0.32 0.35 0.33 0.32 0.36 -0.62 Dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia: suatu analisis simulasi kebijakan

Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Provinsi Komposisi DAU Pertumbuhan PDRB Riil 1 Indeks Gini Perubahan HCI poin Distribusi Penduduk Miskin Pertanian PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 43.1 -2.7 0.29 -1.7 59.3 2 Sumut 58.0 6.9 0.32 -0.7 53.8 3 Sumbar 64.8 5.5 0.32 -0.7 60.5 4 Jambi 51.3 11.1 0.30 -0.5 51.8 5 Lampung 60.4 12.5 0.36 -1.2 63.1 6 NTB 64.9 3.7 0.36 -1.5 53.3 7 NTT 70.3 4.0 0.36 -1.6 79.9 8 Kalbar 66.6 4.0 0.33 -1.3 63.4 9 Kalteng 66.5 7.8 0.29 -0.9 70.2 10 Kalsel 47.7 6.5 0.35 -0.6 50.0 11 Sulteng 68.6 9.9 0.34 -1.6 67.9 12 Sulsel 58.8 9.9 0.38 -0.9 60.8 Rata-rata 60.1

6.6 0.33

-1.1 61.2 PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 14.4 12.4 0.33 -0.7 53.8 14 Sumsel 41.2 6.8 0.32 -1.4 57.7 15 Kepri 24.6 4.5 0.31 -1.0 23.1 16 Jabar 47.5 6.0 0.36 -0.8 38.2 17 Jateng 58.3 6.0 0.33 -1.3 51.0 18 DIY 57.1 4.9 0.39 -0.6 49.0 19 Jatim 52.8 6.7 0.34 -1.4 57.3 20 Banten 41.2 4.7 0.37 -0.7 42.0 21 Bali 46.0 7.1 0.35 -0.6 50.6 22 Kaltim 10.6 6.8 0.35 -0.9 50.1 23 Sulut 64.5 7.8 0.35 -0.6 54.0 Rata-rata 41.7

6.7 0.34

-0.9 47.9 Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan: 1 Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun 2006-2011 menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1 memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6 per tahun. NTT dengan komposisi DAU paling besar yaitu 70.3 memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah yaitu rata-rat 41.7 memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7 per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100 6.7 per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian rata-rata 6.6 per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.Terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.

6. HASIL ESTIMASI MODEL

Bab ini berisi hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dan pembahasannya. Hasil estimasi tersebut adalah hasil terbaik yang memenuhi kriteria ekonomi dan kriteria statistik yaitu tanda dari koefisien- koerfisien parameter sesuai teori ekonomi theoretically meaningful, koefisien determinasi R 2 Tabel 24 Keragaan Umum Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral cukup besar goodness of fit, serta hasil uji-uji F dan uji-uji t signifikan secara statistik statistically significant. Namun, karena model tersebut adalah model dinamis dengan variabel lag endogen pada beberapa persamaan struktural maka untuk menghindari perbedaan unit observasi antara current data dan lag data yang mungkin terjadi pada pemrograman data panel menggunakan software SASETS 9.1.3, data tahun 2005 hanya digunakan sebagai lag data tahun 2006 sedangkan data tahun 2006-2011 digunakan sebagai current data dan lag d ata. Program dan hasil estimasi selengkapnya disajikan pada lampiran 4 dan 5. Daerah Tahun 2006-2011 No Variabel Endogen Keterangan Variabel R F-value 2 Prob F-value 1 PJK Pajak daerah 0.98 1 321 0.0001 2 BHSPJK Bagi hasil pajak 0.82 201 0.0001 3 DAU Dana alokasi umum 0.98 1 393 0.0001 4 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 0.87 215 0.0001 5 GIND Belanja perindustrian 0.82 209 0.0001 6 GDG Belanja perdagangan 0.70 103 0.0001 7 GIFR Belanja infrastruktur 0.89 346 0.0001 8 GLN Belanja lainnya 0.99 5 503 0.0001 9 ASP Panjang jalan aspal 0.75 137 0.0001 10 PDRBPGNKBNTNK PDRB pangan, kebun, ternak 0.92 530 0.0001 11 PDRBMKN PDRB makanan jadi 0.64 121 0.0001 12 PDRBDG PDRB perdagangan 0.88 342 0.0001 13 TKTANI Tenaga kerja pertanian 0.90 403 0.0001 14 TKIND Tenaga kerja industri 0.90 409 0.0001 15 TKDG Tenaga kerja perdagangan 0.87 305 0.0001 16 UPHTANI Upah pertanian 0.82 308 0.0001 17 UPHIND Upah industri 0.75 200 0.0001 18 UPHDG Upah perdagangan 0.64 118 0.0001 19 EXPTANI Konsumsi perkapita pertanian 0.62 109 0.0001 20 EXPIND Konsumsi perkapita industri 0.48 63 0.0001 21 EXPDG Konsumsi perkapita perdagangan 0.35 37 0.0001 22 GINI Indeks Gini 0.47 29 0.0001 23 POVTANIP0 Headcount index pertanian 0.69 101 0.0001 24 POVINDP0 Headcount index industri 0.31 20 0.0001 25 POVDGP0 Headcount index perdagangan 0.34 23 0.0001 26 POVTANIP1 Poverty gap index pertanian 0.62 71 0.0001 27 POVTANIP2 Poverty severity index pertanian 0.58 60 0.0001 28 POVP0 Total headcount index 0.77 146 0.0001 Tabel 24 menunjukkan mayoritas R 2 cukup besar 0.60 yang artinya telah memenuhi syarat kecocokan model goodness of fit. Nilai R 2 yang kecil terdapat pada beberapa persamaan blok kemiskinan kecuali kemiskinan sektor pertanian. R 2 Blok Fiskal yang rendah pada estimasi indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga 2006 di Indonesia, Fan, et al. 2006 di Mesir, dan Daniels 2011 di Uganda. Namun demikian, seluruh hasil uji F menunjukkan signifikan secara statistik. Artinya, seluruh variabel penjelas di seluruh persamaan struktural secara bersama-sama mempengaruhi masing-masing variabel endogennya secara signifikan. Pajak Daerah Tabel 25 Hasil Estimasi Pajak Daerah Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept -94933.9 a -2.36 0.0198 PDRBKAP 3.06025 b 2.20 0.0296 0.04 0.26 PDRB per kapita PM 0.042283 a 6.01 .0001 0.11 0.77 Penanaman Modal MTR 99.61593 a 4.80 .0001 0.16 1.08 Kendaraan bermotor PJKL 0.851747 a 17.20 .0001 PJK R t-1 0.98 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Tabel 25 menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah sebagai sumber utama kapasitas fiskal dipengaruhi PDRB per kapita yang mencerminkan potensi ekonomi atau tingkat kemakmuran penduduk. Koefisien parameter sebesar 3.06 dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar seribu rupiah akan meningkatkan penerimaan pajak daerah sebesar 3.06 juta rupiah. Namun, koefisien elastisitas yang kecil yaitu 0.04 menunjukkan rendahnya responsibilitas pajak daerah terhadap perubahan PDRB per kapita. Artinya, PDRB per kapita yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan penerimaan pajak daerah, begitu juga PDRB per kapita yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan pajak daerah. Di sisi lain, hal ini dapat mengindikasikan bahwa masih cukup peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dari objek-objek pajak individual dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Faktor lainnya adalah penanaman modal bahkan hubungannya lebih elastis dibandingkan PDRB per kapita. Artinya, berkembangnya dunia usaha memberi potensi bagi pemerintah daerah untuk mendorong penerimaan pajak daerah. Selain itu, jumlah kendaraan bermotor juga mempengaruhi penerimaan pajak daerah bahkan hubungannya paling elasatis dibandingkan dua faktor sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena data agregat penerimaan pajak daerah didominasi oleh pajak-pajak provinsi yang mayoritas bersumber dari pajak-pajak terkait kendaraan bermotor, yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Tingginya komposisi pajak provinsi ditunjukkan oleh penerimaan pajak daerah tahun 2011 dimana rata-rata 77 dari total penerimaan pajak daerah agregat pajak provinsi dan pajak kabupatenkota merupakan pajak provinsi berkisar antara 46 di Kepulauan Riau dan 87 di Kalimantan Selatan. Namun demikian, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor berdampak buruk pada lingkungan dan menambah beban negara menyediakan subsidi BBM. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi pajak daerah disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dan investasi swasta yang lebih besar. Bagi Hasil Pajak Tabel 26 Hasil Estimasi Bagi Hasil Pajak Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept 77276.63 d 1.22 0.2250 PDRBNONTANI 0.004145 a 7.07 .0001 0.44 0.65 PDRB non tani WLYH 3.330978 a 3.81 0.0002 0.18 0.26 Luas wilayah BHSPJKL 0.314815 a 3.63 0.0004 BHSPJK R t-1 0.82 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah bagi hasil pajak. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004, bagi hasil pajak adalah sumber penerimaan daerah yang merupakan bagi hasil atas penerimaan pajak negara dari wilayah pemerintahan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB, Pajak Penghasilan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri WPOPDN dan PPh Pasal 21. Hasil estimasi pada Tabel 26 menunjukkan bagi hasil pajak secara signifikan dipengaruhi PDRB non-pertanian yang mencerminkan sumber penerimaan PPh orang pribadi dimana sebagian besar bekerja di sektor-sektor non-pertanian. PPh orang pribadi adalah bagian dari PPh non-migas yang merupakan sumber penerimaan pajak dalam negeri terbesar di Indonesia. Data realisasi penerimaan pajak negara tahun 2011 menunjukkan 68 PPh non-migas bersumber dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi 4. Sementara itu, 21 penerimaan PPh Non-migas merupakan tiga jenis PPh yang dibagi hasilkan. Dengan demikian, pembangunan sektor-sektor non-pertanian di daerah berpotnsi meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak khususnya yang bersumber dari PPh. Di sisi lain, peningkatan bagi hasil pajak dari PPh dapat juga dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagian PPh tersebut. Sesuai aturan dalam UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 daerah hanya menerima 20 dari total PPh di seluruh wilayah provinsi yang bersangkutan dengan proporsi 8 untuk provinsi dan 12 untuk kabupatenkota. Faktor lain yang mempengaruhi penerimaan bagi hasil pajak adalah luas wilayah yang mencerminkan sumber penerimaan PBB dan BPHTB. Namun, hubungan bagi hasil pajak dengan PDRB non-pertanian lebih elastis dibandingkan hubungannya dengan luas wilayah yang berarti penerimaan bagi hasil pajak lebih bergantung pada pajak-pajak penghasilan dari pada pajak-pajak properti. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kontribusi PBB pada penerimaan pajak dalam negeri. Pada tahun 2011 komposisi PBB pada total penerimaan pajak dalam negeri hanya 4. Selain itu, sejak tahun 2011 BPHTB telah dialihkan seluruhnya ke daerah menjadi sumber penerimaan pajak daerah sehingga tidak lagi menjadi sumber penerimaan pajak dalam negeri. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi bagi hasil pajak disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak khususnya dari sumber bagi hasil PPh diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian antar alain sektor industri dan perdagangan. Namun, upaya lain dapat dilakukan pemerintah pusat dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dengan merrevisi UU No. 33 tahun 2004. Dana Alokasi Umum Selain kapasitas fiskal, pendapatan fiskal daerah juga bersumber dari dana perimbangan khususnya Dana Alokasi Umum DAU. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari setengah total pendapatan daerah berasal dari DAU. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal yang mengutamakan sisi pengeluaran dengan mengalihkan tugas-tugas pengeluaran daerah secara penuh dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Namun, ketergantungan pada DAU dapat memperburuk kinerja fiskal daerah. Menurut teori federalisme fiskal, transfer yang besar menimbulkan disinsentif atau halangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaannya Oates, 1972. Jika dikaitkan DAU sebagai komponen dana perimbangan yang paling penting maka ketergantungan keuangan daerah pada DAU akan menghalangi kemampuan daerah meningkatkan penerimaannya dari sumber-sumber keuangan lokal. Tabel 27 Hasil Estimasi Dana Alokasi Umum Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept 179927.2 c 1.44 0.1532 PDRBL -0.0072 a -6.10 .0001 -0.16 -0.28 PDRB POP t-1 107.6154 a 4.26 .0001 0.17 0.29 Jumlah penduduk WLYH 6.338917 a 4.45 .0001 0.06 0.11 Luas wilayah PNS 18.81129 a 6.27 .0001 0.50 0.87 Jumlah PNS DAUL 0.431706 a 6.51 .0001 DAU R t-1 0.98 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Hasil estimasi pada Tabel 27 menunjukkan DAU dipengaruhi faktor-faktor kebutuhan daerah sesuai formula alokasi DAU yaitu PDRB tahun sebelumnya lag PDRB, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Hubungan DAU dan lag PDRB yang negatif menunjukkan bahwa daerah akan menerima DAU lebih rendah jika PDRB tahun sebelumnya lebih besar. Hal ini berarti kenaikan PDRB merupakan faktor penting untuk mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Sementara, faktor-faktor yang meningkatkan DAU adalah jumlah penduduk dan luas wilayah. Sesuai formula alokasinya, DAU juga ditentukan oleh alokasi dasar sebagai cerminan kebutuhan pembiayaan administrasi pemerintahan daerah yang diproksi dari jumlah PNS daerah. Hubungan yang positif mengindikasikan pembiayaan struktur pemerintahan daerah yang lebih luas akan dijamin oleh pemerintah pusat melalui DAU. Namun, perluasan struktur pemerintahan daerah tidak menjamin peningkatan layanan masyarakat. Selain itu, koefisien elastisitasnya paling besar yaitu 0.5 yang berarti kenaikan kenaikan jumlah PNS 10 akan menambah DAU 5. Artinya, setengah dari tambahan DAU digunakan untuk membayar gaji PNS. Temuan ini sesuai hasil penelitian World Bank 2007 dimana lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Peran DAU yang besar pada alokasi dasar mengindikasikan DAU lebih diutamakan untuk membiayai kebutuhan administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi DAU disimpulkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU diperlukan PDRB yang lebih besar dan perampingan struktur pemerintahan di daerah. Belanja Sektoral Tabel 28 Hasil Estimasi Belanja Sektoral Daerah Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Belanja Pertanian GPGNKBNTNK Intercept 36039.57 a 3.27 0.0014 KAPFIS 0.007570 a 3.65 0.0004 0.11 0.25 Kapasitas fiskal DAU 0.008443 a 2.90 0.0043 0.17 0.37 DAU DAK 0.046851 d 1.23 0.2191 0.10 0.21 Dana alokasi khusus GPGNKBNTNKL 0.542576 a 7.55 .0001 GPGNKBNTNK R t-1 0.87 2 Belanja Perindustrian GIND Intercept -4952.5 b -1.86 0.0651 KAPFIS 0.000730 b 1.83 0.0698 0.09 0.35 Kapasitas fiskal DAU 0.002365 a 5.13 .0001 0.37 1.49 DAU GINDL 0.749475 a 13.26 .0001 GIND R t-1 0.82 2 Belanja Perdagangan GDG Intercept -1818.01 -0.49 0.6220 KAPFIS 0.002214 a 3.64 0.0004 0.22 0.44 Kapasitas fiskal DAU 0.002753 a 4.73 .0001 0.36 0.73 DAU GDGL 0.504975 a 7.19 .0001 GDG R t-1 0.70 2 Belanja Infrastruktur GIFR Intercept 256753.3 a 3.97 0.0001 KAPFIS 0.082805 a 5.66 .0001 0.21 0.56 Kapasitas fiskal DAU 0.017387 b 2.08 0.0390 0.06 0.16 DAU GIFRL 0.625046 a 10.82 .0001 GIFR R t-1 0.89 2 Belanja Lainnya GLN Intercept -162696 -1.59 0.1148 KAPFIS 0.162246 a 4.89 .0001 0.08 0.44 Kapasitas fiskal DAU 0.302331 a 6.96 .0001 0.19 1.07 DAU GLNL 0.826398 a 20.56 .0001 GLN R t-1 0.99 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Klasifikasi belanja daerah pada penelitian ini terdiri dari belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, belanja infrastruktur, dan belanja lainnya. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan pengeluaran pemerintah daerah sektoral dan kinerja perekonomian sektoral. Besar kecilnya pengeluaran pemerintah tergantung pada penerimaanya. Oleh karena itu, kelima jenis belanja daerah ini diduga dipengaruhi oleh dua sumber utama penerimaan daerah yaitu kapasitas fiskal dan DAU. Di sisi lain, penggunaan DAU sebagai variabel penjelas dapat memberi informasi ada tidaknya fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasinya untuk kelima jenis belanja daerah tersebut. Selain itu, dapat diketahui juga informasi ada tidaknya upaya pemerintah daerah untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan pengeluaran daerah. Hasil estimasi pada Tabel 28 menunjukkan kelima jenis belanja daerah dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan DAU. Namun, perubahan belanja-belanja daerah lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal kecuali belanja infrastruktur. Artinya, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU karena pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membiayai sebagian besar belanja daerahnya sementara perubahan kapasitas fiskal kurang direspon. Koefisien DAU yang lebih besar dari koefisien kapasitas fiskal pada estimasi belanja perindustrian dan belanja perdagangan mengindikasikan pemerintah daerah tidak menggunakan DAU untuk strategi pertumbuhan pro-poor yaitu pembangunan pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagaimana rekomedasi studi-studi terdahulu seperti Balisacan, et al. 2003 dan OECD 2006 dan 2009. Sementara itu, hasil estimasi belanja pertanian dan belanja infrastruktur menunjukkan koefisien parameter kapasitas fiskal cukup besar. Hal ini mengindikasikan kapasitas fiskal lebih diandalkan dalam strategi pertumbuhan pro-poor di daerah dari pada DAU. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal lebih efektif untuk mencapai pertumbuhan pro-poor dari pada DAU. Namun, fakta menunjukkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah bahkan cenderung berkurang. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi belanja-belanja sektoral disimpulkan bahwa ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU terhadap alokasi belanja- belanja sektoral yang tidak berdampak besar bagi pertumbuhan pro-poor. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan pro-poor melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur daerah dibutuhkan kapasitas fiskal yang besar dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Blok Perekonomian Sektoral Panjang Jalan Aspal Infrastruktur jalan merupakan faktor penting dalam perekonomian daeerah karena berfungsi sebagai sarana untuk memperluas akses ke pasar input dan pasar output. Oleh karena ituk, pembangunan infrastruktur jalan aspal juga merupakan fokus pembangunan nasional yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI 2011-2025. Hal ini berawal dari fakta rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia pada umumnya sehingga menjadi kendala utama dalam melakukan berbagai kegiatan usaha. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang jalan aspal. Hasil estimasi pada Tabel 29 menunjukkan panjang jalan aspal dipengaruhi oleh belanja infrastruktur, penanaman modal, dan jumlah kendaraan bermotor. Koefisien parameter belanja infrastruktur sebesar 0.00063 menunjukkan kenaikan belanja infrastruktur satu miliar rupiah hanya mampu menambah jalan aspal 0.63 km. Hal ini dapat terjadi karena belanja infrastruktur digunakan juga untuk pembangunan infrastruktur lain seperti irigasi dan sarana air bersih. Akan tetapi, hasil penelitian KPPOD di 41 kabupatenkota tahun 2007-2010 menemukan anggaran belanja infrastruktur hanya 11-13. Bahkan meningkatnya belanja infrastruktur tidak meningkatkan kualitas infrastruktur khususnya jalan yang diduga disebabkan oleh korupsi pelaksanaan proyek infrastruktur fisik sehingga mengorbankan mutu infrasttruktur. Tabel 29 Hasil Estimasi Panjang Jalan Aspal Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan Intercept 2489.701 a 4.16 .0001 GIFR 0.000634 b 1.82 0.0706 0.11 Belanja infrastruktur PM 0.000148 b 2.52 0.0130 0.06 Penanaman modal MTR 2.470515 a 15.15 .0001 0.58 Kendaraan bermotor R 0.75 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Selain itu, penanaman modal juga berpengaruh positif meskipun kurang elastis. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan peran swasta mengingat kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur dari belanja pemerintah daerah relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil estimasi belanja sektoral, rendahnya belanja infrastruktur karena belanja tersebut lebih bergantung pada kapasitas fiskal sementara komposisi kapasitas fiskal di daerah rendah. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi panjang jalan aspal disimpulkan untuk membangun infrastruktur jalan aspal diperlukan belanja infrastruktur dan investasi swasta yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana belanja infrastruktur sangat bergantung pada kapasitas fiskal, maka kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur jalan aspal adalah kapasitas fiskal. PDRB Sektoral Kinerja perekonomian daerah dapat dicerminkan dari PDRB sektoral. Hasil estimasi pada Tabel 30 menunjukkan PDRB sektoral dipengaruhi belanja sektoral, tenaga kerja sektoral, dan panjang jalan aspal. Perubahan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan PDRB perdagangan lebih elastis terhadap perubahan tenaga kerja sektoral dari pada perubahan belanja sektoral. Hal ini menunjukkan kedua sektor tersebut lebih bersifat padat karya labor intensive. Sebaliknya, perubahan PDRB industri makanan lebih elastis terhadap perubahan belanja perindustrian dari pada tenaga kerja industri. Hal ini menunjukkan sektor tersebut lebih bersifat padat modal capital intensive. Faktor lain yang mempengaruhi PDRB sektoral adalah panjang jalan aspal yang mencerminkan perannya sebagai sarana memperluas akses ke pasar output terutama pertanian dan perdagangan melalui jalur yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Koefisien parameter panjang jalan aspal pada PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan sebesar 930 dan PDRB perdagangan sebesar 1656 memberi arti penambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan sebesar 930 juta rupiah dan PDRB perdagangan 1.66 miliar rupiah. Tabel 30 Hasial Estimasi PDRB Sektoral Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan PDRBPGNKBNTNK Intercept -6374729 a -5.34 .0001 GPGNKBNTNK 24.73811 a 4.40 .0001 0.38 Belanja pertanian TKTANI 5711.454 a 6.67 .0001 0.48 Tenaga kerja pertanian ASP 930.0316 a 3.82 0.0002 0.47 Panjang jalan aspal R 0.92 2 PDRB industri makanan jadi PDRBMKN Intercept -2494254 b -1.74 0.0840 GIND 195.8402 a 5.48 .0001 0.69 Belanja perindustrian TKIND 11064.96 a 6.74 .0001 0.55 Tenaga kerja industri R 0.64 2 PDRB perdagangan PDRBDG Intercept -1.47E+07 a -4.83 .0001 GDGKAP 556479.4 a 2.63 0.0097 0.16 Belanja perdagangan TKDG 24205.45 a 11.89 .0001 0.78 Tenaga kerja perdag ASP 1655.791 a 5.13 .0001 0.63 Panjang jalan aspal R 0.88 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi PDRB sektoral dapat disimpulkan untuk mendorong perekonomian daerah maka diperlukan pengeluaran pemerintah sektoral yang lebih besar terutama di sektor industri serta jumlah tenaga kerja yang lebih besar terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Selain itu, infrastruktur jalan aspal juga dibutuhkan terutama untuk sektor pertanian dan perdagangan. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi belanja-belanja sektoral, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk mendorong perekonomian daerah mengingat perannya yang besar dalam pada belanja-belanja sektoral khususnya belanja pertanian dan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan pro-poor. Tenaga Kerja Sektoral Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Hasil estimasi menunjukkan jumlah tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan panjang jalan aspal. Hubungannya dengan panjang jalan aspal lebih elastis dari pada PDRB pertanian dengan koefisien parameter sebesar 0.14 yang berarti pertambahan jalan aspal sepanjang 1 km akan menyerap tambahan tenaga kerja pertanian sebanyak 140 orang. Hal ini menunjukkan pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting bagi ekonomi pedesaan yang didominasi sektor pertanian melalui penyerapan tenaga kerja pertanian. Hubungan tenaga kerja pertanian dan infrastruktur jalan aspal yang lebih elastis dibandingkan tenaga kerja industri dan tenaga kerja perdagangan juga menjadi indikasi bahwa kondisi infrastruktur di wilayah pertanian yang mayoritas berada di pedesaan lebih buruk dibandingkan wilayah industri dan perdagangan di perkotaan sehingga sangat berperan menyerap tenaga kerja pertanian. Sementara itu, upah riil sektoral yang lebih besar menurunkan jumlah tenaga kerja terutama di sektor industri. Perubahan jumlah tenaga kerja industri sangat elastis terhadap perubahan upah riil industri dimana kenaikan upah riil 10 akan menurunkan jumlah tenaga kerja industri 11.4. Hal ini mengindikasikan kenaikan upah riil akan mendorong pengusaha sektor industri untuk mengurangi input tenaga kerja dan mengalihkan kenaikan upah riil untuk menambah modal. Dengan perkataan lain, faktor modal dan tenaga kerja di sektor industri bersifat kompetitif. Tabel 31 Hasil Estimasi Jumlah Tenaga Kerja Sektoral Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan Tenaga Kerja Pertanian TKTANI Intercept 278.318 d 1.18 0.2404 PDRBTANI 0.000028 a 4.87 .0001 0.41 PDRB pertanian UPHTANI -1.10432 a -3.84 0.0002 -0.41 Upah pertanian ASP 0.138568 a 6.90 .0001 0.83 Panjang jalan aspal R 0.90 2 Tenaga Kerja Industri TKIND Intercept 507.7032 a 4.61 .0001 PDRBIND 0.000013 a 18.83 .0001 0.95 PDRB industri UPHIND -0.68291 a -7.15 .0001 -1.14 Upah industri ASP 0.010769 b 1.84 0.0678 0.20 Panjang jalan aspal R 0.90 2 Tenaga Kerja perdagangan TKDG Intercept 360.2438 d 1.22 0.2231 PDRBDG 0.000023 a 10.79 .0001 0.71 PDRB perdagangan UPHDG -0.41858 c -1.41 0.1606 -0.41 Upah perdagangan ASP 0.021856 b 1.76 0.0807 0.26 Panjang jalan aspal R 0.87 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi tenaga kerja sektoral disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor pertanian dan perdagangan yang lebih bersifat labor intensive diperlukan infrastruktur jalan aspal yang lebih memadai. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan infrastruktur jalan aspal memerlukan belanja infrastruktur yang memadai yang bergantung pada kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektoral terutama tenaga kerja pertanian. Upah Riil Sektoral Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan upah riil sebagai proksi pendapatan penduduk untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis fluktuasi tingkat upah akan mempengaruhi kemiskinan. Indikator upah riil juga digunakan untuk menganalisis siklus bisnis business cycles apabila dianalisis bersama variabel- variabel ekonomi lain seperti jumlah tenaga kerja dan output Malik dan Ahmed, 2000. Hasil estimasi pada Tabel 32 menunjukkan upah riil pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi secara psitif oleh PDRB per kapita sektoral. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed 2000 yaitu ada hubungan positif output dan upah riil di Pakistan baik total maupun sektoral. Artinya, hubungan pertumbuhan ekonomi dan upah riil bersifat pro-cyclical. Tabel 32 Hasil Estimasi Upah Riil Sektoral Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Upah Pertanian UPHTANI Intercept 63.05079 a 2.70 0.0079 PDRBTANIKAP 0.009624 c 1.63 0.1052 0.05 0.36 PDRB tani perkap UPHTANIL 0.860639 a 20.23 .0001 UPHTANI R t-1 0.82 2 Upah Industri UPHIND Intercept 464.3901 a 8.19 .0001 PDRBINDKAP 0.032354 a 6.30 .0001 0.15 0.22 PDRB industri perkap UPHINDL 0.313735 a 3.79 0.0002 UPHIND R t-1 0.75 2 Upah Perdagangan UPHDG Intercept 247.4232 a 5.32 .0001 PDRBDGKAP 0.026432 a 3.49 0.0006 0.09 0.23 PDRB perdag perkap UPHDGL 0.622585 a 9.00 .0001 UPHDG R t-1 0.64 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Berdasarkan temuan dari hasil estimasi upah riil sektoral dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan upah riil diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan hasil estimasi temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal adalah faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah melalui perannya pada pengeluaran pemerintah dan pembangunan infrastruktur jalan maka hal ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal berperan penting dalam meningkatkan upah riil sektoral. Pengeluaran per Kapita Sektoral Sebagi proksi tingkat pendapatan, upah riil dapat menggambarkan daya beli penduduk melalui ukuran pengeluaran per kapita. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran upah riil sektoral dalam meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Tabel 33 menunjukkan upah riil sektoral berpengaruh pada pengeluaran per kapita masing-masing sektor. Koefisien parameter yang positif memberi arti meningkatnya upah riil sektoral akan meningkatkan pengeluaran per kapita di setiap sektor. Namun, hubungan upah riil pertanian kurang elastis dibandingkan upah riil industri dan upah riil perdagangan. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa rumahtangga pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada sektor. Di sisi lain, hal itu juga dapat mengindikasikan rendahnya pendapatan petani dari sektor pertanian sehingga dibutuhkan pekerjaan tambahan dari sektor lain atau bantuan keuangan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangganya dari peorangan atau pemerintah yang biasanya dalam bentuk hibah atau utang. Faktor lain yang mempengaruhi pengeluaran per kapita adalah inflasi. Hubungan negatif menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat provinsi akan menurunkan pengeluaran per kapita terutama di rumahtangga pertanian. Perubahan pengeluaran per kapita pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan inflasi mengindikasikan bahwa rumahtangga pertanian paling dirugikan oleh kenaikan harga-harga. Tabel 33 Hasil Estimasi Pengeluaran per Kapita Sektoral Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan Pengeluaran per kapita pertanian EXPTANI Intercept 210.2986 a 14.59 .0001 UPHTANI 0.221478 a 12.71 .0001 0.47 Upah pertanian IFL -7.69744 a -7.03 .0001 -0.22 Inflasi R 0.62 2 Pengeluaran per kapita industri EXPIND Intercept 153.6796 a 4.41 .0001 UPHIND 0.29305 a 10.79 .0001 0.67 Upah industri IFL -3.50608 c -1.36 0.1771 -0.07 Inflasi R 0.48 2 Pengeluaran per kapita perdagangan EXPDG Intercept 129.4432 a 2.36 0.0199 UPHDG 0.448016 a 7.82 .0001 0.83 Upah IFL -6.34483 a -2.46 0.0151 -0.11 Inflasi R 0.35 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Kesimpulan yang didapat dari hasil estimasi pengeluaran per kapita sektoral adalah untuk meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor pertanian diperlukan upah riil yang lebih tinggi dan harga-harga yang lebih stabil. Jika dikaitkan dengan temuan sebelumnya dimana kapasitas fiskal merupakan faktor penting yang dapat berdampak meningkatkan upah riil sektoral maka hal ini dapat terwujud apabila keuangan daerah memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar. Blok Kemiskinan Sektoral Indeks Gini Studi-studi terdahulu, antara lain Kakwani 1993, Bourguignon 2004, dan Warr 2006, menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat mengurangi peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan yang diukur dari Indeks Gini. Hasil estimasi pada Tabel 34 menunjukkan Indeks Gini dipengaruhi oleh share PDRB pertanian, share PDRB industri, dan share PDRB perdagangan dimana share PDRB pertanian yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini. Selain itu, meskipun share PDRB industri tidak signifikan tetapi koefisien parameter yang positif menunjukkan share PDRB industri yang lebih besar berpotensi menurunkan Indeks Gini. Sebaliknya, share PDRB perdagangan yang lebih besar berpotensi meningkatkan Indeks Gini. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi Indeks Gini dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat berkurang jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan di sektor riil terutama pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana pembangunan pertanian memerlukan sumber pembiayaan dari kapasitas fiskal maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Tabel 34 Hasil Estimasi Indeks Gini Variabel Estimasi parameter t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan S-R L-R Intercept 0.118165 a 4.28 .0001 SHPDRBTANI -0.00052 d -1.26 0.2085 -0.03 -0.11 Share PDRB pertanian SHPDRBIND -0.00033 -1.17 0.2458 -0.02 -0.06 Share PDRB industri SHPDRBDG 0.000331 0.68 0.4973 0.02 0.06 Share PDRB perdag GINIL 0.702657 a 10.51 .0001 GINI R t-1 0.47 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Tingkat Kemiskinan Sektoral Tabel 35 Hasil Estimasi Tingkat Kemiskinan Sektoral Variabel Estimasi t-val Pr |t| Elastisitas Keterangan Headcount index Pertanian POVTANIP0 Intercept -6.22684 d -1.07 0.2858 EXPTANI -0.17003 a -17.36 .0001 -2.50 Pengeluaran perkap GINI 60.9337 a 4.56 .0001 1.07 Indeks Gini GK 0.302195 a 13.13 .0001 2.75 Garis Kemiskinan R 0.69 2 Headcount index Industri POVINDP0 Intercept -6.93891 -0.70 0.4874 EXPIND -0.0608 a -7.38 .0001 -1.81 Pengeluaran perkap industri GINI 42.69824 b 1.91 0.0589 1.12 Indeks Gini GK 0.163808 a 4.81 .0001 2.22 Garis Kemiskinan R 0.31 2 Headcount index Perdagangan POVDGP0 Intercept -4.59922 -0.70 0.4832 EXPDG -0.04699 a -7.83 .0001 -2.42 Pengeluaran perkap perrdag GINI 44.26502 a 2.78 0.0062 1.72 Indeks Gini GK 0.111514 a 5.09 .0001 2.23 Garis Kemiskinan R 034 2 Poverty Gap Index Pertanian POVTANIP1 Intercept -1.23131 d -0.96 0.3410 EXPTANI -0.03177 a -14.63 .0001 -2.98 Pengeluaran perkap GINI 8.428017 a 2.85 0.0051 0.95 Indeks Gini GK 0.059236 a 11.61 .0001 3.44 Garis Kemiskinan R 0.62 2 Poverty Severity Index Pertanian POVTANIP2 Intercept -0.33909 -0.82 0.4156 EXPTANI -0.00938 a -13.41 .0001 -3.31 Pengeluaran perkap GINI 1.924496 b 2.02 0.0458 0.82 Indeks Gini GK 0.017944 a 10.91 .0001 3.92 Garis Kemiskinan R 0.58 2 Total Headcount index POVP0 Intercept -0.5193 -0.69 0.4923 POVTANIP0 0.460043 a 9.18 .0001 0.64 Headcount index pertanian POVINDP0 0.307586 a 4.31 .0001 0.28 Headcount index industri POVDGP0 0.185324 b 1.83 0.0692 0.12 Headcount index perdag R 0.77 2 Catatan: a, b, c, d signifikan pada α 1, 5, 10, 20; huruf tercetak miring adalah variabel eksogen Tingkat kemiskinan umumnya diukur dari tiga indikator kemiskinan FGT yaitu Headcount Index P , Poverty Gap Index P 1 , dan Poverty Severity Index P 2 Namun, headcount index memiliki kelemahan yaitu mengabaikan perbedaan kesejahteraan antar rumahtangga miskin. Untuk itu, diperlukan Poverty Gap Index yang dapat mengukur intensitas kemiskinan dimana ukuran Poverty Gap Index yang lebih besar menunjukkan semakin jauh jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sehingga penduduk miskin semakin sulit keluar dari kondisi kemiskinan. Pada penelitian ini, Poverty Gap Index diestimasi pada sektor pertanian dengan alasan tingginya tingkat kemiskinan di sektor tersebut dibandingkan dua sektor lainnya. Hasil estimasi juga menunjukkan Poverty Gap Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan. Artinya, intensitas kemiskinan pertanian akan berkurang jika pengeluaran per kapita lebih besar dan distribusi pendapatan lebih merata. . Hasil estimasi pada Tabel 35 menunjukkan Headcount Index pertanian, industri, dan perdagangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita masing-masing sektor, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana hubungan ketiganya sangat elastis. Koefisien parameter pengeluaran per kapita sektoral yang bertanda positif memberi arti bahwa pengeluaran per kapita sektoral yang lebih besar akan menurunkan headcount index sektoral. Sebaliknya, koefisien parameter Indeks Gini yang negatif menunjukkan Indeks Gini yang lebih besar akan meningkatkan headcount index sektoral. Dengan demikian, headcount index sektoral berkurang jika pengeluaran per kapita sektoral lebih besar dan ketimpangan pendapatan lebih rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Nanga 2006, Miranti 2010, Laabas dan Limam 2004, Bidani dan Ravallion 1993, dan Ravallion dan Chen 1997. Namun, studi-studi tersebut tidak mendekomposisi headcount index secara sektoral. Koefisien elastisitas menunjukkan perubahan headcount index sektoral lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita sektoral dari pada perubahan Indeks Gini. Artinya, perubahan headcount index lebih responsif terhadap perubahan pengeluaran per kapita dibandingkan perubahan Indeks Gini. Temuan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Miranti 2010 serta Bidani dan Ravallion 1993 di Indonesia. Hasil estimasi juga menunjukkan total headcount index lebih dipengaruhi headcount index pertanian dimana kenaikan headcount index pertanian 10 akan meningkatkan total headcount index 4.6. Artinya, hampir separuh dari total penduduk miskin di Indonesia berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, strateg pengentasan kemiskinan khususnya melalui upaya pertumbuhan pro-poor lebih efektif jika diproritaskan pada penurunan kemiskinan penduduk pertanian. Namun, Poverty Gap Index mengabaikan efek ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin sehingga tidak mampu menangkap perbedaan tingkat keparahan kemiskinan the severity of poverty diantara penduduk miskin. Oleh karena itu, diperlukan Poverty Severity Index untuk menggambarkan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Pada penelitian ini Poverty Severity Index juga hanya diestimasi untuk sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan Poverty Severity Index pertanian dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita pertanian, Indeks Gini, dan garis kemiskinan dimana distribusi pengeluaran penduduk miskin di sektor pertanian akan lebih merata jika pengeluaran per kapitanya lebih besar dan distribusi pendapatan seluruh penduduk lebih merata. Berdasarkan temuan dari hasil estimasi headcount index, poverty gap index, dan poverty severity index dapat disimpulkan tingkat kemiskinan dapat berkurang jika pendapatan penduduk meningkat dan ketimpangan pendapatan berkurang terutama pada kelompok penduduk miskin pertanian. Jika dikaitkan dengan temuan-temuan sebelumnya dimana tingkat pendapatan dipengaruhi upah riil dan distribusi pendapatan dipengaruhi pembangunan pertanian maka kapasitas fiskal menjadi faktor penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini disebakan karena upah riil akan meningkat jika pertumbuhan sektoral meningkat sementara pertumbuhan sektoral bergantung pada kapasitas fiskal yang berperan besar dalam membiayai pengeluaran sektoral dan pembangunan infrastruktur sebagai faktor- faktor yang dapat mencipatkan pertumbuhan ekonomi sektoral. Demikian juga, pembangunan pertanian dapat terwujud melalui peran kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai belanja pertanian dan pembangunan infrastruktur sebagai dua faktor penting yang mempengaruhi PDRB pertanian yang pada akhirnya dapat menurunkan ketimpangan pendapatan.

7. DAMPAK KAPASITAS FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN SEKTORAL

Hasil estimasi model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menjadi dasar simulasi historis tahun 2006-2011 dan simulasi peramalan tahun 2013-2015. Simulasi historis dilakukan untuk mengevaluasi dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia. Sedangkan simulasi peramalan dilakukan untuk merekomendasikan alternatif kebijakan yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. Simulasi difokuskan pada variabel yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan ketimpangan pendapatan, tingkat kemiskinan, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Suatu skenario dianggap paling baik jika memberi dampak paling besar, tidak menimbulkan trade-off antar variabel dampak, dan tidak menimbulkan defisit fiskal. Ulasan variabel-variabel endogen yang menggambarkan dampak pada kinerja fiskal adalah kesenjangan fiskal dan kemandirian fiskal, dampak pada kinerja perekonomian adalah PDRB sektoral dan jumlah tenaga kerja, dan dampak pada kemiskinan adalah Indeks Gini, headcount index sektoral, total headcount index, jumlah penduduk miskin sektoral, jumlah penduduk miskin, dan proporsi penduduk miskin pertanian. Hasil Validasi Simulasi diawali dengan validasi untuk mengetahui apakah model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dapat mewakili fenomena fiskal, perekonomian sektoral, dan kemiskinan sektoral daerah. Validasi model dilakukan dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3. Tingkat validitas model ditentukan berdasarkan Theil’s Inequality Coefficient U dan proporsi U proportion of inequality yaitu proporsi bias U M , proporsi variansi U S , dan proporsi kovariansi U C . Jika U mendekati nol maka model dianggap baik, sedangkan jika mendekati satu maka model dianggap kurang mampu menjelaskan data yang sebenarnya Sitepu dan Sinaga, 2006. Hasil validasi pada Tabel 36 menunjukkan mayoritas koefisien U mendekati nol, seluruh nilai U M mendekati nol yang berarti tidak ada bias sistematik, nilai-nilai U S relatif kecil yang berarti fluktuasi nilai-nilai prediksi sesuai dengan fluktuasi nilai-nilai aktualnya, dan nilai-nilai U C Dampak kapasitas fiskal pada perekonomian dan kemiskinan dapat terjadi melalui mekanisme berikut: kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja sektoral sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi output daerah sehingga PDRB sektoral meningkat. PDRB sektoral yang lebih besar akan mendorong upah riil sehingga pendapatan penduduk meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pengeluaran per kapita. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dapat meningkatkan konsumsi penduduk agar memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak basic needs cukup besar dan mendekati satu yang berarti error tidak sistematik. Berdasarkan keempat ukuran statistik ini dapat disimpulkan bahwa model valid sehingga dapat dilakukan simulasi historis dan peramalan. Program dan hasil validasi secara lengkap disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Tabel 36 Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dalam Theil Forecast Error Statistics Endogen Satuan Aktual Predicted U U U M U S C Blok Fiskal 1. Pajak daerah Juta 1 421 350 1 511 125 0.09 0.05 0.26 0.69 2. PAD Juta 2 107 481 2 197 256 0.06 0.05 0.28 0.67 3. Bagi hasil pajak Juta 1 068 570 1 040 519 0.17 0.00 0.17 0.83 4. Kapasitas fiskal Juta 4 449 630 4 511 354 0.04 0.01 0.03 0.96 5. DAU Juta 5 875 357 5 914 990 0.05 0.00 0.01 0.98 6. Pendapatan daerah Juta 12 247 142 12 348 0.03 0.01 0.11 0.88 7. Belanja pertanian Juta 293 924 289 938 0.12 0.00 0.04 0.96 8. Belanja perindustrian Juta 37 180 36 339 0.23 0.00 0.09 0.91 9. Belanja perdagangan Juta 44 870 44 797 0.23 0.00 0.11 0.89 10. Belanja perdagangan perkapita Ribu 7.5 7.2 0.25 0.00 0.23 0.77 11. Belanja infrastruktur Juta 1 748 045 1 669 634 0.13 0.02 0.07 0.91 12. Belanja lainnya Juta 9 534 554 9 504 389 0.04 0.00 0.09 0.91 13. Belanja daerah Juta 11 845 264 11 731 0.04 0.01 0.05 0.94 14. Kesenjangan fiskal Juta 7 395 634 7 220 434 0.06 0.03 0.02 0.95 15. Kemandirian fiskal 16.1 16.3 0.08 0.01 0.01 0.98 Blok Perekonomian Sektoral 16. Panjang jalan aspal km 9 804 9 753 0.16 0.00 0.06 0.94 17. PDRB t.pangan, kebun, ternak Juta 19 366 098 19 015 0.13 0.00 0.19 0.81 18. PDRB pertanian Juta 23 916 759 23 566 0.11 0.00 0.21 0.79 19. PDRB pertanian per kapita Juta 3 093 3 501 0.20 0.08 0.04 0.88 20. PDRB makanan jadi Juta 10 599 563 10 220 0.34 0.00 0.14 0.86 21. PDRB industri pertanian Juta 19 202 161 18 823 0.20 0.00 0.03 0.97 22. PDRB industri Juta 38 409 672 38 030 0.10 0.00 0.01 0.99 23. PDRB industri per kapita Juta 4 151 4 252 0.07 0.01 0.00 0.99 24. PDRB perdagangan Juta 25 956 611 24 337 0.22 0.01 0.26 0.74 25. PDRB perdagangan per kapita Juta 2 691 3 166 0.34 0.04 0.18 0.78 26. PDRB non-pertanian Juta 113 950 000 111 950 0.07 0.01 0.25 0.74 27. PDRB Juta 137 870 000 135 520 0.07 0.01 0.28 0.71 28. PDRB per kapita Ribu 17 784 18 769 0.08 0.06 0.14 0.80 29. Share PDRB pertanian 22.0 22.1 0.10 0.00 0.13 0.87 30. Share PDRB industri 19.1 20.7 0.13 0.06 0.06 0.88 31. Share PDRB perdagangan 17.1 16.5 0.34 0.00 0.39 0.60 32. Tenaga kerja pertanian Ribu 1 637 1 602 0.16 0.00 0.19 0.81 33. Tenaga kerja industri Ribu 525 506 0.17 0.00 0.06 0.93 34. Tenaga kerja perdagangan Ribu 835 781 0.23 0.01 0.32 0.67 35. Tenaga kerja total Ribu 4 075 3 966 0.10 0.01 0.39 0.60 36. Upah pertanian Ribu 601 623 0.08 0.05 0.18 0.78 37. Upah industri Ribu 873 880 0.10 0.00 0.08 0.92 38. Upah perdagangan Ribu 826 842 0.11 0.01 0.01 0.98 39. Pengeluaran penduduk pertanian Ribu 281 286 0.07 0.01 0.21 0.77 40. Pengeluaran penduduk industri Ribu 381 384 0.13 0.00 0.28 0.72 41. Pengeluaran penduduk Ribu 449 456 0.10 0.01 0.21 0.79 Blok Kemiskinan Sektoral 42. Indeks Gini 0.338 0.342 0.05 0.01 0.23 0.75 43. Headcount index pertanian 19.16 18.58 0.20 0.01 0.00 0.99 44. Headcount index industri 12.84 12.89 0.28 0.00 0.19 0.81 45. Headcount index perdagangan 8.71 8.57 0.30 0.00 0.27 0.73 46. Poverty gap index pertanian 3.00 2.88 0.26 0.01 0.00 0.99 47. Poverty severity index pertanian 0.80 0.76 0.28 0.01 0.00 0.99 48. Headcount index total 13.86 13.58 0.22 0.00 0.04 0.96 sehingga kesejahteraan rumahtangga miskin meningkat yang berarti penduduk miskin dapat keluar dari kondisi kemiskinan. Jika hal tersebut terjadi secara menyeluruh maka akumulasi seluruh penduduk miskin yang keluar dari kondisi kemiskinan akan menurunkan kemiskinan daerah. Sementara itu, pembangunan pertanian akan meningkatkan PDRB pertanian sehingga share PDRB pertanian lebih besar akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan yang berarti distribusi pendapatan semakin merata. Hal ini akan menambah peran pengeluaran per kapita dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, simulasi historis dilakukan dengan mengubah variabel- variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal terutama pajak daerah dan bagi hasil pajak. Dengan mengacu pada hasil estimasi model yang telah diuraikan sebelumnya diketahui bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah diperlukan potensi ekonomi penduduk dalam ukuran PDRB per kapita yang lebih besar. Sementara dari hasil estimasi juga diketahui bahwa untuk meningkatkan PDRB diperlukan belanja daerah dan investasi swasta yang lebih besar dimana investasi swasta dalam bentuk penanaman modal berperan dalam pembangunan infrastruktur jalan aspal. Selain melalui penerimaan pajak daerah, kapasitas fiskal dapat juga ditingkatkan melalui bagi hasil pajak. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa untuk meningkatkan bagi hasil pajak diperlukan pembangunan sektor-sektor non-pertanian sebagai sumber utama bagi hasil PPh. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggarannya untuk belanja-belanja non- pertanian seperti belanja perindustrian dan belanja perdagangan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penanaman modal daerah dari investor dalam dan luar negeri. Dengan demikian, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dan bagi hasil pajak diperlukan belanja-belanja sektoral dan investasi swasta yang lebih besar. Di sisi lain, penerimaan bagi hasil pajak juga dapat ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari sumber-sumber bagi hasil pajak melalui merevisi UU No. 33 tahun 2004. Skenario Simulasi Berdasarkan uraian di atas maka simulasi historis untuk periode 2006-2011 dilakukan dengan meningkatkan belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal melalui beberapa skenario kebijakan baik tunggal maupun gabungan. Sedangkan simulasi peramalan periode 2013-2015 dilakukan melalui simulasi beberapa skenario kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal dan kombinasi baik historis maupun peramalan dilakukan menurut provinsi pertanian dan non-pertanian. Skenario simulasi historis untuk kebijakan tunggal terdiri dari: 1. SS1: peningkatan belanja pertanian Hasil estimasi menunjukkan peran belanja pertanian dalam meningkatkan PDRB tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan cukup besar. Namun, perubahan belanja pertanian yang lebih elastis terhadap perubahan DAU dibandingkan perubahan kapasitas fiskal menunjukkan bahwa kapasitas fiskal yang lebih besar akan meningkatkan belanja pertanian lebih kecil dibandingkan peningkatan DAU dalam jumlah yang sama. Untuk itu, maka belanja pertanian harus ditingkatkan. Dengan demikian, cukup beralasan jika peningkatan PDRB pertanian akan meningkatan pengeluaran penduduk pertanian jika belanja pertanian ditingkatkan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB pertanian akibat meningkatnya belanja pertanian akan mendorong PDRB dan potensi ekonomi penduduk sehingga mendorong penerimaan pajak daerah dan kapasitas fiskal. Skenario peningkatan belanja pertanian 50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian berdasarkan pertimbangan trend rata-rata kenaikan belanja pertanian periode 2006-2011 yang sangat rendah yaitu hanya 11 dan 9, sementara periode 2006-2007 mencapai 50 dan 53. Selain itu, komposisi belanja pertanian sangat rendah yaitu hanya 3 dan 2 sehingga masih memungkinkan untuk ditingkatkan. 2. SS2: peningkatan belanja perindustrian Hasil estimasi menunjukkan belanja perindustrian berperan meningkatkan PDRB industri khususnya industri makanan jadi. Namun, perubahan belanja perindustrian lebih elastis terhadap perubahan DAU dari pada kapasitas fiskal. Dengan alasan serupa pada skenario peningkatan belanja pertanian maka belanja perindustrian ditingkatkan 50 di provinsi pertanian dan 25 di provinsi non-pertanian. Pertimbangannya adalah trend rata-rata kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian periode 2006-2011 sebesar 23, sementara di provinsi non-pertanian periode 2010-2011 lebih stabil yaitu 43. Alasan lainnya adalah rendahnya komposisi belanja perindustrian baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian dengan rata-rata 0.3 sehingga masih relevan jika ditingkatkan. 3. SS3: peningkatan belanja perdagangan Hasil estimasi menunjukkan belanja perdagangan berperan meningkatkan PDRB perdagangan. Oleh karena itu belanja perdagangan perlu ditingkatkan untuk mendorong PDRB perdagangan. Skenario peningkatan belanja perdagangan 50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian dilakukan dengan pertimbangan kenaikannya pada periode 2006-2011 di provinsi non- pertanian 54, sementara di provinsi pertanian lebih stabil yaitu pada tahun 2010-2011 sebesar 32. Selain itu, komposisi belanja perdagangan juga sangat rendah dengan rata-rata 0.3 di provinsi pertanian dan 0.4 di provinsi non-pertanian sehingga masih memungkinkan untuk ditambah. 4. SS4: peningkatan bagi hasil pajak Peningkatan bagi hasil pajak masing-masing 50 di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dari sumber- sumber pendapatan dari daerah yang bersangkutan untuk dibagihasilkan terutama PPh. Pertimbangannya adalah pertumbuhan penerimaan bagi hasil pajak periode 2006-2011 sangat rendah rata-rata 1 di provinsi pertanian dan 2 di provinsi non-pertanian. Di sisi lain, penerimaan negara dari PPh Non Migas sangat besar bahkan meningkat 48 pada tahun 2012. Oleh karena itu, cukup beralasan jika bagi hasil pajak ditingkatkan dengan menambah porsi daerah dari PPh. Dengan demikian, skenario kenaikan bagi hasil pajak 50 menggambarkan kenaikan porsi daerah dari sumber PPh sesuai UU No. 332004 Pasal 13 dari 20 menjadi 30. 5. SS5: peningkatan total penanaman modal Hasil estimasi menunjukkan peran penanaman modal dalam meningkatkan pajak daerah. Peningkatan penanaman modal 90 dan 50 di provinsi pertanian dan non-pertanian dengan alasan pertumbuhan 2007-2011 lebih stabil yaitu 85 di provinsi pertanian dan 45 di provinsi non-pertanian. Simulasi historis dan peramalan untuk kombinasi kebijakan mengacu pada arah dan perubahan beberapa variabel endogen utama yang menggambarkan dampak skenario kebijakan tunggal. Simulasi tersebut dilakukan untuk masing- masing provinsi pertanian dan non-pertanian. Simulasi skenario kombinasi kebijakan dilakukan secara bertahap yang diawali dengan kombinasi kebijakan peningkatan belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdangan yang diikuti dengan peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Simulasi diakhiri jika diperoleh hasil optimal dengan pertimbangan skenario tersebut dapat diterapkan applicable. Skenario simulasi historis dan peramalan untuk kebijakan kombinasi di masing-masing provinsi pertanian dan non-pertanian terdiri dari: 1. Simulasi historis 2006-2011 a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal d. SM4: kombinasi SM3 dan pengurangan belanja lainnya 2. Simulasi peramalan 2013-2015 a. SM1: peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan b. SM2: kombinasi SM1 dan peningkatan bagi hasil pajak c. SM3: kombinasi SM2 dan peningkatan penanaman modal Simulasi Historis 2006-2011 Simulasi Peningkatan Belanja Pertanian Simulasi peningkatan belanja pertanian 50 dilakukan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan hasil analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 1 belanja pertanian di provinsi pertanian dan non- pertanian tahun 2006-2011 rata-rata naik 11.2 dan 9.1 per tahun, sedangkan tahun 2006-2007 cukup besar masing-masing 49.7 dan 52.6. Kenaikan yang cukup besar ini menjadi alasan bahwa pemerintah daerah sesungguhnya mampu meningkatkan belanja pertaniannya; 2 komposisi belanja pertanian sangat kecil masing-masing 3.2 di provinsi pertanian dan 2.1 di provinsi non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan 3 ada fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja pertanian sementara peran kapasitas fiskal lebih rendah, sehingga untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal dalam membiayai pembangunan pertanian maka pemerintah daerah dapat mengintervensinya dengan meningkatkan belanja pertanian. Hasil simulasi historis di provinsi pertanian pada Tabel 37 menunjukkan ekspansi belanja pertanian 50 meningkatkan PDRB pertanian 28.7 sehingga total PDRB meningkat 6.9. Tetapi, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.8 sehingga belanja perindustrian dan belanja perdagangan turun 0.7 dan 0.5 karena hasil estimasi menunjukkan keduanya lebih bergantung pada DAU dari pada kapasitas fiskal. Akibatnya, PDRB industri dan PDRB perdagangan turun masing-masing 0.4 dan 0.3. Namun, total PDRB yang meningkat 6.9 menyebabkan PDRB per kapita naik yang menunjukkan ada peningkatan potensi ekonomi penduduk sehingga berdampak meningkatkan PAD 0.9. Tabel 37 Dampak Peningkatan Belanja Pertanian 1 dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, Varibel Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.9 0.1 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 -0.1 0.0 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 0.4 0.1 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.8 -0.6 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 -0.4 -0.2 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 50.0 50.0 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 -0.7 -0.4 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 -0.5 -0.3 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 0.0 0.0 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 -0.4 -0.2 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 1.5 0.8 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 1.9 1.4 13. Kemandirian fiskal 2 11.7 21.3 -0.1 -0.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 28.7 12.8 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 -0.4 -0.1 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 -0.3 -0.1 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 6.9 1.9 18. Share PDRB pertanian 2 26.6 17.2 5.7 1.6 19. Share PDRB industri 2 14.4 27.6 -1.3 -0.2 20. Share PDRB perdagangan 2 17.3 15.6 -1.1 -0.1 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 4.1 1.7 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 2.3 1.1 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 0.0 0.0 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 0.0 0.0 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 3 0.340 0.344 -0.007 -0.002 26. Headcount index pertanian 2 16.27 21.10 -1.51 -0.68 27. Headcount index industri 2 13.54 12.19 -0.29 -0.08 28. Headcount index perrdagangan 2 8.54 8.60 -0.30 -0.08 29. Poverty gap index pertanian 3 2.42 3.37 -0.26 -0.12 30. Poverty severity index pertanian 3 0.62 0.91 -0.07 -0.03 31. Headcount index total 2 12.72 14.53 -0.84 -0.35 32. Proporsi pddk miskin pertanian 2 59.0 46.0 -1.7 -0.4 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 4 387 894 -35.9 -28.7 34. Pddk miskin industri Ribu org 4 31 144 -0.7 -1.0 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 4 46 161 -1.6 -1.6 36. Penduduk miskin total Ribu org 4 656 1 943 -43.2 -47.1 Catatan: 1 Skenario SS1: belanja pertanian naik 50 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 Perubahan dalam satuan jumlah Di sisi lain, turunnya PDRB industri dan PDRB perdagangan menyebabkan penerimaan bagi hasil pajak turun 0.1. Namun, kapasitas fiskal tetap naik 0.4 karena meningkatnya PAD. Kenaikan PDRB berdampak pada penyerapan total tenaga kerja yang meningkat 4.1. Sampai sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal karena alokasi anggaran belanja pertanian yang ditambah 50 berdampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama di sektor pertanian. PDRB pertanian yang lebih besar menyebabkan perbaikan upah riil pertanian sehingga pengeluaran per kapita pertanian meningkat 2.3. PDRB pertanian yang lebih besar juga meningkatkan share PDRB pertanian 5.7 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.007 poin. Pengeluaran per kapita pertanian yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index, poverty gap index , dan poverty severity index pertanian masing-masing 1.51 persen poin, 0.3 persen poin, dan 0.1 persen poin. Jumlah penduduk miskin juga berkurang 43 ribu orang terutama penduduk miskin pertanian yang berkurang 36 ribu orang. Besarnya penurunan jumlah penduduk miskin pertanian menyebabkan proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Dengan demikian, peningkatan belanja pertanian 50 di provinsi pertanian berdampak meningkatkan kapasitas fiskal 0.4 sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi 6.9, menurunkan Indeks Gini 0.007 poin, dan menurunkan total headcount index 0.84 persen poin. Selain itu, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.7 persen poin. Sedangkan, data statistik menunjukkan proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi penelitian yang tergolong provinsi pertanian tahun 2006-2011 berfluktuasi dengan rata-rata meningkat dari 62.2 menjadi 64.5. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian di provinsi non-pertanian 50 menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi besarannya lebih kecil. Ini berarti peningkatan belanja pertanian dengan proporsi yang sama memberi dampak lebih besar di provinsi pertanian. Namun, hal ini dapat juga menjadi indikasi bahwa meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian tetapi pembangunan pertanian merupakan hal penting yang perlu dilakukan pemerintah daerah mengingat jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian secara rata-rata lebih banyak dibandingkan provinsi pertanian. Nilai dasar pada Tabel 37 menunjukkan jumlah penduduk miskin pertanian di provinsi non-pertanian rata-rata 894 ribu orang per tahun, sementara di provinsi pertanian 387 ribu orang per tahun. Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan peningkatan belanja pertanian sebesar 50 berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri, dan perdagangan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, menurunkan ketimpangan pendapatan, dan menurunkan kemiskinan ketiga sektor tersebut terutama sektor pertanian. Dengan demikian, implikasinya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, pemerintah daerah harus memprioritaskan pengentasan kemiskinan penduduk pertanian dengan menggiatkan pembangunan pertanian melalui alokasi belanja pertanian yang lebih besar. Jika dikaitkan dengan temuan hasil estimasi model terkait faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi anggaran belanja daerah, maka kapasitas fiskal merupakan faktor penting untuk meningkatkan belanja pertanian. Program dan hasil simulasi historis peningkatan belanja pertanian di provinsi pertanian dan non-pertanian disajikan secara lengkap pada Lampiran 8 – 11. Simulasi Peningkatan Belanja Perindustrian Simulasi peningkatan belanja perindustrian 25 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan yang mengacu pada analisis profil fiskal daerah penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 1 kenaikan belanja perindustrian di provinsi pertanian tahun 2006-2011 rata-rata 23 per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian sangat besar mencapai rata-rata 413 per tahun akibat tingginya kenaikan di tahun 2007 yang mencapai 2000 sementara tahun 2011 hanya 43. Dengan alasan tersebut maka cukup relevan jika belanja perindustrian ditingkatkan 25 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian; 2 komposisi belanja perindustrian periode 2006-2011 sangat kecil dengan rata-rata 0.3 per tahun baik di provinsi pertanian maupun non-pertanian, sehingga masih relevan untuk ditingkatkan; dan 3 hasil estimasi menunjukkan ada fenomena flypaper effect DAU untuk belanja perindustrian sehingga untuk mengatasi peran kapasitas fiskal yang rendah dalam membiayai pembangunan industri maka pemerintah daerah dapat mengintervensi dengan meningkatkan belanja tersebut. Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 38, peningkatan belanja perindustrian 25 di provinsi pertanian meningkatkan PDRB industri 22.6 sehingga total PDRB naik atau ekonomi tumbuh 3.5. Tetapi, konsekuensi meningkatnya PDRB adalah berkurangnya DAU 0.4. Namun, kenaikan PDRB juga berdampak meningkatkan penyerapan total tenaga kerja tetapi hanya 0.6 karena penyerapan tenaga kerja baru hanya terjadi di sektor industri dengan jumlah tenaga kerja yang relatif kecil. Selain itu, meningkatnya PDRB juga meningkatkan PDRB per kapita yang berarti ada perbaikan potensi ekonomi penduduk. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui pajak daerah dipengaruhi PDRB per kapita sehingga kenaikan PDRB per kapita menyebabkan PAD tumbuh 0.4. Demikian juga, kenaikan PDRB industri meningkatkan PDRB non-pertanian sehingga bagi hasil pajak yang dipengaruhi oleh PDRB non-pertanian meningkat 1.8. Selanjutnya, kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 0.8. Meningkatnya PDRB industri meningkatkan pengeluaran per kapita industri 1.8. Di sisi lain, kenaikan PDRB industri meningkatkan share pada total PDRB 1.8 persen poin. Mengacu pada hasil estimasi dimana share PDRB industri yang lebih besar akan menurunkan Indeks Gini maka kenaikan share PDRB industri menurunkan Indeks Gini 0.001 poin yang berarti ada perbaikan distribusi pendapatan. Selanjutnya pengeluaran per kapita industri yang lebih besar bersama-sama Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index industri 0.44 persen poin. Indeks Gini yang lebih rendah juga menurunkan headcount index pertanian dan headcount index perdagangan masing-masing 0.07 persen poin dan 0.05 persen poin walaupun pengeluaran per kapita di kedua sektor tersebut tidak berubah. Akan tetapi, turunnya headcount index pertanian tidak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan sama tetapi besarannya lebih kecil kecuali kenaikan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Perubahan di provinsi non-pertanian yang lebih rendah mengindikasikan perlunya peningkatan belanja perindustrian lebih besar karena jumlah penduduk miskin industri lebih banyak yaitu rata-rata 144 ribu sedangkan di provinsi pertanian hanya 31 ribu. Tabel 38 Dampak Peningkatan Belanja Perindustrian 1 Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Varibel Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.4 0.1 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 1.8 1.8 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 0.8 0.4 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.4 -0.5 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 -0.1 0.0 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 0.0 0.0 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 25.0 50.0 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 -0.1 -0.1 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 0.2 0.2 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 -0.1 -0.1 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 0.1 0.1 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 -0.2 -0.2 13. Kemandirian fiskal 2 11.7 21.3 0.0 0.0 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 0.0 0.0 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 22.6 6.7 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 0.0 0.0 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 3.5 2.1 18. Share PDRB pertanian 2 26.6 17.2 -0.6 -0.4 19. Share PDRB industri 2 14.4 27.6 1.8 1.5 20. Share PDRB perdagangan 2 17.3 15.6 -0.4 -0.3 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 0.6 6.7 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 0.0 0.0 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 1.8 1.8 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 0.0 0.0 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 3 0.340 0.344 -0.001 -0.001 26. Headcount index pertanian 2 16.27 21.10 -0.07 -0.05 27. Headcount index industri 2 13.54 12.19 -0.44 -0.49 28. Headcount index perrdagangan 2 8.54 8.60 -0.05 -0.04 29. Poverty gap index pertanian 3 2.42 3.37 -0.01 -0.01 30. Poverty severity index pertanian 3 0.62 0.91 0.00 0.00 31. Headcount index total 2 12.72 14.53 -0.17 -0.18 32. Proporsi pddk miskin pertanian 2 59.0 46.0 0.6 0.5 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 4 387 894 -1.6 -2.1 34. Pddk miskin industri Ribu org 4 31 144 -1.0 -5.8 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 4 46 161 -0.3 -0.7 36. Penduduk miskin total Ribu org 4 656 1 943 -8.9 -24.1 Catatan: 1 Skenario SS2: belanja perindustrian provinsi pertanian naik 25, provinsi non-pertanian naik 50 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 Perubahan dalam satuan jumlah Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada perekonomian dan kemiskinan karena mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menurunkan tingkat kemiskinan. Namun, kebijakan ini berdampak lebih memihak penduduk miskin industri yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan penduduk miskin pertanian dan perdagangan. Laju penurunan headcount index pertanian yang lambat meningkatkan proporsi penduduk miskin pertanian meskipun jumlah penduduk miskin di sektor tersebut berkurang. Dengan perkataan lain, kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan mendasar yaitu tingginya proporsi penduduk miskin di sektor pertanian. Implikasinya adalah agar pertumbuhan ekonomi sebagai dampak belanja pertanian yang lebih besar dapat memihak mayoritas penduduk miskin maka perlu kebijakan lain salah satunya adalah meningkatkan belanja pertanian. Simulasi Peningkatan Belanja Perdagangan Simulasi peningkatan belanja perdagangan 50 di provinsi pertanian dan non-pertanian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: 1 kenaikan belanja perdagangan di provinsi pertanian tahun 2006-2011 cukup tinggi rata-rata 180 per tahun terutama di tahun 2007 yang mencapai hampir 900, sedangkan tahun 2011 hanya 32. Sementara itu, kenaikan belanja perdagangan tahun 2006- 2011 di provinsi non-pertanian rata-rata 54 per tahun. Selain itu, hasil estimasi menunjukkan tingginya share PDRB perdagangan akan meningkatkan Indeks Gini sehingga berdampak buruk pada kemiskinan. Dengan demikian, cukup relevan jika belanja perdagangan ditingkatkan 50; 2 komposisi belanja perdagangan tahun 2006-2011 sangat kecil masing-masing 0.3 di provinsi pertanian dan 0.4 di provinsi non-pertanian; dan 3 hasil estimasi menemukan fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja perdagangan sehingga pemerintah daerah perlu mengintervensinya dengan meningkatkan belanja tersebut untuk mengatasi rendahnya peran kapasitas fiskal. Hasil simulasi pada Tabel 39 menunjukkan dampak pada kenaikan PDRB perdagangan 23.4 sehingga total PDRB naik 4.5. Namun, kenaikan PDRB menurunkan DAU 0.5. Kenaikan PDRB juga meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.1 dan meningkatkan PDRB per kapita sehingga PAD naik 0.7. Sementara itu, meningkatnya PDRB perdagangan menyebabkan kenaikan bagi hasil pajak 2.3. Kenaikan PAD dan bagi hasil pajak meningkatkan kapasitas fiskal 1.1. Sejauh ini, meningkatnya kapasitas fiskal sebagai dampak belanja perdagangan yang lebih besar memberi dampak positif pada kinerja perekonomian daerah terutama sektor perdagangan. Naiknya PDRB perdagangan meningkatkan share PDRB perdagangan 3.5 persen poin, sedangkan share PDRB pertanian dan industri turun 1.2 persen poin dan 0.5 persen poin. Share PDRB perdagangan yang lebih besar disertai berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.004 poin. Naiknya PDRB perdagangan juga meningkatkan pengeluaran per kapita perdagangan sebesar 4.8 sehingga headcount index perdagangan turun 0.79 persen poin meskipun Indeks Gini meningkat. Hal ini dapat terjadi karena perubahan headcount index perdagangan lebih responsif terhadap perubahan Tabel 39 Dampak Peningkatan Belanja Perdagangan 1 Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Varibel Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.7 0.3 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 2.3 1.9 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 1.1 0.5 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.5 -0.7 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 0.0 0.0 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 0.0 0.0 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 -0.3 -0.3 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 50.0 50.0 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 0.2 0.2 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 -0.1 -0.1 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 0.1 0.1 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 -0.3 -0.2 13. Kemandirian fiskal 2 11.7 21.3 0.1 0.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 0.0 0.0 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 -0.2 0.0 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 23.4 12.9 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 4.5 2.2 18. Share PDRB pertanian 2 26.6 17.2 -1.2 -1.0 19. Share PDRB industri 2 14.4 27.6 -0.5 -0.5 20. Share PDRB perdagangan 2 17.3 15.6 3.5 4.1 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 2.1 1.4 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 0.0 0.0 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 0.0 0.0 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 4.8 6.3 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 3 0.340 0.344 0.004 0.005 26. Headcount index pertanian 2 16.27 21.10 0.26 0.27 27. Headcount index industri 2 13.54 12.19 0.19 0.20 28. Headcount index perrdagangan 2 8.54 8.60 -0.79 -1.22 29. Poverty gap index pertanian 3 2.42 3.37 0.04 0.04 30. Poverty severity index pertanian 3 0.62 0.91 0.01 0.01 31. Headcount index total 2 12.72 14.53 0.03 -0.04 32. Proporsi pddk miskin pertanian 2 59.0 46.0 0.8 0.7 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 4 387 894 6.2 11.5 34. Pddk miskin industri Ribu org 4 31 144 0.4 2.3 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 4 46 161 -4.2 -23.0 36. Penduduk miskin total Ribu org 4 656 1 943 1.6 -5.6 Catatan: 1 Skenario SS3: belanja perdagangan naik 50 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 Perubahan dalam satuan jumlah pengeluaran per kapita dari pada perubahan Indeks Gini sesuai hasil estimasi. Namun, Indeks Gini yang lebih besar meningkatkan headcount index pertanian dan perdagangan masing-masing 0.26 dan 0.19 persen poin. Meningkatnya headcount index pertanian yang cukup besar menyebabkan total headcount index meningkat 0.03 persen poin sehingga jumlah penduduk miskin bertambah sekitar 1600 orang. Tidak berbeda dengan provinsi pertanian, peningkatan belanja perdagangan di provinsi non-pertanian sebesar 50 menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi besaran perubahan variabel-variabel fiskal lebih kecil. Share PDRB perdagangan lebih besar sehingga Indeks Gini meningkat. Kenaikan Indeks Gini berdampak meningkatkan headcount index pertanian dan headcount index industri lebih besar dibandingkan peningkatannya di provinsi pertanian. Namun, berkurangnya headcount index perdagangan yang lebih besar menyebabkan jumlah penduduk miskin perdagangan berkurang lebih banyak sehingga total penduduk miskin berkurang sekitar 5600 orang. Kesimpulannya adalah ekspansi belanja perdagangan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah dan penyerapan tenaga kerja. Namun dampak negatifnya adalah ketimpangan pendapatan meningkat menunjukkan peningkatan belanja perdagangan tidak dapat menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan di sektor pertanian. Implikasinya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan menggiatkan pembangunan perdagangan diikuti kebijakan-kebijakan lain untuk menggiatkan pembangunan pertanian dan industri yang berdampak besar dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui kemampuan penerimaan kapasitas fiskal yang lebih besar. Simulasi Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak Simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50 di provinsi pertanian maupun non-pertanian merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan menambah porsi daerah dari bagi hasil PPh. Beberapa pertimbangannya adalah: 1 rata-rata kenaikan bagi hasil pajak sangat rendah masing-masing 1 dan 2 di provinsi pertanian dan non-pertanian. Bahkan, penerimaan bagi hasil pajak tahun 2011 turun masing-masing 9 dan 16. Padahal, data keuangan negara pada APBN menunjukkan bahwa penerimaan negara dari PPh Non Migas tahun 2001 secara nominal naik 24. Oleh karena itu, cukup beralasan menambah porsi bagi hasil PPh dari 20 sesuai UU No. 33 tahun 2004 Pasal 13 menjadi 30 yang berarti bagi hasil pajak ditingkatkan 50; 2 komposisi bagi hasil pajak pada kapasitas fiskal tahun 2006-2011 lebih besar dibandingkan bagi hasil sumber daya alam masing-masing 31 di provinsi pertanian dan 24 di provinsi non-pertanian sehingga cukup relevan jika bagi hasil pajak ditingkatkan untuk menambah kapasitas fiskal; dan 3 hasil estimasi model menunjukkan peran kapasitas fiskal lebih rendah pada belanja-belanja sektoral sehingga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU, salah satunya dengan meningkatkan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak. Hasil simulasi pada Tabel 40 menunjukkan kenaikan bagi hasil pajak 50 di provinsi pertanian meningkatkan kapasitas fiskal 9.7 sehingga menambah kemampuan keuangan daerah membiayai belanja-belanja daerah dimana belanja pertanian naik 1.2, belanja perindustrian naik 1.4, belanja perdagangan naik 2.6, dan belanja infrastruktur naik 3.0. Hal ini meningkatkan PDRB sektoral Tabel 40 Dampak Peningkatan Porsi Bagi Hasil Pajak 1 Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Varibel Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 0.1 0.1 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 9.7 13.4 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.1 -0.3 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 2.3 5.8 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 1.2 3.8 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 1.4 3.6 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 2.6 6.1 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 3.0 7.5 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 1.4 3.5 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 1.6 4.0 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 -1.1 -4.1 13. Kemandirian fiskal 2 11.7 21.3 -0.2 -0.8 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 0.8 1.8 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 0.8 0.5 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 1.8 2.6 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 0.7 0.9 18. Share PDRB pertanian 2 26.6 17.2 0.0 0.1 19. Share PDRB industri 2 14.4 27.6 0.0 -0.2 20. Share PDRB perdagangan 2 17.3 15.6 0.2 0.6 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 0.5 0.9 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 0.04 0.2 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 0.06 0.2 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 0.23 1.2 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 3 0.340 0.344 0.000 0.000 26. Headcount index pertanian 2 16.27 21.10 -0.01 -0.08 27. Headcount index industri 2 13.54 12.19 0.00 -0.03 28. Headcount index perrdagangan 2 8.54 8.60 -0.04 -0.26 29. Poverty gap index pertanian 3 2.42 3.37 0.00 -0.02 30. Poverty severity index pertanian 3 0.62 0.91 0.00 0.00 31. Headcount index total 2 12.72 14.53 -0.01 -0.09 32. Proporsi pddk miskin pertanian 2 59.0 46.0 0.0 0.1 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 4 387 894 -0.2 -3.2 34. Pddk miskin industri Ribu org 4 31 144 0.0 -0.3 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 4 46 161 -0.2 -4.9 36. Penduduk miskin total Ribu org 4 656 1 943 -0.6 -12.3 Catatan: 1 Skenario SS4: bagi hasil pajak naik 50 diperoleh dari kenaikan porsi PPh dari 20 menjadi 30 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 Perubahan dalam satuan jumlah terutama perdagangan 1.8 sehingga total PDRB meningkat 0.7. Kenaikan PDRB menurunkan penerimaan DAU 0.1 namun menyerap tenaga kerja baru 0.5 . Meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak meningkatkan upah riil sehingga pengeluaran per kapita sektoral meningkat terutama sektor perdagangan. Namun, kenaikan belanja pertanian dan perindustrian hanya memberi efek yanga cukup kecil pada sektor pertanian dan industri dimana PDRB pertanian dan PDRB industri hanya meningkat masing-masing 0.8. Hal ini menyebakan kedua sektor tersebut tidak mampu meningkatkan sharenya pada PDRB sehingga Indeks Gini tidak berubah atau ketimpangan pendapatan tidak berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang relatif kecil tanpa adanya penurunan Indeks Gini hanya menurunkan headcount index pertanian 0.01 persen poin sehingga proporsi penduduk miskin pertanian tidak berkurang. Peningkatan bagi hasil pajak 50 di provinsi non-pertanian menunjukkan arah perubahan yang sama dengan provinsi pertanian tetapi nilainya lebih besar. Kapasitas fiskal yang meningkat lebih besar yaitu 13.4 menambah kemampuan keuangan daerah sehingga kenaikan belanja sektoral lebih besar yang selanjutnya berdampak meningkatkan PDRB sektoral lebih tinggi. Kenaikan PDRB sektoral yang lebih besar berdampak menurunkan headcount index sektoral lebih besar meskipun Indeks Gini tetap. Perubahan variabel kemiskinan yang lebih rendah di provinsi pertanian dapat menjadi indikasi bahwa penurunan kemiskinan sebagai dampak meningkatnya kapasitas fiskal memerlukan porsi bagi hasil pajak yang lebih besar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan bagi hasil pajak dari porsi bagi hasil PPh daerah berdampak menurunkan headcount index sektoral melalui efek meningkatnya pengeluaran per kapita sektoral karena meningkatnya PDRB sektoral. Namun, kebijakan tersebut tidak menurunkan ketimpangan pendapatan. Meskipun perekonomian sektoral meningkat, tetapi dampak kebijakan ini lebih memihak sektor perdagangan dimana perubahan pada belanja perdagangan, PDRB perdagangan, dan headcount index perdagangan lebih besar dibandingkan perubahannya di sektor pertanian dan industri. Temuan ini memberi implikasi bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah maka pemerintah pusat dapat menambah porsi bagi hasil PPh daerah. Namun agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat berdampak menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diperlukan kebijakan lain salah satunya meningkatkan belanja pertanian karena berdampak paling besar dalam menurunkan kemiskinan yang memihak penduduk miskin pertanian. Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Simulasi peningkatan total penanaman modal 90 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian dilakukan berdasarkan pertimbangan: 1 tingginya rata-rata pertumbuhan penanaman modal tahun 2006-2011 di provinsi pertanian yang mencapai 568 per tahun teruma tahun 2007 dan 2010. Sementara itu, pertumbuhan tahun 2007-2011 lebih konsisten yaitu 85 di provinsi pertanian, sedangkan di provinsi non-pertanian sekitar 45. Oleh karena itu, cukup beralasan jika penanaman modal ditingkatkan 90 di provinsi pertanian dan 50 di provinsi non-pertanian; 2 hasil estimasi model menunjukkan total penanaman modal mempengaruhi penerimaan pajak daerah dan belanja infrastruktur untuk pembangunan jalan aspal sebagai faktor penting bagi perekonomian daerah. Tabel 41 Dampak Peningkatan Penanaman Modal 1 dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian Varibel Endogen Satuan Nilai Dasar Perubahan Pertanian Non Pertanian Pertanian Non Pertanian Penanaman Modal 5 Juta Rp 1 424 365 6 446 996 90.0 50.0 Blok Fiskal 1. PAD Juta Rp 1 024 054 3 477 112 11.7 9.9 2. Bagi hasil pajak Juta Rp 688 243 1 424 821 0.7 1.0 3. Kapasitas fiskal Juta Rp 2 103 080 7 138 562 5.9 5.0 4. Dana alokasi umum Juta Rp 4 981 834 6 932 979 -0.2 -0.4 5. Total pendapatan Juta Rp 8 716 324 16 310 871 1.3 2.0 6. Belanja pertanian Juta Rp 240 966 343 362 0.5 1.1 7. Belanja perindustrian Juta Rp 26 790 46 755 0.5 0.8 8. Belanja perdagangan Juta Rp 30 777 60 091 1.2 1.8 9. Belanja infrastruktur Juta Rp 1 177 511 2 206 496 1.4 2.3 10. Belanja lainnya Juta Rp 6 736 788 12 523 590 0.5 0.9 11. Total belanja Juta Rp 8 394 643 15 372 310 0.6 1.1 12. Kesenjangan fiskal Juta Rp 6 291 562 8 233 749 -1.1 -2.4 13. Kemandirian fiskal 2 11.7 21.3 1.3 1.7 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian Juta Rp 15 286 919 32 598 079 2.8 3.5 15. PDRB industri Juta Rp 9 726 946 68 907 971 0.5 0.2 16. PDRB perdagangan Juta Rp 12 034 913 37 758 339 7.4 6.3 17. PDRB total Juta Rp 62 210 040 215 490 000 2.2 1.7 18. Share PDRB pertanian 2 26.6 17.2 0.1 0.3 19. Share PDRB industri 2 14.4 27.6 -0.2 -0.5 20. Share PDRB perdagangan 2 17.3 15.6 0.9 0.8 21. Jumlah tenaga kerja Ribu org 2 202 5 890 2.8 2.9 22. Pengeluaran pddk pertanian Ribu Rp 283 290 0.2 0.2 23. Pengeluaran pddk industri Ribu Rp 346 424 0.0 0.0 24. Pengeluaran pddk perdagangan Ribu Rp 432 481 1.0 1.0 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 3 0.340 0.344 0.001 0.001 26. Headcount index pertanian 2 16.27 21.10 -0.05 -0.06 27. Headcount index industri 2 13.54 12.19 0.02 0.02 28. Headcount index perrdagangan 2 8.54 8.60 -0.17 -0.20 29. Poverty gap index pertanian 3 2.42 3.37 -0.01 -0.01 30. Poverty severity index pertanian 3 0.62 0.91 0.00 0.00 31. Headcount index total 2 12.72 14.53 -0.05 -0.06 32. Proporsi pddk miskin pertanian 2 59.0 46.0 0.1 0.1 33. Pddk miskin pertanian Ribu org 4 387 894 -1.2 -2.5 34. Pddk miskin industri Ribu org 4 31 144 0.0 0.2 35. Pddk miskin perdagangan Ribu org 4 46 161 -0.9 -3.7 36. Penduduk miskin total Ribu org 4 656 1 943 -2.5 -7.8 Catatan: 1 Skenario SS5: penanaman modal provinsi pertanian naik 90, provinsi non-pertanian naik 50 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 Perubahan dalam satuan jumlah; 5 Eksogen Hasil simulasi pada Tabel 41 menunjukkan peningkatan total penanaman modal di provinsi pertanian sebesar 90 berdampak meningkatkan kapasitas fiskal 5.9. Mekanismenya terjadi melalui peningkatan pajak daerah dan PDRB sebagai meningkatnya panjang jalan aspal. Pembangunan infrastruktur jalan aspal membutuhkan pembiayaan dari swasta sehingga meningkatnya penanaman modal akan menggiatkan pembangunan jalan aspal yang berdampak pada pertumbuhan PDRB sehingga pajak daerah dan bagi hasil pajak sebagai sumber utama kapasitas fiskal meningkat. Kenaikan kapasitas fiskal akan menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja pertanian, industri, dan perdagangan. Kenaikan belanja- belanja sektoral yang diikuti kenaikan belanja infrastruktur berdampak positif pada PDRB sektoral sehingga total PDRB meningkat 2.2. Meningkatnya PDRB menyebabkan DAU bekurang 0.2 yang berarti ketergantungan keuangan daerah pada DAU berkurang. Di sisi lain, kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 2.8. Kenaikan PDRB sektoral meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral melalui efek kenaikan upah riil sektoral. Namun, kenaikan PDRB sektoral terbesar di sektor perdagangan meningkatkan share PDRB tersebut sehingga berdampak meningkatkan Indeks Gini 0.001 persen poin. Kenaikan Indeks Gini mengurangi efek kenaikan pengeluaran per kapita terutama di sektor industri sehingga headcount index industri naik 0.02 persen poin. Analisis dampak kebijakan peningkatan penanaman modal di provinsi non- pertanian 50 menunjukkan arah perubahan yang sama tetapi perubahan pada variabel-variabel kemiskinan lebih besar meskipun memihak sektor perdagangan. Artinya, kebijakan peningkatan penanaman modal yang berdampak lebih kecil di provinsi pertanian mengindikasikan bahwa untuk memperoleh dampak perbaikan perekonomian dan kemiskinan daerah diperlukan penanaman modal yang lebih besar di provinsi pertanian. Temuan ini memberi implikasi mengenai pentingnya upaya-upaya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah yang dapat terwujud melalui kerjasama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ringkasan Simulasi Kebijakan Tunggal Ringkasan dampak simulasi kebijakan tunggal selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun skenario simulasi kombinasi kebijakan berdasarkan arah dan nilai perubahan pada variabel-variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral. Oleh karena itu, perlu diketahui dampak positif, dampak negatif, dan trade-off yang ditimbulkan dari masing-masing kebijakan tunggal. Ringkasan dampak kebijakan tunggal disajkan pada Tabel 42. Rincian lengkap disajikan pada Lampiran 12 dan 13. Tabel 42 menunjukkan: 1. Kebijakan peningkatan belanja pertanian berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral. Pembangunan pertanian karena pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja pertanian lebih besar dapat mewujudkan pertumbuhan pro-poor karena menciptakan pertumbuhan ekonomi disertai turunnya ketimpangan pendapatan sehingga berdampak menurunkan kemiskinan sektoral yang memihak sektor pertanian. Headcount index sektoral yang turun lebih besar di provinsi pertanian menunjukkan peningkatan belanja pertanian memberi dampak lebih besar pada kemiskinan sektoral di provinsi pertanian dibandingkan provinsi non-pertanian. Tetapi, Tabel 42 Ringkasan Dampak Kebijakan Tunggal terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Tahun 2006-2011 Variabel Endogen Belanja Pertanian SS1 Belanja Perindustrian SS2 Belanja Perdagangan SS3 Bagi Hasil Pajak SS4 Penanaman Modal SS5 Tani Non Tani Tani Non Tani Tani Non Tani Tani Non Tani Tani Non Tani 50 50 25 50 50 50 50 50 90 50 Blok Fiskal 1. PAD + + + + + + + + +++ ++ 2. Kapasitas fiskal + + + + ++ + ++ +++ ++ ++ 3. Dana alokasi umum ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ 4. Kesenjangan fiskal ++ ++ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ 5. Kemandirian fiskal ⁻ ⁻ + + ⁻ ⁻ ++ ++ Blok Perekonomian Sektoral 6. PDRB total ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + ++ ++ 7. Share PDRB pertanian +++ ++ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻ + + + ++ 8. Share PDRB industri ⁻⁻ ⁻ ++ ++ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ 9. Share PDRB perdagangan ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ +++ +++ ++ ++ ++ ++ 10. Jumlah tenaga kerja +++ ++ + +++ ++ ++ + + ++ ++ Blok Kemiskinan Sektoral 11. Indeks Gini ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ + + + + 12. HCI pertanian ⁻⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻ ++ ++ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ 13. HCI industri ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ++ ++ ⁻ + + 14. HCI perdagangan ⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ 15. HCI total ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ + ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ ⁻ 16. Proporsi pddk miskin pertanian ⁻⁻ ⁻ + + + + + + + 17. Pddk miskin pertanian ⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ++ +++ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ 18. Pddk miskin industri ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ + + ⁻ + 19. Pddk miskin perdagangan ⁻⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻ 20. Penduduk miskin total ⁻⁻⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻⁻ + ⁻⁻ ⁻ ⁻⁻⁻ ⁻⁻ ⁻⁻ Catatan: + meningkat; - berkurang; 0 tetap jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar menjadi alasan peningkatan belanja pertanian juga perlu dilakukan di provinsi non-pertanian bahkan proporsinya lebih besar dibandingkan provinsi pertanian. Namun, kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yang ditunjukkan oleh kesenjangan fiskal yang lebih besar dan kemandirian fiskal yang lebih kecil. 2. Kebijakan peningkatan belanja perindustrian berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan. Pembangunan sektor industri dengan menambah belanja perindustrian akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah sehingga kinerja fiskal meningkat dan kemiskinan sektoral berkurang. Namun, kebjiakan ini tidak memihak penduduk miskin pertanian karena dampaknya lebih besar di sektor industri. Dengan perkataan lain, ekspansi belanja perindustrian berdampak mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah namun tidak mewujudkan pertumbuhan pro-poor. 3. Kebijakan peningkatan belanja perdagangan berdampak positif pada kinerja fiskal dan kinerja perekomian, tetapi berdampak negatif pada kemiskinan. Hal ini terjadi karena naiknya belanja perdagangan menyebabkan share PDRB perdagangan semakin tinggi sehingga ketimpangan pendapatan meningkat. Akibatnya, tingkat kemiskinan pertanian dan industri menjadi lebih besar bahkan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat. 4. Kebijakan peningkatan porsi bagi hasil PPh untuk daerah berdampak positif pada kinerja perekonomian tetapi berdampak negatif pada kemiskinan pertanian yang ditunjukkan oleh proporsi penduduk miskin pertanian yang meningkat terutama di provinsi non-pertanian. Dampak negatif lainnya adalah turunnya kemandirian fiskal. 5. Peningkatan total penanaman modal berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan sektoral kecuali industri. Perubahan yang lebih kecil di provinsi pertanian menunjukkan bahwa provinsi pertanian memerlukan penanaman modal yang lebih besar. Dengan demikian, dapat disimpulkan alternatif kebijakan yang berdampak meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan kemiskinan: 1. Kinerja fiskal dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja perindustrian dan belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan penanaman modal. 2. Kinerja perekonomian dapat ditingkatkan dengan ekspansi belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan, meningkatkan bagi hasil pajak, serta meningkatkan penanaman modal. 3. Ketimpangan pendapatan dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian dan belanja perindustrian. 4. Total headcount index dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian dan belanja perindustrian, meningkatkan bagi hasil pajak, dan meningkatkan penanaman modal. 5. Proporsi penduduk miskin pertanian dapat diturunkan dengan ekspansi belanja pertanian. Simulasi Kebijakan Kombinasi Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal ditunjukkan bahwa masing-masing kebijakan memberi dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, untuk memperoleh dampak terbaik pada perekonomian dan kemiskinan yang memihak penduduk miskin pertanian serta mengurangi ketergantungan keuangan daerah pada DAU maka perlu dilakukan simulasi kombinasi beberapa kebijakan tunggal dengan mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi. Hasil simulasi kombinasi kebijakan di provinsi pertanian yang terdiri dari peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan masing-masing 50, 25, dan 50 SM1 pada Tabel 43 menunjukkan dampak positif pada PDRB sektoral masing-masing PDRB pertanian meningkat 28.7, PDRB industri meningkat 22.6, dan PDRB perdagangan meningkat 23.4 sehingga total PDRB naik 15.1. Atau dengan perkataan lain, ekonomi tumbuh sebesar 15.1. Kenaikan PDRB berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja 3.9. Perubahan terbesar pada PDRB pertanian menyebabkan share PDRB pertanian meningkat paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.003 poin. Selain itu, ketiga PDRB sektoral yang meningkat berdampak meningkatkan pengeluaran per kapita terutama di sektor perdagangan sebesar 4.8. Pengeluaran per kapita yang lebih besar dan Indeks Gini yang lebih rendah berdampak menurunkan headcount index sektoral sehingga total headcount index turun 0.94 persen poin. Tabel 43 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2006-2011 Varibel Endogen Perubahan SM1 SM2A SM2B SM3A SM3B SM4 Penanaman Modal 1 90.0 90.0 90.0 Blok Fiskal 1. PAD 2.0 2.1 2.3 14.0 14.7 14.7 2. Bagi hasil pajak 4.1 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal 2.4 10.7 10.8 16.5 16.8 16.8 4. Dana alokasi umum -1.8 -1.8 -2.1 -2.3 -2.9 -2.9 5. Total pendapatan -0.5 1.5 1.4 2.7 2.4 2.4 6. Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0 50.0 100.0 100.0 7. Belanja perindustrian 25.0 25.0 50.0 50.0 50.0 50.0 8. Belanja perdagangan 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 9. Belanja infrastruktur 0.4 3.1 3.1 4.4 4.4 4.4 10. Belanja lainnya -0.6 0.6 0.5 1.0 0.7 -0.5 11. Total belanja 1.7 3.1 3.1 3.6 5.0 4.1 12. Kesenjangan fiskal 1.5 0.5 0.5 -0.6 1.0 -0.1 13. Kemandirian fiskal 0.1 2 -0.1 -0.1 1.2 1.1 1.3 Rasio surplusdefisit fiskal 1.6 2.2 2.1 2.8 1.2 2.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 28.7 29.0 29.0 31.5 55.9 55.9 15. PDRB industri 22.6 22.6 38.9 39.1 39.1 39.1 16. PDRB perdagangan 23.4 24.1 24.1 30.7 30.7 30.7 17. PDRB total 15.1 15.3 17.9 19.8 25.8 25.8 18. Share PDRB pertanian 3.4 2 3.4 2.7 2.8 6.6 6.6 19. Share PDRB industri 0.0 2 -0.1 1.6 1.5 0.5 0.5 20. Share PDRB perdagangan 2.2 2 2.3 2.0 2.7 1.8 1.8 21. Jumlah tenaga kerja 6.8 7.1 7.6 10.2 13.8 13.8 22. Pengeluaran pddk pertanian 2.3 2.3 2.3 2.4 4.2 4.2 23. Pengeluaran pddk industri 1.8 1.8 3.1 3.1 3.1 3.1 24. Pengeluaran pddk perdagangan 4.8 4.9 4.9 5.8 5.8 5.8 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini -0.003 3 -0.003 -0.003 -0.003 -0.007 -0.007 26. Headcount index pertanian -1.26 2 -1.26 -1.30 -1.35 -2.48 -2.48 27. Headcount index industri -0.51 2 -0.51 -0.79 -0.77 -0.96 -0.96 28. Headcount index perrdagangan -1.10 2 -1.11 -1.14 -1.29 -1.49 -1.49 29. Poverty gap index pertanian -0.23 3 -0.23 -0.23 -0.24 -0.44 -0.44 30. Poverty severity index pertanian -0.07 3 -0.07 -0.07 -0.07 -0.13 -0.13 31. Headcount index total -0.94 2 -0.94 -1.05 -1.10 -1.71 -1.71 32. Proporsi pddk miskin pertanian -0.2 2 -0.2 0.2 0.2 -1.2 -1.2 33. Pddk miskin pertanian -30.0 4 -30.0 -30.9 -32.0 -58.9 -58.9 34. Pddk miskin industri -1.2 4 -1.2 -1.8 -1.7 -2.2 -2.2 35. Pddk miskin perdagangan -5.9 4 -6.0 -6.1 -6.9 -8.0 -8.0 36. Penduduk miskin total -48.6 4 -48.7 -54.3 -56.5 -88.3 -88.3 Catatan: 1 Eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 SM1 : belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50 Perubahan dalam satuan jumlah; SM2A: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50 SM2B: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50 SM3A: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90 SM3B: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90 SM4 : belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 90, belanja lainnya turun 0.5 Namun, laju penurunan total headcount index yang lebih kecil dibandingkan rata- rata aktual tahun 2006-2011 yaitu 1.10 persen poin per tahun serta dampak negatif berupa kesenjangan fiskal yang meningkat 1.5 menjadi alasan kombinasi kebijakan tersebut perlu ditambah dengan kebijakan lain. Oleh karena itu, untuk meningkatkan laju penurunan total headcount index dan menurunkan kesenjangan fiskal, simulasi kombinasi SM1 ditambah kebijakan peningkatan bagi hasil pajak 50 SM2A. Pertimbangannya adalah dampak simulasi peningkatan bagi hasil pajak 50 adalah turunnya kesenjangan fiskal dan total headcount index. Namun, kombinasi kebijakan tersebut masih memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal meskipun perubahannya lebih kecil dibandingkan simulasi kombinasi sebelumnya SM1. Selain itu, penurunan total headcount index tidak berubah yaitu 0.94 persen poin. Bahkan, muncul dampak negatif lain yaitu turunnya kemandirian fiskal 0.1 persen poin yang disebabkan oleh tingginya kenaikan total belanja daerah yang mencapai 3.1 sementara PAD hanya meningkat 2.1. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, belanja perindustrian ditambah 50 SM2B berdasarkan hasil simulasi peningkatan belanja perindustrian 50 yang berdampak menurunkan jumlah penduduk miskin sektoral. Hasil simulasi kombinasi kebijakan tersebut berdampak positif pada kemiskinan yang ditunjukkan oleh berkurangnya total headcount index sebesar 1.05 persen poin. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan adalah memburuknya kinerja fiskal dan meningkatnya proporsi penduduk miskin pertanian. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut total penanaman modal ditingkatkan 90 SM3A. Hasil simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index 1.10 persen poin terutama di sektor pertanian 1.35 persen poin. Kesenjangan fiskal juga turun 0.6 dan kemandirian fiskal meningkat 1.2 persen poin, namun proporsi penduduk miskin pertanian masih tetap tinggi bahkan meningkat 0.2 persen poin. Untuk mengatasi dampak negatif yaitu meningkatnya proporsi penduduk miskin pertanian maka belanja pertanian ditingkatkan 100 SM3B. Pertimbangannya adalah masih terjadi surplus fiskal 2.8 persen dari total pendapatan daerah sehingga memungkinkan untuk menambah belanja pertanian. Selain itu, hasil simulasi peningkatan belanja pertanian menunjukkan dampaknya yang memihak penduduk miskin pertanian sehingga kombinasi kebijakan tersebut diperkirakan akan menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian. Hasilnya menunjukkan headcount index pertanian turun 2.48 persen poin sehingga total headcount index turun 1.71 persen poin. Turunnya headcount index pertanian lebih besar dari pada headcount index industri dan headcount index perdagangan berdampak menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 1.2 persen poin. Namun, kesenjangan fiskal naik 1.0 akibat total belanja daerah yang naik 5.0. Untuk mengurangi kesenjangan fiskal, belanja lainnya dikurangi 0.5 SM4. Hasil simulasi menunjukkan belanja daerah hanya naik 4.1 sehingga kesenjangan fiskal turun 0.1 dan kemandirian fiskal naik 1.3. Dampak pada perekonomian dan kemiskinan adalah PDRB naik 25.8, jumlah tenaga kerja naik 13.8, Indeks Gini turun 0.007 poin, total headcound index turun 1.71 persen poin, headcount index pertanian turun paling besar yaitu 2.48 persen poin, proporsi penduduk miskin pertanian turun 1.2, dan jumlah penduduk miskin berkurang 88300 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual 2006-2011 dimana jumlah penduduk miskin berkurang 56200 orang. Tabel 44 Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2006-2011 Varibel Endogen Perubahan SM1A SM1B SM2A SM2B SM3 SM4 Penanaman Modal 1 25.0 25.0 Blok Fiskal 1. PAD 0.6 0.7 0.8 0.9 5.9 5.9 2. Bagi hasil pajak 3.7 3.7 50.0 50.0 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal 1.0 1.1 13.7 13.8 16.2 16.2 4. Dana alokasi umum -1.8 -2.4 -2.5 -3.1 -3.3 -3.3 5. Total pendapatan -0.3 -0.5 5.0 4.7 5.7 5.7 6. Belanja pertanian 50.0 100.0 100.0 150.0 150.0 150.0 7. Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 8. Belanja perdagangan 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 9. Belanja infrastruktur 0.3 0.3 7.4 7.4 8.5 8.5 10. Belanja lainnya -0.4 -0.6 2.7 2.5 2.9 -1.0 11. Total belanja 1.0 1.9 5.7 6.5 7.0 4.2 12. Kesenjangan fiskal 1.0 2.6 -1.4 0.2 -0.9 -6.3 13. Kemandirian fiskal 0.1 2 -0.1 -0.8 -0.9 -0. 1 0.0 Rasio surplusdefisit fiskal 4.5 3.5 5.1 4.1 4.6 7.1 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 12.8 27.1 27.7 42.0 43.6 43.6 15. PDRB industri 6.7 6.7 6.7 6.7 6.7 6.7 16. PDRB perdagangan 12.9 12.9 14.0 14.0 17.0 17.0 17. PDRB total 6.3 8.5 8.8 11.0 11.7 11.7 18. Share PDRB pertanian 0.1 2 2.1 2.1 4.0 4.1 4.1 19. Share PDRB industri 0.7 2 0.2 0.1 -0.4 -0.6 -0.6 20. Share PDRB perdagangan 3.4 2 3.0 3.1 2.7 3.0 3.0 21. Jumlah tenaga kerja 3.9 5.8 6.3 8.2 9.5 9.5 22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1 2.4 2.5 3.8 3.9 3.9 23. Pengeluaran pddk industri 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 24. Pengeluaran pddk perdagangan 6.3 6.3 6.6 6.6 7.0 7.0 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini 0.002 3 -0.001 -0.001 -0.003 -0.002 -0.002 26. Headcount index pertanian -0.46 2 -1.25 -1.27 -2.05 -2.07 -2.07 27. Headcount index industri -0.39 2 -0.48 -0.48 -0.57 -0.56 -0.56 28. Headcount index perrdagangan -1.35 2 -1.45 -1.52 -1.61 -1.70 -1.70 29. Poverty gap index pertanian -0.09 3 -0.23 -0.24 -0.37 -0.38 -0.38 30. Poverty severity index pertanian -0.03 3 -0.07 -0.07 -0.11 -0.11 -0.11 31. Headcount index total -0.58 2 -0.99 -1.02 -1.42 -1.44 -1.44 32. Proporsi pddk miskin pertanian 0.9 2 0.5 0.5 0.0 0.0 0.0 33. Pddk miskin pertanian -19.5 4 -52.8 -54.0 -86.8 -87.9 -87.9 34. Pddk miskin industri -4.6 4 -5.7 -5.7 -6.7 -6.6 -6.6 35. Pddk miskin perdagangan -25.4 4 -27.3 -28.5 -30.3 -31.9 -31.9 36. Penduduk miskin total -77.8 4 -132.6 -135.8 -189.5 -192.8 -192.8 Catatan: 1 Eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50 Perubahan dalam satuan jumlah; SM2: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 25, belanja perdagangan naik 50, SM3: belanja pertanian naik 100, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50 SM4: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50 SM5: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 25 SM6: belanja pertanian naik 150, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 50, bagi hasil pajak naik 50, penanaman modal naik 25, belanja lainnya turun 1.0 Hasil simulasi kombinasi kebijakan di provinsi non-pertanian pada Tabel 44 menunjukkan kombinasi peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan masing-masing 50 SM1A berdampak meningkatkan PDRB pertanian, PDRB industri, dan PDRB perdagangan masing-masing 12.8, 6.7, dan 12.9 sehingga total PDRB meningkat 6.3. Kenaikan PDRB meningkatkan jumlah tenaga kerja sebesar 3.9. Namun, perubahan terbesar pada PDRB perdagangan menyebabkan share PDRB perdagangan meningkat paling besar yaitu 3.4 persen poin sehingga Indeks Gini naik 0.002 poin. Di sisi lain, meningkatnya PDRB sektoral berdampak meningkatkan pengeluaran penduduk sektoral terutama perdagangan yaitu 6.3. Meningkatnya pengeluaran per kapita sektoral menyebabkan headcount index sektoral berkurang terutama di sektor perdagangan sehingga total headcount index berkurang 0.58 persen poin. Namun, dampaknya lebih rendah dibandingkan provinsi pertanian karena ketimpangan pendapatan meningkat. Selain itu, laju penurunan headcount index lebih rendah dibandingkan rata-rata aktual 2006-2011 yaitu 0.89 persen poin per tahun. Alternatif kebijakan ini memberi dampak negatif yaitu naiknya kesenjangan fiskal 1.0 serta proporsi penduduk miskin pertanian 0.9 persen poin akibat headcount index pertanian yang turun lebih kecil dari headcount index perdagangan. Oleh karena itu, untuk mempercepat laju penurunan headcount index pertanian maka belanja pertanian ditingkatkan 100 SIM1B. Hasil simulasi menunjukkan headcount index pertanian turun 1.25 persen poin sehingga total headcount index turun 0.99 persen poin. Total headcount index yang lebih rendah terjadi karena Indeks Gini turun 0.001 poin yang disebabkan share PDRB pertanian dan share PDRB industri meningkat lebih besar. Akan tetapi, kebijakan kombinasi ini lebih menguntungkan sektor perdagangan dimana headcount index perdagangan turun paling besar yaitu 1.45 persen poin. Akibatnya, proporsi penduduk miskin di sektor pertanian masih meningkat meskipun lebih kecil dari pada hasil simulasi sebelumnya yaitu 0.5 persen poin. Kombinasi kebijakan berdampak negatif yaitu meningkatnya kesenjangan fiskal dan berkurangnya kemandirian fiskal akibat laju kenaikan total belanja daerah lebih cepat dibandingkan laju kenaikan PAD. Untuk mengatasi dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut maka kapasitas fiskal perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, alternatif kebijakan berikutnya adalah bagi hasil pajak ditingkatkan 50 SIM2A. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.4 tetapi kemandirian fiskal turun 0.8 persen poin. Sementara dampaknya pada kemiskinan adalah total headcount index turun 1.02 persen poin namun propporsi penduduk miskin pertanian meningkat 0.5. Untuk mengatasi kenaikan proporsi penduduk miskin pertanian tersebut maka dilakukan simulasi berikutnya dengan meningkatkan belanja pertanian 150 SIM2B. Kebijakan peningkatan belanja pertanian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada surplus fiskal. Hasil simulasi menunjukkan kebijakan tersebut berdampak menurunkan total headcount index 1.42 persen poin dimana penurunan terbesar terjadi di sektor pertanian dengan headcount index pertanian turun 2.05 persen poin. Hal ini menyebabkan proporsi penduduk miskin pertanian tidak meningkat. Namun, dampak negatifnya adalah kesenjangan fiskal naik 0.2 yang disebabkan oleh meningkatnya total belanja daerah yang tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas fiskal yang cukup. Oleh karena itu, kapasitas fiskal perlu ditingkatkan lagi. Salah satu caranya adalah meningkatkan total penanaman modal untuk mendorong PAD. Hasil simulasi kombinasi kebijakan yang disertai peningkatan penanaman modal 25 SIM3 menunjukkan dampaknya berupa kesenjangan fiskal yang lebih kecil yaitu 0.9 namun kemandirian fiskal masih berkurang yaitu 0.1 persen poin. Meskipun kebijakan peningkatan belanja pertanian, belanja perindustrian, dan belanja perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan, namun kemandirian fiskal yang merupakan indikator kinerja fiskal berkurang yang berarti permasalahan tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU belum dapat diatasi oleh kombinasi kebijakan tersebut. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah mengurangi total belanja daerah dengan menurunkan belanja lainnya sebesar 1 SM4. Hasil simulasi menunjukkan kemandirian fiskal tidak berkurang namun juga tidak meningkat. Akan tetapi, peningkatan kemandirian fiskal bukan hal yang krusial bagi provinsi non-pertanian mengingat provinsi non- pertanian memiliki tingkat kemandirian fiskal yang cukup tinggi selama 2006- 2011 yaitu rata-rata 21 per tahun bahkan cenderung meningkat. Dampak lainnya adalah PDRB sektoral naik yaitu PDRB pertanian 43.6, PDRB industri 6.7, dan PDRB perdagangan 17.0 sehingga PDRB meningkat 11.7. Kenaikan PDRB sektoral berdampak meningkatkan jumlah tenaga kerja sektoral sehingga total tenaga kerja bertambah 9.5. Meningkatnya PDRB pertanian menyebabkan share PDRB pertanian naik 4.1 persen poin sehingga berdampak menurunkan Indeks Gini 0.002 poin. Selain itu, meningkatnya PDRB sektoral juga berdampak meningkatkan pengeluaran per kapita sektoral. Pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dan Indeks Gini yang lebih rendah selanjutnya menyebabkan berkurangnya headcount index sektoral terutama di sektor pertanian sehingga total headcount index turun 1.44 persen poin dan jumlah penduduk miskin turun 192800 orang atau lebih besar dibandingkan data aktual tahun 2006-2011 yaitu rata-rata hanya turun sekitar 116200 orang per tahun. Berdasarkan hasil simulasi historis 2006-2011 terhadap beberapa kombinasi kebijakan di provinsi pertanian dan non-pertanian dapat disimpulkan bahwa: 1. Belanja pertanian, belanja perindustrian, belanja perdagangan, bagi hasil pajak, dan penanaman modal yang lebih besar akan mendorong kapasitas fiskal sehingga berdampak menurunkan headcount index sektoral. 2. Laju penurunan kemiskinan yang lebih cepat dan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah dapat terwujud jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian, pemerintah pusat menambah porsi bagi hasil PPh untuk daerah, dan pihak swasta menanamkan modalnya di daerah. 3. Meskipun struktur ekonomi provinsi non-pertanian tidak didominasi sektor pertanian namun pembangunan pertanian melalui ekspansi belanja pertanian merupakan hal penting karena akan mempercepat pengentasan kemiskinan mengingat jumlah penduduk miskin di provinsi non-pertanian lebih besar terutama di kelompok penduduk miskin pertanian. 4. Kebijakan ekspansi belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan berdampak positif pada kinerja perekonomian dan kemiskinan sektoral tetapi berdampak negatif pada kinerja fiskal. Bahkan, di provinsi non-pertanian terjadi trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Namun, dampak negatif pada kinerja fiskal tersebut dapat diatasi jika alokasi belanja daerah diprioritaskan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian. Dengan demikian, temuan dari hasil simulasi hiostoris terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mendorong kapasitas fiskal memberi implikasi bahwa untuk mempercepat pengentasan kemiskinan melalui efek pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar dari pajak daerah dan bagi hasil pajak. Kapasitas fiskal yang lebih besar akan menambah kemampuan keuangan daerah tanpa ketergantungan yang tinggi pada DAU untuk membiayai pembangunan sektoral melalui belanja sektoral yang memprioritaskan pembangunan pertanian. Contoh program simulasi dan hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14–17. Sedangkan, rekapitulasi hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 18 dan Lampiran 19. Simulasi Peramalan 2013-2015 Simulasi peramalan 2013-2015 dilakukan terhadap beberapa kombinasi kebijakan yang mengacu pada hasil simulasi historis 2006-2011. Analis simulasi peramalan juga difokuskan pada variabel-variabel yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal dan berdampak positif pada kinerja fiskal, kinerja perekonomian, dan kemiskinan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. Simulasi diawali dengan meramal nilai-nilai dari variabe-variabel eksogen menggunakan metode Stepwise Autoregressie pada prosedur FORECAST dengan trend linier. Hasil peramalan variabel-variabel eksogen selanjutnya digunakan untuk meramal nilai-nilai dari variabel-variabel endogen menggunakan metode solusi Newton pada prosedur SIMNLIN dengan software SASETS 9.1.3. Program peramalan variabel-variabel eksogen dan hasilnya disajikan pada Lampiran 20 dan 21. Skenario pertama simulasi peramalan di provinsi pertanian terdiri dari kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan masing- masing 50, 50, dan 30 SM1. Peningkatan belanja perdagangan 30 berbeda dengan skenario simulasi historis yaitu 50 dengan pertimbangan kenaikan belanja perdagangan 2011 rata-rata hanya 34 dan kenaikan 2007-2011 rata-rata hanya 8 per tahun. Hasil simulasi pada Tabel 45 menunjukkan dampak positif yaitu PDRB sektoral meningkat sehingga tercipta PDRB tumbuh 11.2 dan jumlah tenaga kerja meningkat 5.4. Kenaikan PDRB sektoral menyebabkan pengeluaran per kapita sektoral meningkat. Selain itu, pertumbuhan pertanian dan industri yang lebih besar dibandingkan perdagangan menyebabkan share PDRB pertanian dan share PDRB industri meningkat sehingga Indeks Gini berkurang. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral yang disertai Indeks Gini yang lebih rendah menurunkan headcount index sektoral dengan penurunan terbesar di sektor pertanian. Turunnya headcount index ketiga sektor menyebabkan total headcount index berkurang 0.69 persen poin. Selainn itu, jumlah penduduk miskin berkurang 38600 orang bahkan lebih besar dibandingkan data aktual 2010-2011 dengan rata- rata 34600. Akan tetapi, alternatif kombinasi kebijakan ini berdampak negatif pada kinerja fiskal yaitu kesenjangan fiskal naik 1.6 dan kemandirian fiskal turun 0.1 persen poin. Berdasarkan hasil simulasi historis kebijakan tunggal, salah satu cara meningkatkan kinerja fiskal adalah meningkatkan kapasitas fiskal dari bagi hasil pajak. Oleh karena itu, untuk mengurangi kesenjangan fiskal maka bagi hasil pajak ditingkatkan 50 SM2. Kombinasi kebijakan tersebut berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.2, menurunkan total headcount index turun 0.70 persen poin, dan menurunkan jumlah penduduk miskin 38900 orang, tetapi kemandirian fiskal berkurang 0.4 persen poin. Berkurangnya kemandirian fiskal di provinsi pertanian menjadi permasalahan krusial dimana rata-rata aktual kemandirian fiskal tahun 2006-2011 sangat rendah yaitu 12.0 per tahun. Oleh karena itu, kemandirian fiskal harus ditingkatkan dengan mendorong penanaman modal. Tabel 45 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Pertanian Tahun 2013-2015 Variabel Endogen Perubahan SM1 SM2 SM3 Penanaman Modal 1 100.0 Blok Fiskal 1. PAD 0.6 0.7 12.9 2. Bagi hasil pajak 3.9 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal 1.4 13.6 21.3 4. Dana alokasi umum -1.1 -1.1 -1.4 5. Total pendapatan -0.1 3.1 5.0 6. Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0 7. Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 8. Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0 9. Belanja infrastruktur 0.3 3.5 5.4 10. Belanja lainnya -0.1 1.0 1.6 11. Total belanja 1.5 2.9 3.6 12. Kesenjangan fiskal 1.6 -1.2 -3.1 13. Kemandirian fiskal -0.1 2 -0.4 1.6 Rasio surplusdefisit fiskal 2.1 3.8 4.9 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 18.1 18.4 22.4 15. PDRB industri 30.6 30.6 31.1 16. PDRB perdagangan 9.4 9.9 17.3 17. PDRB total 11.2 11.4 14.5 18. Share PDRB pertanian 5.9 2 5.9 6.5 19. Share PDRB industri 19.6 2 19.4 16.8 20. Share PDRB perdagangan -1.2 2 -1.0 2.7 21. Jumlah tenaga kerja 5.4 6.9 9.9 22. Pengeluaran pddk pertanian 1.1 1.1 1.3 23. Pengeluaran pddk industri 2.4 2.4 2.5 24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.1 2.2 3.7 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini -0.003 3 -0.003 -0.002 26. Headcount index pertanian -0.79 2 -0.80 -0.91 27. Headcount index industri -0.67 2 -0.67 -0.66 28. Headcount index perrdagangan -0.67 2 -0.69 -1.06 29. Poverty gap index pertanian -0.14 3 -0.14 -0.16 30. Poverty severity index pertanian -0.04 3 -0.04 -0.05 31. Headcount index total -0.69 2 -0.70 -0.82 32. Proporsi pddk miskin pertanian -0.3 2 -0.3 -0.2 33. Pddk miskin pertanian -19.3 4 -19.4 -22.2 34. Pddk miskin industri -1.0 4 -1.0 -1.0 35. Pddk miskin perdagangan -3.3 4 -3.4 -5.2 36. Penduduk miskin total -38.6 4 -38.9 -45.4 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 satuan jumlah Perubahan dalam SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30 SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50 SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 100 Untuk itu, skenario berikutnya adalah meningkatkan total penanaman modal 100 SM3 dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan penanaman modal 2007- 2011 di provinsi pertanian cukup tinggi dengan rata-rata 85 per tahun, bahkan tahun 2011 mencapai 188. Hasil simulasi menunjukkan kombinasi kebijakan tersebut memberi dampak lebih besar pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal turun 3.1 dan kemandirian fiskal naik 1.6 persen poin. Dampak positif lainnya dalah PDRB naik 14.5, jumlah tenaga kerja bertambah 9.9, Indeks Gini turun 0.002 poin, total headcount index turun 0.82 persen poin, dan jumlah penduduk miskin berkurang 45400 orang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agar kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi pertanian tahun 2013-2015 lebih baik dengan ketimpangan pendapatan yang lebih rendah, diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Hal ini dapat tercapai dengan menambah belanja-belanja sektoral untuk mendorong PDRB yang menstimulasi kenaikan pajak daerah serta menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah. Selain itu, diperlukan juga penanaman modal yang lebih tinggi untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang. Hasil simulasi peramalan di provinsi non-pertanian disajikan pada Tabel 46. Kombinasi peningkatan belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan masing-masing 50, 50, dan 30 SM1A berdampak meningkatkan PDRB sektoral sehingga PDRB naik 5.7 dan jumlah tenaga kerja naik 3.6. Kenaikan PDRB pertanian yang tinggi yaitu 13.3 menyebabkan share PDRB pertanian meningkat 7.2 persen poin sehingga Indeks Gini turun 0.001 poin. Kenaikan pengeluaran per kapita sektoral sebagai dampak kenaikan PDRB sektoral disertai dengan berkurangnya Indeks Gini berdampak menurunkan total headcount index 0.59 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 84900 orang bahkan lebih besar dibandingkan rata-rata aktual di provinsi non-pertanian tahun 2011 yang berkurang 66300 dari tahun 2010. Namun, kombinasi kebijakan tersebut berdampak negatif pada kinerja fiskal dimana kesenjangan fiskal naik 1.8 dan kemandirian fiskal turun 0.2 persen poin. Dampak negatif lainnya adalah proporsi penduduk miskin pertanian naik 0.3 persen poin akibat laju penurunan headcount index pertanian yang lebih lambat. Untuk mempercepat laju penurunan headcount index pertanian belanja pertanian ditingkatkan 80 SM1B sehingga berdampak menurunkan total headcount index 0.80 persen poin dengan penurunan terbesar di sektor pertanian. Laju penurunan headcount index pertanian yang lebih tinggi menurunkan proporsi penduduk miskin pertanian 0.1 persen poin sehingga jumlah penduduk miskin berkurang lebih besar yaitu 114400 orang. Tetapi, kinerja fiskal semakin buruk dimana kesenjangan fiskal meningkat 3.0 dan kemandirian fiskal berkurang 0.4 persen poin. Dari hasil simulasi kebijakan tunggal diketahui salah satu cara mengatasi kesenjangan fiskal adalah meningkatkan bagi hasil pajak. Untuk itu, skenario berikutnya adalah meningkatkan bagi hasil pajak 50 SM2 yang berdampak menurunkan kesenjangan fiskal 1.7. Namun kemandirian fiskal turun 0.8 persen poin sehingga PAD harus ditambah dengan meningkatkan penanaman modal 50 SM3. Dampaknya pada kinerja fiskal positif dimana kemandirian fiskal naik 0.5 persen poin dan kesenjangan fiskal turun 3.7. Dampak pada perekonomian adalah PDRB sektoral naik masing-masing sektor pertanian 24.2, sektor industri 9.5, dan sektor perdagangan 9.6 sehingga total PDRB naik 8.6 dan jumlah tenaga kerja naik 7.6. Tingginya kenaikan PDRB pertanian menurunkan Indeks Gini 0.002 poin dan bersama kenaikan pengeluaran per kapita sektoral berdampak menurunkan headcount index sektoral sehingga total headcount index turun 0.88 persen poin dan jumlah penduduk miskin berkurang 125600 orang. Tabel 46 Ramalan Dampak Kebijakan Kombinasi terhadap Kinerja Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral di Provinsi Non-Pertanian Tahun 2013-2015 Variabel Endogen Perubahan SM1A SM1B SM2 SM3 Penanaman Modal 1 50.0 Blok Fiskal 1. PAD 0.2 0.3 0.3 6.0 2. Bagi hasil pajak 3.0 3.0 50.0 50.0 3. Kapasitas fiskal 0.6 0.7 9.1 12.2 4. Dana alokasi umum -1.3 -1.6 -1.7 -2.0 5. Total pendapatan -0.1 -0.2 3.6 5.0 6. Belanja pertanian 50.0 80.0 80.0 80.0 7. Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 50.0 8. Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0 30.0 9. Belanja infrastruktur 0.2 0.2 4.0 5.2 10. Belanja lainnya -0.1 -0.2 1.2 1.6 11. Total belanja 1.3 1.9 3.5 4.0 12. Kesenjangan fiskal 1.8 3.0 -1.7 -3.7 13. Kemandirian fiskal -0.2 2 -0.4 -0.8 0.5 Rasio surplusdefisit fiskal 3.8 3.1 5.2 5.9 Blok Perekonomian Sektoral 14. PDRB pertanian 13.3 21.2 21.5 24.2 15. PDRB industri 9.4 9.4 9.4 9.5 16. PDRB perdagangan 4.5 4.5 5.0 9.6 17. PDRB total 5.7 7.0 7.1 8.6 18. Share PDRB pertanian 7.2 2 13.8 13.9 14.9 19. Share PDRB industri 3.3 2 1.9 1.8 -0.2 20. Share PDRB perdagangan 1.0 2 -0.7 -0.4 2.5 21. Jumlah tenaga kerja 3.6 4.8 5.1 7.6 22. Pengeluaran pddk pertanian 0.9 1.4 1.5 1.6 23. Pengeluaran pddk industri 1.7 1.7 1.7 1.8 24. Pengeluaran pddk perdagangan 2.3 2.3 2.4 3.3 Blok Kemiskinan Sektoral 25. Indeks Gini -0.001 3 -0.002 -0.002 -0.002 26. Headcount index pertanian -0.64 2 -1.04 -1.05 -1.12 27. Headcount index industri -0.53 2 -0.58 -0.58 -0.57 28. Headcount index perrdagangan -0.73 2 -0.77 -0.80 -1.03 29. Poverty gap index pertanian -0.12 3 -0.19 -0.19 -0.20 30. Poverty severity index pertanian -0.03 3 -0.05 -0.05 -0.06 31. Headcount index total -0.59 2 -0.80 -0.81 -0.88 32. Proporsi pddk miskin pertanian 0.3 2 -0.1 -0.1 0.0 33. Pddk miskin pertanian -27.8 4 -45.1 -45.5 -48.4 34. Pddk miskin industri -5.0 4 -5.4 -5.4 -5.3 35. Pddk miskin perdagangan -12.5 4 -13.4 -13.8 -17.8 36. Penduduk miskin total -84.9 4 -114.4 -115.6 -125.6 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin; 4 satuan jumlah Perubahan dalam SM1: belanja pertanian naik 50, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30 SM2: belanja pertanian naik 80, belanja perindustrian naik 50, belanja perdagangan naik 30 SM2: kombinasi SM1 dan bagi hasil pajak naik 50 SM3: Kombinasi SM2 dan penanaman modal naik 50 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kinerja fiskal dan kinerja perekonomian provinsi non-pertanian tahun 2013-2015 disertai tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian yang lebih rendah diperlukan kapasitas fiskal yang lebih besar. Salah satu caranya adalah meningkatan belanja-belanja daerah untuk urusan pertanian, perindustrian, dan perdagangan namun lebih difokuskan pada belanja pertanian. Hal ini disebabkan kenaikan belanja sektoral akan mendorong pertumbuhan PDRB sehingga dapat menstimulir kenaikan pajak daerah. Selain itu, peningkatan porsi daerah dari bagi hasil pajak diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal. Peran swasta dalam bentuk penanaman modal yang lebih besar juga diperlukan untuk meningkatkan kemandirian fiskal sehingga ketergantungan keuangan daerah pada DAU secara bertahap akan berkurang. Secara umum, hasil simulasi peramalan menunjukkan bahwa jika kapasitas fiskal tahun 2013-2015 lebih besar sebagai dampak ekspansi belanja-belanja pertanian, perindustrian, dan perdagangan yang disertai peningkatan bagi hasil pajak dan total penanaman modal maka laju penurunan kemiskinan semakin cepat yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dan berkurangnya ketimpangan pendapatan. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang memihak sektor pertanian terutama melalui ekspansi belanja pertanian yang berdampak mengurangi proporsi penduduk miskin pertanian akan mempercepat laju penurunan tingkat kemiskinan mengingat mayoritas penduduk miskin di Indonesia hidup dari sektor pertanian. Hasil simulasi peramalan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 22 dan 23.

8. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan 1. Selama tahun 2006-2011 kinerja fiskal daerah di Indonesia umumnya rendah dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU sedangkan kapasitas fiskal rendah dan berkurang. Pertumbuhan ekonomi daerah terindikasi tidak pro- poor karena meskipun tingkat kemiskinan headcount index berkurang tetapi ketimpangan pendapatan Indeks Gini dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. 2. Kapasitas fiskal berpengaruh besar pada belanja pertanian dan infrastruktur yang merupakan faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan panjang jalan aspal. Pertumbuhan sektor pertanian yang lebih tinggi dan bertambahnya panjang jalan aspal bepengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian yang mengindikasikan pertumbuhan pro-poor. 3. Sumber kapasitas fiskal pajak daerah dipengaruhi oleh PDRB per kapita dan penanaman modal swasta. 4. Sumber kapasitas fiskal bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB sektor non- pertanian yang berpotensi meningkatkan pajak penghasilan PPh perorangan sebagai sumber utama bagi hasil pajak di daerah. 5. Alternatif kebijakan peningkatan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada peningkatan belanja perdagangan disertai kebijakan peningkatan porsi bagi hasil pajak untuk daerah dan peningkatan penanaman modal swasta terutama di provinsi pertanian akan meningkatkan kapasitas fiskal sehingga berdampak terhadap perbaikan kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral dengan indikasi meningkatnya kemandirian fiskal, pertumbuhan PDRB sektoral, dan jumlah tenaga kerja sektoral serta berkurangnya headcount index sektoral, Indeks Gini, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian. Implikasi Kebijakan Temuan-temuan penting dari penelitian ini memberi implikasi yaitu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar diikuti penyerapan tenaga kerja dan berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin pertanian serta untuk mencapai target-target kemiskinan pada agenda pembangunan nasional RPJMN 2014 sebesar 8-10 dan MDGs 2015 sebesar 7.5, maka pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kapasitas fiskal dengan cara: 1. Pemerintah daerah meningkatkan belanja pertanian dan belanja perindustrian lebih besar dari pada belanja perdagangan. 2. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat, dan pihak-pihak terkait bersama-sama menciptakan iklim investasi swasta yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal swasta dalam dan luar negeri terutama di provinsi pertanian. 3. Pemerintah pusat merevisi UU No. 332004 pasal 13 dengan menambah porsi bagi hasil pajak untuk daerah dari PPh perorangan dari 20 menjadi 30. Saran Penelitian Lanjutan 1. Data pajak daerah pada penelitian ini adalah data agregat pajak, sedangkan jenis-jenis pajak kabupatenkota dan pajak provinsi sangat berbeda. Pajak kabupatenkota sebagian besar adalah pajak-pajak tidak langsung terutama dari sektor perdagangan, sedangkan pajak provinsi sebagian besar pajak-pajak langsung terutama pajak-pajak terkait kendaraan bermotor. Oleh karena itu, pada penelitian lanjutan disarankan melakukan kajian untuk setiap jenis pajak daerah agar dapat diketahui jenis pajak yang paling berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal. 2. Data belanja daerah adalah gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan yang merupakan konsekuensi perubahan format APBD sejak tahun 2005. Sementara itu, saat ini belum ada metode disagregasi yang dapat memisahkan belanja rutin dan belanja pembangunan sedangkan studi-studi terdahulu menunjukkan perbedaan dampak kedua jenis belanja tersebut terhadap perekonomian dan kemiskinan. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kajian mengenai metode diasgregasi belanja daerah yang tepat. 3. Kajian pengentasan kemiskinan pada penelitian ini menggunakan pendekatan pertumbuhan pro-poor. Akan tetapi, menurut de Janvry dan Sadoulet 2010 pengentasan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan transfer pendapatan cash transfer langsung kepada rumahtangga miskin. Pada prakteknya, pendekatan ini beberapa kali dilakukan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Namun, studi-studi cash transfer di Indonesia umumnya dilakukan untuk cakupan nasional dengan sumber anggaran APBN atau bantuan asing. Sementara studi-studi serupa di tingkat daerah sangat terbatas dan hanya dilakukan pada daerah-daerah tertentu serta tidak dikaji secara sektoral. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan kajian dampak cash transfer terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah secara menyeluruh. 4. Kajian sektoral pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan keterkaitan belanja daerah, PDRB, dan kemiskinan di setiap sektor. Sedangkan, studi- studi terdahulu seperti Suryahadi, et al. 2009 dan Ravallion dan Datt 1996 menunjukkan adanya keterkaitan pertumbuhan dan kemiskinan antar sektor. Oleh karena itu, disarankan untuk melakukan studi dampak dan keterkaitan pertumbuhan antar komponen sektoral terhadap kemiskinan sektoral. DAFTAR PUSTAKA Abbott, D. 2007. Pro-poor policies: what are they? How do they contribute to the achievement of the MDGs? Paper presented at Sub-Regional Workshop for the North Pacific: Integrating MDGs into National Development Strategies and Budgets, 26 – 29 June 2007. UNDP, Bangkok. ADB. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy . Asian Development Bank, Manila. Afrizawati. 2012. Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah KabupatenKota di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi, 21: 21-30. Ariyanto, B. 2002. Studi Transfer Pemerintah dalam Era Desentralisasi di Indonesia: Kasus Dana Perimbangan. Tesis Magister. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok. Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show? Bulletin of Indonesian Economic Studies , 382: 201-22. Balitbang Depdagri dan Fisipol UGM. 1991. Pengukuran Kemampuan Daerah Tingkat II Dalam Rangka Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab . Balitbang Depdagri, Jakarta. Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga, Jakarta. Bidani, N., M. Ravallion. 1993. A Regional Poverty Profile for Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies , 293: 37-68. Bird, R.M. 2011. Subnational Taxation in Developing Countries: A Review of the Literatur. Journal of International Commerce, Economic and Policy, 21: 139- 161. Booth, A., Firdaus. 1996. Effect of Price and Market Reform on the Poverty Situation of Rural Communities and Firm Families . Working Paper. United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pacific UN ESCAP, New York. Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank, Washington, D.C. BPS. 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ------. 2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Brodjonegoro, B. 2001. Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Case of General Allocation Fund . Paper presented at An International Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices. Asian Tax and Public Policy Program, Hitotsubashi University, 9-10 February 2001, Tokyo. Cheema, G.S., D.A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development. Sage. Beverly Hills. Daniels, L. 2011. Measuring Poverty Trends in Uganda with Non-monetatry Indicators . Paper presented at the Fourth Global Conference on Agricultural and Rural Household Statistics. Wye City Group. 9-11 November 2011, Rio de Janeiro, Brazil. De Janvry, E. Sadoulet 2010. Agricultural Growth and Poverty Reduction: Additional Evidence. The World Bank Research Observer, 251: 1-20. Devas, N. 1989. Financing Local Government in Indonesia. Ohio University Center for International Studies, Ohio. DJPK. 2005. Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. Internet, diacu 9 Desember 2013. Tersedia dari http:www.djpk.depkeu.go.id. Dornbusch, R., S. Fischer, R. Startz. 2008. Macroeconomics. Tenth edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Eastwood, R., M. Lipton. 2001. Pro-poor Growth and Pro-Growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications. Asian Development Review , 182: 1-37. Fan, S., P. Al-Riffai, M. El-Said, B. Yu, A. Kamaly. 2006. A Multi-level Analysis of Public Spending, Growth and Poverty Reduction in Egypt . Discussion Paper, International Food and Policy Research Institute, Washington, D.C. Foster, J.E. 1998. Absolute versus Relative Poverty. The American Economic Review , 882: 335-341. Foster, J.E., J. Greer, E. Thorbecke. 1984. A Class of Decomposable Poverty Measures. Econometrica 523: 761-766. Fukasaku, K., de Mello Jr. 1999. Fiscal Decentralization in Emerging Economies. Governance Issues . OECD Development Centre. Paris. Gramlich, E.M. 1977. Intergovernmental Grants: A Review of the Empirics Literature. In The Political Economy of Fiscal Federalism, ed. Wallace Oates, 219-239. MA: Heath-Lexington, Lexington. Gujarati. D. 2008. Basic Econometrics. Fifth edition. McGraw-Hill, New York. Haughton, J., S.R. Khandker. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World Bank, Washington D.C. Hines, J.R., R.H. Thaler, 1995. Anomalies the Flypaper Effect. Journal of Economic Perspectives , 94: 217-226. Hsiao, C. 1995. Analysis of Panel Data. Econometric Society Monograph No. 11. Cambridge University Press, Cambridge. Inman, Robert P. 2008. The Flypaper Effect. Working Paper 14579. National Bureau of Economic Research . Cambridge. Kadmasasmita. A.D. 2014. Akuntabilitas Keuangan Negara: Konsep dan Aplikasi . Internet, diacu 16 Desember 2013. Tersedia dari: http:www.stialan.ac.idartikelartikel20achmad_djuaeni.pdf. Kakwani, N. 1993. Poverty and Economic Growth with Application to Cote D’Ivoire. Review of Income and Wealth, 392: 121-139. Kakwani, N., E.M. Pernia. 2000. What is Pro-poor Growth?, Asian Development Review , 181: 1-16. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan . Pustaka Cidesindo, Jakarta. Klasen, S. 2004. In Search of The Holy Grail: How to Achieve Pro-Poor Growth?, in Toward Pro-Poor Policies: aid, institutions and globalization, ed. B Tungodden, N Stern, I Kolstad, 63-94. Oxford University Press for the World Bank, New York. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: an Introductory Exposition of Econometric Methods . Second edition. The MacMillan Press Ltd, London. Kukk, K. 2008. Fiscal Policy Effects on Economic Growth: Short Run vs Long Run. TUTWPE No. 167. Tallinn University of Technology, Tallinn. Kuncoro, H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah Pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan , 91: 47-63. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review , 451: 1-28. Laabas, B., I. Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth . Paper prepared in the context of the IFPRIAPI Collaborative Research Project: “ Public Policy and Poverty Reduction in the Arab Region”. Arab Planning Institute, Kuwait. Lucas, R.E., Jr. 1988. On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 221: 3-42. Mahi, R. 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia , 61: 39-49. Makmun. 2008. Studi Kemampuan Daerah dalam Memberikan Subsidi Listrik. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan , 161. Malik, A., A.M. Ahmed. The Relationship between Real Wages and Output: Evidence from Pakistan. The Pakistan Development Review, 394: 1111-1126. Mallick, S.K. 2008. A macroeconomic policy approach to poverty reduction. Working paper. Brooks World Poverty Institute, University of Manchester, Manchester. Mankiw, N.G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Penerbit Eerlangga, Jakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. McKay, A. 2002. Assessing impact of fiscal policy on poverty. Discussion paper, No. 200243. World Institute for Development Economics Research, United Nations University, Helsinki. Miranti, R. 2010. Poverty in Indonesia 1984-2002: The Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 461: 79-97. Musgrave, R.A. 1959. The Theory of Public Finance. McGraw-Hill, New York. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Niskanen, W. 1968. The Peculiar Economics of Bureaucracy. The American Economic Review , 582: 293-305. Oates, W. 1972. Fiscal Federalism. Harcourt Brace Jovanovich Inc., New York. Oates, W. 1999. An Essay of Fiscal Federalism. Journal of Economics Literature, 373: 1120-1149. OECD. 2006 a ---------. 2006 . Promoting Pro-Poor Growth: Agriculture. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. b ---------. 2009 . Promoting Pro-Poor Growth: Infrastructure. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. a ---------. 2009 . Promoting Pro-Poor Growth: Social Protection. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. b Panjaitan, M. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara: Suatu Pendekatan Ekonometrika . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. . Promoting Pro-Poor Growth: Employement. DAC Guidelines and Reference Series. A DAC Reference Document. OECD, Paris. Pardede, R. 2004. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupatan Tapanuli Utara dan Kota Medan: Aplikasi Model Input- Output . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pyndick, R.S., D.L. Rubinfeld. 1991. Economic Models and Economic Forecasts. Richard D. Irwin and MacGraw-Hill, Boston. Ravallion, M. 1995. Growth and Poverty: Evidence for Developing Countries in the 1980s. Economic Letters, 48: 411-417. Ravallion, M. 1998. Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards Measurement Study. Working paper, No. 13. World Bank, Washington, D.C. Ravallion, M., G. Datt. 2002. Why has economic growth been more pro-poor in some states of India than others? Journal of Development Economics, 682: 381-400. Ravallion, M., S. Chen. 1997. What can new survey data tell us about redent changes in distribution and poverty?, World Bank Economic Review, 112: 357-382. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long Run Growth. Journal of Political Economy , 945: 1002-1037. Rondinelli, D.A. 1990. Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response. Development and Change, 213: 491-500. Rosen, H.S. 1999. Public Finance. McGraw-Hill, New York. Samuelson, P.A., W.D. Nordhaus. 2005. Macroeconomics. Eighteenth Edition. McGraw-Hill, New York Saruc, N.T., I. Sagbas. 2008. The Surge Impact of the Flypaper, Substitution and Stimulation Effect on Local Tax Effort in Turkey. International Research Journal of Finance and Economics , 13: 42-49. SAS Institute. 2004. SASETSR 9.1 User’s Guide. Cary, NC: SAS Institute Inc. New York. Seers, D. 1969. The Meaning of Development. International Development Review , 114: 3-4. Sinaga, B.M., H. Siregar. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia . Laporan penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R.K., B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Stiglitz, J.E. 2000. Economics of the Public Sector. W W Norton, New York. Sulistiyawan, E. 2009. Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap TSLS dalam Strutural Equation Models SEM. Stigma Journal of Science, 031: 17-21. Supriyati, Saptana, Sumedi. 2001. Dinamika Ketenagakerjaan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Pedesaan Jawa Kasus di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian PSE. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian R.I., Bogor. Suryahadi, A., D. Suryadarma, S. Sumarto. 2009. The Effects of Location and Sectoral Components of Economic Growth on Poverty: Evidence from Indonesia. Journal of Development Economics 89: 109-117. Suryahadi, A., G. Hadiwidjaja, S. Sumarto. 2012. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia Before and After the Asian Financial Crisis. Working paper. The SMERU Research Institute, Jakarta. Susilowati, S.H. 2010. Pendekatan Skala Ekivalensi untuk Mengukur Kemiskinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 282: 91-105. Tanzi, V. 2004. Measuring efficiency in public expenditure. Paper presented in Conference on Public Expenditure Evaluation and Growth. World Bank, Washington, D.C. Thorbecke, E. 1993. Impact of State and Civil Institutions on the Operation of Rural market and Nonmarket Configurations. World Development, 214: 565- 575. Todaro, M.P., S.C. Smith. 2003. Economic Development. Eighth edition. Longman, New York Turnbull, G.K. 1998. The Overspending and Flypaper Effect of Fiscal Illusion: Theory and Empirical Evidence. Journal of Urban Economics, 441: 1-26. Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis Magister. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Walpole, R.E., R.H. Myers. 1978. Probability and Statistics for Engineers and Scientists . Second edition. Macmillan Publishing Co., Inc., London. Warr, P. 2006. Poverty and Growth in Southeast Asia. ASEAN Economic Bulletin, 233: 279-302. Whitfield, L. 2008. Pro-Poor Growth: a review of contemporary debates. Working paper. Danish Institute for International Studies DIIS, Copenhagen. Widarjono, A. 2006. Does Intergovenmental Transfers Cause Flypaper Effect on Local Spending? Jurnal Ekonomi Pembangunan, 112: 115-123. Wilde, J.A. 1968. The Expenditure Effects of Grants-in-Aid Programs. National Tax Journal , 213: 340-348 World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. World Bank Office, Jakarta. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development . World Bank, Washington, D.C. World Bank. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. World Bank, Washington, D.C. Yanizar. 2012. Dampak Alokasi Pengeluaran Dana Pembangunan Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Kemiskinan Provinsi Jambi . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. LAMPIRAN Halaman ini sengaja dikosongkan Lampiran 1. IHK Provinsi Tahun 2005-2011 2007=100 Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1. NAD 76.19 91.30 100.00 108.85 115.86 120.34 127.71 2. Sumatera Utara 81.47 92.47 100.00 109.82 115.32 121.55 129.99 3. Sumatera Barat 81.49 91.88 100.00 110.54 116.64 122.62 131.19 4. Riau 82.60 92.62 100.00 110.69 116.04 121.10 128.74 5. Jambi 79.90 90.59 100.00 110.70 115.84 123.40 130.71 6. Sumatera Selatan 80.79 92.98 100.00 111.72 116.60 121.19 127.16 7. Lampung 82.32 95.13 100.00 112.14 120.32 128.49 138.63 8. Kepulauan Riau 86.10 94.95 100.00 109.22 114.35 119.42 125.70 9. Jawa Barat 81.99 93.04 100.00 110.03 115.81 121.28 126.81 10. Jawa Tengah 83.40 94.14 100.00 108.21 113.32 119.01 124.40 11. D.I. Yogyakarta 80.80 92.36 100.00 109.24 114.85 120.72 127.78 12. Jawa Timur 83.61 94.26 100.00 110.01 115.25 121.19 127.54 13. Banten 83.67 93.95 100.00 110.94 117.88 123.20 128.65 14. Bali 87.78 95.64 100.00 107.74 113.92 121.12 128.53 15. NTB 83.24 93.58 100.00 111.92 119.72 127.23 135.36 16. NTT 79.62 91.40 100.00 112.03 119.82 130.49 138.49 17. Kalimantan Barat 83.06 93.30 100.00 111.54 117.99 124.97 132.85 18. Kalimantan Tengah 84.18 94.48 100.00 110.15 114.88 122.05 130.27 19. Kalimantan Selatan 79.99 92.05 100.00 110.38 116.53 125.18 132.30 20. Kalimantan Timur 83.42 94.40 100.00 112.90 120.50 128.81 138.47 21. Sulawesi Utara 82.50 93.33 100.00 111.15 115.43 121.09 125.61 22. Sulawesi Tengah 81.29 94.07 100.00 110.11 117.45 123.80 131.99 23. Sulawesi Selatan 83.05 94.62 100.00 113.75 121.31 127.27 133.27 Sumber : BPS data diolah Lampiran 2. Data dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah menurut Provinsi, 2005-2011 1. Pajak Daerah Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 207 262 365 033 434 903 554 119 564 205 624 333 750 241 Sumut 1 608 350 1 685 214 1 885 251 2 408 105 2 292 295 2 830 624 4 158 694 Sumbar 472 147 516 429 599 002 808 069 752 648 920 612 1 185 693 Riau 739 382 852 666 1 039 747 1 414 862 1 245 331 1 294 166 2 094 242 Jambi 314 744 350 500 411 470 580 171 500 605 681 052 962 525 Sumsel 585 094 742 998 851 892 1 165 446 1 062 003 1 430 245 2 038 019 Lampung 518 092 564 763 627 660 856 174 817 077 1 075 278 1 411 906 Kepri 291 193 457 876 614 056 875 162 853 500 921 860 1 186 796 Jabar 4 049 733 4 161 383 4 776 659 5 941 094 6 109 385 7 879 233 10 988 176 Jateng 2 426 186 2 643 122 2 974 884 3 683 449 3 908 492 4 760 511 5 828 730 DIY 455 789 473 087 558 634 669 929 708 624 820 377 1 047 434 Jatim 3 823 084 4 080 198 4 475 989 5 512 123 6 038 255 7 251 230 10 118 998 Banten 1 310 707 1 390 900 1 607 671 2 002 425 2 048 782 2 724 662 4 306 729 Bali 1 163 359 1 108 053 1 279 686 1 879 973 2 091 405 2 445 638 3 402 119 NTB 195 080 242 480 313 903 410 594 438 564 474 035 651 825 NTT 112 406 134 922 151 369 195 550 221 416 258 823 352 804 Kalbar 300 155 369 381 418 059 562 465 533 121 719 853 1 147 247 Kalteng 153 971 201 928 255 712 362 183 335 806 455 630 803 491 Kalsel 514 346 546 267 654 987 990 413 931 779 1 190 971 1 813 448 Kaltim 806 654 909 374 1 157 987 1 737 305 1 731 691 2 237 012 4 103 121 Sulut 197 385 217 039 268 868 351 941 365 660 468 924 631 886 Sulteng 145 053 166 830 205 331 289 063 277 386 401 402 503 352 Sulsel 697 531 834 959 1 024 193 1 266 029 1 279 924 1 598 193 2 211 443 2. Bagi Hasil Pajak Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 486 988 647 843 657 291 927 402 974 597 1 073 454 1 021 921 Sumut 973 249 1 226 158 1 500 637 1 536 835 1 704 316 1 957 339 1 683 634 Sumbar 313 102 380 944 468 900 503 173 508 162 572 198 533 046 Riau 1 123 424 1 806 461 1 687 781 1 812 394 1 724 110 2 024 646 1 936 579 Jambi 491 926 712 626 700 854 662 498 714 203 792 107 805 674 Sumsel 933 571 1 271 487 1 502 134 1 517 122 1 565 597 2 015 798 1 767 718 Lampung 303 599 379 953 450 676 470 467 505 001 653 254 613 708 Kepri 410 257 584 435 666 804 734 595 641 264 863 205 939 844 Jabar 2 481 347 2 632 820 3 203 826 3 831 810 3 947 226 4 796 545 4 156 856 Jateng 1 223 982 1 502 789 1 749 808 2 076 758 2 274 045 2 582 857 2 269 462 DIY 177 490 188 655 230 938 304 606 331 684 383 212 323 214 Jatim 2 067 989 2 481 523 3 004 813 3 323 646 3 883 436 4 562 973 3 742 784 Banten 941 369 904 048 1 109 001 1 283 651 1 424 447 1 732 055 1 288 630 Bali 309 071 324 563 405 696 513 482 576 947 698 719 535 382 NTB 189 724 230 267 290 534 293 742 317 377 445 808 472 565 NTT 256 028 298 786 364 298 356 055 402 633 477 810 466 922 Kalbar 333 405 402 840 466 538 506 064 589 763 666 299 623 913 Kalteng 377 938 455 259 606 825 584 169 601 560 693 287 655 213 Kalsel 480 734 679 834 574 557 599 834 579 064 682 572 687 048 Kaltim 1 625 340 6 238 423 3 177 694 3 393 006 2 582 159 2 771 900 3 094 360 Sulut 158 451 187 568 246 316 222 316 342 209 398 249 317 747 Sulteng 209 238 247 647 309 585 313 255 336 583 393 151 388 480 Sulsel 661 798 785 685 900 115 951 308 1 033 904 1 120 313 1 083 728 Lampiran 2. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 3 765 071 4 014 083 3 706 259 4 765 033 3 355 517 2 964 928 4 101 186 Sumut 2 928 527 3 433 276 3 966 157 4 660 684 4 701 682 5 728 431 7 276 837 Sumbar 1 073 211 1 288 679 1 524 732 1 832 844 1 816 355 2 166 157 2 547 198 Riau 9 183 266 12 913 809 11 471 834 15 093 119 11 003 978 15 348 292 16 502 098 Jambi 1 244 493 1 805 342 1 994 614 2 201 758 2 276 451 3 057 512 3 693 378 Sumsel 3 438 733 4 595 960 5 027 798 5 972 850 5 641 190 8 313 682 9 176 302 Lampung 1 389 462 1 608 254 1 650 163 2 052 362 1 811 560 2 484 269 2 919 530 Kepri 1 289 765 2 910 407 2 393 970 4 006 268 3 644 925 5 248 387 5 218 460 Jabar 8 183 427 8 730 561 10 086 259 12 149 113 13 777 857 16 535 042 19 539 899 Jateng 5 246 624 6 076 723 6 836 504 8 183 447 9 021 823 10 514 886 11 838 432 DIY 827 610 918 966 1 083 399 1 356 513 1 463 214 1 647 498 1 895 774 Jatim 7 383 771 8 521 850 9 808 903 11 696 344 13 218 883 16 374 816 19 321 543 Banten 2 539 931 2 655 241 3 160 597 3 819 945 4 067 086 5 189 029 6 443 715 Bali 1 739 381 1 757 642 2 048 888 2 851 342 3 204 579 3 825 460 4 791 167 NTB 696 407 788 841 974 156 1 038 227 1 205 703 1 525 855 2 061 434 NTT 566 648 718 364 844 483 899 652 1 021 495 1 183 720 1 348 078 Kalbar 774 209 1 016 610 1 272 474 1 462 266 1 596 754 1 848 692 2 386 508 Kalteng 808 016 990 693 1 438 261 1 548 925 1 625 718 1 899 189 2 470 455 Kalsel 1 616 416 1 927 341 2 137 836 2 904 055 3 793 719 4 007 694 5 675 069 Kaltim 11 999 959 15 313 834 13 745 589 19 551 111 16 883 380 21 528 295 27 920 163 Sulut 463 642 529 189 699 408 744 539 906 802 1 085 322 1 243 266 Sulteng 434 770 552 112 678 316 788 007 843 052 1 034 969 1 236 585 Sulsel 1 802 106 2 203 274 2 721 883 3 026 868 3 098 511 3 511 915 4 209 119 4. Dana Alokasi Umum Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 3 120 169 5 020 880 5 770 630 6 319 320 6 833 391 7 106 046 8 499 017 Sumut 4 830 352 8 333 576 9 764 579 10 427 931 10 833 925 11 741 861 13 742 018 Sumbar 2 846 717 5 128 640 5 749 387 6 519 166 6 665 101 6 937 972 7 838 557 Riau 1 647 753 1 879 006 2 629 987 2 240 616 2 254 257 1 844 004 4 136 917 Jambi 1 827 665 2 693 986 3 133 542 3 376 903 3 453 125 3 772 846 4 427 994 Sumsel 2 527 723 4 281 799 4 951 966 5 452 010 5 364 547 5 370 919 6 811 083 Lampung 2 685 725 4 264 521 4 720 307 5 202 555 5 421 500 5 753 849 7 127 241 Kepri 669 551 1 061 551 1 463 606 1 126 613 1 565 574 1 269 313 1 802 931 Jabar 9 107 170 11 391 701 15 752 885 17 155 799 18 222 348 18 690 298 20 655 213 Jateng 10 501 301 15 850 372 17 529 086 18 859 054 19 381 313 19 628 181 21 551 750 DIY 1 565 931 2 452 463 2 707 775 3 006 847 3 015 919 2 992 336 3 329 976 Jatim 10 979 136 16 616 760 18 772 518 20 536 885 20 891 910 21 275 682 23 550 297 Banten 1 941 806 2 704 950 3 261 483 3 651 863 3 937 637 4 228 750 4 919 433 Bali 1 824 509 2 854 128 3 292 774 3 560 349 3 666 076 3 549 610 3 955 511 NTB 1 912 051 2 998 811 3 645 155 3 919 127 4 070 814 4 366 909 4 847 252 NTT 2 911 010 4 412 964 5 062 742 5 181 175 6 275 031 6 248 344 7 482 854 Kalbar 2 473 405 4 654 627 5 079 791 5 648 449 5 853 241 6 131 708 6 884 032 Kalteng 2 390 308 4 373 819 4 886 209 5 381 200 5 515 163 5 670 502 6 356 374 Kalsel 1 979 425 3 360 323 3 749 497 4 115 483 4 246 247 4 247 594 4 737 692 Kaltim 1 809 265 2 306 877 2 889 083 2 719 736 2 186 485 1 435 609 3 542 935 Sulut 1 537 684 2 759 223 3 071 682 3 069 319 4 051 066 4 438 597 4 959 636 Sulteng 1 842 067 3 262 777 3 612 224 4 054 223 4 136 956 4 490 615 5 076 439 Sulsel 4 174 615 6 639 833 7 399 645 8 107 791 8 279 705 8 801 134 9 860 792 Lampiran 2. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 163 003 250 446 517 589 529 578 526 015 528 254 512 667 Sumut 161 406 320 418 496 140 477 644 443 307 507 276 577 011 Sumbar 101 529 174 423 246 307 330 835 236 421 253 040 305 780 Riau 237 625 336 574 752 359 631 389 450 332 519 975 428 919 Jambi 79 319 121 443 260 549 299 320 343 089 338 676 268 873 Sumsel 88 220 178 188 407 959 338 709 331 126 395 675 464 786 Lampung 73 858 144 654 241 041 240 761 210 680 190 551 332 371 Kepri 12 682 34 289 55 134 50 806 68 715 70 274 79 199 Jabar 312 979 410 438 660 023 636 438 553 096 724 522 758 315 Jateng 296 066 440 801 613 277 708 304 645 448 687 600 854 066 DIY 58 011 87 967 104 162 128 438 94 771 88 303 89 405 Jatim 363 623 517 953 677 308 793 822 805 081 931 260 984 975 Banten 57 484 81 047 103 159 119 446 97 711 117 147 123 627 Bali 81 733 104 698 190 299 202 199 162 418 160 172 205 377 NTB 74 244 125 810 210 306 182 349 113 210 179 964 247 593 NTT 142 211 214 417 295 360 310 455 334 548 366 468 397 562 Kalbar 92 767 162 294 267 951 277 426 249 540 295 718 416 272 Kalteng 102 840 169 490 244 839 320 447 295 243 288 281 348 211 Kalsel 90 693 171 363 265 538 291 389 230 757 144 480 339 533 Kaltim 233 645 284 257 497 032 418 959 513 781 507 815 500 478 Sulut 50 442 108 690 157 018 165 975 187 065 217 120 252 333 Sulteng 90 773 147 844 198 142 212 649 226 350 203 435 301 170 Sulsel 149 288 270 916 403 336 440 731 393 328 387 858 457 989 6. Belanja Perindustrian Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 11 124 24 327 61 330 107 674 161 385 181 584 155 839 Sumut 46 332 70 286 60 077 82 304 52 030 85 663 99 157 Sumbar 7 244 8 328 20 112 19 674 18 299 16 926 20 847 Riau 5 693 10 327 56 948 24 190 24 377 21 409 78 728 Jambi 20 267 8 503 18 790 23 877 26 403 32 846 30 867 Sumsel 16 493 4 845 25 347 17 017 23 864 12 043 22 505 Lampung 2 472 2 785 16 762 35 007 22 938 8 104 12 863 Kepri 16 186 4 526 13 303 23 026 21 300 17 052 27 505 Jabar 32 671 29 095 138 878 138 244 110 255 104 473 114 113 Jateng 37 263 14 884 71 236 90 080 177 087 197 793 197 715 DIY 4 146 2 147 4 635 998 1 551 399 777 Jatim 22 122 17 042 88 464 120 780 209 246 261 350 236 813 Banten 16 977 58 12 093 30 613 31 455 36 471 46 695 Bali 37 251 27 261 26 700 32 805 27 951 26 032 24 429 NTB 20 036 11 119 16 367 8 944 13 634 11 190 9 318 NTT 18 486 18 772 26 873 26 705 12 128 29 091 23 944 Kalbar 8 789 5 729 11 036 20 919 8 626 8 576 13 825 Kalteng 10 826 9 573 21 733 22 509 18 893 24 384 27 613 Kalsel 6 933 9 030 10 448 12 745 20 466 21 993 23 218 Kaltim 5 533 14 479 67 466 48 726 48 504 35 185 40 958 Sulut 4 094 4 086 5 782 10 413 20 346 21 051 23 687 Sulteng 6 372 10 167 25 805 29 919 15 223 18 666 11 503 Sulsel 31 013 54 833 78 096 65 787 51 767 45 669 40 736 Lampiran 2. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 5 594 22 701 15 280 22 644 10 586 17 791 26 290 Sumut 27 530 43 132 70 950 43 293 82 411 60 666 99 764 Sumbar 20 920 16 841 29 223 49 681 37 246 64 822 72 370 Riau 18 214 37 796 187 596 172 524 111 429 115 711 71 665 Jambi 7 835 5 162 17 280 21 774 20 769 21 032 21 450 Sumsel 36 552 15 055 46 732 78 791 59 967 72 264 88 954 Lampung 13 026 11 780 51 017 23 339 19 934 21 543 67 359 Kepri 9 980 3 431 12 824 3 807 15 428 37 120 30 532 Jabar 36 403 23 136 115 511 89 922 81 223 104 828 125 766 Jateng 81 247 63 617 225 201 293 389 184 240 153 080 207 722 DIY 6 735 10 874 35 270 23 716 30 837 49 801 41 288 Jatim 38 898 43 274 122 442 129 249 165 329 179 243 183 175 Banten 9 150 3 306 21 943 18 748 12 670 13 896 15 866 Bali 18 041 8 166 10 574 10 599 10 815 9 764 6 154 NTB 4 405 7 983 33 357 23 142 8 162 13 585 17 336 NTT 2 275 202 18 656 21 873 43 412 30 543 47 560 Kalbar 13 302 3 128 24 598 21 737 35 370 45 817 41 610 Kalteng 31 684 25 293 47 211 45 899 44 913 41 941 38 119 Kalsel 48 133 16 204 58 099 50 837 47 713 35 211 61 229 Kaltim 33 456 25 872 118 637 66 707 79 365 78 540 119 056 Sulut 10 438 11 108 20 132 24 337 31 703 40 623 42 051 Sulteng 10 542 14 089 30 686 17 337 23 358 24 662 24 169 Sulsel 16 923 14 701 31 094 34 119 35 912 41 705 46 745 8. Belanja Infrastruktur Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 558 128 919 523 1 941 979 3 135 948 3 476 556 2 785 345 2 699 740 Sumut 1 006 838 1 617 511 2 013 991 2 875 806 2 635 280 2 695 453 3 093 988 Sumbar 433 245 917 327 1 318 324 1 548 593 1 338 405 1 412 933 1 324 563 Riau 1 744 947 1 872 719 2 367 251 4 673 852 4 018 584 4 067 387 3 116 488 Jambi 618 990 973 190 1 089 973 1 627 512 1 229 726 1 529 921 1 893 219 Sumsel 1 048 393 2 783 233 3 060 328 3 544 941 2 548 162 2 869 764 3 301 626 Lampung 559 964 1 181 849 1 331 312 1 295 212 1 176 238 1 333 075 1 710 455 Kepri 89 543 323 070 702 284 940 969 1 388 422 1 375 149 1 000 553 Jabar 1 923 865 2 484 393 3 774 658 3 762 325 3 608 241 4 707 713 4 601 848 Jateng 1 344 047 2 421 843 2 966 363 3 260 049 3 009 348 2 768 325 3 122 688 DIY 244 965 258 351 390 169 670 234 457 347 230 968 464 591 Jatim 1 928 047 3 176 803 4 012 955 4 011 138 4 480 000 4 689 851 4 282 181 Banten 674 717 1 563 466 1 171 046 1 083 368 1 122 149 1 490 777 1 546 879 Bali 275 071 522 289 639 428 972 561 891 198 608 422 537 326 NTB 190 067 368 992 634 744 581 492 675 362 687 002 956 256 NTT 374 739 599 552 979 509 1 053 930 1 246 398 1 463 648 1 038 428 Kalbar 434 053 1 055 707 1 542 494 1 787 231 1 617 020 1 797 859 1 704 455 Kalteng 768 544 1 544 591 1 736 602 1 985 883 2 146 254 1 921 827 1 627 364 Kalsel 445 332 841 108 1 200 630 1 469 895 1 792 651 1 688 029 1 626 709 Kaltim 2 569 709 4 783 443 4 210 514 6 001 834 6 085 218 5 682 174 6 427 616 Sulut 171 557 443 279 620 230 647 375 1 045 988 1 067 659 1 062 277 Sulteng 367 214 576 816 865 280 991 361 1 059 028 1 049 039 842 680 Sulsel 702 349 1 243 223 1 707 370 2 402 933 2 058 694 1 781 053 1 984 222 Lampiran 2. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 7 201 537 9 354 602 12 680 692 15 469 757 17 897 117 18 090 531 19 345 890 Sumut 8 587 575 11 682 044 15 396 408 17 287 836 19 266 704 20 829 321 25 130 353 Sumbar 4 307 660 6 416 977 8 002 878 9 860 415 10 489 378 11 733 885 12 289 897 Riau 8 967 051 12 525 677 16 490 687 17 405 701 18 226 825 18 458 813 18 643 110 Jambi 3 154 809 4 213 414 5 602 666 6 897 724 7 204 933 7 758 521 8 584 787 Sumsel 5 431 668 8 808 181 11 439 437 12 716 982 12 474 916 14 433 859 17 665 386 Lampung 4 166 584 6 232 137 7 643 415 8 216 593 8 628 542 10 107 474 13 050 995 Kepri 1 816 606 3 134 749 5 205 845 4 838 737 6 617 897 7 076 007 8 036 122 Jabar 18 131 215 21 675 470 28 322 627 32 279 536 37 845 753 43 268 405 50 508 708 Jateng 16 205 187 21 932 469 26 455 688 31 653 570 32 714 074 36 149 726 42 104 442 DIY 2 629 956 3 464 831 4 044 448 5 419 257 5 303 888 5 716 513 6 334 442 Jatim 19 070 946 25 505 714 29 969 695 35 437 838 40 363 540 47 088 195 50 062 235 Banten 4 565 752 6 158 916 6 992 779 8 282 222 8 992 805 10 714 115 12 889 422 Bali 3 715 504 5 058 847 6 013 241 7 029 899 8 234 728 8 715 611 9 672 872 NTB 2 763 813 3 935 675 5 197 725 5 675 330 6 246 427 7 176 207 8 375 699 NTT 3 738 728 5 201 754 6 671 201 7 615 861 8 764 425 9 688 070 11 173 874 Kalbar 3 511 807 5 679 047 6 827 923 8 331 160 9 093 898 9 941 143 11 005 952 Kalteng 3 410 230 5 490 083 6 803 723 7 968 966 8 805 470 8 741 715 9 167 184 Kalsel 3 490 274 5 267 986 6 520 584 7 858 708 9 349 065 10 191 695 10 994 322 Kaltim 11 036 952 15 553 034 20 209 490 23 314 266 24 622 790 24 847 615 26 994 689 Sulut 2 278 117 3 625 901 4 522 739 4 614 958 6 270 516 6 951 359 8 046 974 Sulteng 2 470 991 3 900 233 5 007 913 5 664 802 6 358 224 6 782 869 7 925 899 Sulsel 6 470 200 9 215 024 11 621 219 14 082 836 14 824 869 15 294 617 17 980 568 10. Kemandirian Fiskal Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 5.5 7.6 7.1 7.4 6.4 6.4 6.7 Sumut 22.4 18.7 15.8 17.8 15.3 17.8 21.9 Sumbar 16.9 13.5 12.7 13.2 12.2 13.3 15.8 Riau 13.5 12.9 12.6 16.2 13.2 12.7 17.8 Jambi 15.8 13.2 11.7 13.2 10.9 12.7 16.5 Sumsel 15.0 12.4 10.6 12.5 12.5 13.9 15.8 Lampung 16.3 12.9 11.4 13.8 12.6 14.3 14.5 Kepri 19.3 19.6 17.4 21.4 16.1 16.4 18.6 Jabar 29.2 26.1 23.1 24.6 22.8 25.2 28.5 Jateng 24.7 20.7 19.0 19.1 20.4 21.7 22.1 DIY 24.7 21.0 21.0 19.4 21.3 22.0 24.6 Jatim 27.6 23.0 22.2 22.8 22.4 23.8 29.3 Banten 35.0 28.4 29.3 30.5 29.3 32.2 39.9 Bali 38.4 28.3 27.3 33.2 31.9 35.8 43.9 NTB 12.0 11.2 10.3 11.4 11.6 11.6 16.4 NTT 8.2 7.9 7.0 7.1 6.9 7.2 7.7 Kalbar 11.9 10.0 10.3 10.3 9.8 11.1 14.6 Kalteng 8.9 7.3 7.3 8.1 7.6 9.0 12.7 Kalsel 22.3 17.3 16.4 18.3 15.0 17.0 22.5 Kaltim 11.6 11.8 10.3 13.0 13.8 15.3 22.1 Sulut 13.0 9.1 8.9 10.5 8.7 9.4 10.5 Sulteng 8.7 7.3 6.7 7.9 7.8 9.2 10.1 Sulsel 16.2 14.3 13.9 13.7 13.5 15.2 16.8 Lampiran 2. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal km Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 8 060 8 938 11 198 10 916 9 098 9 946 10 479 Sumut 15 663 15 725 18 103 18 396 19 378 19 410 20 192 Sumbar 9 101 8 472 8 911 9 175 9 535 9 790 10 321 Riau 6 338 5 369 6 287 7 035 8 981 9 439 9 509 Jambi 4 569 4 762 5 268 5 319 5 987 6 405 6 747 Sumsel 10 417 7 502 7 795 8 342 9 228 9 355 9 231 Lampung 5 668 6 851 7 533 7 549 10 047 11 713 12 304 Kepri 726 730 733 737 2 762 2 724 2 789 Jabar 19 609 21 259 22 485 22 711 20 707 20 722 20 727 Jateng 22 108 21 304 22 649 23 054 24 403 22 970 22 897 DIY 3 374 3 440 3 406 3 417 3 673 3 722 3 599 Jatim 27 257 30 023 31 432 32 215 34 055 34 352 35 539 Banten 3 142 3 315 3 618 3 707 4 036 4 304 4 304 Bali 4 862 5 782 6 399 6 430 5 863 6 709 6 829 NTB 4 453 4 199 4 195 4 236 4 846 5 042 5 058 NTT 4 663 6 797 9 530 9 606 9 295 9 192 9 192 Kalbar 5 019 4 078 5 121 4 883 6 416 6 838 6 744 Kalteng 3 710 3 633 3 721 3 836 4 663 5 345 5 345 Kalsel 5 325 6 305 6 562 6 667 6 572 6 637 6 859 Kaltim 5 085 3 122 3 739 3 671 5 110 5 771 5 903 Sulut 4 194 3 476 3 541 3 546 4 891 4 896 5 161 Sulteng 5 976 9 274 11 790 11 918 8 128 8 026 7 906 Sulsel 7 059 9 681 13 513 15 838 16 612 16 472 16 472 12. PDRB Pertanian Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 15 201 942 18 196 888 18 135 800 19 397 727 20 416 142 21 968 444 23 854 174 Sumut 33 486 113 35 807 654 41 010 152 48 871 766 54 431 194 63 181 841 70 635 868 Sumbar 11 433 001 13 396 524 14 754 868 17 379 925 18 381 918 20 792 322 23 243 792 Riau 30 171 587 36 294 176 43 595 169 53 137 564 60 270 256 69 025 080 77 985 165 Jambi 6 053 438 7 173 738 8 366 858 9 791 985 12 113 078 15 814 677 18 566 306 Sumsel 14 358 881 17 300 120 20 080 335 22 965 527 23 824 888 27 661 518 31 415 110 Lampung 15 139 552 18 166 620 22 732 966 28 802 380 34 591 074 39 916 660 46 287 631 Kepri 2 182 320 2 369 108 2 612 093 2 868 417 3 192 447 3 434 220 3 712 922 Jabar 46 430 738 52 586 284 62 894 902 72 517 608 85 149 263 97 194 393 103 131 444 Jateng 44 806 485 57 364 982 63 832 142 72 862 986 79 342 554 86 667 552 95 094 911 DIY 3 991 035 4 574 164 4 941 800 5 993 781 6 366 771 6 644 695 7 370 795 Jatim 69 684 863 80 910 218 89 627 587 102 815 940 112 233 859 122 623 968 136 027 920 Banten 7 773 571 8 212 873 9 156 761 11 009 719 12 162 939 14 210 396 15 284 451 Bali 7 296 041 7 930 061 8 711 066 9 884 823 11 326 123 12 097 348 12 743 485 NTB 5 815 159 6 505 202 7 181 228 8 319 378 9 117 556 10 038 756 11 350 296 NTT 6 034 394 6 857 125 7 706 388 8 746 992 9 553 184 10 655 483 11 546 008 Kalbar 9 155 266 10 181 147 11 436 733 12 834 639 13 955 200 15 168 464 16 730 149 Kalteng 7 251 866 8 576 830 9 292 697 9 664 205 10 460 969 12 187 981 13 972 705 Kalsel 7 174 910 7 777 784 8 856 263 10 158 546 11 380 214 12 487 663 13 711 835 Kaltim 9 535 872 10 792 274 12 864 617 15 523 103 16 956 036 19 215 774 22 289 040 Sulut 3 615 568 4 328 030 4 774 117 5 673 670 6 231 928 7 167 323 7 915 832 Sulteng 7 941 798 8 796 220 10 313 240 12 137 730 13 231 345 14 507 237 16 493 715 Sulsel 16 188 361 18 513 257 20 900 360 25 071 809 28 008 206 30 442 430 34 788 232 Lampiran 2. Lanjutan 13. PDRB Industri Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 10 258 031 8 532 036 7 935 044 8 189 779 7 789 412 7 512 523 7 541 286 Sumut 35 555 030 41 192 511 45 531 177 51 640 677 55 050 579 63 293 455 70 672 275 Sumbar 5 084 343 6 055 971 7 179 243 8 597 361 9 279 510 10 197 209 11 265 372 Riau 27 881 009 32 313 284 39 156 004 50 179 231 59 796 962 70 309 301 80 086 270 Jambi 2 702 262 3 112 689 3 804 725 4 568 278 5 258 205 5 981 287 6 747 658 Sumsel 17 867 383 22 286 619 25 305 859 31 089 859 32 459 464 34 656 378 37 449 533 Lampung 5 259 706 6 146 604 8 313 988 9 798 072 12 514 338 17 120 714 20 555 157 Kepri 21 286 720 24 420 316 24 203 354 26 611 279 29 517 887 33 488 734 38 343 836 Jabar 173 067 743 214 242 075 236 628 972 276 714 347 281 275 082 291 688 080 319 983 632 Jateng 79 037 443 92 646 435 103 218 431 125 006 771 130 352 154 146 155 157 166 108 727 DIY 3 588 201 4 078 214 4 475 680 5 062 275 5 528 856 6 396 639 7 434 020 Jatim 121 251 936 137 966 415 154 363 456 176 922 162 193 256 482 214 024 729 239 844 520 Banten 53 900 181 61 778 056 65 827 926 71 714 831 75 128 199 83 123 176 91 675 157 Bali 3 171 738 3 518 324 4 093 976 4 941 639 5 588 428 6 120 474 6 572 989 NTB 868 578 948 804 1 083 503 1 279 191 1 491 345 1 638 225 1 758 209 NTT 266 258 298 129 325 910 344 287 374 739 427 448 471 728 Kalbar 6 444 998 7 646 123 8 485 531 9 578 227 10 291 190 11 138 112 12 005 211 Kalteng 1 955 765 2 080 306 2 350 851 2 721 538 3 056 227 3 340 926 3 637 070 Kalsel 4 079 921 4 047 835 4 364 119 4 726 895 5 071 961 5 611 080 6 270 582 Kaltim 65 988 813 71 805 685 74 879 047 103 969 150 78 131 959 80 490 474 91 242 912 Sulut 1 582 761 1 858 008 2 062 800 2 318 115 2 664 225 2 972 701 3 248 856 Sulteng 1 279 350 1 430 286 1 631 985 2 151 627 2 547 427 2 812 821 3 084 443 Sulsel 7 137 864 8 245 336 9 158 552 11 060 440 12 514 886 14 457 259 16 789 288 14. PDRB Perdagangan Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 7 084 527 8 104 293 9 227 064 10 222 603 10 743 849 12 029 968 13 710 154 Sumut 26 094 915 30 340 309 34 846 208 41 281 118 44 941 662 52 384 318 60 032 520 Sumbar 7 799 757 8 992 233 10 367 999 12 532 368 13 694 246 15 474 821 17 836 651 Riau 9 124 858 11 179 723 14 064 411 19 317 093 24 878 635 32 276 355 40 269 373 Jambi 3 438 994 4 265 670 4 773 912 5 647 973 6 428 163 7 827 668 9 476 118 Sumsel 9 051 350 10 941 014 12 919 872 15 937 658 17 546 075 20 386 926 23 754 980 Lampung 6 150 316 7 573 095 8 714 733 10 158 964 11 948 935 16 530 762 20 433 382 Kepri 9 307 706 9 475 459 10 632 966 12 058 309 12 487 883 14 180 068 15 568 076 Jabar 74 280 673 90 022 994 100 691 124 129 912 046 149 056 003 172 713 197 194 431 786 Jateng 46 694 124 55 362 795 60 877 927 71 617 055 78 262 543 86 998 316 98 268 230 DIY 4 866 927 5 597 603 6 326 700 7 321 299 8 165 613 9 008 181 10 246 578 Jatim 107 123 913 128 690 339 150 733 654 177 014 047 195 184 788 229 404 872 265 238 860 Banten 14 499 931 17 081 608 20 400 506 24 621 928 27 690 651 31 312 762 35 572 454 Bali 10 116 783 10 964 358 12 517 789 14 712 079 17 868 608 20 016 062 22 499 947 NTB 2 923 359 3 384 598 3 951 540 4 625 844 5 411 537 6 264 539 7 215 389 NTT 2 368 426 2 720 325 3 060 048 3 399 758 3 891 233 4 654 429 5 388 756 Kalbar 7 712 168 8 558 176 9 696 975 11 018 475 12 125 071 13 766 022 15 074 176 Kalteng 4 168 611 4 432 173 5 196 718 6 453 297 7 688 522 8 867 155 10 213 522 Kalsel 4 750 616 5 152 785 5 932 313 6 857 284 7 698 123 8 956 143 10 479 604 Kaltim 10 463 894 12 746 465 14 617 104 18 219 954 22 218 449 26 385 156 30 668 030 Sulut 2 877 212 3 181 923 3 746 998 4 660 927 5 505 248 6 242 702 6 823 104 Sulteng 2 083 183 2 379 562 2 708 691 3 416 630 3 841 235 4 437 424 5 301 431 Sulsel 7 880 009 9 507 866 10 986 578 13 913 800 16 690 285 20 434 953 24 236 347 Lampiran 2. Lanjutan 15. PDRB Total Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 56 951 612 70 786 835 71 093 359 73 547 551 71 986 954 77 983 776 85 537 966 Sumut 139 618 314 160 376 799 181 819 737 213 931 697 236 353 616 275 700 207 314 156 937 Sumbar 44 674 569 53 029 588 59 799 045 70 954 515 76 752 938 87 221 254 98 917 269 Riau 139 018 996 167 068 189 210 002 560 276 400 130 297 173 028 345 661 314 413 350 123 Jambi 22 487 011 26 061 774 32 076 677 41 056 484 44 127 006 53 816 693 63 268 138 Sumsel 81 531 510 95 928 763 109 895 707 133 664 987 137 331 848 157 534 956 181 776 073 Lampung 40 906 789 49 118 989 60 921 966 73 719 259 88 934 861 108 378 507 128 408 895 Kepri 43 289 165 48 749 881 51 826 272 58 574 996 63 892 937 71 614 514 80 242 794 Jabar 389 244 654 473 187 293 526 220 225 633 283 483 689 841 314 771 593 860 861 006 348 Jateng 234 435 323 281 996 709 312 428 807 367 135 955 397 903 944 444 692 015 498 614 636 DIY 25 337 603 29 417 349 32 916 736 38 101 685 41 407 050 45 625 590 51 782 092 Jatim 405 041 742 472 286 954 536 981 882 621 391 675 686 847 558 778 565 772 884 143 575 Banten 97 170 026 111 845 095 122 843 947 139 864 778 152 556 216 171 690 414 192 218 910 Bali 35 261 829 38 851 075 44 003 380 51 916 170 60 292 239 66 690 598 73 478 162 NTB 25 682 675 28 596 882 33 522 225 35 314 731 44 014 619 49 559 794 48 729 107 NTT 14 810 472 16 904 073 19 136 982 21 655 869 24 179 412 27 738 760 31 204 406 Kalbar 33 869 468 38 648 273 43 540 865 49 132 966 54 281 172 60 501 505 66 780 222 Kalteng 20 983 170 24 483 071 27 931 950 32 760 168 37 161 800 42 620 950 49 072 507 Kalsel 31 794 069 34 670 494 39 438 767 45 843 794 51 460 176 59 821 157 68 234 881 Kaltim 180 289 090 199 588 125 222 628 921 314 813 521 285 590 822 321 904 880 390 638 617 Sulut 18 763 479 21 216 490 24 081 133 28 697 756 33 033 610 36 911 815 41 505 118 Sulteng 17 366 740 19 701 520 23 218 709 28 727 505 32 461 332 37 319 063 44 317 855 Sulsel 51 780 443 60 902 824 69 271 925 85 143 191 99 954 590 117 862 210 137 389 879 16. PDRB per Kapita Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 13 947 17 462 17 467 17 128 16 498 17 351 20 746 Sumut 11 243 12 723 14 248 16 403 17 840 21 237 23 517 Sumbar 9 782 11 976 13 427 14 897 15 897 17 995 21 669 Riau 28 747 33 485 39 448 53 265 56 002 62 412 63 554 Jambi 8 484 9 627 11 630 14 725 15 569 17 404 21 359 Sumsel 11 962 13 966 15 753 18 768 19 014 21 145 24 515 Lampung 5 772 6 637 8 110 9 974 11 871 14 245 16 153 Kepri 33 849 35 321 39 448 40 310 42 165 42 649 63 554 Jabar 9 942 11 904 13 011 15 477 16 622 17 922 19 908 Jateng 7 355 8 812 9 727 11 253 12 107 13 732 15 323 DIY 7 529 8 884 9 846 10 985 11 824 13 196 14 935 Jatim 11 103 13 231 14 981 16 751 18 421 20 775 24 298 Banten 10 712 11 687 12 489 14 566 15 594 16 148 17 558 Bali 10 355 11 351 12 693 14 766 16 979 17 141 20 207 NTB 6 190 6 464 7 461 8 093 9 927 11 013 10 220 NTT 3 461 4 039 4 509 4 776 5 234 5 922 6 977 Kalbar 8 389 8 648 9 580 11 563 12 568 13 763 13 784 Kalteng 10 653 11 142 12 376 15 924 17 817 19 267 19 611 Kalsel 9 645 10 531 11 793 13 301 14 719 16 495 19 190 Kaltim 62 446 69 162 75 192 101 727 90 240 90 597 119 498 Sulut 8 752 9 780 10 962 12 997 14 821 16 256 18 029 Sulteng 7 512 8 040 9 295 11 781 13 088 14 163 16 485 Sulsel 6 914 7 671 8 675 10 909 12 639 14 669 16 582 Lampiran 2. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Ribu Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 922 900 780 786 847 810 898 Sumut 2 721 2 412 2 419 2 611 2 694 2 875 2 595 Sumbar 833 822 906 924 907 900 814 Riau 700 978 931 1 014 1 000 969 1 086 Jambi 631 638 662 707 696 811 771 Sumsel 1 966 1 948 1 896 1 898 1 905 1 986 2 029 Lampung 2 134 1 892 1 879 1 840 1 830 2 111 1 715 Kepri 206 101 82 81 83 98 98 Jabar 4 069 3 955 4 259 4 212 4 256 3 964 3 676 Jateng 6 339 5 989 6 148 5 697 5 865 5 617 5 376 DIY 634 612 546 560 571 540 431 Jatim 8 188 7 919 8 392 8 242 8 288 7 939 7 520 Banten 924 711 759 813 745 723 630 Bali 609 663 714 726 704 672 557 NTB 863 900 925 867 884 1 005 872 NTT 1 597 1 470 1 377 1 448 1 473 1 334 1 360 Kalbar 1 167 1 253 1 254 1 309 1 314 1 266 1 294 Kalteng 565 604 572 596 597 565 605 Kalsel 742 614 725 763 728 728 756 Kaltim 353 409 370 457 456 456 454 Sulut 379 341 373 363 346 358 321 Sulteng 619 713 646 672 680 663 655 Sulsel 1 713 1 314 1 581 1 614 1 589 1 572 1 469 18. Jumlah Tenaga Kerja Industri Ribu Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 55 72 76 87 81 78 73 Sumut 310 344 387 448 501 455 484 Sumbar 131 119 140 128 131 138 153 Riau 173 95 123 108 119 127 146 Jambi 76 47 48 46 42 50 49 Sumsel 121 132 155 159 156 168 168 Lampung 196 247 263 272 299 290 359 Kepri 51 128 131 186 158 253 195 Jabar 2 615 2 744 2 767 2 935 3 074 3 389 3 572 Jateng 2 552 2 703 2 766 2 703 2 657 2 815 3 047 DIY 240 191 209 251 237 247 267 Jatim 2 357 2 405 2 458 2 412 2 386 2 483 2 665 Banten 633 669 695 706 844 1 054 1 140 Bali 345 251 289 263 294 304 290 NTB 178 190 195 210 213 204 170 NTT 120 164 165 141 135 144 125 Kalbar 102 97 86 85 76 101 89 Kalteng 25 36 42 36 30 36 31 Kalsel 130 133 131 112 114 130 117 Kaltim 154 78 83 84 76 83 85 Sulut 46 42 45 44 58 51 66 Sulteng 38 30 48 50 44 39 66 Sulsel 152 125 147 183 215 197 223 Lampiran 2. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan Ribu Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 223 219 249 253 264 314 299 Sumut 913 934 956 1 119 1 156 1 196 1 209 Sumbar 321 352 384 396 415 406 442 Riau 284 278 334 361 376 408 491 Jambi 164 160 182 191 201 230 231 Sumsel 477 355 380 494 457 498 558 Lampung 322 371 522 543 601 568 606 Kepri 84 118 117 125 140 154 194 Jabar 3 732 3 747 4 123 4 181 4 303 4 207 4 555 Jateng 3 318 3 409 3 418 3 255 3 462 3 388 3 402 DIY 426 411 435 457 455 438 480 Jatim 3 354 3 498 3 718 3 776 3 933 3 788 3 908 Banten 822 779 861 980 970 1 190 1 118 Bali 442 404 463 482 489 571 597 NTB 283 346 350 327 347 373 370 NTT 90 94 131 141 149 151 147 Kalbar 245 274 280 276 261 273 277 Kalteng 132 128 130 121 121 140 158 Kalsel 304 355 333 368 376 388 390 Kaltim 254 228 232 259 283 327 364 Sulut 162 132 165 164 173 173 196 Sulteng 105 117 149 156 161 164 190 Sulsel 491 537 566 579 637 604 655 20. Total Tenaga Kerja Ribu Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 1 542 1 624 1 571 1 622 1 733 1 776 1 852 Sumut 5 166 4 860 5 083 5 540 5 766 6 126 5 912 Sumbar 1 737 1 808 1 889 1 956 1 999 2 041 2 071 Riau 1 700 1 773 1 908 2 056 2 067 2 170 2 424 Jambi 1 097 1 103 1 147 1 224 1 261 1 462 1 435 Sumsel 3 069 3 022 3 058 3 191 3 197 3 421 3 553 Lampung 3 114 3 064 3 281 3 314 3 387 3 737 3 482 Kepri 501 516 536 613 626 769 782 Jabar 14 629 14 998 15 854 16 480 16 901 16 942 17 455 Jateng 15 549 15 567 16 304 15 464 15 835 15 809 15 916 DIY 1 758 1 751 1 774 1 892 1 896 1 775 1 799 Jatim 17 668 17 670 18 751 18 882 19 305 18 698 18 940 Banten 3 315 3 236 3 384 3 669 3 705 4 583 4 530 Bali 1 946 1 870 1 982 2 030 2 057 2 177 2 205 NTB 1 785 1 907 1 951 1 905 1 967 2 133 1 962 NTT 2 039 1 973 2 010 2 086 2 161 2 061 2 096 Kalbar 1 822 1 954 2 005 2 041 2 081 2 096 2 147 Kalteng 888 944 966 982 999 1 023 1 106 Kalsel 1 510 1 488 1 599 1 670 1 706 1 744 1 825 Kaltim 1 119 1 147 1 092 1 260 1 303 1 482 1 591 Sulut 855 829 909 912 940 937 991 Sulteng 946 1 036 1 084 1 132 1 150 1 164 1 261 Sulsel 3 028 2 739 2 939 3 136 3 222 3 272 3 376 Lampiran 2. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 541 574 695 839 843 847 900 Sumut 529 723 705 775 795 840 1 014 Sumbar 459 514 581 737 721 606 887 Riau 712 934 771 936 886 991 1 230 Jambi 665 640 629 750 728 830 1 049 Sumsel 531 510 570 714 648 855 1 055 Lampung 380 436 405 495 537 557 743 Kepri 624 681 772 936 946 1 016 1 288 Jabar 313 319 337 442 441 454 514 Jateng 257 325 328 391 407 426 503 DIY 289 358 423 527 482 349 576 Jatim 281 304 313 356 421 420 490 Banten 315 399 377 876 608 603 676 Bali 493 422 472 632 652 642 718 NTB 222 253 288 451 471 439 564 NTT 282 241 405 357 563 490 414 Kalbar 702 715 723 855 925 938 1 039 Kalteng 750 698 749 830 937 989 1 256 Kalsel 589 503 619 729 847 850 909 Kaltim 951 943 1 318 1 563 1 670 1 429 1 295 Sulut 497 511 514 606 641 932 895 Sulteng 404 520 503 561 713 639 918 Sulsel 379 485 467 563 555 589 670 22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 585 857 1 036 898 989 994 1 108 Sumut 866 928 884 904 1 192 1 189 1 148 Sumbar 687 567 662 769 914 901 1 099 Riau 1 180 1 087 1 178 1 328 1 346 1 520 1 630 Jambi 798 1 050 792 826 1 264 1 229 1 140 Sumsel 706 797 777 903 1 188 1 227 1 247 Lampung 600 488 593 650 718 823 931 Kepri 1 152 1 312 1 799 1 748 1 939 2 137 2 433 Jabar 779 819 923 934 1 070 1 191 1 284 Jateng 520 519 530 560 615 750 796 DIY 446 720 647 732 798 766 967 Jatim 645 760 704 734 818 945 949 Banten 971 1 046 1 118 1 031 1 458 1 505 1 429 Bali 632 608 691 754 858 899 1 013 NTB 230 319 408 523 557 752 650 NTT 525 553 604 725 649 630 679 Kalbar 612 955 858 896 963 1 072 1 440 Kalteng 976 692 826 902 1 188 959 1 192 Kalsel 789 656 787 783 918 951 1 553 Kaltim 2 104 1 121 2 246 2 136 2 228 2 094 1 710 Sulut 697 748 860 776 980 949 1 202 Sulteng 562 313 645 745 732 734 1 009 Sulsel 569 844 645 787 857 864 845 Lampiran 2. Lanjutan 23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 590 885 970 943 985 942 1 058 Sumut 643 823 900 912 1 149 1 153 1 075 Sumbar 741 798 781 833 977 1 075 1 249 Riau 673 921 833 857 1 036 1 077 1 288 Jambi 838 710 727 669 838 894 934 Sumsel 591 952 815 867 942 939 1 303 Lampung 519 663 595 724 821 807 775 Kepri 1 004 1 060 1 203 1 248 1 342 1 351 1 635 Jabar 747 926 838 923 1 059 1 121 1 181 Jateng 538 566 568 658 690 764 874 DIY 601 617 752 749 773 857 1 048 Jatim 567 656 699 794 830 877 1 036 Banten 801 897 989 1 418 1 342 1 362 1 512 Bali 743 756 986 1 081 1 254 1 340 1 324 NTB 475 600 716 656 878 876 927 NTT 462 501 569 608 745 791 829 Kalbar 619 736 787 880 864 885 1 058 Kalteng 651 583 873 669 927 1 053 1 360 Kalsel 657 706 748 645 903 1 001 1 036 Kaltim 986 879 1 044 1 037 1 442 1 500 1 423 Sulut 760 936 994 828 878 1 185 1 200 Sulteng 375 770 708 814 752 860 844 Sulsel 561 854 699 972 868 983 907 24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 203 230 258 306 337 368 435 Sumut 201 225 275 305 335 370 462 Sumbar 206 224 261 300 350 394 480 Riau 263 315 355 419 480 444 605 Jambi 239 243 293 340 349 403 524 Sumsel 171 208 273 297 317 379 446 Lampung 155 193 236 254 275 323 385 Kepri 208 304 409 453 538 532 617 Jabar 192 216 239 249 293 334 388 Jateng 174 188 211 228 253 298 349 DIY 202 209 266 255 298 331 370 Jatim 168 185 216 231 263 304 344 Banten 173 204 231 260 290 337 365 Bali 296 277 325 308 343 422 538 NTB 147 188 214 226 251 294 366 NTT 128 137 155 168 202 246 277 Kalbar 182 216 265 289 315 349 440 Kalteng 179 235 286 334 371 416 554 Kalsel 183 232 274 306 354 424 530 Kaltim 224 316 331 355 419 497 576 Sulut 178 228 255 290 322 382 460 Sulteng 183 188 220 256 297 353 424 Sulsel 168 182 217 214 232 319 365 Lampiran 2. Lanjutan 25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 262 294 368 398 373 455 562 Sumut 256 318 371 375 295 495 580 Sumbar 237 302 390 426 371 487 618 Riau 376 362 438 496 352 666 766 Jambi 283 303 337 394 239 486 573 Sumsel 224 305 375 345 379 402 592 Lampung 186 260 316 363 296 403 437 Kepri 342 533 1 013 637 486 794 830 Jabar 351 344 380 435 352 515 674 Jateng 254 236 283 310 313 386 428 DIY 332 343 386 399 361 547 466 Jatim 256 268 332 392 288 490 578 Banten 328 404 535 574 412 639 719 Bali 310 392 373 415 305 697 629 NTB 195 200 220 274 264 351 407 NTT 185 193 200 288 276 389 352 Kalbar 206 255 377 300 312 460 850 Kalteng 323 299 362 436 323 617 609 Kalsel 297 315 365 487 312 515 541 Kaltim 414 498 575 761 527 1 517 840 Sulut 208 288 381 340 273 491 525 Sulteng 177 243 268 301 267 471 500 Sulsel 321 255 315 335 311 545 481 26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 234 346 431 463 453 563 671 Sumut 316 387 436 488 375 721 639 Sumbar 317 347 409 506 417 660 761 Riau 442 471 514 622 534 753 917 Jambi 363 365 414 449 333 565 753 Sumsel 262 335 415 458 373 554 669 Lampung 255 295 375 443 311 620 607 Kepri 416 594 724 764 441 749 987 Jabar 279 317 374 404 359 515 645 Jateng 266 279 328 360 296 453 551 DIY 325 396 503 444 319 626 707 Jatim 293 292 349 409 350 478 608 Banten 361 376 463 491 523 682 812 Bali 508 494 545 507 415 738 1 038 NTB 231 294 328 371 315 551 532 NTT 291 312 323 325 365 493 625 Kalbar 327 359 451 437 384 691 896 Kalteng 366 370 414 480 407 599 761 Kalsel 271 361 450 499 453 678 821 Kaltim 412 491 583 671 574 992 1 135 Sulut 568 410 418 380 345 649 787 Sulteng 274 368 380 395 280 565 838 Sulsel 306 318 367 454 403 680 687 Lampiran 2. Lanjutan 27. Indeks Gini Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 0.30 0.28 0.27 0.27 0.29 0.30 0.33 Sumut 0.33 0.30 0.31 0.31 0.32 0.35 0.35 Sumbar 0.30 0.33 0.31 0.29 0.30

0.33 0.35

Riau 0.28 0.31 0.32 0.31 0.33 0.33 0.36 Jambi 0.31 0.31 0.31 0.28 0.27 0.30 0.34 Sumsel 0.31 0.28 0.32 0.30 0.31 0.34 0.34 Lampung 0.38 0.31 0.39 0.35 0.35 0.36 0.37 Kepri 0.27 0.33 0.30 0.30 0.29 0.29 0.32 Jabar 0.34 0.35 0.34 0.35 0.36 0.36 0.41 Jateng 0.31 0.31 0.33 0.31 0.32 0.34 0.38 DIY 0.42 0.39 0.37 0.36 0.38 0.41 0.40 Jatim 0.36 0.30 0.34 0.33 0.33 0.34 0.37 Banten 0.36 0.33 0.37 0.34 0.37 0.42 0.40 Bali 0.33 0.35 0.33 0.30 0.31 0.37 0.41 NTB 0.32 0.37 0.33

0.33 0.35

0.40 0.36 NTT 0.35 0.37 0.35

0.34 0.36

0.38 0.36 Kalbar 0.31 0.27 0.31 0.31 0.32 0.37 0.40 Kalteng 0.28 0.21 0.30 0.29 0.29 0.30 0.34 Kalsel 0.28 0.33 0.34

0.33 0.35

0.37 0.37 Kaltim 0.32 0.30 0.33 0.34 0.38 0.37 0.38 Sulut 0.32 0.36 0.32 0.28 0.31 0.37 0.39 Sulteng 0.30 0.37 0.32 0.33 0.34 0.37 0.38 Sulsel 0.35 0.36 0.37 0.36 0.39 0.40 0.41 28. Headcount Index Pertanian Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 42.93 43.23 39.80 30.00 30.59 30.67 25.55 Sumut 26.55 19.22 17.29 15.96 14.90 15.43 15.98 Sumbar 21.95 21.44 19.91 16.57 13.45 15.19 15.19 Riau 10.66 17.42 14.76 12.70 10.11 11.80 11.91 Jambi 19.37 14.16 10.55 8.85 8.54 7.24 10.11 Sumsel 22.88 23.03 17.34 18.68 18.97 16.30 16.41 Lampung 44.08 26.85 21.43 24.89 24.16 23.46 21.37 Kepri 42.23 27.78 21.89 16.97 9.20 10.46 5.34 Jabar 9.62 20.33 20.39 22.90 20.12 19.05 21.84 Jateng 24.92 24.85 24.91 27.76 24.86 23.94 22.67 DIY 29.93 32.35 26.47 32.76 28.12 30.38 36.44 Jatim 29.42 31.66 24.78 28.25 25.97 23.45 22.29 Banten 20.26 18.45 23.13 17.98 15.44 16.25 13.87 Bali 12.41 5.87 5.44 13.33 10.23 9.74 7.88 NTB 37.38 27.57 21.44 32.43 29.42 27.22 22.93 NTT 25.28 33.51 31.72 34.44 30.69 29.12 27.28 Kalbar 21.23 15.73 8.28 12.62 11.85 11.43 10.41 Kalteng 26.44 12.77 10.06 14.05 10.61 9.87 8.94 Kalsel 25.42 10.15 9.32 9.14 8.00 7.94 9.23 Kaltim 24.19 20.88 21.97 23.39 14.77 20.00 13.71 Sulut 27.86 15.35 14.47 13.36 13.62 12.50 13.12 Sulteng 24.48 34.25 27.18 25.77 25.07 23.20 20.51 Sulsel 6.44 13.96 10.23 21.23 19.00 16.72 15.10 Lampiran 2. Lanjutan 29. Headcount Index Industri Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 13.25 37.87 22.18 25.29 21.90 23.90 18.89 Sumut 17.57 12.27 10.36 9.07 28.80 4.29 8.19 Sumbar 28.39 14.00 12.82 6.35 12.50 13.08 7.30 Riau 0.00 12.58 8.77 11.17 23.86 4.09 8.18 Jambi 0.00 16.57 10.06 5.42 19.18 6.76 5.26 Sumsel 19.29 21.00 7.59 26.62 9.74 22.56 3.92 Lampung 18.88 21.76 13.07 18.77 26.65 16.71 23.43 Kepri 21.62 11.23 2.83 4.71 11.51 11.50 7.89 Jabar 10.41 9.46 10.98 9.83 26.33 12.89 6.27 Jateng 16.00 15.74 15.01 17.19 17.16 13.18 13.77 DIY 11.52 24.31 19.30 18.54 0.00 15.95 11.03 Jatim 12.55 14.43 10.25 11.19 18.98 9.81 8.92 Banten 2.13 6.33 2.82 3.75 0.00 2.29 3.74 Bali 3.64 3.24 5.85 4.65 10.83 4.89 1.47 NTB 9.64 20.17 24.87 17.62 16.53 18.78 17.61 NTT 14.51 22.07 31.46 8.52 10.00 21.96 20.16 Kalbar 16.30 10.80 3.50 13.28 20.14 6.30 8.63 Kalteng 0.00 7.90 4.20 8.99 8.01 0.00 19.28 Kalsel 4.55 5.08 6.43 8.50 6.99 5.48 7.08 Kaltim 0.00 11.12 8.84 6.06 26.65 0.00 0.38 Sulut 0.00 3.95 7.05 17.64 17.15 10.56 10.79 Sulteng 51.36 29.58 26.96 29.63 30.18 12.93 13.52 Sulsel 6.80 10.14 7.14 12.47 11.88 12.95 11.06 30. Headcount Index Perdagangan Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 39.25 22.96 0.00 11.01 11.51 8.36 10.18 Sumut 8.64 10.28 8.03 4.92 9.30 6.94 5.21 Sumbar 8.35 11.30 8.27 4.33 13.25 4.91 3.46 Riau 2.41 7.99 5.75 7.36 7.38 8.01 2.43 Jambi 5.66 9.99 10.58 7.23 32.30 8.55 2.98 Sumsel 13.35 14.99 8.06 13.71 19.03 11.94 9.71 Lampung 0.00 16.07 13.24 13.68 9.77 9.18 8.79 Kepri 17.63 8.39 2.94 3.44 18.89 7.40 16.06 Jabar 5.89 9.95 8.91 10.17 16.13 8.07 5.66 Jateng 9.92 11.35 11.41 11.80 18.87 9.90 9.32 DIY 9.08 13.89 8.56 9.06 32.65 5.23 4.63 Jatim 11.74 13.50 9.45 8.22 11.50 7.10 6.65 Banten 6.07 8.95 7.55 6.50 6.38 5.92 3.59 Bali 3.28 1.30 1.07 1.59 5.20 1.50 0.69 NTB 11.73 11.02 14.14 15.01 18.35 16.82 12.07 NTT 7.19 21.30 16.67 4.11 15.75 13.12 7.55 Kalbar 7.48 6.14 3.52 7.72 9.96 5.80 4.61 Kalteng 13.97 2.41 2.07 6.13 9.50 5.55 2.77 Kalsel 9.64 5.68 3.66 3.91 1.34 4.88 3.27 Kaltim 8.89 6.88 5.60 2.96 6.65 5.00 0.24 Sulut 19.61 3.66 2.93 3.39 15.57 3.99 0.97 Sulteng 5.07 11.06 8.32 14.89 32.00 9.19 3.84 Sulsel 5.47 6.30 3.21 6.04 7.44 2.90 2.10 Lampiran 2. Lanjutan 31. Total Headcount Index Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 28.69 28.28 26.65 23.53 21.80 20.98 19.57 Sumut 14.68 15.01 13.90 12.55 11.51 11.31 11.33 Sumbar 10.89 12.51 11.90 10.67 9.54 9.50 9.04 Riau 12.51 11.85 11.20 10.63 9.48 8.65 8.47 Jambi 11.88 11.37 10.27 9.32 8.77 8.34 8.65 Sumsel 21.01 20.99 19.15 17.73 16.28 15.47 14.24 Lampung 21.42 22.77 22.19 20.98 20.22 18.94 16.93 Kepri 10.97 12.16 10.30 9.18 8.27 8.05 7.40 Jabar 13.06 14.49 13.55 13.01 11.96 11.27 10.65 Jateng 20.49 22.19 20.43 19.23 17.72 16.56 15.76 DIY 18.95 19.15 18.99 18.32 17.23 16.83 16.08 Jatim 19.95 21.09 19.98 18.51 16.68 15.26 14.23 Banten 8.86 9.79 9.07 8.15 7.64 7.16 6.32 Bali 6.72 7.08 6.63 6.17 5.13 4.88 4.20 NTB 25.92 27.17 24.99 23.81 22.78 21.55 19.73 NTT 28.19 29.34 27.51 25.65 23.31 23.03 21.23 Kalbar 14.24 15.24 12.91 11.07 9.30 9.02 8.60 Kalteng 10.73 11.00 9.38 8.71 7.02 6.77 6.56 Kalsel 7.23 8.32 7.01 6.48 5.12 5.21 5.29 Kaltim 10.57 11.41 11.04 9.51 7.73 7.66 6.77 Sulut 9.34 11.54 11.42 10.10 9.79 9.10 8.51 Sulteng 21.80 23.63 22.42 20.75 18.98 18.07 15.83 Sulsel 14.98 14.57 14.11 13.34 12.31 11.60 10.29 32. Total Penanaman Modal Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 108 178 163 512 83 375 81 930 463 044 Sumut 1 209 739 1 118 298 3 344 634 1 776 210 3 375 405 2 291 074 8 507 558 Sumbar 435 691 89 231 553 125 266 657 460 881 144 849 1 234 147 Riau 18 053 257 7 779 959 10 848 112 7 013 487 5 756 779 1 816 050 9 388 083 Jambi 313 475 903 190 4 917 651 1 695 557 594 535 557 811 2 311 504 Sumsel 1 880 586 948 435 2 834 234 1 633 800 1 114 484 3 413 324 6 122 680 Lampung 1 773 616 1 654 533 1 336 588 1 466 077 857 268 548 346 1 545 310 Kepri 663 079 226 042 598 187 1 971 123 2 408 256 1 656 491 3 362 982 Jabar 28 589 300 19 949 596 23 836 617 32 084 084 23 217 867 31 012 681 46 009 572 Jateng 1 221 184 3 705 532 1 232 748 2 813 117 3 424 182 1 327 007 4 324 414 DIY 198 512 460 179 40 987 182 254 108 862 54 508 23 416 Jatim 10 949 638 3 989 454 17 741 317 7 772 969 8 272 865 23 991 238 21 585 113 Banten 10 416 363 8 399 473 7 740 817 7 170 381 17 879 463 19 736 318 23 991 474 Bali 1 178 885 932 476 492 245 913 598 2 186 068 2 815 537 4 684 972 NTB 36 287 108 764 55 468 140 337 25 380 3 788 634 4 259 625 NTT 33 736 21 197 3 768 20 258 37 228 34 526 50 798 Kalbar 633 876 98 349 392 306 683 697 778 187 2 704 177 5 944 331 Kalteng 1 631 174 1 401 002 1 178 166 1 368 808 1 509 997 8 422 148 8 305 867 Kalsel 859 725 1 983 768 946 965 594 629 2 878 932 3 832 675 4 585 289 Kaltim 410 192 3 877 589 1 884 994 434 872 834 182 17 701 501 12 031 996 Sulut 192 211 12 033 711 887 430 824 593 733 2 134 902 2 328 164 Sulteng 5 233 554 192 16 611 31 208 1 398 384 5 978 577 Sulsel 1 133 011 187 703 595 914 1 407 808 1 861 502 7 184 079 4 798 466 Lampiran 2. Lanjutan 33. Luas Wilayah km 2 Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 56 501 56 501 57 956 57 956 57 956 57 956 57 956 Sumut 72 428 72 428 72 981 72 981 72 981 72 981 72 981 Sumbar 42 225 42 225 42 013 42 013 42 013 42 013 42 013 Riau 87 844 87 844 87 024 87 024 87 024 87 024 87 024 Jambi 45 348 45 348 50 058 50 058 50 058 50 058 50 058 Sumsel 60 303 60 303 91 592 91 592 91 592 91 592 91 592 Lampung 37 735 37 735 34 624 34 624 34 624 34 624 34 624 Kepri 8 084 8 084 8 202 8 202 8 202 8 202 8 202 Jabar 36 925 36 925 35 378 35 378 35 378 35 378 35 378 Jateng 32 800 32 800 32 801 32 801 32 801 32 801 32 801 DIY 3 133 3 133 3 133 3 133 3 133 3 133 3 133 Jatim 46 690 46 690 47 800 47 800 47 800 47 800 47 800 Banten 9 019 9 019 9 663 9 663 9 663 9 663 9 663 Bali 5 449 5 449 5 780 5 780 5 780 5 780 5 780 NTB 19 709 19 709 18 572 18 572 18 572 18 572 18 572 NTT 46 138 46 138 48 718 48 718 48 718 48 718 48 718 Kalbar 120 114 120 114 147 307 147 307 147 307 147 307 147 307 Kalteng 153 565 153 565 153 565 153 565 153 565 153 565 153 565 Kalsel 38 884 38 884 38 744 38 744 38 744 38 744 38 744 Kaltim 194 849 194 849 204 534 204 534 204 534 204 534 204 534 Sulut 13 931 13 931 13 852 13 852 13 852 13 852 13 852 Sulteng 68 090 68 090 61 841 61 841 61 841 61 841 61 841 Sulsel 46 116 46 116 46 717 46 717 46 717 46 717 46 717 34. Jumlah Penduduk Ribu Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 4 084 4 054 4 070 4 294 4 364 4 494 4 123 Sumut 12 418 12 606 12 761 13 042 13 248 12 982 13 359 Sumbar 4 567 4 428 4 454 4 763 4 828 4 847 4 565 Riau 4 836 4 989 5 324 5 189 5 307 5 538 6 504 Jambi 2 651 2 707 2 758 2 788 2 834 3 092 2 962 Sumsel 6 816 6 869 6 976 7 122 7 223 7 450 7 415 Lampung 7 087 7 401 7 512 7 391 7 492 7 608 7 950 Kepri 1 279 1 380 1 314 1 453 1 515 1 679 1 263 Jabar 39 151 39 751 40 446 40 918 41 502 43 054 43 249 Jateng 31 874 32 003 32 119 32 626 32 865 32 383 32 541 DIY 3 366 3 311 3 343 3 469 3 502 3 457 3 467 Jatim 36 482 35 695 35 843 37 095 37 286 37 477 36 387 Banten 9 071 9 570 9 836 9 602 9 783 10 632 10 948 Bali 3 405 3 423 3 467 3 516 3 551 3 891 3 636 NTB 4 149 4 424 4 493 4 364 4 434 4 500 4 768 NTT 4 280 4 185 4 244 4 534 4 620 4 684 4 472 Kalbar 4 037 4 469 4 545 4 249 4 319 4 396 4 845 Kalteng 1 970 2 197 2 257 2 057 2 086 2 212 2 502 Kalsel 3 297 3 292 3 344 3 447 3 496 3 627 3 556 Kaltim 2 887 2 886 2 961 3 095 3 165 3 553 3 269 Sulut 2 144 2 169 2 197 2 208 2 229 2 271 2 302 Sulteng 2 312 2 450 2 498 2 438 2 480 2 635 2 688 Sulsel 7 490 7 940 7 985 7 805 7 909 8 035 8 285 Lampiran 2. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Orang Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 110 292 119 586 136 088 144 950 163 388 170 032 166 234 Sumut 211 289 212 362 230 001 229 749 245 214 257 534 252 803 Sumbar 116 348 118 710 129 344 128 821 139 409 142 406 142 111 Riau 73 589 74 714 85 721 92 649 102 084 105 212 105 531 Jambi 62 330 62 851 69 318 71 298 80 890 82 770 83 568 Sumsel 109 022 109 677 121 504 125 406 137 843 142 685 142 104 Lampung 104 589 103 689 112 077 118 059 129 249 129 627 130 622 Kepri 19 286 20 666 25 448 26 798 32 153 33 801 34 944 Jabar 417 720 404 757 444 735 455 422 482 824 477 496 458 751 Jateng 461 252 444 496 473 654 472 095 498 261 496 205 480 629 DIY 92 223 89 707 92 077 89 867 94 014 92 066 88 916 Jatim 470 827 449 479 490 420 485 233 536 753 532 181 519 082 Banten 76 617 75 926 85 717 91 951 100 112 99 563 98 207 Bali 83 554 85 143 89 291 86 059 99 686 101 493 99 467 NTB 73 099 73 883 82 939 80 688 94 880 95 799 94 954 NTT 94 086 94 351 105 647 102 931 118 502 126 038 127 712 Kalbar 76 302 77 796 82 410 84 701 93 174 94 605 94 787 Kalteng 56 058 57 842 66 154 64 325 75 793 77 134 78 919 Kalsel 74 974 76 593 85 893 82 795 95 663 97 407 97 633 Kaltim 68 622 70 670 80 048 77 891 100 204 102 005 103 525 Sulut 66 928 68 208 71 795 68 658 81 254 79 697 80 723 Sulteng 61 760 62 162 71 608 72 480 86 121 86 821 87 678 Sulsel 169 265 166 627 185 951 184 453 202 230 207 778 206 105 36. Garis Kemiskinan Nominal Ribu Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 172.1 198.9 218.1 239.9 261.9 278.4 303.7 Sumut 143.1 162.7 178.1 193.3 210.2 222.9 246.6 Sumbar 141.0 154.2 180.7 195.7 217.5 230.8 261.7 Riau 167.6 185.1 214.0 229.4 246.5 256.1 282.5 Jambi 141.2 154.9 172.3 182.2 199.6 216.2 242.3 Sumsel 138.4 160.6 178.2 196.5 212.4 221.7 236.3 Lampung 125.3 144.9 157.1 172.3 188.8 202.4 234.1 Kepri 215.8 228.6 248.2 262.2 284.0 295.1 340.6 Jabar 133.7 149.7 165.7 176.2 192.0 201.1 220.1 Jateng 130.0 142.3 154.1 168.2 182.5 192.4 209.6 DIY 148.5 170.7 185.0 194.8 212.0 224.3 249.6 Jatim 128.6 145.2 153.1 169.1 188.3 199.3 219.7 Banten 150.2 160.7 169.5 181.1 198.8 208.0 226.7 Bali 152.5 161.8 166.0 176.6 196.5 208.2 233.2 NTB 118.9 140.7 150.0 167.5 185.0 196.2 215.6 NTT 98.3 115.0 126.4 139.7 156.2 175.3 198.6 Kalbar 124.8 134.7 142.5 158.8 174.6 189.4 206.9 Kalteng 136.3 151.9 162.3 186.0 202.6 215.5 241.5 Kalsel 128.6 147.9 161.5 180.3 195.8 210.9 238.5 Kaltim 189.9 207.3 220.4 238.0 261.2 285.2 316.8 Sulut 130.9 145.3 156.6 168.2 184.8 194.3 212.8 Sulteng 131.5 147.4 154.0 168.0 189.7 203.2 235.5 Sulsel 109.5 120.8 126.6 138.3 153.7 163.1 179.9 Lampiran 2. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 2 883 838 2 654 476 2 145 206 2 691 269 1 236 901 739 046 1 786 851 Sumut 27 710 18 249 30 088 46 002 47 431 53 443 81 340 Sumbar 31 886 38 373 38 633 26 934 33 034 34 148 74 399 Riau 6 850 627 9 497 721 7 698 879 10 462 351 6 877 360 10 981 569 11 245 622 Jambi 255 436 535 156 638 928 627 173 774 253 1 278 514 1 474 470 Sumsel 1 691 310 2 230 162 2 310 540 2 866 968 2 512 707 4 293 956 4 609 491 Lampung 408 779 423 976 324 746 450 632 217 546 382 769 411 099 Kepri 529 769 1 711 794 823 355 2 238 517 1 935 672 3 228 075 2 785 924 Jabar 402 566 433 573 338 130 371 057 1 214 750 845 665 1 011 480 Jateng 27 578 28 354 54 809 53 175 90 268 102 238 276 372 DIY 1 529 1 759 3 775 978 1 165 8 835 12 742 Jatim 49 642 181 114 164 655 283 145 291 151 581 675 903 093 Banten 2 764 2 713 5 236 6 236 4 114 6 328 12 692 Bali 3 804 3 299 4 525 1 306 957 2 791 6 512 NTB 175 524 116 451 150 171 98 317 166 785 250 581 211 109 NTT 4 407 7 823 14 133 3 135 11 809 5 973 18 816 Kalbar 23 343 47 766 101 550 101 541 120 310 77 409 154 807 Kalteng 125 776 136 874 337 349 321 010 358 384 419 404 649 969 Kalsel 358 490 335 200 493 540 866 541 1 812 608 1 595 306 2 517 067 Kaltim 9 089 999 7 245 469 8 492 103 13 123 444 10 901 928 14 948 064 18 848 056 Sulut 10 103 12 657 52 588 35 962 18 011 34 619 76 699 Sulteng 9 944 21 177 31 596 27 767 12 197 15 788 49 537 Sulsel 89 626 103 426 209 581 146 805 61 240 61 236 99 574 38. Dana Alokasi Khusus Nominal Juta Rp Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 NAD 235 883 607 418 754 797 953 155 1 047 694 822 760 912 376 Sumut 227 428 655 255 985 936 1 234 955 1 492 003 1 407 646 1 489 252 Sumbar 202 613 484 102 698 762 857 863 948 611 700 705 776 281 Riau 91 666 157 917 248 214 257 908 275 636 281 238 265 364 Jambi 123 755 182 228 359 435 426 768 448 425 454 879 422 867 Sumsel 70 231 315 869 441 726 543 973 625 148 552 169 697 756 Lampung 99 010 311 344 464 575 518 649 670 344 675 921 899 064 Kepri 16 334 86 641 119 039 141 586 237 475 106 880 141 029 Jabar 117 910 493 251 820 592 995 507 1 301 869 1 729 519 1 700 180 Jateng 295 970 895 974 1 291 860 1 647 883 2 027 798 1 992 419 2 214 022 DIY 51 410 126 495 181 585 232 322 289 434 274 584 217 314 Jatim 257 320 913 839 1 343 313 1 707 950 2 148 726 1 885 736 2 218 888 Banten 50 230 96 292 232 454 277 253 339 361 378 604 444 944 Bali 90 210 235 500 347 999 425 260 484 340 333 568 285 970 NTB 125 526 288 744 433 038 527 724 526 669 488 262 489 936 NTT 212 920 471 615 719 249 946 850 1 147 635 860 011 1 156 628 Kalbar 172 369 374 684 562 951 729 876 744 977 640 510 929 620 Kalteng 241 930 443 839 641 307 687 837 699 620 456 536 583 850 Kalsel 171 612 329 323 408 456 564 334 684 685 542 100 404 624 Kaltim 131 036 380 035 326 789 230 551 356 553 247 779 298 701 Sulut 110 200 300 570 493 415 616 970 937 285 620 676 708 958 Sulteng 124 483 292 582 456 367 616 391 603 893 461 238 633 593 Sulsel 275 808 624 417 966 158 1 218 542 1 316 209 1 006 571 1 269 894 Lampiran 3. Diagram Keterkaitan Antar Variabel dalam Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah Lampiran 4. Program Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SASETS 9.1.3. proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; IF TAHUN 2005; proc syslin 2sls data=work.data outest=hasil; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN DRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM MTR WLYH POP PNS IFL GK RET KKYD PADLN BHSSD DAK DPTLN PDRBHTN PDRBIKAN PDRBKYU PDRBINDTANILN PDRBINDLN PDRBLN TKLN PJKL BHSPJKL DAUL GPGNKBNTNKL GINDL GDGL GIFRL GLNL UPHTANIL UPHINDL UPHDGL EXPTANIL GINIL PDRBL; model PJK = PDRBKAP PM MTR PJKL ; model BHSPJK = PDRBNONTANI WLYH BHSPJKL ; model DAU = PDRBL POP WLYH PNS DAUL ; model GPGNKBNTNK = KAPFIS DAU DAK GPGNKBNTNKL ; model GIND = KAPFIS DAU GINDL ; model GDG = KAPFIS DAU GDGL ; model GIFR = KAPFIS DAU GIFRL ; model GLN = KAPFIS DAU GLNL ; model ASP = GIFR PM MTR DW ; model PDRBPGNKBNTNK = GPGNKBNTNK TKTANI ASP dw; model PDRBMKN = GIND TKIND dw; model PDRBDG = GDGKAP TKDG ASP dw; model TKTANI = PDRBTANI UPHTANI ASP dw; model TKIND = PDRBIND UPHIND ASP dw; model TKDG = PDRBDG UPHDG ASP dw; model UPHTANI = PDRBTANIKAP UPHTANIL ; model UPHIND = PDRBINDKAP UPHINDL ; model UPHDG = PDRBDGKAP UPHDGL ; model EXPTANI = UPHTANI IFL dw; model EXPIND = UPHIND IFL DW ; model EXPDG = UPHDG IFL DW ; model GINI = SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG GINIL ; model POVTANIP0 = EXPTANI GINI GK dw; model POVINDP0 = EXPIND GINI GK dw; model POVDGP0 = EXPDG GINI GK dw; model POVTANIP1 = EXPTANI GINI GK dw; model POVTANIP2 = EXPTANI GINI GK dw; model POVP0 = POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 dw; identity PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; identity KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; identity GDGKAP = GDGKAP; identity G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; identity DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; identity FISGAP = G - KAPFIS; identity FISAUTO = FISAUTO; identity PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; identity PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; identity PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; identity PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; identity PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; identity PDRBTANIKAP = PDRBTANIKAP; identity PDRBINDKAP = PDRBINDKAP; identity PDRBDGKAP = PDRBDGKAP; IDENTITY PDRBKAP = PDRBKAP; identity TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; identity SHPDRBTANI = SHPDRBTANI; identity SHPDRBIND = SHPDRBIND; identity SHPDRBDG = SHPDRBDG; run; Lampiran 5. Hasil Estimasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SASETS 9.1.3. The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PJK Dependent Variable PJK Label pajak daerah Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 3.449E14 8.622E13 1320.75 .0001 Error 133 8.682E12 6.528E10 Corrected Total 137 3.535E14 Root MSE 255494.383 R-Square 0.97544 Dependent Mean 1421350.27 Adj R-Sq 0.97470 Coeff Var 17.97547 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -94933.9 40234.75 -2.36 0.0198 Intercept PDRBKAP 1 3.060250 1.391187 2.20 0.0296 PDRB perkapita PM 1 0.042283 0.007034 6.01 .0001 penanaman modal MTR 1 99.61593 20.75682 4.80 .0001 kendaraan bermotor PJKL 1 0.851747 0.049528 17.20 .0001 LAG PJK The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model BHSPJK Dependent Variable BHSPJK Label bagi hasil pajak Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.165E14 3.885E13 200.52 .0001 Error 134 2.596E13 1.937E11 Corrected Total 137 1.426E14 Root MSE 440164.014 R-Square 0.81782 Dependent Mean 1068570.32 Adj R-Sq 0.81374 Coeff Var 41.19186 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 77276.63 63392.22 1.22 0.2250 Intercept PDRBNONTANI 1 0.004145 0.000586 7.07 .0001 PDRB non pertanian WLYH 1 3.330978 0.873388 3.81 0.0002 luas wilayah BHSPJKL 1 0.314815 0.086613 3.63 0.0004 LAG BHSPJK The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model DAU Dependent Variable DAU Label DAU Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 5 2.9E15 5.801E14 1392.52 .0001 Error 132 5.499E13 4.166E11 Corrected Total 137 2.955E15 Root MSE 645413.927 R-Square 0.98139 Dependent Mean 5875357.11 Adj R-Sq 0.98069 Coeff Var 10.98510 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 179927.2 125256.1 1.44 0.1532 Intercept PDRBL 1 -0.00720 0.001181 -6.10 .0001 Lag PDRB POP 1 107.6154 25.26074 4.26 .0001 penduduk WLYH 1 6.338917 1.423235 4.45 .0001 luas wilayah PNS 1 18.81129 3.001082 6.27 .0001 PNS DAUL 1 0.431706 0.066265 6.51 .0001 LAG DAU The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GPGNKBNT Dependent Variable GPGNKBNTNK Label G pertanian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 3.682E12 9.204E11 215.05 .0001 Error 133 5.692E11 4.28E9 Corrected Total 137 4.257E12 Root MSE 65421.7083 R-Square 0.86609 Dependent Mean 293923.603 Adj R-Sq 0.86206 Coeff Var 22.25807 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 36039.57 11008.29 3.27 0.0014 Intercept KAPFIS 1 0.007570 0.002073 3.65 0.0004 kapasitas fiskal DAU 1 0.008443 0.002908 2.90 0.0043 DAU DAK 1 0.046851 0.037942 1.23 0.2191 dana alokasi khusus GPGNKBNTNKL 1 0.542576 0.071836 7.55 .0001 LAG GPBNKBNTNK The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GIND Dependent Variable GIND Label G perindustrian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 2.1E11 6.999E10 209.01 .0001 Error 134 4.487E10 3.3486E8 Corrected Total 137 2.554E11 Root MSE 18299.2394 R-Square 0.82392 Dependent Mean 37179.8200 Adj R-Sq 0.81998 Coeff Var 49.21820 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -4952.50 2663.146 -1.86 0.0651 Intercept KAPFIS 1 0.000730 0.000399 1.83 0.0698 kapasitas fiskal DAU 1 0.002365 0.000461 5.13 .0001 DAU GINDL 1 0.749475 0.056511 13.26 .0001 LAG GIND The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GDG Dependent Variable GDG Label G perdagangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.984E11 6.612E10 102.69 .0001 Error 134 8.629E10 6.4393E8 Corrected Total 137 2.849E11 Root MSE 25375.7373 R-Square 0.69688 Dependent Mean 44869.9845 Adj R-Sq 0.69009 Coeff Var 56.55392 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -1818.01 3679.168 -0.49 0.6220 Intercept KAPFIS 1 0.002214 0.000609 3.64 0.0004 kapasitas fiskal DAU 1 0.002753 0.000582 4.73 .0001 DAU GDGL 1 0.504975 0.070261 7.19 .0001 LAG GDG The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GIFR Dependent Variable GIFR Label G infrastruktur Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.662E14 5.541E13 346.37 .0001 Error 134 2.144E13 1.6E11 Corrected Total 137 1.882E14 Root MSE 399978.455 R-Square 0.88577 Dependent Mean 1748045.22 Adj R-Sq 0.88322 Coeff Var 22.88147 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 256753.3 64621.06 3.97 0.0001 Intercept KAPFIS 1 0.082805 0.014626 5.66 .0001 kapasitas fiskal DAU 1 0.017387 0.008340 2.08 0.0390 DAU GIFRL 1 0.625046 0.057764 10.82 .0001 LAG GIFR The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GLN Dependent Variable GLN Label G lainnya Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 7.778E15 2.593E15 5503.06 .0001 Error 134 6.313E13 4.711E11 Corrected Total 137 7.84E15 Root MSE 686370.596 R-Square 0.99195 Dependent Mean 9534554.30 Adj R-Sq 0.99177 Coeff Var 7.19877 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -162696 102504.4 -1.59 0.1148 Intercept KAPFIS 1 0.162246 0.033154 4.89 .0001 kapasitas fiskal DAU 1 0.302331 0.043423 6.96 .0001 DAU GLNL 1 0.826398 0.040186 20.56 .0001 LAG GLN The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model ASP Dependent Variable ASP Label panjang jln aspal Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 5.8355E9 1.9452E9 136.61 .0001 Error 134 1.908E9 14238980 Corrected Total 137 7.7409E9 Root MSE 3773.45730 R-Square 0.75360 Dependent Mean 9803.94136 Adj R-Sq 0.74808 Coeff Var 38.48919 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 2489.701 598.7154 4.16 .0001 Intercept GIFR 1 0.000634 0.000348 1.82 0.0706 G infrastruktur PM 1 0.000148 0.000059 2.52 0.0130 penanaman modal MTR 1 2.470515 0.163036 15.15 .0001 kendaraan bermotor Durbin-Watson 0.539286 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.716656 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBPGNK Dependent Variable PDRBPGNKBNTNK Label PDRB pgnkbntnk Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 6.01E16 2.003E16 529.87 .0001 Error 134 5.067E15 3.781E13 Corrected Total 137 6.494E16 Root MSE 6149006.14 R-Square 0.92226 Dependent Mean 19366098.4 Adj R-Sq 0.92052 Coeff Var 31.75139 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -6374729 1192973 -5.34 .0001 Intercept GPGNKBNTNK 1 24.73811 5.616437 4.40 .0001 G pertanian TKTANI 1 5711.454 856.5614 6.67 .0001 TK pertanian ASP 1 930.0316 243.3905 3.82 0.0002 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.507689 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.741738 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBMKN Dependent Variable PDRBMKN Label PDRB makanan jadi Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 3.769E16 1.885E16 121.07 .0001 Error 135 2.102E16 1.557E14 Corrected Total 137 5.812E16 Root MSE 12476660.8 R-Square 0.64205 Dependent Mean 10599562.9 Adj R-Sq 0.63674 Coeff Var 117.70920 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -2494254 1432910 -1.74 0.0840 Intercept GIND 1 195.8402 35.71463 5.48 .0001 G perindustrian TKIND 1 11064.96 1640.610 6.74 .0001 TK industri Durbin-Watson 0.433438 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.783082 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PDRBDG Dependent Variable PDRBDG Label PDRB perdagangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 2.042E17 6.808E16 341.96 .0001 Error 134 2.668E16 1.991E14 Corrected Total 137 2.295E17 Root MSE 14109584.5 R-Square 0.88447 Dependent Mean 25956610.7 Adj R-Sq 0.88189 Coeff Var 54.35835 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -1.465E7 3033582 -4.83 .0001 Intercept gdgkap 1 556479.4 211967.0 2.63 0.0097 G perdagangan perkap TKDG 1 24205.45 2035.234 11.89 .0001 TK perdagangan ASP 1 1655.791 322.8061 5.13 .0001 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.554616 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.719699 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TKTANI Dependent Variable TKTANI Label TK pertanian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 4.3555E8 1.4518E8 402.75 .0001 Error 134 48303967 360477.4 Corrected Total 137 4.8012E8 Root MSE 600.39767 R-Square 0.90017 Dependent Mean 1637.36576 Adj R-Sq 0.89793 Coeff Var 36.66851 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 278.3180 236.0039 1.18 0.2404 Intercept PDRBTANI 1 0.000028 5.702E-6 4.87 .0001 PDRB pertanian UPHTANI 1 -1.10432 0.287225 -3.84 0.0002 upah pertanian ASP 1 0.138568 0.020093 6.90 .0001 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.486921 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.737744 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TKIND Dependent Variable TKIND Label TK industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.0059E8 33528544 409.47 .0001 Error 134 10972340 81883.13 Corrected Total 137 1.1095E8 Root MSE 286.15229 R-Square 0.90164 Dependent Mean 525.30787 Adj R-Sq 0.89944 Coeff Var 54.47325 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 507.7032 110.1381 4.61 .0001 Intercept PDRBIND 1 0.000013 7.031E-7 18.83 .0001 PDRB industri UPHIND 1 -0.68291 0.095574 -7.15 .0001 upah industri ASP 1 0.010769 0.005848 1.84 0.0678 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.656673 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.66991 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model TKDG Dependent Variable TKDG Label TK perdagangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1.6701E8 55669855 304.70 .0001 Error 134 24482647 182706.3 Corrected Total 137 1.9035E8 Root MSE 427.44160 R-Square 0.87215 Dependent Mean 835.10971 Adj R-Sq 0.86929 Coeff Var 51.18389 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 360.2438 294.3367 1.22 0.2231 Intercept PDRBDG 1 0.000023 2.165E-6 10.79 .0001 PDRB perdagangan UPHDG 1 -0.41858 0.296650 -1.41 0.1606 upah perdagangan ASP 1 0.021856 0.012417 1.76 0.0807 panjang jln aspal Durbin-Watson 0.391134 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.803178 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model UPHTANI Dependent Variable UPHTANI Label upah pertanian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 5367822 2683911 307.86 .0001 Error 135 1176931 8718.009 Corrected Total 137 6554861 Root MSE 93.37028 R-Square 0.82017 Dependent Mean 600.65559 Adj R-Sq 0.81751 Coeff Var 15.54473 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 63.05079 23.36683 2.70 0.0079 Intercept PDRBTANIKAP 1 0.009624 0.005901 1.63 0.1052 PDRB tani perkap UPHTANIL 1 0.860639 0.042552 20.23 .0001 LAG UPHTANI The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model UPHIND Dependent Variable UPHIND Label upah industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 11113592 5556796 199.57 .0001 Error 135 3758976 27844.26 Corrected Total 137 14890628 Root MSE 166.86601 R-Square 0.74725 Dependent Mean 873.31369 Adj R-Sq 0.74351 Coeff Var 19.10722 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 464.3901 56.73394 8.19 .0001 Intercept PDRBINDKAP 1 0.032354 0.005139 6.30 .0001 PDRB ind perkap UPHINDL 1 0.313735 0.082859 3.79 0.0002 LAG UPHIND The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model UPHDG Dependent Variable UPHDG Label upah perdagangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 2537782 1268891 118.27 .0001 Error 135 1448376 10728.71 Corrected Total 137 4042336 Root MSE 103.57949 R-Square 0.63665 Dependent Mean 825.98688 Adj R-Sq 0.63127 Coeff Var 12.54009 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 247.4232 46.52912 5.32 .0001 Intercept PDRBDGKAP 1 0.026432 0.007568 3.49 0.0006 PDRB perdag perkap UPHDGL 1 0.622585 0.069211 9.00 .0001 LAG UPHDG The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPTANI Dependent Variable EXPTANI Label exp pddk pertanian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 395079.0 197539.5 109.27 .0001 Error 135 244054.2 1807.809 Corrected Total 137 630879.3 Root MSE 42.51833 R-Square 0.61815 Dependent Mean 281.42784 Adj R-Sq 0.61249 Coeff Var 15.10808 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 210.2986 14.41329 14.59 .0001 Intercept UPHTANI 1 0.221478 0.017430 12.71 .0001 upah pertanian IFL 1 -7.69744 1.094803 -7.03 .0001 laju inflasi Durbin-Watson 0.85059 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.568226 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPIND Dependent Variable EXPIND Label exp pddk industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 1237555 618777.4 62.80 .0001 Error 135 1330207 9853.382 Corrected Total 137 2539229 Root MSE 99.26420 R-Square 0.48196 Dependent Mean 381.40874 Adj R-Sq 0.47428 Coeff Var 26.02568 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 153.6796 34.86287 4.41 .0001 Intercept UPHIND 1 0.293050 0.027160 10.79 .0001 upah industri IFL 1 -3.50608 2.583773 -1.36 0.1771 laju inflasi Durbin-Watson 2.149309 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation -0.07573 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EXPDG Dependent Variable EXPDG Label exp pddk perdag Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 2 728799.7 364399.9 36.99 .0001 Error 135 1329947 9851.462 Corrected Total 137 1978257 Root MSE 99.25453 R-Square 0.35400 Dependent Mean 448.47327 Adj R-Sq 0.34443 Coeff Var 22.13165 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 129.4432 54.93177 2.36 0.0199 Intercept UPHDG 1 0.448016 0.057316 7.82 .0001 upah perdagangan IFL 1 -6.34483 2.578929 -2.46 0.0151 laju inflasi Durbin-Watson 1.831054 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.078524 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model GINI Dependent Variable GINI Label Indeks Gini Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 4 0.087978 0.021994 29.14 .0001 Error 133 0.100390 0.000755 Corrected Total 137 0.186951 Root MSE 0.02747 R-Square 0.46705 Dependent Mean 0.33779 Adj R-Sq 0.45103 Coeff Var 8.13340 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 0.118165 0.027582 4.28 .0001 Intercept SHPDRBTANI 1 -0.00052 0.000414 -1.26 0.2085 Share PDRB tani SHPDRBIND 1 -0.00033 0.000285 -1.17 0.2458 Share PDRB indsutri SHPDRBDG 1 0.000331 0.000487 0.68 0.4973 Share PDRB perdag GINIL 1 0.702657 0.066837 10.51 .0001 LAG GINI The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP Dependent Variable POVTANIP0 Label P0 pertanian Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 6040.026 2013.342 101.50 .0001 Error 134 2657.916 19.83520 Corrected Total 137 8761.537 Root MSE 4.45367 R-Square 0.69442 Dependent Mean 19.16447 Adj R-Sq 0.68758 Coeff Var 23.23921 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -6.22684 5.810689 -1.07 0.2858 Intercept EXPTANI 1 -0.17003 0.009792 -17.36 .0001 exp pddk pertanian GINI 1 60.93370 13.35701 4.56 .0001 Indeks Gini GK 1 0.302195 0.023011 13.13 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.165089 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.398934 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVINDP0 Dependent Variable POVINDP0 Label P0 industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 2659.627 886.5422 20.18 .0001 Error 134 5888.172 43.94158 Corrected Total 137 8374.480 Root MSE 6.62884 R-Square 0.31115 Dependent Mean 12.83884 Adj R-Sq 0.29573 Coeff Var 51.63120 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -6.93891 9.964172 -0.70 0.4874 Intercept EXPIND 1 -0.06080 0.008233 -7.38 .0001 exp pddk industri GINI 1 42.69824 22.41290 1.91 0.0589 Indeks Gini GK 1 0.163808 0.034049 4.81 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.86536 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.042965 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVDGP0 Dependent Variable POVDGP0 Label P0 perdagangan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 1297.439 432.4796 22.77 .0001 Error 134 2545.397 18.99550 Corrected Total 137 4768.743 Root MSE 4.35838 R-Square 0.33763 Dependent Mean 8.71230 Adj R-Sq 0.32280 Coeff Var 50.02562 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -4.59922 6.541710 -0.70 0.4832 Intercept EXPDG 1 -0.04699 0.006000 -7.83 .0001 exp pddk perdag GINI 1 44.26502 15.90563 2.78 0.0062 Indeks Gini GK 1 0.111514 0.021907 5.09 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.857164 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.054883 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP1 Dependent Variable POVTANIP1 Label POVTANIP1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 208.9824 69.66078 71.41 .0001 Error 134 130.7212 0.975531 Corrected Total 137 342.1119 Root MSE 0.98769 R-Square 0.61519 Dependent Mean 2.99813 Adj R-Sq 0.60658 Coeff Var 32.94352 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -1.23131 1.288635 -0.96 0.3410 Intercept EXPTANI 1 -0.03177 0.002172 -14.63 .0001 exp pddk pertanian GINI 1 8.428017 2.962180 2.85 0.0051 Indeks Gini GK 1 0.059236 0.005103 11.61 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.123903 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.427635 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVTANIP2 Dependent Variable POVTANIP2 Label POVTANIP2 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 18.36868 6.122893 60.45 .0001 Error 134 13.57297 0.101291 Corrected Total 137 32.01286 Root MSE 0.31826 R-Square 0.57507 Dependent Mean 0.79677 Adj R-Sq 0.56556 Coeff Var 39.94381 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -0.33909 0.415235 -0.82 0.4156 Intercept EXPTANI 1 -0.00938 0.000700 -13.41 .0001 exp pddk pertanian GINI 1 1.924496 0.954500 2.02 0.0458 Indeks Gini GK 1 0.017944 0.001644 10.91 .0001 garis kemiskinan Durbin-Watson 1.172675 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.400445 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model POVP0 Dependent Variable POVP0 Label POVP0 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr F Model 3 3932.568 1310.856 145.81 .0001 Error 134 1204.702 8.990312 Corrected Total 137 5028.633 Root MSE 2.99838 R-Square 0.76550 Dependent Mean 13.86083 Adj R-Sq 0.76025 Coeff Var 21.63207 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr |t| Label Intercept 1 -0.51930 0.754143 -0.69 0.4923 Intercept POVTANIP0 1 0.460043 0.050111 9.18 .0001 P0 pertanian POVINDP0 1 0.307586 0.071400 4.31 .0001 P0 industri POVDGP0 1 0.185324 0.101187 1.83 0.0692 P0 perdagangan Durbin-Watson 1.450359 Number of Observations 138 First-Order Autocorrelation 0.254511 Lampiran 6. Program Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASI; set work.propoor; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PROC SORT DATA=WORK.SIMULASI; BY TAHUN; RUN; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL = LAG23PJK; BHSPJKL = LAG23BHSPJK; DAUL = LAG23DAU; GPGNKBNTNKL = LAG23GPGNKBNTNK; GINDL = LAG23GIND; GDGL = LAG23GDG; GIFRL = LAG23GIFR; GLNL = LAG23GLN; UPHTANIL = LAG23UPHTANI; UPHINDL = LAG23UPHIND; UPHDGL = LAG23UPHDG; EXPTANIL = LAG23EXPTANI; GINIL = LAG23GINI; PDRBL = LAG23PDRB; IF TAHUN 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324 PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run; Lampiran 7. Hasil Validasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah tahun 2006-2011 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 48 Endogenous 48 Parameters 110 Equations 48 Number of Statements 66 Program Lag Length 23 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASI Solution Summary Variables Solved 48 Simulation Lag Length 23 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.46E-14 Maximum Iterations 4 Total Iterations 278 Average Iterations 2.014493 Observations Processed Read 161 Lagged 23 Solved 138 First 24 Last 161 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev PJK 138 138 1421350 1606351 1511125 1803218 PAD 138 138 2107481 2280579 2197256 2486268 BHSPJK 138 138 1068570 1020251 1040519 828038 KAPFIS 138 138 4449630 4469827 4511354 4566295 DAU 138 138 5875357 4644540 5914990 4733082 DPT 138 138 12247142 9099316 12348499 9433773 GPGNKBNTNK 138 138 293924 176283 289938 160132 GIND 138 138 37179.8 43177.4 36338.5 35683.2 GDG 138 138 44870.0 45603.8 44796.6 36350.5 GDGKAP 138 138 7.4740 6.6635 7.1671 4.4795 GIFR 138 138 1748045 1172130 1669634 1027218 GLN 138 138 9534554 7564806 9504389 7842232 G 138 138 11845264 8750048 11731788 9024757 FISGAP 138 138 7395634 5923872 7220434 6093558 FISAUTO 138 138 16.0630 7.4356 16.3146 7.6951 ASP 138 138 9803.9 7516.8 9752.5 6575.5 PDRBPGNKBNTNK 138 138 19366098 21771270 19015508 18662175 PDRBTANI 138 138 23916759 24703224 23566169 21411241 PDRBTANIKAP 138 138 3092.7 1644.0 3501.4 1950.1 PDRBMKN 138 138 10599563 20596695 10220805 15359938 PDRBINDTANI 138 138 19202161 31865477 18823404 29493006 PDRBIND 138 138 38409672 60067677 38030915 61561013 PDRBINDKAP 138 138 4150.8 5765.1 4252.0 5734.1 PDRBDG 138 138 25956611 40927071 24337421 30916624 PDRBDGKAP 138 138 2690.7 1623.7 3166.0 2698.9 PDRBNONTANI 138 138 1.1395E8 1.4247E8 1.1195E8 1.2983E8 PDRB 138 138 1.3787E8 1.6495E8 1.3552E8 1.4907E8 PDRBKAP 138 138 17783.6 15983.5 18768.8 17516.8 SHPDRBTANI 138 138 21.9705 9.6400 22.0616 7.9017 SHPDRBIND 138 138 19.0619 13.5110 20.7022 15.0723 SHPDRBDG 138 138 17.1145 5.3227 16.4764 13.6251 TKTANI 138 138 1637.4 1872.0 1601.6 1552.0 TKIND 138 138 525.3 899.9 506.0 815.5 TKDG 138 138 835.1 1178.7 780.9 845.0 TK 138 138 4075.3 5159.7 3965.9 4380.8 UPHTANI 138 138 600.7 218.7 622.9 174.8 UPHIND 138 138 873.3 329.7 880.3 279.0 UPHDG 138 138 826.0 171.8 841.6 152.0 EXPTANI 138 138 281.4 67.8598 286.4 47.7588 EXPIND 138 138 381.4 136.1 383.5 82.8449 EXPDG 138 138 448.5 120.2 455.5 76.1981 GINI 138 138 0.3378 0.0369 0.3420 0.0198 POVTANIP0 138 138 19.1645 7.9971 18.5821 7.8467 POVINDP0 138 138 12.8388 7.8184 12.8949 4.2970 POVDGP0 138 138 8.7123 5.8999 8.5686 2.8392 POVTANIP1 138 138 2.9981 1.5802 2.8756 1.5141 POVTANIP2 138 138 0.7968 0.4834 0.7599 0.4557 POVP0 138 138 13.8608 6.0585 13.5835 4.7696 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Statistics of fit Mean Mean Mean Abs Mean Abs RMS RMS Variable N Error Error Error Error Error Error PJK 138 89774.6 -1.5730 271229 27.4334 387305 37.0033 PAD 138 89774.6 -0.4874 271229 16.5583 387305 21.1421 BHSPJK 138 -28050.9 11.9929 239783 27.9855 467764 39.3797 KAPFIS 138 61723.7 2.8469 344559 11.8966 545398 16.5899 DAU 138 39633.1 2.4038 546556 12.4267 725271 20.7981 DPT 138 101357 0.1224 725948 7.0064 994486 8.9036 GPGNKBNTNK 138 -3985.4 13.5626 58774.1 30.2765 81749.6 50.5742 GIND 138 -841.3 314.1 15201.6 341.0 24510.8 2672.7 GDG 138 -73.3449 79.0329 17069.2 102.7 27796.0 490.6 GDGKAP 138 -0.3069 79.0329 2.9728 102.7 4.5390 490.6 GIFR 138 -78410.9 11.0626 399622 31.7439 545393 60.4068 GLN 138 -30165.0 -1.9335 671928 8.7464 914995 12.0422 G 138 -113476 -1.6266 892644 9.0357 1210355 11.5590 FISGAP 138 -175200 0.0675 816816 22.8107 1077544 74.5113 FISAUTO 138 0.2516 1.6496 2.2426 15.6910 2.8245 20.1273 ASP 138 -51.4766 27.6364 3097.6 51.8269 3805.1 93.2527 PDRBPGNKBNTNK 138 -350590 36.1399 5338253 61.3348 7128127 117.0 PDRBTANI 138 -350590 18.9452 5338253 37.8276 7128127 57.7939 PDRBTANIKAP 138 408.7 18.9452 1035.2 37.8276 1475.6 57.7939 PDRBMKN 138 -378757 76.2499 7044064 423.4 14084843 986.5 PDRBINDTANI 138 -378757 111.5 7044064 143.5 14084843 342.6 PDRBIND 138 -378757 67.6643 7044064 87.9929 14084843 253.3 PDRBINDKAP 138 101.2 67.6643 770.1 87.9929 981.9 253.3 PDRBDG 138 -1619190 22.1018 12219043 75.0366 19631565 101.1 PDRBDGKAP 138 475.2 22.1018 1802.3 75.0366 2496.0 101.1 PDRBNONTANI 138 -1997947 6.3854 14253994 18.5557 25176968 23.9069 PDRB 138 -2348537 6.4079 18569375 19.3086 29664121 25.0477 PDRBKAP 138 985.1 6.4079 2933.9 19.3086 4096.6 25.0477 SHPDRBTANI 138 0.0911 10.1690 3.8012 24.1301 4.7943 39.1038 SHPDRBIND 138 1.6403 57.8731 4.6775 78.2081 6.5115 241.6 SHPDRBDG 138 -0.6381 1.0333 8.7247 56.6030 13.1751 86.8004 TKTANI 138 -35.7395 32.6565 543.7 61.0321 733.0 98.1448 TKIND 138 -19.3399 54.4305 203.4 90.7124 335.5 128.0 TKDG 138 -54.2512 38.7976 336.3 65.1928 585.2 85.9219 TK 138 -109.3 12.2776 838.0 31.3095 1237.3 42.0993 UPHTANI 138 22.2834 7.7351 80.8837 14.6865 104.2 19.4449 UPHIND 138 6.9801 5.7106 137.1 17.3624 183.2 24.2262 UPHDG 138 15.6584 4.6870 142.9 17.3091 181.6 21.7360 EXPTANI 138 4.9355 4.1685 31.9947 11.5256 43.4053 15.3822 EXPIND 138 2.0452 6.3232 70.0445 18.8177 100.6 24.2289 EXPDG 138 7.0156 6.0845 72.8794 17.4226 96.5774 24.8704 GINI 138 0.00423 2.2857 0.0286 8.7567 0.0353 11.3113 POVTANIP0 138 -0.5824 10.1745 6.2615 41.4441 8.2071 75.2844 POVINDP0 138 0.0561 39331372 6.5016 39331405 8.0959 2.4908E8 POVDGP0 138 -0.1437 11453462 4.0162 11453488 5.8668 1.3455E8 POVTANIP1 138 -0.1225 18.6937 1.2896 59.1734 1.6958 99.7573 POVTANIP2 138 -0.0369 25.3746 0.3880 71.9210 0.5172 124.8 POVP0 138 -0.2773 14.6648 5.1301 44.0999 6.4685 60.0351 Statistics of fit Variable R-Square Label PJK 0.9414 pajak daerah PAD 0.9709 PAD BHSPJK 0.7883 bagi hasil pajak KAPFIS 0.9850 Kapasitas fiskal DAU 0.9754 DAU DPT 0.9880 total pendaptan daerah GPGNKBNTNK 0.7834 belanja pertanian GIND 0.6754 belanja perindustrian GDG 0.6258 belanja perdagangan GDGKAP 0.5326 belanja perdagangan per kapita GIFR 0.7819 belanja infrastruktur GLN 0.9853 belanja lainnya G 0.9807 total belanja daerah FISGAP 0.9667 kesenjangan fiskal FISAUTO 0.8546 kemandirian fiskal ASP 0.7419 panjang jalan aspal PDRBPGNKBNTNK 0.8920 PDRB tanaman pangan, perkebunan, peternakan PDRBTANI 0.9161 PDRB pertanian PDRBTANIKAP 0.1886 PDRB pertanian per kapita PDRBMKN 0.5289 PDRB industri makanan jadi PDRBINDTANI 0.8032 PDRB industri pertanian PDRBIND 0.9446 PDRB industri PDRBINDKAP 0.9708 PDRB industri per kapita PDRBDG 0.7682 PDRB Perdagangan PDRBDGKAP -1.380 PDRB Perdangngan per kapita PDRBNONTANI 0.9685 PDRB non pertanian PDRB 0.9674 PDRB total PDRBKAP 0.9338 PDRB per kapita SHPDRBTANI 0.7509 Share PDRB pertanian SHPDRBIND 0.7660 Share PDRB industri SHPDRBDG -5.172 Share PSDRB perdagangan TKTANI 0.8455 Tenaga kerja pertanian TKIND 0.8600 Tenaga kerja industri TKDG 0.7518 Tenaga kerja perdagangan TK 0.9421 Tenaga kerja total UPHTANI 0.7715 Upah pertanian UPHIND 0.6890 Upah industri UPHDG -.1257 Upah perdagangan EXPTANI 0.5879 Pengeluaran per kapita pertanian EXPIND 0.4503 Pengeluaran per kapita industri EXPDG 0.3493 Pengeluaran per kapita perdagangan GINI 0.0779 Indeks Gini POVTANIP0 -.0609 P0 pertanian POVINDP0 -.0801 P0 industri POVDGP0 0.0040 P0 perdagangan POVTANIP1 -.1600 P1 pertanian POVTANIP2 -.1530 P2 pertanian POVP0 -.1483 P0 total The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE R UM UR UD US UC PJK 138 1.5E11 0.98 0.05 0.34 0.61 0.26 0.69 PAD 138 1.5E11 0.99 0.05 0.34 0.61 0.28 0.67 BHSPJK 138 2.188E11 0.89 0.00 0.03 0.97 0.17 0.83 KAPFIS 138 2.975E11 0.99 0.01 0.05 0.93 0.03 0.96 DAU 138 5.26E11 0.99 0.00 0.04 0.96 0.01 0.98 DPT 138 9.89E11 0.99 0.01 0.15 0.84 0.11 0.88 GPGNKBNTNK 138 6.683E9 0.89 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 GIND 138 6.0078E8 0.82 0.00 0.00 1.00 0.09 0.91 GDG 138 7.7262E8 0.79 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 GDGKAP 138 20.6027 0.73 0.00 0.01 0.99 0.23 0.77 GIFR 138 2.975E11 0.89 0.02 0.00 0.98 0.07 0.91 GLN 138 8.372E11 0.99 0.00 0.13 0.87 0.09 0.91 G 138 1.465E12 0.99 0.01 0.08 0.91 0.05 0.94 FISGAP 138 1.161E12 0.98 0.03 0.06 0.92 0.02 0.95 FISAUTO 138 7.9781 0.93 0.01 0.07 0.92 0.01 0.98 ASP 138 14478615 0.86 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 PDRBPGNKBNTNK 138 5.081E13 0.95 0.00 0.08 0.92 0.19 0.81 PDRBTANI 138 5.081E13 0.96 0.00 0.11 0.89 0.21 0.79 PDRBTANIKAP 138 2177259 0.70 0.08 0.29 0.63 0.04 0.88 PDRBMKN 138 1.984E14 0.73 0.00 0.00 1.00 0.14 0.86 PDRBINDTANI 138 1.984E14 0.90 0.00 0.00 1.00 0.03 0.97 PDRBIND 138 1.984E14 0.97 0.00 0.05 0.95 0.01 0.99 PDRBINDKAP 138 964183 0.99 0.01 0.00 0.99 0.00 0.99 PDRBDG 138 3.854E14 0.89 0.01 0.07 0.92 0.26 0.74 PDRBDGKAP 138 6230261 0.44 0.04 0.63 0.34 0.18 0.78 PDRBNONTANI 138 6.339E14 0.99 0.01 0.18 0.81 0.25 0.74 PDRB 138 8.8E14 0.99 0.01 0.21 0.78 0.28 0.71 PDRBKAP 138 16782293 0.98 0.06 0.22 0.72 0.14 0.80 SHPDRBTANI 138 22.9850 0.87 0.00 0.01 0.99 0.13 0.87 SHPDRBIND 138 42.3999 0.91 0.06 0.18 0.75 0.06 0.88 SHPDRBDG 138 173.6 0.27 0.00 0.85 0.15 0.39 0.60 TKTANI 138 537361 0.92 0.00 0.06 0.94 0.19 0.81 TKIND 138 112529 0.93 0.00 0.00 0.99 0.06 0.93 TKDG 138 342419 0.88 0.01 0.11 0.88 0.32 0.67 TK 138 1530795 0.98 0.01 0.29 0.70 0.39 0.60 UPHTANI 138 10851.6 0.89 0.05 0.04 0.92 0.18 0.78 UPHIND 138 33556.8 0.83 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 UPHDG 138 32973.4 0.38 0.01 0.23 0.76 0.01 0.98 EXPTANI 138 1884.0 0.77 0.01 0.01 0.98 0.21 0.77 EXPIND 138 10115.2 0.67 0.00 0.01 0.99 0.28 0.72 EXPDG 138 9327.2 0.60 0.01 0.00 0.99 0.21 0.79 GINI 138 0.00125 0.35 0.01 0.04 0.95 0.23 0.75 POVTANIP0 138 67.3567 0.46 0.01 0.25 0.74 0.00 0.99 POVINDP0 138 65.5431 0.20 0.00 0.11 0.89 0.19 0.81 POVDGP0 138 34.4189 0.25 0.00 0.06 0.94 0.27 0.73 POVTANIP1 138 2.8758 0.40 0.01 0.27 0.72 0.00 0.99 POVTANIP2 138 0.2675 0.39 0.01 0.26 0.73 0.00 0.99 POVP0 138 41.8416 0.30 0.00 0.21 0.79 0.04 0.96 Theil Forecast Error Statistics Inequality Coef Variable U1 U Label PJK 0.1809 0.0863 pajak daerah PAD 0.1250 0.0604 PAD BHSPJK 0.3172 0.1669 bagi hasil pajak KAPFIS 0.0866 0.0429 kapasitas fiskal DAU 0.0970 0.0482 DAU DPT 0.0653 0.0323 total pendapatan daerah GPGNKBNTNK 0.2388 0.1214 belanja pertanian GIND 0.4311 0.2276 belanja perindustrian GDG 0.4353 0.2288 belanja perdagangan GDGKAP 0.4540 0.2461 belanja perdagangan per kapita GIFR 0.2594 0.1343 belanja infrastruktur GLN 0.0753 0.0374 belanja lainnya G 0.0823 0.0410 toal belanja daerah FISGAP 0.1139 0.0570 kesenjangan fiskal FISAUTO 0.1597 0.0791 kemandirian fiskal ASP 0.3084 0.1580 panjang jalan aspal PDRBPGNKBNTNK 0.2451 0.1280 PDRB tan. pangan, perkebunan, peternakan PDRBTANI 0.2077 0.1078 PDRB pertanian PDRBTANIKAP 0.4216 0.1966 PDRB pertanian per kapita PDRBMKN 0.6098 0.3394 PDRB industri makanan jadi PDRBINDTANI 0.3796 0.1956 PDRB industri pertanian PDRBIND 0.1981 0.0983 PDRB industri PDRBINDKAP 0.1386 0.0691 PDRB industri per kapita PDRBDG 0.4061 0.2241 PDRB perdagangan PDRBDGKAP 0.7950 0.3422 PDRB perdagangan per kapita PDRBNONTANI 0.1383 0.0713 PDRB non pertanian PDRB 0.1383 0.0714 PDRB total PDRBKAP 0.1716 0.0828 PDRB per kapita SHPDRBTANI 0.1999 0.1011 Share PDRB pertanian SHPDRBIND 0.2790 0.1331 Share PDRB industri SHPDRBDG 0.7353 0.3355 Share PDRB perdagangan TKTANI 0.2954 0.1557 Tenaga kerja pertanian TKIND 0.3228 0.1680 Tenaga kerja industri TKDG 0.4061 0.2260 Tenaga kerja perdagangan TK 0.1886 0.0993 Tenaga kerja total UPHTANI 0.1630 0.0810 Upah pertanian UPHIND 0.1963 0.0987 Upah industri UPHDG 0.2153 0.1069 Upah perdagangan EXPTANI 0.1500 0.0749 Pengeluaran per kapita pertanian EXPIND 0.2484 0.1262 Pengeluaran per kapita industri EXPDG 0.2081 0.1043 Pengeluaran per kapita perdagangan GINI 0.1040 0.0518 Indeks Gini POVTANIP0 0.3954 0.2006 P0 pertanian POVINDP0 0.5391 0.2830 P0 industri POVDGP0 0.5582 0.3003 P0 perdagangan POVTANIP1 0.5008 0.2556 P1 pertanian POVTANIP2 0.5555 0.2847 P2 pertanian POVP0 0.4279 0.2192 P0 total Lampiran 8. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1 proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASITANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 1; memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1; GPGNKBNTNK = 1.5GPGNKBNTNK; SS1: meningkatkan belanja pertanian 50 ; GIND = 1.25GIND; ; SS2: meningkatkan belanja perindustrian 25 ; GDG = 1.5GDG; ; SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50 ; BHSPJK = 1.5BHSPJK; ; SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50 ; PM = 1.9PM; ; SS5: meningkatkan penanaman modal 90 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK; PJKL = LAG12PJK; BHSPJKL = LAG12BHSPJK; DAUL = LAG12DAU; GPGNKBNTNKL = LAG12GPGNKBNTNK; GINDL = LAG12GIND; GDGL = LAG12GDG; GIFRL = LAG12GIFR; GLNL = LAG12GLN; UPHTANIL = LAG12UPHTANI; UPHINDL = LAG12UPHIND; UPHDGL = LAG12UPHDG; EXPTANIL = LAG12EXPTANI; GINIL = LAG12GINI; PDRBL = LAG12PDRB; IF TAHUN 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324 PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run; Lampiran 9. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 47 Endogenous 47 Parameters 110 Equations 47 Number of Statements 64 Program Lag Length 12 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASITANI Solution Summary Variables Solved 47 Simulation Lag Length 12 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.76E-14 Maximum Iterations 5 Total Iterations 147 Average Iterations 2.041667 Observations Processed Read 84 Lagged 12 Solved 72 First 13 Last 84 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev PJK 72 72 701587 571076 661968 561239 PAD 72 72 1072631 709248 1033012 683898 BHSPJK 72 72 594131 313619 687845 275419 KAPFIS 72 72 2057544 1155360 2111639 1081172 DAU 72 72 5144042 1788199 4940881 1671822 DPT 72 72 8832997 3577672 8683931 3375317 GIND 72 72 29797.9 30816.8 26594.2 15545.7 GDG 72 72 28791.2 16260.6 30623.3 11956.9 GDGKAP 72 72 6.6121 4.4821 6.8017 2.7733 GIFR 72 72 1347830 555571 1177479 306940 GLN 72 72 6746003 2944902 6710784 2852984 G 72 72 8731394 3577070 8524453 3301536 FISGAP 72 72 6673850 2723013 6412813 2566558 FISAUTO 72 72 11.8259 3.8890 11.6668 4.3955 ASP 72 72 8965.4 4250.0 7133.2 2397.6 PDRBPGNKBNTNK 72 72 13143306 9269720 16343583 8017590 PDRBTANI 72 72 16468820 11052298 19669098 9530256 PDRBTANIKAP 72 72 3230.7 944.9 4224.1 1697.0 PDRBMKN 72 72 4119624 7276321 4834442 4412624 PDRBINDTANI 72 72 5747009 7810350 6461827 4813805 PDRBIND 72 72 8970669 12562364 9685488 9601428 PDRBINDKAP 72 72 1396.8 910.7 1712.4 749.2 PDRBDG 72 72 10313081 9459434 12001983 10445519 PDRBDGKAP 72 72 1897.0 729.6 2602.1 2007.6 PDRBNONTANI 72 72 44445013 37789071 46848734 34876002 PDRB 72 72 60913834 48307377 66517831 43774479 PDRBKAP 72 72 11547.7 3567.7 13561.8 5306.9 SHPDRBTANI 72 72 28.9706 6.7997 32.2616 8.0607 SHPDRBIND 72 72 11.2111 5.9554 13.1184 4.6242 SHPDRBDG 72 72 16.2577 3.0407 16.2196 11.0455 TKTANI 72 72 1167.7 586.6 1095.9 565.4 TKIND 72 72 150.2 114.5 191.6 130.7 TKDG 72 72 375.8 265.5 458.8 267.6 TK 72 72 2239.2 1228.9 2291.9 1240.9 UPHTANI 72 72 595.4 158.7 653.4 149.3 UPHIND 72 72 750.4 188.7 759.7 47.2138 UPHDG 72 72 751.2 117.4 796.5 119.8 EXPTANI 72 72 265.7 58.1629 289.1 46.2403 EXPIND 72 72 331.9 81.1571 346.3 18.9589 EXPDG 72 72 420.1 93.1396 431.9 65.1443 GINI 72 72 0.3337 0.0385 0.3332 0.0158 POVTANIP0 72 72 19.3383 8.8037 14.7662 8.0324 POVINDP0 72 72 14.7422 8.1563 13.2549 3.9666 POVDGP0 72 72 9.1491 6.2167 8.2471 2.8310 POVTANIP1 72 72 3.0948 1.8066 2.1630 1.5410 POVTANIP2 72 72 0.8360 0.5668 0.5502 0.4619 POVP0 72 72 15.2406 6.7819 11.8792 5.0768 Lampiran 10. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1 proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 0; memilih 11 provinsi non pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0; GPGNKBNTNK = 1.5GPGNKBNTNK; SS1: meningkatkan belanja pertanian 50 ; GIND = 1.5GIND; ; SS2: meningkatkan belanja perindustrian 50 ; GDG = 1.5GDG; ; SS3: meningkatkan belanja perdagangan 50 ; BHSPJK = 1.5BHSPJK; ; SS4: meningkatkan bagi hasil pjak 50 ; PM = 1.5PM; ; SS5: meningkatkan penanaman modal 50 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln GPGNKBNTNK; PJKL = LAG11PJK; BHSPJKL = LAG11BHSPJK; DAUL = LAG11DAU; GPGNKBNTNKL = LAG11GPGNKBNTNK; GINDL = LAG11GIND; GDGL = LAG11GDG; GIFRL = LAG11GIFR; GLNL = LAG11GLN; UPHTANIL = LAG11UPHTANI; UPHINDL = LAG11UPHIND; UPHDGL = LAG11UPHDG; EXPTANIL = LAG11EXPTANI; GINIL = LAG11GINI; PDRBL = LAG11PDRB; IF TAHUN 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324 PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run; Lampiran 11. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario Peningkatan Belanja Pertanian 50 SS1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 47 Endogenous 47 Parameters 110 Equations 47 Number of Statements 64 Program Lag Length 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASINONTANI Solution Summary Variables Solved 47 Simulation Lag Length 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.67E-15 Maximum Iterations 4 Total Iterations 134 Average Iterations 2.030303 Observations Processed Read 77 Lagged 11 Solved 66 First 12 Last 77 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev PJK 66 66 2206547 1970408 2451819 2191362 PAD 66 66 3236409 2816452 3481682 3054401 BHSPJK 66 66 1586140 1251062 1424464 1036432 KAPFIS 66 66 7059179 5234449 7142775 5411547 DAU 66 66 6673155 6382405 6891968 6462321 DPT 66 66 15971664 11555662 16274074 11984648 GIND 66 66 45232.8 52590.9 46550.8 46779.5 GDG 66 66 62410.5 59125.3 59921.0 46433.6 GDGKAP 66 66 8.4143 8.3619 7.5107 5.7733 GIFR 66 66 2184644 1479057 2205820 1248219 GLN 66 66 12576610 9650519 12495637 10117556 G 66 66 15549496 11210980 15488528 11663151 FISGAP 66 66 8490318 8118739 8345753 8378123 FISAUTO 66 66 20.2826 7.7979 21.2322 7.3969 ASP 66 66 10718.7 9885.9 12609.4 8303.6 PDRBPGNKBNTNK 66 66 26154600 28556535 30875311 27136013 PDRBTANI 66 66 32041784 32004865 36762495 30671753 PDRBTANIKAP 66 66 2942.1 2162.7 4288.2 3038.0 PDRBMKN 66 66 17668587 27185471 16006625 20205049 PDRBINDTANI 66 66 33880510 40672226 32218547 38131045 PDRBIND 66 66 70524948 73655911 68862985 77636397 PDRBINDKAP 66 66 7155.2 7181.9 7007.6 7336.6 PDRBDG 66 66 43022279 53534147 37736865 39296001 PDRBDGKAP 66 66 3556.6 1875.1 3768.4 3191.4 PDRBNONTANI 66 66 1.8978E8 1.733E8 1.8283E8 1.5616E8 PDRB 66 66 2.2182E8 2.0269E8 2.1959E8 1.83E8 PDRBKAP 66 66 24586.4 20844.4 25996.7 23457.3 SHPDRBTANI 66 66 14.3341 5.6455 18.7524 7.9511 SHPDRBIND 66 66 27.6265 14.2568 27.3753 19.0957 SHPDRBDG 66 66 18.0491 6.9220 15.4731 13.5943 TKTANI 66 66 2149.7 2549.5 2352.5 2066.1 TKIND 66 66 934.6 1169.0 848.1 1074.2 TKDG 66 66 1336.1 1537.2 1131.1 1089.4 TK 66 66 6078.2 6830.5 5989.6 5701.0 UPHTANI 66 66 606.4 270.7 636.0 227.0 UPHIND 66 66 1007.4 394.0 1011.3 357.8 UPHDG 66 66 907.6 184.8 890.3 168.0 EXPTANI 66 66 298.6 73.7530 293.6 55.9619 EXPIND 66 66 435.4 161.9 423.8 104.3 EXPDG 66 66 479.5 138.2 480.9 79.3843 GINI 66 66 0.3423 0.0349 0.3422 0.0232 POVTANIP0 66 66 18.9749 7.0756 20.4218 7.7579 POVINDP0 66 66 10.7624 6.9124 12.1091 4.5324 POVDGP0 66 66 8.2358 5.5415 8.5133 2.9516 POVTANIP1 66 66 2.8927 1.2949 3.2469 1.4810 POVTANIP2 66 66 0.7540 0.3715 0.8740 0.4438 POVP0 66 66 12.3557 4.7660 14.1779 4.6261 Lampiran 12. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SS1 SS2 SS3 SS4 SS5 PM Penanaman Modal 1 90.0 PJK Pajak daerah 1.4 0.6 1.2 0.1 18.4 PAD Pendapatan asli daerah 0.9 0.4 0.7 0.1 11.7 BHSPJK Bagi hasil pajak -0.1 1.8 2.3 50.0 0.7 KAPFIS Kapasitas fiskal 0.4 0.8 1.1 9.7 5.9 DAU Dana alokasi umum -0.8 -0.4 -0.5 -0.1 -0.2 DPT Total pendapatan daerah -0.4 -0.1 0.0 2.3 1.3 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 0.0 0.0 1.2 0.5 GIND Belanja perindustrian -0.7 25.0 -0.3 1.4 0.5 GDG Belanja perdagangan -0.5 -0.1 50.0 2.6 1.2 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita -0.5 -0.1 45.1 1.8 1.3 GIFR Belanja infratruktur 0.0 0.2 0.2 3.0 1.4 GLN Belanja lainnya -0.4 -0.1 -0.1 1.4 0.5 G Total belanja daerah 1.5 0.1 0.1 1.6 0.6 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.9 -0.2 -0.3 -1.1 -1.1 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 -0.1 0.0 0.1 -0.2 1.3 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.0 0.0 0.3 2.8 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 36.6 0.0 0.0 1.1 3.6 PDRBTANI PDRB pertanian 28.7 0.0 0.0 0.8 2.8 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 31.8 0.0 0.0 0.6 3.3 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi -0.9 45.1 -0.4 1.7 1.1 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian -0.6 33.8 -0.3 1.3 0.8 PDRBIND PDRB industri -0.4 22.6 -0.2 0.8 0.5 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita -0.5 28.6 -0.3 0.8 0.7 PDRBDG PDRB perdagangan -0.3 0.0 23.4 1.8 7.4 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita -0.3 0.0 32.7 1.5 8.2 PDRBNONTANI PDRB non pertanian -0.2 4.7 6.0 0.6 2.0 PDRB PDRB total 6.9 3.5 4.5 0.7 2.2 PDRBKAP PDRB per kapita 8.0 3.9 6.7 0.6 2.6 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 5.7 -0.6 -1.2 0.0 0.1 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 -1.3 1.8 -0.5 0.0 -0.2 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 -1.1 -0.4 3.5 0.2 0.9 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 9.0 0.0 0.0 0.6 3.7 TKIND Jumlah tenaga kerja industri -0.2 7.1 0.0 0.5 1.3 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan -0.1 0.0 9.9 1.0 4.5 TK Jumlah tenaga kerja total 4.1 0.6 2.1 0.5 2.8 UPHTANI Upah pertanian 4.6 0.0 0.0 0.1 0.4 UPHIND Upah industri -0.1 2.9 0.0 0.1 0.1 UPHDG Upah perdagangan 0.0 0.0 5.8 0.3 1.2 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 2.3 0.0 0.0 0.04 0.2 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 0.0 1.8 0.0 0.06 0.0 EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan 0.0 0.0 4.8 0.23 1.0 GINI Indeks Gini 3 -0.007 -0.001 0.004 0.000 0.001 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -1.51 -0.07 0.26 -0.01 -0.05 POVINDP0 P0 industri 2 -0.29 -0.44 0.19 0.00 0.02 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -0.30 -0.05 -0.79 -0.04 -0.17 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.3 -0.01 0.04 0.00 -0.01 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.1 0.00 0.01 0.00 0.00 POVP0 P0 total 2 -0.84 -0.17 0.03 -0.01 -0.05 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin Lampiran 13. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SS1 SS2 SS3 SS4 SS5 PM Penanaman Modal 1 50.0 PJK Pajak daerah 0.2 0.2 0.4 0.1 14.1 PAD Pendapatan asli daerah 0.1 0.1 0.3 0.1 9.9 BHSPJK Bagi hasil pajak 0.0 1.8 1.9 50.0 1.0 KAPFIS Kapasitas fiskal 0.1 0.4 0.5 13.4 5.0 DAU Dana alokasi umum -0.6 -0.5 -0.7 -0.3 -0.4 DPT Total pendapatan daerah -0.2 0.0 0.0 5.8 2.0 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 0.0 0.0 3.8 1.1 GIND Belanja perindustrian -0.4 50.0 -0.3 3.6 0.8 GDG Belanja perdagangan -0.3 -0.1 50.0 6.1 1.8 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita -0.2 0.0 67.6 8.3 1.4 GIFR Belanja infratruktur 0.0 0.2 0.2 7.5 2.3 GLN Belanja lainnya -0.2 -0.1 -0.1 3.5 0.9 G Total belanja daerah 0.8 0.1 0.1 4.0 1.1 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.4 -0.2 -0.2 -4.1 -2.4 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 -0.1 0.0 0.1 -0.8 1.7 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.0 0.0 0.8 4.0 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 15.6 0.0 0.0 2.2 4.3 PDRBTANI PDRB pertanian 12.8 0.0 0.0 1.8 3.5 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 12.1 0.0 0.0 2.5 2.9 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi -0.3 28.7 -0.2 2.3 1.0 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian -0.1 14.3 -0.1 1.2 0.5 PDRBIND PDRB industri -0.1 6.7 0.0 0.5 0.2 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita -0.1 8.5 -0.1 0.9 0.2 PDRBDG PDRB perdagangan -0.1 0.0 12.9 2.6 6.3 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita -0.1 0.0 35.9 6.5 6.0 PDRBNONTANI PDRB non pertanian 0.0 2.5 2.6 0.7 1.4 PDRB PDRB total 1.9 2.1 2.2 0.9 1.7 PDRBKAP PDRB per kapita 1.8 2.3 5.3 1.6 1.4 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 1.6 -0.4 -1.0 0.1 0.3 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 -0.2 1.5 -0.5 -0.2 -0.5 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 -0.1 -0.3 4.1 0.6 0.8 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 4.4 0.0 0.0 1.2 4.4 TKIND Jumlah tenaga kerja industri -0.1 5.0 0.0 0.5 0.8 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 0.0 0.0 7.4 1.7 5.5 TK Jumlah tenaga kerja total 1.7 0.7 1.4 0.9 2.9 UPHTANI Upah pertanian 2.4 0.0 0.0 0.4 0.4 UPHIND Upah industri 0.0 2.5 0.0 0.3 0.1 UPHDG Upah perdagangan 0.0 0.0 7.6 1.5 1.2 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 1.1 0.0 0.0 0.2 0.2 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 0.0 1.8 0.0 0.2 0.0 EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan 0.0 0.0 6.3 1.2 1.0 GINI Indeks Gini 3 -0.002 -0.001 0.005 0.000 0.001 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -0.68 -0.05 0.27 -0.08 -0.06 POVINDP0 P0 industri 2 -0.08 -0.49 0.20 -0.03 0.02 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -0.08 -0.04 -1.22 -0.26 -0.20 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.12 -0.01 0.04 -0.02 -0.01 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.03 0.00 0.01 0.00 0.00 POVP0 P0 total 2 -0.35 -0.18 -0.04 -0.09 -0.06 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin Lampiran 14. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASITANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 1; memilih 12 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 1; PM = 1.9PM; BHSPJK = 1.5BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2GPGNKBNTNK; GIND = 1.5GIND; GDG = 1.5GDG; GLN = 0.995GLN; SM4: meningkatkan penanaman modal 90, bagi hasil pajak 50, belanja pertanian 100, belanja perindustrian 50, dan belanja perdagangan 50, serta menurunkan belanja lainnya 0.5 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PROC SORT DATA=WORK.SIMULASITANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASITANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN; PJKL = LAG12PJK; BHSPJKL = LAG12BHSPJK; DAUL = LAG12DAU; GPGNKBNTNKL = LAG12GPGNKBNTNK; GINDL = LAG12GIND; GDGL = LAG12GDG; GIFRL = LAG12GIFR; GLNL = LAG12GLN; UPHTANIL = LAG12UPHTANI; UPHINDL = LAG12UPHIND; UPHDGL = LAG12UPHDG; EXPTANIL = LAG12EXPTANI; GINIL = LAG12GINI; PDRBL = LAG12PDRB; IF TAHUN 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324 PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run; Lampiran 15. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 43 Endogenous 43 Parameters 110 Equations 43 Number of Statements 56 Program Lag Length 12 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASITANI Solution Summary Variables Solved 43 Simulation Lag Length 12 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 4.97E-15 Maximum Iterations 4 Total Iterations 146 Average Iterations 2.027778 Observations Processed Read 84 Lagged 12 Solved 72 First 13 Last 84 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev PJK 72 72 701587 571076 803895 654833 PAD 72 72 1072631 709248 1174939 772212 KAPFIS 72 72 2354610 1287727 2456918 1364693 DAU 72 72 5144042 1788199 4835709 1632619 DPT 72 72 9130063 3711943 8924037 3576723 GDGKAP 72 72 9.9182 6.7231 9.9182 6.7231 GIFR 72 72 1347830 555571 1229494 355327 G 72 72 8859346 3619483 8741011 3484975 FISGAP 72 72 6504737 2648812 6284093 2544485 FISAUTO 72 72 11.6567 3.8493 13.0808 5.4647 ASP 72 72 8965.4 4250.0 7355.9 2545.5 PDRBPGNKBNTNK 72 72 13143306 9269720 20508829 9435831 PDRBTANI 72 72 16468820 11052298 23834343 10916472 PDRBTANIKAP 72 72 3230.7 944.9 5180.8 2092.5 PDRBMKN 72 72 4119624 7276321 8681875 10441689 PDRBINDTANI 72 72 5747009 7810350 10309260 10322339 PDRBIND 72 72 8970669 12562364 13532921 14301234 PDRBINDKAP 72 72 1396.8 910.7 2547.3 2248.8 PDRBDG 72 72 10313081 9459434 15735196 11868790 PDRBDGKAP 72 72 1897.0 729.6 3662.4 2952.3 PDRBNONTANI 72 72 44445013 37789071 54429380 38024731 PDRB 72 72 60913834 48307377 78263723 48317384 PDRBKAP 72 72 11547.7 3567.7 16413.7 7136.5 SHPDRBTANI 72 72 28.9706 6.7997 33.1656 8.2993 SHPDRBIND 72 72 11.2111 5.9554 14.9278 8.0655 SHPDRBDG 72 72 16.2577 3.0407 19.0752 13.9609 TKTANI 72 72 1167.7 586.6 1215.5 613.6 TKIND 72 72 150.2 114.5 219.0 162.3 TKDG 72 72 375.8 265.5 526.2 294.1 TK 72 72 2239.2 1228.9 2506.1 1322.9 UPHTANI 72 72 595.4 158.7 678.7 159.7 UPHIND 72 72 750.4 188.7 796.4 103.0 UPHDG 72 72 751.2 117.4 852.3 168.3 EXPTANI 72 72 265.7 58.1629 294.7 48.9656 EXPIND 72 72 331.9 81.1571 357.1 34.0985 EXPDG 72 72 420.1 93.1396 457.0 86.4067 GINI 72 72 0.3337 0.0385 0.3328 0.0176 POVTANIP0 72 72 19.3383 8.8037 13.7946 8.1225 POVINDP0 72 72 14.7422 8.1563 12.5854 3.4083 POVDGP0 72 72 9.1491 6.2167 7.0560 3.6179 POVTANIP1 72 72 3.0948 1.8066 1.9825 1.5597 POVTANIP2 72 72 0.8360 0.5668 0.4971 0.4680 POVP0 72 72 15.2406 6.7819 11.0056 5.0151 Lampiran 16. Program Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.SIMULASINONTANI; set work.propoor; IF KODESHTANI = 0; memilih 11 provinsi pertanian dengan identitas KODESHTANI = 0; PM = 1.25PM; BHSPJK = 1.5BHSPJK; GPGNKBNTNK = 2.5GPGNKBNTNK; GIND = 1.5GIND; GDG = 1.5GDG; GLN = 0.99GLN; SM4: meningkatkan penanaman modal 25, bagi hasil pajak 50, belanja pertanian 150, belanja perindustrian 50, dan belanja perdagangan 50, serta menurunkan belanja lainnya 1.0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PROC SORT DATA=WORK.SIMULASINONTANI; BY TAHUN; RUN; PROC SIMNLIN DATA=WORK.SIMULASINONTANI dynamic simulate; endogenous PJK PAD KAPFIS DAU DPT GDGKAP GIFR G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln BHSPJK GPGNKBNTNK GIND GDG GLN; PJKL = LAG11PJK; BHSPJKL = LAG11BHSPJK; DAUL = LAG11DAU; GPGNKBNTNKL = LAG11GPGNKBNTNK; GINDL = LAG11GIND; GDGL = LAG11GDG; GIFRL = LAG11GIFR; GLNL = LAG11GLN; UPHTANIL = LAG11UPHTANI; UPHINDL = LAG11UPHIND; UPHDGL = LAG11UPHDG; EXPTANIL = LAG11EXPTANI; GINIL = LAG11GINI; PDRBL = LAG11PDRB; IF TAHUN 2005; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324 PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; run; Lampiran 17. Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Skenario SM4 The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 43 Endogenous 43 Parameters 110 Equations 43 Number of Statements 56 Program Lag Length 11 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= SIMULASINONTANI Solution Summary Variables Solved 43 Simulation Lag Length 11 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.39E-11 Maximum Iterations 5 Total Iterations 145 Average Iterations 2.19697 Observations Processed Read 77 Lagged 11 Solved 66 First 12 Last 77 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev PJK 66 66 2206547 1970408 2651051 2375012 PAD 66 66 3236409 2816452 3680913 3226412 KAPFIS 66 66 7852249 5758381 8296753 6148187 DAU 66 66 6673155 6382405 6706500 6381059 DPT 66 66 16764734 12063846 17242584 12542107 GDGKAP 66 66 12.6215 12.5429 12.6215 12.5429 GIFR 66 66 2184644 1479057 2393758 1387337 G 66 66 15803274 11373557 16012389 11477183 FISGAP 66 66 7951025 7917966 7715636 7748818 FISAUTO 66 66 19.9892 7.7590 21.2870 7.9763 ASP 66 66 10718.7 9885.9 12967.0 8490.9 PDRBPGNKBNTNK 66 66 26154600 28556535 40926359 33982524 PDRBTANI 66 66 32041784 32004865 46813543 37611035 PDRBTANIKAP 66 66 2942.1 2162.7 5627.9 4021.0 PDRBMKN 66 66 17668587 27185471 20698759 26138965 PDRBINDTANI 66 66 33880510 40672226 36910682 43104357 PDRBIND 66 66 70524948 73655911 73555119 81343861 PDRBINDKAP 66 66 7155.2 7181.9 7610.8 7983.3 PDRBDG 66 66 43022279 53534147 44180220 40583917 PDRBDGKAP 66 66 3556.6 1875.1 5287.3 4876.3 PDRBNONTANI 66 66 1.8978E8 1.733E8 1.9396E8 1.6208E8 PDRB 66 66 2.2182E8 2.0269E8 2.4078E8 1.9603E8 PDRBKAP 66 66 24586.4 20844.4 29458.4 26140.7 SHPDRBTANI 66 66 14.3341 5.6455 21.2317 8.0238 SHPDRBIND 66 66 27.6265 14.2568 26.9584 18.6015 SHPDRBDG 66 66 18.0491 6.9220 18.5787 12.4142 TKTANI 66 66 2149.7 2549.5 2643.3 2281.3 TKIND 66 66 934.6 1169.0 895.2 1133.6 TKDG 66 66 1336.1 1537.2 1255.3 1123.7 TK 66 66 6078.2 6830.5 6451.6 6021.4 UPHTANI 66 66 606.4 270.7 672.5 256.7 UPHIND 66 66 1007.4 394.0 1037.3 385.1 UPHDG 66 66 907.6 184.8 966.3 235.5 EXPTANI 66 66 298.6 73.7530 301.7 62.5657 EXPIND 66 66 435.4 161.9 431.4 112.6 EXPDG 66 66 479.5 138.2 514.9 110.5 GINI 66 66 0.3423 0.0349 0.3418 0.0239 POVTANIP0 66 66 18.9749 7.0756 19.0248 8.4410 POVINDP0 66 66 10.7624 6.9124 11.6284 4.8994 POVDGP0 66 66 8.2358 5.5415 6.8967 3.7163 POVTANIP1 66 66 2.8927 1.2949 2.9871 1.6026 POVTANIP2 66 66 0.7540 0.3715 0.7975 0.4787 POVP0 66 66 12.3557 4.7660 13.0878 5.1006 Lampiran 18. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SM1 SM2A SM2B SM3A SM3B SM4 PM Penanaman Modal 1 90.0 90.0 90.0 PJK Pajak daerah 3.2 3.2 3.6 22.0 23.1 23.1 PAD Pendapatan asli daerah 2.0 2.1 2.3 14.0 14.7 14.7 BHSPJK Bagi hasil pajak 4.1 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 KAPFIS Kapasitas fiskal 2.4 10.7 10.8 16.5 16.8 16.8 DAU Dana alokasi umum -1.8 -1.8 -2.1 -2.3 -2.9 -2.9 DPT Total pendapatan daerah -0.5 1.5 1.4 2.7 2.4 2.4 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0 50.0 100.0 100.0 GIND Belanja perindustrian 25.0 25.0 50.0 50.0 50.0 50.0 GDG Belanja perdagangan 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 45.1 45.1 45.1 45.1 45.1 45.1 GIFR Belanja infratruktur 0.4 3.1 3.1 4.4 4.4 4.4 GLN Belanja lainnya -0.6 0.6 0.5 1.0 0.7 -0.5 G Total belanja daerah 1.7 3.1 3.1 3.6 5.0 4.1 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.5 0.5 0.5 -0.6 1.0 -0.1 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 0.1 -0.1 -0.1 1.2 1.1 1.3 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.3 0.3 3.1 3.1 3.1 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 36.7 37.0 37.0 40.3 71.5 71.5 PDRBTANI PDRB pertanian 28.7 29.0 29.0 31.5 55.9 55.9 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 31.8 32.0 32.0 35.0 61.6 61.6 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 45.1 45.2 77.5 78.1 78.1 78.1 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 33.8 33.9 58.1 58.5 58.5 58.5 PDRBIND PDRB industri 22.6 22.6 38.9 39.1 39.1 39.1 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 28.6 28.6 47.6 48.0 48.0 48.0 PDRBDG PDRB perdagangan 23.4 24.1 24.1 30.7 30.7 30.7 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 32.7 33.1 33.1 40.3 40.3 40.3 PDRBNONTANI PDRB non pertanian 10.7 10.9 14.2 16.0 16.0 16.0 PDRB PDRB total 15.1 15.3 17.9 19.8 25.8 25.8 PDRBKAP PDRB per kapita 18.8 19.0 21.6 23.9 30.7 30.7 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 3.4 3.4 2.7 2.8 6.6 6.6 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 0.0 -0.1 1.6 1.5 0.5 0.5 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 2.2 2.3 2.0 2.7 1.8 1.8 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 9.1 9.4 9.4 13.1 20.9 20.9 TKIND Jumlah tenaga kerja industri 7.1 7.2 12.9 14.1 14.1 14.1 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 9.9 10.3 10.3 14.5 14.5 14.5 TK Jumlah tenaga kerja total 6.8 7.1 7.6 10.2 13.8 13.8 UPHTANI Upah pertanian 4.6 4.7 4.7 5.0 8.7 8.7 UPHIND Upah industri 2.9 2.9 4.7 4.8 4.8 4.8 UPHDG Upah perdagangan 5.8 5.9 5.9 7.0 7.0 7.0 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 2.3 2.3 2.3 2.4 4.2 4.2 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 1.8 1.8 3.1 3.1 3.1 3.1 EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan 4.8 4.9 4.9 5.8 5.8 5.8 GINI Indeks Gini 3 -0.003 -0.003 -0.003 -0.003 -0.007 -0.007 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -1.26 -1.26 -1.30 -1.35 -2.48 -2.48 POVINDP0 P0 industri 2 -0.51 -0.51 -0.79 -0.77 -0.96 -0.96 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -1.10 -1.11 -1.14 -1.29 -1.49 -1.49 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.23 -0.23 -0.23 -0.24 -0.44 -0.44 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.07 -0.07 -0.07 -0.07 -0.13 -0.13 POVP0 P0 total 2 -0.94 -0.94 -1.05 -1.10 -1.71 -1.71 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Kombinasi Tahun 2006-2011 Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SM1 SM2A SM2B SM3A SM3B SM4 PM Penanaman Modal 1 25.0 25.0 PJK Pajak daerah 0.8 1.0 1.1 1.3 8.3 8.3 PAD Pendapatan asli daerah 0.6 0.7 0.8 0.9 5.9 5.9 BHSPJK Bagi hasil pajak 3.7 3.7 50.0 50.0 50.0 50.0 KAPFIS Kapasitas fiskal 1.0 1.1 13.7 13.8 16.2 16.2 DAU Dana alokasi umum -1.8 -2.4 -2.5 -3.1 -3.3 -3.3 DPT Total pendapatan daerah -0.3 -0.5 5.0 4.7 5.7 5.7 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 100.0 100.0 150.0 150.0 150.0 GIND Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 GDG Belanja perdagangan 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 50.0 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 67.6 67.6 67.6 67.6 67.6 67.6 GIFR Belanja infratruktur 0.3 0.3 7.4 7.4 8.5 8.5 GLN Belanja lainnya -0.4 -0.6 2.7 2.5 2.9 -1.0 G Total belanja daerah 1.0 1.9 5.7 6.5 7.0 4.2 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.0 2.6 -1.4 0.2 -0.9 -6.3 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 0.1 -0.1 -0.8 -0.9 -0.1 0.0 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.0 0.8 0.8 2.8 2.8 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 15.6 33.1 33.8 51.3 53.2 53.2 PDRBTANI PDRB pertanian 12.8 27.1 27.7 42.0 43.6 43.6 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 12.2 28.6 29.4 45.8 47.2 47.2 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 28.7 28.7 28.7 28.7 29.0 29.0 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 14.3 14.3 14.3 14.3 14.4 14.4 PDRBIND PDRB industri 6.7 6.7 6.7 6.7 6.7 6.7 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 PDRBDG PDRB perdagangan 12.9 12.9 14.0 14.0 17.0 17.0 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 35.9 35.9 37.5 37.5 40.2 40.2 PDRBNONTANI PDRB non pertanian 5.2 5.2 5.4 5.4 6.0 6.0 PDRB PDRB total 6.3 8.5 8.8 11.0 11.7 11.7 PDRBKAP PDRB per kapita 9.4 11.9 12.3 14.7 15.3 15.3 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 0.1 2.1 2.1 4.0 4.1 4.1 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 0.7 0.2 0.1 -0.4 -0.6 -0.6 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 3.4 3.0 3.1 2.7 3.0 3.0 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 4.5 9.4 10.3 15.2 17.4 17.4 TKIND Jumlah tenaga kerja industri 5.0 5.0 5.1 5.1 5.5 5.5 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 7.4 7.4 8.3 8.3 10.9 10.9 TK Jumlah tenaga kerja total 3.9 5.8 6.3 8.2 9.5 9.5 UPHTANI Upah pertanian 2.4 5.1 5.3 8.0 8.2 8.2 UPHIND Upah industri 2.5 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 UPHDG Upah perdagangan 7.6 7.6 8.0 8.0 8.5 8.5 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 1.1 2.4 2.5 3.8 3.9 3.9 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 EXPDG Pengeluaran per kapita perdagangan 6.3 6.3 6.6 6.6 7.0 7.0 GINI Indeks Gini 3 0.002 -0.001 -0.001 -0.003 -0.002 -0.002 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -0.46 -1.25 -1.27 -2.05 -2.07 -2.07 POVINDP0 P0 industri 2 -0.39 -0.48 -0.48 -0.57 -0.56 -0.56 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -1.35 -1.45 -1.52 -1.61 -1.70 -1.70 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.09 -0.23 -0.24 -0.37 -0.38 -0.38 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.03 -0.07 -0.07 -0.11 -0.11 -0.11 POVP0 P0 total 2 -0.58 -0.99 -1.02 -1.42 -1.44 -1.44 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin Lampiran 20. Program Peramalan Variabel Eksogen dengan prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN Tahun 2012-2015 pada software SASETS 9.1.3 Contoh: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam proc import datafile=F:\D\disertasi\data.xls out=work.propoor dbms=excel2002 replace; sheet=final241013; getnames=yes; run; options nodate nonumber; data work.data; set work.propoor; if kodeprov = 1; memilih provinsi NAD dengan kodeprov = 1 proc forecast data=work.data method=stepar trend=2 out=n_exo lead=4 outdata ; id tahun; var PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln POPTANI POPIND POPDG PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; run; proc print data=n_exo FIRSTOBS = 8; run; options nodate nonumber; data data1; set n_exo; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PJK = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then BHSPJK = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then DAU = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GPGNKBNTNK = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GIND = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GDG = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GIFR = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GLN = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then ASP = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBPGNKBNTNK = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBMKN = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then PDRBDG = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKTANI = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKIND = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then TKDG = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHTANI = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHIND = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then UPHDG = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPTANI = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPIND = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then EXPDG = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then GINI = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP0 = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVINDP0 = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVDGP0 = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP1 = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVTANIP2 = 1; if tahun 2011 and _type_=FORECAST then POVP0 = 1; run; data ramal; set data1; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBTBG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; RUN; PROC SIMNLIN data=ramal dynamic simulate stats out=n_endo; endogenous PJK PAD BHSPJK KAPFIS DAU DPT GPGNKBNTNK GIND GDG GDGKAP GIFR GLN G FISGAP FISAUTO ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBTANI PDRBTANIKAP PDRBMKN PDRBINDTANI PDRBIND PDRBINDKAP PDRBDG PDRBDGKAP PDRBNONTANI PDRB PDRBKAP SHPDRBTANI SHPDRBIND SHPDRBDG TKTANI TKIND TKDG TK UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; instruments PM mtr wlyh pop pns ifl gk RET kkyd padln bhssda ghtn gikan dak dptln pdrbhtn pdrbikan pdrbkyu PDRBINDTANILN pdrbindln pdrbtbg pdrbln tkln; PJKL = LAGPJK; BHSPJKL = LAGBHSPJK; DAUL = LAGDAU; GPGNKBNTNKL = LAGGPGNKBNTNK; GINDL = LAGGIND; GDGL = LAGGDG; GIFRL = LAGGIFR; GLNL = LAGGLN; UPHTANIL = LAGUPHTANI; UPHINDL = LAGUPHIND; UPHDGL = LAGUPHDG; EXPTANIL = LAGEXPTANI; GINIL = LAGGINI; PDRBL = LAGPDRB; PARM a0 -94933.9 b0 77276.63 c0 179927.2 d0 36039.57 a1 3.06025 b1 0.004145 c1 -0.0072 d1 0.00757 a2 0.042283 b2 3.330978 c2 107.6154 d2 0.008443 a3 99.61593 b3 0.314815 c3 6.338917 d3 0.046851 a4 0.851747 c4 18.81129 d4 0.542576 c5 0.431706 e0 -4952.5 f0 -1818.01 g0 256753.3 h0 -162696 e1 0.00073 f1 0.002214 g1 0.082805 h1 0.162246 e2 0.002365 f2 0.002753 g2 0.017387 h2 0.302331 e3 0.749475 f3 0.504975 g3 0.625046 h3 0.826398 i0 2489.701 j0 -6374729 k0 -2494254 l0 -1.47E+07 i1 0.000634 j1 24.73811 k1 195.8402 l1 556479.4 i2 0.000148 j2 5711.454 k2 11064.96 l2 24205.45 i3 2.470515 j3 930.0316 l3 1655.791 m0 278.318 n0 507.7032 o0 360.2438 p0 63.05079 m1 0.000028 n1 0.000013 o1 0.000023 p1 0.009624 m2 -1.10432 n2 -0.68291 o2 -0.41858 p2 0.860639 m3 0.138568 n3 0.010769 o3 0.021856 q0 464.3901 r0 247.4232 s0 210.2986 t0 153.6796 q1 0.032354 r1 0.026432 s1 0.221478 t1 0.29305 q2 0.313735 r2 0.622585 s2 -7.69744 t2 -3.50608 u0 129.4432 v0 0.118165 w0 -6.22684 x0 -6.93891 u1 0.448016 v1 -0.00052 w1 -0.17003 x1 -0.0608 u2 -6.34483 v2 -0.00033 w2 60.9337 x2 42.69824 v3 0.000331 w3 0.302195 x3 0.163808 v4 0.702657 y0 -4.59922 z0 -1.23131 aa0 -0.33909 ab0 -0.5193 y1 -0.04699 z1 -0.03177 aa1 -0.00938 ab1 0.460043 y2 44.26502 z2 8.428017 aa2 1.924496 ab2 0.307586 y3 0.111514 z3 0.059236 aa3 0.017944 ab3 0.185324; PJK = a0 + a1PDRBKAP + a2PM + a3MTR + a4PJKL ; BHSPJK = b0 + b1PDRBNONTANI + b2WLYH + b3BHSPJKL ; DAU = c0 + c1PDRBL + c2POP + c3WLYH + c4PNS + c5DAUL ; GPGNKBNTNK = d0 + d1KAPFIS + d2DAU + d3DAK + d4GPGNKBNTNKL ; GIND = e0 + e1KAPFIS + e2DAU + e3GINDL ; GDG = f0 + f1KAPFIS + f2DAU + f3GDGL ; GIFR = g0 + g1KAPFIS + g2DAU + g3GIFRL ; GLN = h0 + h1KAPFIS + h2DAU + h3GLNL ; ASP = i0 + i1GIFR + i2PM + i3MTR ; PDRBPGNKBNTNK = j0 + j1GPGNKBNTNK + j2TKTANI + j3ASP ; PDRBMKN = k0 + k1GIND + k2TKIND ; PDRBDG = l0 + l1GDGKAP + l2TKDG + l3ASP ; TKTANI = m0 + m1PDRBTANI + m2UPHTANI + m3ASP ; TKIND = n0 + n1PDRBIND + n2UPHIND + n3ASP ; TKDG = o0 + o1PDRBDG + o2UPHDG + o3ASP ; UPHTANI = p0 + p1PDRBTANIKAP + p2UPHTANIL ; UPHIND = q0 + q1PDRBINDKAP + q2UPHINDL ; UPHDG = r0 + r1PDRBDGKAP + r2UPHDGL ; EXPTANI = s0 + s1UPHTANI + s2IFL ; EXPIND = t0 + t1UPHIND + t2IFL ; EXPDG = u0 + u1UPHDG + u2IFL ; GINI = v0 + v1SHPDRBTANI + v2SHPDRBIND + v3SHPDRBDG + v4GINIL ; POVTANIP0 = w0 + w1EXPTANI + w2GINI + w3GK ; POVINDP0 = x0 + x1EXPIND + x2GINI + x3GK ; POVDGP0 = y0 + y1EXPDG + y2GINI + y3GK ; POVTANIP1 = z0 + z1EXPTANI + z2GINI + z3GK ; POVTANIP2 = aa0 + aa1EXPTANI + aa2GINI + aa3GK ; POVP0 = ab0 + ab1POVTANIP0 + ab2POVINDP0 + ab3POVDGP0 ; PAD = PJK + RET + KKYD + PADLN; KAPFIS = PAD + BHSPJK + BHSSDA; GDGKAP = GDGPOP; G = GPGNKBNTNK + GIND + GDG + GIFR + GLN; DPT = PAD + DAU + DAK + BHSPJK + BHSSDA + DPTLN; FISGAP = G - KAPFIS; FISAUTO = PADG100; PDRBTANI = PDRBPGNKBNTNK + PDRBHTN + PDRBIKAN; PDRBINDTANI = PDRBMKN + PDRBKYU + PDRBINDTANILN; PDRBIND = PDRBINDTANI + PDRBINDLN; PDRBNONTANI = PDRBIND + PDRBDG + PDRBLN; PDRB = PDRBTANI + PDRBNONTANI; PDRBTANIKAP = pdrbtanipop; PDRBINDKAP = pdrbindpop; PDRBDGKAP = pdrbdgpop; PDRBKAP = PDRBPOP; TK = tktani + tkind + tkdg + tkln; SHPDRBTANI = PDRBTANIPDRB100; SHPDRBIND = PDRBINDPDRB100; SHPDRBDG = PDRBDGPDRB100; RANGE tahun 2012 TO 2015; run; proc print data=n_endo; var PJK BHSPJK DAU GPGNKBNTNK GIND GDG GIFR GLN ASP PDRBPGNKBNTNK PDRBMKN PDRBDG TKTANI TKIND TKDG UPHTANI UPHIND UPHDG EXPTANI EXPIND EXPDG GINI POVTANIP0 POVINDP0 POVDGP0 POVTANIP1 POVTANIP2 POVP0; RUN; Lampiran 21. Nilai-nilai Ramalan Variabel Eksogen dengan Prosedur FORECAST dan Variabel Endogen dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN 1. Pajak Daerah Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 733 696 880 943 1 029 704 1 180 326 Sumut 3 382 275 3 601 699 3 852 065 4 128 749 Sumbar 926 930 966 974 1 021 186 1 087 285 Riau 1 649 714 1 591 850 1 464 396 1 277 204 Jambi 1 027 961 1 320 922 1 615 403 1 911 387 Sumsel 1 898 867 2 218 655 2 558 417 2 915 037 Lampung 1 002 357 997 576 1 002 550 1 015 815 Kepri 1 040 041 1 154 215 1 283 018 1 421 199 Jabar 9 154 533 9 647 932 10 144 397 10 643 317 Jateng 5 129 074 5 582 798 6 045 140 6 514 803 DIY 1 036 596 1 259 719 1 488 395 1 721 822 Jatim 8 672 948 9 444 008 10 242 445 11 064 162 Banten 3 664 039 4 007 228 4 372 548 4 756 340 Bali 2 753 377 2 900 304 3 080 180 3 287 374 NTB 657 762 854 474 1 068 411 1 296 826 NTT 264 741 289 483 327 069 375 669 Kalbar 1 012 745 1 182 331 1 368 876 1 569 623 Kalteng 867 316 1 133 071 1 410 879 1 698 478 Kalsel 1 467 489 1 584 119 1 717 769 1 865 986 Kaltim 3 393 073 3 846 499 4 320 528 4 812 169 Sulut 590 642 694 304 812 152 942 391 Sulteng 647 217 925 946 1 215 954 1 515 685 Sulsel 1 842 088 2 062 703 2 315 480 2 595 506 2. Bagi Hasil Pajak Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 845 189 850 005 844 476 838 128 Sumut 1 521 215 1 639 978 1 725 340 1 800 625 Sumbar 604 385 685 653 729 921 762 195 Riau 1 890 395 2 078 669 2 201 105 2 301 138 Jambi 715 546 768 735 810 006 849 478 Sumsel 1 464 621 1 555 221 1 650 191 1 746 087 Lampung 567 983 623 401 658 966 688 989 Kepri 572 319 534 533 540 352 555 722 Jabar 3 637 533 3 885 302 4 091 041 4 278 664 Jateng 2 342 194 2 582 559 2 737 169 2 865 202 DIY 403 107 463 248 498 377 527 082 Jatim 3 244 642 3 461 361 3 649 151 3 827 685 Banten 957 191 982 033 1 022 227 1 063 787 Bali 503 399 563 518 609 675 649 108 NTB 412 343 449 473 477 930 503 196 NTT 447 265 491 181 516 246 536 087 Kalbar 931 217 1 113 449 1 204 986 1 266 737 Kalteng 895 995 1 038 688 1 100 134 1 135 052 Kalsel 607 065 649 296 678 395 704 320 Kaltim 2 749 798 2 963 232 3 086 715 3 184 022 Sulut 336 418 368 912 387 571 403 285 Sulteng 531 747 618 175 658 919 686 422 Sulsel 880 779 942 464 1 001 653 1 059 477 Lampiran 21. Lanjutan 3. Kapasitas Fiskal Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 2 330 086 2 048 770 1 758 623 1 469 517 Sumut 5 931 201 6 358 066 6 782 472 7 223 118 Sumbar 2 169 208 2 329 820 2 467 601 2 605 274 Riau 12 729 142 12 801 669 12 738 768 12 593 728 Jambi 3 247 418 3 727 076 4 196 337 4 665 301 Sumsel 7 581 752 8 275 400 8 993 389 9 729 165 Lampung 2 102 852 2 134 972 2 156 994 2 181 766 Kepri 4 874 738 4 794 660 5 584 307 5 710 537 Jabar 16 489 620 17 504 369 18 480 155 19 440 280 Jateng 10 527 339 11 396 387 12 188 299 12 960 956 DIY 1 878 793 2 189 350 2 480 450 2 769 876 Jatim 16 358 378 17 752 840 19 145 752 20 552 686 Banten 5 312 391 5 731 417 6 187 926 6 664 272 Bali 3 937 071 4 202 418 4 486 751 4 791 678 NTB 1 664 573 1 942 588 2 229 154 2 527 008 NTT 1 100 388 1 185 578 1 264 763 1 349 737 Kalbar 2 446 654 2 838 176 3 155 963 3 458 166 Kalteng 2 575 799 3 051 856 3 458 718 3 848 845 Kalsel 4 575 386 5 013 009 5 454 520 5 907 424 Kaltim 20 482 888 21 858 912 23 165 587 24 463 699 Sulut 1 152 571 1 302 681 1 453 142 1 613 050 Sulteng 1 442 079 1 829 164 2 181 845 2 531 007 Sulsel 3 428 130 3 721 952 4 045 439 4 394 811 4. Dana Alokasi Umum Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 6 926 363 6 990 681 7 239 900 7 562 517 Sumut 9 943 022 9 873 163 9 907 951 9 987 773 Sumbar 5 826 433 5 829 187 5 880 497 5 954 776 Riau 2 661 688 2 691 747 2 706 677 2 723 183 Jambi 3 643 707 3 563 663 3 567 265 3 602 841 Sumsel 5 819 631 5 912 230 6 013 117 6 117 931 Lampung 5 415 872 5 709 674 5 896 915 6 035 202 Kepri 1 289 057 1 300 479 1 316 980 1 337 985 Jabar 16 545 503 17 121 210 17 368 900 17 491 256 Jateng 17 955 659 17 898 622 17 837 799 17 774 414 DIY 3 120 412 3 084 038 3 027 026 2 958 534 Jatim 17 799 145 18 320 911 18 540 706 18 630 775 Banten 4 031 607 4 279 869 4 414 426 4 515 430 Bali 3 519 996 3 533 911 3 532 247 3 536 033 NTB 4 018 286 4 164 653 4 272 473 4 365 270 NTT 5 716 197 5 872 994 6 050 136 6 232 414 Kalbar 5 459 515 5 612 867 5 740 112 5 860 057 Kalteng 4 839 652 4 832 466 4 872 282 4 936 459 Kalsel 3 956 816 4 040 644 4 127 569 4 214 013 Kaltim 3 077 126 3 007 297 3 022 735 3 068 364 Sulut 3 572 111 3 395 650 3 351 903 3 362 328 Sulteng 4 066 511 4 081 177 4 142 066 4 219 596 Sulsel 7 936 327 8 149 608 8 302 572 8 431 169 Lampiran 21. Lanjutan 5. Belanja Pertanian Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 372 188 357 079 351 133 350 786 Sumut 476 023 502 468 526 692 550 215 Sumbar 264 660 285 095 299 722 311 391 Riau 347 941 357 420 362 879 365 549 Jambi 223 401 237 412 250 050 262 211 Sumsel 371 724 383 991 399 797 417 692 Lampung 262 447 280 955 296 216 309 324 Kepri 125 596 159 655 184 861 200 281 Jabar 705 169 785 380 847 893 899 626 Jateng 744 125 791 866 833 652 872 041 DIY 126 719 160 510 181 521 195 489 Jatim 831 742 888 980 942 460 992 911 Banten 181 899 235 935 272 058 298 329 Bali 199 056 223 315 239 443 251 362 NTB 204 169 220 365 233 555 245 073 NTT 295 426 305 657 317 030 329 112 Kalbar 307 064 310 868 319 368 330 238 Kalteng 266 286 269 707 275 412 282 435 Kalsel 266 233 276 469 287 109 298 050 Kaltim 423 348 466 308 499 177 526 763 Sulut 219 963 233 294 244 629 255 412 Sulteng 231 923 238 953 247 895 257 988 Sulsel 369 686 391 582 410 956 428 951 6. Belanja Perindustrian Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 104 585 91 460 82 000 75 463 Sumut 80 063 83 044 85 671 88 149 Sumbar 22 320 27 263 31 189 34 408 Riau 56 469 53 081 50 531 48 553 Jambi 23 734 23 984 24 523 25 353 Sumsel 27 610 35 764 42 638 48 575 Lampung 16 345 22 360 27 326 31 394 Kepri 18 055 15 155 13 597 12 571 Jabar 113 658 133 501 149 671 162 781 Jateng 164 315 168 847 172 678 175 963 DIY 4 255 7 128 9 360 11 081 Jatim 188 246 192 422 197 088 201 825 Banten 35 663 36 082 37 047 38 357 Bali 20 491 21 831 23 038 24 175 NTB 10 925 14 503 17 649 20 443 NTT 22 327 26 536 30 168 33 382 Kalbar 17 545 23 543 28 572 32 845 Kalteng 24 261 26 887 29 247 31 451 Kalsel 20 898 23 926 26 723 29 354 Kaltim 39 446 47 680 54 842 61 266 Sulut 18 470 17 872 17 430 17 240 Sulteng 12 249 15 215 17 840 20 245 Sulsel 39 229 46 440 52 442 57 499 Lampiran 21. Lanjutan 7. Belanja Perdagangan Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 32 804 38 529 41 463 43 193 Sumut 77 443 78 546 80 139 82 138 Sumbar 46 881 43 062 41 579 41 340 Riau 61 803 65 144 66 733 67 260 Jambi 23 690 28 207 31 537 34 355 Sumsel 66 315 66 267 68 111 70 959 Lampung 42 284 39 980 39 381 39 514 Kepri 24 790 24 896 26 743 28 013 Jabar 130 321 149 880 162 599 171 485 Jateng 155 242 151 082 150 567 151 843 DIY 27 249 25 279 24 773 24 969 Jatim 155 927 166 663 175 774 183 738 Banten 27 270 36 425 42 429 46 793 Bali 19 007 26 813 31 380 34 372 NTB 19 397 23 743 26 869 29 363 NTT 33 697 33 991 34 803 35 903 Kalbar 34 446 37 312 39 814 42 076 Kalteng 31 985 34 394 36 621 38 786 Kalsel 42 576 41 904 42 782 44 466 Kaltim 95 420 103 041 109 825 116 251 Sulut 27 473 24 288 22 892 22 570 Sulteng 21 817 24 484 26 780 28 925 Sulsel 45 333 51 750 56 128 59 466 8. Belanja Infrastruktur Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 1 891 448 1 730 191 1 609 705 1 516 066 Sumut 2 408 484 2 460 311 2 528 453 2 608 920 Sumbar 1 168 758 1 281 554 1 364 357 1 428 805 Riau 2 870 215 3 157 613 3 332 301 3 429 767 Jambi 1 494 333 1 561 362 1 642 178 1 732 143 Sumsel 2 608 637 2 675 312 2 778 194 2 905 248 Lampung 1 296 245 1 343 026 1 377 346 1 403 253 Kepri 1 180 366 1 414 169 1 625 981 1 769 191 Jabar 4 178 080 4 615 381 4 973 821 5 279 493 Jateng 3 009 655 3 392 807 3 696 812 3 949 706 DIY 693 840 925 346 1 093 162 1 220 829 Jatim 4 019 410 4 557 639 5 013 219 5 416 044 Banten 1 518 294 1 754 761 1 942 705 2 101 378 Bali 905 268 1 232 013 1 459 759 1 627 425 NTB 906 020 1 056 324 1 175 875 1 276 877 NTT 915 931 1 029 538 1 110 184 1 170 798 Kalbar 1 356 232 1 437 067 1 516 119 1 592 640 Kalteng 1 335 042 1 427 947 1 520 399 1 611 607 Kalsel 1 472 947 1 662 770 1 819 489 1 956 451 Kaltim 4 907 732 5 186 626 5 469 416 5 754 456 Sulut 942 898 1 013 017 1 068 542 1 116 671 Sulteng 845 925 1 007 919 1 139 435 1 251 898 Sulsel 1 609 258 1 712 507 1 806 488 1 896 397 Lampiran 21. Lanjutan 9. Total Belanja Daerah Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 15 276 732 15 265 555 15 310 512 15 416 391 Sumut 20 442 404 21 401 496 22 302 394 23 171 575 Sumbar 10 144 754 10 790 895 11 352 811 11 859 767 Riau 15 707 102 16 602 258 17 266 583 17 744 017 Jambi 7 299 611 7 951 698 8 592 820 9 233 434 Sumsel 14 873 132 15 891 233 16 934 017 17 994 248 Lampung 9 958 534 10 502 770 11 009 129 11 471 537 Kepri 6 919 830 7 273 527 7 720 766 8 083 540 Jabar 41 931 446 44 005 307 45 942 568 47 744 553 Jateng 36 141 978 38 156 903 39 925 817 41 502 162 DIY 5 665 400 6 241 068 6 718 498 7 126 519 Jatim 41 907 716 44 502 781 46 962 337 49 288 450 Banten 10 857 879 11 654 635 12 411 097 13 143 971 Bali 8 411 607 9 115 838 9 695 562 10 202 765 NTB 6 843 788 7 452 795 8 029 455 8 584 731 NTT 8 823 798 9 469 955 10 060 391 10 614 159 Kalbar 9 151 027 9 983 912 10 780 757 11 540 620 Kalteng 8 020 070 8 824 206 9 582 185 10 305 382 Kalsel 9 199 754 10 016 273 10 793 270 11 546 428 Kaltim 21 629 169 23 507 790 25 326 645 27 106 413 Sulut 6 730 134 6 956 152 7 154 824 7 354 285 Sulteng 6 688 825 7 295 414 7 874 437 8 441 065 Sulsel 14 499 621 15 428 406 16 304 485 17 138 834 10. Kemandirian Fiskal Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 8.3 9.4 10.5 11.6 Sumut 21.3 21.7 22.4 23.1 Sumbar 15.0 14.9 15.0 15.2 Riau 17.5 16.5 15.4 14.1 Jambi 18.5 20.8 22.8 24.6 Sumsel 16.7 17.9 19.1 20.2 Lampung 13.4 12.8 12.5 12.2 Kepri 18.7 19.6 20.4 21.4 Jabar 28.5 28.7 29.0 29.4 Jateng 22.1 22.6 23.1 23.7 DIY 25.9 27.5 29.3 31.3 Jatim 29.7 30.4 31.2 32.0 Banten 40.0 40.7 41.5 42.5 Bali 40.8 39.9 40.0 40.6 NTB 16.1 18.1 20.0 21.9 NTT 7.3 7.2 7.3 7.6 Kalbar 15.2 16.0 16.8 17.7 Kalteng 14.7 16.6 18.3 20.0 Kalsel 21.3 20.9 20.8 20.9 Kaltim 22.9 23.5 24.1 24.8 Sulut 11.4 12.6 14.0 15.6 Sulteng 13.2 16.2 19.0 21.5 Sulsel 17.2 17.8 18.5 19.4 Lampiran 21. Lanjutan 11. Panjang Jalan Aspal km Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 9 860 10 354 10 873 11 410 Sumut 16 819 17 841 18 874 19 914 Sumbar 7 718 8 172 8 607 9 031 Riau 9 816 10 018 10 148 10 230 Jambi 12 396 13 460 14 533 15 611 Sumsel 14 650 15 950 17 274 18 612 Lampung 7 902 8 308 8 706 9 099 Kepri 5 915 6 309 6 689 7 026 Jabar 24 644 26 489 28 283 30 043 Jateng 31 456 33 459 35 412 37 333 DIY 12 083 13 120 14 115 15 086 Jatim 38 440 41 196 43 900 46 570 Banten 8 813 9 440 10 036 10 614 Bali 13 063 14 133 15 141 16 110 NTB 7 926 8 613 9 281 9 937 NTT 5 980 6 418 6 836 7 242 Kalbar 8 428 8 952 9 474 9 995 Kalteng 6 895 7 327 7 759 8 189 Kalsel 8 560 9 113 9 646 10 166 Kaltim 12 718 13 587 14 458 15 331 Sulut 6 326 6 754 7 173 7 588 Sulteng 8 984 9 772 10 541 11 299 Sulsel 11 125 12 107 13 082 14 055 12. PDRB Pertanian Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 25 448 645 25 697 030 26 281 595 27 074 230 Sumut 46 271 676 49 570 578 52 801 763 56 008 485 Sumbar 16 676 751 18 305 404 19 710 744 20 995 749 Riau 49 584 627 52 375 643 54 900 837 57 245 094 Jambi 21 985 856 24 495 131 26 961 949 29 411 546 Sumsel 36 707 101 40 111 480 43 638 333 47 233 462 Lampung 25 113 408 27 255 862 29 290 951 31 256 487 Kepri 5 409 277 7 492 693 9 187 007 10 440 379 Jabar 71 396 949 77 849 783 83 692 864 89 162 712 Jateng 84 316 881 89 930 680 95 285 322 100 490 258 DIY 19 638 862 22 370 755 24 656 678 26 699 808 Jatim 114 331 653 122 470 810 130 414 891 138 221 426 Banten 15 176 250 18 105 270 20 437 052 22 437 475 Bali 24 800 769 27 448 411 29 742 894 31 852 574 NTB 14 287 200 15 954 024 17 506 525 18 999 281 NTT 13 881 003 14 791 258 15 727 944 16 689 995 Kalbar 17 691 781 18 892 688 20 207 532 21 569 617 Kalteng 12 041 156 13 180 719 14 344 385 15 509 613 Kalsel 17 150 487 18 530 192 19 872 700 21 194 177 Kaltim 36 021 668 39 166 692 42 018 955 44 722 551 Sulut 10 039 353 11 277 172 12 416 021 13 512 589 Sulteng 18 031 891 19 758 317 21 498 597 23 246 664 Sulsel 32 273 571 35 093 372 37 837 040 40 544 317 Lampiran 21. Lanjutan 13. PDRB Industri Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 24 505 450 20 451 132 17 352 870 14 915 168 Sumut 44 863 501 46 604 816 48 196 960 49 736 210 Sumbar 10 561 151 12 102 181 13 326 714 14 373 678 Riau 52 480 833 54 425 673 56 301 491 58 220 968 Jambi 7 590 861 8 100 311 8 568 085 9 067 490 Sumsel 29 916 042 32 862 169 35 355 181 37 595 882 Lampung 9 499 631 11 503 460 13 333 517 14 985 873 Kepri 28 256 316 29 258 981 30 075 779 30 861 641 Jabar 294 722 674 304 844 988 314 089 974 322 625 950 Jateng 136 071 116 140 507 095 145 067 233 149 590 102 DIY 2 747 512 3 543 187 4 128 201 4 585 616 Jatim 144 949 890 150 120 318 155 534 838 161 004 533 Banten 78 699 713 79 596 821 80 495 081 81 430 025 Bali 8 329 757 9 000 843 9 615 772 10 206 548 NTB 2 410 465 2 902 939 3 564 016 4 228 703 NTT 4 077 884 4 631 565 5 330 039 6 020 749 Kalbar 6 925 741 8 904 781 10 228 013 11 261 024 Kalteng 5 031 062 5 915 261 6 559 435 7 123 417 Kalsel 5 582 646 6 982 152 7 787 673 8 400 578 Kaltim 72 404 353 70 629 226 69 204 465 67 784 406 Sulut 2 519 262 2 878 128 2 990 475 3 075 187 Sulteng 3 220 041 4 119 429 4 886 574 5 594 243 Sulsel 15 920 799 17 762 034 19 487 104 21 052 723 14. PDRB Perdagangan Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 23 766 248 26 303 790 28 441 394 30 506 706 Sumut 56 653 282 60 896 733 65 377 005 70 015 940 Sumbar 15 622 558 16 982 904 18 604 356 20 320 179 Riau 24 985 887 26 503 531 27 230 107 27 508 501 Jambi 34 643 620 37 225 266 40 465 440 44 144 902 Sumsel 45 805 323 51 372 258 57 221 132 63 213 915 Lampung 17 240 434 17 454 509 18 359 403 19 612 960 Kepri 8 577 560 10 785 775 13 248 182 14 733 659 Jabar 91 533 183 101 692 581 111 078 903 119 995 910 Jateng 129 453 870 137 770 857 146 351 834 155 071 087 DIY 32 822 284 34 326 433 36 844 404 39 839 625 Jatim 161 392 212 174 330 271 187 131 030 199 840 492 Banten 10 119 253 16 280 961 20 881 260 24 608 286 Bali 31 800 698 37 558 592 42 034 688 45 973 203 NTB 13 589 927 16 743 163 19 617 404 22 376 884 NTT 9 565 832 10 503 278 11 776 026 13 227 901 Kalbar 17 951 985 20 214 541 22 467 665 24 713 170 Kalteng 13 387 368 15 843 176 17 949 558 19 906 882 Kalsel 22 738 918 23 329 223 24 803 134 26 701 022 Kaltim 53 842 233 55 976 221 58 971 967 62 479 878 Sulut 10 559 521 10 696 389 11 612 396 12 896 492 Sulteng 21 376 229 22 969 894 25 142 210 27 649 248 Sulsel 30 645 226 34 833 238 38 981 362 43 149 753 Lampiran 21. Lanjutan 15. PDRB Total Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 102 860 713 100 644 341 99 320 265 98 792 529 Sumut 237 417 707 252 123 449 266 849 123 281 656 104 Sumbar 79 294 915 85 516 776 91 459 931 97 199 552 Riau 303 103 282 322 110 978 339 992 762 357 289 085 Jambi 87 307 229 94 441 069 102 149 302 110 311 235 Sumsel 181 445 993 196 562 095 211 629 497 226 656 771 Lampung 83 123 080 89 566 136 96 418 874 103 373 022 Kepri 61 419 326 67 691 412 73 642 720 78 145 221 Jabar 653 462 838 692 605 411 729 487 827 764 818 685 Jateng 465 820 518 490 090 792 514 490 059 538 840 627 DIY 76 517 793 82 353 975 88 547 348 94 847 577 Jatim 616 791 444 653 509 889 690 140 053 726 596 549 Banten 143 396 057 155 603 123 165 652 695 174 534 319 Bali 91 209 157 101 716 731 110 533 189 118 603 111 NTB 54 074 313 60 059 958 65 820 888 71 410 922 NTT 37 496 417 40 268 009 43 546 126 47 020 972 Kalbar 60 295 027 66 502 117 72 157 901 77 563 087 Kalteng 47 952 276 53 667 762 58 817 899 63 740 348 Kalsel 74 435 234 79 358 415 84 534 019 89 919 954 Kaltim 343 352 247 357 475 683 372 518 482 387 929 480 Sulut 42 241 560 44 991 649 48 175 386 51 657 295 Sulteng 57 776 277 63 218 313 69 120 609 75 305 941 Sulsel 126 608 293 139 092 204 151 343 926 163 420 074 16. PDRB per Kapita Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 23,396 22,653 22,125 21,783 Sumut 17,591 18,481 19,355 20,216 Sumbar 16,492 17,628 18,687 19,687 Riau 48,472 49,782 50,838 51,743 Jambi 28,328 30,024 31,830 33,706 Sumsel 23,930 25,538 27,092 28,597 Lampung 10,499 11,162 11,859 12,550 Kepri 40,432 43,788 46,826 48,857 Jabar 14,850 15,489 16,058 16,575 Jateng 14,182 14,864 15,545 16,220 DIY 21,710 23,189 24,744 26,306 Jatim 16,543 17,449 18,344 19,227 Banten 13,012 13,776 14,317 14,734 Bali 24,001 26,342 28,179 29,772 NTB 11,442 12,524 13,528 14,470 NTT 7,961 8,425 8,980 9,559 Kalbar 12,825 13,928 14,884 15,761 Kalteng 20,055 21,967 23,574 25,025 Kalsel 20,309 21,320 22,368 23,439 Kaltim 98,102 99,414 100,907 102,422 Sulut 18,220 19,196 20,335 21,574 Sulteng 21,305 22,865 24,531 26,234 Sulsel 15,294 16,622 17,896 19,121 Lampiran 21. Lanjutan 17. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Ribu Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 1 556 1 612 1 683 1 763 Sumut 3 057 3 301 3 541 3 778 Sumbar 1 066 1 169 1 261 1 347 Riau 1 965 2 063 2 144 2 214 Jambi 1 703 1 895 2 084 2 271 Sumsel 2 426 2 704 2 983 3 263 Lampung 1 464 1 560 1 652 1 743 Kepri 168 311 426 513 Jabar 5 220 5 634 6 026 6 405 Jateng 6 517 6 920 7 312 7 697 DIY 1 945 2 106 2 251 2 389 Jatim 8 339 8 909 9 471 10 026 Banten 1 341 1 505 1 646 1 775 Bali 2 113 2 284 2 438 2 584 NTB 1 279 1 385 1 488 1 589 NTT 1 111 1 148 1 189 1 233 Kalbar 1 089 1 202 1 315 1 427 Kalteng 531 641 745 844 Kalsel 1 173 1 273 1 369 1 461 Kaltim 1 982 2 153 2 317 2 478 Sulut 643 727 804 876 Sulteng 1 227 1 350 1 471 1 591 Sulsel 2 134 2 317 2 499 2 680 18. Jumlah Tenaga Kerja Industri Ribu Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 306 270 255 248 Sumut 692 731 763 792 Sumbar 183 210 226 239 Riau 522 577 612 640 Jambi 181 209 227 243 Sumsel 440 502 547 585 Lampung 229 245 264 283 Kepri - 204 - 138 - 112 - 99 Jabar 3 922 4 074 4 212 4 339 Jateng 2 070 2 112 2 178 2 251 DIY 177 200 215 228 Jatim 2 244 2 321 2 411 2 506 Banten 913 948 973 995 Bali 222 241 256 271 NTB 193 172 175 183 NTT 184 160 160 166 Kalbar 107 179 209 227 Kalteng 88 117 130 138 Kalsel 70 149 178 193 Kaltim 547 495 494 506 Sulut 62 102 117 125 Sulteng 139 157 170 180 Sulsel 339 350 371 395 Lampiran 21. Lanjutan 19. Jumlah Tenaga Kerja Perdagangan Ribu Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 743 786 826 868 Sumut 1 665 1 770 1 884 2 002 Sumbar 501 546 592 637 Riau 741 786 809 820 Jambi 1 014 1 018 1 059 1 122 Sumsel 1 296 1 441 1 589 1 740 Lampung 656 646 659 685 Kepri 182 251 306 333 Jabar 2 635 2 920 3 179 3 424 Jateng 3 695 3 905 4 127 4 355 DIY 959 964 1 005 1 062 Jatim 4 549 4 889 5 228 5 566 Banten 366 560 699 807 Bali 913 1 033 1 124 1 206 NTB 532 596 656 715 NTT 429 439 461 491 Kalbar 604 650 699 748 Kalteng 381 437 481 519 Kalsel 694 689 712 748 Kaltim 1 335 1 332 1 371 1 434 Sulut 338 349 374 404 Sulteng 691 684 706 745 Sulsel 986 1 076 1 170 1 269 20. Total Tenaga Kerja Ribu Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 3 250 3 352 3 486 3 639 Sumut 7 111 7 576 8 038 8 501 Sumbar 2 409 2 615 2 801 2 976 Riau 3 944 4 178 4 353 4 499 Jambi 3 308 3 559 3 834 4 128 Sumsel 5 005 5 535 6 054 6 569 Lampung 3 208 3 363 3 541 3 730 Kepri 460 761 979 1 129 Jabar 17 702 18 786 19 809 20 794 Jateng 16 524 17 293 18 086 18 886 DIY 3 735 3 945 4 166 4 393 Jatim 20 176 21 344 22 514 23 681 Banten 4 324 4 833 5 256 5 633 Bali 3 960 4 299 4 591 4 864 NTB 2 577 2 743 2 924 3 110 NTT 2 239 2 303 2 407 2 527 Kalbar 2 313 2 574 2 795 3 003 Kalteng 1 331 1 550 1 735 1 905 Kalsel 2 520 2 730 2 913 3 092 Kaltim 4 562 4 730 4 983 5 271 Sulut 1 461 1 614 1 750 1 880 Sulteng 2 419 2 581 2 764 2 960 Sulsel 4 464 4 799 5 149 5 505 Lampiran 21. Lanjutan 21. Rata-rata Upah Pertanian per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 725 743 759 773 Sumut 767 758 753 749 Sumbar 678 683 690 698 Riau 962 969 976 983 Jambi 822 846 872 900 Sumsel 824 822 825 830 Lampung 555 573 591 608 Kepri 979 952 939 934 Jabar 427 448 466 483 Jateng 436 464 490 514 DIY 505 558 610 659 Jatim 423 459 491 521 Banten 528 533 539 545 Bali 606 653 698 741 NTB 451 483 513 542 NTT 348 393 432 468 Kalbar 772 766 762 761 Kalteng 942 925 915 909 Kalsel 699 713 727 742 Kaltim 967 1 000 1 033 1 066 Sulut 718 727 739 754 Sulteng 726 757 788 819 Sulsel 534 563 590 617 22. Rata-rata Upah Industri per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 917 901 872 844 Sumut 849 841 841 844 Sumbar 798 796 802 810 Riau 1 133 1 092 1 079 1 076 Jambi 818 804 803 806 Sumsel 900 885 888 897 Lampung 714 735 748 758 Kepri 1 674 1 602 1 586 1 586 Jabar 999 998 1 001 1 005 Jateng 799 853 874 884 DIY 727 725 729 734 Jatim 824 852 866 874 Banten 1 044 1 020 1 009 1 004 Bali 782 785 790 795 NTB 631 682 702 712 NTT 646 698 719 730 Kalbar 852 792 781 784 Kalteng 820 800 800 806 Kalsel 882 802 783 781 Kaltim 1 521 1 577 1 566 1 535 Sulut 800 755 742 739 Sulteng 743 746 754 764 Sulsel 726 761 778 788 Lampiran 21. Lanjutan 23. Rata-rata Upah Perdagangan per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 906 968 1 017 1 059 Sumut 873 909 939 965 Sumbar 926 916 918 928 Riau 976 963 955 947 Jambi 989 1 176 1 313 1 421 Sumsel 1 045 1 075 1 110 1 149 Lampung 653 711 750 777 Kepri 1 206 1 183 1 207 1 242 Jabar 882 857 845 843 Jateng 789 849 893 927 DIY 1 004 1 128 1 222 1 300 Jatim 868 911 946 976 Banten 1 003 910 862 839 Bali 1 110 1 196 1 275 1 346 NTB 750 807 856 900 NTT 674 725 763 793 Kalbar 844 885 921 953 Kalteng 1 046 1 070 1 104 1 141 Kalsel 899 973 1 026 1 070 Kaltim 1 294 1 464 1 581 1 668 Sulut 963 967 979 999 Sulteng 854 999 1 105 1 190 Sulsel 769 836 890 935 24. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Pertanian per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 368 391 414 437 Sumut 351 358 366 375 Sumbar 332 343 355 367 Riau 397 407 418 428 Jambi 360 374 389 404 Sumsel 381 394 408 423 Lampung 289 300 312 323 Kepri 399 399 402 407 Jabar 284 299 313 327 Jateng 286 302 316 331 DIY 296 318 339 359 Jatim 279 295 311 326 Banten 303 313 324 334 Bali 304 317 330 342 NTB 271 286 300 313 NTT 240 256 272 286 Kalbar 342 346 351 357 Kalteng 378 378 380 383 Kalsel 330 341 352 364 Kaltim 383 389 409 417 Sulut 353 366 380 394 Sulteng 341 358 374 391 Sulsel 299 315 330 345 Lampiran 21. Lanjutan 25. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Industri per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 421 425 426 426 Sumut 389 391 395 400 Sumbar 375 378 385 392 Riau 474 466 466 469 Jambi 379 379 382 387 Sumsel 412 414 421 429 Lampung 343 352 359 366 Kepri 631 613 611 614 Jabar 437 442 447 453 Jateng 379 398 409 416 DIY 355 359 364 370 Jatim 384 396 404 410 Banten 449 446 447 449 Bali 364 366 369 372 NTB 321 339 348 355 NTT 321 340 349 355 Kalbar 385 370 370 373 Kalteng 375 371 373 377 Kalsel 396 376 374 378 Kaltim 581 596 599 590 Sulut 381 373 374 378 Sulteng 358 363 370 377 Sulsel 353 367 377 384 26. Rata-rata Pengeluaran per Kapita Perdagangan per Bulan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 533 577 615 649 Sumut 496 520 541 561 Sumbar 521 525 534 547 Riau 545 546 550 554 Jambi 546 637 706 762 Sumsel 588 612 639 668 Lampung 386 418 441 459 Kepri 647 641 657 678 Jabar 508 505 508 515 Jateng 466 500 527 550 DIY 558 622 671 714 Jatim 497 524 547 567 Banten 559 525 511 508 Bali 593 634 672 706 NTB 433 465 493 519 NTT 392 420 443 462 Kalbar 475 498 519 539 Kalteng 564 578 597 617 Kalsel 503 543 574 600 Kaltim 675 750 813 853 Sulut 547 559 573 591 Sulteng 487 560 616 662 Sulsel 450 488 519 547 Lampiran 21. Lanjutan 27. Indeks Gini Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 0.34 0.34 0.35 0.35 Sumut 0.36 0.36 0.36 0.37 Sumbar 0.36 0.36 0.36 0.36 Riau 0.36 0.36 0.36 0.36 Jambi 0.35 0.36 0.37 0.38 Sumsel 0.35 0.36 0.36 0.36 Lampung 0.37 0.36 0.36 0.36 Kepri 0.33 0.33 0.34 0.34 Jabar 0.39 0.38 0.37 0.36 Jateng 0.38 0.37 0.37 0.37 DIY 0.40 0.40 0.39 0.39 Jatim 0.37 0.37 0.37 0.37 Banten 0.38 0.36 0.36 0.35 Bali 0.40 0.39 0.39 0.39 NTB 0.36 0.37 0.37 0.37 NTT 0.36 0.35 0.35 0.35 Kalbar 0.39 0.38 0.38 0.38 Kalteng 0.35 0.36 0.36 0.37 Kalsel 0.37 0.38 0.38 0.38 Kaltim 0.38 0.38 0.38 0.38 Sulut 0.39 0.38 0.38 0.38 Sulteng 0.38 0.38 0.38 0.38 Sulsel 0.40 0.39 0.38 0.38 28. Headcount Index Pertanian Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 22.84 20.06 17.31 14.56 Sumut 12.86 12.51 11.99 11.32 Sumbar 19.37 19.03 18.56 18.01 Riau 14.69 13.64 12.61 11.58 Jambi 8.15 6.71 4.98 3.06 Sumsel 7.16 6.11 4.69 3.17 Lampung 16.91 15.38 13.92 12.53 Kepri 24.50 25.63 26.21 26.39 Jabar 20.85 17.98 15.44 13.16 Jateng 18.63 16.54 14.62 12.83 DIY 25.27 21.89 18.58 15.39 Jatim 20.73 18.86 17.11 15.47 Banten 16.28 13.56 11.12 8.87 Bali 19.82 17.60 15.59 13.74 NTB 18.32 16.76 15.22 13.72 NTT 17.44 15.37 13.54 11.92 Kalbar 5.69 4.88 4.10 3.32 Kalteng 7.35 8.95 10.23 11.24 Kalsel 14.19 13.24 12.22 11.17 Kaltim 18.51 17.54 14.15 12.74 Sulut 7.22 5.27 3.27 1.25 Sulteng 10.75 8.66 6.58 4.51 Sulsel 6.27 3.19 0.35 -2.32 Lampiran 21. Lanjutan 29. Headcount Index Industri Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 20.41 20.86 21.50 22.10 Sumut 15.53 15.94 16.17 16.33 Sumbar 18.19 18.84 19.28 19.66 Riau 15.63 16.52 16.92 17.15 Jambi 14.46 15.06 15.32 15.42 Sumsel 13.74 14.35 14.49 14.54 Lampung 14.94 14.54 14.31 14.18 Kepri 11.27 13.06 13.82 14.24 Jabar 11.16 10.55 10.07 9.71 Jateng 13.54 12.58 12.26 12.15 DIY 19.72 19.61 19.40 19.19 Jatim 13.63 13.37 13.41 13.54 Banten 9.58 9.08 8.57 8.11 Bali 16.88 16.71 16.60 16.55 NTB 15.36 14.78 14.71 14.79 NTT 11.91 11.17 11.04 11.13 Kalbar 11.35 12.17 12.21 12.08 Kalteng 15.80 17.04 17.83 18.48 Kalsel 14.05 15.79 16.42 16.72 Kaltim 10.14 9.16 9.01 9.55 Sulut 13.49 14.08 14.15 14.09 Sulteng 15.63 15.69 15.65 15.61 Sulsel 9.80 8.60 7.85 7.31 30. Headcount Index Perdagangan Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 11.52 10.04 8.80 7.70 Sumut 8.88 8.19 7.58 7.02 Sumbar 8.94 9.40 9.57 9.55 Riau 10.23 10.43 10.55 10.64 Jambi 5.36 1.64 -1.15 -3.44 Sumsel 4.22 3.66 2.86 1.96 Lampung 11.92 10.46 9.46 8.73 Kepri 8.52 9.34 9.12 8.59 Jabar 7.88 7.59 7.20 6.76 Jateng 8.81 7.32 6.22 5.37 DIY 8.08 5.15 2.86 0.91 Jatim 7.52 6.62 5.89 5.28 Banten 4.69 5.63 5.86 5.71 Bali 4.92 2.90 1.10 -0.47 NTB 9.05 7.98 7.03 6.17 NTT 8.53 7.42 6.63 6.04 Kalbar 7.41 6.16 5.10 4.19 Kalteng 5.22 5.35 5.18 4.88 Kalsel 8.13 6.65 5.56 4.67 Kaltim 5.08 1.52 -1.44 -3.30 Sulut 5.21 4.69 4.07 3.32 Sulteng 8.44 5.25 2.89 0.99 Sulsel 6.30 4.17 2.47 1.04 Lampiran 21. Lanjutan 31. Total Headcount Index Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 18.40 16.99 15.69 14.40 Sumut 11.82 11.66 11.37 11.01 Sumbar 15.65 15.77 15.72 15.59 Riau 12.94 12.77 12.44 12.05 Jambi 8.67 7.51 6.27 5.00 Sumsel 7.78 7.38 6.63 5.77 Lampung 14.06 12.97 12.04 11.22 Kepri 15.80 17.02 17.48 17.59 Jabar 13.97 12.40 11.02 9.77 Jateng 13.85 12.32 11.13 10.11 DIY 18.67 16.54 14.53 12.63 Jatim 14.60 13.50 12.57 11.74 Banten 10.79 9.55 8.32 7.11 Bali 14.70 13.26 11.96 10.81 NTB 14.31 13.21 12.31 11.48 NTT 12.75 11.36 10.34 9.51 Kalbar 6.96 6.61 6.07 5.50 Kalteng 8.69 9.83 10.63 11.24 Kalsel 11.83 11.66 11.18 10.63 Kaltim 12.06 10.65 8.50 7.67 Sulut 7.92 7.11 6.09 5.01 Sulteng 10.80 9.26 7.86 6.54 Sulsel 6.54 4.37 2.52 0.86 32. Total Penanaman Modal Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 216 359 241 588 266 816 292 044 Sumut 5 018 056 5 593 530 6 169 005 6 744 479 Sumbar 568 919 608 289 647 658 687 027 Riau - 311 930 - 2 575 381 - 4 838 832 - 7 102 283 Jambi 1 315 191 1 266 406 1 217 622 1 168 838 Sumsel 3 629 659 3 957 367 4 285 074 4 612 782 Lampung 346 132 118 672 - 108 787 - 336 247 Kepri 2 728 845 3 068 917 3 408 990 3 749 063 Jabar 28 559 096 28 870 105 29 181 114 29 492 123 Jateng 2 718 381 2 796 336 2 874 291 2 952 246 DIY - 60 630 - 115 431 - 170 231 - 225 031 Jatim 16 869 431 18 014 091 19 158 751 20 303 411 Banten 17 944 638 19 379 734 20 814 830 22 249 927 Bali 3 225 557 3 619 564 4 013 570 4 407 576 NTB 3 069 375 3 605 053 4 140 730 4 676 407 NTT 28 341 28 939 29 538 30 137 Kalbar 3 527 209 4 081 443 4 635 678 5 189 912 Kalteng 6 388 520 7 255 918 8 123 315 8 990 713 Kalsel 3 460 543 3 835 909 4 211 274 4 586 639 Kaltim 10 380 217 11 904 092 13 427 968 14 951 843 Sulut 1 948 664 2 240 248 2 531 832 2 823 417 Sulteng 3 081 370 3 628 122 4 174 875 4 721 627 Sulsel 4 673 853 5 336 025 5 998 196 6 660 367 Lampiran 21. Lanjutan 33. Luas Wilayah km 2 Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 58 580 58 840 59 100 59 360 Sumut 73 218 73 317 73 416 73 515 Sumbar 41 922 41 884 41 847 41 809 Riau 86 672 86 525 86 379 86 232 Jambi 52 077 52 918 53 759 54 600 Sumsel 105 002 110 590 116 177 121 765 Lampung 33 290 32 735 32 179 31 624 Kepri 8 252 8 273 8 294 8 315 Jabar 34 715 34 438 34 162 33 886 Jateng 32 801 32 801 32 801 32 802 DIY 3 133 3 133 3 133 3 133 Jatim 48 276 48 474 48 672 48 870 Banten 9 939 10 054 10 169 10 284 Bali 5 922 5 981 6 040 6 099 NTB 18 085 17 882 17 679 17 476 NTT 49 824 50 285 50 745 51 206 Kalbar 158 961 163 817 168 673 173 529 Kalteng 153 565 153 565 153 565 153 565 Kalsel 38 684 38 659 38 634 38 609 Kaltim 208 685 210 415 212 144 213 874 Sulut 13 818 13 804 13 790 13 775 Sulteng 59 163 58 048 56 932 55 816 Sulsel 46 975 47 082 47 190 47 297 34. Jumlah Penduduk Ribu Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 4 397 4 443 4 489 4 535 Sumut 13 497 13 642 13 787 13 932 Sumbar 4 808 4 851 4 894 4 937 Riau 6 253 6 470 6 688 6 905 Jambi 3 082 3 146 3 209 3 273 Sumsel 7 582 7 697 7 811 7 926 Lampung 7 918 8 024 8 130 8 237 Kepri 1 519 1 546 1 573 1 599 Jabar 44 004 44 717 45 430 46 142 Jateng 32 845 32 971 33 096 33 221 DIY 3 524 3 551 3 579 3 606 Jatim 37 284 37 453 37 621 37 790 Banten 11 021 11 296 11 571 11 846 Bali 3 800 3 861 3 923 3 984 NTB 4 726 4 796 4 865 4 935 NTT 4 710 4 780 4 849 4 919 Kalbar 4 701 4 775 4 848 4 921 Kalteng 2 391 2 443 2 495 2 547 Kalsel 3 665 3 722 3 779 3 836 Kaltim 3 500 3 596 3 692 3 788 Sulut 2 318 2 344 2 369 2 394 Sulteng 2 712 2 765 2 818 2 871 Sulsel 8 278 8 368 8 457 8 546 Lampiran 21. Lanjutan 35. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Orang Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 186 655 197 228 207 800 218 372 Sumut 267 007 275 225 283 443 291 661 Sumbar 150 271 155 083 159 895 164 708 Riau 116 098 122 283 128 468 134 653 Jambi 89 736 93 847 97 959 102 070 Sumsel 152 835 159 320 165 806 172 292 Lampung 139 294 144 549 149 805 155 060 Kepri 39 006 41 862 44 717 47 572 Jabar 492 624 503 576 514 528 525 480 Jateng 501 821 508 470 515 118 521 766 DIY 90 801 90 684 90 567 90 451 Jatim 548 640 561 372 574 104 586 836 Banten 107 790 112 306 116 822 121 337 Bali 105 075 108 319 111 563 114 808 NTB 102 511 106 845 111 178 115 512 NTT 135 196 141 522 147 847 154 172 Kalbar 100 516 104 082 107 647 111 213 Kalteng 84 719 88 890 93 062 97 234 Kalsel 104 333 108 597 112 860 117 123 Kaltim 112 929 119 626 126 324 133 022 Sulut 84 441 87 077 89 714 92 350 Sulteng 95 745 100 802 105 858 110 915 Sulsel 218 787 226 255 233 723 241 191 36. Garis Kemiskinan Riil Ribu Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 235.5 238.0 240.5 243.0 Sumut 188.9 191.1 193.3 195.5 Sumbar 199.8 204.3 208.9 213.4 Riau 219.8 222.3 224.9 227.4 Jambi 178.8 180.1 181.3 182.5 Sumsel 188.0 190.6 192.9 195.4 Lampung 165.5 167.7 169.8 172.0 Kepri 260.0 262.6 265.2 267.9 Jabar 170.9 172.4 173.9 175.4 Jateng 167.7 170.0 172.4 174.7 DIY 190.6 191.9 193.1 194.4 Jatim 171.6 174.7 177.8 180.9 Banten 168.8 168.3 167.7 167.2 Bali 176.2 177.4 178.7 179.9 NTB 160.3 162.5 164.7 166.9 NTT 141.3 144.2 147.1 150.0 Kalbar 153.0 154.3 155.6 156.9 Kalteng 186.9 191.0 195.2 199.3 Kalsel 177.7 180.5 183.4 186.3 Kaltim 221.3 221.4 221.6 221.7 Sulut 165.4 167.0 168.6 170.2 Sulteng 171.6 174.2 176.8 179.4 Sulsel 129.7 130.1 130.5 130.9 Lampiran 21. Lanjutan 37. Bagi Hasi Sumber Daya Alam Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 224 183 - 233 737 - 691 657 - 1 149 576 Sumut 59 799 64 985 70 170 75 356 Sumbar 38 769 39 291 39 813 40 334 Riau 8 087 328 7 986 667 7 886 006 7 785 345 Jambi 1 184 806 1 304 279 1 423 753 1 543 226 Sumsel 3 631 397 3 871 675 4 111 953 4 352 231 Lampung 200 637 163 506 126 375 89 244 Kepri 3 007 575 2 833 657 3 471 229 3 426 455 Jabar 895 618 970 375 1 045 133 1 119 890 Jateng 179 798 204 931 230 063 255 196 DIY 8 440 9 594 10 748 11 902 Jatim 674 870 768 078 861 286 954 495 Banten 8 282 9 084 9 885 10 686 Bali 2 565 2 430 2 296 2 161 NTB 147 861 146 770 145 680 144 589 NTT 10 137 10 563 10 988 11 414 Kalbar 119 932 130 189 140 445 150 702 Kalteng 499 774 550 517 601 259 652 002 Kalsel 2 009 858 2 268 633 2 527 408 2 786 183 Kaltim 12 787 13 378 463 13 969 842 14 561 222 Sulut 50 788 55 771 60 754 65 736 Sulteng 26 770 28 026 29 282 30 538 Sulsel 49 730 36 120 22 511 8 901 38. Dana Alokasi Khusus Riil Juta Rp Provinsi 2012 2013 2014 2015 NAD 901 233 951 262 1 001 292 1 051 322 Sumut 1 500 321 1 636 262 1 772 203 1 908 144 Sumbar 779 964 823 999 868 034 912 069 Riau 262 413 276 637 290 861 305 086 Jambi 435 536 466 555 497 574 528 592 Sumsel 658 195 719 323 780 451 841 579 Lampung 740 173 814 274 888 376 962 477 Kepri 161 870 174 900 187 929 200 958 Jabar 1 710 873 1 913 944 2 117 015 2 320 086 Jateng 2 225 989 2 448 030 2 670 070 2 892 111 DIY 259 305 279 689 300 073 320 457 Jatim 2 189 106 2 403 047 2 616 988 2 830 930 Banten 415 495 462 728 509 961 557 195 Bali 358 491 376 158 393 824 411 491 NTB 477 197 505 440 533 683 561 927 NTT 1 003 981 1 083 551 1 163 121 1 242 691 Kalbar 776 749 839 859 902 970 966 080 Kalteng 530 418 539 658 548 898 558 138 Kalsel 488 870 510 428 531 986 553 544 Kaltim 217 024 207 187 197 350 187 512 Sulut 769 318 840 465 911 612 982 759 Sulteng 572 667 614 152 655 637 697 121 Sulsel 1 157 362 1 237 477 1 317 593 1 397 708 Lampiran 22. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SM1 SM2 SM3 PM Penanaman Modal 1 100.0 PJK Pajak daerah 0.9 0.9 17.5 PAD Pendapatan asli daerah 0.6 0.7 12.9 BHSPJK Bagi hasil pajak 3.9 50.0 50.0 KAPFIS Kapasitas fiskal 1.4 13.6 21.3 DAU Dana alokasi umum -1.1 -1.1 -1.4 DPT Total pendapatan daerah -0.1 3.1 5.0 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 50.0 50.0 GIND Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 GDG Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 30.0 30.0 30.0 GIFR Belanja infratruktur 0.3 3.5 5.4 GLN Belanja lainnya -0.1 1.0 1.6 G Total belanja daerah 1.5 2.9 3.6 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.6 -1.2 -3.1 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 -0.1 -0.4 1.6 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.3 5.1 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 21.6 21.9 26.7 PDRBTANI PDRB pertanian 18.1 18.4 22.4 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 19.0 19.2 24.0 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 52.0 52.0 52.9 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 42.0 42.0 42.7 PDRBIND PDRB industri 30.6 30.6 31.1 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 34.7 34.7 35.4 PDRBDG PDRB perdagangan 9.4 9.9 17.3 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 11.1 11.5 19.8 PDRBNONTANI PDRB non pertanian 8.9 9.0 11.9 PDRB PDRB total 11.2 11.4 14.5 PDRBKAP PDRB per kapita 12.3 12.5 16.3 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 5.9 5.9 6.5 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 19.6 19.4 16.8 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 -1.2 -1.0 2.7 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 6.5 6.9 12.4 TKIND Jumlah tenaga kerja industri 12.0 12.1 14.4 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 5.9 6.3 12.4 TK Jumlah tenaga kerja total 5.4 5.7 9.9 UPHTANI Upah pertanian 2.4 2.4 3.0 UPHIND Upah industri 4.0 4.0 4.1 UPHDG Upah perdagangan 2.7 2.8 4.8 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 1.1 1.1 1.3 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 2.4 2.4 2.5 EXPDG Pengeluaran per kapita 2.1 2.2 3.7 GINI Indeks Gini 3 -0.003 -0.003 -0.002 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -0.79 -0.80 -0.91 POVINDP0 P0 industri 2 -0.67 -0.67 -0.66 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -0.67 -0.69 -1.06 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.14 -0.14 -0.16 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.04 -0.04 -0.05 POVP0 P0 total 2 -0.69 -0.70 -0.82 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin Lampiran 23. Rekapitulasi Hasil Simulasi Peramalan Tahun 2013-2015 Skenario Kombinasi Model Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Non-Pertanian dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SASETS 9.1.3 Variabel Endogen Keterangan Perubahan SM1A SM1B SM2 SM3 PM Penanaman Modal 1 50.0 PJK Pajak daerah 0.3 0.4 0.4 8.3 PAD Pendapatan asli daerah 0.2 0.3 0.3 6.0 BHSPJK Bagi hasil pajak 3.0 3.0 50.0 50.0 KAPFIS Kapasitas fiskal 0.6 0.7 9.1 12.2 DAU Dana alokasi umum -1.3 -1.6 -1.7 -2.0 DPT Total pendapatan daerah -0.1 -0.2 3.6 5.0 GPGNKBNTNK Belanja pertanian 50.0 80.0 80.0 80.0 GIND Belanja perindustrian 50.0 50.0 50.0 50.0 GDG Belanja perdagangan 30.0 30.0 30.0 30.0 GDGKAP Belanja perdagangan per kapita 30.0 30.0 30.0 30.0 GIFR Belanja infratruktur 0.2 0.2 4.0 5.2 GLN Belanja lainnya -0.1 -0.2 1.2 1.6 G Total belanja daerah 1.3 1.9 3.5 4.0 FISGAP Kesenjangan fiskal 1.8 3.0 -1.7 -3.7 FISAUTO Kemandirian fiskal 2 -0.2 -0.4 -0.8 0.5 ASP Panjang jalan aspal 0.0 0.0 0.4 4.0 PDRBPGNKBNTNK PDRB tan. Pangan, kebun, ternak 15.8 25.3 25.6 28.8 PDRBTANI PDRB pertanian 13.3 21.2 21.5 24.2 PDRBTANIKAP PDRB pertanian per kapita 15.5 24.8 25.1 27.8 PDRBMKN PDRB industri makanan jadi 33.5 33.5 33.5 33.9 PDRBINDTANI PDRB industri pertanian 19.2 19.2 19.2 19.4 PDRBIND PDRB industri 9.4 9.4 9.4 9.5 PDRBINDKAP PDRB industri per kapita 9.4 9.4 9.4 9.5 PDRBDG PDRB perdagangan 4.5 4.5 5.0 9.6 PDRBDGKAP PDRB perdagangan per kapita 11.1 11.1 11.6 15.9 PDRBNONTANI PDRB non pertanian 4.2 4.2 4.3 5.5 PDRB PDRB total 5.7 7.0 7.1 8.6 PDRBKAP PDRB per kapita 6.9 8.5 8.6 10.0 SHPDRBTANI Share PDRB pertanian 2 7.2 13.8 13.9 14.9 SHPDRBIND Share PDRB industri 2 3.3 1.9 1.8 -0.2 SHPDRBDG Share PDRB perdagangan 2 1.0 -0.7 -0.4 2.5 TKTANI Jumlah tenaga kerja pertanian 4.9 7.8 8.2 11.9 TKIND Jumlah tenaga kerja industri 7.6 7.6 7.7 8.4 TKDG Jumlah tenaga kerja perdagangan 3.0 3.0 3.5 7.8 TK Jumlah tenaga kerja total 3.6 4.8 5.1 7.6 UPHTANI Upah pertanian 2.1 3.3 3.4 3.7 UPHIND Upah industri 2.6 2.6 2.6 2.7 UPHDG Upah perdagangan 2.9 2.9 3.0 4.2 EXPTANI Pengeluaran per kapita pertanian 0.9 1.4 1.5 1.6 EXPIND Pengeluaran per kapita industri 1.7 1.7 1.7 1.8 EXPDG Pengeluaran per kapita 2.3 2.3 2.4 3.3 GINI Indeks Gini 3 -0.001 -0.002 -0.002 -0.002 POVTANIP0 P0 pertanian 2 -0.64 -1.04 -1.05 -1.12 POVINDP0 P0 industri 2 -0.53 -0.58 -0.58 -0.57 POVDGP0 P0 perdagangan 2 -0.73 -0.77 -0.80 -1.03 POVTANIP1 P1 pertanian 3 -0.12 -0.19 -0.19 -0.20 POVTANIP2 P2 pertanian 3 -0.03 -0.05 -0.05 -0.06 POVP0 P0 total 2 -0.59 -0.80 -0.81 -0.88 Catatan: 1 Variabel eksogen; 2 Perubahan dalam persen poin; 3 Perubahan dalam poin RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 November 1968 dari orang tua yaitu H. Asrial Zainun dan Hj. Yulinar sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Rode Ekanara tahun 1993 dan dikarunia dua orang anak yaitu Nabilla Gita Ekanara dan Daffa Aulia Ekanara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Penulis lulus dari SD Negeri Gondangdia 05 Menteng tahun 1981, SMP Negeri 1 Cikini tahun 1984, dan SMA Negeri 4 Gambir tahun 1987. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan S1 dan memperoleh gelar Sarjana Matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA Universitas Indonesia UI. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan S2 dan memperoleh gelar Master of Philosophy in Bioresources Economics dari Graduate School of Science and Technology Chiba University Japan dengan beasiswa dari STAID-BPPT. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian EPN Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor IPB dengan beasiswas tugas belajar dari Badan Pusat Statistik. Penulis mengawali karir setelah lulus S1 dengan bekerja di Bank Dagang Nasional Indonesia BDNI kemudian pindah ke Citibank, N.A. di Jakarta. Saat ini penulis bekerja di Badan Pusat Statistik BPS Jakarta diawali pada tahun 1994 sebagai programmer pada Biro Sistem Informasi Statistik. Tahun 1998 penulis ditugaskan pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Statistik dan Komputer BPS sebagai Kepala Sub Bagian Pelatihan Statistik. Sejak lulus S2 tahun 2003 penulis ditugaskan pada Direktorat Analisis Statistik sebagai Kepala Seksi Konsistensi Statistik Sosial di Sub Direktorat Konsistensi Statistik, dan sejak tahun 2006 sampai sebelum tugas belajar S3 penulis bertugas sebagai Kepala Seksi Statistik Indikator Lintas Sektor di Sub Direktorat Indikator Statistik.

3. KERANGKA TEORI

Teori Keuangan Publik Konsep Keuangan Publik Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas keuangan pemerintah serta proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Setiap keputusan yang diambil akan berpengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumahtangga, dan swasta. Keuangan publik mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah serta menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pemerintah pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Musgrave 1959 menyatakan fungsi keuangan pemerintah adalah menetapkan anggaran keuangan publik meliputi: 1 keputusan alokasi layanan apa yang akan disediakan; 2 keputusan distribusi siapa yang mendapat manfaat dan menanggung bebannya; dan 3 keputusan stabilisasi berapa tingkat pendapatan dan harga-harga yang dapat diterima. Keputusan alokasi terkait erat dengan kewenangan utama pemerintah menyangkut alokasi sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat terutama barang publik yang nilainya relatif besar tetapi tidak disediakan oleh swasta. Keputusan distribusi adalah peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi pendapatan kepada seluruh masyarakat untuk menjamin bahwa seluruh golongan masyarakat dapat mengakses sumber ekonomi dan mendapatkan penghasilan yang layak. Oleh karena itu, keputusan distribusi terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat secara proporsional dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi yang optimal. Keputusan stabilisasi merupakan peran pemerintah untuk menjamin dan menjaga stabilitas perekonomian secara makro misalnya mengendalikan laju inflasi, keseimbangan neraca pembayaran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, fungsi ini terkait erat dengan variabel-variabel ekonomi makro dan berbagai instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Dalam konteks pembangunan desentralisasi, pemerintah daerah lebih berperan pada keputusan alokasi dan keputusan distribusi. Menurut Rosen 1999, keuangan publik adalah aktivitas pemerintah terkait perpajakan dan belanja pemerintah yang membahas: 1. Government expenditure atau pengeluaran pemerintah 2. Government revenues and taxes atau sumber-sumber penerimaan pemerintah dengan pajak sebagai sumber penerimaan terpenting 3. Government borrowing and indebtedness atau pinjaman pemerintah dan perlunasannya 4. Fiscal administration and fiscal technique atau administrasi fiskal dan teknis fiskal yang membahas hukum dan tata usaha keuangan negara 5. Intergovernment fiscal relationship atau perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah 6. Fiscal policy atau kebijakan fiskal yang mempelajari peran dan pengaruh keuangan pemerintah pada pendapatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, harga-harga, dan efisiensi alokasi sumber daya. Sebagai suatu studi ilmu, keuangan publik dibedakan menjadi keuangan publik positif positive public finance dan keuangan publik normatif normative public finance Stiglitz, 2000. Positive public finance adalah studi tentang fakta, keadaan, dan hubungan antar variabel yang berkenaan dengan usaha pemerintah dalam mencari dana dan menggunakan dana tersebut misalnya bagaimana sistem perpajakan dan struktur perpajakan dewasa ini, menelaah keadaan dan sistem anggaran, dan sebagainya. Dengan demikian, studi positive public finance adalah studi yang menggambarkan, menjelaskan, dan meramalkan tentang apa yang terjadi dalam keuangan publik. Sedangkan, normative public finance adalah studi keuangan publik mengenai etika dan nilai pandang value judgment yaitu bagaimana kegiatan keuangan negara, perpajakan, pengeluaran, dan pinjaman pemerintah dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya, stabilisasi ekonomi makro, pemerataan distribusi pendapatan, dan sebagainya. Dengan demikian, studi normative public finance lebih fokus pada permasalahan kebijakan keuangan negara fiscal policy Kadmasasmita, 2014. Manajemen Keuangan Publik Manajemen keuangan publik adalah semua kegiatanupayaaktivitas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola semua urusan pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas finansial pemerintahan mulai dari pengelolaan penerimaan, pengeluaran, dan kebijakan mengadakan pembiayaan. Manajemen keuangan publik dituangkan dalam bentuk anggaran keuangan publik. Menurut Mardiasmo 2002, anggaran keuangan publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan dana publik. Anggaran keuangan publik berisi rencana kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter Bastian, 2006. Anggaran keuangan publik dapat didefinisikan dalam dua pengertian, yaitu: 1 perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan pada periode yang akan datang; dan 2 rencana penjatahan sumber daya yang dinyatakan dalam angka biasanya satuan uang. Dengan demikian, penganggaran keuangan publik adalah proses pelaksanaan program-program dalam bentuk pendapatan dan belanja dalam satuan moneter yang didanai dengan uang masyarakat. Artinya, anggaran keuangan publik dibuat untuk menentukan tingkat kebutuhan masyarakat yang menjamin kesejahteraan masyarakat. Ada dua jenis anggaran keuangan publik sesuai tingkat pemerintahan yaitu: 1 anggaran negara APBN yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR; dan 2 anggaran daerah APBD yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD. Menurut Mardiasmo 2002, anggaran keuangan publik berfungsi sebagai: 1. Alat perencana planning tool Bertujuan untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut. 2. Alat pengendali control tool Bertujuan untuk menyusun rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. 3. Alat kebijakan fiskal fiscal tool Bertujuan menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah sehingga dapat ekonomi dapat diprediksi dan diestimasi dengan mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. 4. Alat politik political tool Bertujuan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran keuangan publik merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. 5. Alat koordinasi dan komunikasi coordination and communication tool Merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan karena setiap unit kerja dalam pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran 6. Alat penilaian kinerja performance measurement tool Merupakan wujud komitmen dari budget holder eksekutif kepada pemberi wewenang legislatif. 7. Alat motivasi motivation tool Digunakan untuk para manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. 8. Alat menciptakan ruang publik public sphere Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat LSM, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan secara bersama-sama terlibat dalam proses penganggaran publik. Pada dasarnya, anggaran keuangan publik terdiri dari anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan anggaran operasional adalah belanja rutin recurrent expenditure . Belanja rutin adalah pengeluran pemerintah yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah. Secara umum, pengeluaran pemerintah yang termasuk anggaran operasional antara lain: belanja administrasi umum serta belanja operasi dan pemeliharaan. Sedangkan, anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan menggunakan pinjaman. Belanja investasi atau modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Penyusunan anggaran keuangan publik meliputi empat tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan anggaran Menentukan estimasi pengeluaran berdasarkan estimasi pendapatan yang tersedia. Oleh karena itu, sebelum menyetujui estimasi pengeluaran hendaknya terlebih dahulu dilakukan estimasi pendapatan secara akurat. 2. Tahap ratifikasi Melibatkan proses politik yang cukup rumit dan berat karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. Oleh karena itu, pimpinan eksekutif harus mempunyai political skill , salesmanship, dan coalition building yang memadai. 3. Tahap implementasi Pelaksanaan anggaran setelah anggaran tersebut disetujui oleh legislatif. Pada tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah ketersediaan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. 4. Tahap pelaporan dan evaluasi. Tterkait dengan aspek akuntabilitas. Tahap ini akan berjalan dengan baik dan tidak menemui banyak masalah apabila tahap implementasi didukung sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik. Dalam PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajibah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Dengan demikian, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dituangkan dalam APBD yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi: 1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman 2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga 3. Penerimaan daerah 4. Pengeluaran daerah 5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah 6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah danatau kepentingan umum. Teori Kebijakan Fiskal Dampak Kebijakan Fiskal pada Perekonomian Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam jangka pendek, pengaruh kebijakan fiskal dapat terjadi pada sisi permintaan agregat yang dikenal dengan istilah Keynesian short- run effect . Dalam jangka panjang, pengaruh kebjiakan fiskal dapat terjadi pada sisi penawaran agregat melalui peningkatan kapasitas perekonomian yang dikenal dengan istilah classical long-run effect. Secara umum, aliran Keynesian dianggap valid pada jangka pendek dimana harga-harga bersifat tetap given serta output dan tenaga kerja tergantung pada permintaan. Para pendukung aliran ini percaya bahwa pajak yang rendah dan pengeluran pemerintah yang tinggi akan memberi dampak positif pada perekonomian. Sebaliknya, aliran klasik berpendapat pada jangka panjang hal tersebut tidak akan berkelanjutan karena harga-harga akan menyesuaikan serta output dan tenaga kerja berada pada tingkat potensialnya. Pendekatan Keynesian dilakukan dengan analisis teoritis, sedangkan pendekatan klasik dilakukan dengan analisis empiris jangka panjang. Analisis teoritis dalam menjelaskan dampak kebijakan fiskal jangka pendek dengan pendekatan Keynesian mengacu pada neraca nasional yang menunjukkan bahwa komponen PDB yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor neto dapat dibagi menjadi beberapa sub komponen yang umumnya merupakan indikator kebijakan fiskal. Indikator-indikator fiskal tersebut saling terkait dan berdampak langsung pada indikator-indikator makroekonomi, seperti konsumsi swasta, keseimbangan transaksi berjalan current account balance, dan PDB. Sedangkan pada jangka panjang ada banyak faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara lain kualitas modal manusia, tingkat harga, posisi perekonomian awal, dan perkembangan teknologi Kukk, 2008. Hal ini didasari pada kenyataan peristiwa di satu periode akan memberi konsekuensi pada periode berikutnya sehingga semakin panjang periode maka semakin rumit analisis hubungan antar kejadian di satu periode jangka pendek. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi maka untuk mengetahui peran kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang digunakan pendekatan empiris. Kebijakan fiskal meliputi pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Teori peran kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek menunjukkan bahwa pengaruh perubahan kedua instrumen tersebut pada output tergantung masing-masing efek pengganda multiplier effect. Analisis dengan pendekatan Keynesian dalam model IS-LM yang diilustrasikan pada Gambar 22 menunjukkan berkurangnya pajak ΔT menggeser kurva IS ke kanan sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 3.1 dimana perubahannya tergantung efek pengganda pajak tax multiplier effect yaitu: dimana, ΔY : perubahan output ΔT : perubahan pajak MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 MPC 1 -MPC1-MPC : tax multiplier effect Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 22. Dampak Penurunan Pajak terhadap Output Persamaan 3.1 memberi implikasi peningkatan pajak akan menurunkan output karena tax multiplier effect bernilai negatif, sebaliknya penurunan pajak akan meningkatkan output. Di sisi lain, peningkatan pajak akan menambah sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai belanja pemerintah. Gambar 23 menunjukkan kenaikan belanja pemerintah sebesar ΔG akan menggeser kurva IS ke kanan sebesar jumlah tersebut sehingga titik ekuilibrium bergerak dari A ke B dan output naik dari Y 1 ke Y 2 3.2 . Besar kecilnya perubahan output aktual tersebut tergantung pada efek pengganda pengeluaran pemerintah government spending multiplier effect yaitu: dimana, ΔY : perubahan output ΔG : perubahan belanja pemerintah MPC : Marginal Propensity to Consume; 0 MPC 1 11-MPC : government spending multiplier effect Persamaan 3.2 memberi implikasi bahwa peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan output karena government spending multiplier effect bernilai positif. Sebaliknya, penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan output. Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 23. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Output Kedua persamaan di atas menunjukkan pengganda pajak tax multiplier merupakan hasil kali MPC dengan pengganda pengeluaran government spending multiplier . Namun, karena MPC positif dan keruang dari satu maka pengganda pajak lebih kecil daripada pengganda pengeluaran. Menurut Samuelson dan Nordhaus 1997 hal ini disebabkan sebagian dari pajak yang berkurang tersebut ditabung. Artinya, jika pemerintah menurunkan pajak 1 US maka hanya sebagian dari 1 US tersebut dibelanjakan oleh rumahtangga. Sedangkan, jika pemerintah membelanjakan 1 US maka seluruhnya dibelanjakan langsung untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Ini berarati, meskipun keduanya meningkatkan output tetapi peningkatan karena kenaikan belanja pemerintah akan lebih besar daripada peningkatan karena turunnya pajak. Dengan demikian, jika tambahan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak seluruhnya digunakan untuk belanja pemerintah maka output akan meningkat lebih besar dibandingkan turunnya output karena kenaikan pajak tersebut. Artinya, jika tambahan penerimaan dari pajak digunakan untuk membiayai belanja pemerintah secara efektif maka output akan meningkat. Dalam jangka panjang, ada banyak faktor yang saling terkait dan bervariasi dari waktu ke waktu yang harus diperhitungkan dalam menjelaskan perubahan ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak hanya faktor-faktor ekonomi tetapi juga faktor-faktor sosial, budaya, lingkungan, geografis, dan sebagainya. Semakin panjang periode semakin rumit analisis hubungan antara peristiwa-peristiwa ekonomi di suatu periode dengan periode-periode sebelum dan sesudahnya. Karena tidak ada model teoritis yang secara sempurna dapat menjelaskan hal itu maka diperlukan pendekatan empiris untuk mengetahui pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hasil penelitian Kukk 2008 terhadap data panel 52 negara meliputi negara maju, negara transisi, dan negara berkembang justru menunjukkan penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak langsung, pajak tidak langsung, dan hibah berpengaruh positif pada pertumbuhan PDB riil. Hal ini berbeda dengan pendapat Keynesian dimana pajak yang lebih rendah berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah untuk pegawai, konsumsi, dan bantuan-bantuan sosial berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi, kecuali pengeluaran untuk investasi memberi pengaruh positif. Hal ini juga bertentangan dengan pendapat Keynesian dimana pengeluaran pemerintah yang lebih besar berdampak positif pada perekonomian jangka pendek. Selain itu, faktor-faktor lain seperti investasi swasta juga memberi pengaruh positif pada pertumbuhan. Dengan demikian, temuan dari penelitian tersebut adalah pada jangka panjang pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan bukan pajak, pengeluaran pemerintah untuk investasi, dan investasi swasta. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian ini mengenai peran kapasitas fiskal dalam mengentaskan kemiskinan melalui efek pertumbuhan, maka cukup beralasan jika pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas fiskal terutama dari sumber-sumber pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk memperoleh efek positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Terkait fungsi anggaran keuangan publik sebagai alat kebijakan fiskal, anggaran keuangan publik bertujuan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana peran kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran keuangan publik. Menurut Tanzi 2004, para pembuat kebijakan diasumsikan hanya mengatur anggaran keuangan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial atau kepentingan umum masyarakat. Tingkat kesejahteraan sosial dapat diindikasikan oleh beberapa indikator ekonomi dan sosial. Indikator ekonomi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan tenaga kerja, pertumbuhan produktivitas, tingkat inflasi, distribusi pendapatan, dan tingkat pengangguran. Sedangkan, indikator sosial antara lain angka harapan hidup, insiden kriminalitas, angka melek huruf, kualitas lingkungan fisik, dan insiden kesakitan. Para pembuat kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan ekonomi akan fokus pada indikator-indikator ekonomi, sehingga mereka memiliki persepsi bahwa indikator-indikator ekonomi tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang dapat dinyatakan sebagai berikut: W = fy 1 , y 2 , …, y n dimana, 3.3 W : tingkat kesejahteraan y i : indikator ekonomi ke-i Para pembuat kebijakan meyakini bahwa indikator-indikator ekonomi dipengaruhi oleh perubahan instrumen-instrumen kebijakan tertentu. Dengan demikian, masing-masing indikator ekonomi merupakan fungsi dari berbagai instrumen kebijakan, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: y i = fx 1 , x 2 , …, x j dimana, 3.4 y i x : indikator ekonomi ke-i j Seringkali, suatu instrumen x : kebijakan ekonomi ke-j j sangat efisien dalam mempengaruhi suatu indikator spesifik y i Desentralisasi Fiskal . Dalam konteks ini, efisiensi adalah perubahan suatu instrumen sebesar ∆x diperlukan untuk mengubah suatu indikator sebesar ∆y. Jika perubahan instrumen yang kecil dapat menghasilkan perubahan indikator yang signifikan maka instrumen tersebut dipandang efisien terhadap indikator tersebut. Dengan demikian, jika instrumen-instrumen yang efisien tersebut ada maka kebijakan untuk mendorong tujuan-tujuan ekonomi akan menjadi lebih mudah. Contoh-contoh instrumen kebijakan antara lain: 1 berbagai jenis pajak; 2 corak pajak seperti pemotongan pajak dan tingkat pajak; 3 berbagai jenis pengeluaran; dan 4 corak pengeluaran. Sedangkan, instrumen-instrumen ekonomi non-fiskal yang juga mempengaruhi indikator-indikator sosial ekonomi antara lain: 1 nilai tukar; 2 suku bunga; dan 3 regulasi. Peran penting keuangan daerah muncul dalam konteks desentralisasi fiskal. Oates 1972 dalam teori desentralisasi berpendapat barang publik seharusnya disediakan oleh yurisdiksi geografis – dalam hal ini pemerintah daerah - yang menginternalisasi persediaan barang publik serta mencakup kebutuhan konsumsi seluruh penduduk. Dua faktor utama yang mendukung desentralisasi adalah: 1 umumnya pemerintah pusat lebih fokus pada manajemen kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan mempertahankan stabilitas politik nasional sehingga kurang memperhatikan persediaan kebutuhan layanan sipil kecuali jika melibatkan investasi padat modal dalam skala besar Rondinelli, 1990 ; 2 Desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah akan meningkatkan efisiensi persediaan berbagai layanan publik karena tingkat pemerintahan yang lebih rendah lebih fokus pada hal tersebut. Cheema dan Rondinelli 1983 mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan danatau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah. Perbedaan konsep desentralisasi terutama ditentukan berdasarkan tingkat kewenangan perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer oleh pemerintah pusat, dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Ada empat dimensi desentralisasi, yaitu: 1 desentralisasi politik; 2 desentralisasi administrasi; 3 desentralisasi fiskal; dan 4 desentralisasi ekonomi dan pasar. Desentralisasi politik adalah suatu mekanisme dimana pemerintah pusat memberi kekuasaannya kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam membuat keputusan publik. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan untuk memperbaiki efisiensi manajemen dalam menyediakan layanan publik. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Desentralisasi ekonomi dan pasar bertujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi dunia usaha dan menyediakan barang dan jasa sesuai respon terhadap kebutuhan lokal dan mekanisme pasar. Sebagai bagian dari desentralisasi, desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi pengalihan kekuasaan perpajakan dan pengeluaran pemerintah kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah Fukasaku dan de Mello Jr., 1999. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan revenue assignments, dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: 1 pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; 2 pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan 3 tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya Oates, 1972. Teori federalisme fiskal Musgrave 1959 dan Oates 1972 tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi. Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar. Pengaruh Transfer Fiskal dan Flypaper Effect Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah intergovenmental fiscal tranfers. Pengaruh transfer fiskal pada kinerja fiskal pemerintah dareah dapat dijelaskan dengan teori perilaku konsumen menggunakan format kendala anggaran dan kurva indeferens yang dipelopori oleh Wilde 1968. Pada Gambar 24 kurva indeferens U , U 1 , dan U 2 menggambarkan preferensi masyarakat dengan kendala anggaran pendapatan yang digambarkan dengan garis “Y” dan “Y+Grant” dimana masyarakat dianggap berperilaku rasional memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Transfer bersyarat conditional transfer sebesar “Grant” akan memutar garis anggaran ke atas dari “Y” menjadi “Y+Grant” sehingga garis anggaran yang baru lebih datar. Konsekuensinya adalah konsumsi barang publik meningkat dari Z menjadi Z 1 . Sementara, pengaruh transfer bersyarat pada konsumsi barang publik tergantung pada elastisitas silangnya. Harga barang publik yang lebih rendah akan meningkatkan konsumsi barang privat jika pemerintah daerah telah menurunkan tarif pajak, sehingga konsumsi barang privat meningkat dari X 1 menjadi X 2 . Dengan demikian, kenaikan transfer sebagian mengakibatkan kenaikan konsumsi barang publik dan sebagian lagi mengakibatkan kenaikan konsumsi barang privat secara tidak langsung melalui turunnya tarif pajak. Sumber: Kuncoro 2004 Gambar 24. Pengaruh Transfer Bersyarat Conditional Transfer Dengan pendekatan yang sama, bantuan tidak bersyarat unconditional transfer sebesar “Grant” akan menggeser garis anggaran ke atas dari “Y” ke “Y+Grant” Gambar 25. Dengan asumsi barang publik adalah barang normal, transfer fiskal yang bersifat umum lump-sum akan meningkatkan keseimbangan konsumen dari E pada kurva indiferens U menjadi E M pada kurva indiferens U 1 . Pada titik keseimbangan baru, konsumsi barang publik meningkat dari Z ke Z 1 dan konsumsi barang privat meningkat dari X ke X 1 . Dengan sifatnya yang tidak bersyarat, tekanan fiskal pada basis pajak lokal menurun sehingga penerimaan pajak turun sebesar - ∆TR. Sementara pengeluaran untuk konsumsi barang publik tetap meningkat akibat meningkatnya pendapatan pemerintah dari unconditional transfer tersebut. Hal ini berarti transfer fiskal mengurangi beban pajak masyarakat sehingga pemerintah daerah tidak perlu meningkatkan pajak untuk menyediakan barang publik. Dengan perkataan lain, anggaran transfer dari pemerintah pusat merupakan substitusi pajak daerah. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali transfer fiskal tidak bersyarat dimana transfer tidak menjadi substituti pajak daerah Gramlich, 1977. Pada Gambar ditunjukkan keseimbangan masyarakat setelah menerima transfer bukan di titik E M melainkan di titik E FP dimana konsumsi barang publik meningkat dari Z ke Z 2 dan konsumsi barang privat berkurang dari X ke X 2 . Artinya, belanja publik meningkat lebih besar dari titik keseimbangan awal sedangkan belanja privat lebih rendah. Berkurangnya konsumsi barang privat disebabkan naiknya pajak daerah sebesar ΔTR. Dengan perkataan lain, transfer tidak bersyarat akan meningkatkan belanja publik tetapi tidak menjadi substitusi bagi pajak daerah. Dalam berbagai literatur, kondisi ini disebut flypaper effect. Fenomena flypaper effect akan berimplikasi pada meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang melebihi penerimaan transfer itu sendiri Turnbull, 1998. Sumber: Kuncoro 2004 Gambar 25. Pengaruh Transfer Tidak Bersyarat Unconditional Transfer Istilah flypaper effect muncul dari pemikiran Arthur Okun yaitu “money sticks where it hits ” Hines dan Thaler, 1995. Hal ini terjadi karena transfer fiskal ke sektor publik tetap berada di sektor tersebut dan tidak didistribusikan ke sektor swasta dalam bentuk pajak yang lebih rendah. Sampai saat ini, belum ada padanan kata flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga studi-studi terkait flypaper effect di Indonesia menggunakan istilah ini apa adanya tanpa diterjemahkan. Ada dua teori utama yang mendasari kajian-kajian mengenai penyebab flypaper effect, yaitu ilusi fiskal fiscal illusion dan model birokratik bureaucratic model Saruc dan Sagbas, 2008. Teori ilusi fiskal didasari pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki keterbatasan informasi mengenai anggaran pemerintah daerahnya. Teori ilusi fiskal yang dikemukakan Oates 1999 menjelaskan flypaper effect terjadi karena masyarakat tidak memahami bahwa biaya penyediaan barang publik yang turun adalah biaya rata-rata atau biaya marjinal. Namun, masyarakat hanya tahu bahwa harga barang publik akan turun jika pemerintah daerah menerima transfer fiskal. Jika permintaan barang publik tidak elastis maka transfer menyebabkan kenaikan pajak. Artinya, flypaper effect terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap anggaran pemerintah daerah. Sedangkan model birokratik didasari pada pemikiran bahwa birokrat memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan publik. Pada model birokratik yang dipelopori Niskanen 1968 flypaper effect terjadi akibat perilaku memaksimalkan anggaran oleh birokrat daerah atau politisi lokal yang lebih mudah dengan cara menghabiskan transfer dari pada menaikkan pajak. Hal ini disebabkan birokrat memaksimalkan anggaran untuk menyediakan barang publik sehingga biaya rata-rata barang publik sama dengan harganya. Tetapi, ketika biaya marjinalnya lebih tinggi dari harganya maka kuantitas barang publik menjadi terlalu banyak. Dengan demikian, transfer akan menurunkan harga barang publik sehingga memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran. Dengan perkataan lain, pada model birokratik, flypaper effect terjadi karena perilaku birokrat yang lebih leluasa membelanjakan transfer dari pada menaikkan pajak. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang meningkatkan produksi barang dan jasa sebagai akibat meningkatnya faktor-faktor produksi dalam kuantitas dan kualitas. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari perubahan sisi penawaran atau aggregate supply AS dan perubahan sisi permintaan atau aggregate demand AD. Penelitian ini menggunakan pendekatan produksi sektoral sehingga kajian teori hanya dibatasi pada pertumbuhan ekonomi sisi penawaran. Untuk itu, perlu diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan penawaran sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Menurut Dornbusch, et al. 2008, pertumbuhan ekonomi terkait dengan pertumbuhan input tenaga kerja dan modal dan perbaikan teknologi yang dapat melekat pada tenaga kerja dan modal. Output dapat tumbuh karena kenaikan input dan produktivitas yang disebabkan oleh perbaikan teknologi. Dengan demikian, teori pertumbuhan ekonomi adalah penjelasan logis mengenai proses terjadinya pertumbuhan yang melibatkan dua hal, yaitu: 1 faktor-faktor yang menentukan kenaikan output; dan 2 bagaimana interaksi antar faktor tersebut sehingga terjadi pertumbuhan. Ada dua periode dimana studi tentang teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, yaitu tahun 1950an–1960an dan tahun 1980an–1990an. Periode pertama menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik yang dipelopori Robert Solow yang fokus pada akumulasi modal dan peran teknologi. Sedangkan, periode kedua menghasilkan teori pertumbuhan endogen yang fokus pada determinan teknologi. Model Pertumbuhan Solow Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut Dornbusch, et al., 2008: Y = A.FK, N 3.5 dimana, Y : output K : modal N : tenaga kerja A : teknologi Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium keseimbangan yang mapan. Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita YN = y dan modal per kapita KN = k stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah Δy = 0 dan Δk = 0. Ilustrasi pada Gambar 26 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y dan k. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : 1 jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita k dan ouput per kapita y meningkat; 2 jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita k dan output per kapita y berkurang. Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 26. Model Pertumbuhan Solow: Output dan Investasi Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale CRS yaitu y = fk dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal MPK yang berkurang diminishing positive marginal product of capital . Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu: Y = AK θ N 1- θ Fungsi produksi per kapitanya adalah: 3.6 y = YN = AK θ N 1- θ N = AK θ N - θ N = AKN θ = Ak θ 3.7 Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita k pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n = ΔNN dan tingkat depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan,investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = n+dk. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan s maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka: sy = sfk 3.8 Perubahan modal per kapita Δk adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu: Δk = sy – n+dk 3.9 Selanjutnya, kondisi steady-state Δk = 0 terjadi pada y dan k yang memenuhi: sy = sfk = n+dk 3.10 Solusi steady-state pada Gambar 26 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus n+dk adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja k agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan sy n+dk maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan. Sebagai contoh, ketika perekonomian diawali pada k Namun, model Solow menunjukkan bahwa pada jangka panjang tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang terjadi karena jika pendapatan per kapita y konstan maka pendapatan agregat Y akan tumbuh pada tingkat yang sama dengan tingkat pertumbuhan penduduk n. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 27 menunjukkan bahwa pada jangka pendek kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat pertumbuhan output. Pada jangka panjang kenaikan tingkat tabungan menyebabkan kenaikan tingkat modal per kapita dan output perkapita sehingga tingkat pertumbuhan tidak berubah. Perekonomian diawali pada steady-state equilibrium di titik C yaitu tabungan sama dengan investasi yang dibutuhkan sy = n+dk. Ketika tabungan naik dari sy ke s maka tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan sehingga modal per kapita naik dari k ke k dan output per kapita naik dari y ke y yang ditunjukkan pada titik C . Pada titik tersebut kenaikan jumlah tabungan mampu menambah stok modal per kapita sehingga modal per kapita dan output per kapita meningkat. Tetapi, pada titik C perekonomian telah kembali pada tingkat pertumbuhan n dari steady-state nya. Dengan demikian, dengan fungsi produksi CRS kenaikan tingkat tabungan hanya akan menaikkan tingkat output per kapita y dan modal per kapita k dalam jangka panjang, sementara tingkat pertumbuhan output per kapita tetap. Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 27. Model Pertumbuhan Solow: Peran Tabungan Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 28. Model Pertumbuhan Solow: Peran Teknologi Model pertumbuhan Solow juga menunjukkan peran teknologi sebagai variabel eksogen yang diilustrasikan pada Gambar 28. Pada ulasan sebelumnya, teknologi diasumsikan konstan ΔAA = 0. Akan tetapi, teknologi diperlukan untuk menjelaskan teori pertumbuhan jangka panjang. Jika laju pertumbuhan teknologi sebesar g atau ΔAA = g, maka fungsi produksi y = Afk naik sebesar g persen per tahun dan fungsi tabungan sy akan tumbuh secara paralel. Sehingga, pada kondisi seimbang y dan k akan tumbuh sepanjang waktu. Parameter teknologi A dapat masuk ke dalam fungsi produksi melalui dua cara, yaitu: dengan tabungan A lebih besar dari investasi yang dibutuhkan untuk menjaga supaya k konstan B maka modal akan diakumulasi untuk mencapai k yang berhenti pada titik C dimana tabungan sama dengan investasi yang dibutuhkan sy = n+dk. Pada saat investasi aktual dan investasi yang dibutuhkan tersebut telah seimbang maka modal per tenaga kerja k tidak naik dan tidak turun yang berarti perekonomian telah mencapai kondisi steady-state. Implikasi penting dari model pertumbuhan Solow adalah negara-negara dengan tingkat tabungan, tingkat pertumbuhan populasi, dan teknologi yang sama atau dengan perkataan lain memiliki fungsi produksi yang sama akan konvergen pada pendapatan yang sama meskipun prosesnya lambat. 1. Secara labour augmenting. Dengan cara ini teknologi baru dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, melalui fungsi produksi Y = FK, AN. S ehingga Δyy = θ x Δkk + [1-θ x ΔAA] atau g = ΔAA = [Δyy – θ x Δkk] 1-θ. Pada keseimbangan, output per kapita y dan modal per kapita k tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi g dimana Y dan K tumbuh pada tingkat pertumbuhan teknologi ditambah tingkat pertumbuhan populasi g+n. Dalam model ini upah riil juga tumbuh pada tingkat g. 2. Teknologi melipatkgandakan semua faktor melalui fungsi produksi Y = AFK, N. Komponen A disebut Total Factor Productivity TFP karena melipatgandakan semua faktor tidak hanya tenaga kerja. Dengan fungsi produksi tersebut maka g = Δyy – θΔkk, yang dikenal juga sebagai Solow Residual. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan Solow adalah : 1. Pertumbuhan output adalah fungsi pertumbuhan input terutama modal dan tenaga kerja dimana pengaruhnya tergantung pada proporsi setiap faktor 2. Tenaga kerja adalah input paling penting 3. Tabungan tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan jangka panjang 4. Pertumbuhan jangka panjang dihasilkan dari perbaikan teknologi 5. Jika tidak ada perbaikan teknologi maka output per kapita akan konvergen ke nilai steady-state yang secara positif bergantung pada tingkat tabungan dan secara negatif bergantung pada laju pertumbuhan populasi. Model Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Romer 1986 dan Lucas 1988 dikembangkan untuk menjawab pertentangan model pertumbuhan Solow baik secara teoritis maupun empiris yang tidak menjelaskan determinan teknologi sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan jangka panjang. Selain itu, teori pertumbuhan Solow yang memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat tabungan tidak berkorelasi pada kondisi steady-state tidak terbukti karena studi-studi empiris di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi positif antara tingkat tabungan dan pertumbuhan Dornbusch, et al., 2008. Model pertumbuhan endogen yang menjelaskan determinan pertumbuhan ekonomi jangka panjang berawal dari pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hasil sistem ekonomi yang endogen, bukan kekuatan-kekuatan yang datang dari luar atau eksogen. Teori pertumbuhan endogen menekankan pada peluang pertumbuhan yang berbeda dari modal fisik physical capital dan modal pengetahuan knowledge capital. Dengan demikian, model pertumbuhan endogen merupakan perluasan model pertumbuhan Solow dengan menambahkan variabel modal manusia human capital. Kenaikan investasi pengetahuan merupakan kunci yang menghubungkan tingkat tabungan yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan keseimbangan yang tinggi. Teori pertumbuhan endogen bertumpu pada konsep external returns to capital yang besar terutama dari modal manusia khususnya investasi pengetahuan. Karena pengetahuan dapat tumbuh tanpa batas maka investasi modal manusia serta penelitian dan pengembangan merupakan kunci pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pada model pertumbuhan endogen, perubahan teknologi, suku bunga, dan perubahan jumlah penduduk merupakan variabel-variabel endogen. Sementara, modal berperan lebih besar jika tidak hanya dalam bentuk modal fisik physical capital tetapi juga modal pengetahuan knowledge capital. Secara sederhana, model pertumbuhan endogen dinyatakan dalam fungsi produksi agregat: Y = A.FK, H, N 3.11 dimana, Y : output K : modal fisik H : modal manusia akumulasi pendidikan dan kesehatan N : tenaga kerja A : teknologi Sumber: Dornbusch, et al. 2008 Gambar 29. Model Pertumbuhan Endogen Mekanisme model pertumbuhan endogen pada Gambar 29 menunjukkan fungsi produksi diasumsikan memiliki MPK konstan atau berbentuk garis lurus sehingga kurva tabungan sy secara paralel juga berbentuk garis lurus. Namun, karena tidak ada kecenderungan kurva tabungan menurun maka tingkat tabungan selalu melebihi investasi yang dibutuhkan sy n+dk. Proses perekonomian yang membawa ke pertumbuhan endogen dapat dijelaskan secara aljabar sederhana yaitu dengan asumsi fungsi produksi constant MPK dan modal adalah satu-satunya faktor produksi maka secara spesifik output proporsional terhadap stok modal atau: Y = aK 3.12 Secara sederhana, MPK adalah konstanta a. Dengan asumsi tingkat tabungan konstan s dan tidak ada pertumbuhan penduduk maupun depresiasi modal n = d = 0 maka seluruh tabungan digunakan untuk meningkatkan modal, sehingga: sY = saK 3.13 atau ΔKK = sa 3.14 Persamaan 3.14 menunjukkan tingkat pertumbuhan modal ΔKK proporsional terhadap tingkat tabungan s. Selanjutnya, karena output proporsional terhadap modal maka tingkat pertumbuhan output adalah: ΔYY = sa 3.15 Persamaan 3.15 mengindikasikan semakin tinggi tingkat tabungan s semakin tinggi tingkat pertumbuhan output ΔYY. Dengan demikian, esensi model pertumbuhan endogen adalah: 1. Pertumbuhan output bergantung pada tingkat perkembangan teknologi 2. Perkembangan teknologi bergantung pada tingkat tabungan khususnya yang diarahkan untuk pengembangan modal manusia human capital 3. Tingkat tabungan yang tinggi, pertumbuhan penduduk yang rendah, orientasi outward looking , dan lingkungan perekonomian yang dapat diprediksi merupakan faktor-faktor penting yang mendukung pertumbuhan. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran disusun berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori. Kerangka pemikiran penelitian yang disajikan pada Gambar 30 menggambarkan dampak meningkatnya kapasitas fiskal terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Sesuai konsep-konsep keuangan daerah, kapasitas fiskal dapat ditingkatkan melalui sumber-sumber PAD dan bagi hasil pajak. Meningkatnya penerimaan pajak daerah akan meningkatkan PAD, sementara peningkatan penerimaan pajak nasional khususnya dari pajak-pajak penghasilan dan pajak-pajak properti tertentu akan meningkatan penerimaan bagi hasil pajak. Sesuai pendapat aliran klasik, pada jangka panjang peningkatan pajak berdampak positif pada perekonomian. Sementara aliran Keynesian berpendapat bahwa pada jangka pendek peningkatan pengeluaran pemerintah akan berdampak positif pada perekonomian. Kedua pendapat tersebut selanjutnya menjadi dasar kerangka pemikiran penelitian ini. Peningkatan penerimaan daerah dari kapasitas fiskal menambah kemampuan daerah untuk membiayai belanja-belanja daerah. Di sisi lain, kenaikan penerimaan pajak nasional akan meningkatkan penerimaan daerah dari DAU sehingga menambah sumber keuangan daerah. Namun, studi-studi empiris terdahulu menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada DAU dimana belanja daerah lebih responsif terhadap kenaikan DAU dari pada kenaikan pendapatan lokal atau dalam hal ini kapasitas fiskal. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terindikasi tidak pro-poor menjadi alasan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya mengutamakan instrumen DAU tidak mengacu pada strategi pertumbuhan pro- poor. Hal ini menjadi dasar pemikiran penelitian ini yaitu strategi pertumbuhan pro-poor lebih mengandalkan penerimaan daerah dari sumber-sumber lokal yaitu kapasitas fiskal. Belanja daerah yang lebih besar meningkatkan output sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah dalam ukuran perubahan PDRB riil. Output yang lebih besar akan meningkatkan upah riil tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan rumahtangga. Penggunaan indikator upah riil karena lebih mampu menggambarkan daya beli penduduk sehingga lebih mencermikan tingkat pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran untuk konsumsi meningkat. Dengan konsep kemiskinan pendapatan income poverty, pengeluaran per kapita yang lebih besar akan mengurangi jumlah penduduk miskin sehingga tingkat kemiskinan berkurang. Selain itu, pertumbuhan pro-poor memperbaiki distribusi pendapatan sehingga menambah pengaruh meningkatnya pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya PDRB per kapita akan meningkatkan penerimaan negara dari pajak sehingga kemampuan negara untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya ke daerah dalam bentuk DAU meningkat. Tetapi, sesuai formula alokasi DAU dimana PDRB yang lebih besar akan mengurangi DAU sehingga PDRB yang terus meningkat secara bertahap akan menurunkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Pajak daerah Pajak nasional Bagi hasil pajak Kapasitas fiskal Belanja daerah PDRB Upah Riil Pengeluaran perkapita Kemiskinan Indeks Gini Dana Alokasi Umum Flypaper effect Pro-poor growth strategy Pendapatan Asli Daerah Keterangan Pengaruh langsung Asumsi Gambar 30. Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian Hipotesis umum yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Pertumbuhan ekonomi daerah adalah faktor penting dalam meningkatkan kapasitas fiskal. 2. Ada perbedaan perilaku pemerintah daerah dalam mengalokasikan DAU dan kapasitas fiskal untuk membiayai belanja-belanja sektoral. 3. Ketimpangan pendapatan yang lebih rendah menambah peran pertumbuhan ekonomi daerah dalam mengentaskan kemiskinan. 4. Kapasitas fiskal berdampak positif pada pertumbuhan pro-poor daerah yaitu pertumbuhan ekonomi daerah diikuti turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan serta memihak kelompok penduduk miskin pertanian. 5. Kapasitas fiskal dapat mengurangi ketergantungan daerah pada DAU. Halaman ini sengaja dikosongkan

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kapasitas Fiskal Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun pendapatan dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Jika mengacu pada UU No.332004 pasal 28, potensi daerah dicerminkan oleh PAD dan dana bagi hasil. Sesuai asas money follow functions dimana penyerahan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan sistem otonomi daerah disertai dengan penyerahan sumber- sumber pembiayaan daerah yang sebelumnya dikuasai pemerintah pusat termasuk di dalamnya PAD dan dana bagi hasil maka kapasitas fiskal yang bersumber dari PAD dan bagi hasil merupakan faktor penting bagi pembangunan desentralisasi di Indonesia. Istilah kapasitas fiskal memiliki dua terminologi yang tercantum setidaknya dalam tiga peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 332004 dan PP No. 552005 kapasitas fiskal adalah pendapatan daerah dari PAD dan Dana Bagi Hasil. PAD diperoleh melalui pengalihan sebagian kewenangan pengumpulan pajak ke daerah tax assignments, sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan negara dari sumber daya manusia dan sumber daya alam daerah yang diberikan ke daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah faktor pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal di masing-masing provinsi dan kabupatenkota. Selain itu, istilah kapasitas fiskal juga digunakan untuk mengetahui peta kapasitas fiskal daerah sebagai dasar dalam menentukan hibah dan pinjaman daerah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK yang diterbitkan setiap tahun. Dalam PMK No. 226PMK.072012, kapasitas fiskal merupakan rasio total penerimaan daerah PAD, Dana Bagi Hasil, DAU dan penerimaan lain-lain setelah dikurangi belanja pegawai dan jumlah penduduk miskin. Penelitian ini menggunakan konsep kapasitas fiskal yang pertama yaitu akumulasi PAD dan dana bagi hasil dengan alasan konsep kapasitas fiskal tersebut merupakan alokator DAU dan terkait permasalahan penelitian yaitu keuangan daerah yang sangat tergantung pada DAU sementara kemampuan kapasitas fiskal rendah. Selain itu, konsep ini paling banyak digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu terkait dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian dan tingkat kemiskinan dalam kerangka penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Besar kecilnya kapasitas fiskal sangat tergantung pada ketersediaan sumber- sumber pajak tax objects dan tingkat hasil buouyancy dari objek pajak karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya terhadap kekuatan yang mempengaruhi pengeluaran misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif Makmun, 2008. Sumber-sumber pendapatan potensial daerah juga menentukan tingkat kemampuan keuangan daerah. Setiap daerah memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin pada PAD. Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI dalam http:www.fiskal.depkeu.go.idwebbkf yang menggunakan data panel 26 provinsi tahun 2002-2004 dengan metode regresi path analysis menemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara pajak daerah dan bagi hasil pajak dengan kapasitas fiskal. Sedangkan hubungan retribusi daerah dengan kapasitas fiskal tidak signifikan. Dengan demikan, pajak daerah dan bagi hasil pajak merupakan sumber-sumber pendapatan daerah yang berperan meningkatkan kapasitas fiskal. Berdasarkan termuan tersebut maka penelitian ini menggunakan instrumen pajak daerah dan bagi hasil pajak untuk meningkatkan kapasitas fiskal. Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan di wilayah tersebut kepada pemerintah daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa tolok ukur untuk menilai pajak daerah adalah hasil yields, keadilan equity, daya guna ekonomi economic efficiency, kemampuan melaksanakan ability to implement, dan kecocokan sebagai sumber penerimaan pajak daerah sustainability as local revenue source Devas, 1989. Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia, pemungutan pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai UU No. 282009 yang meliputi: 1. Pajak Provinsi, terdiri dari: a. Pajak kendaraan bermotor b. Bea balik nama kendaraan bermotor c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor d. Pajak air permukaan e. Pajak rokok cukai 2. Pajak KabupatenKota, terdiri dari: a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame e. Pajak penerangan jalan f. Pajak mineral bukan logam dan batuan g. Pajak parkir h. Pajak air tanah i. Pajak sarang burung walet j. Pajak Bumi dan Bangunan PBB perdesaan dan perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB Menurut Bird 2011 jika pemerintah daerah lebih boros bigger spenders akibat implementasi desentralisasi pengeluaran expenditure decentralization maka untuk responsibilitas dan akuntabilitas fiskal maka pengeluaran yang besar tersebut seharusnya diikuti kemampuan mengumpulkan pajak daerah yang lebih besar bigger taxers yang mencerminkan berjalannya desentralisasi penerimaan revenue decentralization. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah maka perlu dilakukan reformasi pajak daerah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Untuk meningkatkan pendapatan pajak daerah, pemerintah telah berupaya meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas objek pajak melalui kegiatan-kegiatan ekstensifikasi pajak antara lain canvassing penyisiran wajib pajak, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP, dan Sensus Pajak Nasional. Sedangkan, upaya-upaya intensifikasi pajak dilakukan untuk mengoptimalkan penggalian penerimaan pajak terhadap objek pajak dan subjek pajak yang telah tercatat, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan di daerah. Berdasarkan UU No. 282009, pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih luas untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan prinsip-prinsip pungutan daerah yang baik Nota Keuangan RAPBN, 2013. Selain itu, pemerintah daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan pengenaan pajak dan retribusi, mengelola pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah, dan menambah jenis-jenis pajak baru untuk memperluas basis pajak di daerah. Akan tetapi, berbagai upaya di bidang perpajakan dengan menggali potensi cakupan pajak tax coverage dan meningkatkan kepatuhan pajak tax compliance dari masyarakat seringkali menghadapi berbagai hambatan baik dari wajib pajak masyarakat, aparatur pajak, dan sistem perpajakan. Oleh karena itu, permasalahan pajak harus ditangani secara sinergis dan komprehensif. Sumber kapasitas fiskal lainnya adalah dana bagi hasil. Sumber keuangan ini merupakan transer dari APBN berdasarkan suatu nilai persentase tertentu yang diatur dalam UU No. 332004. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Bagi hasil pajak bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri WPOPDN, PPh Pasal 21, Pajak Bumi dan Bangunan PBB, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB dengan imbangan untuk pusat dan daerah sebagai berikut: 1. Pajak-pajak penghasilan PPh a. 80 untuk pemerintah pusat b. 20 untuk pemerintah daerah 1 8 untuk provinsi yang bersangkutan 2 12 untuk kabupatenkota dalam provinsi yang bersangkutan a 8.4 untuk kabupatenkota tempat wajib pajak terdaftar b 3.6 untuk seluruh kabupatenkota dalam provinsi secara merata 2. Pajak Bumi dan Bangunan PBB a. 10 untuk pemerintah pusat 1 6.5 dibagikan secara merata kepada seluruh kabupatenkota 2 3.5 dibagikan sebagai insentif kepada kabupatenkota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu b. 90 untuk pemerintah daerah 1 16.2 untuk provinsi yang bersangkutan 2 64.8 untuk kabupatenkota yang bersangkutan 3 9.0 untuk biaya pemungutan 3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB a. 20 untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dibagikan secara merata kepada seluruh kabupatenkota. b. 80 untuk pemerintah daerah 1 16 untuk provinsi yang bersangkutan 2 64 untuk kabupatenkota penghasil Sedangkan, bagi hasil sumber daya alam meliputi: 1. Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan IHPH dan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH dari wilayah daerah yang bersangkutan a. 20 untuk pemerintah pusat b. 80 untuk pemerintah daerah 2. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi a. 60 untuk pemerintah pusat b. 40 untuk pemerintah daerah 3. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan a. 20 untuk pemerintah pusat b. 80 untuk pemerintah daerah 4. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional a. 20 untuk pemerintah pusat b. 80 untuk seluruh kabupatenkota 5. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan a. 84.5 untuk pemerintah pusat b. 15.5 untuk pemerintah daerah 6. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan a. 69.5 untuk pemerintah pusat b. 30.5 untuk pemerintah daerah 7. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak a. 20 untuk pemerintah pusat b. 80 untuk pemerintah daerah Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi dengan Proporsi Bagi Hasil SDA Terbesar Tahun 2011 Provinsi Proporsi Bagi hasil SDA 1 Pertumbuhan Ekonomi Indeks Gini Persentase penduduk miskin Kalimantan Timur 52.8 3.93 0.38 6.8 Riau 50.0 5.01 0.36 8.5 Kepulauan Riau 35.6 6.67 0.32 7.4 Sumatera Selatan 24.0 6.50 0.34 14.2 Kalimantan Selatan 19.9 6.12 0.37 5.3 Indonesia 6.46 0.41 12.5 Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan R.I. Catatan: 1 Proporsi pada total pendapatan daerah data agregat provinsi dan kabkota 2 Kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan bagi hasil sumber daya alam yang sangat besar antar provinsi dan kabupatenkota. Sesuai formula penghitungannya, dana bagi hasil sumber daya alam SDA yang diterima daerah sangat tergantung pada output pertambangan dan penggalian, sehingga provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam di sektor pertambangan dan penggalian menerima bagi hasil SDA paling besar. Namun, kekayaan sumber Perubahan PDB Riil Harga konstan tahun 2000 daya alam seringkali tidak sejalan dengan kondisi perekonomian daerah. Provinsi- provinsi dengan komposisi bagi hasil SDA paling besar tidak serta merta memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang rendah Tabel 5. Pada tahun 2011, provinsi Kalimantan Timur menerima proporsi bagi hasil SDA paling besar, tetapi pertumbuhan ekonominya hanya 3.93 atau jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6.46. Sedangkan, provinsi Sumatera Selatan yang hanya memiliki komposisi bagi hasil SDA sekitar seperempat dari total penerimaan daerahnya, ekonominya tumbuh cukup tinggi yaitu 6.50. Namun demikian, angka kemiskinannya cukup tinggi yaitu 14.2 bahkan lebih besar dari pada angka kemiskinan nasional yaitu 12.5. Perbedaan bagi hasil SDA yang sangat besar antar daerah menjadi alasan bahwa komponen kapasitas fiskal tersebut tidak menjadi fokus penelitian ini. Perkembangan Kapasitas Fiskal di Indonesia Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 1. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Gambar 1 menunjukkan komposisi kapasitas fiskal pada total pendapatan daerah di provinsi DKI Jakarta merupakan yang terbesar bahkan meningkat dari 93.5 menjadi 94.6 selama periode 2005-2011. Tingginya kapasitas fiskal terutama bersumber dari PAD dan bagi hasil pajak. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal terbesar adalah Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan. Kapasitas fiskal di keempat provinsi tersebut terutama bersumber dari bagi hasil SDA. Sementara, Sulawesi Barat memiliki komposisi kapasitas fiskal paling rendah yaitu 11.4 pada tahun 2011 bahkan lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yaitu 16.1. Empat provinsi lain dengan komposisi kapasitas fiskal paling rendah adalah NTT, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Secara rata-rata, komposisi kapasitas fiskal per provinsi turun dari 35.2 pada tahun 2005 menjadi 31.2 pada tahun 2011. Penyebab turunnya komposisi kapasitas fiskal dapat ditinjau dari sumber-sumbernya. Gambar 2 menunjukkan komposisi PAD pada total pendapatan daerah rata-rata meningkat dari 15.5 menjadi 16.3. Namun peningkatan ini terutama disebabkan kenaikan 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um ut DI Y Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt im D K I ra ta -r a ta 2005 2011 komposisi PAD di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Riau masing-masing 7.9 persen poin, 6.6 persen poin, dan 4.1 persen poin. Sementara, komposisi PAD di 17 provinsi justru berkurang. Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 2. Komposisi PAD pada Total Pendapatan Daerah Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 3. Komposisi Bagi Hasil Pajak pada Total Pendapatan Daerah Sedangkan, rata-rata komposisi bagi hasil pajak selama periode 2005-2011 turun dari 11.1 menjadi 6.8 per provinsi per tahun Gambar 3. Turunnya komposisi bagi hasil pajak terjadi di semua provinsi terutama Papua Barat yang 24.8 menjadi 7.1 atau penurunannya sekitar 17.7 persen poin. Berkurangnya penerimaan daerah dari bagi hasil pajak dapat disebabkan karena pengalihan PBB menjadi pajak daerah sejak tahun 2011. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa komposisi bagi hasil pajak di semua provinsi pada tahun 2010 berkurang kecuali DKI Jakarta, Riau, DIY, Bali, dan Jawa Tengah. Hal ini dapat menjadi indikasi 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um ut DI Y Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt im D K I ra ta -r a ta 2005 2011 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um ut DI Y Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt im D K I ra ta -r a ta 2005 2010 2011 bahwa penurunan komposisi bagi hasil pajak juga terjadi pada sumber bagi hasil pajak selain PBB yaitu PPh. Hal serupa terjadi pada komposisi bagi hasil SDA yang rata-rata turun dari 8.6 menjadi 8.1 terutama di Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah penerima bagi hasil SDA terbesar di Indonesia Gambar 4. Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 4. Komposisi Bagi Hasil SDA pada Total Pendapatan Daerah Dana Alokasi Umum Formula DAU Dana Alokasi Umum DAU adalah transfer fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat hibah block grant bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan horizontal horizontal imbalance antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah. Dana ini digunakan untuk mendanai kebutuhan fiskal daerah. Sesuai amanat kebijakan desentralisasi fiskal, penggunaan DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Alokasi DAU yang diatur dalam UU No. 332004 dan PP No. 552005 menyebutkan bahwa total DAU dalam APBN ditetapkan sekurang-kurangnya 26 dari Pendapatan Dalam Negeri PDN Neto. PDN Neto adalah Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP setelah dikurangi dana bagi hasil dan subsidi. Tetapi jika perubahan APBN menyebabkan PDN Neto bertambah atau berkurang maka besaran DAU yang telah ditetapkan tidak berubah. Perbedaan proporsi DAU provinsi dan kabupatenkota terjadi karena perbedaan bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupatenkota. Jika penentuan proporsi kewenangan belum dapat dihitung secara kuantitatif maka proporsi DAU ditetapkan 10 untuk provinsi dan 90 untuk kabupatenkota. DAU disalurkan ke setiap daerah oleh Kementerian Keuangan R.I. secara berkala setiap bulan sebesar 112 satu per duabelas dari plafon yang telah ditetapkan. 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 S ul ba r NT T Gor on ta lo M a luk u S ul tr a P a pua S ul ut S ul te ng B e ng k ul u M a lut S um ba r NA D K al b ar P ap u a B ar at S ul se l La m pung NT B K a lt e ng Ja te ng S um ut DI Y Ja ti m B a be l Jab ar Ja m bi B a li B a nt e n K a ls e l S um se l K e pr i R ia u K a lt im D K I ra ta -r a ta 2005 2011 DAU dialokasikan sesuai formula yang dibuat dalam empat tahap dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, yaitu: 1. Tahapan akademis Merupakan tahap pembuatan konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU yang dilakukan oleh tim independen dari berbagai universitas dengan tujuan memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai ketentuan undang-undang dan karakteristik otonomi daerah di Indonesia. 2. Tahapan administratif Merupakan tahap koordinasi dengan instansi terkait untuk menyiapkan data dasar penghitungan DAU termasuk kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan DJPK. 3. Tahapan teknis Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan oleh pemerintah pusat kepada DPR RI berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan undang-undang dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis. 4. Tahapan politis Merupakan tahap akhir pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara pemerintah pusat dengan Panitia Belanja Daerah di Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU. Formula DAU disusun dengan pendekatan celah fiskal fiscal gap dan alokasi dasar. Celah fiskal mencerminkan ketidakmampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya dari sumber keuangan lokal dan dihitung sebagai selisih kebutuhan fiskal fiscal needs dan kapasitas fiskal fiscal capacity . Sedangkan alokasi dasar mencerminkan kebutuhan unsur aparatur negara di daerah dan dihitung dari total gaji PNS daerah. Dengan demikian, DAU bertujuan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dengan menerapkan formula alokasi yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai daerah, kebutuhan fiskal daerah, dan potensi daerah. Perbedaan formula DAU pada Tabel 6 menunjukkan penghitungan DAU pada periode desentralisasi fiskal tahap pertama untuk tahun anggaran 2001-2005 diatur dalam UU No. 251999 dimana kebutuhan fiskal diproksi dari jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi dan Indeks Kemiskinan Relatif. Indeks Kemahalan Konstruksi IKK mencerminkan keadaan geografis suatu wilayah. Sedangkan, Indeks Kemiskinan Relatif IKR mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat yang dihitung dari jumlah penduduk miskin dan indeks kesenjangan kemiskinan poverty gap index. Kapasitas fiskal diproksi dari beberapa komponen pendapatan daerah yang mencerminkan potensi industri, potensi sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia. Potensi industri diproksi dari PAD dan PDRB, potensi sumber daya alam diproksi dari bagi hasil SDA, sedangkan potensi sumber daya manusia diproksi dari bagi hasil pajak. Sedangkan, penghitungan DAU periode desentraliasi fiskal tahap kedua untuk tahun anggaran 2006 sampai sekarang diatur dalam UU No. 332004. Perbedaan dengan formula sebelumnya adalah IKR tidak lagi digunakan dan diganti dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM. Selain itu, PDRB per kapita merupakan proksi kebutuhan fiskal. Sedangkan alokasi dasar di kedua formula tidak berubah yaitu diproksi dari realisasi jumlah gaji PNS daerah tahun sebelumnya yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat. Selanjutnya, hasil penghitungan DAU dialokasikan ke provinsi dan kabupatenkota berdasarkan bobot setiap daerah sesuai rasio celah fiskal provinsi atau kabupatenkota dan total celah fiskal seluruh provinsi atau seluruh kabupatenkota. Berdasarkan formula tersebut maka daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan besarnya sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Sebagai contoh, provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU selama tahun 2008-2010 karena kelebihan kapasitas fiskalnya mampu membiayai seluruh kebutuhan belanja PNS. Tabel 6 Perbedaan Formula Penghitungan DAU TA. 2001-2005 UU No. 251999 TA. 2006- sekarang UU No. 332004 DAU = AM + KF AM: alokasi miniumum KF: kesenjangan fiskal DAU = AD + CF AD: alokasi dasar CF: celah fiskal AM = Lumpsum + αGaji αGaji: proporsional berdasarkan kebutuhan belanja pegawai AD = total gaji PNS daerah KF = KBF - KPF KBF: kebutuhan fiskal KPF: kapasitas fiskal CF = KBF - KPF KBF: kebutuhan fiskal KPF: kapasitas fiskal KBF = TPR α 1 IP + α 2 IW + α 3 IKR + α 4 TPR: total pengeluaran daerah rata-rata dalam APBD IKK IP: indeks populasi IW: indeks wilayah IKR: indeks kemiskinan relatif IKK: indeks kemahalan konstruksi α i secara proporsional dan uji statistik sederhana : bobot indeks dihitung KBF = TBD α 1 IP + α 2 IW + α 3 IKR + α 4 IPM -1 + α 5 PDRBKAP -1 TBD: total belanja daerah rata-rata dalam APBD IP: indeks populasi IW: indeks wilayah IPM -1 PDRBKAP : invers IPM -1 α : invers PDRB per kapita i secara proporsional dan uji statistik sederhana : bobot indeks dihitung KPF = PAD + PBB + BPHTB + PPh + SDA PAD: estimasi Pendapatan asli daerah PBB: pajak bumi dan Bangunan BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan PPh: PPh orang pribadi dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam KPF = PAD + PBB + BPHTB + PPh + SDA PAD: Pendapatan asli daerah PBB: pajak bumi dan Bangunan BPHTB: Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan PPh: PPh orang pribadi dan Pasal 21 SDA: sumber daya alam PAD t = β + β 1 PDRB-jasa PDRB-jasa: PDRB sektor jasa-jasa t-1 Meskipun formula dan besaran DAU ditetapkan melalui proses panjang dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, namun banyak kritik terkait manfaatnya sebagai instrumen kebijakan desentralisasi fiskal yang pada hakikatnya bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian World Bank 2007 menemukan lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan layanan masyarakat justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Ini berarti kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU tidak mendorong pemerintah daerah mengarahkan DAU untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menghapus pencakupan penuh pembayaran gaji PNS dari anggaran yang seharusnya untuk meningkatkan layanan masyarakat karena akan memperkuat dampak DAU pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan semakin memberdayakan pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia yaitu jumlah tenaga kerja, modal, input setengah jadi, dan outsourcing untuk meningkatkan layanan masyarakat. Brodjonegoro 2001 menyatakan bahwa hal terpenting dari DAU bukanlah jumlahnya tetapi formula distribusinya. Pada dasarnya, DAU dialokasikan ke daerah untuk memenuhi kondisi ideal dimana seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati layanan dasar masyarakat dalam tingkat standar pelayanan minimum SPM yang sama. Oleh karena itu, formula DAU harus dibuat untuk memenuhi tujuan akhir tersebut dengan memastikan tidak ada kesenjangan fiskal di setiap daerah. Estimasi kebutuhan fiskal sebagai dasar formula DAU tersebut seharusnya menggunakan pendekatan bottom-up yang dihitung dengan biaya satuan standar standard unit cost. Meskipun biaya satuan standar tersebut berbeda antar daerah tetapi outputnya harus memberikan tingkat layanan publik yang sama sesuai SPM dari pemerintah pusat. Akan tetapi, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak pernah memiliki biaya satuan standar layanan masyarakat karena tingkat dan skala layanan masyarakat di masa lalu ditetapkan berdasarkan alokasi dan ketersediaan anggaran. Dengan perkataan lain, standar layanan masyarakat tergantung pada jumlah dana yang dialokasikan untuk jenis layanan masyarakat tertentu di suatu daerah. Untuk itu, pemerintah telah berupaya merevisi formula DAU dengan melibatkan berbagai pihak dari elemen pemerintahan dan akademisi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun, berbagai batasan politik menyebabkan hasil akhir distribusi DAU masih mencerminkan pola lama dimana anggaran pemerintah terpusat di Pulau Jawa. Fenomena Flypaper Effect pada DAU Secara teori, transfer fiskal tidak bersyarat unconditional grant berdampak meningkatkan belanja publik dan mengurangi beban pajak masyarakat Kuncoro, 2004. Namun, banyak ahli ekonomi mengamati munculnya anomali dimana transfer fiskal tidak bersyarat tidak menjadi substitusi pajak daerah. Kondisi ini dikenal dengan istilah fenomena flypaper effect Gramlich, 1977. Menurut Oates 1999, fenomena flypaper effect diindikasikan oleh belanja pemerintah daerah yang sangat responsif terhadap kenaikan transfer dari pada kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Afrizawati 2012, fenomena Flypaper effect berimplikasi pada kecenderungan pemerintah daerah untuk memanipulasi pengeluaran setinggi mungkin tanpa mengupayakan peningkatan pendapatan lokal agar memperoleh transfer yang besar dari pemerintah pusat sehingga lebih mudah memaksimalkan pengeluarannya daripada memaksimalkan PAD. Padahal tata kelola pemerintahan, kelembagaan, dan desain program transfer fiskal merupakan hal penting dalam perekonomian. Fenomena flypaper effect yang menunjukkan perilaku pemerintah daerah dalam merespon transfer fiskal tersebut dapat menjadi indikasi rendahnya kualitas faktor kelembagaan dalam menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal di suatu negara. Fenomena flypaper effect tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Inman 2008 di berbagai negara menemukan tambahan 1 US pendapatan lokal meningkatkan belanja publik antara 0.02-0.05 US. Sedangkan, tambahan 1 US transfer fiskal meningkatkan belanja publik antara 0.25-1.1 US. Dalam kasus Indonesia, fenomena flypaper effect dapat diindikasikan oleh respon belanja daerah terhadap kenaikan DAU yang lebih besar dibandingkan kenaikan PAD. Studi-studi terdahulu di Indonesia, antara lain Afrizawati 2012, Widarjono 2006, dan Kuncoro 2004 menunjukkan adanya fenomena flypaper effect pada DAU berdasarkan hasil estimasi model belanja daerah dengan indikasi koefisien estimasi DAU yang lebih besar daripada koefisien estimasi PAD. Perkembangan DAU di Indonesia Jumlah DAU pada dana APBN selama 2005-2011 meningkat dari 88.8 triliun rupiah menjadi 225.5 triliun rupiah. Gambar 5 menunjukkan DAU paling banyak ditransfe ke provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang disebabkan besarnya komponen alokasi dasar dan kebutuhan fiskal. Namun, tingginya kapasitas fiskal ketiga provinsi tersebut mengindikasikan bahwa alokasi DAU lebih mengutamakan alokasi dasar dari pada celah fiskal. Demikian juga, Sumatera Selatan dengan kapasitas fiskal terbesar justru menerima DAU yang cukup tinggi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal kurang berperan dalam alokasi DAU sehingga pemerintah daerah selalu tergantung pada DAU. Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 5. Proporsi Alokasi DAU per Provinsi Tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU ditunjukkan oleh DAU yang mendominasi total pendapatan daerah terutama di kawasan timur Indonesia KTI, antara lain Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat Gambar 6. Sementara itu, fakta menunjukkan tingkat kemiskinan di empat provinsi tersebut relatif tinggi masing-masing 21.2, 22.5, 14.6, dan13.9 pada tahun 2011 dengan struktur ekonomi didominasi sektor pertanian dimana share PDRB pertanian masing-masing 37.0, 28.7, 31.7, dan 48.5. Selain itu, kondisi infrastruktur di KTI menunjukkan ketimpangan 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 D K I K e pr i S ul ba r Gor on ta lo B a be l M a lut DI Y K a lt im B e ng k ul u B a li M a luk u R ia u P ap u a B ar at Ja m bi K a ls e l NT B S ul tr a B a nt e n S ul ut S ul te ng K a lt e ng S um se l K al b ar La m pung NT T S um ba r NA D S ul se l P a pua S um ut Jab ar Ja te ng Ja ti m 2005 2011 pembangunan infrastruktur dengan kawasan barat Indonesia KBI dimana lebih dari dua pertiga panjang jalan di Indonesia berada di KBI terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Hal ini mengindikasikan tingginya komposisi DAU pada keuangan daerah tidak diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunan daerah di Indonesia maka jumlah DAU yang besar hendaknya digunakan untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan seperti pembangunan pertanian dan infrastruktur yang banyak direkomendasikan oleh studi-studi terdahulu sebagai strategi pertumbuhan pro-poor. Sumber: Kemenkeu R.I. Catatan: Data konsolidasi Provinsi dan KabupatenKota di wilayah Provinsi bersangkutan Gambar 6. Komposisi DAU pada Total Pendapatan Daerah Kinerja Perekonomian Indikator Kinerja Perekonomian Kinerja perekonomian suatu wilayah umumnya diukur dari pertumbuhan ekonomi yaitu peningkatan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh wilayah tersebut pada suatu periode waktu. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari perubahan Produk Domestik Bruto PDB riil dalam persen. PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di negara tersebut. PDB harga berlaku atau PDB nominal menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga pada tahun berjalan. PDB nominal biasanya digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu negara. Sedangkan, PDB harga konstan atau PDB riil menggambarkan nilai tambah barang dan jasa sesuai harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar. PDB riil biasanya digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu negara secara riil yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. PDB biasanya dihitung dengan tiga pendekatan yang secara konsep akan menghasilkan nilai sama yaitu pendekatan produksi, pendekatan 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 D K I K a lt im R ia u K e pr i B a nt e n S um se l B a li K a ls e l Jab ar P ap u a B ar at NA D Ja ti m Ja m bi Ja te ng DI Y B a be l P a pua S ul se l S um ut La m pung NT B S ul ut K al b ar S um ba r M a lut Gor on ta lo K a lt e ng S ul te ng B e ng k ul u S ul ba r S ul tr a M a luk u NT T ra ta -r a ta 2005 2011 pengeluaran, dan pendekatan pendapatan. PDB produksi adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan berbagai unit produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia KBLI unit-unit produksi meliputi 9 lapangan usaha sektor yaitu: 1 Pertanian; 2 Pertambangan dan Penggalian; 3 Industri Pengolahan; 4 Listrik, Gas dan Air Bersih; 5 Konstruksi; 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran; 7 Pengangkutan dan Komunikasi; 8 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan 9 Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Secara matematis, nilai PDB produksi pada tahun t adalah : ∑ = 9 1 i i Y , i = 1, 2, …, 9 2.1 dimana, Y i PDB pengeluaran merupakan semua komponen permintaan akhir yaitu konsumsi rumahtangga dan swasta, konsumsi pemerintah, investasi, dan eskpor neto atau: : PDB sektor i Y = C + I + G + X-M 2.2 dimana, Y : PDB C : konsumsi rumahtangga dan swasta I : pengeluaran investasi swasta G : pengeluaran dan investasi pemerintah X : ekspor M : impor PDB pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam bentuk upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDB mencakup penyusutan dan pajak tidak langsung neto pajak tak langsung dikurangi subsidi. Pendekatan ini memiliki kelemahan validitas data karena responden tidak informatif melaporkan jumlah pendapatannya untuk menghindari atau mengurangi pungutan pajak. BPS menghitung PDB produksi dan PDB pengeluaran secara berkala setiap tahun. Sumber data PDB produksi berasal dari departemen atau instansi terkait yang mengumpulkan data produksi, harga produsen, biaya yang dikeluarkan untuk berproduksi, dan pengeluaran. Data-data tersebut diperoleh dari hasil survei dan estimasi. Sedangkan sumber data PDB pengeluaran berasal dari departemen atau instansi terkait yang secara resmi mengeluarkan data ekspor-impor, pengeluaran dan investasi pemerintah, dan investasi swasta. Data-data tersebut dikumpulkan melalui survei-survei khusus seperti survei khusus pengeluaran rumahtangga dan survei khusus tabungan dan investasi rumahtangga SKTIR. Sejak tahun 2004, PDB riil menggunakan tahun dasar 2000 menggantikan tahun dasar 1993 karena ada perubahan struktur ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tersebut meliputi perkembangan harga, cakupan komoditas produksi dan konsumsi, serta jenis dan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Dalam konteks wilayah yang lebih kecil yaitu provinsi dan kabupatenkota, pertumbuhan ekonomi dihitung menggunakan Produk Domestik Regional Bruto PDRB yang mencerminkan kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Namun, PDB memiliki beberapa kelemahan dalam pengukurannya Dornbusch, et al., 2008, yaitu: 1 beberapa output tidak bisa diukur karena tidak diperdagangkan dan tidak tercatat misalnya kegiatan undergound economy; 2 beberapa kegiatan ekonomi yang diukur sebagai penambahan PDB menimbulkan efek eksternalitas; dan 3 tidak mempertimbangkan kualitas output. Oleh karena itu, meskipun perubahan PDB merupakan ukuran pertumbuhan ekonomi yang paling umum digunakan, tetapi studi-studi terdahulu terkait kemiskinan umumnya menggunakan pengeluaran per kapita dari hasil survey rumahtangga, antara lain Miranti 2010 dan Ravallion dan Chen 1997. Menurut Ravallion 1995, pengeluaran per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun berasal dari sumber data yang sama. Sumber : Sakernas – BPS, 2008 Gambar 7. Diagram Ketenagakerjaan Selain pertumbuhan ekonomi, kinerja perekonomian juga seringkali diukur dari kondisi ketenagakerjaan. Tenaga kerja adalah modal bagi pergerakan roda pembangunan dimana jumlah dan komposisinya akan terus mengalami perubahan seiring berlangsungnya proses demografi. Perubahan kondisi ketenagakerjaan biasanya diukur dari indikator-indikator ILO International Labor Organization yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja labor force of participation rate dan Tingkat Pengangguran Terbuka open unemployment rate. Tingkat Partisipasi Angkatan kerja TPAK adalah proporsi penduduk usia kerja yang terlibat secara aktif dalam pasar tenaga kerja labor market baik yang bekerja maupun sedang mencari pekerjaan yang mencerminkan ukuran relatif penawaran tenaga kerja yang dapat terlibat dalam produksi barang dan jasa. Tingkat pengangguran terbuka TPT adalah proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Secara konseptual, penganggur dapat diidentifikasi dari tiga kondisi angkatan kerja, yaitu: 1 sama sekali tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan; 2 sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja; dan 3 sama sekali tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan tetapi sedang mempersiapkan usaha Gambar 7. Data ketenagakerjaan yang dihitung BPS menggunakan konsep-konsep tersebut berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional SAKERNAS. Perkembangan Kinerja Perekonomian di Indonesia Secara umum, perekonomian Indonesia selama tahun 2005-2011 mengalami pertumbuhan. Gambar 8 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari perubahan PDB riil meningkat dari 5.7 menjadi 6.5 namun berfluktuasi. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif rendah yaitu 4.6 sebagai dampak krisis keuangan global tahun 2008 sehingga permintaan produk-produk ekspor rendah, harga beberapa komoditas internasional turun, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah. Namun, kondisi tersebut masih lebih baik dibandingkan perekonomian dunia yang mengalami pertumbuhan minus 1.1 pada tahun 2009. Sumber: BPS Catatan: 1 Gambar 8. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Perubahan PDB Riil Harga Konstan Tahun 2000 1 Dalam kaitannya dengan perubahan kemiskinan, beberapa studi terdahulu menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan, antara lain Warr 2006 dan Suryahadi, et al. 2009. Oleh karena itu, dinamika perekenomian Indonesia perlu ditinjau menurut sektor ekonomi untuk mengetahui peran masing-masing sektor. Perekonomian Indonesia terutama bersumber dari tiga sektor ekonomi yaitu pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran dimana sektor industri pengolahan memberi kontribusi paling besar Gambar 9. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin cepat terjadi karena peran kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang besar dengan pertumbuhan meningkat dari 8.3 menjadi 9.2. Pertumbuhan sektor industri pengolahan lebih rendah yaitu meningkat dari 4.6 menjadi 6.1. Sedangkan, pertumbuhan sektor pertanian sangat kecil hanya meningkat dari 2.7 menjadi 3.4. Tingginya pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang merupakan sektor jasa dan rendahnya pertumbuhan sektor riil terutama pertanian Sektoral di Indonesia 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Pertanian 2,7 3,4 3,5 4,8 4,0 3,0 3,4 Industri Pengolahan 4,6 4,6 4,7 3,7 2,2 4,7 6,1 Perdagangan 8,3 6,4 8,9 6,9 1,3 8,7 9,2 Total 5,7 5,5 6,4 6,0 4,6 6,2 6,5 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 merupakan hal yang tidak wajar mengingat Indonesia adalah negara yang berbasis sumber daya alam terutama pertanian. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada kesenjangan pendapatan antar penduduk terutama petani. Sumber: BPS Catatan: 1 Gambar 9. Perkembangan Distribusi Sektor Ekonomi Kontribusi PDB Harga Berlaku 1 Perkembangan ketenagakerjaan dapat ditinjau dari indikator-indikator tingkat partisipasi angkatan kerja TPAK, tingkat pengangguran terbuka TPT, dan komposisi tenga kerja menurut sektor. Selama periode 2005–2011 jumlah angkatan kerja naik dari 105.8 juta orang menjadi 117.4 juta orang. Artinya, berarti ada penambahan angkatan kerja baru rata-rata 1.9 juta orang per tahun. Peningkatan ini terjadi seiring pertumbuhan penduduk usia kerja yaitu penduduk usia 15 tahun ke atas sehingga TPAK meningkat dari 68.02 menjadi 69.66 Gambar 10.. di Indonesia Meningkatnya TPAK mengindikasikan adanya perbaikan pada mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga jumlah penduduk usia kerja yang dapat masuk ke pasar tenaga kerja semakin besar. Seiring meningkatnya jumlah angkatan kerja, serapan tenaga kerja meningkat dari 94.9 juta orang menjadi 111.3 juta orang atau bertambah sekitar 2.7 juta orang per tahun. Sementara itu, perkembangan Tingkat pengangguran terbuka TPT di Indonesia yang menggambarkan ketidakmampuan perekonomian dalam menyerap angkatan kerja akibat penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja yang tidak seimbang cenderung berkurang dari 10.26 menjadi 6.32. Namun, tingkat pengangguran tersebut lebih besar dari tingkat pengangguran alami natural unemployment rate. Menurut Mankiw 2007, tingkat pengangguran alami yang menggambarkan perekonomian dalam kondisi full employment adalah sekitar 5.5. Tingkat pengangguran di Indonesia yang masih besar mengindikasikan perlunya perluasan kesempatan kerja untuk menyerap jumlah angkatan kerja yang terus meningkat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas lapangan usaha secara merata terutama di sektor-sektor yang memerlukan sumber daya tenaga kerja yang lebih besar seperti sektor pertanian. 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Perdagangan 15,6 15,0 14,9 14,0 13,3 13,7 13,8 Industri Pengolahan 27,4 27,5 27,1 27,8 26,4 24,8 24,3 Pertanian 13,1 13,0 13,7 14,5 15,3 15,3 14,7 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 Sumber: BPS Gambar 10. Perkembangan TPAK dan TPT di Indonesia Sumber: BPS Gambar 11. Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia Berbeda dengan tingkat output dimana share PDB industri pengolahan paling besar, penyerapan tenaga kerja terbesar justru terjadi di sektor pertanian dengan rata-rata 42 per tahun selama tahun 2005-2011 Gambar 11. Sementara, serapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, rata-rata 12 dan 20 per tahun. Tingginya serapan tenaga kerja di sektor pertanian berbanding terbalik dengan sumbangannya pada output nasional yang rendah. Hal ini mengindikasikan transformasi struktur ekonomi Indonesia yang tidak berimbang yaitu laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan laju pergeseran tenaga kerja sehingga titik balik aktivitas ekonomi tercapai lebih dulu dibandingkan titik balik penggunaan tenaga kerja Supriyati, et al., 2001. Transformasi ekonomi yang tidak seimbang akan berdampak pada proses kemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia pada sektor primer. Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Konsep dan Ukuran Kemiskinan Salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat yang paling penting adalah status kemiskinan masyarakat BPS, 2008. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang selalu dibahas terkait proses pembangunan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Perdagangan 19,9 19,5 19,9 20,3 20,9 20,7 20,9 Industri Pengolahan 12,3 12,2 12,4 12,2 12,1 12,2 12,3 Pertanian 44,0 44,5 43,7 41,8 41,2 39,9 38,2 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 karena keberhasilan pemerintahan dalam mencapai tujuan pembangunan seringkali dinilai dari perubahan tingkat kemiskinan. Dalam konteks kebijakan desentralisasi fiskal dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional maka analisis kemiskinan penting untuk dilakukan. Kemiskinan adalah konsep abstrak dengan pengertian berbeda-beda. Dalam perspektif ekonomi, kemiskinan menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah deprivation in well-being dalam ukuran moneter. Kemiskinan pendapatan income poverty ini merupakan konsep yang paling banyak dipakai dalam penelitian-penelitian ekonomi karena terukur dan terkait dengan indikator- indikator ekonomi lain. Dengan konsep ini penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi standar kehidupan minimum. Kemiskinan dalam konteks ekonomi tersebut dapat diukur sebagai kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaian. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat dan bersifat lokal. Berdasarkan standar tersebut maka kemiskinan relatif merupakan suatu kondisi dimana sekelompok masyarakat berada lebih rendah dari standar layak kehidupan umum yang berlaku di kelompok masyarakat tersebut. Penduduk yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin relatif. Dengan konsep kemiskinan relatif tersebut, maka secara implisit kemiskinan akan selalu ada. Konsep kemiskinan relatif biasanya digunakan oleh negara-negara maju. Menurut Thorbecke 1993, negara kaya memiliki garis kemiskinan lebih tinggi dari pada negara miskin. Ketika negara kaya bertambah sejahtera, maka garis kemiskinannya cenderung direvisi menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, Uni Eropa mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 50 persen dari rata-rata pendapatan masyarakat Haughton dan Khandker, 2009. Ketika rata-rata pendapatan masyarakat meningkat maka garis kemiskinan relatifnya juga meningkat. BPS 2009 mendefinisikan kemiskinan relatif sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Dengan standar penilaian adalah kondisi hidup masyarakat yang difokuskan pada kelompok penduduk termiskin misalnya 20 persen atau 40 persen penduduk dengan pendapatan pengeluaran terendah maka ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan pengeluaran penduduk. Sedangkan, kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum basic needs yang diperlukan agar dapat hidup dan bekerja antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Nilai kebutuhan pokok minimum dalam ukuran moneter adalah garis kemiskinan absolut yang selanjutnya menjadi acuan untuk mengidentifikasi penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting untuk menilai dan membandingkan efek kebijakan anti kemiskinan anti-poverty policies antar waktu, atau memperkirakan dampak suatu program terhadap kemiskinan, misalnya pemberian kredit skala kecil. Untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara, Bank Dunia menggunakan suatu garis kemiskinan absolut yang terbanding antar negara yaitu 1 US per kapita per hari dan 2 US per kapita per hari namun dalam ukuran US PPP Purchasing Power Parity bukan nilai tukar resmi exchange rate di masing-masing negara. Menurut World Bank 2009, pengukuran tingkat kemiskinan penting untuk dilakukan dengan alasan: 1. Untuk menjaga agar kemiskinan menjadi agenda pembangunan. 2. Untuk mengidentifikasi penduduk miskin agar target intervensi tepat. 3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan yang diarahkan kepada penduduk miskin. 4. Untuk mengevaluasi efektivitas institusi yang membantu penduduk miskin. Untuk itu, diperlukan ukuran-ukuran kemiskinan yang akurat. Menurut Ravallion 1998 pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan dalam tiga tahap: 1. Mendefinisikan suatu indikator kesejahteraan welfare indicator, misalnya pengeluaran per kapita per capita expenditure. 2. Menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi penduduk miskin, misalnya garis kemiskinan poverty line. 3. Menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejaheraan tersebut dan posisinya relatif terhadap standar minimum, misalnya headcount index. Dengan mengacu pada ketiga tahap tersebut, BPS menghitung angka kemiskinan setiap tahun untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota yang dibedakan menurut wilayah perkotaan dan pedesaan. Indikator kesejahteraan yang digunakan adalah pengeluaran per kapita yang diestimasi dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS terhadap sejumlah sampel rumahtangga di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahap kedua yaitu menentukan Garis Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan pendekatan kebutuhan dasar basic needs approach dengan menghitung biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang cukup yaitu 2100 kalori per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal. Pendekatan kebutuhan dasar diperkenalkan dan dipopulerkan oleh International Labor Organisation ILO tahun 1976. Teknik penghitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh BPS tersebut adalah BPS, 2008 : 1. Menentukan penduduk referensi yaitu 20 penduduk di atas Garis Kemiskinan Sementara GKS yaitu garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi dari IHK umum. Selanjutnya garis kemiskinan yang merupakan penjumlah garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan dihitung dari pengeluaran per kapita pada kelompok penduduk referensi tersebut. 2. Garis Kemiskinan Makanan GKM adalah jumlah nilai pengeluaran 52 komoditas dasar makanan yang dikonsumsi oleh penduduk referensi yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori masing-masing komoditas. 3. Garis Kemiskinan Non Makanan GKNM adalah jumlah nilai pengeluaran kebutuhan minimum komoditas non makanan terpilih yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan dimana nilai kebutuhan minimum untuk setiap komoditas dihitung dari rasio pengeluaran komoditas terhadap total pengeluaran dari hasil Suvei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar tahun 2004. 4. Garis Kemiskian akhir merupakan penjumlahan GKM dan GKNM. Setelah garis kemiskinan diperoleh, selanjutnya tingkat kemiskinan dihitung menggunakan tiga indikator kemiskinan yang dikembangkan oleh Foster, Greer, dan Thorbecke 1984 dengan formula: ; α = 0, 1, dan 2 2.3 dimana, N : jumlah penduduk n : jumlah penduduk miskin z : garis kemiskinan y i : pengeluaran konsumsi penduduk miskin i = 1, 2, …, n; y i P z P : Headcount index 1 P : Poverty Gap Index 2 Indikator headcount index P : Poverty Severity Index menyatakan persentase penduduk miskin. Indikator ini sangat populer karena interpretasi dan pengukurannya mudah, tetapi tidak dapat menggambarkan intensitas kemiskinan atau seberapa miskin penduduk yang tergolong miskin. Untuk itu, diperlukan indikator lain yaitu poverty gap index P 1 dan poverty severity index P 2 . Poverty Gap Index atau Indeks Kedalaman Kemiskinan menggambarkan sejauh mana penduduk miskin berada di bawah garis kemiskinan. Indikator ini dihitung dari proporsi pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai poverty gap index yang lebih besar menunjukkan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang lebih lebar. Selain untuk mengukur tingkat kedalaman kemiskinan, poverty gap index juga digunakan untuk mengetahui total sumber daya uang yang dibutuhkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui metode transfer pendapatan cash transfer dengan asumsi seluruhnya diberikan kepada penduduk miskin World Bank, 2009. Sebagai contoh, jika di suatu wilayah terdapat 10 juta rumahtangga miskin dengan garis kemiskinan 500 US per tahun dan Poverty Gap Index 5, maka dibutuhkan minimal 25 US per tahun untuk setiap rumahtangga agar menjadi tidak miskin. Artinya, secara total pemerintah harus menyediakan uang minimal 250 juta US pada tahun itu untuk menghapus kemiskinan di wilayah tersebut. Namun, Poverty Gap Index tidak dapat menangkap perbedaan keparahan kemisinan the severity of poverty di antara penduduk miskin. Sebagai contoh, di dua wilayah kecil dengan garis kemiskinan 500 US per tahun masing-masing hanya terdapat dua rumahtangga miskin. Pada wilayah pertama, pendapatan rumahtangga miskin pertama sebesar 100 US per tahun dan pendapatan rumahtangga miskin kedua sebesar 300 US per tahun. Pada wilayah kedua, pendapatan kedua rumahtangga miskin masing- masing 200 US per tahun. Poverty gap index untuk kedua wilayah adalah sama yaitu 60 yang berarti intensitas kemiskinan di kedua wilayah tersebut adalah sama. Padahal pendapatan rumahtangga pertama di wilayah pertama hanya 100 US per tahun yang artinya kemiskinan di wilayah tersebut lebih parah Foster, 1998. Oleh karena itu, diperlukan indikator Poverty Severity Index P 2 atau Indeks Keparahan Kemiskinan yang dapat menggambarkan distribusi pengeluaran di antara penduduk miskin. Indikator ini dihitung dari rata-rata kuadrat poverty gap index P 1 relatif terhadap garis kemiskinan untuk setiap penduduk miskin. Nilai Poverty Severity Index yang lebih besar menunjukkan semakin besarnya ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin. Konsep dan Ukuran Ketimpangan Pendapatan Studi-studi terdahulu seperti Kakwani 1993 dan Bourguignon 2004 menyatakan bahwa perubahan tingkat kemiskinan penduduk tidak hanya terjadi karena perubahan rata-rata pendapatan tetapi juga karena perubahan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran yang menggambarkan distribusi pendapatan di antara seluruh kelompok penduduk yaitu ketimpangan pendapatan inequality. Berbeda dengan ukuran kemiskinan yang lebih fokus pada keadaan kelompok penduduk miskin, ukuran ketimpangan pendapatan mencakup seluruh penduduk tidak hanya penduduk miskin. Ukuran ketimpangan tidak hanya dihitung untuk dimensi moneter seperti pendapatan dan pengeluaran, tetapi juga untuk dimensi non-moneter seperti kepemilikianpenguasaan lahan dan aset. Namun, dalam kaitannya dengan kemiskinan maka ukuran ketimpangan yang lebih tepat adalah ketimpangan pendapatan income inequality. Distribusi pendapatan yang merata equal memiliki arti pendapatan setiap penduduk relatif sama. Sedangkan distribusi pendapatan yang timpang inequal menunjukkan ada kelompok penduduk tertentu yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan kelompok penduduk lain. Dengan perkataan lain, ukuran ketimpangan digunakan untuk mengukur posisi individu relatif terhadap penduduk secara keseluruhan dan posisi sekelompok penduduk terhadap kelompok penduduk lainnya. Informasi ketimpangan pendapatan diperlukan oleh pemerintah ketika merancang program intervensi dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Perubahan ukuran ketimpangan menjadi petunjuk kelompok penduduk mana yang banyak mengalami perubahan distribusi pendapatan dan sektor-sektor ekonomi apa yang memperoleh dampak dari kebijakan ekonomi tersebut. Ada beberapa ukuran ketimpangan, tetapi ukuran yang paling mudah adalah ukuran ketimpangan Bank Dunia. Indikator ini dihitung dengan membagi seluruh penduduk ke dalam lima kelompok berdasarkan pendapatan pengeluaran yang diurut dari kelompok penduduk termiskin sampai kelompok penduduk terkaya yang kemudian diagregasi menjadi tiga kelompok yaitu 40 penduduk golongan rendah, 40 penduduk golongan menengah, dan 20 penduduk golongan tinggi. Selanjutnya, ketimpangan pendapatan dihitung sebagai rasio total pendapatan pengeluaran 40 penduduk golongan rendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk World Bank, 2009. Bila proporsi pendapatan yang diperoleh 40 penduduk golongan rendah kurang dari 12 maka tingkat ketimpangan tergolong tinggi high inequality. Jika berada di antara 12 dan 17 maka tingkat ketimpangan tergolong sedang moderate inequality. Sedangkan, jika lebih dari 17 maka tingkat ketimpangan tergolong rendah low inequality. Indikator ketimpangan pendapatan lain yang paling banyak digunakan adalah Indeks Gini. Indikator ini diturunkan dari Kurva Lorenz yaitu kurva frekuensi kumulatif yang membandingkan distribusi pendapatan pengeluaran dengan distribusi seragam uniform. Gambar 12 menunjukkan sumbu horizontal pada kurva Lorenz adalah proporsi kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal adalah proporsi kumulatif pendapatan pengeluaran. Garis diagonal menggambarkan kemerataan sempurna yang berarti distribusi seragam. Indeks Gini dihitung dari rasio luas A dan luas A+B, dimana luas A adalah persentase kumulatif penduduk dengan pendapatan pengeluaran kumulatif proporsional. Jika luas A = 0 maka Indeks Gini bernilai 0 atau merata sempurna. Jika luas B = 0 maka Indeks Gini bernilai 1 atau timpang sempurna. Namun, Indeks Gini yang dihitung dari data pengelauran per kapita empiris berkisar antara 0.3 dan 0.5 Haughton dan Khandker, 2009. Sumber: World Bank 2009 Gambar 12. Kurva Lorenz Secara matematis, Indeks Gini dapat dihitung dengan formula: 2.4 Jika terdapat N buah interval yang sama pada sumbu X maka: 2.5 Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Sejak tahun 1984 BPS telah menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin untuk periode 1976-1981 menggunakan data SUSENAS modul konsumsi. Namun, saat ini indikator kemiskinan dapat dihitung dan disajikan setiap tahun untuk tingkat provinsi dan kabupatenkota yang dirinci menurut perkotaan dan pedesaan. Tabel 7 menunjukkan perkembangan kemiskinan tahun 2005-2011 berfluktuasi tetapi cenderung berkurang. Jumlah dan persentase penduduk miskin tahun 2006 yang meningkat terkait erat dengan dua kali kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang mengakibatkan inflasi mencapai 17.1. Perkembangan jumlah penduduk miskin menunjukkan sekitar dua pertiga penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Sementara itu, Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk perkotaan dan pedesaan relatif seimbang dengan proporsi 49.8 dan 50.2. Jumlah penduduk miskin pedesaan yang besar menyebabkan tingginya persentase penduduk miskin di pedesaan yang mencapai 15.72 pada tahun 2011, sementara di perkotaan hanya 9.23. Selain itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan kemiskinan pedesaan lebih tinggi menunjukkan rendahnya kualitas hidup penduduk miskin pedesaan sehingga dapat menjadi indikasi bahwa hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor non- pertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Dugaan ini diperkuat kenyataan bahwa lebih dari setengah rumahtangga miskin di Indonesia adalah rumahtangga pertanian Gambar 13. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian. Tabel 7 Perkembangan Indikator Kemiskinan menurut Wilayah, 2005-2011 Tahun Garis Kemiskinan Rupiah Jumlah Penduduk Miskin Juta Persentase Penduduk Miskin Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan Perkotaan 2005 150 799 12.40 11.68 2.05 0.60 2006 174 290 14.49 13.47 2.61 0.77 2007 187 942 13.56 12.52 2.15 0.57 2008 204 896 12.77 11.65 2.07 0.56 2009 222 123 11.91 10.72 1.91 0.52 2010 232 989 11.10 9.87 1.57 0.40 2011 253 016 11.05 9.23 1.52 0.39 Pedesaan 2005 117 259 22.70 19.98 3.34 0.89 2006 130 584 24.81 21.81 4.22 1.22 2007 146 837 23.61 20.37 3.78 1.09 2008 161 831 22.19 18.93 3.42 0.95 2009 179 835 20.62 17.35 3.05 0.82 2010 192 354 19.93 16.56 2.80 0.75 2011 213 395 18.97 15.72 2.63 0.70 Perkotaan dan Pedesaan 2005 138 574 35.10 15.97 2.78 0.76 2006 151 997 39.30 17.75 3.43 1.00 2007 166 697 37.17 16.58 2.99 0.84 2008 182 636 34.96 15.42 2.77 0.76 2009 200 262 32.53 14.15 2.50 0.68 2010 211 726 31.02 13.33 2.21 0.58 2011 233 740 30.03 12.49 2.08 0.55 Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS Sumber: Statistik Indonesia 2008-2012 BPS Gambar 13. Komposisi Rumahtangga Miskin dan Rumahtangga Tidak Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga Pada dasarnya, kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal dari dalam masyarakat dan faktor-faktor eksternal dari luar masyarakat Susilowati, 2010. Faktor-faktor internal terkait kualitas penduduk yang dicerminkan oleh tingkat pendidikan, kesehatan, sikap, dan perilaku. Sedangkan, faktor-faktor eksternal antara lain sarana dan prasarana transportasi sebagai aksesibilitas kepada sumber daya ekonomi, aksesibilitas kepada modal, serta kualitas sumber daya alam, teknologi, dan sistem kelembagaan. Sejalan dengan pendapat itu, Kartasasmita 1996 berpendapat bahwa penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan 53 56 64 58 57 32 35 44 35 32 25 50 75 100 2007 2008 2009 2010 2011 2007 2008 2009 2010 2011 Tidak Bekerja Pertanian Industri Lainnya Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Tidak Miskin pekerjaan, dan kondisi keterisolasian. Sementara itu, Todaro dan Smith 2003 menjelaskan faktor-faktor penyebabab kemiskinan dalam aspek ekonomi dan non- ekonomi, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan terbatasnya kesempatan kerja. Kedua hal tersebut menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga pada akhirnya menyebabkan rendahnya pendapatan penduduk. Booth dan Firdaus 1996 berpendapat bahwa faktor-faktor utama penyebab kemiskinan di pedesaan adalah faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, geografis, lingkungan, personal, dan fisik. Dengan demikian, faktor-faktor utama penyebab kemiskinan di pedesaan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Mengingat struktur ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian maka tingginya tingkat kemiskinan penduduk di sektor pertanian juga disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia pada rumahtangga pertanian dan terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga menghadapi permasalahan kemiskinan dengan faktor-faktor penyebab kemiskinan sebagaimana diuraikan di atas. Wilayah-wilayah pertanian dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih rendah serta lapangan pekerjaan yang terbatas memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah non-pertanian. Demikian juga, wilayah- wilayah di KTI dengan kualitas infrastruktur yang buruk dan tidak lengkap serta kondisi geografis yang sulit menyebabkan keterisolasian sehingga tingkat kemiskinannnya lebih tinggi dibandingkan wilayah-wilayah di KBI. Gambar 14 yang menyajikan peta kemiskinan menurut provinsi tahun 2011 menunjukkan 16 dari 33 provinsi tergolong provinsi miskin dengan persentase penduduk miskin lebih besar dari angka nasional 12.5. Provinsi-provinsi tersebut tersebar di KBI dan KTI. Provinsi DKI Jakarta memiliki angka kemiskinan paling kecil 3.7, sedangkan provinsi Papua dan Papua Barat memiliki angka kemiskinan paling besar 39.8 dan 39.1. Jika dianalisis bersama indikator kesejahteraan seperti tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan yang cenderung lebih rendah di provinsi-provinsi miskin Gambar 15 dan 16, dapat diduga bahwa faktor-faktor non-ekonomi tersebut merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia. Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS Gambar 14. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011 12,5 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 D K I B a li K a ls e l B a be l B a nt e n K a lt e ng K a lt im K e pr i R ia u S ul ut K al b ar Ja m bi S um ba r M a lut S ul se l Jab ar S um ut S ul ba r Ja ti m S um se l S ul tr a Ja te ng S ul te ng DI Y La m pung B e ng k ul u Gor on ta lo NA D NT B NT T M a luk u P ap u a B ar at P a pua indo ne si a Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS Gambar 15. Rata-rata Lama Sekolah Tahun 2011 tahun Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS Gambar 16. Angka Kelahiran Hidup Dibantu Tenaga Medis Tahun 2011 Selain itu, perekonomian provinsi-provinsi miskin cenderung didominasi oleh sektor pertanian Gambar 17 memperkuat dugaan faktor ekonomi menjadi penyebab utama kemiskinan karena rendahnya pendapatan penduduk dari sektor pertanian. Namun, rata-rata provinsi miskin memiliki kapasitas fiskal lebih rendah Gambar 18. Kenyataan ini menjadi indikasi bahwa sistem kelembagaan yang kurang baik sebagaimana dikemukakan oleh Susilowati 2010 juga menjadi penyebab kemiskinan di Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah daerah dengan struktur keuangan daerah yang lebih mengandalkan DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya memiliki sistem kelembagaan lebih buruk dan tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dari pada pemerintah daerah yang lebih mengandalkan kapasitas fiskal. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 D K I B a li K a ls e l B a be l B a nt e n K a lt e ng K a lt im K e pr i R ia u S ul ut K al b ar Ja m bi S um ba r M a lut S ul se l Jab ar S um ut S ul ba r Ja ti m S um se l S ul tr a Ja te ng S ul te ng DI Y La m pung B e ng k ul u Gor on ta lo NA D NT B NT T M a luk u P ap u a B ar at P a pua 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 D K I B a li K a ls e l B a be l B a nt e n K a lt e ng K a lt im K e pr i R ia u S ul ut K al b ar Ja m bi S um ba r M a lut S ul se l Jab ar S um ut S ul ba r Ja ti m S um se l S ul tr a Ja te ng S ul te ng DI Y La m pung B e ng k ul u Gor on ta lo NA D NT B NT T M a luk u P ap u a B ar at P a pua Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS Gambar 17. Kontribusi PDRB Pertanian Tahun 2011 Sumber: Statistik Indonesia 2012 BPS Gambar 18. Komposisi Kapasitas Fiskal pada Total Pendapatan Daerah Pertumbuhan ekonomi 2005-2011 yang meningkat dari 5.7 menjadi 6.5 justru diikuti ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Ketimpangan pendapatan ukuran Bank Dunia menunjukkan proporsi pengeluaran per kapita 40 penduduk golongan rendah turun dari 23 menjadi 20. Sebaliknya, proporsi pengeluaran per kapita 20 penduduk golongan atas naik dari 37 menjadi 43 Gambar 19. Demikian juga, Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41 Gambar 20. Hal ini mengindikasikan manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih dinikmati oleh penduduk golongan atas. Jika mengacu pada konsep Kakwani dan Pernia 2000 yaitu pertumbuhan ekonomi disertai turunnya kemiskinan tetapi ketimpangan pendapatan lebih besar tidak memberi manfaat secara proporsional lebih besar bagi penduduk miskin. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia periode desentralisasi fiskal tahap dua tahun 2005-2011 tidak pro-poor. 0,0 20,0 40,0 60,0 D K I B a li K a ls e l B a be l B a nt e n K a lt e ng K a lt im K e pr i R ia u S ul ut K al b ar Ja m bi S um ba r M a lut S ul se l Jab ar S um ut S ul ba r Ja ti m S um se l S ul tr a Ja te ng S ul te ng DI Y La m pung B e ng k ul u Gor on ta lo NA D NT B NT T M a luk u P ap u a B ar at P a pua 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 DKI B a li K a ls e l B a b e l B a n te n K a lte n g K a lt im K e p ri Ri au S u lu t K al b ar Ja mb i S u m b a r M a lu t S u ls e l Jab ar S u m u t S u lb a r Ja tim S u ms e l S u ltr a Ja te n g S u lte n g D IY La m p u n g B e n g k u lu G or on tal o N A D NTB NTT M a lu k u P ap u a B ar at P a p u a Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS Gambar 19. Perkembangan Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita Sumber: Statistik Indonesia 2006-2012 BPS Gambar 20. Perkembangan Indeks Gini, 2005-2011 Keterkaitan Kapasitas Fiskal, Pertumbuhan, dan Kemiskinan Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kapasitas fiskal merupakan sumber pendapatan daerah dari potensi sumber daya lokal daerah yang berperan penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional pada era desentralisasi saat ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta keterkaitan kapasitas fiskal dan kemiskinan daerah di Indonesia. Pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki kapasitas fiskal rendah. Sedangkan, provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan rendah cenderung memiliki kapasitas fiskal lebih besar. Artinya, provinsi-provinsi miskin umumnya masih bergantung pada DAU untuk membiayai pembangunan daerahnya. Namun, bagaimana peran kapasitas fiskal dalam mengurangi kemiskinan. Jika mengacu pada kerangka pemikiran Warr 2006 pada Gambar 21 pertumbuhan ekonomi adalah dampak outcome kebijakan ekonomi dan kekuatan-kekuatan eksternal 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 20 Pengeluaran Tinggi 37 38 40 39 39 40 43 40 Pengeluaran Sedang 40 39 38 39 38 39 37 40 Pengeluaran Rendah 23 23 22 22 22 21 20 25 50 75 100 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Indeks Gini 0,31 0,36 0,38 0,37 0,37 0,38 0,41 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 serta respon pelaku pasar. Kebijakan ekonomi dan faktor-faktor eksternal tersebut mempengaruhi kemiskinan melalui efek-efeknya pada pertumbuhan ekonomi economic growth dan redistribusi redistributional effects yang diasumsikan bernilai kecil. Pada kerangka pemikiran tersebut, PDB dan komponen-komponen sektoralnya merupakan dampak intermediate, sedangkan kemiskinan merupakan dampak susulan. Economic policy Economic growth External factors Redistributional effects Poverty reduction Sumber: Warr 2006 Gambar 21. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa perubahan kemiskinan tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan tetapi juga distribusi pendapatan. Pendapat tersebut dituangkan dalam konsep pertumbuhan pro-poor pro-poor growth yang populer sejak satu dekade terakhir. Konsep ini merefleksikan ide bahwa pertumbuhan ekonomi harus dinikmati oleh seluruh segmen masyarakat. Pendapat ini muncul berdasarkan hasil penelitian empiris di beberapa negara pada awal tahun 2000an yang menemukan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi yang cepat memberi efek paling besar dalam mengurangi kemiskinan tetapi tidak semua pertumbuhan memberi pengaruh yang sama, sehingga percepatan pengentasan kemiskinan tidak hanya membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga ketimpangan pendapatan yang lebih rendah Whitfield, 2008. Jika dikaitkan dengan kapasitas fiskal, maka meningkatnya kapasitas fiskal karena perubahan kebijakan fiskal akan mempengaruhi output pertumbuhan sebagai dampak intermediate dan mempengaruhi kemiskinan sebagai dampak susulan. Dengan perkataan lain, peran kapasitas fiskal pada kemiskinan dapat terjadi melalui jalur pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Kebijakan fiskal adalah salah satu jenis kebijakan ekonomi selain kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan luar negeri yang bertujuan mengarahkan perekonomian melalui pendapatan pajak dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat aggregate demand dalam jangka pendek dan mempengaruhi sisi penawaran agregat aggregate supply dalam jangka panjang. Artinya, pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dalam jangka pendek Keynesian short-run effects dan jangka panjang Classical long-run effects. Aliran Keynesian berpendapat bahwa dalam jangka pendek perubahan output dan tenaga kerja pada tingkat harga tertentu dipengaruhi oleh permintaan. Sementara aliran klasik berpendapat hal itu tidak akan terjadi dalam jangka panjang, tetapi ada faktor-faktor lain seperti modal manusia human capital , tingkat harga, dan teknologi yang mempengaruhinya. Namun, menurut Mallick 2008 pada dasarnya tidak ada model teoritis yang dapat menjelaskan pengaruh kebijakan fiskal pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang, sehingga diperlukan pendekatan empiris untuk menjelaskan keterkaitan kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Dengan perkataan lain, penelitian empiris diperlukan untuk mengetahui peran kapasitas fiskal pada kemiskinan melalui efek output jangka panjang pada sisi penawaran agregat. Secara konkrit, penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan fiskal dapat dilakukan dengan mengatur pengeluaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang bertujuan untukmengurangi beban pengeluaran penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Beban pengeluaran penduduk miskin dapat dikurangi dengan menanggung sebagian pengeluarannya melalui bantuan atau subsidi pemerintah dalam berbagai bentuk, misalnya RASKIN beras untuk rumahtangga miskin, JAMKESMAS jaminan kesehatan masyarakat, dan BLT Bantuan Langsung Tunai. Sedangkan peningkatan pendapatan penduduk miskin dapat tercapai dengan mengatur pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dan efektif menurunkan kemiskinan untuk menciptakan pertumbuhan pro-poor, misalnya dengan membangun infrastruktur di pedesaan melalui kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Namun, kebijakan penganggaran tersebut sangat bergantung pada kemampuan keuangan pemerintah termasuk kapasitas fiskal. Oleh karena itu, kapasitas fiskal adalah faktor penting untuk menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berdampak menurunkan kemiskinan. Menurut Klasen 2004 dan McKay 2002, penanggulangan kemiskinan melalui pertumbuhan pro-poor dapat terwujud secara langsung maupun tidak langsung. Penduduk miskin secara langsung akan memperoleh manfaat pada meningkatnya pendapatan karena adanya perubahan pola pertumbuhan. Tetapi, besarannya tergantung pada kekuatan modal manusia human capital yang dimilikinya seperti tingkat pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Di sisi lain, penduduk miskin secara tidak langsung memperoleh manfaat dari kebijakan redistribusi seperti pajak, transfer, dan belanja pemerintah lainnya. Menurut Whitfield 2008, pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada wilayah pedesaan, perbaikan pendapatan sektor pertanian, dan penggunaan tenaga kerja intensif agar berdampak langsung bagi kemiskinan. Pendapat ini didasari oleh kenyataan bahwa mayoritas penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sangat bergantung pada sektor pertanian. Pentingnya strategi pengentasan kemiskinan di sektor pertanian dalam menciptakan pertumbuhan pro-poor sudah banyak diakui. Salah satunya adalah Klasen 2004 yang menyatakan hampir semua keberhasilan pembangunan mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas dan pendapatan sektor pertanian serta perluasan lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian di pedesaan berperan penting dalam menciptakan pertumbuhan yang lebih cepat dan mengentaskan kemiskinan. World Bank dalam World Development Report 2008, merekomendasikan strategi pengentasan kemiskinan, yaitu: 1 meningkatkan produktivitas sektor tanaman pangan; 2 memperluas akses petani kecil untuk meningkatkan nilai tambah produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan; dan 3 menciptakan pekerjaan non-pertanian di pedesaan. Beberapa penelitian terdahulu merekomendasikan agar pemerintah mendorong aktivitas ekonomi di kantong-kantong kemiskinan yaitu wilayah pedesaan dan sektor pertanian atau memindahkan mereka ke wilayah yang lebih kaya melalui insentif kepada sektor swasta dan melibatkan peran pemerintah. ADB 1999 menekankan bahwa pertumbuhan pro-poor dapat terwujud jika mampu menyerap tenaga kerja yang disertai kebijakan-kebijakan dan program-program yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan serta memfasilitasi penduduk miskin untuk mendapatkan penghasilan dan pekerjaan. Menurut Abbott 2007, suatu kebijakan adalah pro-poor atau memihak penduduk miskin jika bersifat padat karya, sasaran pada sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja, menciptakan pendapatan dan pekerjaan bagi penduduk miskin, dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, karena kemiskinan banyak terjadi di sektor pertanian terutama di wilayah pedesaan, maka strategi pertumbuhan pro-poor harus difokuskan pada wilayah pedesaan dan sektor pertanian. Sejalan dengan hal itu, Balisacan, et al. 2003 merekomendasikan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pembangunan dan perbaikan infrastruktur, pengembangan modal manusia, insentif harga pertanian, dan akses teknologi. Demikian juga, OECD 2006 dan 2009 merekomendasikan strategi pertumbuhan pro-poor melalui kebijakan-kebijakan bidang pertanian, infrastruktur ekonomi, pengembangan sektor swasta, proteksi sosial, dan ketenagakerjaan. Studi Terdahulu Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar 2003, Nanga 2006, Usman 2006, dan Ariyanto 2002. Pertama , Sinaga dan Siregar 2003 meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi di Indonesia. Studi ini dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan dan model input-output. Beberapa temuan penting yaitu penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD. Kedua , Nanga 2006 meneliti dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di perkotaan dan pedesaan di Indonesia dengan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan menggunakan data panel konsolidasi fiskal kabupatenkota di 25 provinsi di Indonesia tahun 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi kuat transfer fiskal dalam berbagai bentuknya lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari PDRB dan penyerapan tenaga kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor pertanian sehingga berdampak memperburuk tingkat kemiskinan pedesaan setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, tingkat kemiskinan di perkotaan berkurang yang diduga karena kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik dibandingkan pedesaan. Selain itu, efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan sangat dipengaruhi ketimpangan pendapatan sehingga kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu menurunkan kemiskinan karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, studi tersebut menyimpulkan bahwa transfer fiskal berdampak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Namun, penelitian tersebut tidak dianalisis secara sektoral sehingga dampaknya pada sektor pertanian hanya diindikasikan oleh perubahan kemiskinan di pedesaan. Selain itu, hasil penelitian tersebut tidak merekomendasikan kebijakan fiskal yang efektif menurunkan kemiskinan. Ketiga , Usman 2006 meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1995-2003. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal lebih menguntungkan kelompok penduduk kaya. Sedangkan sesudah desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok penduduk kaya pada awalnya tetapi pada tahun-tahun berikutnya menguntungkan kelompok penduduk miskin. Namun, studi tersebut juga tidak mengkaji peran kebijakan fiskal dalam konteks penerapan desentralisasi fiskal berdasarkan sektor ekonomi. Sedangkan, fakta menunjukkan ada variasi sektoral pada dinamika kemiskinan di Indonesia. Keempat , Ariyanto 2002 meneliti mengenai transfer fiskal pemerintah pada era desentralisasi fiskal di Indonesia yang difokuskan pada kasus dana perimbangan. Penelitian tersebut membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1996-2001. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah dana perimbangan yaitu DAU, DAK, bagi hasil pajak, dan bagi hasil sumber daya alam akan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi disparitas pendapatan antar daerah, dan mendorong investasi dan konsumsi swasta daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun keseimbangan antar daerah yang dianalisis dengan Indeks Williamson dan koefisien variasi PDRB per kapita antar provinsi cenderung memburuk karena alokasi bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam, dan Dana Alokasi Khusus DAK tidak merata antar daerah, sehingga alokasi DAU berfungsi sebagai penetralisir. Alokasi bagi hasil pajak lebih menguntungkan daerah metropolitan seperti DKI Jakarta, alokasi bagi hasil sumber daya alam hanya menguntungkan daerah-daerah penghasil sumber daya alam seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur, dan alokasi DAK hanya menguntungkan daerah-daerah dengan aktivitas kehutanan yang tinggi karena DAK masih ditujukan untuk reboisasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mendorong investasi dan konsumsi swasta dengan tingkat pertumbuhan yang bervariasi. Sedangkan, studi-studi terdahulu yang fokus pada penerapan kebjiakan desentralisasi fiskal di sisi revenue assignments dan peran investasi swasta tidak banyak, antara lain Mahi 2005 dan Yanizar 2012. Pertama, Mahi 2005 melakukan penelitian mengenai peran PAD pada era otonomi daerah. Temuan pentingnya adalah berkurangya peran PAD dalam pembiayaan publik di daerah. Selain itu, berdasarkan elastisitas pajak daerah ditemukan bahwa basis pajak daerah saat ini kurang sensitif terhadap perkembangan perekonomian daerah. Pemungutan pajak di daerah juga belum optimal sehingga diperlukan optimalisasi pajak daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan misalnya dengan menyusun daftar detil pajak yang boleh dipungut daerah bukan hanya kriteria umum. Kedua, Yanizar 2012 meneliti dampak kebijakan pengeluaran dana pembangunan daerah dan investasi swasta terhadap PDRB dan kemiskinan di provinsi Jambi. Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data time series tahun 1985-2010. Hasil penelitan menyimpulkan bahwa kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta adalah hal penting bagi pembangunan ekonomi provinsi Jambi karena terbatasnya kemampuan keuangan daerah. Kesimpulan ini berdasarkan temuan dimana peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang diikuti peningkatan investasi swasta pada sektor-sektor produktif akan memacu pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu, konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi keleluasaan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah terutama dari pajak daerah harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan potensi penerimaan dan mengalokasikan dana pada sektor-sektor produktif dan unggulan daerah secara efisien dan efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan pendapatan dan menurunkan jumlah penduduk miskin. Meskipun studi-studi tersebut menunjukkan dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasil- hasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan Sektoral dan Kemiskinan Banyak ahli ekonomi meyakini pentingnya pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. Namun, fakta menunjukkan kemiskinan tidak menyebar secara merata di seluruh perekonomian, tetapi ada variasi antar sektor dan antar wilayah. Oleh karena itu, komponen pertumbuhan ekonomi sektoral, regional, dan fungsional sangat penting dalam strategi pengentasan kemiskinan Klasen, 2004. Dalam jangka panjang, pertumbuhan pro-poor dapat terwujud melalui hubungan tidak langsung antar sektor, antar daerah, dan antar faktor-faktor produksi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri dan jasa-jasa dapat mendorong migrasi tenaga kerja dari daerah pedesaan yang miskin sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk miskin baik penduduk migran maupun penduduk yang tetap tinggal di pedesaan serta memberi peluang terhadp perbaikan pertumbuhan sektor non-pertanian di pedesaan. Di sisi lain, pertumbuhan tenaga kerja terampil skilled labor yang umumnya penduduk tidak miskin akan meningkatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil unskilled labor yang umumnya merupakan penduduk miskin karena kedua jenis tenaga kerja ini seringkali bersifat komplemen. Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt 2002 yang melakukan penelitian empiris di India menemukan: 1 pertumbuhan ekonomi di pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; 2 pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di perkotaan; 3 pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; 4 pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan 5 pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat kemampuan baca tulis perempuan, urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Temuan ini menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan tidak hanya memerlukan peran pertumbuhan sektor pertanian tetapi juga pertumbuhan sektor-sektor non- pertanian terutama di pedesaan. Demikian juga, penelitian Eastwood dan Lipton 2001 terhadap data empiris beberapa negara menemukan bahwa perbaikan produktivitas tenaga kerja pertanian lebih mendorong pertumbuhan pro-poor dibandingkan perbaikan sektor non-pertanian. Tetapi, pengaruh perbaikan sektor pertanian di negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi relatif rendah bahkan tidak ada. Penelitian mengenai keterkaitan pertumbuhan antar sektor dan kemiskinan dilakukan oleh Warr 2006 terhadap data empiris di tujuh negara yaitu Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam untuk menganalisis peran tingkat dan komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi pada perubahan insiden kemiskinan absolut. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab perubahan kemiskinan yang bervariasi antar negara dan antar waktu pada beberapa dekade terakhir di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan membagi sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil unskilled labor. Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. 2009 di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakan-kebijakan fiskal yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan. 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian yang terus berkembang Seers, 1969. Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya diindikasikan oleh terciptanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut de Janvry dan Sadoulet 2010, tingkat kemiskinan dapat diturunkan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan cash transfer dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran serta kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan, pertumbuhan pro-poor akan meningkatkan pendapatan penduduk miskin melalui dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi dikatakan pro-poor jika memihak kelompok mayoritas penduduk miskin. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, jumlah penduduk miskin di Indonesia mayoritas berasal dari rumahtangga pertanian. Dengan demikian, prioritas pengurangan kemiskinan penduduk di rumahtangga pertanian menjadi hal penting bagi percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia melalui strategi pertumbuhan pro-poor. Untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dengan mengalihkan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja keuangan daerah melalui keputusan- keputusan pemerintah daerah yang dapat menciptakan penerimaan daerah dan menggunakannya secara rasional dengan cara mengatur kembali pengeluaran, penerimaan, dan transfer fiskal. Dengan perkataan lain, kebijakan desentralisasi fiskal sesungguhnya dapat diterapkan pada sisi pengeluaran dan sisi pendapatan daerah. Namun, perbedaan sumber daya antar daerah di Indonesia dan terbatasnya kewenangan pengelolaan penerimaan daerah menyebabkan kemampuan keuangan daerah berbeda-beda sehingga terjadi defisit anggaran yang harus diatasi dengan transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kebijakan transfer fiskal dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan terutama melalui Dana Alokasi Umum DAU dan Dana Bagi Hasil DBH. Permasalahan yang terjadi saat ini struktur penerimaan keuangan daerah mayoritas sangat tergantung pada DAU. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN tahun 2005-2011 pada Tabel 1 menunjukkan total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat dari 143.2 Triliun Rupiah menjadi 347.2 Triliun Rupiah. Komponen dana transfer terbesar adalah DAU dengan komposisi meningkat dari 62 menjadi 65, sedangkan komposisi dana bagi hasil turun dari 35 menjadi 28. Tabel 1 Perkembangan Realisasi APBN Tahun 2005-2011 Triliun Rupiah Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1. Penerimaan Dalam Negeri PDN 493.9 636.2 706.1 979.3 847.1 992.2 1 205.3 a. Perpajakan 347.0 409.2 491.0 658.7 619.9 723.3 873.9 b. Bukan Pajak 146.9 227.0 215.1 320.6 227.2 268.9 331.5 2. Belanja Negara 509.6 667.1 757.6 985.7 937.4 1 042.1 1 295.0 a. Pemerintah Pusat 361.2 440.0 504.6 693.4 628.8 697.4 883.7 b. Transfer ke Daerah 150.5 226.2 253.3 292.4 308.6 344.7 411.3 1. Dana Perimbangan 143.2 223.1 244.0 278.7 287.3 316.7 347.2 a. DAU 88.8 145.7 164.8 179.5 186.4 203.6 225.5 b. DAK 4.0 11.6 16.2 20.8 24.7 21.0 24.8 c. DBH 50.5 64.9 62.9 78.4 76.1 92.2 96.9 2. Dana Otsus Penyesuaian 7.2 4.0 9.3 13.7 21.3 28.0 64.1 3. Defisit 14.4 29.1 49.8 4.1 88.6 46.8 84.4 defisit terhadap PDB 0.5 0.9 1.3 0.1 1.6 0.7 1.1 Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 dan 2013 Tingginya peran DAU pada dana perimbangan juga ditunjukkan oleh struktur keuangan daerah pada APBD. Data realisasi penerimaan agregat provinsi dan kabupatenkota di setiap provinsi menunjukkan mayoritas pendapatan daerah bersumber dari DAU dengan rata-rata 52.7 per provinsi per tahun Tabel 2. Tingginya peran DAU merupakan konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur anggaran belanja daerahnya sehingga memicu terjadinya ekspansi fiskal yang menyebabkan belanja daerah terus meningkat. Di sisi lain, belanja daerah yang terus meningkat juga disebabkan oleh praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat serta lambatnya reformasi pajak di daerah DJPK, 2005. Lambatnya reformasi pajak di daerah ditunjukkan oleh kapasitas fiskal yang rendah bahkan turun dari 35.2 menjadi 31.2 per provinsi per tahun. Tabel 2 Perkembangan Komposisi Pendapatan Daerah 1 Tahun Tahun 2005-2011 DAU Pajak Daerah PAD Bagi Hasil Pajak Kapasitas Fiskal Kemandirian Fiskal 2 3 2005 53.0 10.9 15.5 11.1 35.2 16.8 2006 59.0 8.7 13.1 9.9 30.4 14.1 2007 56.2 8.6 13.2 9.5 29.4 13.4 2008 52.9 9.7 14.4 8.8 31.1 15.0 2009 51.9 9.3 14.1 8.8 29.9 13.8 2010 48.8 10.0 14.8 8.9 32.1 15.1 2011 46.9 11.6 16.3 6.8 31.2 17.8 Rata-rata 52.7 9.8 14.5 9.1 31.3 15.1 Catatan: 1 Agregat provinsi dan kabupatenkota di setiap provinsi; 2 total PAD dan dana bagi hasil; 3 Sumber: Kemenkeu R.I, data diolah Rasio PAD terhadap total belanja daerah Terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa desentralisasi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional telah meningkat dari 4.9 pada tahun 2000 menjadi 6.5 pada tahun 2011. Bahkan kenaikan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal tahap kedua periode 2005- 2011 lebih tinggi dengan rata-rata 0.20 persen poin per tahun sementara tahap pertama periode 2000-2004 hanya 0.02 persen poin per tahun Tabel 3. Namun, ketimpangan pendapatan pada tahap kedua semakin buruk dimana Indeks Gini meningkat dari 0.31 menjadi 0.41, sedangkan pada tahap pertama relatif tetap. Jika mengacu pada pendapat Seers 1969 mengenai peran distribusi pendapatan pada kemiskinan, maka Indeks Gini yang lebih besar akan mengurangi peran pertumbuhan ekonomi pada kemiskinan sehingga penurunan tingkat kemiskinan berkurang atau dengan perkataan lain laju penurunan kemiskinan melambat. Penurunan persentase penduduk miskin headcount index periode pertama rata- rata 0.62 persen poin per tahun, sedangkan penurunan pada periode kedua lebih rendah dengan rata-rata 0.58 persen poin per tahun. Jika mengacu pada target kemiskinan 2014 yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010-2014 yaitu 8-10 Perpres RI No. 52010 dan target kemiskinan Millenium Development Goals MDGs Indonesia 2015 sebesar 7.5 maka dibutuhkan laju penurunan persentase penduduk miskin antara 0.8 sampai 1.5 persen poin per tahun. Dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin saat ini sebesar 0.58 persen poin maka target-target tersebut diperkirakan sulit tercapai. Tabel 3 Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Gini, dan Kemiskinan Tahun 2000-2011 Tahun Pertumbuhan Ekonomi 1 Indeks Gini Persentase Penduduk Miskin 2000 4.9 0.31 19.14 2001 3.6 0.31 18.41 2002 4.5 0.33 18.20 2003 4.8 0.32 17.42 2004 5.0 0.32 16.66 Rata-rata Perubahan 0.02

0.00 -0.62

2005 5.7 0.36 15.97 2006 5.5 0.33 17.75 2007 6.4 0.36 16.58 2008 6.0 0.35 15.42 2009 4.6 0.37 14.15 2010 6.2 0.38 13.33 2011 6.5 0.41 12.49 Rata-rata Perubahan 0.20

0.02 -0.58

Catatan: 1 Sumber: BPS Perubahan PDB Riil harga Konstan Tahun 2000 Dinamika kemiskinan berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi rumahtangga menunjukkan mayoritas penduduk miskin berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya meningkat dari 55.4 pada tahun 2005 menjadi 56.9 pada tahun 2011 Tabel 4. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi sementara ketimpangan pendapatan meningkat, laju penurunan kemiskinan melambat, dan proporsi penduduk miskin pertanian meningkat menjadi indikasi bahwa penerapan kebijakan desentraliasi fiskal yang mengutamakan desentralisasi pengeluaran daerah sehingga keuangan daerah sangat tergantung pada DAU hanya berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut kurang dinikmati penduduk miskin terutama di rumahtangga pertanian. Artinya, penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengutamakan peran DAU dalam membiayai pembangunan daerah tidak dapat mencapai pertumbuhan pro-poor untuk mempercepat pengentasaan kemiskinan. Tabel 4 Perkembangan Distribusi Penduduk Miskin menurut Sumber Penghasilan Utama Kepala Rumahtangga Tahun Pertanian Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel,Restoran Lainnya dan Tidak Bekerja 2005 55.4 6.8 8.3 29.5 2006 53.9 6.8 8.9 30.4 2007 52.9 5.7 8.0 33.4 2008 53.3 6.3 8.1 32.3 2009 53.5 2.9 5.8 37.9 2010 56.1 6.4 7.8 29.6 2011 56.9 6.1 7.0 30.0 Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Kor Maret tahun 2005-2011 Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diikuti meningkatnya ketimpangan pendapatan dan melambatnya laju penurunan kemiskinan dapat menjadi indikasi bahwa penerapan pembangunan desentralisasi di Indonesia untuk mempercepat tujuan pembangunan ekonomi nasional masih terpaku pada tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ada indikasi permasalahan fiskal dalam penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terkait tingginya ketergantungan pada DAU dan rendahnya kapasitas fiskal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah yang dihasilkan dari pembangunan desentralisasi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk. Pada dasarnya, meningkatnya DAU sebagai konsekuensi pelimpahan kewenangan alokasi anggaran daerah seharusnya diikuti perbaikan kualitas belanja daerah sehingga pendapatan daerah dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang memberi nilai tambah besar terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, peningkatan DAU yang merupakan unconditional grant bantuan tidak bersyarat seharusnya membuat pemerintah daerah lebih fleksibel dalam mengalokasikannya untuk kegiatan pembangunan daerah yang berdampak besar dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurut Balisacan, et al. 2003 dan OECD 2006 dan 2009, pertumbuhan pro-poor dapat tercapai dengan memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastruktur. Artinya, dibutuhkan belanja pertanian dan belanja inrastruktur yang besar untuk mencapai pertumbuhan pro-poor. Namun fakta menunjukkan rata-rata belanja pertanian dan belanja infrastruktur daerah periode 2005-2011 hanya naik masing-masing 19.0 per tahun. Sementara itu, belanja perdagangan naik 134 per tahun. Artinya, pemerintah daerah melakukan strategi pembangunan sektor jasa khususnya perdagangan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari pada pembangunan sektor riil terutama pertanian padahal sektor tersebut merupakan kantong kemiskinan terbesar di Indonesia. Hasil penelitian Nanga 2006 menemukan hal serupa yaitu ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal lebih menguntungkan sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari meningkatnya PDRB dan jumlah tenaga kerja non-pertanian yang lebih besar dibandingkan pertanian sehingga penelitian tersebut menduga bahwa keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non-pertanian merupakan penyebab transfer fiskal tidak berdampak menurunkan kemiskinan. Peningkatan belanja daerah yang berlebihan dan tidak proporsional dapat terjadi karena adanya fenomena flypaper effect pada penerimaan transfer fiskal tidak bersyarat unconditional transfer yaitu respon yang lebih besar dari pada pendapatannya sendiri Oates, 1999. Studi-studi terdahulu, antara lain Afrizawati 2012, Widarjono 2006, dan Kuncoro 2004, menemukan fenomena flypaper effect pada keuangan daerah di Indonesia dimana respon belanja daerah terhadap perubahan DAU lebih besar dari pada perubahan PAD. Jika respon terhadap perubahan DAU yang berlebihan tersebut terjadi pada alokasi belanja-belanja daerah yang tidak berdampak besar mengurangi kemiskinan maka pengentasan kemiskinan nasional melalui strategi pertumbuhan pro-poor akan sulit tercapai. Di sisi lain, fakta yang menunjukkan rendahnya pertumbuhan belanja pertanian dan infrastruktur mengindikasikan peran DAU pada pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar. Namun, fenomena flypaper effect merupakan konsekuensi tingginya kewenangan daerah dalam mengatur pengeluaran daerah sehingga sulit untuk diatasi. Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tidak konsisten dengan tujuannya dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar disertai dengan ketimpangan pendapatan yang juga semakin besar sehingga penurunan tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hal ini diduga karena keuangan daerah tergantung pada DAU sementara pemerintah daerah cenderung merespon DAU secara berlebihan untuk digunakan pada beberapa jenis belanja daerah yang kurang berdampak menurunkan kemiskinan sedangkan perilaku tersebut sulit diatasi. Sementara itu, penggunaan kapasitas fiskal lebih ketat prudent. Oleh karena itu, pemerintah daerah memerlukan kapasitas fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan daerah pada sektor-sektor yang berdampak besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan sehingga dapat meningkatkan penurunan tingkat kemiskinan dan mengurangi proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian. Perumusan Masalah Penerapan pembangunan desentralisasi merupakan upaya besar pemerintah Indonesia untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional yaitu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Tetapi, data statistik menunjukkan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat namun ketimpangan pendapatan juga semakin besar sehingga laju penurunan kemiskinan melambat dan proporsi penduduk miskin di rumahtangga pertanian meningkat. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia mengutamakan DAU untuk mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam konteks DAU sebagai transfer tidak bersyarat unconditional grant maka jika penerimaan DAU akan meningkatkan belanja daerah tanpa menyebabkan tekanan fiskal pada basis pajak. Dengan perkataan lain, sumber keuangan daerah dari pendapatan lokal dan transfer fiskal yang diperoleh dengan mudah tidak memberi dampak berbeda pada keputusan alokasi belanja daerah Hines dan Thaler, 1995. Tetapi, pada prakteknya pemerintah daerah lebih boros dalam menggunakan dana dari transfer fiskal dari pada dana dari pendapatan sumberdaya lokal. Perilaku ini merupakan sifat alami yang juga terjadi pada kasus perusahaan dan individu. Pada kasus di Indonesia, perilaku tersebut diindikasikan oleh tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU sementara komposisi kapasitas fiskal rendah. Anggaran keuangan daerah juga lebih diprioritaskan untuk sektor-sektor yang tidak memberi dampak besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sehingga perilaku tersebut sulit diatasi karena pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur alokasi belanja daerahnya. Pada akhirnya pembiayaan desentralisasi menjadi tidak efektif dan efisien. Di sisi lain, hal ini menjadi indikasi bahwa prinsip money follow function yaitu pengalokasian anggaran berdasarkan fungsi masing-masing unit atau satuan kerja yang telah ditetapkan undang-udang tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian, dampak kebijakan peningkatan kapasitas fiskal dari PAD dan dana bagi hasil yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah dari sumber daya lokal menjadi isu penting yang perlu dikaji saat ini. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 disebutkan bahwa pemerintah pusat secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi pengeluaran tetapi juga sisi penerimaan. Untuk itu pemerintah daerah diberi kewenangan memungut pajak taxing power dengan dasar hukum UU No. 28 tahun 2009. Pengalihan kewenangan perpajakan tersebut akan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Penguatan sisi penerimaan tersebut dilakukan secara kontinyu dengan memperluas local taxing power salah satunya adalah pengalihan pajak-pajak properti menjadi pajak daerah sejak Januari 2011 yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan BPHTB dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan PBB-P2 dan akan berlaku di seluruh daerah paling lambat tahun 2014. Perluasan sumber pajak daerah tersebut akan meningkatkan PAD sebaga sumber utama kapasitas fiskal. Sumber kapasitas fiskal lainnya yaitu dana bagi hasil dapat ditingkatkan jika daerah memperoleh bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam lebih besar. Jumlah kedua jenis dana bagi hasil yang diterima daerah dari pemerintah pusat tergantung pada kemampuan ekonomi dan sumber daya alam serta porsi bagi hasil yang telah ditetapkan dalam UU No. 332004. Data-data statistik menunjukkan provinsi-provinsi dengan struktur ekonomi non-pertanian menerima bagi hasil pajak lebih besar, sedangkan provinsi-provinsi pertanian yang sebagian besar terletak di luar Pulau Jawa menerima bagi hasil pajak lebih kecil. Perbedaan tersebut disebabkan sebagian besar dana bagi hasil pajak bersumber dari tiga jenis pajak-pajak penghasilan PPh individual yang mayoritas merupakan pendapatan tenaga kerja non-pertanian. Selain itu, sesuai UU No. 332004 pasal 13 ayat 1 porsi daerah dari bagi hasil PPh hanya 20 sehingga jumlah bagi hasil pajak yang diterima daerah terutama di provinsi-provinsi pertanian relatif kecil. Sementara itu, dana bagi hasil sumber daya alam mayoritas berasal dari penerimaan sektor pertambangan dan penggalian yang dimiliki sebagian kecil daerah di Indonesia terutama di Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan. Hal ini menyebabkan perbedaan yang besar pada penerimaan bagi hasil sumber daya alam antar daerah sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal secara umum. Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah pada kinerja fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks pertumbuhan pro-poor yaitu pertumbuhan ekonomi disertai berkurangnya ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang memihak kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu rumahtangga pertanian. 2. Bagaimana dampak kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian, tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah di Indonesia. 3. Alternatif kebijakan fiskal apakah yang dapat meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian serta menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian di masa mendatang. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis perkembangan indikator kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2006-2011. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. 3. Menganalisis pengaruh kapasitas fiskal pada kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah. 4. Meramal dampak alternatif kebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas fiskal terhadap kinerja fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian daerah tahun 2013-2015. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian difokuskan pada: 1. Analisis deskriptif profil kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. 2. Analisis determinan kapasitas fiskal, perekonomian sektoral, kemiskinan sektoral, dan ketimpangan pendapatan daerah periode 2006-2011. 3. Analisis dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja fiskal, perekonomian, kemiskinan sektoral, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian periode historis 2006-2011 dan peramalan 2013-2015. Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: 1. Data fiskal merupakan agregat provinsi dan seluruh kabupatenkota provinsi sehingga tidak mencerminkan perilaku fiskal provinsi atau kabupatenkota. 2. Data belanja daerah merupakan gabungan belanja rutin dan belanja pembangunan sesuai sistem penganggaran berbasis kinerja di Indonesia yang