 671
2 002 425 2 048 782
2 724 662 4 306 729
Bali 1 163 359
1 108 053 1 279 686
1 879 973 2 091 405
2 445 638 3 402 119
NTB 195 080
242 480 313 903
410 594 438 564
474 035 651 825
NTT 112 406
134 922 151 369
195 550 221 416
258 823 352 804
Kalbar 300 155
369 381 418 059
562 465 533 121
719 853 1 147 247
Kalteng 153 971
201 928 255 712
362 183 335 806
455 630 803 491
Kalsel 514 346
546 267 654 987
990 413 931 779
1 190 971 1 813 448
Kaltim 806 654
909 374 1 157 987
1 737 305 1 731 691
2 237 012 4 103 121
Sulut 197 385
217 039 268 868
351 941 365 660
468 924 631 886
Sulteng 145 053
166 830 205 331
289 063 277 386
401 402 503 352
Sulsel 697 531
834 959 1 024 193
1 266 029 1 279 924
1 598 193 2 211 443
2. Bagi Hasil Pajak Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 486 988
647 843 657 291
927 402 974 597
1 073 454 1 021 921
Sumut 973 249
1 226 158 1 500 637
1 536 835 1 704 316
1 957 339 1 683 634
Sumbar 313 102
380 944 468 900
503 173 508 162
572 198 533 046
Riau 1 123 424
1 806 461 1 687 781
1 812 394 1 724 110
2 024 646 1 936 579
Jambi 491 926
712 626 700 854
662 498 714 203
792 107 805 674
Sumsel 933 571
1 271 487 1 502 134
1 517 122 1 565 597
2 015 798 1 767 718
Lampung 303 599
379 953 450 676
470 467 505 001
653 254 613 708
Kepri 410 257
584 435 666 804
734 595 641 264
863 205 939 844
Jabar 2 481 347
2 632 820 3 203 826
3 831 810 3 947 226
4 796 545 4 156 856
Jateng 1 223 982
1 502 789 1 749 808
2 076 758 2 274 045
2 582 857 2 269 462
DIY 177 490
188 655 230 938
304 606 331 684
383 212 323 214
Jatim 2 067 989
2 481 523 3 004 813
3 323 646 3 883 436
4 562 973 3 742 784
Banten 941 369
904 048 1 109 001
1 283 651 1 424 447
1 732 055 1 288 630
Bali 309 071
324 563 405 696
513 482 576 947
698 719 535 382
NTB 189 724
230 267 290 534
293 742 317 377
445 808 472 565
NTT 256 028
298 786 364 298
356 055 402 633
477 810 466 922
Kalbar 333 405
402 840 466 538
506 064 589 763
666 299 623 913
Kalteng 377 938
455 259 606 825
584 169 601 560
693 287 655 213
Kalsel 480 734
679 834 574 557
599 834 579 064
682 572 687 048
Kaltim 1 625 340
6 238 423 3 177 694
3 393 006 2 582 159
2 771 900 3 094 360
Sulut 158 451
187 568 246 316
222 316 342 209
398 249 317 747
Sulteng 209 238
247 647 309 585
313 255 336 583
393 151 388 480
Sulsel 661 798
785 685 900 115
951 308 1 033 904
1 120 313 1 083 728
Lampiran 2. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 3 765 071
4 014 083 3 706 259
4 765 033 3 355 517
2 964 928 4 101 186
Sumut 2 928 527
3 433 276 3 966 157
4 660 684 4 701 682
5 728 431 7 276 837
Sumbar 1 073 211
1 288 679 1 524 732
1 832 844 1 816 355
2 166 157 2 547 198
Riau 9 183 266
12 913 809 11 471 834
15 093 119 11 003 978
15 348 292 16 502 098
Jambi 1 244 493
1 805 342 1 994 614
2 201 758 2 276 451
3 057 512 3 693 378
Sumsel 3 438 733
4 595 960 5 027 798
5 972 850 5 641 190
8 313 682 9 176 302
Lampung 1 389 462
1 608 254 1 650 163
2 052 362 1 811 560
2 484 269 2 919 530
Kepri 1 289 765
2 910 407 2 393 970
4 006 268 3 644 925
5 248 387 5 218 460
Jabar 8 183 427
8 730 561 10 086 259
12 149 113 13 777 857
16 535 042 19 539 899
Jateng 5 246 624
6 076 723 6 836 504
8 183 447 9 021 823
10 514 886 11 838 432
DIY 827 610
918 966 1 083 399
1 356 513 1 463 214
1 647 498 1 895 774
Jatim 7 383 771
8 521 850 9 808 903
11 696 344 13 218 883
16 374 816 19 321 543
Banten 2 539 931
2 655 241 3 160 597
3 819 945 4 067 086
5 189 029 6 443 715
Bali 1 739 381
1 757 642 2 048 888
2 851 342 3 204 579
3 825 460 4 791 167
NTB 696 407
788 841 974 156
1 038 227 1 205 703
1 525 855 2 061 434
NTT 566 648
718 364 844 483
899 652 1 021 495
1 183 720 1 348 078
Kalbar 774 209
1 016 610 1 272 474
1 462 266 1 596 754
1 848 692 2 386 508
Kalteng 808 016
990 693 1 438 261
1 548 925 1 625 718
1 899 189 2 470 455
Kalsel 1 616 416
1 927 341 2 137 836
2 904 055 3 793 719
4 007 694 5 675 069
Kaltim 11 999 959
15 313 834 13 745 589
19 551 111 16 883 380
21 528 295 27 920 163
Sulut 463 642
529 189 699 408
744 539 906 802
1 085 322 1 243 266
Sulteng 434 770
552 112 678 316
788 007 843 052
1 034 969 1 236 585
Sulsel 1 802 106
2 203 274 2 721 883
3 026 868 3 098 511
3 511 915 4 209 119
4. Dana Alokasi Umum Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 3 120 169
5 020 880 5 770 630
6 319 320 6 833 391
7 106 046 8 499 017
Sumut 4 830 352
8 333 576 9 764 579
10 427 931 10 833 925
11 741 861 13 742 018
Sumbar 2 846 717
5 128 640 5 749 387
6 519 166 6 665 101
6 937 972 7 838 557
Riau 1 647 753
1 879 006 2 629 987
2 240 616 2 254 257
1 844 004 4 136 917
Jambi 1 827 665
2 693 986 3 133 542
3 376 903 3 453 125
3 772 846 4 427 994
Sumsel 2 527 723
4 281 799 4 951 966
5 452 010 5 364 547
5 370 919 6 811 083
Lampung 2 685 725
4 264 521 4 720 307
5 202 555 5 421 500
5 753 849 7 127 241
Kepri 669 551
1 061 551 1 463 606
1 126 613 1 565 574
1 269 313 1 802 931
Jabar 9 107 170
11 391 701 15 752 885
17 155 799 18 222 348
18 690 298 20 655 213
Jateng 10 501 301
15 850 372 17 529 086
18 859 054 19 381 313
19 628 181 21 551 750
DIY 1 565 931
2 452 463 2 707 775
3 006 847 3 015 919
2 992 336 3 329 976
Jatim 10 979 136
16 616 760 18 772 518
20 536 885 20 891 910
21 275 682 23 550 297
Banten 1 941 806
2 704 950 3 261 483
3 651 863 3 937 637
4 228 750 4 919 433
Bali 1 824 509
2 854 128 3 292 774
3 560 349 3 666 076
3 549 610 3 955 511
NTB 1 912 051
2 998 811 3 645 155
3 919 127 4 070 814
4 366 909 4 847 252
NTT 2 911 010
4 412 964 5 062 742
5 181 175 6 275 031
6 248 344 7 482 854
Kalbar 2 473 405
4 654 627 5 079 791
5 648 449 5 853 241
6 131 708 6 884 032
Kalteng 2 390 308
4 373 819 4 886 209
5 381 200 5 515 163
5 670 502 6 356 374
Kalsel 1 979 425
3 360 323 3 749 497
4 115 483 4 246 247
4 247 594 4 737 692
Kaltim 1 809 265
2 306 877 2 889 083
2 719 736 2 186 485
1 435 609 3 542 935
Sulut 1 537 684
2 759 223 3 071 682
3 069 319 4 051 066
4 438 597 4 959 636
Sulteng 1 842 067
3 262 777 3 612 224
4 054 223 4 136 956
4 490 615 5 076 439
Sulsel 4 174 615
6 639 833 7 399 645
8 107 791 8 279 705
8 801 134 9 860 792
Lampiran 2. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 163 003
250 446 517 589
529 578 526 015
528 254 512 667
Sumut 161 406
320 418 496 140
477 644 443 307
507 276 577 011
Sumbar 101 529
174 423 246 307
330 835 236 421
253 040 305 780
Riau 237 625
336 574 752 359
631 389 450 332
519 975 428 919
Jambi 79 319
121 443 260 549
299 320 343 089
338 676 268 873
Sumsel 88 220
178 188 407 959
338 709 331 126
395 675 464 786
Lampung 73 858
144 654 241 041
240 761 210 680
190 551 332 371
Kepri 12 682
34 289 55 134
50 806 68 715
70 274 79 199
Jabar 312 979
410 438 660 023
636 438 553 096
724 522 758 315
Jateng 296 066
440 801 613 277
708 304 645 448
687 600 854 066
DIY 58 011
87 967 104 162
128 438 94 771
88 303 89 405
Jatim 363 623
517 953 677 308
793 822 805 081
931 260 984 975
Banten 57 484
81 047 103 159
119 446 97 711
117 147 123 627
Bali 81 733
104 698 190 299
202 199 162 418
160 172 205 377
NTB 74 244
125 810 210 306
182 349 113 210
179 964 247 593
NTT 142 211
214 417 295 360
310 455 334 548
366 468 397 562
Kalbar 92 767
162 294 267 951
277 426 249 540
295 718 416 272
Kalteng 102 840
169 490 244 839
320 447 295 243
288 281 348 211
Kalsel 90 693
171 363 265 538
291 389 230 757
144 480 339 533
Kaltim 233 645
284 257 497 032
418 959 513 781
507 815 500 478
Sulut 50 442
108 690 157 018
165 975 187 065
217 120 252 333
Sulteng 90 773
147 844 198 142
212 649 226 350
203 435 301 170
Sulsel 149 288
270 916 403 336
440 731 393 328
387 858 457 989
6. Belanja Perindustrian Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 11 124
24 327 61 330
107 674 161 385
181 584 155 839
Sumut 46 332
70 286 60 077
82 304 52 030
85 663 99 157
Sumbar 7 244
8 328 20 112
19 674 18 299
16 926 20 847
Riau 5 693
10 327 56 948
24 190 24 377
21 409 78 728
Jambi 20 267
8 503 18 790
23 877 26 403
32 846 30 867
Sumsel 16 493
4 845 25 347
17 017 23 864
12 043 22 505
Lampung 2 472
2 785 16 762
35 007 22 938
8 104 12 863
Kepri 16 186
4 526 13 303
23 026 21 300
17 052 27 505
Jabar 32 671
29 095 138 878
138 244 110 255
104 473 114 113
Jateng 37 263
14 884 71 236
90 080 177 087
197 793 197 715
DIY 4 146
2 147 4 635
998 1 551
399 777
Jatim 22 122
17 042 88 464
120 780 209 246
261 350 236 813
Banten 16 977
58 12 093
30 613 31 455
36 471 46 695
Bali 37 251
27 261 26 700
32 805 27 951
26 032 24 429
NTB 20 036
11 119 16 367
8 944 13 634
11 190 9 318
NTT 18 486
18 772 26 873
26 705 12 128
29 091 23 944
Kalbar 8 789
5 729 11 036
20 919 8 626
8 576 13 825
Kalteng 10 826
9 573 21 733
22 509 18 893
24 384 27 613
Kalsel 6 933
9 030 10 448
12 745 20 466
21 993 23 218
Kaltim 5 533
14 479 67 466
48 726 48 504
35 185 40 958
Sulut 4 094
4 086 5 782
10 413 20 346
21 051 23 687
Sulteng 6 372
10 167 25 805
29 919 15 223
18 666 11 503
Sulsel 31 013
54 833 78 096
65 787 51 767
45 669 40 736
Lampiran 2. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 5 594
22 701 15 280
22 644 10 586
17 791 26 290
Sumut 27 530
43 132 70 950
43 293 82 411
60 666 99 764
Sumbar 20 920
16 841 29 223
49 681 37 246
64 822 72 370
Riau 18 214
37 796 187 596
172 524 111 429
115 711 71 665
Jambi 7 835
5 162 17 280
21 774 20 769
21 032 21 450
Sumsel 36 552
15 055 46 732
78 791 59 967
72 264 88 954
Lampung 13 026
11 780 51 017
23 339 19 934
21 543 67 359
Kepri 9 980
3 431 12 824
3 807 15 428
37 120 30 532
Jabar 36 403
23 136 115 511
89 922 81 223
104 828 125 766
Jateng 81 247
63 617 225 201
293 389 184 240
153 080 207 722
DIY 6 735
10 874 35 270
23 716 30 837
49 801 41 288
Jatim 38 898
43 274 122 442
129 249 165 329
179 243 183 175
Banten 9 150
3 306 21 943
18 748 12 670
13 896 15 866
Bali 18 041
8 166 10 574
10 599 10 815
9 764 6 154
NTB 4 405
7 983 33 357
23 142 8 162
13 585 17 336
NTT 2 275
202 18 656
21 873 43 412
30 543 47 560
Kalbar 13 302
3 128 24 598
21 737 35 370
45 817 41 610
Kalteng 31 684
25 293 47 211
45 899 44 913
41 941 38 119
Kalsel 48 133
16 204 58 099
50 837 47 713
35 211 61 229
Kaltim 33 456
25 872 118 637
66 707 79 365
78 540 119 056
Sulut 10 438
11 108 20 132
24 337 31 703
40 623 42 051
Sulteng 10 542
14 089 30 686
17 337 23 358
24 662 24 169
Sulsel 16 923
14 701 31 094
34 119 35 912
41 705 46 745
8. Belanja Infrastruktur Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 558 128
919 523 1 941 979
3 135 948 3 476 556
2 785 345 2 699 740
Sumut 1 006 838
1 617 511 2 013 991
2 875 806 2 635 280
2 695 453 3 093 988
Sumbar 433 245
917 327 1 318 324
1 548 593 1 338 405
1 412 933 1 324 563
Riau 1 744 947
1 872 719 2 367 251
4 673 852 4 018 584
4 067 387 3 116 488
Jambi 618 990
973 190 1 089 973
1 627 512 1 229 726
1 529 921 1 893 219
Sumsel 1 048 393
2 783 233 3 060 328
3 544 941 2 548 162
2 869 764 3 301 626
Lampung 559 964
1 181 849 1 331 312
1 295 212 1 176 238
1 333 075 1 710 455
Kepri 89 543
323 070 702 284
940 969 1 388 422
1 375 149 1 000 553
Jabar 1 923 865
2 484 393 3 774 658
3 762 325 3 608 241
4 707 713 4 601 848
Jateng 1 344 047
2 421 843 2 966 363
3 260 049 3 009 348
2 768 325 3 122 688
DIY 244 965
258 351 390 169
670 234 457 347
230 968 464 591
Jatim 1 928 047
3 176 803 4 012 955
4 011 138 4 480 000
4 689 851 4 282 181
Banten 674 717
1 563 466 1 171 046
1 083 368 1 122 149
1 490 777 1 546 879
Bali 275 071
522 289 639 428
972 561 891 198
608 422 537 326
NTB 190 067
368 992 634 744
581 492 675 362
687 002 956 256
NTT 374 739
599 552 979 509
1 053 930 1 246 398
1 463 648 1 038 428
Kalbar 434 053
1 055 707 1 542 494
1 787 231 1 617 020
1 797 859 1 704 455
Kalteng 768 544
1 544 591 1 736 602
1 985 883 2 146 254
1 921 827 1 627 364
Kalsel 445 332
841 108 1 200 630
1 469 895 1 792 651
1 688 029 1 626 709
Kaltim 2 569 709
4 783 443 4 210 514
6 001 834 6 085 218
5 682 174 6 427 616
Sulut 171 557
443 279 620 230
647 375 1 045 988
1 067 659 1 062 277
Sulteng 367 214
576 816 865 280
991 361 1 059 028
1 049 039 842 680
Sulsel 702 349
1 243 223 1 707 370
2 402 933 2 058 694
1 781 053 1 984 222
Lampiran 2. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 7 201 537
9 354 602 12 680 692
15 469 757 17 897 117
18 090 531 19 345 890
Sumut 8 587 575
11 682 044 15 396 408
17 287 836 19 266 704
20 829 321 25 130 353
Sumbar 4 307 660
6 416 977 8 002 878
9 860 415 10 489 378
11 733 885 12 289 897
Riau 8 967 051
12 525 677 16 490 687
17 405 701 18 226 825
18 458 813 18 643 110
Jambi 3 154 809
4 213 414 5 602 666
6 897 724 7 204 933
7 758 521 8 584 787
Sumsel 5 431 668
8 808 181 11 439 437
12 716 982 12 474 916
14 433 859 17 665 386
Lampung 4 166 584
6 232 137 7 643 415
8 216 593 8 628 542
10 107 474 13 050 995
Kepri 1 816 606
3 134 749 5 205 845
4 838 737 6 617 897
7 076 007 8 036 122
Jabar 18 131 215
21 675 470 28 322 627
32 279 536 37 845 753
43 268 405 50 508 708
Jateng 16 205 187
21 932 469 26 455 688
31 653 570 32 714 074
36 149 726 42 104 442
DIY 2 629 956
3 464 831 4 044 448
5 419 257 5 303 888
5 716 513 6 334 442
Jatim 19 070 946
25 505 714 29 969 695
35 437 838 40 363 540
47 088 195 50 062 235
Banten 4 565 752
6 158 916 6 992 779
8 282 222 8 992 805
10 714 115 12 889 422
Bali 3 715 504
5 058 847 6 013 241
7 029 899 8 234 728
8 715 611 9 672 872
NTB 2 763 813
3 935 675 5 197 725
5 675 330 6 246 427
7 176 207 8 375 699
NTT 3 738 728
5 201 754 6 671 201
7 615 861 8 764 425
9 688 070 11 173 874
Kalbar 3 511 807
5 679 047 6 827 923
8 331 160 9 093 898
9 941 143 11 005 952
Kalteng 3 410 230
5 490 083 6 803 723
7 968 966 8 805 470
8 741 715 9 167 184
Kalsel 3 490 274
5 267 986 6 520 584
7 858 708 9 349 065
10 191 695 10 994 322
Kaltim 11 036 952
15 553 034 20 209 490
23 314 266 24 622 790
24 847 615 26 994 689
Sulut 2 278 117
3 625 901 4 522 739
4 614 958 6 270 516
6 951 359 8 046 974
Sulteng 2 470 991
3 900 233 5 007 913
5 664 802 6 358 224
6 782 869 7 925 899
Sulsel 6 470 200
9 215 024 11 621 219
14 082 836 14 824 869
15 294 617 17 980 568
10. Kemandirian Fiskal
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 5.5
7.6 7.1
7.4 6.4
6.4 6.7
Sumut 22.4
18.7 15.8
17.8 15.3
17.8 21.9
Sumbar 16.9
13.5 12.7
13.2 12.2
13.3 15.8
Riau 13.5
12.9 12.6
16.2 13.2
12.7 17.8
Jambi 15.8
13.2 11.7
13.2 10.9
12.7 16.5
Sumsel 15.0
12.4 10.6
12.5 12.5
13.9 15.8
Lampung 16.3
12.9 11.4
13.8 12.6
14.3 14.5
Kepri 19.3
19.6 17.4
21.4 16.1
16.4 18.6
Jabar 29.2
26.1 23.1
24.6 22.8
25.2 28.5
Jateng 24.7
20.7 19.0
19.1 20.4
21.7 22.1
DIY 24.7
21.0 21.0
19.4 21.3
22.0 24.6
Jatim 27.6
23.0 22.2
22.8 22.4
23.8 29.3
Banten 35.0
28.4 29.3
30.5 29.3
32.2 39.9
Bali 38.4
28.3 27.3
33.2 31.9
35.8 43.9
NTB 12.0
11.2 10.3
11.4 11.6
11.6 16.4
NTT 8.2
7.9 7.0
7.1 6.9
7.2 7.7
Kalbar 11.9
10.0 10.3
10.3 9.8
11.1 14.6
Kalteng 8.9
7.3 7.3
8.1 7.6
9.0 12.7
Kalsel 22.3
17.3 16.4
18.3 15.0
17.0 22.5
Kaltim 11.6
11.8 10.3
13.0 13.8
15.3 22.1
Sulut 13.0
9.1 8.9
10.5 8.7
9.4 10.5
Sulteng 8.7
7.3 6.7
7.9 7.8
9.2 10.1
Sulsel 16.2
14.3 13.9
13.7 13.5
15.2 16.8
Lampiran 2. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal km
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 8 060
8 938 11 198
10 916 9 098
9 946 10 479
Sumut 15 663
15 725 18 103
18 396 19 378
19 410 20 192
Sumbar 9 101
8 472 8 911
9 175 9 535
9 790 10 321
Riau 6 338
5 369 6 287
7 035 8 981
9 439 9 509
Jambi 4 569
4 762 5 268
5 319 5 987
6 405 6 747
Sumsel 10 417
7 502 7 795
8 342 9 228
9 355 9 231
Lampung 5 668
6 851 7 533
7 549 10 047
11 713 12 304
Kepri 726
730 733
737 2 762
2 724 2 789
Jabar 19 609
21 259 22 485
22 711 20 707
20 722 20 727
Jateng 22 108
21 304 22 649
23 054 24 403
22 970 22 897
DIY 3 374
3 440 3 406
3 417 3 673
3 722 3 599
Jatim 27 257
30 023 31 432
32 215 34 055
34 352 35 539
Banten 3 142
3 315 3 618
3 707 4 036
4 304 4 304
Bali 4 862
5 782 6 399
6 430 5 863
6 709 6 829
NTB 4 453
4 199 4 195
4 236 4 846
5 042 5 058
NTT 4 663
6 797 9 530
9 606 9 295
9 192 9 192
Kalbar 5 019
4 078 5 121
4 883 6 416
6 838 6 744
Kalteng 3 710
3 633 3 721
3 836 4 663
5 345 5 345
Kalsel 5 325
6 305 6 562
6 667 6 572
6 637 6 859
Kaltim 5 085
3 122 3 739
3 671 5 110
5 771 5 903
Sulut 4 194
3 476 3 541
3 546 4 891
4 896 5 161
Sulteng 5 976
9 274 11 790
11 918 8 128
8 026 7 906
Sulsel 7 059
9 681 13 513
15 838 16 612
16 472 16 472
12. PDRB Pertanian Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 15 201 942
18 196 888 18 135 800
19 397 727 20 416 142
21 968 444 23 854 174
Sumut 33 486 113
35 807 654 41 010 152
48 871 766 54 431 194
63 181 841 70 635 868
Sumbar 11 433 001
13 396 524 14 754 868
17 379 925 18 381 918
20 792 322 23 243 792
Riau 30 171 587
36 294 176 43 595 169
53 137 564 60 270 256
69 025 080 77 985 165
Jambi 6 053 438
7 173 738 8 366 858
9 791 985 12 113 078
15 814 677 18 566 306
Sumsel 14 358 881
17 300 120 20 080 335
22 965 527 23 824 888
27 661 518 31 415 110
Lampung 15 139 552
18 166 620 22 732 966
28 802 380 34 591 074
39 916 660 46 287 631
Kepri 2 182 320
2 369 108 2 612 093
2 868 417 3 192 447
3 434 220 3 712 922
Jabar 46 430 738
52 586 284 62 894 902
72 517 608 85 149 263
97 194 393 103 131 444
Jateng 44 806 485
57 364 982 63 832 142
72 862 986 79 342 554
86 667 552 95 094 911
DIY 3 991 035
4 574 164 4 941 800
5 993 781 6 366 771
6 644 695 7 370 795
Jatim 69 684 863
80 910 218 89 627 587
102 815 940 112 233 859
122 623 968 136 027 920
Banten 7 773 571
8 212 873 9 156 761
11 009 719 12 162 939
14 210 396 15 284 451
Bali 7 296 041
7 930 061 8 711 066
9 884 823 11 326 123
12 097 348 12 743 485
NTB 5 815 159
6 505 202 7 181 228
8 319 378 9 117 556
10 038 756 11 350 296
NTT 6 034 394
6 857 125 7 706 388
8 746 992 9 553 184
10 655 483 11 546 008
Kalbar 9 155 266
10 181 147 11 436 733
12 834 639 13 955 200
15 168 464 16 730 149
Kalteng 7 251 866
8 576 830 9 292 697
9 664 205 10 460 969
12 187 981 13 972 705
Kalsel 7 174 910
7 777 784 8 856 263
10 158 546 11 380 214
12 487 663 13 711 835
Kaltim 9 535 872
10 792 274 12 864 617
15 523 103 16 956 036
19 215 774 22 289 040
Sulut 3 615 568
4 328 030 4 774 117
5 673 670 6 231 928
7 167 323 7 915 832
Sulteng 7 941 798
8 796 220 10 313 240
12 137 730 13 231 345
14 507 237 16 493 715
Sulsel 16 188 361
18 513 257 20 900 360
25 071 809 28 008 206
30 442 430 34 788 232
Lampiran 2. Lanjutan 13. PDRB Industri Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 10 258 031
8 532 036 7 935 044
8 189 779 7 789 412
7 512 523 7 541 286
Sumut 35 555 030
41 192 511 45 531 177
51 640 677 55 050 579
63 293 455 70 672 275
Sumbar 5 084 343
6 055 971 7 179 243
8 597 361 9 279 510
10 197 209 11 265 372
Riau 27 881 009
32 313 284 39 156 004
50 179 231 59 796 962
70 309 301 80 086 270
Jambi 2 702 262
3 112 689 3 804 725
4 568 278 5 258 205
5 981 287 6 747 658
Sumsel 17 867 383
22 286 619 25 305 859
31 089 859 32 459 464
34 656 378 37 449 533
Lampung 5 259 706
6 146 604 8 313 988
9 798 072 12 514 338
17 120 714 20 555 157
Kepri 21 286 720
24 420 316 24 203 354
26 611 279 29 517 887
33 488 734 38 343 836
Jabar 173 067 743
214 242 075 236 628 972
276 714 347 281 275 082
291 688 080 319 983 632
Jateng 79 037 443
92 646 435 103 218 431
125 006 771 130 352 154
146 155 157 166 108 727
DIY 3 588 201
4 078 214 4 475 680
5 062 275 5 528 856
6 396 639 7 434 020
Jatim 121 251 936
137 966 415 154 363 456
176 922 162 193 256 482
214 024 729 239 844 520
Banten 53 900 181
61 778 056 65 827 926
71 714 831 75 128 199
83 123 176 91 675 157
Bali 3 171 738
3 518 324 4 093 976
4 941 639 5 588 428
6 120 474 6 572 989
NTB 868 578
948 804 1 083 503
1 279 191 1 491 345
1 638 225 1 758 209
NTT 266 258
298 129 325 910
344 287 374 739
427 448 471 728
Kalbar 6 444 998
7 646 123 8 485 531
9 578 227 10 291 190
11 138 112 12 005 211
Kalteng 1 955 765
2 080 306 2 350 851
2 721 538 3 056 227
3 340 926 3 637 070
Kalsel 4 079 921
4 047 835 4 364 119
4 726 895 5 071 961
5 611 080 6 270 582
Kaltim 65 988 813
71 805 685 74 879 047
103 969 150 78 131 959
80 490 474 91 242 912
Sulut 1 582 761
1 858 008 2 062 800
2 318 115 2 664 225
2 972 701 3 248 856
Sulteng 1 279 350
1 430 286 1 631 985
2 151 627 2 547 427
2 812 821 3 084 443
Sulsel 7 137 864
8 245 336 9 158 552
11 060 440 12 514 886
14 457 259 16 789 288
14. PDRB Perdagangan Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 7 084 527
8 104 293 9 227 064
10 222 603 10 743 849
12 029 968 13 710 154
Sumut 26 094 915
30 340 309 34 846 208
41 281 118 44 941 662
52 384 318 60 032 520
Sumbar 7 799 757
8 992 233 10 367 999
12 532 368 13 694 246
15 474 821 17 836 651
Riau 9 124 858
11 179 723 14 064 411
19 317 093 24 878 635
32 276 355 40 269 373
Jambi 3 438 994
4 265 670 4 773 912
5 647 973 6 428 163
7 827 668 9 476 118
Sumsel 9 051 350
10 941 014 12 919 872
15 937 658 17 546 075
20 386 926 23 754 980
Lampung 6 150 316
7 573 095 8 714 733
10 158 964 11 948 935
16 530 762 20 433 382
Kepri 9 307 706
9 475 459 10 632 966
12 058 309 12 487 883
14 180 068 15 568 076
Jabar 74 280 673
90 022 994 100 691 124
129 912 046 149 056 003
172 713 197 194 431 786
Jateng 46 694 124
55 362 795 60 877 927
71 617 055 78 262 543
86 998 316 98 268 230
DIY 4 866 927
5 597 603 6 326 700
7 321 299 8 165 613
9 008 181 10 246 578
Jatim 107 123 913
128 690 339 150 733 654
177 014 047 195 184 788
229 404 872 265 238 860
Banten 14 499 931
17 081 608 20 400 506
24 621 928 27 690 651
31 312 762 35 572 454
Bali 10 116 783
10 964 358 12 517 789
14 712 079 17 868 608
20 016 062 22 499 947
NTB 2 923 359
3 384 598 3 951 540
4 625 844 5 411 537
6 264 539 7 215 389
NTT 2 368 426
2 720 325 3 060 048
3 399 758 3 891 233
4 654 429 5 388 756
Kalbar 7 712 168
8 558 176 9 696 975
11 018 475 12 125 071
13 766 022 15 074 176
Kalteng 4 168 611
4 432 173 5 196 718
6 453 297 7 688 522
8 867 155 10 213 522
Kalsel 4 750 616
5 152 785 5 932 313
6 857 284 7 698 123
8 956 143 10 479 604
Kaltim 10 463 894
12 746 465 14 617 104
18 219 954 22 218 449
26 385 156 30 668 030
Sulut 2 877 212
3 181 923 3 746 998
4 660 927 5 505 248
6 242 702 6 823 104
Sulteng 2 083 183
2 379 562 2 708 691
3 416 630 3 841 235
4 437 424 5 301 431
Sulsel 7 880 009
9 507 866 10 986 578
13 913 800 16 690 285
20 434 953 24 236 347
Lampiran 2. Lanjutan 15. PDRB Total Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 56 951 612
70 786 835 71 093 359
73 547 551 71 986 954
77 983 776 85 537 966
Sumut 139 618 314
160 376 799 181 819 737
213 931 697 236 353 616
275 700 207 314 156 937
Sumbar 44 674 569
53 029 588 59 799 045
70 954 515 76 752 938
87 221 254 98 917 269
Riau 139 018 996
167 068 189 210 002 560
276 400 130 297 173 028
345 661 314 413 350 123
Jambi 22 487 011
26 061 774 32 076 677
41 056 484 44 127 006
53 816 693 63 268 138
Sumsel 81 531 510
95 928 763 109 895 707
133 664 987 137 331 848
157 534 956 181 776 073
Lampung 40 906 789
49 118 989 60 921 966
73 719 259 88 934 861
108 378 507 128 408 895
Kepri 43 289 165
48 749 881 51 826 272
58 574 996 63 892 937
71 614 514 80 242 794
Jabar 389 244 654
473 187 293 526 220 225
633 283 483 689 841 314
771 593 860 861 006 348
Jateng 234 435 323
281 996 709 312 428 807
367 135 955 397 903 944
444 692 015 498 614 636
DIY 25 337 603
29 417 349 32 916 736
38 101 685 41 407 050
45 625 590 51 782 092
Jatim 405 041 742
472 286 954 536 981 882
621 391 675 686 847 558
778 565 772 884 143 575
Banten 97 170 026
111 845 095 122 843 947
139 864 778 152 556 216
171 690 414 192 218 910
Bali 35 261 829
38 851 075 44 003 380
51 916 170 60 292 239
66 690 598 73 478 162
NTB 25 682 675
28 596 882 33 522 225
35 314 731 44 014 619
49 559 794 48 729 107
NTT 14 810 472
16 904 073 19 136 982
21 655 869 24 179 412
27 738 760 31 204 406
Kalbar 33 869 468
38 648 273 43 540 865
49 132 966 54 281 172
60 501 505 66 780 222
Kalteng 20 983 170
24 483 071 27 931 950
32 760 168 37 161 800
42 620 950 49 072 507
Kalsel 31 794 069
34 670 494 39 438 767
45 843 794 51 460 176
59 821 157 68 234 881
Kaltim 180 289 090
199 588 125 222 628 921
314 813 521 285 590 822
321 904 880 390 638 617
Sulut 18 763 479
21 216 490 24 081 133
28 697 756 33 033 610
36 911 815 41 505 118
Sulteng 17 366 740
19 701 520 23 218 709
28 727 505 32 461 332
37 319 063 44 317 855
Sulsel 51 780 443
60 902 824 69 271 925
85 143 191 99 954 590
117 862 210 137 389 879
16. PDRB per Kapita Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 13 947
17 462 17 467
17 128 16 498
17 351 20 746
Sumut 11 243
12 723 14 248
16 403 17 840
21 237 23 517
Sumbar 9 782
11 976 13 427
14 897 15 897
17 995 21 669
Riau 28 747
33 485 39 448
53 265 56 002
62 412 63 554
Jambi 8 484
9 627 11 630
14 725 15 569
17 404 21 359
Sumsel 11 962
13 966 15 753
18 768 19 014
21 145 24 515
Lampung 5 772
6 637 8 110
9 974 11 871
14 245 16 153
Kepri 33 849
35 321 39 448
40 310 42 165
42 649 63 554
Jabar 9 942
11 904 13 011
15 477 16 622
17 922 19 908
Jateng 7 355
8 812 9 727
11 253 12 107
13 732 15 323
DIY 7 529
8 884 9 846
10 985 11 824
13 196 14 935
Jatim 11 103
13 231 14 981
16 751 18 421
20 775 24 298
Banten 10 712
11 687 12 489
14 566 15 594
16 148 17 558
Bali 10 355
11 351 12 693
14 766 16 979
17 141 20 207
NTB 6 190
6 464 7 461
8 093 9 927
11 013 10 220
NTT 3 461
4 039 4 509
4 776 5 234
5 922 6 977
Kalbar 8 389
8 648 9 580
11 563 12 568
13 763 13 784
Kalteng 10 653
11 142 12 376
15 924 17 817
19 267 19 611
Kalsel 9 645
10 531 11 793
13 301 14 719
16 495 19 190
Kaltim 62 446
69 162 75 192
101 727 90 240
90 597 119 498
Sulut 8 752
9 780 10 962
12 997 14 821
16 256 18 029
Sulteng 7 512
8 040 9 295
11 781 13 088
14 163 16 485
Sulsel 6 914
7 671 8 675
10 909 12 639
14 669 16 582
Lampiran 2. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Ribu Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 922
900 780
786 847
810 898
Sumut 2 721
2 412 2 419
2 611 2 694
2 875 2 595
Sumbar 833
822 906
924 907
900 814
Riau 700
978 931
1 014 1 000
969 1 086
Jambi 631
638 662
707 696
811 771
Sumsel 1 966
1 948 1 896
1 898 1 905
1 986 2 029
Lampung 2 134
1 892 1 879
1 840 1 830
2 111 1 715
Kepri 206
101 82
81 83
98 98
Jabar 4 069
3 955 4 259
4 212 4 256
3 964 3 676
Jateng 6 339
5 989 6 148
5 697 5 865
5 617 5 376
DIY 634
612 546
560 571
540 431
Jatim 8 188
7 919 8 392
8 242 8 288
7 939 7 520
Banten 924
711 759
813 745
723 630
Bali 609
663 714
726 704
672 557
NTB 863
900 925
867 884
1 005 872
NTT 1 597
1 470 1 377
1 448 1 473
1 334 1 360
Kalbar 1 167
1 253 1 254
1 309 1 314
1 266 1 294
Kalteng 565
604 572
596 597
565 605
Kalsel 742
614 725
763 728
728 756
Kaltim 353
409 370
457 456
456 454
Sulut 379
341 373
363 346
358 321
Sulteng 619
713 646
672 680
663 655
Sulsel 1 713
1 314 1 581
1 614 1 589
1 572 1 469
18. Jumlah Tenaga Kerja Industri Ribu Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 55
72 76
87 81
78 73
Sumut 310
344 387
448 501
455 484
Sumbar 131
119 140
128 131
138 153
Riau 173
95 123
108 119
127 146
Jambi 76
47 48
46 42
50 49
Sumsel 121
132 155
159 156
168 168
Lampung 196
247 263
272 299
290 359
Kepri 51
128 131
186 158
253 195
Jabar 2 615
2 744 2 767
2 935 3 074
3 389 3 572
Jateng 2 552
2 703 2 766
2 703 2 657
2 815 3 047
DIY 240
191 209
251 237
247 267
Jatim 2 357
2 405 2 458
2 412 2 386
2 483 2 665
Banten 633
669 695
706 844
1 054 1 140
Bali 345
251 289
263 294
304 290
NTB 178
190 195
210 213
204 170
NTT 120
164 165
141 135
144 125
Kalbar 102
97 86
85 76
101 89
Kalteng 25
36 42
36 30
36 31
Kalsel 130
133 131
112 114
130 117
Kaltim 154
78 83
84 76
83 85
Sulut 46
42 45
44 58
51 66
Sulteng 38
30 48
50 44
39 66
Sulsel 152
125 147
183 215
197 223
Lampiran 2. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan Ribu Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 223
219 249
253 264
314 299
Sumut 913
934 956
1 119 1 156
1 196 1 209
Sumbar 321
352 384
396 415
406 442
Riau 284
278 334
361 376
408 491
Jambi 164
160 182
191 201
230 231
Sumsel 477
355 380
494 457
498 558
Lampung 322
371 522
543 601
568 606
Kepri 84
118 117
125 140
154 194
Jabar 3 732
3 747 4 123
4 181 4 303
4 207 4 555
Jateng 3 318
3 409 3 418
3 255 3 462
3 388 3 402
DIY 426
411 435
457 455
438 480
Jatim 3 354
3 498 3 718
3 776 3 933
3 788 3 908
Banten 822
779 861
980 970
1 190 1 118
Bali 442
404 463
482 489
571 597
NTB 283
346 350
327 347
373 370
NTT 90
94 131
141 149
151 147
Kalbar 245
274 280
276 261
273 277
Kalteng 132
128 130
121 121
140 158
Kalsel 304
355 333
368 376
388 390
Kaltim 254
228 232
259 283
327 364
Sulut 162
132 165
164 173
173 196
Sulteng 105
117 149
156 161
164 190
Sulsel 491
537 566
579 637
604 655
20. Total Tenaga Kerja Ribu Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 1 542
1 624 1 571
1 622 1 733
1 776 1 852
Sumut 5 166
4 860 5 083
5 540 5 766
6 126 5 912
Sumbar 1 737
1 808 1 889
1 956 1 999
2 041 2 071
Riau 1 700
1 773 1 908
2 056 2 067
2 170 2 424
Jambi 1 097
1 103 1 147
1 224 1 261
1 462 1 435
Sumsel 3 069
3 022 3 058
3 191 3 197
3 421 3 553
Lampung 3 114
3 064 3 281
3 314 3 387
3 737 3 482
Kepri 501
516 536
613 626
769 782
Jabar 14 629
14 998 15 854
16 480 16 901
16 942 17 455
Jateng 15 549
15 567 16 304
15 464 15 835
15 809 15 916
DIY 1 758
1 751 1 774
1 892 1 896
1 775 1 799
Jatim 17 668
17 670 18 751
18 882 19 305
18 698 18 940
Banten 3 315
3 236 3 384
3 669 3 705
4 583 4 530
Bali 1 946
1 870 1 982
2 030 2 057
2 177 2 205
NTB 1 785
1 907 1 951
1 905 1 967
2 133 1 962
NTT 2 039
1 973 2 010
2 086 2 161
2 061 2 096
Kalbar 1 822
1 954 2 005
2 041 2 081
2 096 2 147
Kalteng 888
944 966
982 999
1 023 1 106
Kalsel 1 510
1 488 1 599
1 670 1 706
1 744 1 825
Kaltim 1 119
1 147 1 092
1 260 1 303
1 482 1 591
Sulut 855
829 909
912 940
937 991
Sulteng 946
1 036 1 084
1 132 1 150
1 164 1 261
Sulsel 3 028
2 739 2 939
3 136 3 222
3 272 3 376
Lampiran 2. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 541
574 695
839 843
847 900
Sumut 529
723 705
775 795
840 1 014
Sumbar 459
514 581
737 721
606 887
Riau 712
934 771
936 886
991 1 230
Jambi 665
640 629
750 728
830 1 049
Sumsel 531
510 570
714 648
855 1 055
Lampung 380
436 405
495 537
557 743
Kepri 624
681 772
936 946
1 016 1 288
Jabar 313
319 337
442 441
454 514
Jateng 257
325 328
391 407
426 503
DIY 289
358 423
527 482
349 576
Jatim 281
304 313
356 421
420 490
Banten 315
399 377
876 608
603 676
Bali 493
422 472
632 652
642 718
NTB 222
253 288
451 471
439 564
NTT 282
241 405
357 563
490 414
Kalbar 702
715 723
855 925
938 1 039
Kalteng 750
698 749
830 937
989 1 256
Kalsel 589
503 619
729 847
850 909
Kaltim 951
943 1 318
1 563 1 670
1 429 1 295
Sulut 497
511 514
606 641
932 895
Sulteng 404
520 503
561 713
639 918
Sulsel 379
485 467
563 555
589 670
22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 585
857 1 036
898 989
994 1 108
Sumut 866
928 884
904 1 192
1 189 1 148
Sumbar 687
567 662
769 914
901 1 099
Riau 1 180
1 087 1 178
1 328 1 346
1 520 1 630
Jambi 798
1 050 792
826 1 264
1 229 1 140
Sumsel 706
797 777
903 1 188
1 227 1 247
Lampung 600
488 593
650 718
823 931
Kepri 1 152
1 312 1 799
1 748 1 939
2 137 2 433
Jabar 779
819 923
934 1 070
1 191 1 284
Jateng 520
519 530
560 615
750 796
DIY 446
720 647
732 798
766 967
Jatim 645
760 704
734 818
945 949
Banten 971
1 046 1 118
1 031 1 458
1 505 1 429
Bali 632
608 691
754 858
899 1 013
NTB 230
319 408
523 557
752 650
NTT 525
553 604
725 649
630 679
Kalbar 612
955 858
896 963
1 072 1 440
Kalteng 976
692 826
902 1 188
959 1 192
Kalsel 789
656 787
783 918
951 1 553
Kaltim 2 104
1 121 2 246
2 136 2 228
2 094 1 710
Sulut 697
748 860
776 980
949 1 202
Sulteng 562
313 645
745 732
734 1 009
Sulsel 569
844 645
787 857
864 845
Lampiran 2. Lanjutan 23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 590
885 970
943 985
942 1 058
Sumut 643
823 900
912 1 149
1 153 1 075
Sumbar 741
798 781
833 977
1 075 1 249
Riau 673
921 833
857 1 036
1 077 1 288
Jambi 838
710 727
669 838
894 934
Sumsel 591
952 815
867 942
939 1 303
Lampung 519
663 595
724 821
807 775
Kepri 1 004
1 060 1 203
1 248 1 342
1 351 1 635
Jabar 747
926 838
923 1 059
1 121 1 181
Jateng 538
566 568
658 690
764 874
DIY 601
617 752
749 773
857 1 048
Jatim 567
656 699
794 830
877 1 036
Banten 801
897 989
1 418 1 342
1 362 1 512
Bali 743
756 986
1 081 1 254
1 340 1 324
NTB 475
600 716
656 878
876 927
NTT 462
501 569
608 745
791 829
Kalbar 619
736 787
880 864
885 1 058
Kalteng 651
583 873
669 927
1 053 1 360
Kalsel 657
706 748
645 903
1 001 1 036
Kaltim 986
879 1 044
1 037 1 442
1 500 1 423
Sulut 760
936 994
828 878
1 185 1 200
Sulteng 375
770 708
814 752
860 844
Sulsel 561
854 699
972 868
983 907
24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 203
230 258
306 337
368 435
Sumut 201
225 275
305 335
370 462
Sumbar 206
224 261
300 350
394 480
Riau 263
315 355
419 480
444 605
Jambi 239
243 293
340 349
403 524
Sumsel 171
208 273
297 317
379 446
Lampung 155
193 236
254 275
323 385
Kepri 208
304 409
453 538
532 617
Jabar 192
216 239
249 293
334 388
Jateng 174
188 211
228 253
298 349
DIY 202
209 266
255 298
331 370
Jatim 168
185 216
231 263
304 344
Banten 173
204 231
260 290
337 365
Bali 296
277 325
308 343
422 538
NTB 147
188 214
226 251
294 366
NTT 128
137 155
168 202
246 277
Kalbar 182
216 265
289 315
349 440
Kalteng 179
235 286
334 371
416 554
Kalsel 183
232 274
306 354
424 530
Kaltim 224
316 331
355 419
497 576
Sulut 178
228 255
290 322
382 460
Sulteng 183
188 220
256 297
353 424
Sulsel 168
182 217
214 232
319 365
Lampiran 2. Lanjutan 25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 262
294 368
398 373
455 562
Sumut 256
318 371
375 295
495 580
Sumbar 237
302 390
426 371
487 618
Riau 376
362 438
496 352
666 766
Jambi 283
303 337
394 239
486 573
Sumsel 224
305 375
345 379
402 592
Lampung 186
260 316
363 296
403 437
Kepri 342
533 1 013
637 486
794 830
Jabar 351
344 380
435 352
515 674
Jateng 254
236 283
310 313
386 428
DIY 332
343 386
399 361
547 466
Jatim 256
268 332
392 288
490 578
Banten 328
404 535
574 412
639 719
Bali 310
392 373
415 305
697 629
NTB 195
200 220
274 264
351 407
NTT 185
193 200
288 276
389 352
Kalbar 206
255 377
300 312
460 850
Kalteng 323
299 362
436 323
617 609
Kalsel 297
315 365
487 312
515 541
Kaltim 414
498 575
761 527
1 517 840
Sulut 208
288 381
340 273
491 525
Sulteng 177
243 268
301 267
471 500
Sulsel 321
255 315
335 311
545 481
26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 234
346 431
463 453
563 671
Sumut 316
387 436
488 375
721 639
Sumbar 317
347 409
506 417
660 761
Riau 442
471 514
622 534
753 917
Jambi 363
365 414
449 333
565 753
Sumsel 262
335 415
458 373
554 669
Lampung 255
295 375
443 311
620 607
Kepri 416
594 724
764 441
749 987
Jabar 279
317 374
404 359
515 645
Jateng 266
279 328
360 296
453 551
DIY 325
396 503
444 319
626 707
Jatim 293
292 349
409 350
478 608
Banten 361
376 463
491 523
682 812
Bali 508
494 545
507 415
738 1 038
NTB 231
294 328
371 315
551 532
NTT 291
312 323
325 365
493 625
Kalbar 327
359 451
437 384
691 896
Kalteng 366
370 414
480 407
599 761
Kalsel 271
361 450
499 453
678 821
Kaltim 412
491 583
671 574
992 1 135
Sulut 568
410 418
380 345
649 787
Sulteng 274
368 380
395 280
565 838
Sulsel 306
318 367
454 403
680 687
Lampiran 2. Lanjutan 27. Indeks Gini
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 0.30
0.28 0.27
0.27 0.29
0.30 0.33
Sumut 0.33
0.30 0.31
0.31 0.32
0.35 0.35
Sumbar 0.30
0.33 0.31
0.29 0.30
0.33 0.35
Riau 0.28
0.31 0.32
0.31 0.33
0.33 0.36
Jambi 0.31
0.31 0.31
0.28 0.27
0.30 0.34
Sumsel 0.31
0.28 0.32
0.30 0.31
0.34 0.34
Lampung 0.38
0.31 0.39
0.35 0.35
0.36 0.37
Kepri 0.27
0.33 0.30
0.30 0.29
0.29 0.32
Jabar 0.34
0.35 0.34
0.35 0.36
0.36 0.41
Jateng 0.31
0.31 0.33
0.31 0.32
0.34 0.38
DIY 0.42
0.39 0.37
0.36 0.38
0.41 0.40
Jatim 0.36
0.30 0.34
0.33 0.33
0.34 0.37
Banten 0.36
0.33 0.37
0.34 0.37
0.42 0.40
Bali 0.33
0.35 0.33
0.30 0.31
0.37 0.41
NTB 0.32
0.37 0.33
0.33 0.35
0.40 0.36
NTT 0.35
0.37 0.35
0.34 0.36
0.38 0.36
Kalbar 0.31
0.27 0.31
0.31 0.32
0.37 0.40
Kalteng 0.28
0.21 0.30
0.29 0.29
0.30 0.34
Kalsel 0.28
0.33 0.34
0.33 0.35
0.37 0.37
Kaltim 0.32
0.30 0.33
0.34 0.38
0.37 0.38
Sulut 0.32
0.36 0.32
0.28 0.31
0.37 0.39
Sulteng 0.30
0.37 0.32
0.33 0.34
0.37 0.38
Sulsel 0.35
0.36 0.37
0.36 0.39
0.40 0.41
28. Headcount Index Pertanian
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 42.93
43.23 39.80
30.00 30.59
30.67 25.55
Sumut 26.55
19.22 17.29
15.96 14.90
15.43 15.98
Sumbar 21.95
21.44 19.91
16.57 13.45
15.19 15.19
Riau 10.66
17.42 14.76
12.70 10.11
11.80 11.91
Jambi 19.37
14.16 10.55
8.85 8.54
7.24 10.11
Sumsel 22.88
23.03 17.34
18.68 18.97
16.30 16.41
Lampung 44.08
26.85 21.43
24.89 24.16
23.46 21.37
Kepri 42.23
27.78 21.89
16.97 9.20
10.46 5.34
Jabar 9.62
20.33 20.39
22.90 20.12
19.05 21.84
Jateng 24.92
24.85 24.91
27.76 24.86
23.94 22.67
DIY 29.93
32.35 26.47
32.76 28.12
30.38 36.44
Jatim 29.42
31.66 24.78
28.25 25.97
23.45 22.29
Banten 20.26
18.45 23.13
17.98 15.44
16.25 13.87
Bali 12.41
5.87 5.44
13.33 10.23
9.74 7.88
NTB 37.38
27.57 21.44
32.43 29.42
27.22 22.93
NTT 25.28
33.51 31.72
34.44 30.69
29.12 27.28
Kalbar 21.23
15.73 8.28
12.62 11.85
11.43 10.41
Kalteng 26.44
12.77 10.06
14.05 10.61
9.87 8.94
Kalsel 25.42
10.15 9.32
9.14 8.00
7.94 9.23
Kaltim 24.19
20.88 21.97
23.39 14.77
20.00 13.71
Sulut 27.86
15.35 14.47
13.36 13.62
12.50 13.12
Sulteng 24.48
34.25 27.18
25.77 25.07
23.20 20.51
Sulsel 6.44
13.96 10.23
21.23 19.00
16.72 15.10
Lampiran 2. Lanjutan 29. Headcount Index Industri
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 13.25
37.87 22.18
25.29 21.90
23.90 18.89
Sumut 17.57
12.27 10.36
9.07 28.80
4.29 8.19
Sumbar 28.39
14.00 12.82
6.35 12.50
13.08 7.30
Riau 0.00
12.58 8.77
11.17 23.86
4.09 8.18
Jambi 0.00
16.57 10.06
5.42 19.18
6.76 5.26
Sumsel 19.29
21.00 7.59
26.62 9.74
22.56 3.92
Lampung 18.88
21.76 13.07
18.77 26.65
16.71 23.43
Kepri 21.62
11.23 2.83
4.71 11.51
11.50 7.89
Jabar 10.41
9.46 10.98
9.83 26.33
12.89 6.27
Jateng 16.00
15.74 15.01
17.19 17.16
13.18 13.77
DIY 11.52
24.31 19.30
18.54 0.00
15.95 11.03
Jatim 12.55
14.43 10.25
11.19 18.98
9.81 8.92
Banten 2.13
6.33 2.82
3.75 0.00
2.29 3.74
Bali 3.64
3.24 5.85
4.65 10.83
4.89 1.47
NTB 9.64
20.17 24.87
17.62 16.53
18.78 17.61
NTT 14.51
22.07 31.46
8.52 10.00
21.96 20.16
Kalbar 16.30
10.80 3.50
13.28 20.14
6.30 8.63
Kalteng 0.00
7.90 4.20
8.99 8.01
0.00 19.28
Kalsel 4.55
5.08 6.43
8.50 6.99
5.48 7.08
Kaltim 0.00
11.12 8.84
6.06 26.65
0.00 0.38
Sulut 0.00
3.95 7.05
17.64 17.15
10.56 10.79
Sulteng 51.36
29.58 26.96
29.63 30.18
12.93 13.52
Sulsel 6.80
10.14 7.14
12.47 11.88
12.95 11.06
30. Headcount Index Perdagangan
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 39.25
22.96 0.00
11.01 11.51
8.36 10.18
Sumut 8.64
10.28 8.03
4.92 9.30
6.94 5.21
Sumbar 8.35
11.30 8.27
4.33 13.25
4.91 3.46
Riau 2.41
7.99 5.75
7.36 7.38
8.01 2.43
Jambi 5.66
9.99 10.58
7.23 32.30
8.55 2.98
Sumsel 13.35
14.99 8.06
13.71 19.03
11.94 9.71
Lampung 0.00
16.07 13.24
13.68 9.77
9.18 8.79
Kepri 17.63
8.39 2.94
3.44 18.89
7.40 16.06
Jabar 5.89
9.95 8.91
10.17 16.13
8.07 5.66
Jateng 9.92
11.35 11.41
11.80 18.87
9.90 9.32
DIY 9.08
13.89 8.56
9.06 32.65
5.23 4.63
Jatim 11.74
13.50 9.45
8.22 11.50
7.10 6.65
Banten 6.07
8.95 7.55
6.50 6.38
5.92 3.59
Bali 3.28
1.30 1.07
1.59 5.20
1.50 0.69
NTB 11.73
11.02 14.14
15.01 18.35
16.82 12.07
NTT 7.19
21.30 16.67
4.11 15.75
13.12 7.55
Kalbar 7.48
6.14 3.52
7.72 9.96
5.80 4.61
Kalteng 13.97
2.41 2.07
6.13 9.50
5.55 2.77
Kalsel 9.64
5.68 3.66
3.91 1.34
4.88 3.27
Kaltim 8.89
6.88 5.60
2.96 6.65
5.00 0.24
Sulut 19.61
3.66 2.93
3.39 15.57
3.99 0.97
Sulteng 5.07
11.06 8.32
14.89 32.00
9.19 3.84
Sulsel 5.47
6.30 3.21
6.04 7.44
2.90 2.10
Lampiran 2. Lanjutan 31. Total Headcount Index
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 28.69
28.28 26.65
23.53 21.80
20.98 19.57
Sumut 14.68
15.01 13.90
12.55 11.51
11.31 11.33
Sumbar 10.89
12.51 11.90
10.67 9.54
9.50 9.04
Riau 12.51
11.85 11.20
10.63 9.48
8.65 8.47
Jambi 11.88
11.37 10.27
9.32 8.77
8.34 8.65
Sumsel 21.01
20.99 19.15
17.73 16.28
15.47 14.24
Lampung 21.42
22.77 22.19
20.98 20.22
18.94 16.93
Kepri 10.97
12.16 10.30
9.18 8.27
8.05 7.40
Jabar 13.06
14.49 13.55
13.01 11.96
11.27 10.65
Jateng 20.49
22.19 20.43
19.23 17.72
16.56 15.76
DIY 18.95
19.15 18.99
18.32 17.23
16.83 16.08
Jatim 19.95
21.09 19.98
18.51 16.68
15.26 14.23
Banten 8.86
9.79 9.07
8.15 7.64
7.16 6.32
Bali 6.72
7.08 6.63
6.17 5.13
4.88 4.20
NTB 25.92
27.17 24.99
23.81 22.78
21.55 19.73
NTT 28.19
29.34 27.51
25.65 23.31
23.03 21.23
Kalbar 14.24
15.24 12.91
11.07 9.30
9.02 8.60
Kalteng 10.73
11.00 9.38
8.71 7.02
6.77 6.56
Kalsel 7.23
8.32 7.01
6.48 5.12
5.21 5.29
Kaltim 10.57
11.41 11.04
9.51 7.73
7.66 6.77
Sulut 9.34
11.54 11.42
10.10 9.79
9.10 8.51
Sulteng 21.80
23.63 22.42
20.75 18.98
18.07 15.83
Sulsel 14.98
14.57 14.11
13.34 12.31
11.60 10.29
32. Total Penanaman Modal Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 108 178
163 512 83 375
81 930 463 044
Sumut 1 209 739
1 118 298 3 344 634
1 776 210 3 375 405
2 291 074 8 507 558
Sumbar 435 691
89 231 553 125
266 657 460 881
144 849 1 234 147
Riau 18 053 257
7 779 959 10 848 112
7 013 487 5 756 779
1 816 050 9 388 083
Jambi 313 475
903 190 4 917 651
1 695 557 594 535
557 811 2 311 504
Sumsel 1 880 586
948 435 2 834 234
1 633 800 1 114 484
3 413 324 6 122 680
Lampung 1 773 616
1 654 533 1 336 588
1 466 077 857 268
548 346 1 545 310
Kepri 663 079
226 042 598 187
1 971 123 2 408 256
1 656 491 3 362 982
Jabar 28 589 300
19 949 596 23 836 617
32 084 084 23 217 867
31 012 681 46 009 572
Jateng 1 221 184
3 705 532 1 232 748
2 813 117 3 424 182
1 327 007 4 324 414
DIY 198 512
460 179 40 987
182 254 108 862
54 508 23 416
Jatim 10 949 638
3 989 454 17 741 317
7 772 969 8 272 865
23 991 238 21 585 113
Banten 10 416 363
8 399 473 7 740 817
7 170 381 17 879 463
19 736 318 23 991 474
Bali 1 178 885
932 476 492 245
913 598 2 186 068
2 815 537 4 684 972
NTB 36 287
108 764 55 468
140 337 25 380
3 788 634 4 259 625
NTT 33 736
21 197 3 768
20 258 37 228
34 526 50 798
Kalbar 633 876
98 349 392 306
683 697 778 187
2 704 177 5 944 331
Kalteng 1 631 174
1 401 002 1 178 166
1 368 808 1 509 997
8 422 148 8 305 867
Kalsel 859 725
1 983 768 946 965
594 629 2 878 932
3 832 675 4 585 289
Kaltim 410 192
3 877 589 1 884 994
434 872 834 182
17 701 501 12 031 996
Sulut 192 211
12 033 711 887
430 824 593 733
2 134 902 2 328 164
Sulteng 5 233
554 192 16 611
31 208 1 398 384
5 978 577 Sulsel
1 133 011 187 703
595 914 1 407 808
1 861 502 7 184 079
4 798 466
Lampiran 2. Lanjutan 33. Luas Wilayah km
2 Provinsi
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 NAD
56 501 56 501
57 956 57 956
57 956 57 956
57 956 Sumut
72 428 72 428
72 981 72 981
72 981 72 981
72 981 Sumbar
42 225 42 225
42 013 42 013
42 013 42 013
42 013 Riau
87 844 87 844
87 024 87 024
87 024 87 024
87 024 Jambi
45 348 45 348
50 058 50 058
50 058 50 058
50 058 Sumsel
60 303 60 303
91 592 91 592
91 592 91 592
91 592 Lampung
37 735 37 735
34 624 34 624
34 624 34 624
34 624 Kepri
8 084 8 084
8 202 8 202
8 202 8 202
8 202 Jabar
36 925 36 925
35 378 35 378
35 378 35 378
35 378 Jateng
32 800 32 800
32 801 32 801
32 801 32 801
32 801 DIY
3 133 3 133
3 133 3 133
3 133 3 133
3 133 Jatim
46 690 46 690
47 800 47 800
47 800 47 800
47 800 Banten
9 019 9 019
9 663 9 663
9 663 9 663
9 663 Bali
5 449 5 449
5 780 5 780
5 780 5 780
5 780 NTB
19 709 19 709
18 572 18 572
18 572 18 572
18 572 NTT
46 138 46 138
48 718 48 718
48 718 48 718
48 718 Kalbar
120 114 120 114
147 307 147 307
147 307 147 307
147 307 Kalteng
153 565 153 565
153 565 153 565
153 565 153 565
153 565 Kalsel
38 884 38 884
38 744 38 744
38 744 38 744
38 744 Kaltim
194 849 194 849
204 534 204 534
204 534 204 534
204 534 Sulut
13 931 13 931
13 852 13 852
13 852 13 852
13 852 Sulteng
68 090 68 090
61 841 61 841
61 841 61 841
61 841 Sulsel
46 116 46 116
46 717 46 717
46 717 46 717
46 717
34. Jumlah Penduduk Ribu Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 4 084
4 054 4 070
4 294 4 364
4 494 4 123
Sumut 12 418
12 606 12 761
13 042 13 248
12 982 13 359
Sumbar 4 567
4 428 4 454
4 763 4 828
4 847 4 565
Riau 4 836
4 989 5 324
5 189 5 307
5 538 6 504
Jambi 2 651
2 707 2 758
2 788 2 834
3 092 2 962
Sumsel 6 816
6 869 6 976
7 122 7 223
7 450 7 415
Lampung 7 087
7 401 7 512
7 391 7 492
7 608 7 950
Kepri 1 279
1 380 1 314
1 453 1 515
1 679 1 263
Jabar 39 151
39 751 40 446
40 918 41 502
43 054 43 249
Jateng 31 874
32 003 32 119
32 626 32 865
32 383 32 541
DIY 3 366
3 311 3 343
3 469 3 502
3 457 3 467
Jatim 36 482
35 695 35 843
37 095 37 286
37 477 36 387
Banten 9 071
9 570 9 836
9 602 9 783
10 632 10 948
Bali 3 405
3 423 3 467
3 516 3 551
3 891 3 636
NTB 4 149
4 424 4 493
4 364 4 434
4 500 4 768
NTT 4 280
4 185 4 244
4 534 4 620
4 684 4 472
Kalbar 4 037
4 469 4 545
4 249 4 319
4 396 4 845
Kalteng 1 970
2 197 2 257
2 057 2 086
2 212 2 502
Kalsel 3 297
3 292 3 344
3 447 3 496
3 627 3 556
Kaltim 2 887
2 886 2 961
3 095 3 165
3 553 3 269
Sulut 2 144
2 169 2 197
2 208 2 229
2 271 2 302
Sulteng 2 312
2 450 2 498
2 438 2 480
2 635 2 688
Sulsel 7 490
7 940 7 985
7 805 7 909
8 035 8 285
Lampiran 2. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Orang
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 110 292
119 586 136 088
144 950 163 388
170 032 166 234
Sumut 211 289
212 362 230 001
229 749 245 214
257 534 252 803
Sumbar 116 348
118 710 129 344
128 821 139 409
142 406 142 111
Riau 73 589
74 714 85 721
92 649 102 084
105 212 105 531
Jambi 62 330
62 851 69 318
71 298 80 890
82 770 83 568
Sumsel 109 022
109 677 121 504
125 406 137 843
142 685 142 104
Lampung 104 589
103 689 112 077
118 059 129 249
129 627 130 622
Kepri 19 286
20 666 25 448
26 798 32 153
33 801 34 944
Jabar 417 720
404 757 444 735
455 422 482 824
477 496 458 751
Jateng 461 252
444 496 473 654
472 095 498 261
496 205 480 629
DIY 92 223
89 707 92 077
89 867 94 014
92 066 88 916
Jatim 470 827
449 479 490 420
485 233 536 753
532 181 519 082
Banten 76 617
75 926 85 717
91 951 100 112
99 563 98 207
Bali 83 554
85 143 89 291
86 059 99 686
101 493 99 467
NTB 73 099
73 883 82 939
80 688 94 880
95 799 94 954
NTT 94 086
94 351 105 647
102 931 118 502
126 038 127 712
Kalbar 76 302
77 796 82 410
84 701 93 174
94 605 94 787
Kalteng 56 058
57 842 66 154
64 325 75 793
77 134 78 919
Kalsel 74 974
76 593 85 893
82 795 95 663
97 407 97 633
Kaltim 68 622
70 670 80 048
77 891 100 204
102 005 103 525
Sulut 66 928
68 208 71 795
68 658 81 254
79 697 80 723
Sulteng 61 760
62 162 71 608
72 480 86 121
86 821 87 678
Sulsel 169 265
166 627 185 951
184 453 202 230
207 778 206 105
36. Garis Kemiskinan Nominal Ribu Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 172.1
198.9 218.1
239.9 261.9
278.4 303.7
Sumut 143.1
162.7 178.1
193.3 210.2
222.9 246.6
Sumbar 141.0
154.2 180.7
195.7 217.5
230.8 261.7
Riau 167.6
185.1 214.0
229.4 246.5
256.1 282.5
Jambi 141.2
154.9 172.3
182.2 199.6
216.2 242.3
Sumsel 138.4
160.6 178.2
196.5 212.4
221.7 236.3
Lampung 125.3
144.9 157.1
172.3 188.8
202.4 234.1
Kepri 215.8
228.6 248.2
262.2 284.0
295.1 340.6
Jabar 133.7
149.7 165.7
176.2 192.0
201.1 220.1
Jateng 130.0
142.3 154.1
168.2 182.5
192.4 209.6
DIY 148.5
170.7 185.0
194.8 212.0
224.3 249.6
Jatim 128.6
145.2 153.1
169.1 188.3
199.3 219.7
Banten 150.2
160.7 169.5
181.1 198.8
208.0 226.7
Bali 152.5
161.8 166.0
176.6 196.5
208.2 233.2
NTB 118.9
140.7 150.0
167.5 185.0
196.2 215.6
NTT 98.3
115.0 126.4
139.7 156.2
175.3 198.6
Kalbar 124.8
134.7 142.5
158.8 174.6
189.4 206.9
Kalteng 136.3
151.9 162.3
186.0 202.6
215.5 241.5
Kalsel 128.6
147.9 161.5
180.3 195.8
210.9 238.5
Kaltim 189.9
207.3 220.4
238.0 261.2
285.2 316.8
Sulut 130.9
145.3 156.6
168.2 184.8
194.3 212.8
Sulteng 131.5
147.4 154.0
168.0 189.7
203.2 235.5
Sulsel 109.5
120.8 126.6
138.3 153.7
163.1 179.9
Lampiran 2. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 2 883 838
2 654 476 2 145 206
2 691 269 1 236 901
739 046 1 786 851
Sumut 27 710
18 249 30 088
46 002 47 431
53 443 81 340
Sumbar 31 886
38 373 38 633
26 934 33 034
34 148 74 399
Riau 6 850 627
9 497 721 7 698 879
10 462 351 6 877 360
10 981 569 11 245 622
Jambi 255 436
535 156 638 928
627 173 774 253
1 278 514 1 474 470
Sumsel 1 691 310
2 230 162 2 310 540
2 866 968 2 512 707
4 293 956 4 609 491
Lampung 408 779
423 976 324 746
450 632 217 546
382 769 411 099
Kepri 529 769
1 711 794 823 355
2 238 517 1 935 672
3 228 075 2 785 924
Jabar 402 566
433 573 338 130
371 057 1 214 750
845 665 1 011 480
Jateng 27 578
28 354 54 809
53 175 90 268
102 238 276 372
DIY 1 529
1 759 3 775
978 1 165
8 835 12 742
Jatim 49 642
181 114 164 655
283 145 291 151
581 675 903 093
Banten 2 764
2 713 5 236
6 236 4 114
6 328 12 692
Bali 3 804
3 299 4 525
1 306 957
2 791 6 512
NTB 175 524
116 451 150 171
98 317 166 785
250 581 211 109
NTT 4 407
7 823 14 133
3 135 11 809
5 973 18 816
Kalbar 23 343
47 766 101 550
101 541 120 310
77 409 154 807
Kalteng 125 776
136 874 337 349
321 010 358 384
419 404 649 969
Kalsel 358 490
335 200 493 540
866 541 1 812 608
1 595 306 2 517 067
Kaltim 9 089 999
7 245 469 8 492 103
13 123 444 10 901 928
14 948 064 18 848 056
Sulut 10 103
12 657 52 588
35 962 18 011
34 619 76 699
Sulteng 9 944
21 177 31 596
27 767 12 197
15 788 49 537
Sulsel 89 626
103 426 209 581
146 805 61 240
61 236 99 574
38. Dana Alokasi Khusus Nominal Juta Rp
Provinsi 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
NAD 235 883
607 418 754 797
953 155 1 047 694
822 760 912 376
Sumut 227 428
655 255 985 936
1 234 955 1 492 003
1 407 646 1 489 252
Sumbar 202 613
484 102 698 762
857 863 948 611
700 705 776 281
Riau 91 666
157 917 248 214
257 908 275 636
281 238 265 364
Jambi 123 755
182 228 359 435
426 768 448 425
454 879 422 867
Sumsel 70 231
315 869 441 726
543 973 625 148
552 169 697 756
Lampung 99 010
311 344 464 575
518 649 670 344
675 921 899 064
Kepri 16 334
86 641 119 039
141 586 237 475
106 880 141 029
Jabar 117 910
493 251 820 592
995 507 1 301 869
1 729 519 1 700 180
Jateng 295 970
895 974 1 291 860
1 647 883 2 027 798
1 992 419 2 214 022
DIY 51 410
126 495 181 585
232 322 289 434
274 584 217 314
Jatim 257 320
913 839 1 343 313
1 707 950 2 148 726
1 885 736 2 218 888
Banten 50 230
96 292 232 454
277 253 339 361
378 604 444 944
Bali 90 210
235 500 347 999
425 260 484 340
333 568 285 970
NTB 125 526
288 744 433 038
527 724 526 669
488 262 489 936
NTT 212 920
471 615 719 249
946 850 1 147 635
860 011 1 156 628
Kalbar 172 369
374 684 562 951
729 876 744 977
640 510 929 620
Kalteng 241 930
443 839 641 307
687 837 699 620
456 536 583 850
Kalsel 171 612
329 323 408 456
564 334 684 685
542 100 404 624
Kaltim 131 036
380 035 326 789
230 551 356 553
247 779 298 701
Sulut 110 200
300 570 493 415
616 970 937 285
620 676 708 958
Sulteng 124 483
292 582 456 367
616 391 603 893
461 238 633 593
Sulsel 275 808
624 417 966 158
1 218 542 1 316 209
1 006 571 1 269 894
Lampiran 3. Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Fiskal,
Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
Lampiran 4. Program Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN
pada software SASETS 9.1.3.
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls
out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run;
options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor;
PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL
= LAGGIND; GDGL
= LAGGDG; GIFRL
= LAGGIFR; GLNL
= LAGGLN; UPHTANIL
= LAGUPHTANI; UPHINDL
= LAGUPHIND; UPHDGL
= LAGUPHDG; EXPTANIL
= LAGEXPTANI; GINIL
= LAGGINI; PDRBL
= LAGPDRB;
IF TAHUN 2005; proc syslin 2sls data=work.data outest=hasil;
endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G
FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN DRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI
SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM MTR WLYH POP PNS IFL GK RET KKYD PADLN BHSSD DAK DPTLN PDRBHTN
PDRBIKAN PDRBKYU PDRBINDTANILN PDRBINDLN PDRBLN TKLN PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL
PDRBL; model
PJK = PDRBKAP PM MTR PJKL ;
model BHSPJK
= PDRBNONTANI WLYH BHSPJKL ; model
DAU = PDRBL POP WLYH PNS DAUL ;
model GPGNKBNTNK
= KAPFIS DAU DAK GPGNKBNTNKL ; model
GIND = KAPFIS DAU GINDL ;
model GDG
= KAPFIS DAU GDGL ; model
GIFR = KAPFIS DAU GIFRL ;
model GLN
= KAPFIS DAU GLNL ; model
ASP = GIFR PM MTR DW ;
model PDRBPGNKBNTNK = GPGNKBNTNK TKTANI ASP dw;
model PDRBMKN
= GIND TKIND dw; model
PDRBDG = GDGKAP TKDG ASP dw;
model TKTANI
= PDRBTANI UPHTANI ASP dw; model
TKIND = PDRBIND UPHIND ASP dw;
model TKDG
= PDRBDG UPHDG ASP dw; model
UPHTANI = PDRBTANIKAP UPHTANIL ;
model UPHIND
= PDRBINDKAP UPHINDL ; model
UPHDG = PDRBDGKAP UPHDGL ;
model EXPTANI
= UPHTANI IFL dw; model
EXPIND = UPHIND IFL DW ;
model EXPDG
= UPHDG IFL DW ; model
GINI = SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG GINIL ;
model POVTANIP0
= EXPTANI GINI GK dw; model
POVINDP0 = EXPIND GINI GK dw;
model POVDGP0
= EXPDG GINI GK dw; model
POVTANIP1 = EXPTANI GINI GK dw;
model POVTANIP2
= EXPTANI GINI GK dw; model
POVP0 = POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 dw;
identity PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; identity
KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA;
identity GDGKAP
= GDGKAP; identity
G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN;
identity DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; identity
FISGAP = G - KAPFIS;
identity FISAUTO
= FISAUTO; identity
PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
identity PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
identity PDRBIND
= PDRBINDTANI + PDRBINDLN; identity
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; identity
PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI;
identity PDRBTANIKAP = PDRBTANIKAP;
identity PDRBINDKAP
= PDRBINDKAP; identity
PDRBDGKAP = PDRBDGKAP;
IDENTITY PDRBKAP
= PDRBKAP; identity
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
identity SHPDRBTANI
= SHPDRBTANI; identity
SHPDRBIND = SHPDRBIND;
identity SHPDRBDG
= SHPDRBDG;
run;
Lampiran 5. Hasil Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN
pada software SASETS 9.1.3.
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model PJK
Dependent Variable PJK Label pajak daerah
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 3.449E14 8.622E13 1320.75 .0001
Error 133 8.682E12 6.528E10 Corrected Total 137 3.535E14
Root MSE 255494.383 R-Square 0.97544 Dependent Mean 1421350.27 Adj R-Sq 0.97470
Coeff Var 17.97547 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -94933.9 40234.75 -2.36 0.0198 Intercept PDRBKAP 1 3.060250 1.391187 2.20 0.0296 PDRB perkapita
PM 1 0.042283 0.007034 6.01 .0001 penanaman modal MTR 1 99.61593 20.75682 4.80 .0001 kendaraan bermotor
PJKL 1 0.851747 0.049528 17.20 .0001 LAG PJK The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model BHSPJK Dependent Variable BHSPJK
Label bagi hasil pajak Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 1.165E14 3.885E13 200.52 .0001 Error 134 2.596E13 1.937E11
Corrected Total 137 1.426E14 Root MSE 440164.014 R-Square 0.81782
Dependent Mean 1068570.32 Adj R-Sq 0.81374 Coeff Var 41.19186
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 77276.63 63392.22 1.22 0.2250 Intercept
PDRBNONTANI 1 0.004145 0.000586 7.07 .0001 PDRB non pertanian WLYH 1 3.330978 0.873388 3.81 0.0002 luas wilayah
BHSPJKL 1 0.314815 0.086613 3.63 0.0004 LAG BHSPJK
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model DAU
Dependent Variable DAU Label DAU
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 5 2.9E15 5.801E14 1392.52 .0001
Error 132 5.499E13 4.166E11 Corrected Total 137 2.955E15
Root MSE 645413.927 R-Square 0.98139 Dependent Mean 5875357.11 Adj R-Sq 0.98069
Coeff Var 10.98510 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 179927.2 125256.1 1.44 0.1532 Intercept PDRBL 1 -0.00720 0.001181 -6.10 .0001 Lag PDRB
POP 1 107.6154 25.26074 4.26 .0001 penduduk WLYH 1 6.338917 1.423235 4.45 .0001 luas wilayah
PNS 1 18.81129 3.001082 6.27 .0001 PNS DAUL 1 0.431706 0.066265 6.51 .0001 LAG DAU
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GPGNKBNT
Dependent Variable GPGNKBNTNK Label G pertanian
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 3.682E12 9.204E11 215.05 .0001
Error 133 5.692E11 4.28E9 Corrected Total 137 4.257E12
Root MSE 65421.7083 R-Square 0.86609 Dependent Mean 293923.603 Adj R-Sq 0.86206
Coeff Var 22.25807 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 36039.57 11008.29 3.27 0.0014 Intercept KAPFIS 1 0.007570 0.002073 3.65 0.0004 kapasitas fiskal
DAU 1 0.008443 0.002908 2.90 0.0043 DAU DAK 1 0.046851 0.037942 1.23 0.2191 dana alokasi khusus
GPGNKBNTNKL 1 0.542576 0.071836 7.55 .0001 LAG GPBNKBNTNK
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GIND
Dependent Variable GIND Label G perindustrian
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 2.1E11 6.999E10 209.01 .0001
Error 134 4.487E10 3.3486E8 Corrected Total 137 2.554E11
Root MSE 18299.2394 R-Square 0.82392 Dependent Mean 37179.8200 Adj R-Sq 0.81998
Coeff Var 49.21820 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -4952.50 2663.146 -1.86 0.0651 Intercept KAPFIS 1 0.000730 0.000399 1.83 0.0698 kapasitas fiskal
DAU 1 0.002365 0.000461 5.13 .0001 DAU GINDL 1 0.749475 0.056511 13.26 .0001 LAG GIND
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GDG
Dependent Variable GDG Label G perdagangan
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.984E11 6.612E10 102.69 .0001
Error 134 8.629E10 6.4393E8 Corrected Total 137 2.849E11
Root MSE 25375.7373 R-Square 0.69688 Dependent Mean 44869.9845 Adj R-Sq 0.69009
Coeff Var 56.55392 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -1818.01 3679.168 -0.49 0.6220 Intercept KAPFIS 1 0.002214 0.000609 3.64 0.0004 kapasitas fiskal
DAU 1 0.002753 0.000582 4.73 .0001 DAU GDGL 1 0.504975 0.070261 7.19 .0001 LAG GDG
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GIFR
Dependent Variable GIFR Label G infrastruktur
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.662E14 5.541E13 346.37 .0001
Error 134 2.144E13 1.6E11 Corrected Total 137 1.882E14
Root MSE 399978.455 R-Square 0.88577 Dependent Mean 1748045.22 Adj R-Sq 0.88322
Coeff Var 22.88147 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 256753.3 64621.06 3.97 0.0001 Intercept KAPFIS 1 0.082805 0.014626 5.66 .0001 kapasitas fiskal
DAU 1 0.017387 0.008340 2.08 0.0390 DAU GIFRL 1 0.625046 0.057764 10.82 .0001 LAG GIFR
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GLN
Dependent Variable GLN Label G lainnya
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 7.778E15 2.593E15 5503.06 .0001
Error 134 6.313E13 4.711E11 Corrected Total 137 7.84E15
Root MSE 686370.596 R-Square 0.99195 Dependent Mean 9534554.30 Adj R-Sq 0.99177
Coeff Var 7.19877 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -162696 102504.4 -1.59 0.1148 Intercept KAPFIS 1 0.162246 0.033154 4.89 .0001 kapasitas fiskal
DAU 1 0.302331 0.043423 6.96 .0001 DAU GLNL 1 0.826398 0.040186 20.56 .0001 LAG GLN
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model ASP
Dependent Variable ASP Label panjang jln aspal
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 5.8355E9 1.9452E9 136.61 .0001
Error 134 1.908E9 14238980 Corrected Total 137 7.7409E9
Root MSE 3773.45730 R-Square 0.75360 Dependent Mean 9803.94136 Adj R-Sq 0.74808
Coeff Var 38.48919 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 2489.701 598.7154 4.16 .0001 Intercept GIFR 1 0.000634 0.000348 1.82 0.0706 G infrastruktur
PM 1 0.000148 0.000059 2.52 0.0130 penanaman modal MTR 1 2.470515 0.163036 15.15 .0001 kendaraan bermotor
Durbin-Watson 0.539286 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.716656 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model PDRBPGNK Dependent Variable PDRBPGNKBNTNK
Label PDRB pgnkbntnk Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 6.01E16 2.003E16 529.87 .0001 Error 134 5.067E15 3.781E13
Corrected Total 137 6.494E16 Root MSE 6149006.14 R-Square 0.92226
Dependent Mean 19366098.4 Adj R-Sq 0.92052 Coeff Var 31.75139
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -6374729 1192973 -5.34 .0001 Intercept
GPGNKBNTNK 1 24.73811 5.616437 4.40 .0001 G pertanian TKTANI 1 5711.454 856.5614 6.67 .0001 TK pertanian
ASP 1 930.0316 243.3905 3.82 0.0002 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.507689
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.741738
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBMKN
Dependent Variable PDRBMKN Label PDRB makanan jadi
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 3.769E16 1.885E16 121.07 .0001
Error 135 2.102E16 1.557E14 Corrected Total 137 5.812E16
Root MSE 12476660.8 R-Square 0.64205 Dependent Mean 10599562.9 Adj R-Sq 0.63674
Coeff Var 117.70920 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -2494254 1432910 -1.74 0.0840 Intercept GIND 1 195.8402 35.71463 5.48 .0001 G perindustrian
TKIND 1 11064.96 1640.610 6.74 .0001 TK industri Durbin-Watson 0.433438
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.783082
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBDG
Dependent Variable PDRBDG Label PDRB perdagangan
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 2.042E17 6.808E16 341.96 .0001
Error 134 2.668E16 1.991E14 Corrected Total 137 2.295E17
Root MSE 14109584.5 R-Square 0.88447 Dependent Mean 25956610.7 Adj R-Sq 0.88189
Coeff Var 54.35835 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -1.465E7 3033582 -4.83 .0001 Intercept gdgkap 1 556479.4 211967.0 2.63 0.0097 G perdagangan perkap
TKDG 1 24205.45 2035.234 11.89 .0001 TK perdagangan ASP 1 1655.791 322.8061 5.13 .0001 panjang jln aspal
Durbin-Watson 0.554616 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.719699
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model TKTANI
Dependent Variable TKTANI Label TK pertanian
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 4.3555E8 1.4518E8 402.75 .0001
Error 134 48303967 360477.4 Corrected Total 137 4.8012E8
Root MSE 600.39767 R-Square 0.90017 Dependent Mean 1637.36576 Adj R-Sq 0.89793
Coeff Var 36.66851 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 278.3180 236.0039 1.18 0.2404 Intercept PDRBTANI 1 0.000028 5.702E-6 4.87 .0001 PDRB pertanian
UPHTANI 1 -1.10432 0.287225 -3.84 0.0002 upah pertanian ASP 1 0.138568 0.020093 6.90 .0001 panjang jln aspal
Durbin-Watson 0.486921 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.737744 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model TKIND Dependent Variable TKIND
Label TK industri Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 1.0059E8 33528544 409.47 .0001 Error 134 10972340 81883.13
Corrected Total 137 1.1095E8 Root MSE 286.15229 R-Square 0.90164
Dependent Mean 525.30787 Adj R-Sq 0.89944 Coeff Var 54.47325
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 507.7032 110.1381 4.61 .0001 Intercept
PDRBIND 1 0.000013 7.031E-7 18.83 .0001 PDRB industri UPHIND 1 -0.68291 0.095574 -7.15 .0001 upah industri
ASP 1 0.010769 0.005848 1.84 0.0678 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.656673
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.66991
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model TKDG
Dependent Variable TKDG Label TK perdagangan
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.6701E8 55669855 304.70 .0001
Error 134 24482647 182706.3 Corrected Total 137 1.9035E8
Root MSE 427.44160 R-Square 0.87215 Dependent Mean 835.10971 Adj R-Sq 0.86929
Coeff Var 51.18389 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 360.2438 294.3367 1.22 0.2231 Intercept PDRBDG 1 0.000023 2.165E-6 10.79 .0001 PDRB perdagangan
UPHDG 1 -0.41858 0.296650 -1.41 0.1606 upah perdagangan ASP 1 0.021856 0.012417 1.76 0.0807 panjang jln aspal
Durbin-Watson 0.391134 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.803178 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model UPHTANI Dependent Variable UPHTANI
Label upah pertanian Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 2 5367822 2683911 307.86 .0001 Error 135 1176931 8718.009
Corrected Total 137 6554861 Root MSE 93.37028 R-Square 0.82017
Dependent Mean 600.65559 Adj R-Sq 0.81751 Coeff Var 15.54473
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 63.05079 23.36683 2.70 0.0079 Intercept
PDRBTANIKAP 1 0.009624 0.005901 1.63 0.1052 PDRB tani perkap UPHTANIL 1 0.860639 0.042552 20.23 .0001 LAG UPHTANI
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model UPHIND
Dependent Variable UPHIND Label upah industri
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 11113592 5556796 199.57 .0001
Error 135 3758976 27844.26 Corrected Total 137 14890628
Root MSE 166.86601 R-Square 0.74725 Dependent Mean 873.31369 Adj R-Sq 0.74351
Coeff Var 19.10722 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 464.3901 56.73394 8.19 .0001 Intercept PDRBINDKAP 1 0.032354 0.005139 6.30 .0001 PDRB ind perkap
UPHINDL 1 0.313735 0.082859 3.79 0.0002 LAG UPHIND The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model UPHDG Dependent Variable UPHDG
Label upah perdagangan Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 2 2537782 1268891 118.27 .0001 Error 135 1448376 10728.71
Corrected Total 137 4042336 Root MSE 103.57949 R-Square 0.63665
Dependent Mean 825.98688 Adj R-Sq 0.63127 Coeff Var 12.54009
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 247.4232 46.52912 5.32 .0001 Intercept
PDRBDGKAP 1 0.026432 0.007568 3.49 0.0006 PDRB perdag perkap UPHDGL 1 0.622585 0.069211 9.00 .0001 LAG UPHDG
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPTANI
Dependent Variable EXPTANI Label exp pddk pertanian
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 395079.0 197539.5 109.27 .0001
Error 135 244054.2 1807.809 Corrected Total 137 630879.3
Root MSE 42.51833 R-Square 0.61815 Dependent Mean 281.42784 Adj R-Sq 0.61249
Coeff Var 15.10808 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 210.2986 14.41329 14.59 .0001 Intercept UPHTANI 1 0.221478 0.017430 12.71 .0001 upah pertanian
IFL 1 -7.69744 1.094803 -7.03 .0001 laju inflasi Durbin-Watson 0.85059
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.568226
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPIND
Dependent Variable EXPIND Label exp pddk industri
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 1237555 618777.4 62.80 .0001
Error 135 1330207 9853.382 Corrected Total 137 2539229
Root MSE 99.26420 R-Square 0.48196 Dependent Mean 381.40874 Adj R-Sq 0.47428
Coeff Var 26.02568 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 153.6796 34.86287 4.41 .0001 Intercept UPHIND 1 0.293050 0.027160 10.79 .0001 upah industri
IFL 1 -3.50608 2.583773 -1.36 0.1771 laju inflasi Durbin-Watson 2.149309
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation -0.07573
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPDG
Dependent Variable EXPDG Label exp pddk perdag
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 728799.7 364399.9 36.99 .0001
Error 135 1329947 9851.462 Corrected Total 137 1978257
Root MSE 99.25453 R-Square 0.35400 Dependent Mean 448.47327 Adj R-Sq 0.34443
Coeff Var 22.13165 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 129.4432 54.93177 2.36 0.0199 Intercept UPHDG 1 0.448016 0.057316 7.82 .0001 upah perdagangan
IFL 1 -6.34483 2.578929 -2.46 0.0151 laju inflasi Durbin-Watson 1.831054
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.078524
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model GINI
Dependent Variable GINI Label Indeks Gini
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 0.087978 0.021994 29.14 .0001
Error 133 0.100390 0.000755 Corrected Total 137 0.186951
Root MSE 0.02747 R-Square 0.46705 Dependent Mean 0.33779 Adj R-Sq 0.45103
Coeff Var 8.13340 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 0.118165 0.027582 4.28 .0001 Intercept SHPDRBTANI 1 -0.00052 0.000414 -1.26 0.2085 Share PDRB tani
SHPDRBIND 1 -0.00033 0.000285 -1.17 0.2458 Share PDRB indsutri SHPDRBDG 1 0.000331 0.000487 0.68 0.4973 Share PDRB perdag
GINIL 1 0.702657 0.066837 10.51 .0001 LAG GINI
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP
Dependent Variable POVTANIP0 Label P0 pertanian
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 6040.026 2013.342 101.50 .0001
Error 134 2657.916 19.83520 Corrected Total 137 8761.537
Root MSE 4.45367 R-Square 0.69442 Dependent Mean 19.16447 Adj R-Sq 0.68758
Coeff Var 23.23921 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -6.22684 5.810689 -1.07 0.2858 Intercept EXPTANI 1 -0.17003 0.009792 -17.36 .0001 exp pddk pertanian
GINI 1 60.93370 13.35701 4.56 .0001 Indeks Gini GK 1 0.302195 0.023011 13.13 .0001 garis kemiskinan
Durbin-Watson 1.165089 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.398934 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model POVINDP0 Dependent Variable POVINDP0
Label P0 industri Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 2659.627 886.5422 20.18 .0001 Error 134 5888.172 43.94158
Corrected Total 137 8374.480 Root MSE 6.62884 R-Square 0.31115
Dependent Mean 12.83884 Adj R-Sq 0.29573 Coeff Var 51.63120
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -6.93891 9.964172 -0.70 0.4874 Intercept
EXPIND 1 -0.06080 0.008233 -7.38 .0001 exp pddk industri GINI 1 42.69824 22.41290 1.91 0.0589 Indeks Gini
GK 1 0.163808 0.034049 4.81 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.86536
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.042965
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model POVDGP0
Dependent Variable POVDGP0 Label P0 perdagangan
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1297.439 432.4796 22.77 .0001
Error 134 2545.397 18.99550 Corrected Total 137 4768.743
Root MSE 4.35838 R-Square 0.33763 Dependent Mean 8.71230 Adj R-Sq 0.32280
Coeff Var 50.02562 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -4.59922 6.541710 -0.70 0.4832 Intercept EXPDG 1 -0.04699 0.006000 -7.83 .0001 exp pddk perdag
GINI 1 44.26502 15.90563 2.78 0.0062 Indeks Gini GK 1 0.111514 0.021907 5.09 .0001 garis kemiskinan
Durbin-Watson 1.857164 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.054883 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model POVTANIP1 Dependent Variable POVTANIP1
Label POVTANIP1 Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 208.9824 69.66078 71.41 .0001 Error 134 130.7212 0.975531
Corrected Total 137 342.1119 Root MSE 0.98769 R-Square 0.61519
Dependent Mean 2.99813 Adj R-Sq 0.60658 Coeff Var 32.94352
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -1.23131 1.288635 -0.96 0.3410 Intercept
EXPTANI 1 -0.03177 0.002172 -14.63 .0001 exp pddk pertanian GINI 1 8.428017 2.962180 2.85 0.0051 Indeks Gini
GK 1 0.059236 0.005103 11.61 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.123903
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.427635
The SAS System The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP2
Dependent Variable POVTANIP2 Label POVTANIP2
Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 18.36868 6.122893 60.45 .0001
Error 134 13.57297 0.101291 Corrected Total 137 32.01286
Root MSE 0.31826 R-Square 0.57507 Dependent Mean 0.79677 Adj R-Sq 0.56556
Coeff Var 39.94381 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label
Intercept 1 -0.33909 0.415235 -0.82 0.4156 Intercept EXPTANI 1 -0.00938 0.000700 -13.41 .0001 exp pddk pertanian
GINI 1 1.924496 0.954500 2.02 0.0458 Indeks Gini GK 1 0.017944 0.001644 10.91 .0001 garis kemiskinan
Durbin-Watson 1.172675 Number of Observations 138
First-Order Autocorrelation 0.400445 The SAS System
The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model POVP0 Dependent Variable POVP0
Label POVP0 Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F
Model 3 3932.568 1310.856 145.81 .0001 Error 134 1204.702 8.990312
Corrected Total 137 5028.633 Root MSE 2.99838 R-Square 0.76550
Dependent Mean 13.86083 Adj R-Sq 0.76025 Coeff Var 21.63207
Parameter Estimates Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -0.51930 0.754143 -0.69 0.4923 Intercept
POVTANIP0 1 0.460043 0.050111 9.18 .0001 P0 pertanian POVINDP0 1 0.307586 0.071400 4.31 .0001 P0 industri
POVDGP0 1 0.185324 0.101187 1.83 0.0692 P0 perdagangan Durbin-Watson 1.450359
Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.254511
Lampiran 6. Program Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi
Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber;
data work.SIMULASI; set work.propoor;
PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL
= LAGGIND; GDGL
= LAGGDG; GIFRL
= LAGGIFR; GLNL
= LAGGLN; UPHTANIL
= LAGUPHTANI; UPHINDL
= LAGUPHIND; UPHDGL
= LAGUPHDG; EXPTANIL
= LAGEXPTANI; GINIL
= LAGGINI; PDRBL
= LAGPDRB;
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASI; BY TAHUN; RUN; endogenous
PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN
PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL
= LAG23PJK; BHSPJKL
= LAG23BHSPJK; DAUL
= LAG23DAU; GPGNKBNTNKL = LAG23GPGNKBNTNK;
GINDL = LAG23GIND;
GDGL = LAG23GDG;
GIFRL = LAG23GIFR;
GLNL = LAG23GLN;
UPHTANIL = LAG23UPHTANI;
UPHINDL = LAG23UPHIND;
UPHDGL = LAG23UPHDG;
EXPTANIL = LAG23EXPTANI;
GINIL = LAG23GINI;
PDRBL = LAG23PDRB;
IF TAHUN 2005; PARM
a0 -94933.9
b0 77276.63
c0 179927.2
d0 36039.57
a1 3.06025
b1 0.004145
c1 -0.0072
d1 0.00757
a2 0.042283
b2 3.330978
c2 107.6154
d2 0.008443
a3 99.61593
b3 0.314815
c3 6.338917
d3 0.046851
a4 0.851747
c4 18.81129
d4 0.542576
c5 0.431706
e0 -4952.5
f0 -1818.01
g0 256753.3
h0 -162696
e1 0.00073
f1 0.002214
g1 0.082805
h1 0.162246
e2 0.002365
f2 0.002753
g2 0.017387
h2 0.302331
e3 0.749475
f3 0.504975
g3 0.625046
h3 0.826398
i0 2489.701
j0 -6374729
k0 -2494254
l0 -1.47E+07
i1 0.000634
j1 24.73811
k1 195.8402
l1 556479.4
i2 0.000148
j2 5711.454
k2 11064.96
l2 24205.45
i3 2.470515
j3 930.0316
l3 1655.791
m0 278.318
n0 507.7032
o0 360.2438
p0 63.05079
m1 0.000028
n1 0.000013
o1 0.000023
p1 0.009624
m2 -1.10432
n2 -0.68291
o2 -0.41858
p2 0.860639
m3 0.138568
n3 0.010769
o3 0.021856
q0 464.3901
r0 247.4232
s0 210.2986
t0 153.6796
q1 0.032354
r1 0.026432
s1 0.221478
t1 0.29305
q2 0.313735
r2 0.622585
s2 -7.69744
t2 -3.50608
u0 129.4432
v0 0.118165
w0 -6.22684
x0 -6.93891
u1 0.448016
v1 -0.00052
w1 -0.17003
x1 -0.0608
u2 -6.34483
v2 -0.00033
w2 60.9337
x2 42.69824
v3 0.000331
w3 0.302195
x3 0.163808
v4 0.702657
y0 -4.59922
z0 -1.23131
aa0 -0.33909
ab0 -0.5193
y1 -0.04699
z1 -0.03177
aa1 -0.00938
ab1 0.460043
y2 44.26502
z2 8.428017
aa2 1.924496
ab2 0.307586
y3 0.111514
z3 0.059236
aa3 0.017944
ab3 0.185324
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ;
GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ;
GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ;
GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ;
GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ;
ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ;
PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN
= k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG
= l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI
= m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND
= n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG
= o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI
= p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND
= q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG
= r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI
= s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND
= t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG
= u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ;
POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ;
POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ;
POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ;
POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ;
POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ;
POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ;
PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN;
KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA;
GDGKAP = GDGPOP;
G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN;
DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN;
FISGAP = G - KAPFIS;
FISAUTO = PADG100;
PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND
= PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN;
PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI;
PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP
= pdrbindpop; PDRBDGKAP
= pdrbdgpop; PDRBKAP
= PDRBPOP; TK
= tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI
= PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND
= PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG
= PDRBDGPDRB100; run;
Lampiran 7. Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi
Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Model Summary Model Variables 48
Endogenous 48 Parameters 110
Equations 48 Number of Statements 66
Program Lag Length 23 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= SIMULASI
Solution Summary Variables Solved 48
Simulation Lag Length 23 Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.46E-14
Maximum Iterations 4 Total Iterations 278
Average Iterations 2.014493 Observations Processed
Read 161 Lagged 23
Solved 138 First 24
Last 161
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
PJK 138 138 1421350 1606351 1511125 1803218 PAD 138 138 2107481 2280579 2197256 2486268
BHSPJK 138 138 1068570 1020251 1040519 828038 KAPFIS 138 138 4449630 4469827 4511354 4566295
DAU 138 138 5875357 4644540 5914990 4733082 DPT 138 138 12247142 9099316 12348499 9433773
GPGNKBNTNK 138 138 293924 176283 289938 160132 GIND 138 138 37179.8 43177.4 36338.5 35683.2
GDG 138 138 44870.0 45603.8 44796.6 36350.5 GDGKAP 138 138 7.4740 6.6635 7.1671 4.4795
GIFR 138 138 1748045 1172130 1669634 1027218 GLN 138 138 9534554 7564806 9504389 7842232
G 138 138 11845264 8750048 11731788 9024757 FISGAP 138 138 7395634 5923872 7220434 6093558
FISAUTO 138 138 16.0630 7.4356 16.3146 7.6951 ASP 138 138 9803.9 7516.8 9752.5 6575.5
PDRBPGNKBNTNK 138 138 19366098 21771270 19015508 18662175 PDRBTANI 138 138 23916759 24703224 23566169 21411241
PDRBTANIKAP 138 138 3092.7 1644.0 3501.4 1950.1 PDRBMKN 138 138 10599563 20596695 10220805 15359938
PDRBINDTANI 138 138 19202161 31865477 18823404 29493006 PDRBIND 138 138 38409672 60067677 38030915 61561013
PDRBINDKAP 138 138 4150.8 5765.1 4252.0 5734.1 PDRBDG 138 138 25956611 40927071 24337421 30916624
PDRBDGKAP 138 138 2690.7 1623.7 3166.0 2698.9 PDRBNONTANI 138 138 1.1395E8 1.4247E8 1.1195E8 1.2983E8
PDRB 138 138 1.3787E8 1.6495E8 1.3552E8 1.4907E8 PDRBKAP 138 138 17783.6 15983.5 18768.8 17516.8
SHPDRBTANI 138 138 21.9705 9.6400 22.0616 7.9017 SHPDRBIND 138 138 19.0619 13.5110 20.7022 15.0723
SHPDRBDG 138 138 17.1145 5.3227 16.4764 13.6251 TKTANI 138 138 1637.4 1872.0 1601.6 1552.0
TKIND 138 138 525.3 899.9 506.0 815.5 TKDG 138 138 835.1 1178.7 780.9 845.0
TK 138 138 4075.3 5159.7 3965.9 4380.8 UPHTANI 138 138 600.7 218.7 622.9 174.8
UPHIND 138 138 873.3 329.7 880.3 279.0 UPHDG 138 138 826.0 171.8 841.6 152.0
EXPTANI 138 138 281.4 67.8598 286.4 47.7588 EXPIND 138 138 381.4 136.1 383.5 82.8449
EXPDG 138 138 448.5 120.2 455.5 76.1981 GINI 138 138 0.3378 0.0369 0.3420 0.0198
POVTANIP0 138 138 19.1645 7.9971 18.5821 7.8467 POVINDP0 138 138 12.8388 7.8184 12.8949 4.2970
POVDGP0 138 138 8.7123 5.8999 8.5686 2.8392 POVTANIP1 138 138 2.9981 1.5802 2.8756 1.5141
POVTANIP2 138 138 0.7968 0.4834 0.7599 0.4557 POVP0 138 138 13.8608 6.0585 13.5835 4.7696
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Statistics of fit
Mean Mean Mean Abs Mean Abs RMS RMS Variable N Error Error Error Error Error Error
PJK 138 89774.6 -1.5730 271229 27.4334 387305 37.0033 PAD 138 89774.6 -0.4874 271229 16.5583 387305 21.1421
BHSPJK 138 -28050.9 11.9929 239783 27.9855 467764 39.3797 KAPFIS 138 61723.7 2.8469 344559 11.8966 545398 16.5899
DAU 138 39633.1 2.4038 546556 12.4267 725271 20.7981 DPT 138 101357 0.1224 725948 7.0064 994486 8.9036
GPGNKBNTNK 138 -3985.4 13.5626 58774.1 30.2765 81749.6 50.5742 GIND 138 -841.3 314.1 15201.6 341.0 24510.8 2672.7
GDG 138 -73.3449 79.0329 17069.2 102.7 27796.0 490.6 GDGKAP 138 -0.3069 79.0329 2.9728 102.7 4.5390 490.6
GIFR 138 -78410.9 11.0626 399622 31.7439 545393 60.4068 GLN 138 -30165.0 -1.9335 671928 8.7464 914995 12.0422
G 138 -113476 -1.6266 892644 9.0357 1210355 11.5590 FISGAP 138 -175200 0.0675 816816 22.8107 1077544 74.5113
FISAUTO 138 0.2516 1.6496 2.2426 15.6910 2.8245 20.1273 ASP 138 -51.4766 27.6364 3097.6 51.8269 3805.1 93.2527
PDRBPGNKBNTNK 138 -350590 36.1399 5338253 61.3348 7128127 117.0 PDRBTANI 138 -350590 18.9452 5338253 37.8276 7128127 57.7939
PDRBTANIKAP 138 408.7 18.9452 1035.2 37.8276 1475.6 57.7939 PDRBMKN 138 -378757 76.2499 7044064 423.4 14084843 986.5
PDRBINDTANI 138 -378757 111.5 7044064 143.5 14084843 342.6 PDRBIND 138 -378757 67.6643 7044064 87.9929 14084843 253.3
PDRBINDKAP 138 101.2 67.6643 770.1 87.9929 981.9 253.3 PDRBDG 138 -1619190 22.1018 12219043 75.0366 19631565 101.1
PDRBDGKAP 138 475.2 22.1018 1802.3 75.0366 2496.0 101.1 PDRBNONTANI 138 -1997947 6.3854 14253994 18.5557 25176968 23.9069
PDRB 138 -2348537 6.4079 18569375 19.3086 29664121 25.0477 PDRBKAP 138 985.1 6.4079 2933.9 19.3086 4096.6 25.0477
SHPDRBTANI 138 0.0911 10.1690 3.8012 24.1301 4.7943 39.1038 SHPDRBIND 138 1.6403 57.8731 4.6775 78.2081 6.5115 241.6
SHPDRBDG 138 -0.6381 1.0333 8.7247 56.6030 13.1751 86.8004 TKTANI 138 -35.7395 32.6565 543.7 61.0321 733.0 98.1448
TKIND 138 -19.3399 54.4305 203.4 90.7124 335.5 128.0 TKDG 138 -54.2512 38.7976 336.3 65.1928 585.2 85.9219
TK 138 -109.3 12.2776 838.0 31.3095 1237.3 42.0993 UPHTANI 138 22.2834 7.7351 80.8837 14.6865 104.2 19.4449
UPHIND 138 6.9801 5.7106 137.1 17.3624 183.2 24.2262 UPHDG 138 15.6584 4.6870 142.9 17.3091 181.6 21.7360
EXPTANI 138 4.9355 4.1685 31.9947 11.5256 43.4053 15.3822 EXPIND 138 2.0452 6.3232 70.0445 18.8177 100.6 24.2289
EXPDG 138 7.0156 6.0845 72.8794 17.4226 96.5774 24.8704 GINI 138 0.00423 2.2857 0.0286 8.7567 0.0353 11.3113
POVTANIP0 138 -0.5824 10.1745 6.2615 41.4441 8.2071 75.2844 POVINDP0 138 0.0561 39331372 6.5016 39331405 8.0959 2.4908E8
POVDGP0 138 -0.1437 11453462 4.0162 11453488 5.8668 1.3455E8 POVTANIP1 138 -0.1225 18.6937 1.2896 59.1734 1.6958 99.7573
POVTANIP2 138 -0.0369 25.3746 0.3880 71.9210 0.5172 124.8 POVP0 138 -0.2773 14.6648 5.1301 44.0999 6.4685 60.0351
Statistics of fit Variable R-Square Label
PJK 0.9414 pajak daerah PAD 0.9709
PAD BHSPJK 0.7883 bagi hasil pajak
KAPFIS 0.9850 Kapasitas fiskal
DAU 0.9754 DAU DPT 0.9880
total pendaptan daerah GPGNKBNTNK 0.7834 belanja pertanian
GIND 0.6754 belanja perindustrian GDG 0.6258 belanja perdagangan
GDGKAP 0.5326 belanja perdagangan per kapita
GIFR 0.7819 belanja infrastruktur GLN 0.9853 belanja lainnya
G 0.9807 total belanja daerah
FISGAP 0.9667 kesenjangan fiskal
FISAUTO 0.8546 kemandirian fiskal
ASP 0.7419 panjang jalan aspal PDRBPGNKBNTNK 0.8920 PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan
PDRBTANI 0.9161 PDRB pertanian
PDRBTANIKAP 0.1886 PDRB pertanian per kapita
PDRBMKN 0.5289 PDRB industri makanan jadi PDRBINDTANI 0.8032
PDRB industri pertanian PDRBIND 0.9446
PDRB industri PDRBINDKAP 0.9708
PDRB industri per kapita PDRBDG 0.7682 PDRB Perdagangan
PDRBDGKAP -1.380 PDRB Perdangngan per kapita
PDRBNONTANI 0.9685 PDRB non pertanian
PDRB 0.9674 PDRB total
PDRBKAP 0.9338 PDRB per kapita
SHPDRBTANI 0.7509 Share PDRB pertanian
SHPDRBIND 0.7660 Share PDRB industri
SHPDRBDG -5.172 Share PSDRB perdagangan
TKTANI 0.8455 Tenaga kerja pertanian TKIND 0.8600 Tenaga kerja industri
TKDG 0.7518 Tenaga kerja perdagangan TK 0.9421 Tenaga kerja total
UPHTANI 0.7715 Upah pertanian UPHIND 0.6890 Upah industri
UPHDG -.1257 Upah perdagangan EXPTANI 0.5879 Pengeluaran per kapita pertanian
EXPIND 0.4503 Pengeluaran per kapita industri EXPDG 0.3493 Pengeluaran per kapita perdagangan
GINI 0.0779 Indeks Gini POVTANIP0 -.0609 P0 pertanian
POVINDP0 -.0801 P0 industri POVDGP0 0.0040 P0 perdagangan
POVTANIP1 -.1600 P1 pertanian POVTANIP2 -.1530 P2 pertanian
POVP0 -.1483 P0 total
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar
Variable N MSE R UM UR UD US UC PJK 138 1.5E11 0.98 0.05 0.34 0.61 0.26 0.69
PAD 138 1.5E11 0.99 0.05 0.34 0.61 0.28 0.67 BHSPJK 138 2.188E11 0.89 0.00 0.03 0.97 0.17 0.83
KAPFIS 138 2.975E11 0.99 0.01 0.05 0.93 0.03 0.96 DAU 138 5.26E11 0.99 0.00 0.04 0.96 0.01 0.98
DPT 138 9.89E11 0.99 0.01 0.15 0.84 0.11 0.88 GPGNKBNTNK 138 6.683E9 0.89 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96
GIND 138 6.0078E8 0.82 0.00 0.00 1.00 0.09 0.91 GDG 138 7.7262E8 0.79 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89
GDGKAP 138 20.6027 0.73 0.00 0.01 0.99 0.23 0.77 GIFR 138 2.975E11 0.89 0.02 0.00 0.98 0.07 0.91
GLN 138 8.372E11 0.99 0.00 0.13 0.87 0.09 0.91 G 138 1.465E12 0.99 0.01 0.08 0.91 0.05 0.94
FISGAP 138 1.161E12 0.98 0.03 0.06 0.92 0.02 0.95 FISAUTO 138 7.9781 0.93 0.01 0.07 0.92 0.01 0.98
ASP 138 14478615 0.86 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 PDRBPGNKBNTNK 138 5.081E13 0.95 0.00 0.08 0.92 0.19 0.81
PDRBTANI 138 5.081E13 0.96 0.00 0.11 0.89 0.21 0.79 PDRBTANIKAP 138 2177259 0.70 0.08 0.29 0.63 0.04 0.88
PDRBMKN 138 1.984E14 0.73 0.00 0.00 1.00 0.14 0.86 PDRBINDTANI 138 1.984E14 0.90 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97
PDRBIND 138 1.984E14 0.97 0.00 0.05 0.95 0.01 0.99 PDRBINDKAP 138 964183 0.99 0.01 0.00 0.99 0.00 0.99
PDRBDG 138 3.854E14 0.89 0.01 0.07 0.92 0.26 0.74 PDRBDGKAP 138 6230261 0.44 0.04 0.63 0.34 0.18 0.78
PDRBNONTANI 138 6.339E14 0.99 0.01 0.18 0.81 0.25 0.74 PDRB 138 8.8E14 0.99 0.01 0.21 0.78 0.28 0.71
PDRBKAP 138 16782293 0.98 0.06 0.22 0.72 0.14 0.80 SHPDRBTANI 138 22.9850 0.87 0.00 0.01 0.99 0.13 0.87
SHPDRBIND 138 42.3999 0.91 0.06 0.18 0.75 0.06 0.88 SHPDRBDG 138 173.6 0.27 0.00 0.85 0.15 0.39 0.60
TKTANI 138 537361 0.92 0.00 0.06 0.94 0.19 0.81 TKIND 138 112529 0.93 0.00 0.00 0.99 0.06 0.93
TKDG 138 342419 0.88 0.01 0.11 0.88 0.32 0.67 TK 138 1530795 0.98 0.01 0.29 0.70 0.39 0.60
UPHTANI 138 10851.6 0.89 0.05 0.04 0.92 0.18 0.78 UPHIND 138 33556.8 0.83 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92
UPHDG 138 32973.4 0.38 0.01 0.23 0.76 0.01 0.98 EXPTANI 138 1884.0 0.77 0.01 0.01 0.98 0.21 0.77
EXPIND 138 10115.2 0.67 0.00 0.01 0.99 0.28 0.72 EXPDG 138 9327.2 0.60 0.01 0.00 0.99 0.21 0.79
GINI 138 0.00125 0.35 0.01 0.04 0.95 0.23 0.75 POVTANIP0 138 67.3567 0.46 0.01 0.25 0.74 0.00 0.99
POVINDP0 138 65.5431 0.20 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 POVDGP0 138 34.4189 0.25 0.00 0.06 0.94 0.27 0.73
POVTANIP1 138 2.8758 0.40 0.01 0.27 0.72 0.00 0.99 POVTANIP2 138 0.2675 0.39 0.01 0.26 0.73 0.00 0.99
POVP0 138 41.8416 0.30 0.00 0.21 0.79 0.04 0.96
Theil Forecast Error Statistics Inequality Coef
Variable U1 U Label PJK 0.1809 0.0863 pajak daerah
PAD 0.1250 0.0604 PAD BHSPJK 0.3172 0.1669 bagi hasil pajak
KAPFIS 0.0866 0.0429 kapasitas fiskal DAU 0.0970 0.0482 DAU
DPT 0.0653 0.0323 total pendapatan daerah GPGNKBNTNK 0.2388 0.1214 belanja pertanian
GIND 0.4311 0.2276 belanja perindustrian GDG 0.4353 0.2288 belanja perdagangan
GDGKAP 0.4540 0.2461 belanja perdagangan per kapita GIFR 0.2594 0.1343 belanja infrastruktur
GLN 0.0753 0.0374 belanja lainnya G 0.0823 0.0410 toal belanja daerah
FISGAP 0.1139 0.0570 kesenjangan fiskal FISAUTO 0.1597 0.0791 kemandirian fiskal
ASP 0.3084 0.1580 panjang jalan aspal PDRBPGNKBNTNK 0.2451 0.1280 PDRB tan. pangan, perkebunan, peternakan
PDRBTANI 0.2077 0.1078 PDRB pertanian PDRBTANIKAP 0.4216 0.1966 PDRB pertanian per kapita
PDRBMKN 0.6098 0.3394 PDRB industri makanan jadi PDRBINDTANI 0.3796 0.1956 PDRB industri pertanian
PDRBIND 0.1981 0.0983 PDRB industri PDRBINDKAP 0.1386 0.0691 PDRB industri per kapita
PDRBDG 0.4061 0.2241 PDRB perdagangan PDRBDGKAP 0.7950 0.3422 PDRB perdagangan per kapita
PDRBNONTANI 0.1383 0.0713 PDRB non pertanian PDRB 0.1383 0.0714 PDRB total
PDRBKAP 0.1716 0.0828 PDRB per kapita SHPDRBTANI 0.1999 0.1011 Share PDRB pertanian
SHPDRBIND 0.2790 0.1331 Share PDRB industri SHPDRBDG 0.7353 0.3355 Share PDRB perdagangan
TKTANI 0.2954 0.1557 Tenaga kerja pertanian TKIND 0.3228 0.1680 Tenaga kerja industri
TKDG 0.4061 0.2260 Tenaga kerja perdagangan TK 0.1886 0.0993 Tenaga kerja total
UPHTANI 0.1630 0.0810 Upah pertanian UPHIND 0.1963 0.0987 Upah industri
UPHDG 0.2153 0.1069 Upah perdagangan EXPTANI 0.1500 0.0749 Pengeluaran per kapita pertanian
EXPIND 0.2484 0.1262 Pengeluaran per kapita industri EXPDG 0.2081 0.1043 Pengeluaran per kapita perdagangan
GINI 0.1040 0.0518 Indeks Gini POVTANIP0 0.3954 0.2006 P0 pertanian
POVINDP0 0.5391 0.2830 P0 industri POVDGP0 0.5582 0.3003 P0 perdagangan
POVTANIP1 0.5008 0.2556 P1 pertanian POVTANIP2 0.5555 0.2847 P2 pertanian
POVP0 0.4279 0.2192 P0 total
Lampiran 8. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber;
data work.SIMULASITANI; set work.propoor;
IF KODESHTANI = 1; memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1;
GPGNKBNTNK = 1.5GPGNKBNTNK; SS1: meningkatkan belanja pertanian 50 ;
GIND = 1.25GIND; ; SS2: meningkatkan belanja perindustrian 25 ;
GDG = 1.5GDG; ; SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50 ;
BHSPJK = 1.5BHSPJK; ; SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50 ;
PM = 1.9PM; ; SS5: meningkatkan penanaman modal 90 ;
PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK;
GINDL = LAGGIND;
GDGL = LAGGDG;
GIFRL = LAGGIFR;
GLNL = LAGGLN;
UPHTANIL = LAGUPHTANI;
UPHINDL = LAGUPHIND;
UPHDGL = LAGUPHDG;
EXPTANIL = LAGEXPTANI;
GINIL = LAGGINI;
PDRBL = LAGPDRB;
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate;
endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO
ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI
SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK;
PJKL
= LAG12PJK; BHSPJKL
= LAG12BHSPJK; DAUL
= LAG12DAU; GPGNKBNTNKL = LAG12GPGNKBNTNK;
GINDL = LAG12GIND;
GDGL = LAG12GDG;
GIFRL = LAG12GIFR;
GLNL = LAG12GLN;
UPHTANIL = LAG12UPHTANI;
UPHINDL = LAG12UPHIND;
UPHDGL = LAG12UPHDG;
EXPTANIL = LAG12EXPTANI;
GINIL = LAG12GINI;
PDRBL = LAG12PDRB;
IF TAHUN 2005; PARM
a0 -94933.9
b0 77276.63
c0 179927.2
d0 36039.57
a1 3.06025
b1 0.004145
c1 -0.0072
d1 0.00757
a2 0.042283
b2 3.330978
c2 107.6154
d2 0.008443
a3 99.61593
b3 0.314815
c3 6.338917
d3 0.046851
a4 0.851747
c4 18.81129
d4 0.542576
c5 0.431706
e0 -4952.5
f0 -1818.01
g0 256753.3
h0 -162696
e1 0.00073
f1 0.002214
g1 0.082805
h1 0.162246
e2 0.002365
f2 0.002753
g2 0.017387
h2 0.302331
e3 0.749475
f3 0.504975
g3 0.625046
h3 0.826398
i0 2489.701
j0 -6374729
k0 -2494254
l0 -1.47E+07
i1 0.000634
j1 24.73811
k1 195.8402
l1 556479.4
i2 0.000148
j2 5711.454
k2 11064.96
l2 24205.45
i3 2.470515
j3 930.0316
l3 1655.791
m0 278.318
n0 507.7032
o0 360.2438
p0 63.05079
m1 0.000028
n1 0.000013
o1 0.000023
p1 0.009624
m2 -1.10432
n2 -0.68291
o2 -0.41858
p2 0.860639
m3 0.138568
n3 0.010769
o3 0.021856
q0 464.3901
r0 247.4232
s0 210.2986
t0 153.6796
q1 0.032354
r1 0.026432
s1 0.221478
t1 0.29305
q2 0.313735
r2 0.622585
s2 -7.69744
t2 -3.50608
u0 129.4432
v0 0.118165
w0 -6.22684
x0 -6.93891
u1 0.448016
v1 -0.00052
w1 -0.17003
x1 -0.0608
u2 -6.34483
v2 -0.00033
w2 60.9337
x2 42.69824
v3 0.000331
w3 0.302195
x3 0.163808
v4 0.702657
y0 -4.59922
z0 -1.23131
aa0 -0.33909
ab0 -0.5193
y1 -0.04699
z1 -0.03177
aa1 -0.00938
ab1 0.460043
y2 44.26502
z2 8.428017
aa2 1.924496
ab2 0.307586
y3 0.111514
z3 0.059236
aa3 0.017944
ab3 0.185324
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND
= e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG
= f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR
= g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN
= h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP
= i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ;
PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ;
PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ;
TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ;
TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ;
TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ;
UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ;
UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ;
UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ;
EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ;
EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ;
EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ;
GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0
= w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0
= x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0
= y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1
= z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2
= aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0
= ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND
= PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN;
PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI;
PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP
= pdrbindpop; PDRBDGKAP
= pdrbdgpop; PDRBKAP
= PDRBPOP; TK
= tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI
= PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND
= PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG
= PDRBDGPDRB100; run;
Lampiran 9. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Model Summary Model Variables 47
Endogenous 47 Parameters 110
Equations 47 Number of Statements 64
Program Lag Length 12 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= SIMULASITANI
Solution Summary Variables Solved 47
Simulation Lag Length 12 Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.76E-14
Maximum Iterations 5 Total Iterations 147
Average Iterations 2.041667 Observations Processed
Read 84 Lagged 12
Solved 72 First 13
Last 84
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
PJK 72 72 701587 571076 661968 561239 PAD 72 72 1072631 709248 1033012 683898
BHSPJK 72 72 594131 313619 687845 275419 KAPFIS 72 72 2057544 1155360 2111639 1081172
DAU 72 72 5144042 1788199 4940881 1671822 DPT 72 72 8832997 3577672 8683931 3375317
GIND 72 72 29797.9 30816.8 26594.2 15545.7 GDG 72 72 28791.2 16260.6 30623.3 11956.9
GDGKAP 72 72 6.6121 4.4821 6.8017 2.7733 GIFR 72 72 1347830 555571 1177479 306940
GLN 72 72 6746003 2944902 6710784 2852984 G 72 72 8731394 3577070 8524453 3301536
FISGAP 72 72 6673850 2723013 6412813 2566558 FISAUTO 72 72 11.8259 3.8890 11.6668 4.3955
ASP 72 72 8965.4 4250.0 7133.2 2397.6 PDRBPGNKBNTNK 72 72 13143306 9269720 16343583 8017590
PDRBTANI 72 72 16468820 11052298 19669098 9530256 PDRBTANIKAP 72 72 3230.7 944.9 4224.1 1697.0
PDRBMKN 72 72 4119624 7276321 4834442 4412624 PDRBINDTANI 72 72 5747009 7810350 6461827 4813805
PDRBIND 72 72 8970669 12562364 9685488 9601428 PDRBINDKAP 72 72 1396.8 910.7 1712.4 749.2
PDRBDG 72 72 10313081 9459434 12001983 10445519 PDRBDGKAP 72 72 1897.0 729.6 2602.1 2007.6
PDRBNONTANI 72 72 44445013 37789071 46848734 34876002 PDRB 72 72 60913834 48307377 66517831 43774479
PDRBKAP 72 72 11547.7 3567.7 13561.8 5306.9 SHPDRBTANI 72 72 28.9706 6.7997 32.2616 8.0607
SHPDRBIND 72 72 11.2111 5.9554 13.1184 4.6242 SHPDRBDG 72 72 16.2577 3.0407 16.2196 11.0455
TKTANI 72 72 1167.7 586.6 1095.9 565.4 TKIND 72 72 150.2 114.5 191.6 130.7
TKDG 72 72 375.8 265.5 458.8 267.6 TK 72 72 2239.2 1228.9 2291.9 1240.9
UPHTANI 72 72 595.4 158.7 653.4 149.3 UPHIND 72 72 750.4 188.7 759.7 47.2138
UPHDG 72 72 751.2 117.4 796.5 119.8 EXPTANI 72 72 265.7 58.1629 289.1 46.2403
EXPIND 72 72 331.9 81.1571 346.3 18.9589 EXPDG 72 72 420.1 93.1396 431.9 65.1443
GINI 72 72 0.3337 0.0385 0.3332 0.0158 POVTANIP0 72 72 19.3383 8.8037 14.7662 8.0324
POVINDP0 72 72 14.7422 8.1563 13.2549 3.9666 POVDGP0 72 72 9.1491 6.2167 8.2471 2.8310
POVTANIP1 72 72 3.0948 1.8066 2.1630 1.5410 POVTANIP2 72 72 0.8360 0.5668 0.5502 0.4619
POVP0 72 72 15.2406 6.7819 11.8792 5.0768
Lampiran 10. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber;
data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor;
IF KODESHTANI = 0; memilih 11 provinsi non pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0;
GPGNKBNTNK = 1.5GPGNKBNTNK; SS1: meningkatkan belanja pertanian 50 ;
GIND = 1.5GIND; ; SS2: meningkatkan belanja perindustrian 50 ;
GDG = 1.5GDG; ; SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50 ;
BHSPJK = 1.5BHSPJK; ; SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50 ;
PM = 1.5PM; ; SS5: meningkatkan penanaman modal 50 ;
PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK;
GINDL = LAGGIND;
GDGL = LAGGDG;
GIFRL = LAGGIFR;
GLNL = LAGGLN;
UPHTANIL = LAGUPHTANI;
UPHINDL = LAGUPHIND;
UPHDGL = LAGUPHDG;
EXPTANIL = LAGEXPTANI;
GINIL = LAGGINI;
PDRBL = LAGPDRB;
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate;
endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO
ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI
SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK;
PJKL
= LAG11PJK; BHSPJKL
= LAG11BHSPJK; DAUL
= LAG11DAU; GPGNKBNTNKL = LAG11GPGNKBNTNK;
GINDL = LAG11GIND;
GDGL = LAG11GDG;
GIFRL = LAG11GIFR;
GLNL = LAG11GLN;
UPHTANIL = LAG11UPHTANI;
UPHINDL = LAG11UPHIND;
UPHDGL = LAG11UPHDG;
EXPTANIL = LAG11EXPTANI;
GINIL = LAG11GINI;
PDRBL = LAG11PDRB;
IF TAHUN 2005; PARM
a0 -94933.9
b0 77276.63
c0 179927.2
d0 36039.57
a1 3.06025
b1 0.004145
c1 -0.0072
d1 0.00757
a2 0.042283
b2 3.330978
c2 107.6154
d2 0.008443
a3 99.61593
b3 0.314815
c3 6.338917
d3 0.046851
a4 0.851747
c4 18.81129
d4 0.542576
c5 0.431706
e0 -4952.5
f0 -1818.01
g0 256753.3
h0 -162696
e1 0.00073
f1 0.002214
g1 0.082805
h1 0.162246
e2 0.002365
f2 0.002753
g2 0.017387
h2 0.302331
e3 0.749475
f3 0.504975
g3 0.625046
h3 0.826398
i0 2489.701
j0 -6374729
k0 -2494254
l0 -1.47E+07
i1 0.000634
j1 24.73811
k1 195.8402
l1 556479.4
i2 0.000148
j2 5711.454
k2 11064.96
l2 24205.45
i3 2.470515
j3 930.0316
l3 1655.791
m0 278.318
n0 507.7032
o0 360.2438
p0 63.05079
m1 0.000028
n1 0.000013
o1 0.000023
p1 0.009624
m2 -1.10432
n2 -0.68291
o2 -0.41858
p2 0.860639
m3 0.138568
n3 0.010769
o3 0.021856
q0 464.3901
r0 247.4232
s0 210.2986
t0 153.6796
q1 0.032354
r1 0.026432
s1 0.221478
t1 0.29305
q2 0.313735
r2 0.622585
s2 -7.69744
t2 -3.50608
u0 129.4432
v0 0.118165
w0 -6.22684
x0 -6.93891
u1 0.448016
v1 -0.00052
w1 -0.17003
x1 -0.0608
u2 -6.34483
v2 -0.00033
w2 60.9337
x2 42.69824
v3 0.000331
w3 0.302195
x3 0.163808
v4 0.702657
y0 -4.59922
z0 -1.23131
aa0 -0.33909
ab0 -0.5193
y1 -0.04699
z1 -0.03177
aa1 -0.00938
ab1 0.460043
y2 44.26502
z2 8.428017
aa2 1.924496
ab2 0.307586
y3 0.111514
z3 0.059236
aa3 0.017944
ab3 0.185324
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND
= e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG
= f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR
= g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN
= h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP
= i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ;
PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ;
PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ;
TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ;
TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ;
TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ;
UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ;
UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ;
UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ;
EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ;
EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ;
EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ;
GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0
= w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0
= x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0
= y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1
= z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2
= aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0
= ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100;
PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND
= PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN;
PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI;
PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP
= pdrbindpop; PDRBDGKAP
= pdrbdgpop; PDRBKAP
= PDRBPOP; TK
= tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI
= PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND
= PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG
= PDRBDGPDRB100; run;
Lampiran 11. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Model Summary Model Variables 47
Endogenous 47 Parameters 110
Equations 47 Number of Statements 64
Program Lag Length 11 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= SIMULASINONTANI
Solution Summary Variables Solved 47
Simulation Lag Length 11 Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.67E-15
Maximum Iterations 4 Total Iterations 134
Average Iterations 2.030303 Observations Processed
Read 77 Lagged 11
Solved 66 First 12
Last 77
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
PJK 66 66 2206547 1970408 2451819 2191362 PAD 66 66 3236409 2816452 3481682 3054401
BHSPJK 66 66 1586140 1251062 1424464 1036432 KAPFIS 66 66 7059179 5234449 7142775 5411547
DAU 66 66 6673155 6382405 6891968 6462321 DPT 66 66 15971664 11555662 16274074 11984648
GIND 66 66 45232.8 52590.9 46550.8 46779.5 GDG 66 66 62410.5 59125.3 59921.0 46433.6
GDGKAP 66 66 8.4143 8.3619 7.5107 5.7733 GIFR 66 66 2184644 1479057 2205820 1248219
GLN 66 66 12576610 9650519 12495637 10117556 G 66 66 15549496 11210980 15488528 11663151
FISGAP 66 66 8490318 8118739 8345753 8378123 FISAUTO 66 66 20.2826 7.7979 21.2322 7.3969
ASP 66 66 10718.7 9885.9 12609.4 8303.6 PDRBPGNKBNTNK 66 66 26154600 28556535 30875311 27136013
PDRBTANI 66 66 32041784 32004865 36762495 30671753 PDRBTANIKAP 66 66 2942.1 2162.7 4288.2 3038.0
PDRBMKN 66 66 17668587 27185471 16006625 20205049 PDRBINDTANI 66 66 33880510 40672226 32218547 38131045
PDRBIND 66 66 70524948 73655911 68862985 77636397 PDRBINDKAP 66 66 7155.2 7181.9 7007.6 7336.6
PDRBDG 66 66 43022279 53534147 37736865 39296001 PDRBDGKAP 66 66 3556.6 1875.1 3768.4 3191.4
PDRBNONTANI 66 66 1.8978E8 1.733E8 1.8283E8 1.5616E8 PDRB 66 66 2.2182E8 2.0269E8 2.1959E8 1.83E8
PDRBKAP 66 66 24586.4 20844.4 25996.7 23457.3 SHPDRBTANI 66 66 14.3341 5.6455 18.7524 7.9511
SHPDRBIND 66 66 27.6265 14.2568 27.3753 19.0957 SHPDRBDG 66 66 18.0491 6.9220 15.4731 13.5943
TKTANI 66 66 2149.7 2549.5 2352.5 2066.1 TKIND 66 66 934.6 1169.0 848.1 1074.2
TKDG 66 66 1336.1 1537.2 1131.1 1089.4 TK 66 66 6078.2 6830.5 5989.6 5701.0
UPHTANI 66 66 606.4 270.7 636.0 227.0 UPHIND 66 66 1007.4 394.0 1011.3 357.8
UPHDG 66 66 907.6 184.8 890.3 168.0 EXPTANI 66 66 298.6 73.7530 293.6 55.9619
EXPIND 66 66 435.4 161.9 423.8 104.3 EXPDG 66 66 479.5 138.2 480.9 79.3843
GINI 66 66 0.3423 0.0349 0.3422 0.0232 POVTANIP0 66 66 18.9749 7.0756 20.4218 7.7579
POVINDP0 66 66 10.7624 6.9124 12.1091 4.5324 POVDGP0 66 66 8.2358 5.5415 8.5133 2.9516
POVTANIP1 66 66 2.8927 1.2949 3.2469 1.4810 POVTANIP2 66 66 0.7540 0.3715 0.8740 0.4438
POVP0 66 66 12.3557 4.7660 14.1779 4.6261
Lampiran 12. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal
Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian
dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SS1
SS2 SS3
SS4 SS5
PM
Penanaman Modal
1
90.0 PJK
Pajak daerah 1.4
0.6 1.2
0.1 18.4
PAD Pendapatan asli daerah
0.9 0.4
0.7 0.1
11.7 BHSPJK
Bagi hasil pajak -0.1
1.8 2.3
50.0 0.7
KAPFIS Kapasitas fiskal
0.4 0.8
1.1 9.7
5.9 DAU
Dana alokasi umum -0.8
-0.4 -0.5
-0.1 -0.2
DPT Total pendapatan daerah
-0.4 -0.1
0.0 2.3
1.3 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 50.0
0.0 0.0
1.2 0.5
GIND Belanja perindustrian
-0.7 25.0
-0.3 1.4
0.5 GDG
Belanja perdagangan -0.5
-0.1 50.0
2.6 1.2
GDGKAP Belanja perdagangan per kapita
-0.5 -0.1
45.1 1.8
1.3 GIFR
Belanja infratruktur 0.0
0.2 0.2
3.0 1.4
GLN Belanja lainnya
-0.4 -0.1
-0.1 1.4
0.5 G
Total belanja daerah 1.5
0.1 0.1
1.6 0.6
FISGAP Kesenjangan fiskal
1.9 -0.2
-0.3 -1.1
-1.1 FISAUTO
Kemandirian fiskal
2
-0.1 0.0
0.1 -0.2
1.3 ASP
Panjang jalan aspal 0.0
0.0 0.0
0.3 2.8
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
36.6 0.0
0.0 1.1
3.6 PDRBTANI
PDRB pertanian 28.7
0.0 0.0
0.8 2.8
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
31.8 0.0
0.0 0.6
3.3 PDRBMKN
PDRB industri makanan jadi -0.9
45.1 -0.4
1.7 1.1
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
-0.6 33.8
-0.3 1.3
0.8 PDRBIND
PDRB industri -0.4
22.6 -0.2
0.8 0.5
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
-0.5 28.6
-0.3 0.8
0.7 PDRBDG
PDRB perdagangan -0.3
0.0 23.4
1.8 7.4
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
-0.3 0.0
32.7 1.5
8.2 PDRBNONTANI
PDRB non pertanian -0.2
4.7 6.0
0.6 2.0
PDRB PDRB total
6.9 3.5
4.5 0.7
2.2 PDRBKAP
PDRB per kapita 8.0
3.9 6.7
0.6 2.6
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
5.7 -0.6
-1.2 0.0
0.1 SHPDRBIND
Share PDRB industri
2
-1.3 1.8
-0.5 0.0
-0.2 SHPDRBDG
Share PDRB perdagangan
2
-1.1 -0.4
3.5 0.2
0.9 TKTANI
Jumlah tenaga kerja pertanian 9.0
0.0 0.0
0.6 3.7
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
-0.2 7.1
0.0 0.5
1.3 TKDG
Jumlah tenaga kerja perdagangan -0.1
0.0 9.9
1.0 4.5
TK Jumlah tenaga kerja total
4.1 0.6
2.1 0.5
2.8 UPHTANI
Upah pertanian 4.6
0.0 0.0
0.1 0.4
UPHIND Upah industri
-0.1 2.9
0.0 0.1
0.1 UPHDG
Upah perdagangan 0.0
0.0 5.8
0.3 1.2
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
2.3 0.0
0.0 0.04
0.2 EXPIND
Pengeluaran per kapita industri 0.0
1.8 0.0
0.06 0.0
EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan
0.0 0.0
4.8 0.23
1.0 GINI
Indeks Gini
3
-0.007 -0.001
0.004 0.000
0.001 POVTANIP0
P0 pertanian
2
-1.51 -0.07
0.26 -0.01
-0.05 POVINDP0
P0 industri
2
-0.29 -0.44
0.19 0.00
0.02 POVDGP0
P0 perdagangan
2
-0.30 -0.05
-0.79 -0.04
-0.17 POVTANIP1
P1 pertanian
3
-0.3 -0.01
0.04 0.00
-0.01 POVTANIP2
P2 pertanian
3
-0.1 0.00
0.01 0.00
0.00 POVP0
P0 total
2
-0.84 -0.17
0.03 -0.01
-0.05 Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
Lampiran 13. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal
Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian
dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SS1
SS2 SS3
SS4 SS5
PM
Penanaman Modal
1
50.0 PJK
Pajak daerah 0.2
0.2 0.4
0.1 14.1
PAD Pendapatan asli daerah
0.1 0.1
0.3 0.1
9.9 BHSPJK
Bagi hasil pajak 0.0
1.8 1.9
50.0 1.0
KAPFIS Kapasitas fiskal
0.1 0.4
0.5 13.4
5.0 DAU
Dana alokasi umum -0.6
-0.5 -0.7
-0.3 -0.4
DPT Total pendapatan daerah
-0.2 0.0
0.0 5.8
2.0 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 50.0
0.0 0.0
3.8 1.1
GIND Belanja perindustrian
-0.4 50.0
-0.3 3.6
0.8 GDG
Belanja perdagangan -0.3
-0.1 50.0
6.1 1.8
GDGKAP Belanja perdagangan per kapita
-0.2 0.0
67.6 8.3
1.4 GIFR
Belanja infratruktur 0.0
0.2 0.2
7.5 2.3
GLN Belanja lainnya
-0.2 -0.1
-0.1 3.5
0.9 G
Total belanja daerah 0.8
0.1 0.1
4.0 1.1
FISGAP Kesenjangan fiskal
1.4 -0.2
-0.2 -4.1
-2.4 FISAUTO
Kemandirian fiskal
2
-0.1 0.0
0.1 -0.8
1.7 ASP
Panjang jalan aspal 0.0
0.0 0.0
0.8 4.0
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
15.6 0.0
0.0 2.2
4.3 PDRBTANI
PDRB pertanian 12.8
0.0 0.0
1.8 3.5
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
12.1 0.0
0.0 2.5
2.9 PDRBMKN
PDRB industri makanan jadi -0.3
28.7 -0.2
2.3 1.0
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
-0.1 14.3
-0.1 1.2
0.5 PDRBIND
PDRB industri -0.1
6.7 0.0
0.5 0.2
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
-0.1 8.5
-0.1 0.9
0.2 PDRBDG
PDRB perdagangan -0.1
0.0 12.9
2.6 6.3
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
-0.1 0.0
35.9 6.5
6.0 PDRBNONTANI
PDRB non pertanian 0.0
2.5 2.6
0.7 1.4
PDRB PDRB total
1.9 2.1
2.2 0.9
1.7 PDRBKAP
PDRB per kapita 1.8
2.3 5.3
1.6 1.4
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
1.6 -0.4
-1.0 0.1
0.3 SHPDRBIND
Share PDRB industri
2
-0.2 1.5
-0.5 -0.2
-0.5 SHPDRBDG
Share PDRB perdagangan
2
-0.1 -0.3
4.1 0.6
0.8 TKTANI
Jumlah tenaga kerja pertanian 4.4
0.0 0.0
1.2 4.4
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
-0.1 5.0
0.0 0.5
0.8 TKDG
Jumlah tenaga kerja perdagangan 0.0
0.0 7.4
1.7 5.5
TK Jumlah tenaga kerja total
1.7 0.7
1.4 0.9
2.9 UPHTANI
Upah pertanian 2.4
0.0 0.0
0.4 0.4
UPHIND Upah industri
0.0 2.5
0.0 0.3
0.1 UPHDG
Upah perdagangan 0.0
0.0 7.6
1.5 1.2
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
1.1 0.0
0.0 0.2
0.2 EXPIND
Pengeluaran per kapita industri 0.0
1.8 0.0
0.2 0.0
EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan
0.0 0.0
6.3 1.2
1.0 GINI
Indeks Gini
3
-0.002 -0.001
0.005 0.000
0.001 POVTANIP0
P0 pertanian
2
-0.68 -0.05
0.27 -0.08
-0.06 POVINDP0
P0 industri
2
-0.08 -0.49
0.20 -0.03
0.02 POVDGP0
P0 perdagangan
2
-0.08 -0.04
-1.22 -0.26
-0.20 POVTANIP1
P1 pertanian
3
-0.12 -0.01
0.04 -0.02
-0.01 POVTANIP2
P2 pertanian
3
-0.03 0.00
0.01 0.00
0.00 POVP0
P0 total
2
-0.35 -0.18
-0.04 -0.09
-0.06 Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
Lampiran 14. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario SM4
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber;
data work.SIMULASITANI; set work.propoor;
IF KODESHTANI = 1; memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1;
PM = 1.9PM; BHSPJK = 1.5BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2GPGNKBNTNK; GIND = 1.5GIND; GDG = 1.5GDG; GLN = 0.995GLN;
SM4: meningkatkan penanaman modal 90, bagi hasil pajak 50, belanja pertanian 100, belanja perindustrian 50, dan belanja perdagangan 50,
serta menurunkan belanja lainnya 0.5 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL
= LAGGIND; GDGL
= LAGGDG; GIFRL
= LAGGIFR; GLNL
= LAGGLN; UPHTANIL
= LAGUPHTANI; UPHINDL
= LAGUPHIND; UPHDGL
= LAGUPHDG; EXPTANIL
= LAGEXPTANI; GINIL
= LAGGINI;
PDRBL = LAGPDRB;
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate;
endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK
PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI
TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN;
PJKL
= LAG12PJK; BHSPJKL
= LAG12BHSPJK; DAUL
= LAG12DAU; GPGNKBNTNKL = LAG12GPGNKBNTNK;
GINDL = LAG12GIND;
GDGL = LAG12GDG;
GIFRL = LAG12GIFR;
GLNL = LAG12GLN;
UPHTANIL = LAG12UPHTANI;
UPHINDL = LAG12UPHIND;
UPHDGL = LAG12UPHDG;
EXPTANIL = LAG12EXPTANI;
GINIL = LAG12GINI;
PDRBL = LAG12PDRB;
IF TAHUN 2005; PARM
a0 -94933.9
b0 77276.63
c0 179927.2
d0 36039.57
a1 3.06025
b1 0.004145
c1 -0.0072
d1 0.00757
a2 0.042283
b2 3.330978
c2 107.6154
d2 0.008443
a3 99.61593
b3 0.314815
c3 6.338917
d3 0.046851
a4 0.851747
c4 18.81129
d4 0.542576
c5 0.431706
e0 -4952.5
f0 -1818.01
g0 256753.3
h0 -162696
e1 0.00073
f1 0.002214
g1 0.082805
h1 0.162246
e2 0.002365
f2 0.002753
g2 0.017387
h2 0.302331
e3 0.749475
f3 0.504975
g3 0.625046
h3 0.826398
i0 2489.701
j0 -6374729
k0 -2494254
l0 -1.47E+07
i1 0.000634
j1 24.73811
k1 195.8402
l1 556479.4
i2 0.000148
j2 5711.454
k2 11064.96
l2 24205.45
i3 2.470515
j3 930.0316
l3 1655.791
m0 278.318
n0 507.7032
o0 360.2438
p0 63.05079
m1 0.000028
n1 0.000013
o1 0.000023
p1 0.009624
m2 -1.10432
n2 -0.68291
o2 -0.41858
p2 0.860639
m3 0.138568
n3 0.010769
o3 0.021856
q0 464.3901
r0 247.4232
s0 210.2986
t0 153.6796
q1 0.032354
r1 0.026432
s1 0.221478
t1 0.29305
q2 0.313735
r2 0.622585
s2 -7.69744
t2 -3.50608
u0 129.4432
v0 0.118165
w0 -6.22684
x0 -6.93891
u1 0.448016
v1 -0.00052
w1 -0.17003
x1 -0.0608
u2 -6.34483
v2 -0.00033
w2 60.9337
x2 42.69824
v3 0.000331
w3 0.302195
x3 0.163808
v4 0.702657
y0 -4.59922
z0 -1.23131
aa0 -0.33909
ab0 -0.5193
y1 -0.04699
z1 -0.03177
aa1 -0.00938
ab1 0.460043
y2 44.26502
z2 8.428017
aa2 1.924496
ab2 0.307586
y3 0.111514
z3 0.059236
aa3 0.017944
ab3 0.185324
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND
= e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG
= f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR
= g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN
= h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP
= i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ;
PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ;
PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ;
TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ;
TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ;
TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ;
UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ;
UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ;
UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ;
EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ;
EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ;
EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ;
GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0
= w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0
= x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0
= y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1
= z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2
= aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0
= ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run;
Lampiran 15. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario SM4
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Model Summary Model Variables 43
Endogenous 43 Parameters 110
Equations 43 Number of Statements 56
Program Lag Length 12 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= SIMULASITANI
Solution Summary Variables Solved 43
Simulation Lag Length 12 Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 4.97E-15
Maximum Iterations 4 Total Iterations 146
Average Iterations 2.027778 Observations Processed
Read 84 Lagged 12
Solved 72 First 13
Last 84
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
PJK 72 72 701587 571076 803895 654833 PAD 72 72 1072631 709248 1174939 772212
KAPFIS 72 72 2354610 1287727 2456918 1364693 DAU 72 72 5144042 1788199 4835709 1632619
DPT 72 72 9130063 3711943 8924037 3576723 GDGKAP 72 72 9.9182 6.7231 9.9182 6.7231
GIFR 72 72 1347830 555571 1229494 355327 G 72 72 8859346 3619483 8741011 3484975
FISGAP 72 72 6504737 2648812 6284093 2544485 FISAUTO 72 72 11.6567 3.8493 13.0808 5.4647
ASP 72 72 8965.4 4250.0 7355.9 2545.5 PDRBPGNKBNTNK 72 72 13143306 9269720 20508829 9435831
PDRBTANI 72 72 16468820 11052298 23834343 10916472 PDRBTANIKAP 72 72 3230.7 944.9 5180.8 2092.5
PDRBMKN 72 72 4119624 7276321 8681875 10441689 PDRBINDTANI 72 72 5747009 7810350 10309260 10322339
PDRBIND 72 72 8970669 12562364 13532921 14301234 PDRBINDKAP 72 72 1396.8 910.7 2547.3 2248.8
PDRBDG 72 72 10313081 9459434 15735196 11868790 PDRBDGKAP 72 72 1897.0 729.6 3662.4 2952.3
PDRBNONTANI 72 72 44445013 37789071 54429380 38024731 PDRB 72 72 60913834 48307377 78263723 48317384
PDRBKAP 72 72 11547.7 3567.7 16413.7 7136.5 SHPDRBTANI 72 72 28.9706 6.7997 33.1656 8.2993
SHPDRBIND 72 72 11.2111 5.9554 14.9278 8.0655 SHPDRBDG 72 72 16.2577 3.0407 19.0752 13.9609
TKTANI 72 72 1167.7 586.6 1215.5 613.6 TKIND 72 72 150.2 114.5 219.0 162.3
TKDG 72 72 375.8 265.5 526.2 294.1 TK 72 72 2239.2 1228.9 2506.1 1322.9
UPHTANI 72 72 595.4 158.7 678.7 159.7 UPHIND 72 72 750.4 188.7 796.4 103.0
UPHDG 72 72 751.2 117.4 852.3 168.3 EXPTANI 72 72 265.7 58.1629 294.7 48.9656
EXPIND 72 72 331.9 81.1571 357.1 34.0985 EXPDG 72 72 420.1 93.1396 457.0 86.4067
GINI 72 72 0.3337 0.0385 0.3328 0.0176 POVTANIP0 72 72 19.3383 8.8037 13.7946 8.1225
POVINDP0 72 72 14.7422 8.1563 12.5854 3.4083 POVDGP0 72 72 9.1491 6.2167 7.0560 3.6179
POVTANIP1 72 72 3.0948 1.8066 1.9825 1.5597 POVTANIP2 72 72 0.8360 0.5668 0.4971 0.4680
POVP0 72 72 15.2406 6.7819 11.0056 5.0151
Lampiran 16. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario SM4
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber;
data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor;
IF KODESHTANI = 0; memilih 11 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0;
PM = 1.25PM; BHSPJK = 1.5BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2.5GPGNKBNTNK; GIND = 1.5GIND; GDG = 1.5GDG; GLN = 0.99GLN;
SM4: meningkatkan penanaman modal 25, bagi hasil pajak 50, belanja pertanian 150, belanja perindustrian 50, dan belanja perdagangan 50,
serta menurunkan belanja lainnya 1.0 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL
= LAGGIND; GDGL
= LAGGDG; GIFRL
= LAGGIFR; GLNL
= LAGGLN; UPHTANIL
= LAGUPHTANI; UPHINDL
= LAGUPHIND; UPHDGL
= LAGUPHDG; EXPTANIL
= LAGEXPTANI; GINIL
= LAGGINI;
PDRBL = LAGPDRB;
PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate;
endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK
PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI
TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN;
PJKL
= LAG11PJK; BHSPJKL
= LAG11BHSPJK; DAUL
= LAG11DAU; GPGNKBNTNKL = LAG11GPGNKBNTNK;
GINDL = LAG11GIND;
GDGL = LAG11GDG;
GIFRL = LAG11GIFR;
GLNL = LAG11GLN;
UPHTANIL = LAG11UPHTANI;
UPHINDL = LAG11UPHIND;
UPHDGL = LAG11UPHDG;
EXPTANIL = LAG11EXPTANI;
GINIL = LAG11GINI;
PDRBL = LAG11PDRB;
IF TAHUN 2005; PARM
a0 -94933.9
b0 77276.63
c0 179927.2
d0 36039.57
a1 3.06025
b1 0.004145
c1 -0.0072
d1 0.00757
a2 0.042283
b2 3.330978
c2 107.6154
d2 0.008443
a3 99.61593
b3 0.314815
c3 6.338917
d3 0.046851
a4 0.851747
c4 18.81129
d4 0.542576
c5 0.431706
e0 -4952.5
f0 -1818.01
g0 256753.3
h0 -162696
e1 0.00073
f1 0.002214
g1 0.082805
h1 0.162246
e2 0.002365
f2 0.002753
g2 0.017387
h2 0.302331
e3 0.749475
f3 0.504975
g3 0.625046
h3 0.826398
i0 2489.701
j0 -6374729
k0 -2494254
l0 -1.47E+07
i1 0.000634
j1 24.73811
k1 195.8402
l1 556479.4
i2 0.000148
j2 5711.454
k2 11064.96
l2 24205.45
i3 2.470515
j3 930.0316
l3 1655.791
m0 278.318
n0 507.7032
o0 360.2438
p0 63.05079
m1 0.000028
n1 0.000013
o1 0.000023
p1 0.009624
m2 -1.10432
n2 -0.68291
o2 -0.41858
p2 0.860639
m3 0.138568
n3 0.010769
o3 0.021856
q0 464.3901
r0 247.4232
s0 210.2986
t0 153.6796
q1 0.032354
r1 0.026432
s1 0.221478
t1 0.29305
q2 0.313735
r2 0.622585
s2 -7.69744
t2 -3.50608
u0 129.4432
v0 0.118165
w0 -6.22684
x0 -6.93891
u1 0.448016
v1 -0.00052
w1 -0.17003
x1 -0.0608
u2 -6.34483
v2 -0.00033
w2 60.9337
x2 42.69824
v3 0.000331
w3 0.302195
x3 0.163808
v4 0.702657
y0 -4.59922
z0 -1.23131
aa0 -0.33909
ab0 -0.5193
y1 -0.04699
z1 -0.03177
aa1 -0.00938
ab1 0.460043
y2 44.26502
z2 8.428017
aa2 1.924496
ab2 0.307586
y3 0.111514
z3 0.059236
aa3 0.017944
ab3 0.185324
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND
= e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG
= f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR
= g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN
= h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP
= i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ;
PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ;
PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ;
TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ;
TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ;
TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ;
UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ;
UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ;
UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ;
EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ;
EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ;
EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ;
GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0
= w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0
= x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0
= y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1
= z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2
= aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0
= ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run;
Lampiran 17. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah
di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Contoh: Skenario SM4
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Model Summary Model Variables 43
Endogenous 43 Parameters 110
Equations 43 Number of Statements 56
Program Lag Length 11 The SAS System
The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= SIMULASINONTANI
Solution Summary Variables Solved 43
Simulation Lag Length 11 Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.39E-11
Maximum Iterations 5 Total Iterations 145
Average Iterations 2.19697 Observations Processed
Read 77 Lagged 11
Solved 66 First 12
Last 77
The SAS System The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
PJK 66 66 2206547 1970408 2651051 2375012 PAD 66 66 3236409 2816452 3680913 3226412
KAPFIS 66 66 7852249 5758381 8296753 6148187 DAU 66 66 6673155 6382405 6706500 6381059
DPT 66 66 16764734 12063846 17242584 12542107 GDGKAP 66 66 12.6215 12.5429 12.6215 12.5429
GIFR 66 66 2184644 1479057 2393758 1387337 G 66 66 15803274 11373557 16012389 11477183
FISGAP 66 66 7951025 7917966 7715636 7748818 FISAUTO 66 66 19.9892 7.7590 21.2870 7.9763
ASP 66 66 10718.7 9885.9 12967.0 8490.9 PDRBPGNKBNTNK 66 66 26154600 28556535 40926359 33982524
PDRBTANI 66 66 32041784 32004865 46813543 37611035 PDRBTANIKAP 66 66 2942.1 2162.7 5627.9 4021.0
PDRBMKN 66 66 17668587 27185471 20698759 26138965 PDRBINDTANI 66 66 33880510 40672226 36910682 43104357
PDRBIND 66 66 70524948 73655911 73555119 81343861 PDRBINDKAP 66 66 7155.2 7181.9 7610.8 7983.3
PDRBDG 66 66 43022279 53534147 44180220 40583917 PDRBDGKAP 66 66 3556.6 1875.1 5287.3 4876.3
PDRBNONTANI 66 66 1.8978E8 1.733E8 1.9396E8 1.6208E8 PDRB 66 66 2.2182E8 2.0269E8 2.4078E8 1.9603E8
PDRBKAP 66 66 24586.4 20844.4 29458.4 26140.7 SHPDRBTANI 66 66 14.3341 5.6455 21.2317 8.0238
SHPDRBIND 66 66 27.6265 14.2568 26.9584 18.6015 SHPDRBDG 66 66 18.0491 6.9220 18.5787 12.4142
TKTANI 66 66 2149.7 2549.5 2643.3 2281.3 TKIND 66 66 934.6 1169.0 895.2 1133.6
TKDG 66 66 1336.1 1537.2 1255.3 1123.7 TK 66 66 6078.2 6830.5 6451.6 6021.4
UPHTANI 66 66 606.4 270.7 672.5 256.7 UPHIND 66 66 1007.4 394.0 1037.3 385.1
UPHDG 66 66 907.6 184.8 966.3 235.5 EXPTANI 66 66 298.6 73.7530 301.7 62.5657
EXPIND 66 66 435.4 161.9 431.4 112.6 EXPDG 66 66 479.5 138.2 514.9 110.5
GINI 66 66 0.3423 0.0349 0.3418 0.0239 POVTANIP0 66 66 18.9749 7.0756 19.0248 8.4410
POVINDP0 66 66 10.7624 6.9124 11.6284 4.8994 POVDGP0 66 66 8.2358 5.5415 6.8967 3.7163
POVTANIP1 66 66 2.8927 1.2949 2.9871 1.6026 POVTANIP2 66 66 0.7540 0.3715 0.7975 0.4787
POVP0 66 66 12.3557 4.7660 13.0878 5.1006
Lampiran 18. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan
Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SM1
SM2A SM2B
SM3A SM3B
SM4
PM
Penanaman Modal
1
90.0 90.0
90.0 PJK
Pajak daerah 3.2
3.2 3.6
22.0 23.1
23.1 PAD
Pendapatan asli daerah 2.0
2.1 2.3
14.0 14.7
14.7 BHSPJK
Bagi hasil pajak 4.1
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 KAPFIS
Kapasitas fiskal 2.4
10.7 10.8
16.5 16.8
16.8 DAU
Dana alokasi umum -1.8
-1.8 -2.1
-2.3 -2.9
-2.9 DPT
Total pendapatan daerah -0.5
1.5 1.4
2.7 2.4
2.4 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 50.0
50.0 50.0
50.0 100.0
100.0 GIND
Belanja perindustrian 25.0
25.0 50.0
50.0 50.0
50.0 GDG
Belanja perdagangan 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 GDGKAP
Belanja perdagangan per kapita 45.1
45.1 45.1
45.1 45.1
45.1 GIFR
Belanja infratruktur 0.4
3.1 3.1
4.4 4.4
4.4 GLN
Belanja lainnya -0.6
0.6 0.5
1.0 0.7
-0.5 G
Total belanja daerah 1.7
3.1 3.1
3.6 5.0
4.1 FISGAP
Kesenjangan fiskal 1.5
0.5 0.5
-0.6 1.0
-0.1 FISAUTO
Kemandirian fiskal
2
0.1 -0.1
-0.1 1.2
1.1 1.3
ASP Panjang jalan aspal
0.0 0.3
0.3 3.1
3.1 3.1
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
36.7 37.0
37.0 40.3
71.5 71.5
PDRBTANI PDRB pertanian
28.7 29.0
29.0 31.5
55.9 55.9
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
31.8 32.0
32.0 35.0
61.6 61.6
PDRBMKN PDRB industri makanan jadi
45.1 45.2
77.5 78.1
78.1 78.1
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
33.8 33.9
58.1 58.5
58.5 58.5
PDRBIND PDRB industri
22.6 22.6
38.9 39.1
39.1 39.1
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
28.6 28.6
47.6 48.0
48.0 48.0
PDRBDG PDRB perdagangan
23.4 24.1
24.1 30.7
30.7 30.7
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
32.7 33.1
33.1 40.3
40.3 40.3
PDRBNONTANI PDRB non pertanian
10.7 10.9
14.2 16.0
16.0 16.0
PDRB PDRB total
15.1 15.3
17.9 19.8
25.8 25.8
PDRBKAP PDRB per kapita
18.8 19.0
21.6 23.9
30.7 30.7
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
3.4 3.4
2.7 2.8
6.6 6.6
SHPDRBIND Share
PDRB industri
2
0.0 -0.1
1.6 1.5
0.5 0.5
SHPDRBDG Share
PDRB perdagangan
2
2.2 2.3
2.0 2.7
1.8 1.8
TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian
9.1 9.4
9.4 13.1
20.9 20.9
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
7.1 7.2
12.9 14.1
14.1 14.1
TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan
9.9 10.3
10.3 14.5
14.5 14.5
TK Jumlah tenaga kerja total
6.8 7.1
7.6 10.2
13.8 13.8
UPHTANI Upah pertanian
4.6 4.7
4.7 5.0
8.7 8.7
UPHIND Upah industri
2.9 2.9
4.7 4.8
4.8 4.8
UPHDG Upah perdagangan
5.8 5.9
5.9 7.0
7.0 7.0
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
2.3 2.3
2.3 2.4
4.2 4.2
EXPIND Pengeluaran per kapita industri
1.8 1.8
3.1 3.1
3.1 3.1
EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan
4.8 4.9
4.9 5.8
5.8 5.8
GINI Indeks Gini
3
-0.003 -0.003
-0.003 -0.003
-0.007 -0.007
POVTANIP0 P0 pertanian
2
-1.26 -1.26
-1.30 -1.35
-2.48 -2.48
POVINDP0 P0 industri
2
-0.51 -0.51
-0.79 -0.77
-0.96 -0.96
POVDGP0 P0 perdagangan
2
-1.10 -1.11
-1.14 -1.29
-1.49 -1.49
POVTANIP1 P1 pertanian
3
-0.23 -0.23
-0.23 -0.24
-0.44 -0.44
POVTANIP2 P2 pertanian
3
-0.07 -0.07
-0.07 -0.07
-0.13 -0.13
POVP0 P0 total
2
-0.94 -0.94
-1.05 -1.10
-1.71 -1.71
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral
Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SM1
SM2A SM2B
SM3A SM3B
SM4
PM
Penanaman Modal
1
25.0 25.0
PJK Pajak daerah
0.8 1.0
1.1 1.3
8.3 8.3
PAD Pendapatan asli daerah
0.6 0.7
0.8 0.9
5.9 5.9
BHSPJK Bagi hasil pajak
3.7 3.7
50.0 50.0
50.0 50.0
KAPFIS Kapasitas fiskal
1.0 1.1
13.7 13.8
16.2 16.2
DAU Dana alokasi umum
-1.8 -2.4
-2.5 -3.1
-3.3 -3.3
DPT Total pendapatan daerah
-0.3 -0.5
5.0 4.7
5.7 5.7
GPGNKBNTNK Belanja pertanian
50.0 100.0
100.0 150.0
150.0 150.0
GIND Belanja perindustrian
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
GDG Belanja perdagangan
50.0 50.0
50.0 50.0
50.0 50.0
GDGKAP Belanja perdagangan per kapita
67.6 67.6
67.6 67.6
67.6 67.6
GIFR Belanja infratruktur
0.3 0.3
7.4 7.4
8.5 8.5
GLN Belanja lainnya
-0.4 -0.6
2.7 2.5
2.9 -1.0
G Total belanja daerah
1.0 1.9
5.7 6.5
7.0 4.2
FISGAP Kesenjangan fiskal
1.0 2.6
-1.4 0.2
-0.9 -6.3
FISAUTO Kemandirian fiskal
2
0.1 -0.1
-0.8 -0.9
-0.1 0.0
ASP Panjang jalan aspal
0.0 0.0
0.8 0.8
2.8 2.8
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
15.6 33.1
33.8 51.3
53.2 53.2
PDRBTANI PDRB pertanian
12.8 27.1
27.7 42.0
43.6 43.6
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
12.2 28.6
29.4 45.8
47.2 47.2
PDRBMKN PDRB industri makanan jadi
28.7 28.7
28.7 28.7
29.0 29.0
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
14.3 14.3
14.3 14.3
14.4 14.4
PDRBIND PDRB industri
6.7 6.7
6.7 6.7
6.7 6.7
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
8.5 8.5
8.5 8.5
8.5 8.5
PDRBDG PDRB perdagangan
12.9 12.9
14.0 14.0
17.0 17.0
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
35.9 35.9
37.5 37.5
40.2 40.2
PDRBNONTANI PDRB non pertanian
5.2 5.2
5.4 5.4
6.0 6.0
PDRB PDRB total
6.3 8.5
8.8 11.0
11.7 11.7
PDRBKAP PDRB per kapita
9.4 11.9
12.3 14.7
15.3 15.3
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
0.1 2.1
2.1 4.0
4.1 4.1
SHPDRBIND Share
PDRB industri
2
0.7 0.2
0.1 -0.4
-0.6 -0.6
SHPDRBDG Share
PDRB perdagangan
2
3.4 3.0
3.1 2.7
3.0 3.0
TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian
4.5 9.4
10.3 15.2
17.4 17.4
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
5.0 5.0
5.1 5.1
5.5 5.5
TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan
7.4 7.4
8.3 8.3
10.9 10.9
TK Jumlah tenaga kerja total
3.9 5.8
6.3 8.2
9.5 9.5
UPHTANI Upah pertanian
2.4 5.1
5.3 8.0
8.2 8.2
UPHIND Upah industri
2.5 2.5
2.5 2.5
2.6 2.6
UPHDG Upah perdagangan
7.6 7.6
8.0 8.0
8.5 8.5
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
1.1 2.4
2.5 3.8
3.9 3.9
EXPIND Pengeluaran per kapita industri
1.8 1.8
1.8 1.8
1.8 1.8
EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan
6.3 6.3
6.6 6.6
7.0 7.0
GINI Indeks Gini
3
0.002 -0.001
-0.001 -0.003
-0.002 -0.002
POVTANIP0 P0 pertanian
2
-0.46 -1.25
-1.27 -2.05
-2.07 -2.07
POVINDP0 P0 industri
2
-0.39 -0.48
-0.48 -0.57
-0.56 -0.56
POVDGP0 P0 perdagangan
2
-1.35 -1.45
-1.52 -1.61
-1.70 -1.70
POVTANIP1 P1 pertanian
3
-0.09 -0.23
-0.24 -0.37
-0.38 -0.38
POVTANIP2 P2 pertanian
3
-0.03 -0.07
-0.07 -0.11
-0.11 -0.11
POVP0 P0 total
2
-0.58 -0.99
-1.02 -1.42
-1.44 -1.44
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
Lampiran 20. Program Peramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode Solusi Newton Prosedur
SIMNLIN Tahun 2012-2015 pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002
replace; sheet=final241013; getnames=yes; run;
options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor;
if kodeprov = 1; memilih provinsi NAD dengan kodeprov = 1
proc forecast data=work.data method=stepar trend=2 out=n_exo lead=4 outdata ; id tahun;
var PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln POPTANI POPIND POPDG PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP
PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2
POVP0; run; proc print data=n_exo FIRSTOBS = 8;
run; options nodate nonumber;
data data1; set n_exo;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PJK
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then BHSPJK =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then DAU
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GPGNKBNTNK =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GIND
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GDG =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GIFR
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GLN =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then ASP
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBPGNKBNTNK =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBMKN
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBDG =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKTANI
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKIND =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKDG
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHTANI =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHIND
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHDG =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPTANI
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPIND =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPDG
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GINI =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP0
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVINDP0 =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVDGP0
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP1 =
1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP2
= 1;
if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVP0 =
1; run;
data ramal; set data1;
PAD
= PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS
= PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP
= GDGPOP; G
= GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT
= PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP
= G - KAPFIS; FISAUTO
= PADG100; PDRBTANI
= PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN;
PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN;
PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRB
= PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop;
PDRBINDKAP = pdrbindpop;
PDRBDGKAP = pdrbdgpop;
PDRBKAP = PDRBPOP;
TK = tktani + tkind + tkdg + tkln;
SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100;
SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100;
SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100;
PJKL = LAGPJK;
BHSPJKL = LAGBHSPJK;
DAUL = LAGDAU;
GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL
= LAGGIND; GDGL
= LAGGDG; GIFRL
= LAGGIFR; GLNL
= LAGGLN; UPHTANIL
= LAGUPHTANI; UPHINDL
= LAGUPHIND; UPHDGL
= LAGUPHDG; EXPTANIL
= LAGEXPTANI; GINIL
= LAGGINI; PDRBL
= LAGPDRB;
RUN; PROC SIMNLIN data=ramal dynamic simulate stats out=n_endo;
endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G
FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP
SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG
EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0;
instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln
pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL
= LAGPJK; BHSPJKL
= LAGBHSPJK; DAUL
= LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK;
GINDL = LAGGIND;
GDGL = LAGGDG;
GIFRL = LAGGIFR;
GLNL = LAGGLN;
UPHTANIL = LAGUPHTANI;
UPHINDL = LAGUPHIND;
UPHDGL = LAGUPHDG;
EXPTANIL = LAGEXPTANI;
GINIL = LAGGINI;
PDRBL = LAGPDRB;
PARM a0
-94933.9 b0
77276.63 c0
179927.2 d0
36039.57 a1
3.06025 b1
0.004145 c1
-0.0072 d1
0.00757 a2
0.042283 b2
3.330978 c2
107.6154 d2
0.008443 a3
99.61593 b3
0.314815 c3
6.338917 d3
0.046851 a4
0.851747 c4
18.81129 d4
0.542576 c5
0.431706 e0
-4952.5 f0
-1818.01 g0
256753.3 h0
-162696 e1
0.00073 f1
0.002214 g1
0.082805 h1
0.162246 e2
0.002365 f2
0.002753 g2
0.017387 h2
0.302331 e3
0.749475 f3
0.504975 g3
0.625046 h3
0.826398 i0
2489.701 j0
-6374729 k0
-2494254 l0
-1.47E+07 i1
0.000634 j1
24.73811 k1
195.8402 l1
556479.4 i2
0.000148 j2
5711.454 k2
11064.96 l2
24205.45 i3
2.470515 j3
930.0316 l3
1655.791 m0
278.318 n0
507.7032 o0
360.2438 p0
63.05079 m1
0.000028 n1
0.000013 o1
0.000023 p1
0.009624 m2
-1.10432 n2
-0.68291 o2
-0.41858 p2
0.860639 m3
0.138568 n3
0.010769 o3
0.021856 q0
464.3901 r0
247.4232 s0
210.2986 t0
153.6796 q1
0.032354 r1
0.026432 s1
0.221478 t1
0.29305 q2
0.313735 r2
0.622585 s2
-7.69744 t2
-3.50608 u0
129.4432 v0
0.118165 w0
-6.22684 x0
-6.93891 u1
0.448016 v1
-0.00052 w1
-0.17003 x1
-0.0608 u2
-6.34483 v2
-0.00033 w2
60.9337 x2
42.69824 v3
0.000331 w3
0.302195 x3
0.163808 v4
0.702657 y0
-4.59922 z0
-1.23131 aa0
-0.33909 ab0
-0.5193 y1
-0.04699 z1
-0.03177 aa1
-0.00938 ab1
0.460043 y2
44.26502 z2
8.428017 aa2
1.924496 ab2
0.307586 y3
0.111514 z3
0.059236 aa3
0.017944 ab3
0.185324;
PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ;
BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ;
DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ;
GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ;
GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ;
GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ;
GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ;
GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ;
ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ;
PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN
= k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG
= l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI
= m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND
= n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG
= o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI
= p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND
= q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG
= r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI
= s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND
= t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG
= u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ;
POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ;
POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ;
POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ;
POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ;
POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ;
POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ;
PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN;
KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA;
GDGKAP = GDGPOP;
G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN;
DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN;
FISGAP = G - KAPFIS;
FISAUTO = PADG100;
PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN;
PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND
= PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN;
PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI;
PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP
= pdrbindpop; PDRBDGKAP
= pdrbdgpop; PDRBKAP
= PDRBPOP; TK
= tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI
= PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND
= PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG
= PDRBDGPDRB100; RANGE tahun 2012 TO 2015;
run; proc print data=n_endo;
var PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN
PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG
GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; RUN;
Lampiran 21. Nilai-nilai Ramalan Variabel Eksogen dengan Prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode
Solusi Newton Prosedur SIMNLIN 1. Pajak Daerah Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
733 696 880 943
1 029 704 1 180 326
Sumut 3 382 275
3 601 699 3 852 065
4 128 749 Sumbar
926 930 966 974
1 021 186 1 087 285
Riau 1 649 714
1 591 850 1 464 396
1 277 204 Jambi
1 027 961 1 320 922
1 615 403 1 911 387
Sumsel 1 898 867
2 218 655 2 558 417
2 915 037 Lampung
1 002 357 997 576
1 002 550 1 015 815
Kepri 1 040 041
1 154 215 1 283 018
1 421 199 Jabar
9 154 533 9 647 932
10 144 397 10 643 317
Jateng 5 129 074
5 582 798 6 045 140
6 514 803 DIY
1 036 596 1 259 719
1 488 395 1 721 822
Jatim 8 672 948
9 444 008 10 242 445
11 064 162 Banten
3 664 039 4 007 228
4 372 548 4 756 340
Bali 2 753 377
2 900 304 3 080 180
3 287 374 NTB
657 762 854 474
1 068 411 1 296 826
NTT 264 741
289 483 327 069
375 669 Kalbar
1 012 745 1 182 331
1 368 876 1 569 623
Kalteng 867 316
1 133 071 1 410 879
1 698 478 Kalsel
1 467 489 1 584 119
1 717 769 1 865 986
Kaltim 3 393 073
3 846 499 4 320 528
4 812 169 Sulut
590 642 694 304
812 152 942 391
Sulteng 647 217
925 946 1 215 954
1 515 685 Sulsel
1 842 088 2 062 703
2 315 480 2 595 506
2. Bagi Hasil Pajak Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
845 189 850 005
844 476 838 128
Sumut 1 521 215
1 639 978 1 725 340
1 800 625 Sumbar
604 385 685 653
729 921 762 195
Riau 1 890 395
2 078 669 2 201 105
2 301 138 Jambi
715 546 768 735
810 006 849 478
Sumsel 1 464 621
1 555 221 1 650 191
1 746 087 Lampung
567 983 623 401
658 966 688 989
Kepri 572 319
534 533 540 352
555 722 Jabar
3 637 533 3 885 302
4 091 041 4 278 664
Jateng 2 342 194
2 582 559 2 737 169
2 865 202 DIY
403 107 463 248
498 377 527 082
Jatim 3 244 642
3 461 361 3 649 151
3 827 685 Banten
957 191 982 033
1 022 227 1 063 787
Bali 503 399
563 518 609 675
649 108 NTB
412 343 449 473
477 930 503 196
NTT 447 265
491 181 516 246
536 087 Kalbar
931 217 1 113 449
1 204 986 1 266 737
Kalteng 895 995
1 038 688 1 100 134
1 135 052 Kalsel
607 065 649 296
678 395 704 320
Kaltim 2 749 798
2 963 232 3 086 715
3 184 022 Sulut
336 418 368 912
387 571 403 285
Sulteng 531 747
618 175 658 919
686 422 Sulsel
880 779 942 464
1 001 653 1 059 477
Lampiran 21. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
2 330 086 2 048 770
1 758 623 1 469 517
Sumut 5 931 201
6 358 066 6 782 472
7 223 118 Sumbar
2 169 208 2 329 820
2 467 601 2 605 274
Riau 12 729 142
12 801 669 12 738 768
12 593 728 Jambi
3 247 418 3 727 076
4 196 337 4 665 301
Sumsel 7 581 752
8 275 400 8 993 389
9 729 165 Lampung
2 102 852 2 134 972
2 156 994 2 181 766
Kepri 4 874 738
4 794 660 5 584 307
5 710 537 Jabar
16 489 620 17 504 369
18 480 155 19 440 280
Jateng 10 527 339
11 396 387 12 188 299
12 960 956 DIY
1 878 793 2 189 350
2 480 450 2 769 876
Jatim 16 358 378
17 752 840 19 145 752
20 552 686 Banten
5 312 391 5 731 417
6 187 926 6 664 272
Bali 3 937 071
4 202 418 4 486 751
4 791 678 NTB
1 664 573 1 942 588
2 229 154 2 527 008
NTT 1 100 388
1 185 578 1 264 763
1 349 737 Kalbar
2 446 654 2 838 176
3 155 963 3 458 166
Kalteng 2 575 799
3 051 856 3 458 718
3 848 845 Kalsel
4 575 386 5 013 009
5 454 520 5 907 424
Kaltim 20 482 888
21 858 912 23 165 587
24 463 699 Sulut
1 152 571 1 302 681
1 453 142 1 613 050
Sulteng 1 442 079
1 829 164 2 181 845
2 531 007 Sulsel
3 428 130 3 721 952
4 045 439 4 394 811
4. Dana Alokasi Umum Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
6 926 363 6 990 681
7 239 900 7 562 517
Sumut 9 943 022
9 873 163 9 907 951
9 987 773 Sumbar
5 826 433 5 829 187
5 880 497 5 954 776
Riau 2 661 688
2 691 747 2 706 677
2 723 183 Jambi
3 643 707 3 563 663
3 567 265 3 602 841
Sumsel 5 819 631
5 912 230 6 013 117
6 117 931 Lampung
5 415 872 5 709 674
5 896 915 6 035 202
Kepri 1 289 057
1 300 479 1 316 980
1 337 985 Jabar
16 545 503 17 121 210
17 368 900 17 491 256
Jateng 17 955 659
17 898 622 17 837 799
17 774 414 DIY
3 120 412 3 084 038
3 027 026 2 958 534
Jatim 17 799 145
18 320 911 18 540 706
18 630 775 Banten
4 031 607 4 279 869
4 414 426 4 515 430
Bali 3 519 996
3 533 911 3 532 247
3 536 033 NTB
4 018 286 4 164 653
4 272 473 4 365 270
NTT 5 716 197
5 872 994 6 050 136
6 232 414 Kalbar
5 459 515 5 612 867
5 740 112 5 860 057
Kalteng 4 839 652
4 832 466 4 872 282
4 936 459 Kalsel
3 956 816 4 040 644
4 127 569 4 214 013
Kaltim 3 077 126
3 007 297 3 022 735
3 068 364 Sulut
3 572 111 3 395 650
3 351 903 3 362 328
Sulteng 4 066 511
4 081 177 4 142 066
4 219 596 Sulsel
7 936 327 8 149 608
8 302 572 8 431 169
Lampiran 21. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
372 188 357 079
351 133 350 786
Sumut 476 023
502 468 526 692
550 215 Sumbar
264 660 285 095
299 722 311 391
Riau 347 941
357 420 362 879
365 549 Jambi
223 401 237 412
250 050 262 211
Sumsel 371 724
383 991 399 797
417 692 Lampung
262 447 280 955
296 216 309 324
Kepri 125 596
159 655 184 861
200 281 Jabar
705 169 785 380
847 893 899 626
Jateng 744 125
791 866 833 652
872 041 DIY
126 719 160 510
181 521 195 489
Jatim 831 742
888 980 942 460
992 911 Banten
181 899 235 935
272 058 298 329
Bali 199 056
223 315 239 443
251 362 NTB
204 169 220 365
233 555 245 073
NTT 295 426
305 657 317 030
329 112 Kalbar
307 064 310 868
319 368 330 238
Kalteng 266 286
269 707 275 412
282 435 Kalsel
266 233 276 469
287 109 298 050
Kaltim 423 348
466 308 499 177
526 763 Sulut
219 963 233 294
244 629 255 412
Sulteng 231 923
238 953 247 895
257 988 Sulsel
369 686 391 582
410 956 428 951
6. Belanja Perindustrian Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
104 585 91 460
82 000 75 463
Sumut 80 063
83 044 85 671
88 149 Sumbar
22 320 27 263
31 189 34 408
Riau 56 469
53 081 50 531
48 553 Jambi
23 734 23 984
24 523 25 353
Sumsel 27 610
35 764 42 638
48 575 Lampung
16 345 22 360
27 326 31 394
Kepri 18 055
15 155 13 597
12 571 Jabar
113 658 133 501
149 671 162 781
Jateng 164 315
168 847 172 678
175 963 DIY
4 255 7 128
9 360 11 081
Jatim 188 246
192 422 197 088
201 825 Banten
35 663 36 082
37 047 38 357
Bali 20 491
21 831 23 038
24 175 NTB
10 925 14 503
17 649 20 443
NTT 22 327
26 536 30 168
33 382 Kalbar
17 545 23 543
28 572 32 845
Kalteng 24 261
26 887 29 247
31 451 Kalsel
20 898 23 926
26 723 29 354
Kaltim 39 446
47 680 54 842
61 266 Sulut
18 470 17 872
17 430 17 240
Sulteng 12 249
15 215 17 840
20 245 Sulsel
39 229 46 440
52 442 57 499
Lampiran 21. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
32 804 38 529
41 463 43 193
Sumut 77 443
78 546 80 139
82 138 Sumbar
46 881 43 062
41 579 41 340
Riau 61 803
65 144 66 733
67 260 Jambi
23 690 28 207
31 537 34 355
Sumsel 66 315
66 267 68 111
70 959 Lampung
42 284 39 980
39 381 39 514
Kepri 24 790
24 896 26 743
28 013 Jabar
130 321 149 880
162 599 171 485
Jateng 155 242
151 082 150 567
151 843 DIY
27 249 25 279
24 773 24 969
Jatim 155 927
166 663 175 774
183 738 Banten
27 270 36 425
42 429 46 793
Bali 19 007
26 813 31 380
34 372 NTB
19 397 23 743
26 869 29 363
NTT 33 697
33 991 34 803
35 903 Kalbar
34 446 37 312
39 814 42 076
Kalteng 31 985
34 394 36 621
38 786 Kalsel
42 576 41 904
42 782 44 466
Kaltim 95 420
103 041 109 825
116 251 Sulut
27 473 24 288
22 892 22 570
Sulteng 21 817
24 484 26 780
28 925 Sulsel
45 333 51 750
56 128 59 466
8. Belanja Infrastruktur Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
1 891 448 1 730 191
1 609 705 1 516 066
Sumut 2 408 484
2 460 311 2 528 453
2 608 920 Sumbar
1 168 758 1 281 554
1 364 357 1 428 805
Riau 2 870 215
3 157 613 3 332 301
3 429 767 Jambi
1 494 333 1 561 362
1 642 178 1 732 143
Sumsel 2 608 637
2 675 312 2 778 194
2 905 248 Lampung
1 296 245 1 343 026
1 377 346 1 403 253
Kepri 1 180 366
1 414 169 1 625 981
1 769 191 Jabar
4 178 080 4 615 381
4 973 821 5 279 493
Jateng 3 009 655
3 392 807 3 696 812
3 949 706 DIY
693 840 925 346
1 093 162 1 220 829
Jatim 4 019 410
4 557 639 5 013 219
5 416 044 Banten
1 518 294 1 754 761
1 942 705 2 101 378
Bali 905 268
1 232 013 1 459 759
1 627 425 NTB
906 020 1 056 324
1 175 875 1 276 877
NTT 915 931
1 029 538 1 110 184
1 170 798 Kalbar
1 356 232 1 437 067
1 516 119 1 592 640
Kalteng 1 335 042
1 427 947 1 520 399
1 611 607 Kalsel
1 472 947 1 662 770
1 819 489 1 956 451
Kaltim 4 907 732
5 186 626 5 469 416
5 754 456 Sulut
942 898 1 013 017
1 068 542 1 116 671
Sulteng 845 925
1 007 919 1 139 435
1 251 898 Sulsel
1 609 258 1 712 507
1 806 488 1 896 397
Lampiran 21. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
15 276 732 15 265 555
15 310 512 15 416 391
Sumut 20 442 404
21 401 496 22 302 394
23 171 575 Sumbar
10 144 754 10 790 895
11 352 811 11 859 767
Riau 15 707 102
16 602 258 17 266 583
17 744 017 Jambi
7 299 611 7 951 698
8 592 820 9 233 434
Sumsel 14 873 132
15 891 233 16 934 017
17 994 248 Lampung
9 958 534 10 502 770
11 009 129 11 471 537
Kepri 6 919 830
7 273 527 7 720 766
8 083 540 Jabar
41 931 446 44 005 307
45 942 568 47 744 553
Jateng 36 141 978
38 156 903 39 925 817
41 502 162 DIY
5 665 400 6 241 068
6 718 498 7 126 519
Jatim 41 907 716
44 502 781 46 962 337
49 288 450 Banten
10 857 879 11 654 635
12 411 097 13 143 971
Bali 8 411 607
9 115 838 9 695 562
10 202 765 NTB
6 843 788 7 452 795
8 029 455 8 584 731
NTT 8 823 798
9 469 955 10 060 391
10 614 159 Kalbar
9 151 027 9 983 912
10 780 757 11 540 620
Kalteng 8 020 070
8 824 206 9 582 185
10 305 382 Kalsel
9 199 754 10 016 273
10 793 270 11 546 428
Kaltim 21 629 169
23 507 790 25 326 645
27 106 413 Sulut
6 730 134 6 956 152
7 154 824 7 354 285
Sulteng 6 688 825
7 295 414 7 874 437
8 441 065 Sulsel
14 499 621 15 428 406
16 304 485 17 138 834
10. Kemandirian Fiskal
Provinsi 2012
2013 2014
2015
NAD 8.3
9.4 10.5
11.6 Sumut
21.3 21.7
22.4 23.1
Sumbar 15.0
14.9 15.0
15.2 Riau
17.5 16.5
15.4 14.1
Jambi 18.5
20.8 22.8
24.6 Sumsel
16.7 17.9
19.1 20.2
Lampung 13.4
12.8 12.5
12.2 Kepri
18.7 19.6
20.4 21.4
Jabar 28.5
28.7 29.0
29.4 Jateng
22.1 22.6
23.1 23.7
DIY 25.9
27.5 29.3
31.3 Jatim
29.7 30.4
31.2 32.0
Banten 40.0
40.7 41.5
42.5 Bali
40.8 39.9
40.0 40.6
NTB 16.1
18.1 20.0
21.9 NTT
7.3 7.2
7.3 7.6
Kalbar 15.2
16.0 16.8
17.7 Kalteng
14.7 16.6
18.3 20.0
Kalsel 21.3
20.9 20.8
20.9 Kaltim
22.9 23.5
24.1 24.8
Sulut 11.4
12.6 14.0
15.6 Sulteng
13.2 16.2
19.0 21.5
Sulsel 17.2
17.8 18.5
19.4
Lampiran 21. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal km
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
9 860 10 354
10 873 11 410
Sumut 16 819
17 841 18 874
19 914 Sumbar
7 718 8 172
8 607 9 031
Riau 9 816
10 018 10 148
10 230 Jambi
12 396 13 460
14 533 15 611
Sumsel 14 650
15 950 17 274
18 612 Lampung
7 902 8 308
8 706 9 099
Kepri 5 915
6 309 6 689
7 026 Jabar
24 644 26 489
28 283 30 043
Jateng 31 456
33 459 35 412
37 333 DIY
12 083 13 120
14 115 15 086
Jatim 38 440
41 196 43 900
46 570 Banten
8 813 9 440
10 036 10 614
Bali 13 063
14 133 15 141
16 110 NTB
7 926 8 613
9 281 9 937
NTT 5 980
6 418 6 836
7 242 Kalbar
8 428 8 952
9 474 9 995
Kalteng 6 895
7 327 7 759
8 189 Kalsel
8 560 9 113
9 646 10 166
Kaltim 12 718
13 587 14 458
15 331 Sulut
6 326 6 754
7 173 7 588
Sulteng 8 984
9 772 10 541
11 299 Sulsel
11 125 12 107
13 082 14 055
12. PDRB Pertanian Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
25 448 645 25 697 030
26 281 595 27 074 230
Sumut 46 271 676
49 570 578 52 801 763
56 008 485 Sumbar
16 676 751 18 305 404
19 710 744 20 995 749
Riau 49 584 627
52 375 643 54 900 837
57 245 094 Jambi
21 985 856 24 495 131
26 961 949 29 411 546
Sumsel 36 707 101
40 111 480 43 638 333
47 233 462 Lampung
25 113 408 27 255 862
29 290 951 31 256 487
Kepri 5 409 277
7 492 693 9 187 007
10 440 379 Jabar
71 396 949 77 849 783
83 692 864 89 162 712
Jateng 84 316 881
89 930 680 95 285 322
100 490 258 DIY
19 638 862 22 370 755
24 656 678 26 699 808
Jatim 114 331 653
122 470 810 130 414 891
138 221 426 Banten
15 176 250 18 105 270
20 437 052 22 437 475
Bali 24 800 769
27 448 411 29 742 894
31 852 574 NTB
14 287 200 15 954 024
17 506 525 18 999 281
NTT 13 881 003
14 791 258 15 727 944
16 689 995 Kalbar
17 691 781 18 892 688
20 207 532 21 569 617
Kalteng 12 041 156
13 180 719 14 344 385
15 509 613 Kalsel
17 150 487 18 530 192
19 872 700 21 194 177
Kaltim 36 021 668
39 166 692 42 018 955
44 722 551 Sulut
10 039 353 11 277 172
12 416 021 13 512 589
Sulteng 18 031 891
19 758 317 21 498 597
23 246 664 Sulsel
32 273 571 35 093 372
37 837 040 40 544 317
Lampiran 21. Lanjutan 13. PDRB Industri Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
24 505 450 20 451 132
17 352 870 14 915 168
Sumut 44 863 501
46 604 816 48 196 960
49 736 210 Sumbar
10 561 151 12 102 181
13 326 714 14 373 678
Riau 52 480 833
54 425 673 56 301 491
58 220 968 Jambi
7 590 861 8 100 311
8 568 085 9 067 490
Sumsel 29 916 042
32 862 169 35 355 181
37 595 882 Lampung
9 499 631 11 503 460
13 333 517 14 985 873
Kepri 28 256 316
29 258 981 30 075 779
30 861 641 Jabar
294 722 674 304 844 988
314 089 974 322 625 950
Jateng 136 071 116
140 507 095 145 067 233
149 590 102 DIY
2 747 512 3 543 187
4 128 201 4 585 616
Jatim 144 949 890
150 120 318 155 534 838
161 004 533 Banten
78 699 713 79 596 821
80 495 081 81 430 025
Bali 8 329 757
9 000 843 9 615 772
10 206 548 NTB
2 410 465 2 902 939
3 564 016 4 228 703
NTT 4 077 884
4 631 565 5 330 039
6 020 749 Kalbar
6 925 741 8 904 781
10 228 013 11 261 024
Kalteng 5 031 062
5 915 261 6 559 435
7 123 417 Kalsel
5 582 646 6 982 152
7 787 673 8 400 578
Kaltim 72 404 353
70 629 226 69 204 465
67 784 406 Sulut
2 519 262 2 878 128
2 990 475 3 075 187
Sulteng 3 220 041
4 119 429 4 886 574
5 594 243 Sulsel
15 920 799 17 762 034
19 487 104 21 052 723
14. PDRB Perdagangan Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
23 766 248 26 303 790
28 441 394 30 506 706
Sumut 56 653 282
60 896 733 65 377 005
70 015 940 Sumbar
15 622 558 16 982 904
18 604 356 20 320 179
Riau 24 985 887
26 503 531 27 230 107
27 508 501 Jambi
34 643 620 37 225 266
40 465 440 44 144 902
Sumsel 45 805 323
51 372 258 57 221 132
63 213 915 Lampung
17 240 434 17 454 509
18 359 403 19 612 960
Kepri 8 577 560
10 785 775 13 248 182
14 733 659 Jabar
91 533 183 101 692 581
111 078 903 119 995 910
Jateng 129 453 870
137 770 857 146 351 834
155 071 087 DIY
32 822 284 34 326 433
36 844 404 39 839 625
Jatim 161 392 212
174 330 271 187 131 030
199 840 492 Banten
10 119 253 16 280 961
20 881 260 24 608 286
Bali 31 800 698
37 558 592 42 034 688
45 973 203 NTB
13 589 927 16 743 163
19 617 404 22 376 884
NTT 9 565 832
10 503 278 11 776 026
13 227 901 Kalbar
17 951 985 20 214 541
22 467 665 24 713 170
Kalteng 13 387 368
15 843 176 17 949 558
19 906 882 Kalsel
22 738 918 23 329 223
24 803 134 26 701 022
Kaltim 53 842 233
55 976 221 58 971 967
62 479 878 Sulut
10 559 521 10 696 389
11 612 396 12 896 492
Sulteng 21 376 229
22 969 894 25 142 210
27 649 248 Sulsel
30 645 226 34 833 238
38 981 362 43 149 753
Lampiran 21. Lanjutan 15. PDRB Total Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
102 860 713 100 644 341
99 320 265 98 792 529
Sumut 237 417 707
252 123 449 266 849 123
281 656 104 Sumbar
79 294 915 85 516 776
91 459 931 97 199 552
Riau 303 103 282
322 110 978 339 992 762
357 289 085 Jambi
87 307 229 94 441 069
102 149 302 110 311 235
Sumsel 181 445 993
196 562 095 211 629 497
226 656 771 Lampung
83 123 080 89 566 136
96 418 874 103 373 022
Kepri 61 419 326
67 691 412 73 642 720
78 145 221 Jabar
653 462 838 692 605 411
729 487 827 764 818 685
Jateng 465 820 518
490 090 792 514 490 059
538 840 627 DIY
76 517 793 82 353 975
88 547 348 94 847 577
Jatim 616 791 444
653 509 889 690 140 053
726 596 549 Banten
143 396 057 155 603 123
165 652 695 174 534 319
Bali 91 209 157
101 716 731 110 533 189
118 603 111 NTB
54 074 313 60 059 958
65 820 888 71 410 922
NTT 37 496 417
40 268 009 43 546 126
47 020 972 Kalbar
60 295 027 66 502 117
72 157 901 77 563 087
Kalteng 47 952 276
53 667 762 58 817 899
63 740 348 Kalsel
74 435 234 79 358 415
84 534 019 89 919 954
Kaltim 343 352 247
357 475 683 372 518 482
387 929 480 Sulut
42 241 560 44 991 649
48 175 386 51 657 295
Sulteng 57 776 277
63 218 313 69 120 609
75 305 941 Sulsel
126 608 293 139 092 204
151 343 926 163 420 074
16. PDRB per Kapita Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
23,396 22,653
22,125 21,783
Sumut 17,591
18,481 19,355
20,216 Sumbar
16,492 17,628
18,687 19,687
Riau 48,472
49,782 50,838
51,743 Jambi
28,328 30,024
31,830 33,706
Sumsel 23,930
25,538 27,092
28,597 Lampung
10,499 11,162
11,859 12,550
Kepri 40,432
43,788 46,826
48,857 Jabar
14,850 15,489
16,058 16,575
Jateng 14,182
14,864 15,545
16,220 DIY
21,710 23,189
24,744 26,306
Jatim 16,543
17,449 18,344
19,227 Banten
13,012 13,776
14,317 14,734
Bali 24,001
26,342 28,179
29,772 NTB
11,442 12,524
13,528 14,470
NTT 7,961
8,425 8,980
9,559 Kalbar
12,825 13,928
14,884 15,761
Kalteng 20,055
21,967 23,574
25,025 Kalsel
20,309 21,320
22,368 23,439
Kaltim 98,102
99,414 100,907
102,422 Sulut
18,220 19,196
20,335 21,574
Sulteng 21,305
22,865 24,531
26,234 Sulsel
15,294 16,622
17,896 19,121
Lampiran 21. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Ribu Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
1 556 1 612
1 683 1 763
Sumut 3 057
3 301 3 541
3 778 Sumbar
1 066 1 169
1 261 1 347
Riau 1 965
2 063 2 144
2 214 Jambi
1 703 1 895
2 084 2 271
Sumsel 2 426
2 704 2 983
3 263 Lampung
1 464 1 560
1 652 1 743
Kepri 168
311 426
513 Jabar
5 220 5 634
6 026 6 405
Jateng 6 517
6 920 7 312
7 697 DIY
1 945 2 106
2 251 2 389
Jatim 8 339
8 909 9 471
10 026 Banten
1 341 1 505
1 646 1 775
Bali 2 113
2 284 2 438
2 584 NTB
1 279 1 385
1 488 1 589
NTT 1 111
1 148 1 189
1 233 Kalbar
1 089 1 202
1 315 1 427
Kalteng 531
641 745
844 Kalsel
1 173 1 273
1 369 1 461
Kaltim 1 982
2 153 2 317
2 478 Sulut
643 727
804 876
Sulteng 1 227
1 350 1 471
1 591 Sulsel
2 134 2 317
2 499 2 680
18. Jumlah Tenaga Kerja Industri Ribu Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
306 270
255 248
Sumut 692
731 763
792 Sumbar
183 210
226 239
Riau 522
577 612
640 Jambi
181 209
227 243
Sumsel 440
502 547
585 Lampung
229 245
264 283
Kepri - 204
- 138 - 112
- 99 Jabar
3 922 4 074
4 212 4 339
Jateng 2 070
2 112 2 178
2 251 DIY
177 200
215 228
Jatim 2 244
2 321 2 411
2 506 Banten
913 948
973 995
Bali 222
241 256
271 NTB
193 172
175 183
NTT 184
160 160
166 Kalbar
107 179
209 227
Kalteng 88
117 130
138 Kalsel
70 149
178 193
Kaltim 547
495 494
506 Sulut
62 102
117 125
Sulteng 139
157 170
180 Sulsel
339 350
371 395
Lampiran 21. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan Ribu Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
743 786
826 868
Sumut 1 665
1 770 1 884
2 002 Sumbar
501 546
592 637
Riau 741
786 809
820 Jambi
1 014 1 018
1 059 1 122
Sumsel 1 296
1 441 1 589
1 740 Lampung
656 646
659 685
Kepri 182
251 306
333 Jabar
2 635 2 920
3 179 3 424
Jateng 3 695
3 905 4 127
4 355 DIY
959 964
1 005 1 062
Jatim 4 549
4 889 5 228
5 566 Banten
366 560
699 807
Bali 913
1 033 1 124
1 206 NTB
532 596
656 715
NTT 429
439 461
491 Kalbar
604 650
699 748
Kalteng 381
437 481
519 Kalsel
694 689
712 748
Kaltim 1 335
1 332 1 371
1 434 Sulut
338 349
374 404
Sulteng 691
684 706
745 Sulsel
986 1 076
1 170 1 269
20. Total Tenaga Kerja Ribu Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
3 250 3 352
3 486 3 639
Sumut 7 111
7 576 8 038
8 501 Sumbar
2 409 2 615
2 801 2 976
Riau 3 944
4 178 4 353
4 499 Jambi
3 308 3 559
3 834 4 128
Sumsel 5 005
5 535 6 054
6 569 Lampung
3 208 3 363
3 541 3 730
Kepri 460
761 979
1 129 Jabar
17 702 18 786
19 809 20 794
Jateng 16 524
17 293 18 086
18 886 DIY
3 735 3 945
4 166 4 393
Jatim 20 176
21 344 22 514
23 681 Banten
4 324 4 833
5 256 5 633
Bali 3 960
4 299 4 591
4 864 NTB
2 577 2 743
2 924 3 110
NTT 2 239
2 303 2 407
2 527 Kalbar
2 313 2 574
2 795 3 003
Kalteng 1 331
1 550 1 735
1 905 Kalsel
2 520 2 730
2 913 3 092
Kaltim 4 562
4 730 4 983
5 271 Sulut
1 461 1 614
1 750 1 880
Sulteng 2 419
2 581 2 764
2 960 Sulsel
4 464 4 799
5 149 5 505
Lampiran 21. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
725 743
759 773
Sumut 767
758 753
749 Sumbar
678 683
690 698
Riau 962
969 976
983 Jambi
822 846
872 900
Sumsel 824
822 825
830 Lampung
555 573
591 608
Kepri 979
952 939
934 Jabar
427 448
466 483
Jateng 436
464 490
514 DIY
505 558
610 659
Jatim 423
459 491
521 Banten
528 533
539 545
Bali 606
653 698
741 NTB
451 483
513 542
NTT 348
393 432
468 Kalbar
772 766
762 761
Kalteng 942
925 915
909 Kalsel
699 713
727 742
Kaltim 967
1 000 1 033
1 066 Sulut
718 727
739 754
Sulteng 726
757 788
819 Sulsel
534 563
590 617
22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
917 901
872 844
Sumut 849
841 841
844 Sumbar
798 796
802 810
Riau 1 133
1 092 1 079
1 076 Jambi
818 804
803 806
Sumsel 900
885 888
897 Lampung
714 735
748 758
Kepri 1 674
1 602 1 586
1 586 Jabar
999 998
1 001 1 005
Jateng 799
853 874
884 DIY
727 725
729 734
Jatim 824
852 866
874 Banten
1 044 1 020
1 009 1 004
Bali 782
785 790
795 NTB
631 682
702 712
NTT 646
698 719
730 Kalbar
852 792
781 784
Kalteng 820
800 800
806 Kalsel
882 802
783 781
Kaltim 1 521
1 577 1 566
1 535 Sulut
800 755
742 739
Sulteng 743
746 754
764 Sulsel
726 761
778 788
Lampiran 21. Lanjutan
23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
906 968
1 017 1 059
Sumut 873
909 939
965 Sumbar
926 916
918 928
Riau 976
963 955
947 Jambi
989 1 176
1 313 1 421
Sumsel 1 045
1 075 1 110
1 149 Lampung
653 711
750 777
Kepri 1 206
1 183 1 207
1 242 Jabar
882 857
845 843
Jateng 789
849 893
927 DIY
1 004 1 128
1 222 1 300
Jatim 868
911 946
976 Banten
1 003 910
862 839
Bali 1 110
1 196 1 275
1 346 NTB
750 807
856 900
NTT 674
725 763
793 Kalbar
844 885
921 953
Kalteng 1 046
1 070 1 104
1 141 Kalsel
899 973
1 026 1 070
Kaltim 1 294
1 464 1 581
1 668 Sulut
963 967
979 999
Sulteng 854
999 1 105
1 190 Sulsel
769 836
890 935
24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
368 391
414 437
Sumut 351
358 366
375 Sumbar
332 343
355 367
Riau 397
407 418
428 Jambi
360 374
389 404
Sumsel 381
394 408
423 Lampung
289 300
312 323
Kepri 399
399 402
407 Jabar
284 299
313 327
Jateng 286
302 316
331 DIY
296 318
339 359
Jatim 279
295 311
326 Banten
303 313
324 334
Bali 304
317 330
342 NTB
271 286
300 313
NTT 240
256 272
286 Kalbar
342 346
351 357
Kalteng 378
378 380
383 Kalsel
330 341
352 364
Kaltim 383
389 409
417 Sulut
353 366
380 394
Sulteng 341
358 374
391 Sulsel
299 315
330 345
Lampiran 21. Lanjutan
25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
421 425
426 426
Sumut 389
391 395
400 Sumbar
375 378
385 392
Riau 474
466 466
469 Jambi
379 379
382 387
Sumsel 412
414 421
429 Lampung
343 352
359 366
Kepri 631
613 611
614 Jabar
437 442
447 453
Jateng 379
398 409
416 DIY
355 359
364 370
Jatim 384
396 404
410 Banten
449 446
447 449
Bali 364
366 369
372 NTB
321 339
348 355
NTT 321
340 349
355 Kalbar
385 370
370 373
Kalteng 375
371 373
377 Kalsel
396 376
374 378
Kaltim 581
596 599
590 Sulut
381 373
374 378
Sulteng 358
363 370
377 Sulsel
353 367
377 384
26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi
2012 2013
2014 2015
NAD 533
577 615
649 Sumut
496 520
541 561
Sumbar 521
525 534
547 Riau
545 546
550 554
Jambi 546
637 706
762 Sumsel
588 612
639 668
Lampung 386
418 441
459 Kepri
647 641
657 678
Jabar 508
505 508
515 Jateng
466 500
527 550
DIY 558
622 671
714 Jatim
497 524
547 567
Banten 559
525 511
508 Bali
593 634
672 706
NTB 433
465 493
519 NTT
392 420
443 462
Kalbar 475
498 519
539 Kalteng
564 578
597 617
Kalsel 503
543 574
600 Kaltim
675 750
813 853
Sulut 547
559 573
591 Sulteng
487 560
616 662
Sulsel 450
488 519
547
Lampiran 21. Lanjutan 27. Indeks Gini
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
0.34 0.34
0.35 0.35
Sumut 0.36
0.36 0.36
0.37 Sumbar
0.36 0.36
0.36 0.36
Riau 0.36
0.36 0.36
0.36 Jambi
0.35 0.36
0.37 0.38
Sumsel 0.35
0.36 0.36
0.36 Lampung
0.37 0.36
0.36 0.36
Kepri 0.33
0.33 0.34
0.34 Jabar
0.39 0.38
0.37 0.36
Jateng 0.38
0.37 0.37
0.37 DIY
0.40 0.40
0.39 0.39
Jatim 0.37
0.37 0.37
0.37 Banten
0.38 0.36
0.36 0.35
Bali 0.40
0.39 0.39
0.39 NTB
0.36 0.37
0.37 0.37
NTT 0.36
0.35 0.35
0.35 Kalbar
0.39 0.38
0.38 0.38
Kalteng 0.35
0.36 0.36
0.37 Kalsel
0.37 0.38
0.38 0.38
Kaltim 0.38
0.38 0.38
0.38 Sulut
0.39 0.38
0.38 0.38
Sulteng 0.38
0.38 0.38
0.38 Sulsel
0.40 0.39
0.38 0.38
28. Headcount Index Pertanian
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
22.84 20.06
17.31 14.56
Sumut 12.86
12.51 11.99
11.32 Sumbar
19.37 19.03
18.56 18.01
Riau 14.69
13.64 12.61
11.58 Jambi
8.15 6.71
4.98 3.06
Sumsel 7.16
6.11 4.69
3.17 Lampung
16.91 15.38
13.92 12.53
Kepri 24.50
25.63 26.21
26.39 Jabar
20.85 17.98
15.44 13.16
Jateng 18.63
16.54 14.62
12.83 DIY
25.27 21.89
18.58 15.39
Jatim 20.73
18.86 17.11
15.47 Banten
16.28 13.56
11.12 8.87
Bali 19.82
17.60 15.59
13.74 NTB
18.32 16.76
15.22 13.72
NTT 17.44
15.37 13.54
11.92 Kalbar
5.69 4.88
4.10 3.32
Kalteng 7.35
8.95 10.23
11.24 Kalsel
14.19 13.24
12.22 11.17
Kaltim 18.51
17.54 14.15
12.74 Sulut
7.22 5.27
3.27 1.25
Sulteng 10.75
8.66 6.58
4.51 Sulsel
6.27 3.19
0.35 -2.32
Lampiran 21. Lanjutan 29. Headcount Index Industri
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
20.41 20.86
21.50 22.10
Sumut 15.53
15.94 16.17
16.33 Sumbar
18.19 18.84
19.28 19.66
Riau 15.63
16.52 16.92
17.15 Jambi
14.46 15.06
15.32 15.42
Sumsel 13.74
14.35 14.49
14.54 Lampung
14.94 14.54
14.31 14.18
Kepri 11.27
13.06 13.82
14.24 Jabar
11.16 10.55
10.07 9.71
Jateng 13.54
12.58 12.26
12.15 DIY
19.72 19.61
19.40 19.19
Jatim 13.63
13.37 13.41
13.54 Banten
9.58 9.08
8.57 8.11
Bali 16.88
16.71 16.60
16.55 NTB
15.36 14.78
14.71 14.79
NTT 11.91
11.17 11.04
11.13 Kalbar
11.35 12.17
12.21 12.08
Kalteng 15.80
17.04 17.83
18.48 Kalsel
14.05 15.79
16.42 16.72
Kaltim 10.14
9.16 9.01
9.55 Sulut
13.49 14.08
14.15 14.09
Sulteng 15.63
15.69 15.65
15.61 Sulsel
9.80 8.60
7.85 7.31
30. Headcount Index Perdagangan
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
11.52 10.04
8.80 7.70
Sumut 8.88
8.19 7.58
7.02 Sumbar
8.94 9.40
9.57 9.55
Riau 10.23
10.43 10.55
10.64 Jambi
5.36 1.64
-1.15 -3.44
Sumsel 4.22
3.66 2.86
1.96 Lampung
11.92 10.46
9.46 8.73
Kepri 8.52
9.34 9.12
8.59 Jabar
7.88 7.59
7.20 6.76
Jateng 8.81
7.32 6.22
5.37 DIY
8.08 5.15
2.86 0.91
Jatim 7.52
6.62 5.89
5.28 Banten
4.69 5.63
5.86 5.71
Bali 4.92
2.90 1.10
-0.47 NTB
9.05 7.98
7.03 6.17
NTT 8.53
7.42 6.63
6.04 Kalbar
7.41 6.16
5.10 4.19
Kalteng 5.22
5.35 5.18
4.88 Kalsel
8.13 6.65
5.56 4.67
Kaltim 5.08
1.52 -1.44
-3.30 Sulut
5.21 4.69
4.07 3.32
Sulteng 8.44
5.25 2.89
0.99 Sulsel
6.30 4.17
2.47 1.04
Lampiran 21. Lanjutan 31. Total Headcount Index
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
18.40 16.99
15.69 14.40
Sumut 11.82
11.66 11.37
11.01 Sumbar
15.65 15.77
15.72 15.59
Riau 12.94
12.77 12.44
12.05 Jambi
8.67 7.51
6.27 5.00
Sumsel 7.78
7.38 6.63
5.77 Lampung
14.06 12.97
12.04 11.22
Kepri 15.80
17.02 17.48
17.59 Jabar
13.97 12.40
11.02 9.77
Jateng 13.85
12.32 11.13
10.11 DIY
18.67 16.54
14.53 12.63
Jatim 14.60
13.50 12.57
11.74 Banten
10.79 9.55
8.32 7.11
Bali 14.70
13.26 11.96
10.81 NTB
14.31 13.21
12.31 11.48
NTT 12.75
11.36 10.34
9.51 Kalbar
6.96 6.61
6.07 5.50
Kalteng 8.69
9.83 10.63
11.24 Kalsel
11.83 11.66
11.18 10.63
Kaltim 12.06
10.65 8.50
7.67 Sulut
7.92 7.11
6.09 5.01
Sulteng 10.80
9.26 7.86
6.54 Sulsel
6.54 4.37
2.52 0.86
32. Total Penanaman Modal Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
216 359 241 588
266 816 292 044
Sumut 5 018 056
5 593 530 6 169 005
6 744 479 Sumbar
568 919 608 289
647 658 687 027
Riau - 311 930
- 2 575 381 - 4 838 832
- 7 102 283 Jambi
1 315 191 1 266 406
1 217 622 1 168 838
Sumsel 3 629 659
3 957 367 4 285 074
4 612 782 Lampung
346 132 118 672
- 108 787 - 336 247
Kepri 2 728 845
3 068 917 3 408 990
3 749 063 Jabar
28 559 096 28 870 105
29 181 114 29 492 123
Jateng 2 718 381
2 796 336 2 874 291
2 952 246 DIY
- 60 630 - 115 431
- 170 231 - 225 031
Jatim 16 869 431
18 014 091 19 158 751
20 303 411 Banten
17 944 638 19 379 734
20 814 830 22 249 927
Bali 3 225 557
3 619 564 4 013 570
4 407 576 NTB
3 069 375 3 605 053
4 140 730 4 676 407
NTT 28 341
28 939 29 538
30 137 Kalbar
3 527 209 4 081 443
4 635 678 5 189 912
Kalteng 6 388 520
7 255 918 8 123 315
8 990 713 Kalsel
3 460 543 3 835 909
4 211 274 4 586 639
Kaltim 10 380 217
11 904 092 13 427 968
14 951 843 Sulut
1 948 664 2 240 248
2 531 832 2 823 417
Sulteng 3 081 370
3 628 122 4 174 875
4 721 627 Sulsel
4 673 853 5 336 025
5 998 196 6 660 367
Lampiran 21. Lanjutan 33. Luas Wilayah km
2 Provinsi
2012 2013
2014 2015
NAD 58 580
58 840 59 100
59 360 Sumut
73 218 73 317
73 416 73 515
Sumbar 41 922
41 884 41 847
41 809 Riau
86 672 86 525
86 379 86 232
Jambi 52 077
52 918 53 759
54 600 Sumsel
105 002 110 590
116 177 121 765
Lampung 33 290
32 735 32 179
31 624 Kepri
8 252 8 273
8 294 8 315
Jabar 34 715
34 438 34 162
33 886 Jateng
32 801 32 801
32 801 32 802
DIY 3 133
3 133 3 133
3 133 Jatim
48 276 48 474
48 672 48 870
Banten 9 939
10 054 10 169
10 284 Bali
5 922 5 981
6 040 6 099
NTB 18 085
17 882 17 679
17 476 NTT
49 824 50 285
50 745 51 206
Kalbar 158 961
163 817 168 673
173 529 Kalteng
153 565 153 565
153 565 153 565
Kalsel 38 684
38 659 38 634
38 609 Kaltim
208 685 210 415
212 144 213 874
Sulut 13 818
13 804 13 790
13 775 Sulteng
59 163 58 048
56 932 55 816
Sulsel 46 975
47 082 47 190
47 297
34. Jumlah Penduduk Ribu Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
4 397 4 443
4 489 4 535
Sumut 13 497
13 642 13 787
13 932 Sumbar
4 808 4 851
4 894 4 937
Riau 6 253
6 470 6 688
6 905 Jambi
3 082 3 146
3 209 3 273
Sumsel 7 582
7 697 7 811
7 926 Lampung
7 918 8 024
8 130 8 237
Kepri 1 519
1 546 1 573
1 599 Jabar
44 004 44 717
45 430 46 142
Jateng 32 845
32 971 33 096
33 221 DIY
3 524 3 551
3 579 3 606
Jatim 37 284
37 453 37 621
37 790 Banten
11 021 11 296
11 571 11 846
Bali 3 800
3 861 3 923
3 984 NTB
4 726 4 796
4 865 4 935
NTT 4 710
4 780 4 849
4 919 Kalbar
4 701 4 775
4 848 4 921
Kalteng 2 391
2 443 2 495
2 547 Kalsel
3 665 3 722
3 779 3 836
Kaltim 3 500
3 596 3 692
3 788 Sulut
2 318 2 344
2 369 2 394
Sulteng 2 712
2 765 2 818
2 871 Sulsel
8 278 8 368
8 457 8 546
Lampiran 21. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Orang
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
186 655 197 228
207 800 218 372
Sumut 267 007
275 225 283 443
291 661 Sumbar
150 271 155 083
159 895 164 708
Riau 116 098
122 283 128 468
134 653 Jambi
89 736 93 847
97 959 102 070
Sumsel 152 835
159 320 165 806
172 292 Lampung
139 294 144 549
149 805 155 060
Kepri 39 006
41 862 44 717
47 572 Jabar
492 624 503 576
514 528 525 480
Jateng 501 821
508 470 515 118
521 766 DIY
90 801 90 684
90 567 90 451
Jatim 548 640
561 372 574 104
586 836 Banten
107 790 112 306
116 822 121 337
Bali 105 075
108 319 111 563
114 808 NTB
102 511 106 845
111 178 115 512
NTT 135 196
141 522 147 847
154 172 Kalbar
100 516 104 082
107 647 111 213
Kalteng 84 719
88 890 93 062
97 234 Kalsel
104 333 108 597
112 860 117 123
Kaltim 112 929
119 626 126 324
133 022 Sulut
84 441 87 077
89 714 92 350
Sulteng 95 745
100 802 105 858
110 915 Sulsel
218 787 226 255
233 723 241 191
36. Garis Kemiskinan Riil Ribu Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
235.5 238.0
240.5 243.0
Sumut 188.9
191.1 193.3
195.5 Sumbar
199.8 204.3
208.9 213.4
Riau 219.8
222.3 224.9
227.4 Jambi
178.8 180.1
181.3 182.5
Sumsel 188.0
190.6 192.9
195.4 Lampung
165.5 167.7
169.8 172.0
Kepri 260.0
262.6 265.2
267.9 Jabar
170.9 172.4
173.9 175.4
Jateng 167.7
170.0 172.4
174.7 DIY
190.6 191.9
193.1 194.4
Jatim 171.6
174.7 177.8
180.9 Banten
168.8 168.3
167.7 167.2
Bali 176.2
177.4 178.7
179.9 NTB
160.3 162.5
164.7 166.9
NTT 141.3
144.2 147.1
150.0 Kalbar
153.0 154.3
155.6 156.9
Kalteng 186.9
191.0 195.2
199.3 Kalsel
177.7 180.5
183.4 186.3
Kaltim 221.3
221.4 221.6
221.7 Sulut
165.4 167.0
168.6 170.2
Sulteng 171.6
174.2 176.8
179.4 Sulsel
129.7 130.1
130.5 130.9
Lampiran 21. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
224 183 - 233 737
- 691 657 - 1 149 576
Sumut 59 799
64 985 70 170
75 356 Sumbar
38 769 39 291
39 813 40 334
Riau 8 087 328
7 986 667 7 886 006
7 785 345 Jambi
1 184 806 1 304 279
1 423 753 1 543 226
Sumsel 3 631 397
3 871 675 4 111 953
4 352 231 Lampung
200 637 163 506
126 375 89 244
Kepri 3 007 575
2 833 657 3 471 229
3 426 455 Jabar
895 618 970 375
1 045 133 1 119 890
Jateng 179 798
204 931 230 063
255 196 DIY
8 440 9 594
10 748 11 902
Jatim 674 870
768 078 861 286
954 495 Banten
8 282 9 084
9 885 10 686
Bali 2 565
2 430 2 296
2 161 NTB
147 861 146 770
145 680 144 589
NTT 10 137
10 563 10 988
11 414 Kalbar
119 932 130 189
140 445 150 702
Kalteng 499 774
550 517 601 259
652 002 Kalsel
2 009 858 2 268 633
2 527 408 2 786 183
Kaltim 12 787
13 378 463 13 969 842
14 561 222 Sulut
50 788 55 771
60 754 65 736
Sulteng 26 770
28 026 29 282
30 538 Sulsel
49 730 36 120
22 511 8 901
38. Dana Alokasi Khusus Riil Juta Rp
Provinsi 2012
2013 2014
2015 NAD
901 233 951 262
1 001 292 1 051 322
Sumut 1 500 321
1 636 262 1 772 203
1 908 144 Sumbar
779 964 823 999
868 034 912 069
Riau 262 413
276 637 290 861
305 086 Jambi
435 536 466 555
497 574 528 592
Sumsel 658 195
719 323 780 451
841 579 Lampung
740 173 814 274
888 376 962 477
Kepri 161 870
174 900 187 929
200 958 Jabar
1 710 873 1 913 944
2 117 015 2 320 086
Jateng 2 225 989
2 448 030 2 670 070
2 892 111 DIY
259 305 279 689
300 073 320 457
Jatim 2 189 106
2 403 047 2 616 988
2 830 930 Banten
415 495 462 728
509 961 557 195
Bali 358 491
376 158 393 824
411 491 NTB
477 197 505 440
533 683 561 927
NTT 1 003 981
1 083 551 1 163 121
1 242 691 Kalbar
776 749 839 859
902 970 966 080
Kalteng 530 418
539 658 548 898
558 138 Kalsel
488 870 510 428
531 986 553 544
Kaltim 217 024
207 187 197 350
187 512 Sulut
769 318 840 465
911 612 982 759
Sulteng 572 667
614 152 655 637
697 121 Sulsel
1 157 362 1 237 477
1 317 593 1 397 708
Lampiran 22. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan
Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN
pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SM1
SM2 SM3
PM Penanaman Modal
1
100.0 PJK
Pajak daerah 0.9
0.9 17.5
PAD Pendapatan asli daerah
0.6 0.7
12.9 BHSPJK
Bagi hasil pajak 3.9
50.0 50.0
KAPFIS Kapasitas fiskal
1.4 13.6
21.3 DAU
Dana alokasi umum -1.1
-1.1 -1.4
DPT Total pendapatan daerah
-0.1 3.1
5.0 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 50.0
50.0 50.0
GIND Belanja perindustrian
50.0 50.0
50.0 GDG
Belanja perdagangan 30.0
30.0 30.0
GDGKAP Belanja perdagangan per kapita
30.0 30.0
30.0 GIFR
Belanja infratruktur 0.3
3.5 5.4
GLN Belanja lainnya
-0.1 1.0
1.6 G
Total belanja daerah 1.5
2.9 3.6
FISGAP Kesenjangan fiskal
1.6 -1.2
-3.1 FISAUTO
Kemandirian fiskal
2
-0.1 -0.4
1.6 ASP
Panjang jalan aspal 0.0
0.3 5.1
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
21.6 21.9
26.7 PDRBTANI
PDRB pertanian 18.1
18.4 22.4
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
19.0 19.2
24.0 PDRBMKN
PDRB industri makanan jadi 52.0
52.0 52.9
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
42.0 42.0
42.7 PDRBIND
PDRB industri 30.6
30.6 31.1
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
34.7 34.7
35.4 PDRBDG
PDRB perdagangan 9.4
9.9 17.3
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
11.1 11.5
19.8 PDRBNONTANI
PDRB non pertanian 8.9
9.0 11.9
PDRB PDRB total
11.2 11.4
14.5 PDRBKAP
PDRB per kapita 12.3
12.5 16.3
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
5.9 5.9
6.5 SHPDRBIND
Share PDRB industri
2
19.6 19.4
16.8 SHPDRBDG
Share PDRB perdagangan
2
-1.2 -1.0
2.7 TKTANI
Jumlah tenaga kerja pertanian 6.5
6.9 12.4
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
12.0 12.1
14.4 TKDG
Jumlah tenaga kerja perdagangan 5.9
6.3 12.4
TK Jumlah tenaga kerja total
5.4 5.7
9.9 UPHTANI
Upah pertanian 2.4
2.4 3.0
UPHIND Upah industri
4.0 4.0
4.1 UPHDG
Upah perdagangan 2.7
2.8 4.8
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
1.1 1.1
1.3 EXPIND
Pengeluaran per kapita industri 2.4
2.4 2.5
EXPDG Pengeluaran per kapita
2.1 2.2
3.7 GINI
Indeks Gini
3
-0.003 -0.003
-0.002 POVTANIP0
P0 pertanian
2
-0.79 -0.80
-0.91 POVINDP0
P0 industri
2
-0.67 -0.67
-0.66 POVDGP0
P0 perdagangan
2
-0.67 -0.69
-1.06 POVTANIP1
P1 pertanian
3
-0.14 -0.14
-0.16 POVTANIP2
P2 pertanian
3
-0.04 -0.04
-0.05 POVP0
P0 total
2
-0.69 -0.70
-0.82
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
Lampiran 23. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan
Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN
pada software SASETS 9.1.3
Variabel Endogen Keterangan
Perubahan SM1A
SM1B SM2
SM3 PM
Penanaman Modal
1
50.0 PJK
Pajak daerah 0.3
0.4 0.4
8.3 PAD
Pendapatan asli daerah 0.2
0.3 0.3
6.0 BHSPJK
Bagi hasil pajak 3.0
3.0 50.0
50.0 KAPFIS
Kapasitas fiskal 0.6
0.7 9.1
12.2 DAU
Dana alokasi umum -1.3
-1.6 -1.7
-2.0 DPT
Total pendapatan daerah -0.1
-0.2 3.6
5.0 GPGNKBNTNK
Belanja pertanian 50.0
80.0 80.0
80.0 GIND
Belanja perindustrian 50.0
50.0 50.0
50.0 GDG
Belanja perdagangan 30.0
30.0 30.0
30.0 GDGKAP
Belanja perdagangan per kapita 30.0
30.0 30.0
30.0 GIFR
Belanja infratruktur 0.2
0.2 4.0
5.2 GLN
Belanja lainnya -0.1
-0.2 1.2
1.6 G
Total belanja daerah 1.3
1.9 3.5
4.0 FISGAP
Kesenjangan fiskal 1.8
3.0 -1.7
-3.7 FISAUTO
Kemandirian fiskal
2
-0.2 -0.4
-0.8 0.5
ASP Panjang jalan aspal
0.0 0.0
0.4 4.0
PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak
15.8 25.3
25.6 28.8
PDRBTANI PDRB pertanian
13.3 21.2
21.5 24.2
PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita
15.5 24.8
25.1 27.8
PDRBMKN PDRB industri makanan jadi
33.5 33.5
33.5 33.9
PDRBINDTANI PDRB industri pertanian
19.2 19.2
19.2 19.4
PDRBIND PDRB industri
9.4 9.4
9.4 9.5
PDRBINDKAP PDRB industri per kapita
9.4 9.4
9.4 9.5
PDRBDG PDRB perdagangan
4.5 4.5
5.0 9.6
PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita
11.1 11.1
11.6 15.9
PDRBNONTANI PDRB non pertanian
4.2 4.2
4.3 5.5
PDRB PDRB total
5.7 7.0
7.1 8.6
PDRBKAP PDRB per kapita
6.9 8.5
8.6 10.0
SHPDRBTANI Share
PDRB pertanian
2
7.2 13.8
13.9 14.9
SHPDRBIND Share
PDRB industri
2
3.3 1.9
1.8 -0.2
SHPDRBDG Share
PDRB perdagangan
2
1.0 -0.7
-0.4 2.5
TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian
4.9 7.8
8.2 11.9
TKIND Jumlah tenaga kerja industri
7.6 7.6
7.7 8.4
TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan
3.0 3.0
3.5 7.8
TK Jumlah tenaga kerja total
3.6 4.8
5.1 7.6
UPHTANI Upah pertanian
2.1 3.3
3.4 3.7
UPHIND Upah industri
2.6 2.6
2.6 2.7
UPHDG Upah perdagangan
2.9 2.9
3.0 4.2
EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian
0.9 1.4
1.5 1.6
EXPIND Pengeluaran per kapita industri
1.7 1.7
1.7 1.8
EXPDG Pengeluaran per kapita
2.3 2.3
2.4 3.3
GINI Indeks Gini
3
-0.001 -0.002
-0.002 -0.002
POVTANIP0 P0 pertanian
2
-0.64 -1.04
-1.05 -1.12
POVINDP0 P0 industri
2
-0.53 -0.58
-0.58 -0.57
POVDGP0 P0 perdagangan
2
-0.73 -0.77
-0.80 -1.03
POVTANIP1 P1 pertanian
3
-0.12 -0.19
-0.19 -0.20
POVTANIP2 P2 pertanian
3
-0.03 -0.05
-0.05 -0.06
POVP0 P0 total
2
-0.59 -0.80
-0.81 -0.88
Catatan:
1
Variabel eksogen;
2
Perubahan dalam persen poin;
3
Perubahan dalam poin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 November 1968 dari orang tua yaitu H. Asrial Zainun dan Hj. Yulinar sebagai anak kelima dari enam bersaudara.
Penulis menikah dengan Rode Ekanara tahun 1993 dan dikarunia dua orang anak yaitu Nabilla Gita Ekanara dan Daffa Aulia Ekanara.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Penulis lulus dari SD Negeri Gondangdia 05 Menteng tahun 1981, SMP
Negeri 1 Cikini tahun 1984, dan SMA Negeri 4 Gambir tahun 1987. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan S1 dan memperoleh gelar Sarjana
Matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA Universitas Indonesia UI. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan
S2 dan memperoleh gelar Master of Philosophy in Bioresources Economics dari Graduate School of Science and Technology Chiba University Japan dengan
beasiswa dari STAID-BPPT. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian EPN Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor IPB dengan beasiswas tugas belajar dari Badan Pusat Statistik.
Penulis mengawali karir setelah lulus S1 dengan bekerja di Bank Dagang Nasional Indonesia BDNI kemudian pindah ke Citibank, N.A. di Jakarta. Saat
ini penulis bekerja di Badan Pusat Statistik BPS Jakarta diawali pada tahun 1994 sebagai programmer pada Biro Sistem Informasi Statistik. Tahun 1998 penulis
ditugaskan pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik dan Komputer BPS sebagai Kepala Sub Bagian Pelatihan Statistik. Sejak lulus S2 tahun 2003 penulis
ditugaskan pada Direktorat Analisis Statistik sebagai Kepala Seksi Konsistensi Statistik Sosial di Sub Direktorat Konsistensi Statistik, dan sejak tahun 2006
sampai sebelum tugas belajar S3 penulis bertugas sebagai Kepala Seksi Statistik Indikator Lintas Sektor di Sub Direktorat Indikator Statistik.
3. KERANGKA TEORI
Teori Keuangan Publik Konsep Keuangan Publik
Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas keuangan pemerintah serta proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan berpengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumahtangga, dan swasta. Keuangan publik mempelajari pendapatan
dan belanja pemerintah serta menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pemerintah pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas
ekonomi. Musgrave 1959 menyatakan fungsi keuangan pemerintah adalah menetapkan anggaran keuangan publik meliputi: 1 keputusan alokasi layanan
apa yang akan disediakan; 2 keputusan distribusi siapa yang mendapat manfaat dan menanggung bebannya; dan 3 keputusan stabilisasi berapa tingkat
pendapatan dan harga-harga yang dapat diterima. Keputusan alokasi terkait erat dengan kewenangan utama pemerintah menyangkut alokasi sumber-sumber
ekonomi kepada masyarakat terutama barang publik yang nilainya relatif besar tetapi tidak disediakan oleh swasta. Keputusan distribusi adalah peran
pemerintah dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi pendapatan kepada seluruh masyarakat untuk menjamin bahwa seluruh golongan masyarakat
dapat mengakses sumber ekonomi dan mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu, keputusan distribusi terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan
masyarakat secara proporsional dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal. Keputusan stabilisasi merupakan peran
pemerintah untuk menjamin dan menjaga stabilitas perekonomian secara makro misalnya mengendalikan laju inflasi, keseimbangan neraca pembayaran, dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, fungsi ini terkait erat dengan variabel-variabel ekonomi makro dan berbagai instrumen kebijakan fiskal
dan moneter. Dalam konteks pembangunan desentralisasi, pemerintah daerah lebih berperan pada keputusan alokasi dan keputusan distribusi. Menurut Rosen
1999, keuangan publik adalah aktivitas pemerintah terkait perpajakan dan belanja pemerintah yang membahas:
1.
Government expenditure atau pengeluaran pemerintah 2.
Government revenues and taxes atau sumber-sumber penerimaan pemerintah dengan pajak sebagai sumber penerimaan terpenting
3. Government borrowing and indebtedness atau pinjaman pemerintah dan
perlunasannya 4.
Fiscal administration and fiscal technique atau administrasi fiskal dan teknis fiskal yang membahas hukum dan tata usaha keuangan negara
5. Intergovernment fiscal relationship atau perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah 6.
Fiscal policy atau kebijakan fiskal yang mempelajari peran dan pengaruh keuangan pemerintah pada pendapatan, distribusi pendapatan, kesempatan
kerja, harga-harga, dan efisiensi alokasi sumber daya.
Sebagai suatu studi ilmu, keuangan publik dibedakan menjadi keuangan publik positif positive public finance dan keuangan publik normatif normative
public finance Stiglitz, 2000. Positive public finance adalah studi tentang fakta,
keadaan, dan hubungan antar variabel yang berkenaan dengan usaha pemerintah dalam mencari dana dan menggunakan dana tersebut misalnya bagaimana sistem
perpajakan dan struktur perpajakan dewasa ini, menelaah keadaan dan sistem anggaran, dan sebagainya. Dengan demikian, studi positive public finance adalah
studi yang menggambarkan, menjelaskan, dan meramalkan tentang apa yang terjadi dalam keuangan publik. Sedangkan, normative public finance adalah studi
keuangan publik mengenai etika dan nilai pandang value judgment yaitu bagaimana kegiatan keuangan negara, perpajakan, pengeluaran, dan pinjaman
pemerintah dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya, stabilisasi ekonomi makro, pemerataan distribusi pendapatan, dan sebagainya. Dengan demikian,
studi normative public finance lebih fokus pada permasalahan kebijakan keuangan negara fiscal policy Kadmasasmita, 2014.
Manajemen Keuangan Publik
Manajemen keuangan publik adalah semua kegiatanupayaaktivitas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola semua urusan pemerintahan, khususnya
yang berkaitan dengan aktivitas finansial pemerintahan mulai dari pengelolaan penerimaan, pengeluaran, dan kebijakan mengadakan pembiayaan. Manajemen
keuangan publik dituangkan dalam bentuk anggaran keuangan publik. Menurut Mardiasmo 2002, anggaran keuangan publik merupakan instrumen akuntabilitas
atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan dana publik. Anggaran keuangan publik berisi rencana kegiatan yang
dinyatakan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter Bastian, 2006. Anggaran keuangan publik dapat didefinisikan dalam
dua pengertian, yaitu: 1 perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan pada periode yang akan datang; dan 2 rencana penjatahan sumber daya yang
dinyatakan dalam angka biasanya satuan uang. Dengan demikian, penganggaran keuangan publik adalah proses pelaksanaan program-program dalam bentuk
pendapatan dan belanja dalam satuan moneter yang didanai dengan uang masyarakat. Artinya, anggaran keuangan publik dibuat untuk menentukan tingkat
kebutuhan masyarakat yang menjamin kesejahteraan masyarakat. Ada dua jenis anggaran keuangan publik sesuai tingkat pemerintahan yaitu: 1 anggaran negara
APBN yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR; dan 2 anggaran daerah APBD yang merupakan rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD.
Menurut Mardiasmo 2002, anggaran keuangan publik berfungsi sebagai: 1.
Alat perencana planning tool Bertujuan untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh
pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
2. Alat pengendali control tool
Bertujuan untuk menyusun rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.
3. Alat kebijakan fiskal fiscal tool
Bertujuan menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah
sehingga dapat ekonomi dapat diprediksi dan diestimasi dengan mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4. Alat politik political tool
Bertujuan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran keuangan publik merupakan
dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
5. Alat koordinasi dan komunikasi coordination and communication tool
Merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan karena setiap unit kerja dalam pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran
6. Alat penilaian kinerja performance measurement tool
Merupakan wujud komitmen dari budget holder eksekutif kepada pemberi wewenang legislatif.
7. Alat motivasi motivation tool
Digunakan untuk para manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
8. Alat menciptakan ruang publik public sphere
Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat LSM, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan secara bersama-sama terlibat dalam proses
penganggaran publik.
Pada dasarnya, anggaran keuangan publik terdiri dari anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan
kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan anggaran operasional adalah belanja rutin recurrent
expenditure
. Belanja rutin adalah pengeluran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi
pemerintah. Secara umum, pengeluaran pemerintah yang termasuk anggaran operasional antara lain: belanja administrasi umum serta belanja operasi dan
pemeliharaan. Sedangkan, anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot,
dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan menggunakan pinjaman. Belanja investasi atau modal adalah pengeluaran yang manfaatnya
cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya
operasional dan pemeliharaannya.
Penyusunan anggaran keuangan publik meliputi empat tahap, yaitu: 1.
Tahap persiapan anggaran Menentukan estimasi pengeluaran berdasarkan estimasi pendapatan yang
tersedia. Oleh karena itu, sebelum menyetujui estimasi pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan estimasi pendapatan secara akurat.
2. Tahap ratifikasi
Melibatkan proses politik yang cukup rumit dan berat karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan
memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. Oleh karena itu, pimpinan eksekutif harus mempunyai
political skill , salesmanship, dan coalition building yang memadai.
3. Tahap implementasi
Pelaksanaan anggaran setelah anggaran tersebut disetujui oleh legislatif. Pada tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan
publik adalah ketersediaan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen.
4. Tahap pelaporan dan evaluasi.
Tterkait dengan aspek akuntabilitas. Tahap ini akan berjalan dengan baik dan tidak menemui banyak masalah apabila tahap implementasi didukung sistem
akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik.
Dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajibah daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut. Dengan demikian, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dituangkan dalam APBD yaitu rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Ruang lingkup keuangan
daerah meliputi: 1.
Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan
membayar tagihan pihak ketiga 3.
Penerimaan daerah 4.
Pengeluaran daerah 5.
Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah 6.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah danatau kepentingan umum.
Teori Kebijakan Fiskal Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah. Dalam jangka pendek, pengaruh kebijakan fiskal dapat terjadi pada sisi permintaan agregat yang dikenal dengan istilah Keynesian short-
run effect
. Dalam jangka panjang, pengaruh kebjiakan fiskal dapat terjadi pada sisi penawaran agregat melalui peningkatan kapasitas perekonomian yang dikenal
dengan istilah classical long-run effect. Secara umum, aliran Keynesian dianggap valid pada jangka pendek dimana harga-harga bersifat tetap given serta output
dan tenaga kerja tergantung pada permintaan. Para pendukung aliran ini percaya bahwa pajak yang rendah dan pengeluran pemerintah yang tinggi akan memberi
dampak positif pada perekonomian. Sebaliknya, aliran klasik berpendapat pada jangka panjang hal tersebut tidak akan berkelanjutan karena harga-harga akan
menyesuaikan serta output dan tenaga kerja berada pada tingkat potensialnya. Pendekatan Keynesian dilakukan dengan analisis teoritis, sedangkan pendekatan
klasik dilakukan dengan analisis empiris jangka panjang.
Analisis teoritis dalam menjelaskan dampak kebijakan fiskal jangka pendek dengan pendekatan Keynesian mengacu pada neraca nasional yang menunjukkan
bahwa komponen PDB yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor neto dapat dibagi menjadi beberapa sub komponen yang umumnya merupakan indikator kebijakan
fiskal. Indikator-indikator fiskal tersebut saling terkait dan berdampak langsung pada indikator-indikator makroekonomi, seperti konsumsi swasta, keseimbangan
transaksi berjalan current account balance, dan PDB. Sedangkan pada jangka panjang ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara
lain kualitas modal manusia, tingkat harga, posisi perekonomian awal, dan perkembangan teknologi Kukk, 2008. Hal ini didasari pada kenyataan peristiwa
di satu periode akan memberi konsekuensi pada periode berikutnya sehingga semakin panjang periode maka semakin rumit analisis hubungan antar kejadian di
satu periode jangka pendek. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi maka untuk mengetahui peran kebijakan
fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang digunakan pendekatan empiris.
Kebijakan fiskal meliputi pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Teori peran kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek
menunjukkan bahwa pengaruh perubahan kedua instrumen tersebut pada output tergantung masing-masing efek pengganda multiplier effect. Analisis dengan
pendekatan Keynesian dalam model IS-LM yang diilustrasikan pada Gambar 22 menunjukkan berkurangnya pajak
ΔT menggeser kurva IS ke kanan sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y
1
ke Y
2
3.1 dimana
perubahannya tergantung efek pengganda pajak tax multiplier effect yaitu: dimana,
ΔY : perubahan output ΔT : perubahan pajak
MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 MPC 1 -MPC1-MPC : tax multiplier effect
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 22. Dampak Penurunan Pajak terhadap Output
Persamaan 3.1 memberi implikasi peningkatan pajak akan menurunkan output karena tax multiplier effect bernilai negatif, sebaliknya penurunan pajak akan
meningkatkan output. Di sisi lain, peningkatan pajak akan menambah sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah. Gambar 23
menunjukkan kenaikan belanja pemerintah sebesar ΔG akan menggeser kurva IS ke kanan sebesar jumlah tersebut sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B
dan output naik dari Y
1
ke Y
2
3.2 . Besar kecilnya perubahan output aktual tersebut
tergantung pada efek pengganda pengeluaran pemerintah government spending multiplier effect
yaitu: dimana,
ΔY : perubahan output ΔG : perubahan belanja pemerintah
MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 MPC 1 11-MPC : government spending multiplier effect
Persamaan 3.2 memberi implikasi bahwa peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan output karena government spending multiplier effect bernilai
positif. Sebaliknya, penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan output.
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 23. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kedua persamaan di atas menunjukkan pengganda pajak tax multiplier
merupakan hasil kali MPC dengan pengganda pengeluaran government spending multiplier
. Namun, karena MPC positif dan keruang dari satu maka pengganda pajak lebih kecil daripada pengganda pengeluaran. Menurut Samuelson dan
Nordhaus 1997 hal ini disebabkan sebagian dari pajak yang berkurang tersebut ditabung. Artinya, jika pemerintah menurunkan pajak 1 US maka hanya sebagian
dari 1 US tersebut dibelanjakan oleh rumahtangga. Sedangkan, jika pemerintah membelanjakan 1 US maka seluruhnya dibelanjakan langsung untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Ini berarati, meskipun keduanya meningkatkan output tetapi peningkatan karena kenaikan belanja pemerintah akan lebih besar daripada
peningkatan karena turunnya pajak. Dengan demikian, jika tambahan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak seluruhnya digunakan untuk belanja pemerintah
maka output akan meningkat lebih besar dibandingkan turunnya output karena kenaikan pajak tersebut. Artinya, jika tambahan penerimaan dari pajak digunakan
untuk membiayai belanja pemerintah secara efektif maka output akan meningkat.
Dalam jangka panjang, ada banyak faktor yang saling terkait dan bervariasi dari waktu ke waktu yang harus diperhitungkan dalam menjelaskan perubahan
ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak hanya faktor-faktor ekonomi tetapi juga faktor-faktor sosial, budaya, lingkungan, geografis, dan sebagainya. Semakin
panjang periode semakin rumit analisis hubungan antara peristiwa-peristiwa ekonomi di suatu periode dengan periode-periode sebelum dan sesudahnya.
Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna dapat menjelaskan hal itu maka diperlukan pendekatan empiris untuk mengetahui pengaruh kebijakan fiskal
pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hasil penelitian Kukk 2008 terhadap data panel 52 negara meliputi negara maju, negara transisi, dan negara
berkembang justru menunjukkan penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak langsung, pajak tidak langsung, dan hibah berpengaruh positif pada pertumbuhan
PDB riil. Hal ini berbeda dengan pendapat Keynesian dimana pajak yang lebih rendah berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Sebaliknya,
pengeluaran pemerintah untuk pegawai, konsumsi, dan bantuan-bantuan sosial berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi, kecuali pengeluaran untuk
investasi memberi pengaruh positif. Hal ini juga bertentangan dengan pendapat Keynesian dimana pengeluaran pemerintah yang lebih besar berdampak positif
pada perekonomian jangka pendek. Selain itu, faktor-faktor lain seperti investasi swasta juga memberi pengaruh positif pada pertumbuhan. Dengan demikian,
temuan dari penelitian tersebut adalah pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan bukan pajak, pengeluaran pemerintah
untuk investasi, dan investasi swasta. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian ini mengenai peran kapasitas fiskal dalam mengentaskan kemiskinan melalui efek
pertumbuhan, maka cukup beralasan jika pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas fiskal terutama dari sumber-sumber pajak daerah dan bagi hasil pajak
untuk memperoleh efek positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Terkait fungsi anggaran keuangan publik sebagai alat kebijakan fiskal, anggaran keuangan publik bertujuan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana peran kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran keuangan publik. Menurut Tanzi 2004, para
pembuat kebijakan diasumsikan hanya mengatur anggaran keuangan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial atau kepentingan umum masyarakat. Tingkat
kesejahteraan sosial dapat diindikasikan oleh beberapa indikator ekonomi dan sosial. Indikator ekonomi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan tenaga kerja, pertumbuhan produktivitas, tingkat inflasi, distribusi pendapatan, dan tingkat pengangguran. Sedangkan, indikator sosial antara lain
angka harapan hidup, insiden kriminalitas, angka melek huruf, kualitas lingkungan fisik, dan insiden kesakitan.
Para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan ekonomi akan fokus pada indikator-indikator ekonomi, sehingga mereka memiliki
persepsi bahwa indikator-indikator ekonomi tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
W = fy
1
, y
2
, …, y
n
dimana, 3.3
W : tingkat kesejahteraan y
i
: indikator ekonomi ke-i
Para pembuat kebijakan meyakini bahwa indikator-indikator ekonomi dipengaruhi oleh perubahan instrumen-instrumen kebijakan tertentu. Dengan
demikian, masing-masing indikator ekonomi merupakan fungsi dari berbagai instrumen kebijakan, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
y
i
= fx
1
, x
2
, …, x
j
dimana, 3.4
y
i
x : indikator ekonomi ke-i
j
Seringkali, suatu instrumen x : kebijakan ekonomi ke-j
j
sangat efisien dalam mempengaruhi suatu indikator spesifik y
i
Desentralisasi Fiskal
. Dalam konteks ini, efisiensi adalah perubahan suatu instrumen sebesar
∆x diperlukan untuk mengubah suatu indikator sebesar ∆y. Jika perubahan instrumen yang kecil dapat menghasilkan perubahan indikator yang
signifikan maka instrumen tersebut dipandang efisien terhadap indikator tersebut. Dengan demikian, jika instrumen-instrumen yang efisien tersebut ada maka
kebijakan untuk mendorong tujuan-tujuan ekonomi akan menjadi lebih mudah. Contoh-contoh instrumen kebijakan antara lain: 1 berbagai jenis pajak; 2 corak
pajak seperti pemotongan pajak dan tingkat pajak; 3 berbagai jenis pengeluaran; dan 4 corak pengeluaran. Sedangkan, instrumen-instrumen ekonomi non-fiskal
yang juga mempengaruhi indikator-indikator sosial ekonomi antara lain: 1 nilai tukar; 2 suku bunga; dan 3 regulasi.
Peran penting keuangan daerah muncul dalam konteks desentralisasi fiskal. Oates 1972 dalam teori desentralisasi berpendapat barang publik seharusnya
disediakan oleh yurisdiksi geografis – dalam hal ini pemerintah daerah - yang menginternalisasi persediaan barang publik serta mencakup kebutuhan konsumsi
seluruh penduduk. Dua faktor utama yang mendukung desentralisasi adalah: 1 umumnya pemerintah pusat lebih fokus pada manajemen kebijakan-kebijakan
makro ekonomi dan mempertahankan stabilitas politik nasional sehingga kurang memperhatikan persediaan kebutuhan layanan sipil kecuali jika melibatkan
investasi padat modal dalam skala besar Rondinelli, 1990 ; 2 Desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah akan meningkatkan efisiensi persediaan berbagai layanan publik karena tingkat pemerintahan yang lebih rendah lebih fokus pada
hal tersebut.
Cheema dan Rondinelli 1983 mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan danatau kewenangan administrasi
dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non
pemerintah. Perbedaan konsep desentralisasi terutama ditentukan berdasarkan tingkat kewenangan perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang
ditransfer oleh pemerintah pusat, dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Ada empat dimensi desentralisasi, yaitu: 1
desentralisasi politik; 2 desentralisasi administrasi; 3 desentralisasi fiskal; dan 4 desentralisasi ekonomi dan pasar. Desentralisasi politik adalah suatu
mekanisme dimana pemerintah pusat memberi kekuasaannya kepada pemerintah
daerah yang dikenal dengan istilah otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam membuat
keputusan publik. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan
untuk memperbaiki efisiensi manajemen dalam menyediakan layanan publik. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan
kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran
yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan
pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Desentralisasi ekonomi dan pasar bertujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi dunia
usaha dan menyediakan barang dan jasa sesuai respon terhadap kebutuhan lokal dan mekanisme pasar. Sebagai bagian dari desentralisasi, desentralisasi fiskal
dapat didefinisikan sebagai devolusi pengalihan kekuasaan perpajakan dan pengeluaran pemerintah kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah
Fukasaku dan de Mello Jr., 1999. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional
atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan revenue assignments, dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas,
desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah.
Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat
meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: 1 pemerintah daerah
dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; 2 pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan
kebutuhan daerah; dan 3 tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga
dan penduduknya Oates, 1972. Teori federalisme fiskal Musgrave 1959 dan Oates 1972 tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan
dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku
pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi. Untuk
menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal
antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah
daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan
penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam
meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi
pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar.
Pengaruh Transfer Fiskal dan Flypaper Effect
Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah intergovenmental fiscal tranfers. Pengaruh transfer
fiskal pada kinerja fiskal pemerintah dareah dapat dijelaskan dengan teori perilaku konsumen menggunakan format kendala anggaran dan kurva indeferens yang
dipelopori oleh Wilde 1968. Pada Gambar 24 kurva indeferens U
, U
1
, dan U
2
menggambarkan preferensi masyarakat dengan kendala anggaran pendapatan yang digambarkan dengan garis “Y” dan “Y+Grant” dimana masyarakat dianggap
berperilaku rasional memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Transfer bersyarat conditional transfer sebesar “Grant” akan memutar garis
anggaran ke atas dari “Y” menjadi “Y+Grant” sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Konsekuensinya adalah konsumsi barang publik meningkat dari Z
menjadi Z
1
. Sementara, pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang publik tergantung pada elastisitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan
meningkatkan konsumsi barang privat jika pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak, sehingga konsumsi barang privat meningkat dari X
1
menjadi X
2
. Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian mengakibatkan kenaikan konsumsi
barang publik dan sebagian lagi mengakibatkan kenaikan konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui turunnya tarif pajak.
Sumber: Kuncoro 2004
Gambar 24. Pengaruh Transfer Bersyarat Conditional Transfer Dengan pendekatan yang sama, bantuan tidak bersyarat unconditional
transfer sebesar “Grant” akan menggeser garis anggaran ke atas dari “Y” ke
“Y+Grant” Gambar 25. Dengan asumsi barang publik adalah barang normal, transfer fiskal yang bersifat umum lump-sum akan meningkatkan keseimbangan
konsumen dari E pada kurva indiferens U
menjadi E
M
pada kurva indiferens U
1
. Pada titik keseimbangan baru, konsumsi barang publik meningkat dari Z ke
Z
1
dan konsumsi barang privat meningkat dari X ke X
1
. Dengan sifatnya yang tidak bersyarat, tekanan fiskal pada basis pajak lokal menurun sehingga
penerimaan pajak turun sebesar - ∆TR. Sementara pengeluaran untuk konsumsi
barang publik tetap meningkat akibat meningkatnya pendapatan pemerintah dari unconditional transfer
tersebut. Hal ini berarti transfer fiskal mengurangi beban
pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu meningkatkan pajak untuk menyediakan barang publik. Dengan perkataan lain, anggaran transfer dari
pemerintah pusat merupakan substitusi pajak daerah. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali transfer fiskal tidak bersyarat dimana
transfer tidak menjadi substituti pajak daerah Gramlich, 1977. Pada Gambar ditunjukkan keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer bukan di titik
E
M
melainkan di titik E
FP
dimana konsumsi barang publik meningkat dari Z ke
Z
2
dan konsumsi barang privat berkurang dari X ke X
2
. Artinya, belanja publik meningkat lebih besar dari titik keseimbangan awal sedangkan belanja privat lebih
rendah. Berkurangnya konsumsi barang privat disebabkan naiknya pajak daerah sebesar ΔTR. Dengan perkataan lain, transfer tidak bersyarat akan meningkatkan
belanja publik tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Dalam berbagai literatur, kondisi ini disebut flypaper effect. Fenomena flypaper effect akan
berimplikasi pada meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang melebihi penerimaan transfer itu sendiri Turnbull, 1998.
Sumber: Kuncoro 2004
Gambar 25. Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat Unconditional Transfer Istilah flypaper effect muncul dari pemikiran Arthur Okun yaitu “money
sticks where it hits ” Hines dan Thaler, 1995. Hal ini terjadi karena transfer fiskal
ke sektor publik tetap berada di sektor tersebut dan tidak didistribusikan ke sektor swasta dalam bentuk pajak yang lebih rendah. Sampai saat ini, belum ada padanan
kata flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga studi-studi terkait flypaper effect
di Indonesia menggunakan istilah ini apa adanya tanpa diterjemahkan. Ada dua teori utama yang mendasari kajian-kajian mengenai penyebab flypaper effect,
yaitu ilusi fiskal fiscal illusion dan model birokratik bureaucratic model Saruc dan Sagbas, 2008. Teori ilusi fiskal didasari pada pemikiran bahwa masyarakat
memiliki keterbatasan informasi mengenai anggaran pemerintah daerahnya. Teori ilusi fiskal yang dikemukakan Oates 1999 menjelaskan flypaper effect terjadi
karena masyarakat tidak memahami bahwa biaya penyediaan barang publik yang turun adalah biaya rata-rata atau biaya marjinal. Namun, masyarakat hanya tahu
bahwa harga barang publik akan turun jika pemerintah daerah menerima transfer fiskal. Jika permintaan barang publik tidak elastis maka transfer menyebabkan
kenaikan pajak. Artinya, flypaper effect terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap anggaran pemerintah daerah. Sedangkan model birokratik didasari pada
pemikiran bahwa birokrat memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan publik. Pada model birokratik yang dipelopori Niskanen 1968 flypaper effect
terjadi akibat perilaku memaksimalkan anggaran oleh birokrat daerah atau politisi lokal yang lebih mudah dengan cara menghabiskan transfer dari pada menaikkan
pajak. Hal ini disebabkan birokrat memaksimalkan anggaran untuk menyediakan barang publik sehingga biaya rata-rata barang publik sama dengan harganya.
Tetapi, ketika biaya marjinalnya lebih tinggi dari harganya maka kuantitas barang publik menjadi terlalu banyak. Dengan demikian, transfer akan menurunkan harga
barang publik sehingga memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran. Dengan perkataan lain, pada model birokratik, flypaper effect terjadi
karena perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer dari pada menaikkan pajak.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang meningkatkan produksi barang dan jasa sebagai akibat
meningkatnya faktor-faktor produksi dalam kuantitas dan kualitas. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari perubahan sisi penawaran atau aggregate supply
AS dan perubahan sisi permintaan atau aggregate demand AD. Penelitian ini menggunakan pendekatan produksi sektoral sehingga kajian teori hanya dibatasi
pada pertumbuhan ekonomi sisi penawaran. Untuk itu, perlu diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan penawaran sehingga terjadi pertumbuhan
ekonomi. Menurut Dornbusch, et al. 2008, pertumbuhan ekonomi terkait dengan pertumbuhan input tenaga kerja dan modal dan perbaikan teknologi yang dapat
melekat pada tenaga kerja dan modal. Output dapat tumbuh karena kenaikan input dan produktivitas yang disebabkan oleh perbaikan teknologi. Dengan demikian,
teori pertumbuhan ekonomi adalah penjelasan logis mengenai proses terjadinya pertumbuhan yang melibatkan dua hal, yaitu: 1 faktor-faktor yang menentukan
kenaikan output; dan 2 bagaimana interaksi antar faktor tersebut sehingga terjadi pertumbuhan. Ada dua periode dimana studi tentang teori pertumbuhan dilakukan
secara intensif, yaitu tahun 1950an–1960an dan tahun 1980an–1990an. Periode pertama menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori Robert Solow
yang fokus pada akumulasi modal dan peran teknologi. Sedangkan, periode kedua menghasilkan teori pertumbuhan endogen yang fokus pada determinan teknologi.
Model Pertumbuhan Solow
Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada
sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga
kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut Dornbusch, et al., 2008:
Y = A.FK, N 3.5
dimana,
Y : output K : modal
N : tenaga kerja A : teknologi
Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan
modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium keseimbangan yang mapan. Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita
YN = y dan modal per kapita KN = k stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah
Δy = 0 dan Δk = 0. Ilustrasi pada Gambar 26 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan
oleh y dan k. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan
untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : 1 jika
tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita k dan ouput per kapita y meningkat; 2 jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan
maka modal per kapita k dan output per kapita y berkurang.
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 26. Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale CRS
yaitu y = fk dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal MPK yang berkurang diminishing positive marginal
product of capital . Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan
output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu:
Y = AK
θ
N
1- θ
Fungsi produksi per kapitanya adalah: 3.6
y = YN = AK
θ
N
1- θ
N = AK
θ
N
- θ
N = AKN
θ
= Ak
θ
3.7
Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita k pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n = ΔNN dan tingkat
depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan,investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = n+dk. Selanjutnya,
dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan s maka
tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka:
sy = sfk 3.8
Perubahan modal per kapita Δk adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu:
Δk = sy – n+dk 3.9
Selanjutnya, kondisi steady-state Δk = 0 terjadi pada y dan k yang memenuhi: sy = sfk = n+dk
3.10 Solusi steady-state pada Gambar 26 menunjukkan bahwa kurva sy adalah
tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus n+dk adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja k
agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis
tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k. Sementara steady-state pendapatan terletak
pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan sy n+dk maka k akan meningkat dan
perekonomian bergerak ke kanan. Sebagai contoh, ketika perekonomian diawali pada k
Namun, model Solow menunjukkan bahwa pada jangka panjang tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang terjadi karena jika pendapatan per
kapita y konstan maka pendapatan agregat Y akan tumbuh pada tingkat yang sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk n. Ilustrasi yang disajikan pada
Gambar 27 menunjukkan bahwa pada jangka pendek kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat pertumbuhan output. Pada jangka panjang
kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat modal per kapita dan output perkapita sehingga tingkat pertumbuhan tidak berubah.
Perekonomian diawali pada steady-state equilibrium di titik C yaitu tabungan sama dengan
investasi yang dibutuhkan sy = n+dk. Ketika tabungan naik dari sy ke s maka tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan sehingga modal per kapita naik dari
k
ke k dan output per kapita naik dari y ke y yang ditunjukkan pada titik C .
Pada titik tersebut kenaikan jumlah tabungan mampu menambah stok modal per kapita sehingga modal per kapita dan output per kapita meningkat. Tetapi, pada
titik C perekonomian telah kembali pada tingkat pertumbuhan n dari steady-state nya. Dengan demikian, dengan fungsi produksi CRS kenaikan tingkat tabungan
hanya akan menaikkan tingkat output per kapita y dan modal per kapita k dalam jangka panjang, sementara tingkat pertumbuhan output per kapita tetap.
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 27. Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 28. Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi Model pertumbuhan Solow juga menunjukkan peran teknologi sebagai
variabel eksogen yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pada ulasan sebelumnya, teknologi diasumsikan konstan
ΔAA = 0. Akan tetapi, teknologi diperlukan untuk menjelaskan teori pertumbuhan jangka panjang. Jika laju pertumbuhan
teknologi sebesar g atau ΔAA = g, maka fungsi produksi y = Afk naik sebesar g
persen per tahun dan fungsi tabungan sy akan tumbuh secara paralel. Sehingga,
pada kondisi seimbang y dan k akan tumbuh sepanjang waktu. Parameter teknologi A dapat masuk ke dalam fungsi produksi melalui dua cara, yaitu:
dengan tabungan A lebih besar dari investasi yang dibutuhkan untuk menjaga supaya k konstan B maka modal akan diakumulasi untuk mencapai k
yang berhenti pada titik C dimana tabungan sama dengan investasi yang dibutuhkan sy = n+dk. Pada saat investasi aktual dan investasi yang
dibutuhkan tersebut telah seimbang maka modal per tenaga kerja k tidak naik dan tidak turun yang berarti perekonomian telah mencapai kondisi steady-state.
Implikasi penting dari model pertumbuhan Solow adalah negara-negara dengan tingkat tabungan, tingkat pertumbuhan populasi, dan teknologi yang sama atau
dengan perkataan lain memiliki fungsi produksi yang sama akan konvergen pada pendapatan yang sama meskipun prosesnya lambat.
1. Secara labour augmenting. Dengan cara ini teknologi baru dapat
meningkatkan produktivitas tenaga kerja, melalui fungsi produksi Y = FK, AN. S
ehingga Δyy = θ x Δkk + [1-θ x ΔAA] atau g = ΔAA = [Δyy – θ x Δkk] 1-θ. Pada keseimbangan, output per kapita y dan modal per
kapita k tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi g dimana Y dan K tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi ditambah tingkat pertumbuhan
populasi g+n. Dalam model ini upah riil juga tumbuh pada tingkat g.
2. Teknologi melipatkgandakan semua faktor melalui fungsi produksi Y =
AFK, N. Komponen A disebut Total Factor Productivity TFP karena melipatgandakan semua faktor tidak hanya tenaga kerja. Dengan fungsi
produksi tersebut maka g = Δyy – θΔkk, yang dikenal juga sebagai Solow
Residual. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan Solow adalah :
1. Pertumbuhan output adalah fungsi pertumbuhan input terutama modal dan
tenaga kerja dimana pengaruhnya tergantung pada proporsi setiap faktor 2.
Tenaga kerja adalah input paling penting 3.
Tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan jangka panjang 4.
Pertumbuhan jangka panjang dihasilkan dari perbaikan teknologi 5.
Jika tidak ada perbaikan teknologi maka output per kapita akan konvergen ke nilai steady-state yang secara positif bergantung pada tingkat tabungan dan
secara negatif bergantung pada laju pertumbuhan populasi.
Model Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Romer 1986 dan Lucas 1988 dikembangkan untuk menjawab pertentangan model pertumbuhan Solow
baik secara teoritis maupun empiris yang tidak menjelaskan determinan teknologi sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan jangka panjang. Selain itu, teori
pertumbuhan Solow yang memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat tabungan tidak berkorelasi pada kondisi steady-state tidak terbukti karena
studi-studi empiris di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi positif antara tingkat tabungan dan pertumbuhan Dornbusch, et al., 2008.
Model pertumbuhan endogen yang menjelaskan determinan pertumbuhan ekonomi jangka panjang berawal dari pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan hasil sistem ekonomi yang endogen, bukan kekuatan-kekuatan yang datang dari luar atau eksogen. Teori pertumbuhan endogen menekankan pada
peluang pertumbuhan yang berbeda dari modal fisik physical capital dan modal pengetahuan knowledge capital. Dengan demikian, model pertumbuhan endogen
merupakan perluasan model pertumbuhan Solow dengan menambahkan variabel modal manusia human capital. Kenaikan investasi pengetahuan merupakan
kunci yang menghubungkan tingkat tabungan yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan keseimbangan yang tinggi. Teori pertumbuhan endogen bertumpu
pada konsep external returns to capital yang besar terutama dari modal manusia khususnya investasi pengetahuan. Karena pengetahuan dapat tumbuh tanpa batas
maka investasi modal manusia serta penelitian dan pengembangan merupakan kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pada model pertumbuhan endogen, perubahan teknologi, suku bunga, dan perubahan jumlah penduduk merupakan variabel-variabel endogen. Sementara,
modal berperan lebih besar jika tidak hanya dalam bentuk modal fisik physical capital
tetapi juga modal pengetahuan knowledge capital. Secara sederhana, model pertumbuhan endogen dinyatakan dalam fungsi produksi agregat:
Y = A.FK, H, N 3.11
dimana, Y : output
K : modal fisik H : modal manusia akumulasi pendidikan dan kesehatan
N : tenaga kerja A : teknologi
Sumber: Dornbusch, et al. 2008
Gambar 29. Model Pertumbuhan Endogen Mekanisme model pertumbuhan endogen pada Gambar 29 menunjukkan
fungsi produksi diasumsikan memiliki MPK konstan atau berbentuk garis lurus sehingga kurva tabungan sy secara paralel juga berbentuk garis lurus. Namun,
karena tidak ada kecenderungan kurva tabungan menurun maka tingkat tabungan selalu melebihi investasi yang dibutuhkan sy n+dk. Proses perekonomian
yang membawa ke pertumbuhan endogen dapat dijelaskan secara aljabar sederhana yaitu dengan asumsi fungsi produksi constant MPK dan modal adalah
satu-satunya faktor produksi maka secara spesifik output proporsional terhadap stok modal atau:
Y = aK 3.12
Secara sederhana, MPK adalah konstanta a. Dengan asumsi tingkat tabungan konstan s dan tidak ada pertumbuhan penduduk maupun depresiasi modal n = d
= 0 maka seluruh tabungan digunakan untuk meningkatkan modal, sehingga:
sY = saK 3.13
atau ΔKK = sa
3.14
Persamaan 3.14 menunjukkan tingkat pertumbuhan modal ΔKK proporsional terhadap tingkat tabungan s. Selanjutnya, karena output proporsional terhadap
modal maka tingkat pertumbuhan output adalah: ΔYY = sa
3.15 Persamaan 3.15 mengindikasikan semakin tinggi tingkat tabungan s semakin
tinggi tingkat pertumbuhan output ΔYY. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan endogen adalah:
1. Pertumbuhan output bergantung pada tingkat perkembangan teknologi
2. Perkembangan teknologi bergantung pada tingkat tabungan khususnya yang
diarahkan untuk pengembangan modal manusia human capital 3.
Tingkat tabungan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang rendah, orientasi outward looking
, dan lingkungan perekonomian yang dapat diprediksi merupakan faktor-faktor penting yang mendukung pertumbuhan.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran disusun berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori. Kerangka pemikiran penelitian
yang disajikan pada Gambar 30 menggambarkan dampak meningkatnya kapasitas fiskal terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Sesuai konsep-konsep keuangan
daerah, kapasitas fiskal dapat ditingkatkan melalui sumber-sumber PAD dan bagi hasil pajak. Meningkatnya penerimaan pajak daerah akan meningkatkan PAD,
sementara peningkatan penerimaan pajak nasional khususnya dari pajak-pajak penghasilan dan pajak-pajak properti tertentu akan meningkatan penerimaan bagi
hasil pajak. Sesuai pendapat aliran klasik, pada jangka panjang peningkatan pajak berdampak positif pada perekonomian. Sementara aliran Keynesian berpendapat
bahwa pada jangka pendek peningkatan pengeluaran pemerintah akan berdampak positif pada perekonomian. Kedua pendapat tersebut selanjutnya menjadi dasar
kerangka pemikiran penelitian ini. Peningkatan penerimaan daerah dari kapasitas fiskal menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja-belanja daerah.
Di sisi lain, kenaikan penerimaan pajak nasional akan meningkatkan penerimaan daerah dari DAU sehingga menambah sumber keuangan daerah.
Namun, studi-studi empiris terdahulu menunjukkan adanya fenomena flypaper effect
pada DAU dimana belanja daerah lebih responsif terhadap kenaikan DAU dari pada kenaikan pendapatan lokal atau dalam hal ini kapasitas fiskal.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terindikasi tidak pro-poor menjadi alasan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya
mengutamakan instrumen DAU tidak mengacu pada strategi pertumbuhan pro- poor. Hal ini menjadi dasar pemikiran penelitian ini yaitu strategi pertumbuhan
pro-poor lebih mengandalkan penerimaan daerah dari sumber-sumber lokal yaitu kapasitas fiskal. Belanja daerah yang lebih besar meningkatkan output sehingga
menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah dalam ukuran perubahan PDRB riil. Output yang lebih besar akan meningkatkan upah riil tenaga kerja sehingga
meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penggunaan indikator upah riil karena lebih mampu menggambarkan daya beli penduduk sehingga lebih mencermikan
tingkat pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran untuk konsumsi meningkat.
Dengan konsep kemiskinan pendapatan income poverty, pengeluaran per kapita
yang lebih besar akan mengurangi jumlah penduduk miskin sehingga tingkat kemiskinan berkurang. Selain itu, pertumbuhan pro-poor memperbaiki distribusi
pendapatan sehingga menambah pengaruh meningkatnya pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB per kapita akan
meningkatkan penerimaan negara dari pajak sehingga kemampuan negara untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya ke daerah dalam bentuk DAU
meningkat. Tetapi, sesuai formula alokasi DAU dimana PDRB yang lebih besar akan mengurangi DAU sehingga PDRB yang terus meningkat secara bertahap
akan menurunkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU.
Pajak daerah Pajak
nasional Bagi hasil
pajak Kapasitas
fiskal Belanja
daerah PDRB
Upah Riil Pengeluaran
perkapita Kemiskinan
Indeks Gini Dana Alokasi
Umum
Flypaper effect Pro-poor growth
strategy
Pendapatan Asli Daerah
Keterangan Pengaruh langsung
Asumsi
Gambar 30. Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Penelitian
Hipotesis umum yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1.
Pertumbuhan ekonomi daerah adalah faktor penting dalam meningkatkan kapasitas fiskal.
2. Ada perbedaan perilaku pemerintah daerah dalam mengalokasikan DAU
dan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja-belanja sektoral. 3.
Ketimpangan pendapatan yang lebih rendah menambah peran pertumbuhan ekonomi daerah dalam mengentaskan kemiskinan.
4. Kapasitas fiskal berdampak positif pada pertumbuhan pro-poor daerah yaitu
pertumbuhan ekonomi daerah diikuti turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian.
5. Kapasitas fiskal dapat mengurangi ketergantungan daerah pada DAU.
Halaman ini sengaja dikosongkan
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kapasitas Fiskal Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun pendapatan dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Jika mengacu pada UU
No.332004 pasal 28, potensi daerah dicerminkan oleh PAD dan dana bagi hasil. Sesuai asas money follow functions dimana penyerahan kewenangan daerah dalam
penyelenggaraan sistem otonomi daerah disertai dengan penyerahan sumber- sumber pembiayaan daerah yang sebelumnya dikuasai pemerintah pusat termasuk
di dalamnya PAD dan dana bagi hasil maka kapasitas fiskal yang bersumber dari PAD dan bagi hasil merupakan faktor penting bagi pembangunan desentralisasi di
Indonesia.
Istilah kapasitas fiskal memiliki dua terminologi yang tercantum setidaknya dalam tiga peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 332004 dan PP No.
552005 kapasitas fiskal adalah pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan
pajak ke daerah tax assignments, sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam
daerah yang diberikan ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal
dan kapasitas fiskal di masing-masing provinsi dan kabupatenkota. Selain itu, istilah kapasitas fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal
daerah sebagai dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK yang diterbitkan setiap tahun. Dalam
PMK No. 226PMK.072012, kapasitas fiskal merupakan rasio total penerimaan daerah PAD, Dana Bagi Hasil, DAU dan penerimaan lain-lain setelah dikurangi
belanja pegawai dan jumlah penduduk miskin. Penelitian ini menggunakan konsep kapasitas fiskal yang pertama yaitu akumulasi PAD dan dana bagi hasil
dengan alasan konsep kapasitas fiskal tersebut merupakan alokator DAU dan terkait permasalahan penelitian yaitu keuangan daerah yang sangat tergantung
pada DAU sementara kemampuan kapasitas fiskal rendah. Selain itu, konsep ini paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait dampak
kebijakan fiskal terhadap perekonomian dan tingkat kemiskinan dalam kerangka penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan sumber- sumber pajak tax objects dan tingkat hasil buouyancy dari objek pajak karena
pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan yang mempengaruhi
pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara
kualitatif dan kuantitatif Makmun, 2008. Sumber-sumber pendapatan potensial daerah juga menentukan tingkat kemampuan keuangan daerah. Setiap daerah
memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin
pada PAD. Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
dalam http:www.fiskal.depkeu.go.idwebbkf yang menggunakan data panel 26 provinsi tahun 2002-2004 dengan metode regresi path analysis menemukan
adanya hubungan yang signifikan positif antara pajak daerah dan bagi hasil pajak dengan kapasitas fiskal. Sedangkan hubungan retribusi daerah dengan kapasitas
fiskal tidak signifikan. Dengan demikan, pajak daerah dan bagi hasil pajak merupakan sumber-sumber pendapatan daerah yang berperan meningkatkan
kapasitas fiskal. Berdasarkan termuan tersebut maka penelitian ini menggunakan instrumen pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk meningkatkan kapasitas fiskal.
Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan di wilayah tersebut kepada pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa tolok ukur untuk menilai pajak daerah adalah hasil
yields, keadilan equity, daya guna ekonomi economic efficiency, kemampuan melaksanakan ability to implement, dan kecocokan sebagai sumber penerimaan
pajak daerah sustainability as local revenue source Devas, 1989. Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia, pemungutan pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai
UU No. 282009 yang meliputi:
1. Pajak Provinsi, terdiri dari:
a. Pajak kendaraan bermotor
b. Bea balik nama kendaraan bermotor
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak air permukaan
e. Pajak rokok cukai
2. Pajak KabupatenKota, terdiri dari:
a. Pajak hotel
b. Pajak restoran
c. Pajak hiburan
d. Pajak reklame
e. Pajak penerangan jalan
f. Pajak mineral bukan logam dan batuan
g. Pajak parkir
h. Pajak air tanah
i. Pajak sarang burung walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan PBB perdesaan dan perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB
Menurut Bird 2011 jika pemerintah daerah lebih boros bigger spenders akibat implementasi desentralisasi pengeluaran expenditure decentralization
maka untuk responsibilitas dan akuntabilitas fiskal maka pengeluaran yang besar tersebut seharusnya diikuti kemampuan mengumpulkan pajak daerah yang lebih
besar bigger taxers yang mencerminkan berjalannya desentralisasi penerimaan revenue decentralization. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah maka perlu dilakukan reformasi pajak daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Untuk meningkatkan pendapatan pajak daerah,
pemerintah telah berupaya meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas objek pajak melalui kegiatan-kegiatan ekstensifikasi pajak antara lain canvassing
penyisiran wajib pajak, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP, dan
Sensus Pajak Nasional. Sedangkan, upaya-upaya intensifikasi pajak dilakukan untuk mengoptimalkan penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak dan
subjek pajak yang telah tercatat, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan di daerah. Berdasarkan UU No. 282009, pemerintah daerah
memiliki kewenangan lebih luas untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan prinsip-prinsip pungutan daerah yang baik Nota Keuangan
RAPBN, 2013. Selain itu, pemerintah daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan pengenaan pajak dan retribusi, mengelola pajak pusat yang dialihkan
menjadi pajak daerah, dan menambah jenis-jenis pajak baru untuk memperluas basis pajak di daerah. Akan tetapi, berbagai upaya di bidang perpajakan dengan
menggali potensi cakupan pajak tax coverage dan meningkatkan kepatuhan pajak tax compliance dari masyarakat seringkali menghadapi berbagai hambatan
baik dari wajib pajak masyarakat, aparatur pajak, dan sistem perpajakan. Oleh karena itu, permasalahan pajak harus ditangani secara sinergis dan komprehensif.
Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah dana bagi hasil. Sumber keuangan ini merupakan transer dari APBN berdasarkan suatu nilai persentase tertentu yang
diatur dalam UU No. 332004. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Bagi hasil pajak bersumber dari PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri WPOPDN, PPh Pasal 21, Pajak Bumi dan Bangunan PBB, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan BPHTB dengan imbangan untuk pusat dan daerah sebagai berikut: 1.
Pajak-pajak penghasilan PPh a.
80 untuk pemerintah pusat b.
20 untuk pemerintah daerah 1
8 untuk provinsi yang bersangkutan 2
12 untuk kabupatenkota dalam provinsi yang bersangkutan a
8.4 untuk kabupatenkota tempat wajib pajak terdaftar b
3.6 untuk seluruh kabupatenkota dalam provinsi secara merata 2.
Pajak Bumi dan Bangunan PBB a.
10 untuk pemerintah pusat 1
6.5 dibagikan secara merata kepada seluruh kabupatenkota 2
3.5 dibagikan sebagai insentif kepada kabupatenkota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan
sektor tertentu b.
90 untuk pemerintah daerah 1
16.2 untuk provinsi yang bersangkutan 2
64.8 untuk kabupatenkota yang bersangkutan 3
9.0 untuk biaya pemungutan 3.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB a.
20 untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dibagikan secara merata kepada seluruh kabupatenkota.
b. 80 untuk pemerintah daerah
1 16 untuk provinsi yang bersangkutan
2 64 untuk kabupatenkota penghasil
Sedangkan, bagi hasil sumber daya alam meliputi: 1.
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH dan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH dari wilayah daerah
yang bersangkutan
a. 20 untuk pemerintah pusat
b. 80 untuk pemerintah daerah
2. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi
a. 60 untuk pemerintah pusat
b. 40 untuk pemerintah daerah
3. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan a.
20 untuk pemerintah pusat b.
80 untuk pemerintah daerah 4.
Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional a.
20 untuk pemerintah pusat b.
80 untuk seluruh kabupatenkota 5.
Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai peraturan perundang-undangan a.
84.5 untuk pemerintah pusat b.
15.5 untuk pemerintah daerah 6.
Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai peraturan perundang-undangan a.
69.5 untuk pemerintah pusat b.
30.5 untuk pemerintah daerah 7.
Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak
a. 20 untuk pemerintah pusat
b. 80 untuk pemerintah daerah
Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011
Provinsi Proporsi Bagi
hasil SDA
1
Pertumbuhan Ekonomi
Indeks Gini
Persentase penduduk
miskin Kalimantan Timur
52.8 3.93
0.38 6.8
Riau 50.0
5.01 0.36
8.5 Kepulauan Riau
35.6 6.67
0.32 7.4
Sumatera Selatan 24.0
6.50 0.34
14.2 Kalimantan Selatan
19.9 6.12
0.37 5.3
Indonesia 6.46
0.41 12.5
Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan R.I. Catatan:
1
Proporsi pada total pendapatan daerah data agregat provinsi dan kabkota
2
Kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan bagi hasil sumber daya alam yang sangat besar antar provinsi dan kabupatenkota.
Sesuai formula penghitungannya, dana bagi hasil sumber daya alam SDA yang diterima daerah sangat tergantung pada output pertambangan dan penggalian,
sehingga provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam di sektor pertambangan dan penggalian menerima bagi hasil SDA paling besar. Namun, kekayaan sumber
Perubahan PDB Riil Harga konstan tahun 2000
daya alam seringkali tidak sejalan dengan kondisi perekonomian daerah. Provinsi- provinsi dengan komposisi bagi hasil SDA paling besar tidak serta merta memiliki
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah Tabel 5. Pada tahun 2011, provinsi Kalimantan Timur menerima proporsi bagi hasil SDA
paling besar, tetapi pertumbuhan ekonominya hanya 3.93 atau jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6.46. Sedangkan,
provinsi Sumatera Selatan yang hanya memiliki komposisi bagi hasil SDA sekitar seperempat dari total penerimaan daerahnya, ekonominya tumbuh cukup tinggi
yaitu 6.50. Namun demikian, angka kemiskinannya cukup tinggi yaitu 14.2 bahkan lebih besar dari pada angka kemiskinan nasional yaitu 12.5. Perbedaan
bagi hasil SDA yang sangat besar antar daerah menjadi alasan bahwa komponen kapasitas fiskal tersebut tidak menjadi fokus penelitian ini.
Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 1. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Gambar 1 menunjukkan komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan
daerah di provinsi DKI Jakarta merupakan yang terbesar bahkan meningkat dari 93.5 menjadi 94.6 selama periode 2005-2011. Tingginya kapasitas fiskal
terutama bersumber dari PAD dan bagi hasil pajak. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal terbesar adalah Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan
Riau, dan Sumatera Selatan. Kapasitas fiskal di keempat provinsi tersebut terutama bersumber dari bagi hasil SDA. Sementara, Sulawesi Barat memiliki
komposisi kapasitas fiskal paling rendah yaitu 11.4 pada tahun 2011 bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yaitu 16.1. Empat provinsi lain dengan
komposisi kapasitas fiskal paling rendah adalah NTT, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Secara rata-rata, komposisi kapasitas fiskal per provinsi turun
dari 35.2 pada tahun 2005 menjadi 31.2 pada tahun 2011. Penyebab turunnya komposisi kapasitas fiskal dapat ditinjau dari sumber-sumbernya. Gambar 2
menunjukkan komposisi PAD pada total pendapatan daerah rata-rata meningkat dari 15.5 menjadi 16.3. Namun peningkatan ini terutama disebabkan kenaikan
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0 90,0
100,0
S ul
ba r
NT T
Gor on
ta lo
M a
luk u
S ul
tr a
P a
pua S
ul ut
S ul
te ng
B e
ng k
ul u
M a
lut S
um ba
r NA
D K
al b
ar P
ap u
a B ar
at S
ul se
l La
m pung
NT B
K a
lt e
ng Ja
te ng
S um
ut DI
Y Ja
ti m
B a
be l
Jab ar
Ja m
bi B
a li
B a
nt e
n K
a ls
e l
S um
se l
K e
pr i
R ia
u K
a lt
im D
K I
ra ta
-r a
ta
2005 2011
komposisi PAD di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau masing-masing 7.9 persen poin, 6.6 persen poin, dan 4.1 persen poin. Sementara, komposisi PAD di
17 provinsi justru berkurang.
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 2. Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 3. Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah Sedangkan, rata-rata komposisi bagi hasil pajak selama periode 2005-2011
turun dari 11.1 menjadi 6.8 per provinsi per tahun Gambar 3. Turunnya komposisi bagi hasil pajak terjadi di semua provinsi terutama Papua Barat yang
24.8 menjadi 7.1 atau penurunannya sekitar 17.7 persen poin. Berkurangnya penerimaan daerah dari bagi hasil pajak dapat disebabkan karena pengalihan PBB
menjadi pajak daerah sejak tahun 2011. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa komposisi bagi hasil pajak di semua provinsi pada tahun 2010 berkurang kecuali
DKI Jakarta, Riau, DIY, Bali, dan Jawa Tengah. Hal ini dapat menjadi indikasi
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
S ul
ba r
NT T
Gor on
ta lo
M a
luk u
S ul
tr a
P a
pua S
ul ut
S ul
te ng
B e
ng k
ul u
M a
lut S
um ba
r NA
D K
al b
ar P
ap u
a B ar
at S
ul se
l La
m pung
NT B
K a
lt e
ng Ja
te ng
S um
ut DI
Y Ja
ti m
B a
be l
Jab ar
Ja m
bi B
a li
B a
nt e
n K
a ls
e l
S um
se l
K e
pr i
R ia
u K
a lt
im D
K I
ra ta
-r a
ta
2005 2011
0,0 5,0
10,0 15,0
20,0 25,0
30,0 35,0
40,0 45,0
S ul
ba r
NT T
Gor on
ta lo
M a
luk u
S ul
tr a
P a
pua S
ul ut
S ul
te ng
B e
ng k
ul u
M a
lut S
um ba
r NA
D K
al b
ar P
ap u
a B ar
at S
ul se
l La
m pung
NT B
K a
lt e
ng Ja
te ng
S um
ut DI
Y Ja
ti m
B a
be l
Jab ar
Ja m
bi B
a li
B a
nt e
n K
a ls
e l
S um
se l
K e
pr i
R ia
u K
a lt
im D
K I
ra ta
-r a
ta
2005 2010
2011
bahwa penurunan komposisi bagi hasil pajak juga terjadi pada sumber bagi hasil pajak selain PBB yaitu PPh. Hal serupa terjadi pada komposisi bagi hasil SDA
yang rata-rata turun dari 8.6 menjadi 8.1 terutama di Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang merupakan
daerah penerima bagi hasil SDA terbesar di Indonesia Gambar 4.
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 4. Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah
Dana Alokasi Umum Formula DAU
Dana Alokasi Umum DAU adalah transfer fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat hibah block grant bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan
horizontal horizontal imbalance antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah. Dana ini digunakan
untuk mendanai kebutuhan fiskal daerah. Sesuai amanat kebijakan desentralisasi fiskal, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai prioritas
dan kebutuhan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 332004 dan PP No. 552005 menyebutkan bahwa total
DAU dalam APBN ditetapkan sekurang-kurangnya 26 dari Pendapatan Dalam Negeri PDN Neto. PDN Neto adalah Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan
Negara Bukan Pajak PNBP setelah dikurangi dana bagi hasil dan subsidi. Tetapi jika perubahan APBN menyebabkan PDN Neto bertambah atau berkurang maka
besaran DAU yang telah ditetapkan tidak berubah. Perbedaan proporsi DAU provinsi dan kabupatenkota terjadi karena perbedaan bobot urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupatenkota. Jika penentuan proporsi kewenangan belum dapat dihitung secara kuantitatif maka proporsi DAU
ditetapkan 10 untuk provinsi dan 90 untuk kabupatenkota. DAU disalurkan ke setiap daerah oleh Kementerian Keuangan R.I. secara berkala setiap bulan
sebesar 112 satu per duabelas dari plafon yang telah ditetapkan.
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
S ul
ba r
NT T
Gor on
ta lo
M a
luk u
S ul
tr a
P a
pua S
ul ut
S ul
te ng
B e
ng k
ul u
M a
lut S
um ba
r NA
D K
al b
ar P
ap u
a B ar
at S
ul se
l La
m pung
NT B
K a
lt e
ng Ja
te ng
S um
ut DI
Y Ja
ti m
B a
be l
Jab ar
Ja m
bi B
a li
B a
nt e
n K
a ls
e l
S um
se l
K e
pr i
R ia
u K
a lt
im D
K I
ra ta
-r a
ta
2005 2011
DAU dialokasikan sesuai formula yang dibuat dalam empat tahap dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, yaitu:
1. Tahapan akademis
Merupakan tahap pembuatan konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU yang dilakukan oleh tim independen dari
berbagai universitas dengan tujuan memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai ketentuan undang-undang dan karakteristik otonomi daerah
di Indonesia.
2. Tahapan administratif
Merupakan tahap koordinasi dengan instansi terkait untuk menyiapkan data dasar penghitungan DAU termasuk kegiatan konsolidasi dan verifikasi data
untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan DJPK.
3. Tahapan teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan oleh pemerintah pusat kepada DPR RI berdasarkan formula
DAU sebagaimana diamanatkan undang-undang dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.
4. Tahapan politis
Merupakan tahap akhir pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara pemerintah pusat dengan Panitia Belanja Daerah di Panitia Anggaran DPR RI
untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU.
Formula DAU disusun dengan pendekatan celah fiskal fiscal gap dan alokasi dasar. Celah fiskal mencerminkan ketidakmampuan daerah dalam
membiayai pembangunan daerahnya dari sumber keuangan lokal dan dihitung sebagai selisih kebutuhan fiskal fiscal needs dan kapasitas fiskal fiscal
capacity
. Sedangkan alokasi dasar mencerminkan kebutuhan unsur aparatur negara di daerah dan dihitung dari total gaji PNS daerah. Dengan demikian, DAU
bertujuan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dengan menerapkan formula alokasi yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai
daerah, kebutuhan fiskal daerah, dan potensi daerah.
Perbedaan formula DAU pada Tabel 6 menunjukkan penghitungan DAU pada periode desentralisasi fiskal tahap pertama untuk tahun anggaran 2001-2005
diatur dalam UU No. 251999 dimana kebutuhan fiskal diproksi dari jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi dan Indeks Kemiskinan
Relatif. Indeks Kemahalan Konstruksi IKK mencerminkan keadaan geografis suatu wilayah. Sedangkan, Indeks Kemiskinan Relatif IKR mencerminkan
tingkat pendapatan masyarakat yang dihitung dari jumlah penduduk miskin dan indeks kesenjangan kemiskinan poverty gap index. Kapasitas fiskal diproksi dari
beberapa komponen pendapatan daerah yang mencerminkan potensi industri, potensi sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia. Potensi industri
diproksi dari PAD dan PDRB, potensi sumber daya alam diproksi dari bagi hasil SDA, sedangkan potensi sumber daya manusia diproksi dari bagi hasil pajak.
Sedangkan, penghitungan DAU periode desentraliasi fiskal tahap kedua untuk tahun anggaran 2006 sampai sekarang diatur dalam UU No. 332004. Perbedaan
dengan formula sebelumnya adalah IKR tidak lagi digunakan dan diganti dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM. Selain itu, PDRB per kapita merupakan
proksi kebutuhan fiskal. Sedangkan alokasi dasar di kedua formula tidak berubah
yaitu diproksi dari realisasi jumlah gaji PNS daerah tahun sebelumnya yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat. Selanjutnya, hasil
penghitungan DAU dialokasikan ke provinsi dan kabupatenkota berdasarkan bobot setiap daerah sesuai rasio celah fiskal provinsi atau kabupatenkota dan total
celah fiskal seluruh provinsi atau seluruh kabupatenkota. Berdasarkan formula tersebut maka daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan besarnya sama atau
lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Sebagai contoh, provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU selama tahun 2008-2010 karena kelebihan kapasitas
fiskalnya mampu membiayai seluruh kebutuhan belanja PNS.
Tabel 6 Perbedaan Formula Penghitungan DAU
TA. 2001-2005 UU No. 251999 TA. 2006- sekarang UU No. 332004
DAU = AM + KF AM: alokasi miniumum
KF: kesenjangan fiskal DAU = AD + CF
AD: alokasi dasar CF: celah fiskal
AM = Lumpsum + αGaji
αGaji: proporsional berdasarkan kebutuhan
belanja pegawai AD = total gaji PNS
daerah KF = KBF - KPF
KBF: kebutuhan fiskal KPF: kapasitas fiskal
CF = KBF - KPF KBF: kebutuhan fiskal
KPF: kapasitas fiskal KBF =
TPR α
1
IP + α
2
IW + α
3
IKR + α
4
TPR: total pengeluaran daerah rata-rata dalam
APBD IKK
IP: indeks populasi IW: indeks wilayah
IKR: indeks kemiskinan relatif
IKK: indeks kemahalan konstruksi
α
i
secara proporsional dan uji statistik sederhana
: bobot indeks dihitung
KBF = TBD α
1
IP + α
2
IW + α
3
IKR + α
4
IPM
-1
+ α
5
PDRBKAP
-1
TBD: total belanja daerah rata-rata dalam
APBD IP: indeks populasi
IW: indeks wilayah IPM
-1
PDRBKAP : invers IPM
-1
α : invers
PDRB per kapita
i
secara proporsional dan uji statistik sederhana
: bobot indeks dihitung
KPF = PAD + PBB +
BPHTB + PPh + SDA
PAD: estimasi Pendapatan asli daerah
PBB: pajak bumi dan Bangunan
BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan PPh: PPh orang pribadi
dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam
KPF = PAD + PBB +
BPHTB + PPh + SDA
PAD: Pendapatan asli daerah
PBB: pajak bumi dan Bangunan
BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan PPh: PPh orang pribadi
dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam
PAD
t
= β +
β
1
PDRB-jasa PDRB-jasa: PDRB
sektor jasa-jasa
t-1
Meskipun formula dan besaran DAU ditetapkan melalui proses panjang dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, namun banyak kritik terkait manfaatnya
sebagai instrumen kebijakan desentralisasi fiskal yang pada hakikatnya bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian World
Bank 2007 menemukan lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan layanan masyarakat justru digunakan untuk
membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Ini berarti kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU tidak mendorong pemerintah
daerah mengarahkan DAU untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menghapus pencakupan penuh pembayaran
gaji PNS dari anggaran yang seharusnya untuk meningkatkan layanan masyarakat karena akan memperkuat dampak DAU pada tingkat kesejahteraan masyarakat
dan semakin memberdayakan pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia yaitu jumlah tenaga kerja, modal, input
setengah jadi, dan outsourcing untuk meningkatkan layanan masyarakat.
Brodjonegoro 2001 menyatakan bahwa hal terpenting dari DAU bukanlah jumlahnya tetapi formula distribusinya. Pada dasarnya, DAU dialokasikan ke
daerah untuk memenuhi kondisi ideal dimana seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati layanan dasar masyarakat dalam tingkat standar pelayanan minimum
SPM yang sama. Oleh karena itu, formula DAU harus dibuat untuk memenuhi tujuan akhir tersebut dengan memastikan tidak ada kesenjangan fiskal di setiap
daerah. Estimasi kebutuhan fiskal sebagai dasar formula DAU tersebut seharusnya menggunakan pendekatan bottom-up yang dihitung dengan biaya satuan standar
standard unit cost. Meskipun biaya satuan standar tersebut berbeda antar daerah tetapi outputnya harus memberikan tingkat layanan publik yang sama sesuai SPM
dari pemerintah pusat. Akan tetapi, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak pernah memiliki biaya satuan standar layanan masyarakat karena
tingkat dan skala layanan masyarakat di masa lalu ditetapkan berdasarkan alokasi dan ketersediaan anggaran. Dengan perkataan lain, standar layanan masyarakat
tergantung pada jumlah dana yang dialokasikan untuk jenis layanan masyarakat tertentu di suatu daerah. Untuk itu, pemerintah telah berupaya merevisi formula
DAU dengan melibatkan berbagai pihak dari elemen pemerintahan dan akademisi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun, berbagai batasan politik
menyebabkan hasil akhir distribusi DAU masih mencerminkan pola lama dimana anggaran pemerintah terpusat di Pulau Jawa.
Fenomena Flypaper Effect pada DAU
Secara teori, transfer fiskal tidak bersyarat unconditional grant berdampak meningkatkan belanja publik dan mengurangi beban pajak masyarakat Kuncoro,
2004. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali dimana transfer fiskal tidak bersyarat tidak menjadi substitusi pajak daerah. Kondisi ini
dikenal dengan istilah fenomena flypaper effect Gramlich, 1977. Menurut Oates 1999, fenomena flypaper effect diindikasikan oleh belanja pemerintah daerah
yang sangat responsif terhadap kenaikan transfer dari pada kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Afrizawati 2012, fenomena Flypaper effect berimplikasi
pada kecenderungan pemerintah daerah untuk memanipulasi pengeluaran setinggi mungkin tanpa mengupayakan peningkatan pendapatan lokal agar memperoleh
transfer yang besar dari pemerintah pusat sehingga lebih mudah memaksimalkan pengeluarannya daripada memaksimalkan PAD. Padahal tata kelola pemerintahan,
kelembagaan, dan desain program transfer fiskal merupakan hal penting dalam perekonomian. Fenomena flypaper effect yang menunjukkan perilaku pemerintah
daerah dalam merespon transfer fiskal tersebut dapat menjadi indikasi rendahnya kualitas faktor kelembagaan dalam menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal di
suatu negara.
Fenomena flypaper effect tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Inman 2008 di berbagai negara menemukan tambahan 1 US
pendapatan lokal meningkatkan belanja publik antara 0.02-0.05 US. Sedangkan, tambahan 1 US transfer fiskal meningkatkan belanja publik antara 0.25-1.1 US.
Dalam kasus Indonesia, fenomena flypaper effect dapat diindikasikan oleh respon belanja daerah terhadap kenaikan DAU yang lebih besar dibandingkan kenaikan
PAD. Studi-studi terdahulu di Indonesia, antara lain Afrizawati 2012, Widarjono 2006, dan Kuncoro 2004 menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada
DAU berdasarkan hasil estimasi model belanja daerah dengan indikasi koefisien estimasi DAU yang lebih besar daripada koefisien estimasi PAD.
Perkembangan DAU di Indonesia
Jumlah DAU pada dana APBN selama 2005-2011 meningkat dari 88.8 triliun rupiah menjadi 225.5 triliun rupiah. Gambar 5 menunjukkan DAU paling
banyak ditransfe ke provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang disebabkan besarnya komponen alokasi dasar dan kebutuhan fiskal. Namun,
tingginya kapasitas fiskal ketiga provinsi tersebut mengindikasikan bahwa alokasi DAU lebih mengutamakan alokasi dasar dari pada celah fiskal. Demikian juga,
Sumatera Selatan dengan kapasitas fiskal terbesar justru menerima DAU yang cukup tinggi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal kurang berperan
dalam alokasi DAU sehingga pemerintah daerah selalu tergantung pada DAU.
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 5. Proporsi Alokasi DAU per Provinsi Tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU ditunjukkan oleh
DAU yang mendominasi total pendapatan daerah terutama di kawasan timur Indonesia KTI, antara lain Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Tenggara,
dan Sulawesi Barat Gambar 6. Sementara itu, fakta menunjukkan tingkat kemiskinan di empat provinsi tersebut relatif tinggi masing-masing 21.2, 22.5,
14.6, dan13.9 pada tahun 2011 dengan struktur ekonomi didominasi sektor pertanian dimana share PDRB pertanian masing-masing 37.0, 28.7, 31.7,
dan 48.5. Selain itu, kondisi infrastruktur di KTI menunjukkan ketimpangan
0,0 2,0
4,0 6,0
8,0 10,0
12,0 14,0
D K
I K
e pr
i S
ul ba
r Gor
on ta
lo B
a be
l M
a lut
DI Y
K a
lt im
B e
ng k
ul u
B a
li M
a luk
u R
ia u
P ap
u a B
ar at
Ja m
bi K
a ls
e l
NT B
S ul
tr a
B a
nt e
n S
ul ut
S ul
te ng
K a
lt e
ng S
um se
l K
al b
ar La
m pung
NT T
S um
ba r
NA D
S ul
se l
P a
pua S
um ut
Jab ar
Ja te
ng Ja
ti m
2005 2011
pembangunan infrastruktur dengan kawasan barat Indonesia KBI dimana lebih dari dua pertiga panjang jalan di Indonesia berada di KBI terutama di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan tingginya komposisi DAU pada keuangan daerah tidak diprioritaskan untuk mengentaskan
kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan daerah di Indonesia maka jumlah DAU
yang besar hendaknya digunakan untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mengurangi kemiskinan seperti pembangunan pertanian dan infrastruktur yang banyak direkomendasikan oleh studi-studi terdahulu sebagai strategi pertumbuhan
pro-poor.
Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan
Gambar 6. Komposisi DAU pada Total Pendapatan Daerah
Kinerja Perekonomian Indikator Kinerja Perekonomian
Kinerja perekonomian suatu wilayah umumnya diukur dari pertumbuhan ekonomi yaitu peningkatan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh wilayah
tersebut pada suatu periode waktu. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari perubahan Produk Domestik Bruto PDB riil dalam persen. PDB adalah jumlah
nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di negara
tersebut. PDB harga berlaku atau PDB nominal menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga pada tahun berjalan. PDB nominal biasanya
digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu negara. Sedangkan, PDB harga konstan atau PDB riil
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDB riil biasanya digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu negara secara riil yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. PDB biasanya dihitung dengan tiga pendekatan yang secara
konsep akan menghasilkan nilai sama yaitu pendekatan produksi, pendekatan
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0
D K
I K
a lt
im R
ia u
K e
pr i
B a
nt e
n S
um se
l B
a li
K a
ls e
l Jab
ar P
ap u
a B ar
at NA
D Ja
ti m
Ja m
bi Ja
te ng
DI Y
B a
be l
P a
pua S
ul se
l S
um ut
La m
pung NT
B S
ul ut
K al
b ar
S um
ba r
M a
lut Gor
on ta
lo K
a lt
e ng
S ul
te ng
B e
ng k
ul u
S ul
ba r
S ul
tr a
M a
luk u
NT T
ra ta
-r a
ta
2005 2011
pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. PDB produksi adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan berbagai unit produksi di suatu negara
dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia KBLI unit-unit produksi meliputi 9 lapangan usaha
sektor yaitu: 1 Pertanian; 2 Pertambangan dan Penggalian; 3 Industri Pengolahan; 4 Listrik, Gas dan Air Bersih; 5 Konstruksi; 6 Perdagangan,
Hotel, dan Restoran; 7 Pengangkutan dan Komunikasi; 8 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan 9 Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan
pemerintah. Secara matematis, nilai PDB produksi pada tahun t adalah :
∑
= 9
1 i
i
Y
, i = 1, 2, …, 9 2.1
dimana, Y
i
PDB pengeluaran merupakan semua komponen permintaan akhir yaitu konsumsi rumahtangga dan swasta, konsumsi pemerintah, investasi, dan eskpor neto atau:
: PDB sektor i
Y = C + I + G + X-M 2.2
dimana, Y : PDB
C : konsumsi rumahtangga dan swasta I : pengeluaran investasi swasta
G : pengeluaran dan investasi pemerintah X : ekspor
M : impor
PDB pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam bentuk upah dan gaji, sewa tanah,
bunga modal, dan keuntungan sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup penyusutan dan pajak tidak
langsung neto pajak tak langsung dikurangi subsidi. Pendekatan ini memiliki kelemahan validitas data karena responden tidak informatif melaporkan jumlah
pendapatannya untuk menghindari atau mengurangi pungutan pajak.
BPS menghitung PDB produksi dan PDB pengeluaran secara berkala setiap tahun. Sumber data PDB produksi berasal dari departemen atau instansi terkait
yang mengumpulkan data produksi, harga produsen, biaya yang dikeluarkan untuk berproduksi, dan pengeluaran. Data-data tersebut diperoleh dari hasil survei dan
estimasi. Sedangkan sumber data PDB pengeluaran berasal dari departemen atau instansi terkait yang secara resmi mengeluarkan data ekspor-impor, pengeluaran
dan investasi pemerintah, dan investasi swasta. Data-data tersebut dikumpulkan melalui survei-survei khusus seperti survei khusus pengeluaran rumahtangga dan
survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga SKTIR. Sejak tahun 2004, PDB riil menggunakan tahun dasar 2000 menggantikan tahun dasar 1993 karena
ada perubahan struktur ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tersebut meliputi perkembangan harga, cakupan komoditas produksi dan konsumsi, serta jenis dan
kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Dalam konteks wilayah yang lebih kecil yaitu provinsi dan kabupatenkota, pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan
Produk Domestik Regional Bruto PDRB yang mencerminkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya.
Namun, PDB memiliki beberapa kelemahan dalam pengukurannya Dornbusch, et al., 2008, yaitu: 1 beberapa output tidak bisa diukur karena tidak
diperdagangkan dan tidak tercatat misalnya kegiatan undergound economy; 2 beberapa kegiatan ekonomi yang diukur sebagai penambahan PDB menimbulkan
efek eksternalitas; dan 3 tidak mempertimbangkan kualitas output. Oleh karena itu, meskipun perubahan PDB merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang
paling umum digunakan, tetapi studi-studi terdahulu terkait kemiskinan umumnya menggunakan pengeluaran per kapita dari hasil survey rumahtangga, antara lain
Miranti 2010 dan Ravallion dan Chen 1997. Menurut Ravallion 1995, pengeluaran per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan
meskipun berasal dari sumber data yang sama.
Sumber : Sakernas – BPS, 2008
Gambar 7. Diagram Ketenagakerjaan Selain pertumbuhan ekonomi, kinerja perekonomian juga seringkali diukur
dari kondisi ketenagakerjaan. Tenaga kerja adalah modal bagi pergerakan roda pembangunan dimana jumlah dan komposisinya akan terus mengalami perubahan
seiring berlangsungnya proses demografi. Perubahan kondisi ketenagakerjaan biasanya diukur dari indikator-indikator ILO International Labor Organization
yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja labor force of participation rate dan Tingkat Pengangguran Terbuka open unemployment rate. Tingkat Partisipasi
Angkatan kerja TPAK adalah proporsi penduduk usia kerja yang terlibat secara aktif dalam pasar tenaga kerja labor market baik yang bekerja maupun sedang
mencari pekerjaan yang mencerminkan ukuran relatif penawaran tenaga kerja yang dapat terlibat dalam produksi barang dan jasa. Tingkat pengangguran
terbuka TPT adalah proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Secara konseptual, penganggur dapat diidentifikasi
dari tiga kondisi angkatan kerja, yaitu: 1 sama sekali tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan; 2 sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja; dan 3 sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari
pekerjaan tetapi sedang mempersiapkan usaha Gambar 7. Data ketenagakerjaan yang dihitung BPS menggunakan konsep-konsep tersebut berdasarkan hasil survei
angkatan kerja nasional SAKERNAS.
Perkembangan Kinerja Perekonomian di Indonesia
Secara umum, perekonomian Indonesia selama tahun 2005-2011 mengalami pertumbuhan. Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari
perubahan PDB riil meningkat dari 5.7 menjadi 6.5 namun berfluktuasi. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif rendah yaitu 4.6 sebagai
dampak krisis keuangan global tahun 2008 sehingga permintaan produk-produk ekspor rendah, harga beberapa komoditas internasional turun, dan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah. Namun, kondisi tersebut masih lebih baik dibandingkan perekonomian dunia yang mengalami pertumbuhan
minus 1.1 pada tahun 2009.
Sumber: BPS Catatan:
1
Gambar 8. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi
Perubahan PDB Riil Harga Konstan Tahun 2000 1
Dalam kaitannya dengan perubahan kemiskinan, beberapa studi terdahulu menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan, antara
lain Warr 2006 dan Suryahadi, et al. 2009. Oleh karena itu, dinamika perekenomian Indonesia perlu ditinjau menurut sektor ekonomi untuk mengetahui
peran masing-masing sektor. Perekonomian Indonesia terutama bersumber dari tiga sektor ekonomi yaitu pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, hotel,
dan restoran dimana sektor industri pengolahan memberi kontribusi paling besar Gambar 9. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin cepat terjadi
karena peran kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang besar dengan pertumbuhan meningkat dari 8.3 menjadi 9.2. Pertumbuhan sektor industri
pengolahan lebih rendah yaitu meningkat dari 4.6 menjadi 6.1. Sedangkan, pertumbuhan sektor pertanian sangat kecil hanya meningkat dari 2.7 menjadi
3.4. Tingginya pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang merupakan sektor jasa dan rendahnya pertumbuhan sektor riil terutama pertanian
Sektoral di Indonesia
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 Pertanian
2,7 3,4
3,5 4,8
4,0 3,0
3,4 Industri Pengolahan
4,6 4,6
4,7 3,7
2,2 4,7
6,1 Perdagangan
8,3 6,4
8,9 6,9
1,3 8,7
9,2 Total
5,7 5,5
6,4 6,0
4,6 6,2
6,5 0,0
2,0 4,0
6,0 8,0
10,0
merupakan hal yang tidak wajar mengingat Indonesia adalah negara yang berbasis sumber daya alam terutama pertanian. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada
kesenjangan pendapatan antar penduduk terutama petani.
Sumber: BPS Catatan:
1
Gambar 9. Perkembangan Distribusi Sektor Ekonomi
Kontribusi PDB Harga Berlaku 1
Perkembangan ketenagakerjaan dapat ditinjau dari indikator-indikator tingkat partisipasi angkatan kerja TPAK, tingkat pengangguran terbuka TPT,
dan komposisi tenga kerja menurut sektor. Selama periode 2005–2011 jumlah angkatan kerja naik dari 105.8 juta orang menjadi 117.4 juta orang. Artinya,
berarti ada penambahan angkatan kerja baru rata-rata 1.9 juta orang per tahun. Peningkatan ini terjadi seiring pertumbuhan penduduk usia kerja yaitu penduduk
usia 15 tahun ke atas sehingga TPAK meningkat dari 68.02 menjadi 69.66 Gambar 10..
di Indonesia
Meningkatnya TPAK mengindikasikan adanya perbaikan pada mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga jumlah penduduk usia kerja yang dapat masuk
ke pasar tenaga kerja semakin besar. Seiring meningkatnya jumlah angkatan kerja, serapan tenaga kerja meningkat dari 94.9 juta orang menjadi 111.3 juta orang atau
bertambah sekitar 2.7 juta orang per tahun. Sementara itu, perkembangan Tingkat pengangguran terbuka TPT di Indonesia yang menggambarkan ketidakmampuan
perekonomian dalam menyerap angkatan kerja akibat penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja yang tidak seimbang cenderung berkurang dari
10.26 menjadi 6.32. Namun, tingkat pengangguran tersebut lebih besar dari tingkat pengangguran alami natural unemployment rate. Menurut Mankiw
2007, tingkat pengangguran alami yang menggambarkan perekonomian dalam kondisi full employment adalah sekitar 5.5. Tingkat pengangguran di Indonesia
yang masih besar mengindikasikan perlunya perluasan kesempatan kerja untuk menyerap jumlah angkatan kerja yang terus meningkat. Hal ini dapat dilakukan
dengan memperluas lapangan usaha secara merata terutama di sektor-sektor yang memerlukan sumber daya tenaga kerja yang lebih besar seperti sektor pertanian.
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 Perdagangan
15,6 15,0
14,9 14,0
13,3 13,7
13,8 Industri Pengolahan
27,4 27,5
27,1 27,8
26,4 24,8
24,3 Pertanian
13,1 13,0
13,7 14,5
15,3 15,3
14,7 0,0
10,0 20,0
30,0 40,0
50,0 60,0
Sumber: BPS
Gambar 10. Perkembangan TPAK dan TPT di Indonesia
Sumber: BPS
Gambar 11. Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia Berbeda dengan tingkat output dimana share PDB industri pengolahan
paling besar, penyerapan tenaga kerja terbesar justru terjadi di sektor pertanian dengan rata-rata 42 per tahun selama tahun 2005-2011 Gambar 11. Sementara,
serapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, rata-rata 12 dan 20 per tahun. Tingginya serapan tenaga kerja di sektor
pertanian berbanding terbalik dengan sumbangannya pada output nasional yang rendah. Hal ini mengindikasikan transformasi struktur ekonomi Indonesia yang
tidak berimbang yaitu laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan laju pergeseran tenaga kerja sehingga titik balik aktivitas ekonomi tercapai lebih
dulu dibandingkan titik balik penggunaan tenaga kerja Supriyati, et al., 2001. Transformasi ekonomi yang tidak seimbang akan berdampak pada proses
kemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia pada sektor primer.
Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Konsep dan Ukuran Kemiskinan
Salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat yang paling penting adalah status kemiskinan masyarakat BPS, 2008. Oleh karena itu, kemiskinan
merupakan permasalahan pokok yang selalu dibahas terkait proses pembangunan
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 Perdagangan
19,9 19,5
19,9 20,3
20,9 20,7
20,9 Industri Pengolahan
12,3 12,2
12,4 12,2
12,1 12,2
12,3 Pertanian
44,0 44,5
43,7 41,8
41,2 39,9
38,2
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0
karena keberhasilan pemerintahan dalam mencapai tujuan pembangunan seringkali dinilai dari perubahan tingkat kemiskinan. Dalam konteks kebijakan
desentralisasi fiskal dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional maka analisis kemiskinan penting untuk dilakukan.
Kemiskinan adalah konsep abstrak dengan pengertian berbeda-beda. Dalam perspektif ekonomi, kemiskinan menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk
yang rendah deprivation in well-being dalam ukuran moneter. Kemiskinan pendapatan income poverty ini merupakan konsep yang paling banyak dipakai
dalam penelitian-penelitian ekonomi karena terukur dan terkait dengan indikator- indikator ekonomi lain. Dengan konsep ini penduduk miskin didefinisikan sebagai
penduduk yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi standar kehidupan minimum. Kemiskinan dalam konteks ekonomi tersebut dapat diukur
sebagai kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaian. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar
kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat dan bersifat lokal. Berdasarkan standar tersebut maka kemiskinan relatif merupakan
suatu kondisi dimana sekelompok masyarakat berada lebih rendah dari standar layak kehidupan umum yang berlaku di kelompok masyarakat tersebut. Penduduk
yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin relatif. Dengan konsep kemiskinan relatif tersebut, maka secara implisit
kemiskinan akan selalu ada. Konsep kemiskinan relatif biasanya digunakan oleh negara-negara maju. Menurut Thorbecke 1993, negara kaya memiliki garis
kemiskinan lebih tinggi dari pada negara miskin. Ketika negara kaya bertambah sejahtera, maka garis kemiskinannya cenderung direvisi menjadi lebih tinggi.
Sebagai contoh, Uni Eropa mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 50 persen dari rata-rata pendapatan
masyarakat Haughton dan Khandker, 2009. Ketika rata-rata pendapatan masyarakat meningkat maka garis kemiskinan relatifnya juga meningkat. BPS
2009 mendefinisikan kemiskinan relatif sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Dengan standar penilaian adalah kondisi hidup masyarakat yang difokuskan pada kelompok penduduk
termiskin misalnya 20 persen atau 40 persen penduduk dengan pendapatan pengeluaran terendah maka ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada
distribusi pendapatan pengeluaran penduduk.
Sedangkan, kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum basic needs yang
diperlukan agar dapat hidup dan bekerja antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Nilai kebutuhan pokok minimum dalam ukuran
moneter adalah garis kemiskinan absolut yang selanjutnya menjadi acuan untuk mengidentifikasi penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting
untuk menilai dan membandingkan efek kebijakan anti kemiskinan anti-poverty policies
antar waktu, atau memperkirakan dampak suatu program terhadap kemiskinan, misalnya pemberian kredit skala kecil. Untuk membandingkan angka
kemiskinan antar negara, Bank Dunia menggunakan suatu garis kemiskinan absolut yang terbanding antar negara yaitu 1 US per kapita per hari dan 2 US
per kapita per hari namun dalam ukuran US PPP Purchasing Power Parity bukan nilai tukar resmi exchange rate di masing-masing negara.
Menurut World Bank 2009, pengukuran tingkat kemiskinan penting untuk dilakukan dengan alasan:
1. Untuk menjaga agar kemiskinan menjadi agenda pembangunan.
2. Untuk mengidentifikasi penduduk miskin agar target intervensi tepat.
3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan
yang diarahkan kepada penduduk miskin. 4.
Untuk mengevaluasi efektivitas institusi yang membantu penduduk miskin. Untuk itu, diperlukan ukuran-ukuran kemiskinan yang akurat. Menurut Ravallion
1998 pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan dalam tiga tahap: 1.
Mendefinisikan suatu indikator kesejahteraan welfare indicator, misalnya pengeluaran per kapita per capita expenditure.
2. Menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi
penduduk miskin, misalnya garis kemiskinan poverty line. 3.
Menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejaheraan tersebut dan posisinya relatif terhadap standar minimum,
misalnya headcount index. Dengan mengacu pada ketiga tahap tersebut, BPS menghitung angka kemiskinan
setiap tahun untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota yang dibedakan menurut wilayah perkotaan dan pedesaan. Indikator kesejahteraan yang digunakan
adalah pengeluaran per kapita yang diestimasi dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS terhadap sejumlah sampel rumahtangga di seluruh wilayah
Indonesia. Pada tahap kedua yaitu menentukan Garis Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan pendekatan kebutuhan dasar
basic needs approach dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang cukup yaitu 2100 kalori
per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal. Pendekatan kebutuhan dasar diperkenalkan dan dipopulerkan
oleh International Labor Organisation ILO tahun 1976. Teknik penghitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh BPS tersebut adalah BPS, 2008 :
1. Menentukan penduduk referensi yaitu 20 penduduk di atas Garis
Kemiskinan Sementara GKS yaitu garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi dari IHK umum. Selanjutnya garis kemiskinan
yang merupakan penjumlah garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan dihitung dari pengeluaran per kapita pada kelompok penduduk
referensi tersebut.
2. Garis Kemiskinan Makanan GKM adalah jumlah nilai pengeluaran 52
komoditas dasar makanan yang dikonsumsi oleh penduduk referensi yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori masing-masing komoditas.
3. Garis Kemiskinan Non Makanan GKNM adalah jumlah nilai pengeluaran
kebutuhan minimum komoditas non makanan terpilih yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan dimana nilai kebutuhan minimum untuk
setiap komoditas dihitung dari rasio pengeluaran komoditas terhadap total pengeluaran dari hasil Suvei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar tahun 2004.
4. Garis Kemiskian akhir merupakan penjumlahan GKM dan GKNM.
Setelah garis kemiskinan diperoleh, selanjutnya tingkat kemiskinan dihitung menggunakan tiga indikator kemiskinan yang dikembangkan oleh Foster, Greer,
dan Thorbecke 1984 dengan formula: ;
α = 0, 1, dan 2 2.3
dimana, N : jumlah penduduk
n : jumlah penduduk miskin z : garis kemiskinan
y
i
: pengeluaran konsumsi penduduk miskin i = 1, 2, …, n; y
i
P z
P : Headcount index
1
P : Poverty Gap Index
2
Indikator headcount index P : Poverty Severity Index
menyatakan persentase penduduk miskin. Indikator ini sangat populer karena interpretasi dan pengukurannya mudah, tetapi
tidak dapat menggambarkan intensitas kemiskinan atau seberapa miskin penduduk yang tergolong miskin. Untuk itu, diperlukan indikator lain yaitu poverty gap
index
P
1
dan poverty severity index P
2
. Poverty Gap Index atau Indeks Kedalaman Kemiskinan menggambarkan sejauh mana penduduk miskin berada di
bawah garis kemiskinan. Indikator ini dihitung dari proporsi pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai poverty gap index yang lebih
besar menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang lebih lebar. Selain untuk mengukur tingkat kedalaman
kemiskinan, poverty gap index juga digunakan untuk mengetahui total sumber daya uang yang dibutuhkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui
metode transfer pendapatan cash transfer dengan asumsi seluruhnya diberikan kepada penduduk miskin World Bank, 2009. Sebagai contoh, jika di suatu
wilayah terdapat 10 juta rumahtangga miskin dengan garis kemiskinan 500 US per tahun dan Poverty Gap Index 5, maka dibutuhkan minimal 25 US per
tahun untuk setiap rumahtangga agar menjadi tidak miskin. Artinya, secara total pemerintah harus menyediakan uang minimal 250 juta US pada tahun itu untuk
menghapus kemiskinan di wilayah tersebut. Namun, Poverty Gap Index tidak dapat menangkap perbedaan keparahan kemisinan the severity of poverty di
antara penduduk miskin. Sebagai contoh, di dua wilayah kecil dengan garis kemiskinan 500 US per tahun masing-masing hanya terdapat dua rumahtangga
miskin. Pada wilayah pertama, pendapatan rumahtangga miskin pertama sebesar 100 US per tahun dan pendapatan rumahtangga miskin kedua sebesar 300 US
per tahun. Pada wilayah kedua, pendapatan kedua rumahtangga miskin masing- masing 200 US per tahun. Poverty gap index untuk kedua wilayah adalah sama
yaitu 60 yang berarti intensitas kemiskinan di kedua wilayah tersebut adalah sama. Padahal pendapatan rumahtangga pertama di wilayah pertama hanya 100
US per tahun yang artinya kemiskinan di wilayah tersebut lebih parah Foster, 1998. Oleh karena itu, diperlukan indikator Poverty Severity Index P
2
atau Indeks Keparahan Kemiskinan yang dapat menggambarkan distribusi pengeluaran
di antara penduduk miskin. Indikator ini dihitung dari rata-rata kuadrat poverty gap index
P
1
relatif terhadap garis kemiskinan untuk setiap penduduk miskin. Nilai Poverty Severity Index yang lebih besar menunjukkan semakin besarnya
ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin.
Konsep dan Ukuran Ketimpangan Pendapatan
Studi-studi terdahulu seperti Kakwani 1993 dan Bourguignon 2004 menyatakan bahwa perubahan tingkat kemiskinan penduduk tidak hanya terjadi
karena perubahan rata-rata pendapatan tetapi juga karena perubahan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran yang menggambarkan
distribusi pendapatan di antara seluruh kelompok penduduk yaitu ketimpangan pendapatan inequality. Berbeda dengan ukuran kemiskinan yang lebih fokus
pada keadaan kelompok penduduk miskin, ukuran ketimpangan pendapatan mencakup seluruh penduduk tidak hanya penduduk miskin. Ukuran ketimpangan
tidak hanya dihitung untuk dimensi moneter seperti pendapatan dan pengeluaran, tetapi juga untuk dimensi non-moneter seperti kepemilikianpenguasaan lahan dan
aset. Namun, dalam kaitannya dengan kemiskinan maka ukuran ketimpangan yang lebih tepat adalah ketimpangan pendapatan income inequality. Distribusi
pendapatan yang merata equal memiliki arti pendapatan setiap penduduk relatif sama. Sedangkan distribusi pendapatan yang timpang inequal menunjukkan ada
kelompok penduduk tertentu yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan kelompok penduduk lain. Dengan perkataan lain, ukuran ketimpangan digunakan
untuk mengukur posisi individu relatif terhadap penduduk secara keseluruhan dan posisi sekelompok penduduk terhadap kelompok penduduk lainnya. Informasi
ketimpangan pendapatan diperlukan oleh pemerintah ketika merancang program intervensi dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Perubahan ukuran ketimpangan
menjadi petunjuk kelompok penduduk mana yang banyak mengalami perubahan distribusi pendapatan dan sektor-sektor ekonomi apa yang memperoleh dampak
dari kebijakan ekonomi tersebut.
Ada beberapa ukuran ketimpangan, tetapi ukuran yang paling mudah adalah ukuran ketimpangan Bank Dunia. Indikator ini dihitung dengan membagi seluruh
penduduk ke dalam lima kelompok berdasarkan pendapatan pengeluaran yang diurut dari kelompok penduduk termiskin sampai kelompok penduduk terkaya
yang kemudian diagregasi menjadi tiga kelompok yaitu 40 penduduk golongan rendah, 40 penduduk golongan menengah, dan 20 penduduk golongan tinggi.
Selanjutnya, ketimpangan pendapatan dihitung sebagai rasio total pendapatan pengeluaran 40 penduduk golongan rendah terhadap total pendapatan seluruh
penduduk World Bank, 2009. Bila proporsi pendapatan yang diperoleh 40 penduduk golongan rendah kurang dari 12 maka tingkat ketimpangan tergolong
tinggi high inequality. Jika berada di antara 12 dan 17 maka tingkat ketimpangan tergolong sedang moderate inequality. Sedangkan, jika lebih dari
17 maka tingkat ketimpangan tergolong rendah low inequality.
Indikator ketimpangan pendapatan lain yang paling banyak digunakan adalah Indeks Gini. Indikator ini diturunkan dari Kurva Lorenz yaitu kurva
frekuensi kumulatif yang membandingkan distribusi pendapatan pengeluaran dengan distribusi seragam uniform. Gambar 12 menunjukkan sumbu horizontal
pada kurva Lorenz adalah proporsi kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal adalah proporsi kumulatif pendapatan pengeluaran. Garis diagonal
menggambarkan kemerataan sempurna yang berarti distribusi seragam. Indeks Gini dihitung dari rasio luas A dan luas A+B, dimana luas A adalah persentase
kumulatif penduduk dengan pendapatan pengeluaran kumulatif proporsional. Jika luas A = 0 maka Indeks Gini bernilai 0 atau merata sempurna. Jika luas B = 0
maka Indeks Gini bernilai 1 atau timpang sempurna. Namun, Indeks Gini yang dihitung dari data pengelauran per kapita empiris berkisar antara 0.3 dan 0.5
Haughton dan Khandker, 2009.
Sumber: World Bank 2009
Gambar 12. Kurva Lorenz Secara matematis, Indeks Gini dapat dihitung dengan formula:
2.4 Jika terdapat N buah interval yang sama pada sumbu X maka:
2.5
Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
Sejak tahun 1984 BPS telah menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin untuk periode 1976-1981 menggunakan data SUSENAS modul konsumsi.
Namun, saat ini indikator kemiskinan dapat dihitung dan disajikan setiap tahun untuk tingkat provinsi dan kabupatenkota yang dirinci menurut perkotaan dan
pedesaan. Tabel 7 menunjukkan perkembangan kemiskinan tahun 2005-2011 berfluktuasi tetapi cenderung berkurang. Jumlah dan persentase penduduk miskin
tahun 2006 yang meningkat terkait erat dengan dua kali kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang mengakibatkan inflasi mencapai 17.1. Perkembangan jumlah
penduduk miskin menunjukkan sekitar dua pertiga penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Sementara itu, Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah
penduduk perkotaan dan pedesaan relatif seimbang dengan proporsi 49.8 dan 50.2. Jumlah penduduk miskin pedesaan yang besar menyebabkan tingginya
persentase penduduk miskin di pedesaan yang mencapai 15.72 pada tahun 2011, sementara di perkotaan hanya 9.23. Selain itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan
dan Indeks Keparahan kemiskinan pedesaan lebih tinggi menunjukkan rendahnya kualitas hidup penduduk miskin pedesaan sehingga dapat menjadi indikasi bahwa
hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor non- pertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Dugaan ini diperkuat
kenyataan bahwa lebih dari setengah rumahtangga miskin di Indonesia adalah rumahtangga pertanian Gambar 13. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan
di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian.
Tabel 7 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah, 2005-2011
Tahun Garis
Kemiskinan Rupiah
Jumlah Penduduk
Miskin Juta Persentase
Penduduk Miskin
Indeks Kedalaman
Kemiskinan Indeks
Keparahan Kemiskinan
Perkotaan 2005
150 799 12.40
11.68 2.05
0.60 2006
174 290 14.49
13.47 2.61
0.77 2007
187 942 13.56
12.52 2.15
0.57 2008
204 896 12.77
11.65 2.07
0.56 2009
222 123 11.91
10.72 1.91
0.52 2010
232 989 11.10
9.87 1.57
0.40 2011
253 016 11.05
9.23 1.52
0.39 Pedesaan
2005 117 259
22.70 19.98
3.34 0.89
2006 130 584
24.81 21.81
4.22 1.22
2007 146 837
23.61 20.37
3.78 1.09
2008 161 831
22.19 18.93
3.42 0.95
2009 179 835
20.62 17.35
3.05 0.82
2010 192 354
19.93 16.56
2.80 0.75
2011 213 395
18.97 15.72
2.63 0.70
Perkotaan dan Pedesaan 2005
138 574 35.10
15.97 2.78
0.76 2006
151 997 39.30
17.75 3.43
1.00 2007
166 697 37.17
16.58 2.99
0.84 2008
182 636 34.96
15.42 2.77
0.76 2009
200 262 32.53
14.15 2.50
0.68 2010
211 726 31.02
13.33 2.21
0.58 2011
233 740 30.03
12.49 2.08
0.55
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS
Sumber: Statistik Indonesia 2008-2012 BPS
Gambar 13. Komposisi Rumahtangga Miskin dan Rumahtangga Tidak Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga
Pada dasarnya, kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal dari dalam masyarakat dan faktor-faktor eksternal dari luar masyarakat Susilowati,
2010. Faktor-faktor internal terkait kualitas penduduk yang dicerminkan oleh tingkat pendidikan, kesehatan, sikap, dan perilaku. Sedangkan, faktor-faktor
eksternal antara lain sarana dan prasarana transportasi sebagai aksesibilitas kepada sumber daya ekonomi, aksesibilitas kepada modal, serta kualitas sumber daya
alam, teknologi, dan sistem kelembagaan. Sejalan dengan pendapat itu, Kartasasmita 1996 berpendapat bahwa penyebab utama kemiskinan adalah
rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan
53 56
64 58
57 32
35 44
35 32
25 50
75 100
2007 2008
2009 2010
2011 2007
2008 2009
2010 2011
Tidak Bekerja Pertanian
Industri Lainnya
Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Tidak Miskin
pekerjaan, dan kondisi keterisolasian. Sementara itu, Todaro dan Smith 2003 menjelaskan faktor-faktor penyebabab kemiskinan dalam aspek ekonomi dan non-
ekonomi, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan terbatasnya kesempatan kerja. Kedua hal tersebut menyebabkan rendahnya produktivitas
tenaga kerja sehingga pada akhirnya menyebabkan rendahnya pendapatan penduduk. Booth dan Firdaus 1996 berpendapat bahwa faktor-faktor utama
penyebab kemiskinan di pedesaan adalah faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, geografis, lingkungan, personal, dan fisik. Dengan demikian, faktor-faktor utama
penyebab kemiskinan di pedesaan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Mengingat struktur ekonomi
pedesaan didominasi oleh sektor pertanian maka tingginya tingkat kemiskinan penduduk di sektor pertanian juga disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber
daya manusia pada rumahtangga pertanian dan terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian.
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga menghadapi permasalahan kemiskinan dengan faktor-faktor penyebab kemiskinan sebagaimana diuraikan di
atas. Wilayah-wilayah pertanian dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih rendah serta lapangan pekerjaan yang terbatas memiliki tingkat kemiskinan lebih
tinggi dibandingkan wilayah-wilayah non-pertanian. Demikian juga, wilayah- wilayah di KTI dengan kualitas infrastruktur yang buruk dan tidak lengkap serta
kondisi geografis yang sulit menyebabkan keterisolasian sehingga tingkat kemiskinannnya lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah di KBI. Gambar 14
yang menyajikan peta kemiskinan menurut provinsi tahun 2011 menunjukkan 16 dari 33 provinsi tergolong provinsi miskin dengan persentase penduduk miskin
lebih besar dari angka nasional 12.5. Provinsi-provinsi tersebut tersebar di KBI dan KTI. Provinsi DKI Jakarta memiliki angka kemiskinan paling kecil
3.7, sedangkan provinsi Papua dan Papua Barat memiliki angka kemiskinan paling besar 39.8 dan 39.1. Jika dianalisis bersama indikator kesejahteraan
seperti tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan yang cenderung lebih rendah di provinsi-provinsi miskin Gambar 15 dan 16, dapat diduga bahwa faktor-faktor
non-ekonomi tersebut merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia.
Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS
Gambar 14. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011
12,5
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0
D K
I B
a li
K a
ls e
l B
a be
l B
a nt
e n
K a
lt e
ng K
a lt
im K
e pr
i R
ia u
S ul
ut K
al b
ar Ja
m bi
S um
ba r
M a
lut S
ul se
l Jab
ar S
um ut
S ul
ba r
Ja ti
m S
um se
l S
ul tr
a Ja
te ng
S ul
te ng
DI Y
La m
pung B
e ng
k ul
u Gor
on ta
lo NA
D NT
B NT
T M
a luk
u P
ap u
a B ar
at P
a pua
indo ne
si a
Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS
Gambar 15. Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2011 tahun
Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS
Gambar 16. Angka Kelahiran Hidup Dibantu Tenaga Medis Tahun 2011 Selain itu, perekonomian provinsi-provinsi miskin cenderung didominasi
oleh sektor pertanian Gambar 17 memperkuat dugaan faktor ekonomi menjadi penyebab utama kemiskinan karena rendahnya pendapatan penduduk dari sektor
pertanian. Namun, rata-rata provinsi miskin memiliki kapasitas fiskal lebih rendah Gambar 18. Kenyataan ini menjadi indikasi bahwa sistem kelembagaan yang
kurang baik sebagaimana dikemukakan oleh Susilowati 2010 juga menjadi penyebab kemiskinan di Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah daerah
dengan struktur keuangan daerah yang lebih mengandalkan DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya memiliki sistem kelembagaan lebih buruk
dan tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dari pada pemerintah daerah yang lebih mengandalkan kapasitas fiskal.
0,0 2,0
4,0 6,0
8,0 10,0
12,0
D K
I B
a li
K a
ls e
l B
a be
l B
a nt
e n
K a
lt e
ng K
a lt
im K
e pr
i R
ia u
S ul
ut K
al b
ar Ja
m bi
S um
ba r
M a
lut S
ul se
l Jab
ar S
um ut
S ul
ba r
Ja ti
m S
um se
l S
ul tr
a Ja
te ng
S ul
te ng
DI Y
La m
pung B
e ng
k ul
u Gor
on ta
lo NA
D NT
B NT
T M
a luk
u P
ap u
a B ar
at P
a pua
0,0 20,0
40,0 60,0
80,0 100,0
D K
I B
a li
K a
ls e
l B
a be
l B
a nt
e n
K a
lt e
ng K
a lt
im K
e pr
i R
ia u
S ul
ut K
al b
ar Ja
m bi
S um
ba r
M a
lut S
ul se
l Jab
ar S
um ut
S ul
ba r
Ja ti
m S
um se
l S
ul tr
a Ja
te ng
S ul
te ng
DI Y
La m
pung B
e ng
k ul
u Gor
on ta
lo NA
D NT
B NT
T M
a luk
u P
ap u
a B ar
at P
a pua
Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS
Gambar 17. Kontribusi PDRB Pertanian Tahun 2011
Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS
Gambar 18. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Pertumbuhan ekonomi 2005-2011 yang meningkat dari 5.7 menjadi 6.5
justru diikuti ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Ketimpangan pendapatan ukuran Bank Dunia menunjukkan proporsi pengeluaran per kapita 40 penduduk
golongan rendah turun dari 23 menjadi 20. Sebaliknya, proporsi pengeluaran per kapita 20 penduduk golongan atas naik dari 37 menjadi 43 Gambar 19.
Demikian juga, Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41 Gambar 20. Hal ini mengindikasikan manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih
dinikmati oleh penduduk golongan atas. Jika mengacu pada konsep Kakwani dan Pernia 2000 yaitu pertumbuhan ekonomi disertai turunnya kemiskinan tetapi
ketimpangan pendapatan lebih besar tidak memberi manfaat secara proporsional lebih besar bagi penduduk miskin. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia
periode desentralisasi fiskal tahap dua tahun 2005-2011 tidak pro-poor.
0,0 20,0
40,0 60,0
D K
I B
a li
K a
ls e
l B
a be
l B
a nt
e n
K a
lt e
ng K
a lt
im K
e pr
i R
ia u
S ul
ut K
al b
ar Ja
m bi
S um
ba r
M a
lut S
ul se
l Jab
ar S
um ut
S ul
ba r
Ja ti
m S
um se
l S
ul tr
a Ja
te ng
S ul
te ng
DI Y
La m
pung B
e ng
k ul
u Gor
on ta
lo NA
D NT
B NT
T M
a luk
u P
ap u
a B ar
at P
a pua
0,0 20,0
40,0 60,0
80,0 100,0
DKI B
a li
K a
ls e
l B
a b
e l
B a
n te
n K
a lte
n g
K a
lt im
K e
p ri
Ri au
S u
lu t
K al
b ar
Ja mb
i S
u m
b a
r M
a lu
t S
u ls
e l
Jab ar
S u
m u
t S
u lb
a r
Ja tim
S u
ms e
l S
u ltr
a Ja
te n
g S
u lte
n g
D IY
La m
p u
n g
B e
n g
k u
lu G
or on
tal o
N A
D NTB
NTT M
a lu
k u
P ap
u a B
ar at
P a
p u
a
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS
Gambar 19. Perkembangan Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita
Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS
Gambar 20. Perkembangan Indeks Gini, 2005-2011
Keterkaitan Kapasitas Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kapasitas fiskal merupakan sumber pendapatan daerah dari potensi sumber daya lokal daerah yang berperan penting
dalam mencapai tujuan pembangunan nasional pada era desentralisasi saat ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta keterkaitan kapasitas fiskal dan kemiskinan daerah
di Indonesia. Pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki kapasitas fiskal rendah.
Sedangkan, provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan rendah cenderung memiliki kapasitas fiskal lebih besar. Artinya, provinsi-provinsi miskin umumnya
masih bergantung pada DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya. Namun, bagaimana peran kapasitas fiskal dalam mengurangi kemiskinan. Jika mengacu
pada kerangka pemikiran Warr 2006 pada Gambar 21 pertumbuhan ekonomi adalah dampak outcome kebijakan ekonomi dan kekuatan-kekuatan eksternal
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 20 Pengeluaran Tinggi
37 38
40 39
39 40
43 40 Pengeluaran Sedang
40 39
38 39
38 39
37 40 Pengeluaran Rendah
23 23
22 22
22 21
20 25
50 75
100
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 Indeks Gini
0,31 0,36
0,38 0,37
0,37 0,38
0,41 0,25
0,30 0,35
0,40 0,45
serta respon pelaku pasar. Kebijakan ekonomi dan faktor-faktor eksternal tersebut mempengaruhi kemiskinan melalui efek-efeknya pada pertumbuhan ekonomi
economic growth dan redistribusi redistributional effects yang diasumsikan bernilai kecil. Pada kerangka pemikiran tersebut, PDB dan komponen-komponen
sektoralnya merupakan dampak intermediate, sedangkan kemiskinan merupakan dampak susulan.
Economic policy
Economic growth
External factors Redistributional
effects Poverty
reduction
Sumber: Warr 2006
Gambar 21. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa perubahan kemiskinan tidak hanya
dipengaruhi oleh pertumbuhan tetapi juga distribusi pendapatan. Pendapat tersebut dituangkan dalam konsep pertumbuhan pro-poor pro-poor growth yang populer
sejak satu dekade terakhir. Konsep ini merefleksikan ide bahwa pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh seluruh segmen masyarakat. Pendapat ini muncul
berdasarkan hasil penelitian empiris di beberapa negara pada awal tahun 2000an yang menemukan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi yang cepat memberi
efek paling besar dalam mengurangi kemiskinan tetapi tidak semua pertumbuhan memberi pengaruh yang sama, sehingga percepatan pengentasan kemiskinan tidak
hanya membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga ketimpangan pendapatan yang lebih rendah Whitfield, 2008. Jika dikaitkan dengan kapasitas
fiskal, maka meningkatnya kapasitas fiskal karena perubahan kebijakan fiskal akan mempengaruhi output pertumbuhan sebagai dampak intermediate dan
mempengaruhi kemiskinan sebagai dampak susulan. Dengan perkataan lain, peran kapasitas fiskal pada kemiskinan dapat terjadi melalui jalur pertumbuhan dan
pemerataan pendapatan.
Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan ekonomi selain kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan luar negeri yang bertujuan mengarahkan
perekonomian melalui pendapatan pajak dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat aggregate demand dalam jangka pendek
dan mempengaruhi sisi penawaran agregat aggregate supply dalam jangka panjang. Artinya, pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi dapat
terjadi dalam jangka pendek Keynesian short-run effects dan jangka panjang Classical long-run effects. Aliran Keynesian berpendapat bahwa dalam jangka
pendek perubahan output dan tenaga kerja pada tingkat harga tertentu dipengaruhi oleh permintaan. Sementara aliran klasik berpendapat hal itu tidak akan terjadi
dalam jangka panjang, tetapi ada faktor-faktor lain seperti modal manusia human capital
, tingkat harga, dan teknologi yang mempengaruhinya. Namun, menurut Mallick 2008 pada dasarnya tidak ada model teoritis yang dapat menjelaskan
pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang, sehingga diperlukan pendekatan empiris untuk menjelaskan keterkaitan kebijakan fiskal
dan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkataan lain, penelitian empiris diperlukan
untuk mengetahui peran kapasitas fiskal pada kemiskinan melalui efek output jangka panjang pada sisi penawaran agregat.
Secara konkrit, penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan mengatur pengeluaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah yang bertujuan untukmengurangi beban pengeluaran penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Beban pengeluaran penduduk miskin
dapat dikurangi dengan menanggung sebagian pengeluarannya melalui bantuan atau subsidi pemerintah dalam berbagai bentuk, misalnya RASKIN beras untuk
rumahtangga miskin, JAMKESMAS jaminan kesehatan masyarakat, dan BLT Bantuan Langsung Tunai. Sedangkan peningkatan pendapatan penduduk miskin
dapat tercapai dengan mengatur pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dan efektif menurunkan kemiskinan untuk
menciptakan pertumbuhan pro-poor, misalnya dengan membangun infrastruktur di pedesaan melalui kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri. Namun, kebijakan penganggaran tersebut sangat bergantung pada kemampuan keuangan pemerintah termasuk kapasitas fiskal. Oleh karena itu,
kapasitas fiskal adalah faktor penting untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berdampak menurunkan kemiskinan. Menurut Klasen 2004 dan
McKay 2002, penanggulangan kemiskinan melalui pertumbuhan pro-poor dapat terwujud secara langsung maupun tidak langsung. Penduduk miskin secara
langsung akan memperoleh manfaat pada meningkatnya pendapatan karena adanya perubahan pola pertumbuhan. Tetapi, besarannya tergantung pada
kekuatan modal manusia human capital yang dimilikinya seperti tingkat pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Di sisi lain, penduduk miskin secara
tidak langsung memperoleh manfaat dari kebijakan redistribusi seperti pajak, transfer, dan belanja pemerintah lainnya.
Menurut Whitfield 2008, pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada wilayah pedesaan, perbaikan pendapatan sektor pertanian, dan penggunaan tenaga
kerja intensif agar berdampak langsung bagi kemiskinan. Pendapat ini didasari oleh kenyataan bahwa mayoritas penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sangat
bergantung pada sektor pertanian. Pentingnya strategi pengentasan kemiskinan di sektor pertanian dalam menciptakan pertumbuhan pro-poor sudah banyak diakui.
Salah satunya adalah Klasen 2004 yang menyatakan hampir semua keberhasilan pembangunan mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas dan pendapatan
sektor pertanian serta perluasan lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian di pedesaan berperan penting dalam menciptakan pertumbuhan yang lebih cepat dan
mengentaskan kemiskinan. World Bank dalam World Development Report 2008, merekomendasikan strategi pengentasan kemiskinan, yaitu: 1 meningkatkan
produktivitas sektor tanaman pangan; 2 memperluas akses petani kecil untuk meningkatkan nilai tambah produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
dan perikanan; dan 3 menciptakan pekerjaan non-pertanian di pedesaan. Beberapa penelitian terdahulu merekomendasikan agar pemerintah mendorong
aktivitas ekonomi di kantong-kantong kemiskinan yaitu wilayah pedesaan dan sektor pertanian atau memindahkan mereka ke wilayah yang lebih kaya melalui
insentif kepada sektor swasta dan melibatkan peran pemerintah. ADB 1999 menekankan bahwa pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika mampu menyerap
tenaga kerja yang disertai kebijakan-kebijakan dan program-program yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan serta memfasilitasi penduduk miskin untuk
mendapatkan penghasilan dan pekerjaan. Menurut Abbott 2007, suatu kebijakan adalah pro-poor atau memihak penduduk miskin jika bersifat padat karya, sasaran
pada sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja, menciptakan pendapatan dan pekerjaan bagi penduduk miskin, dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Dengan demikian, karena kemiskinan banyak terjadi di sektor pertanian terutama di wilayah pedesaan, maka strategi pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada
wilayah pedesaan dan sektor pertanian. Sejalan dengan hal itu, Balisacan, et al. 2003 merekomendasikan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan
menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pembangunan dan perbaikan infrastruktur, pengembangan modal manusia, insentif harga pertanian, dan akses
teknologi. Demikian juga, OECD 2006 dan 2009 merekomendasikan strategi pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan-kebijakan bidang pertanian, infrastruktur
ekonomi, pengembangan sektor swasta, proteksi sosial, dan ketenagakerjaan.
Studi Terdahulu Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan
Studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus
yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar 2003, Nanga 2006, Usman 2006, dan Ariyanto 2002.
Pertama
, Sinaga dan Siregar 2003 meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi
di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan dan model input-output. Beberapa temuan penting yaitu
penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih
besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah
yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi
antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran
pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya
meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah
daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD.
Kedua , Nanga 2006 meneliti dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan
di perkotaan dan pedesaan di Indonesia dengan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan menggunakan data panel konsolidasi fiskal kabupatenkota di
25 provinsi di Indonesia tahun 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi kuat transfer fiskal dalam berbagai bentuknya lebih menguntungkan
sektor-sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari PDRB dan penyerapan tenaga kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor
pertanian sehingga berdampak memperburuk tingkat kemiskinan pedesaan setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, tingkat kemiskinan di
perkotaan berkurang yang diduga karena kondisi sarana dan prasarana yang lebih
baik dibandingkan pedesaan. Selain itu, efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan sangat dipengaruhi ketimpangan pendapatan sehingga
kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu menurunkan kemiskinan karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketimpangan
pendapatan. Dengan demikian, studi tersebut menyimpulkan bahwa transfer fiskal berdampak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Namun,
penelitian tersebut tidak dianalisis secara sektoral sehingga dampaknya pada sektor pertanian hanya diindikasikan oleh perubahan kemiskinan di pedesaan.
Selain itu, hasil penelitian tersebut tidak merekomendasikan kebijakan fiskal yang efektif menurunkan kemiskinan.
Ketiga
, Usman 2006 meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan dengan membangun model
ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1995-2003. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan ekonomi sebelum
desentralisasi fiskal lebih menguntungkan kelompok penduduk kaya. Sedangkan sesudah desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok penduduk kaya pada
awalnya tetapi pada tahun-tahun berikutnya menguntungkan kelompok penduduk miskin. Namun, studi tersebut juga tidak mengkaji peran kebijakan fiskal dalam
konteks penerapan desentralisasi fiskal berdasarkan sektor ekonomi. Sedangkan, fakta menunjukkan ada variasi sektoral pada dinamika kemiskinan di Indonesia.
Keempat
, Ariyanto 2002 meneliti mengenai transfer fiskal pemerintah pada era desentralisasi fiskal di Indonesia yang difokuskan pada kasus dana
perimbangan. Penelitian tersebut membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1996-2001.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah dana perimbangan yaitu DAU, DAK, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam akan mendorong
pertumbuhan ekonomi, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, dan mendorong investasi dan konsumsi swasta daerah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun keseimbangan antar daerah yang dianalisis dengan
Indeks Williamson dan koefisien variasi PDRB per kapita antar provinsi cenderung memburuk karena alokasi bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya
alam, dan Dana Alokasi Khusus DAK tidak merata antar daerah, sehingga alokasi DAU berfungsi sebagai penetralisir. Alokasi bagi hasil pajak lebih
menguntungkan daerah metropolitan seperti DKI Jakarta, alokasi bagi hasil sumber daya alam hanya menguntungkan daerah-daerah penghasil sumber daya
alam seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur, dan alokasi DAK hanya menguntungkan daerah-daerah dengan aktivitas kehutanan yang tinggi karena
DAK masih ditujukan untuk reboisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong investasi dan konsumsi
swasta dengan tingkat pertumbuhan yang bervariasi.
Sedangkan, studi-studi terdahulu yang fokus pada penerapan kebjiakan desentralisasi fiskal di sisi revenue assignments dan peran investasi swasta tidak
banyak, antara lain Mahi 2005 dan Yanizar 2012. Pertama, Mahi 2005 melakukan penelitian mengenai peran PAD pada era otonomi daerah. Temuan
pentingnya adalah berkurangya peran PAD dalam pembiayaan publik di daerah. Selain itu, berdasarkan elastisitas pajak daerah ditemukan bahwa basis pajak
daerah saat ini kurang sensitif terhadap perkembangan perekonomian daerah.
Pemungutan pajak di daerah juga belum optimal sehingga diperlukan optimalisasi pajak daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan misalnya dengan
menyusun daftar detil pajak yang boleh dipungut daerah bukan hanya kriteria umum. Kedua, Yanizar 2012 meneliti dampak kebijakan pengeluaran dana
pembangunan daerah dan investasi swasta terhadap PDRB dan kemiskinan di provinsi Jambi. Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika
sistem persamaan simultan menggunakan data time series tahun 1985-2010. Hasil penelitan menyimpulkan bahwa kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta
adalah hal penting bagi pembangunan ekonomi provinsi Jambi karena terbatasnya kemampuan keuangan daerah. Kesimpulan ini berdasarkan temuan dimana
peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang diikuti peningkatan investasi swasta pada sektor-sektor produktif akan memacu pertumbuhan ekonomi yang
pada gilirannya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu, konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi keleluasaan pemerintah
daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah terutama dari pajak daerah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan potensi penerimaan dan
mengalokasikan dana pada sektor-sektor produktif dan unggulan daerah secara efisien dan efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan
pendapatan dan menurunkan jumlah penduduk miskin.
Meskipun studi-studi tersebut menunjukkan dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal
desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasil-
hasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan
kemiskinan.
Pertumbuhan Sektoral dan Kemiskinan
Banyak ahli ekonomi meyakini pentingnya pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. Namun, fakta menunjukkan kemiskinan tidak menyebar
secara merata di seluruh perekonomian, tetapi ada variasi antar sektor dan antar wilayah. Oleh karena itu, komponen pertumbuhan ekonomi sektoral, regional, dan
fungsional sangat penting dalam strategi pengentasan kemiskinan Klasen, 2004. Dalam jangka panjang, pertumbuhan pro-poor dapat terwujud melalui hubungan
tidak langsung antar sektor, antar daerah, dan antar faktor-faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri
dan jasa-jasa dapat mendorong migrasi tenaga kerja dari daerah pedesaan yang miskin sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk miskin baik penduduk
migran maupun penduduk yang tetap tinggal di pedesaan serta memberi peluang terhadp perbaikan pertumbuhan sektor non-pertanian di pedesaan. Di sisi lain,
pertumbuhan tenaga kerja terampil skilled labor yang umumnya penduduk tidak miskin akan meningkatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil unskilled
labor
yang umumnya merupakan penduduk miskin karena kedua jenis tenaga kerja ini seringkali bersifat komplemen.
Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt 2002 yang
melakukan penelitian empiris di India menemukan: 1 pertumbuhan ekonomi di
pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; 2 pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di
perkotaan; 3 pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; 4 pertumbuhan ekonomi
sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan 5 pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara
bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat kemampuan baca tulis perempuan, urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Temuan ini
menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan tidak hanya memerlukan peran pertumbuhan sektor pertanian tetapi juga pertumbuhan sektor-sektor non-
pertanian terutama di pedesaan.
Demikian juga, penelitian Eastwood dan Lipton 2001 terhadap data empiris beberapa negara menemukan bahwa perbaikan produktivitas tenaga kerja
pertanian lebih mendorong pertumbuhan pro-poor dibandingkan perbaikan sektor non-pertanian. Tetapi, pengaruh perbaikan sektor pertanian di negara-negara
dengan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi relatif rendah bahkan tidak ada.
Penelitian mengenai keterkaitan pertumbuhan antar sektor dan kemiskinan dilakukan oleh Warr 2006 terhadap data empiris di tujuh negara yaitu Thailand,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam untuk menganalisis peran tingkat dan komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi pada perubahan
insiden kemiskinan absolut. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab perubahan kemiskinan yang bervariasi antar negara dan antar waktu
pada beberapa dekade terakhir di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan membagi
sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat
pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan
pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk
mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber
daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil unskilled labor.
Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. 2009 di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi
keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di
pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh
paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi
kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat
pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan.
Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakan-kebijakan fiskal
yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral
tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan
kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan
lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang Seers, 1969. Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya
diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet
2010, tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan cash transfer dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan
kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta
kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan,
pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan
ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di
Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi
hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor.
Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi
fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya
bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusan- keputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan
menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi
fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya
kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan
transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum DAU dan
Dana Bagi Hasil DBH. Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara APBN tahun 2005-2011 pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah meningkat dari 143.2 Triliun Rupiah menjadi 347.2 Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi
meningkat dari 62 menjadi 65, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35 menjadi 28.
Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 Triliun Rupiah
Uraian 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
1. Penerimaan Dalam
Negeri PDN 493.9
636.2 706.1
979.3 847.1
992.2 1 205.3
a. Perpajakan
347.0 409.2
491.0 658.7
619.9 723.3
873.9 b.
Bukan Pajak 146.9
227.0 215.1
320.6 227.2
268.9 331.5
2. Belanja Negara
509.6 667.1
757.6 985.7
937.4 1 042.1
1 295.0 a.
Pemerintah Pusat 361.2
440.0 504.6
693.4 628.8
697.4 883.7
b. Transfer ke Daerah
150.5 226.2
253.3 292.4
308.6 344.7
411.3 1.
Dana Perimbangan
143.2 223.1
244.0 278.7
287.3 316.7
347.2 a.
DAU 88.8
145.7 164.8
179.5 186.4
203.6 225.5
b. DAK
4.0 11.6
16.2 20.8
24.7 21.0
24.8 c.
DBH 50.5
64.9 62.9
78.4 76.1
92.2 96.9
2. Dana Otsus
Penyesuaian 7.2
4.0 9.3
13.7 21.3
28.0 64.1
3. Defisit
14.4 29.1
49.8 4.1
88.6 46.8
84.4 defisit terhadap PDB
0.5 0.9
1.3 0.1
1.6 0.7
1.1
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013
Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi
dan kabupatenkota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7 per provinsi per tahun Tabel 2.
Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam
mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah
yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah DJPK, 2005.
Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2 menjadi 31.2 per provinsi per tahun.
Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah
1
Tahun
Tahun 2005-2011
DAU Pajak
Daerah PAD
Bagi Hasil Pajak
Kapasitas Fiskal
Kemandirian Fiskal
2 3
2005 53.0
10.9 15.5
11.1 35.2
16.8 2006
59.0 8.7
13.1 9.9
30.4 14.1
2007 56.2
8.6 13.2
9.5 29.4
13.4 2008
52.9 9.7
14.4 8.8
31.1 15.0
2009 51.9
9.3 14.1
8.8 29.9
13.8 2010
48.8 10.0
14.8 8.9
32.1 15.1
2011 46.9
11.6 16.3
6.8 31.2
17.8 Rata-rata
52.7 9.8
14.5 9.1
31.3 15.1
Catatan:
1
Agregat provinsi dan kabupatenkota di setiap provinsi;
2
total PAD dan dana bagi hasil;
3
Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah Rasio PAD terhadap total belanja daerah
Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari
4.9 pada tahun 2000 menjadi 6.5 pada tahun 2011. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode 2005-
2011 lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode 2000-2004 hanya 0.02 persen poin per tahun Tabel 3. Namun,
ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap.
Jika mengacu pada pendapat Seers 1969 mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran
pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat.
Penurunan persentase penduduk miskin headcount index periode pertama rata- rata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih
rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional RPJMN 2010-2014 yaitu 8-10 Perpres RI No. 52010 dan target kemiskinan Millenium Development Goals MDGs Indonesia 2015 sebesar 7.5
maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk
miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai.
Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun 2000-2011
Tahun Pertumbuhan
Ekonomi
1
Indeks Gini Persentase
Penduduk Miskin 2000
4.9 0.31
19.14 2001
3.6 0.31
18.41 2002
4.5 0.33
18.20 2003
4.8 0.32
17.42 2004
5.0 0.32
16.66
Rata-rata Perubahan 0.02
0.00 -0.62
2005 5.7
0.36 15.97
2006 5.5
0.33 17.75
2007 6.4
0.36 16.58
2008 6.0
0.35 15.42
2009 4.6
0.37 14.15
2010 6.2
0.38 13.33
2011 6.5
0.41 12.49
Rata-rata Perubahan 0.20
0.02 -0.58
Catatan:
1
Sumber: BPS Perubahan PDB Riil harga Konstan Tahun 2000
Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian
bahkan proporsinya meningkat dari 55.4 pada tahun 2005 menjadi 56.9 pada tahun 2011 Tabel 4. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi
sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi
bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU
hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga
pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat
mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan.
Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga
Tahun Pertanian
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel,Restoran
Lainnya dan Tidak Bekerja
2005 55.4
6.8 8.3
29.5 2006
53.9 6.8
8.9 30.4
2007 52.9
5.7 8.0
33.4 2008
53.3 6.3
8.1 32.3
2009 53.5
2.9 5.8
37.9 2010
56.1 6.4
7.8 29.6
2011 56.9
6.1 7.0
30.0
Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun 2005-2011
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi
bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada
DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata
oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan
kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama
bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan unconditional grant
bantuan tidak bersyarat seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan
daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Menurut Balisacan, et al. 2003 dan OECD 2006 dan 2009, pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor
pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta
menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode 2005-2011 hanya naik masing-masing 19.0 per tahun. Sementara itu, belanja
perdagangan naik 134 per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian
Nanga 2006 menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal
lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan
pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak
berdampak menurunkan kemiskinan.
Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal
tidak bersyarat unconditional transfer yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri Oates, 1999. Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati
2012, Widarjono 2006, dan Kuncoro 2004, menemukan fenomena flypaper effect
pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap
perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan
kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan
infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar.
Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan
ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini
diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada
beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas
fiskal lebih ketat prudent. Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada
sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan
penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian.
Perumusan Masalah
Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional
yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan
pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan
kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat unconditional grant maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja
daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan
lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi
belanja daerah Hines dan Thaler, 1995. Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana
dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku
tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga
lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan
kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja
daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function
yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan
demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal
menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini.
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan
desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak taxing power
dengan dasar hukum UU No. 28 tahun 2009. Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan
sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya
adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan BPHTB dan Pajak Bumi dan
Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan PBB-P2 dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun 2014. Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan
meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal.
Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar.
Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil
yang telah ditetapkan dalam UU No. 332004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil
pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan
tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan PPh individual yang mayoritas merupakan pendapatan
tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 332004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20 sehingga jumlah bagi hasil pajak yang
diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor
pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan
Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan
untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada
kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian.
2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian,
tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia.
3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal
dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa
mendatang.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin
rumahtangga pertanian daerah tahun 2006-2011. 2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah.
3. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian
sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. 4.
Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral,
ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2013-2015.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian difokuskan pada: 1.
Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011.
2. Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan
sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. 3.
Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin
rumahtangga pertanian periode historis 2006-2011 dan peramalan 2013-2015. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:
1. Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupatenkota provinsi
sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupatenkota. 2.
Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan sesuai sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia yang