0.4 Dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah di Indonesia: suatu analisis simulasi kebijakan

Profil Perekonomian Daerah PDRB dan Tenaga Kerja Kinerja perekonomian daerah seringkali digambarkan dengan PDRB dan tenaga kerja. Tabel 14 menunjukkan share PDRB dan tenaga kerja pertanian dan industri di provinsi pertanian tahun 2006-2011 berkurang, sebaliknya share PDRB dan tenaga kerja perdagangan meningkat. Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi provinsi pertanian dari sektor tradisional yaitu pertanian ke sektor modern terutama perdagangan. Hal serupa terjadi di provinsi non- pertanian kecuali share tenaga kerja industri yang meningkat meskipun share PDRB industri turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja industri di provinsi non-pertanian cenderung berkurang padahal sektor tersebut merupakan sektor yang mendominasi struktur ekonomi provinsi non-pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja industri selanjutnya akan berdampak menurunkan upah riil yang diterima tenaga kerja industri sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin industri. Tabel 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 Tahun Pertanian Industri Perdagangan PDRB Tenaga Kerja PDRB Tenaga Kerja PDRB Tenaga Kerja PROVINSI PERTANIAN 2006 30.0 56.5 11.6 6.2 15.8 15.3 2007 29.5 54.7 11.5 6.4 15.8 16.0 2008 29.2 54.4 11.3 6.2 16.0 16.0 2009 28.9 53.1 11.2 6.1 16.2 16.2 2010 28.3 51.9 11.0 6.0 16.6 16.2 2011 28.0 49.7 10.7 6.1 17.0 16.7 Rata-rata 29.0

53.4 11.2

6.1 16.3

16.1 PROVINSI NON PERTANIAN 2006 14.8 38.0 29.4 12.8 17.0 20.2 2007 14.6 36.3 28.5 13.0 17.5 21.0 2008 14.2 35.6 28.0 13.2 17.7 21.2 2009 14.4 34.8 27.2 13.1 18.4 21.5 2010 14.2 33.0 26.5 14.2 18.8 21.6 2011 13.8 30.3 26.1 14.1 18.9 22.7 Rata-rata 14.3

34.7 27.6

13.4 18.0

21.4 Sumber: BPS, data diolah Rata-rata share PDRB dan serapan tenaga kerja per tahun pada Gambar 32 menunjukkan tingginya peran tenaga kerja dalam menghasilkan output PDRB pertanian dimana tambahan 2 serapan tenaga kerja pertanian akan menghasilkan 1 share PDRB pertanian. Sebaliknya peran tenaga kerja pada PDRB industri hanya sekitar 0.5 untuk menambah 1 share PDRB industri. Hal ini berarti tenaga kerja memberi peran lebih besar dalam menciptakan nilai tambah produk pertanian dibandingkan produk industri. Rendahnya peran tenaga kerja pada sektor industri dapat terjadi karena faktor kapital dimana salah satunya adalah belanja perindustrian lebih berperan dalam meningkatkan PDRB industri. Sementara itu, peran tenaga kerja pada sektor perdagangan relatif memberi hasil yang sepadan terutama di provinsi pertanian. Dinamika ketiga sektor tersebut mengindikasikan struktur perekonomian daerah mulai beralih ke sektor jasa-jasa terutama perdagangan. Dengan perkataan lain, struktur perekonomian daerah mulai meninggalkan sektor-sektor riil namun kemampuannya dalam menyerap tenga kerja masih tinggi terutama di sektor pertanian. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sementara share PDRB pertanian rendah bahkan cenderung turun harus diatasi dengan mempercepat laju pertumbuhan pertanian. Gambar 32. Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, 2006-2011 Perbandingan antar provinsi pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata share PDRB pertanian di provinsi pertanian sebesar 29.0, sementara di provinsi non- pertanian sekitar setengahnya yaitu 14.3. Provinsi-provinsi Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung tercatat memiliki share PDRB pertanian paling besar. Sementara, perekonomian provinsi non-pertanian didominasi sektor industri dengan rata-rata share PDRB industri 27.6 per tahun. Provinsi-provinsi 29,0 11,2 16,3 14,3 27,6 18,0 22,0 19,1 17,1 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Share PDRB Provinsi Pertanian Share PDRB Provinsi Non-Pertanian Share PDRB Seluruh Provinsi Pertanian 53,4 6,1 16,1 34,7 13,4 21,4 44,4 9,6 18,6 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Serapan Tenaga Kerja Provinsi Pertanian Serapan Tenaga Kerja Provinsi Non-Pertanian Serapan Tenaga Kerja Seluruh Provinsi Non-Pertanian dengan share PDRB industri antara lain Banten, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sementara itu, share PDRB perdagangan relatif merata antar provinsi dengan rata- rata per tahun di provinsi pertanian 16.3 dan di provinsi non-pertanian 18.0. Provinsi Bali tercatat memiliki share tertinggi dengan rata-rata 29.2 per tahun. yang bersumber dari subsektor hotel dan restoran sebagai penunjang pariwisata yang merupakan sektor unggulan di provinsi tersebut. Sedangkan, Kalimantan Timur memiliki share PDRB perdagangan paling rendah yaitu 7.1 per tahun. Tabel 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Provinsi Pertanian Industri Perdagangan PDRB TK PDRB TK PDRB TK PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 27.0 49.4 10.6 4.6 14.1 15.7 2 Sumut 22.7 47.0 23.9 7.8 19.1 19.7 3 Sumbar 24.3 44.9 11.8 6.9 17.6 20.3 4 Jambi 27.3 56.3 11.4 3.7 14.8 15.6 5 Lampung 37.5 55.7 14.2 8.5 14.7 15.8 6 NTB 22.0 46.1 3.4 10.0 12.7 17.9 7 NTT 39.4 68.4 1.6 7.1 16.3 6.5 8 Kalbar 25.8 62.4 19.0 4.3 22.4 13.3 9 Kalteng 30.5 58.9 8.1 3.5 19.8 13.2 10 Kalsel 22.0 43.0 10.2 7.4 15.0 22.1 11 Sulteng 41.4 59.3 7.4 4.0 11.9 13.7 12 Sulsel 28.2 49.0 12.8 5.8 16.6 19.2 Rata-rata 29.0

53.4 11.2

6.1 16.3

16.1 PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 20.1 48.5 19.3 5.8 8.0 18.0 14 Sumsel 17.6 60.1 22.6 4.8 12.3 14.0 15 Kepri 4.9 14.4 47.2 27.1 19.9 22.0 16 Jabar 11.9 24.7 41.6 18.7 20.9 25.5 17 Jateng 19.9 36.6 33.1 17.6 19.6 21.4 18 DIY 15.1 30.0 13.7 12.9 19.5 24.6 19 Jatim 16.3 43.1 28.2 13.2 28.6 20.1 20 Banten 7.8 19.4 50.9 21.9 17.4 25.5 21 Bali 18.9 32.9 9.2 13.7 29.2 24.3 22 Kaltim 5.6 33.4 29.7 6.3 7.1 21.4 23 Sulut 19.6 38.2 8.2 5.5 16.1 18.1 Rata-rata 14.3

34.7 27.6

13.4 18.0

21.4 Sumber: BPS, data diolah Tabel 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pertahun PDRB pertanian di provinsi pertanian selama tahun 2006-2011 lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB industri di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi non-pertanian. Sedangkan, PDRB perdagangan tumbuh paling tinggi dibandingkan PDRB pertanian dan PDRB indsutri namun pertumbuhannya di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non- pertanian. Namun, pertumbuhan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti PDRB per kapita yang tinggi. Provinsi non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB pertanian 5.6 per tahun atau lebih tinggi dari provinsi pertanian dengan rata-rata 5.2 per tahun. Tetapi, PDRB pertanian per kapita provinsi non-pertanian rata- rata 2.9 juta rupiah atau lebih rendah dari provinsi pertanian dengan rata-rata 3.2 juta rupiah. Sebaliknya, provinsi pertanian dengan rata-rata pertumbuhan PDRB industri lebih tinggi memiliki PDRB industri per kapita lebih rendah. Tabel 16 Rata-rata PDRB Riil 1 per tahun menurut Provinsi, 2006-2011 per kapita Sektoral Juta Rp dan Pertumbuhannya Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Total Per kapita Growth Per kapita Growth Per kapita Growth Per kapita Growth PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 4.4 -1.2 1.7 -8.7 2.3 3.9 16.2 -2.7 2 Sumut 3.6 7.0 3.7 4.1 3.0 7.1 15.7 6.9 3 Sumbar 3.4 4.0 1.7 5.5 2.5 6.8 14.1 5.5 4 Jambi 3.6 12.6 1.5 8.5 2.0 9.1 13.2 11.1 5 Lampung 3.5 11.9 1.4 18.4 1.4 13.4 9.4 12.5 6 NTB 1.7 3.8 0.3 5.1 1.0 8.1 7.7 3.7 7 NTT 1.8 2.1 0.1 0.9 0.7 5.6 4.5 4.0 8 Kalbar 2.6 2.9 1.9 2.0 2.3 4.4 10.2 4.0 9 Kalteng 4.3 3.5 1.1 4.9 2.8 10.8 14.2 7.8 10 Kalsel 2.7 4.2 1.3 1.5 1.9 7.2 12.6 6.5 11 Sulteng 4.4 6.0 0.8 9.1 1.3 9.7 10.6 9.9 12 Sulsel 2.8 6.0 1.3 7.7 1.7 12.6 10.1 9.9 Rata-rata 3.2

5.2 1.4

4.9 1.9

8.2 11.5

6.6 PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 9.1 9.1 8.8 12.3 3.7 21.0 45.5 12.4 14 Sumsel 2.9 5.9 3.8 4.3 2.1 9.7 16.8 6.8 15 Kepri 1.9 3.5 18.6 3.6 7.8 4.5 39.5 4.5 16 Jabar 1.7 7.6 5.8 1.9 3.0 9.7 14.1 6.0 17 Jateng 2.1 4.6 3.5 6.4 2.1 6.1 10.7 6.0 18 DIY 1.6 3.2 1.4 5.7 2.0 5.8 10.4 4.9 19 Jatim 2.6 4.4 4.5 5.1 4.6 8.8 16.1 6.7 20 Banten 1.0 6.4 6.6 1.7 2.3 8.8 13.0 4.7 21 Bali 2.6 3.7 1.3 6.9 4.1 8.9 13.8 7.1 22 Kaltim 4.4 7.1 23.3 -1.3 5.5 10.4 78.3 6.8 23 Sulut 2.4 6.3 1.0 5.4 2.0 9.8 12.3 7.8 Rata-rata 2.9

5.6 7.2

4.7 3.6

9.4 24.6

6.7 Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100 Produktivitas Tenaga Kerja Meskipun sektor pertanian mendominasi PDRB di provinsi pertanian tetapi produktivitasnya lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Tabel 17 menunjukkan rata-rata produktivitas tenaga kerja pertanian yang diukur dari PDRB pertanian yang dihasilkan setiap tenaga kerja pertanian sebesar 14.2 juta rupiah per tahun di provinsi pertanian, sementara di provinsi non-pertanian sebesar 19.8 juta rupiah per tahun. Hal ini dapat terjadi karena total PDRB pertanian di provinsi pertanian lebih rendah atau jumlah tenaga kerja pertanian lebih banyak. Walaupun jumlah tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian lebih sedikit dibandingkan provinsi non-pertanian tetapi sharenya yang lebih besar mengindikasikan PDRB yang dihasilkan sektor pertanian di provinsi pertanian relatif lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian khususnya di provinsi pertanian perlu ditingkatkan dengan menambah modal dari belanja pertanian. Tabel 17 Rata-rata Produktivitas Riil 1 menurut Provinsi, 2006-2011 Juta Rp Tenaga Kerja Sektoral per Tahun, Provinsi Pertanian Industri Perdagangan PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 22.0 94.3 36.3 2 Sumut 17.8 112.4 35.5 3 Sumbar 18.2 57.4 28.9 4 Jambi 14.5 92.2 28.1 5 Lampung 14.3 35.3 19.7 6 NTB 8.4 6.0 12.5 7 NTT 5.6 2.2 24.7 8 Kalbar 9.2 98.2 37.4 9 Kalteng 16.1 73.5 46.9 10 Kalsel 13.1 36.3 17.8 11 Sulteng 16.5 44.5 20.5 12 Sulsel 14.9 57.8 22.5 Rata-rata 14.2

59.2 27.6

PROVINSI NON-PERTANIAN 13 Riau 50.1 403.5 53.3 14 Sumsel 10.9 174.1 32.7 15 Kepri 30.4 158.0 80.6 16 Jabar 17.4 79.3 29.3 17 Jateng 11.9 41.2 20.0 18 DIY 10.0 21.1 15.6 19 Jatim 11.9 67.1 44.7 20 Banten 14.2 81.1 23.3 21 Bali 14.0 16.2 29.0 22 Kaltim 32.0 892.6 62.2 23 Sulut 15.4 44.8 26.6 Rata-rata 19.8 179.9 37.9 Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100 Upah Riil Tenaga Kerja Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian berdampak pada rendahnya upah riil. Tabel 18 menunjukkan rata-rata upah riil pertanian di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Kondisi ini terkait dengan produktivitas tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian yang lebih rendah. Bahkan, pertumbuhan upah pertanian di provinsi non-pertanian lebih besar. Upah riil pertanian merupakan yang paling rendah di antara ketiga sektor dimana upah di provinsi pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi non-pertanian. Sementara rata-rata upah riil industri dan perdagangan di provinsi pertanian relatif sama. Sedangkan, upah riil industri di provinsi non-pertanian paling tinggi. Perbandingan antar provinsi menunjukkan upah riil pertanian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Upah riil industri tertinggi di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan upah riil perdagangan tertinggi di provinsi Kepulauan Riau. Seluruh provinsi dengan rata-rata upah riil tertinggi tersebut merupakan provinsi non-pertanian. Tabel 18 Rata-rata Upah Riil 1 per Tahun menurut Provinsi, 2006-2011 Sektoral per bulan Ribu Rp dan Pertumbuhannya Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Upah Growth Upah Growth Upah Growth PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 705 2.5 891 -0.9 878 -2.9 2 Sumut 725 0.2 934 -1.7 899 -0.9 3 Sumbar 599 5.7 722 6.5 845 2.2 4 Jambi 686 3.2 943 -2.5 713 -1.1 5 Lampung 453 3.8 599 5.7 635 -3.9 6 NTB 353 10.5 459 8.4 675 2.4 7 NTT 355 7.8 562 -3.7 581 2.0 8 Kalbar 762 0.5 907 2.1 767 0.4 9 Kalteng 805 5.7 852 6.1 802 14.4 10 Kalsel 653 4.9 822 12.5 743 1.9 11 Sulteng 564 6.2 606 22.9 706 -4.4 12 Sulsel 483 -0.1 708 -5.8 771 -4.1 Rata-rata 595

4.2 750

4.1 751

0.5 PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 860 0.1 1 205 1.6 897 0.8 14 Sumsel 641 9.5 909 3.4 870 1.4 15 Kepri 841 7.7 1 700 7.8 1 178 3.4 16 Jabar 374 3.8 928 3.0 907 -1.0 17 Jateng 359 3.4 569 3.3 622 3.3 18 DIY 409 7.0 697 0.2 718 4.6 19 Jatim 342 3.8 735 -1.3 729 3.2 20 Banten 520 13.1 1 122 1.3 1 107 5.1 21 Bali 527 5.4 718 4.5 1 003 6.0 22 Kaltim 1 189 0.3 1 672 7.0 1 047 3.2 23 Sulut 607 6.6 825 4.9 906 0.5 Rata-rata 606

5.5 1 007

3.2 908

2.8 Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100 Pengeluaran per Kapita Konsep kemiskinan di Indonesia adalah konsep moneter dengan pendekatan pendapatan penduduk. Namun, data kemiskinan yang dihitung BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita dari hasil SUSENAS. Menurut Ravallion 1995 pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kemiskinan sektoral pada penelitian ini juga menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Tabel 19 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita sektoral sejalan dengan upah riil sektoral dimana sektor pertanian memiliki rata-rata paling kecil dan pPengeluaran per kapita provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Besaran upah riil menunjukkan bahwa upah yang diterima hanya mampu memenuhi konsumsi 2-3 anggota rumahtangga yang dapat terjadi karena perbedaan bobot konsumsi setiap anggota rumahtangg. Hal ini juga mengindikasikan ada sumber pendapatan lain dari pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di sektor lain atau pekerjaan anggota rumahtangga lainnya. Tabel 19 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil 1 dan Pertumbuhannya per Tahun Menurut Provinsi, 2006-2011 Sektoral per bulan Ribu Rp Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Konsumsi Growth Konsumsi Growth Konsumsi Growth PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 288 6.3 366 7.2 437 7.3 2 Sumut 291 8.0 361 8.7 451 8.9 3 Sumbar 294 8.5 382 8.7 454 11.3 4 Jambi 316 8.7 344 13.3 424 11.3 5 Lampung 237 6.7 298 4.4 376 13.8 6 NTB 222 6.3 246 7.6 344 8.0 7 NTT 169 6.1 242 5.5 348 6.6 8 Kalbar 272 7.7 365 24.1 464 15.8 9 Kalteng 321 11.6 388 13.4 445 10.0 10 Kalsel 308 9.8 373 8.3 474 11.0 11 Sulteng 252 9.9 298 11.2 410 17.7 12 Sulsel 219 8.3 321 9.8 414 11.7 Rata-rata 266

8.2 332

10.2 420

11.1 PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 387 7.4 454 14.4 563 8.4 14 Sumsel 283 9.8 356 8.9 415 10.0 15 Kepri 425 9.4 651 13.3 641 11.1 16 Jabar 255 5.9 401 9.7 388 9.8 17 Jateng 229 7.2 294 6.8 340 10.5 18 DIY 258 5.5 376 1.8 448 12.0 19 Jatim 228 6.7 347 13.6 368 10.3 20 Banten 248 5.5 485 8.9 489 10.1 21 Bali 328 8.3 417 12.8 552 13.8 22 Kaltim 355 4.7 666 22.4 627 12.5 23 Sulut 287 8.5 343 11.1 444 12.1 Rata-rata 299

7.2 435

11.3 479

11.0 Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi 2007=100 Profil Kemiskinan Sektoral Daerah Indeks Gini Tabel 20 Perkembangan Indeks Gini Provinsi, 2006-2011 Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata- rata Perubahan per tahun PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 0.28 0.27 0.27 0.29 0.30 0.33 0.29 0.011 2 Sumut 0.30 0.31 0.31 0.32 0.35 0.35 0.32 0.010 3 Sumbar 0.33 0.31 0.29 0.30 0.33 0.35 0.32 0.004 5 Jambi 0.31 0.31 0.28 0.27 0.30 0.34 0.30 0.006 7 Lampung 0.31 0.39 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36 0.012 15 NTB 0.37 0.33

0.33 0.35

0.40 0.36 0.36 -0.002 16 NTT 0.37 0.35 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36 -0.002 17 Kalbar 0.27 0.31 0.31 0.32 0.37 0.40 0.33 0.026 18 Kalteng 0.21 0.30 0.29 0.29 0.30 0.34 0.29 0.026 19 Kalsel 0.33 0.34

0.33 0.35

0.37 0.37 0.35 0.008 22 Sulteng 0.37 0.32 0.33 0.34 0.37

0.38 0.34

0.002 23 Sulsel 0.36 0.37 0.36 0.39 0.40 0.41 0.38 0.010 Rata-rata 0.32

0.33 0.32

0.33 0.35

0.36 0.33

0.009 PROVINSI NON-PERTANIAN 4 Riau 0.31 0.32 0.31 0.33 0.33 0.36 0.33 0.010 6 Sumsel 0.28 0.32 0.30 0.31 0.34 0.34 0.32 0.012 8 Kepri 0.33 0.30 0.30 0.29 0.29 0.32 0.31 -0.002 9 Jabar 0.35 0.34 0.35 0.36 0.36 0.41 0.36 0.012 10 Jateng 0.31 0.33 0.31 0.32 0.34 0.38 0.33 0.014 11 DIY 0.39 0.37 0.36 0.38 0.41 0.40 0.39 0.002 12 Jatim 0.30 0.34 0.33 0.33 0.34 0.37 0.34 0.014 13 Banten 0.33 0.37 0.34 0.37 0.42 0.40 0.37 0.014 14 Bali 0.35 0.33 0.30 0.31 0.37 0.41 0.35 0.012 20 Kaltim 0.30 0.33 0.34 0.38 0.37 0.38 0.35 0.016 21 Sulut 0.36 0.32 0.28 0.31 0.37 0.39 0.35 0.006 Rata-rata 0.33

0.33 0.32

0.34 0.36

0.38 0.34

0.010 Sumber: BPS Sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, Indeks Gini selama tahun 2006- 2011 cenderung meningkat bahkan peningkatan dan rata-rata Indeks Gini provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian Tabel 20. Hal ini sesuai hipotesis Kuznets dimana perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, rata- rata Indeks Gini provinsi non-pertanian yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi non-pertanian lebih tidak merata. Jika meningkatnya Indeks Gini dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB perdagangan yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan PDRB pertanian dan pertumbuhan PDRB industri terutama di provinsi non-pertanian, maka kondisi ini menunjukkan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di provinsi- provinsi dengan struktur ekonomi didominasi oleh sektor jasa. Hal ini juga sesuai dengan asumsi hipotesis Kuznets yaitu kesenjangan pendapatan akan meningkat ketika perekonomian mulai beralih dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka kenaikan Indeks Gini ini mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh penduduk kaya. Sementara itu, perbandingan antar provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tinggi, sedangkan distribusi pendapatan di NAD dan Kalimantan Tengah paling merata. Headcount Index Sektoral Tabel 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, 2006-2011 Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Total HCI ∆ HCI ∆ HCI ∆ HCI ∆ PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 33.3 -3.5 25.0 -3.8 10.7 -2.6 23.5 -1.7 2 Sumut 16.5 -0.6 12.2 -0.8 7.4 -1.0 12.6 -0.7 3 Sumbar 17.0 -1.2 11.0 -1.3 7.6 -1.6 10.5 -0.7 5 Jambi 9.9 -0.8 10.5 -2.3 11.9 -1.4 9.5 -0.5 7 Lampung 23.7 -1.1 20.1 0.3 11.8 -1.5 20.3 -1.2 15 NTB 26.8 -0.9 19.3 -0.5 14.6 0.2 23.3 -1.5 16 NTT 31.1 -1.2 19.0 -0.4 13.1 -2.8 25.0 -1.6 17 Kalbar 11.7 -1.1 10.4 -0.4 6.3 -0.3 11.0 -1.3 18 Kalteng 11.0 -0.8 8.1 2.3 4.7 0.1 8.2 -0.9 19 Kalsel 9.0 -0.2 6.6 0.4 3.8 -0.5 6.2 -0.6 22 Sulteng 26.0 -2.7 23.8 -3.2 13.2 -1.4 19.9 -1.6 23 Sulsel 16.0 0.2 10.9 0.2 4.7 -0.8 12.7 -0.9 Rata-rata 19.3 -1.2 14.7 -0.8 9.1 -1.1 15.2 -1.1 PROVINSI NON PERTANIAN 4 Riau 13.1 -1.1 11.4 -0.9 6.5 -1.1 10.0 -0.7 6 Sumsel 18.5 -1.3 15.2 -3.4 12.9 -1.1 17.3 -1.4 8 Kepri 15.3 -4.5 8.3 -0.7 9.5 1.5 9.2 -1.0 9 Jabar 20.8 0.3 12.6 -0.6 9.8 -0.9 12.5 -0.8 10 Jateng 24.8 -0.4 15.3 -0.4 12.1 -0.4 18.6 -1.3 11 DIY 31.1 0.8 14.9 -2.7 12.3 -1.9 17.8 -0.6 12 Jatim 26.1 -1.9 12.3 -1.1 9.4 -1.4 17.6 -1.4 13 Banten 17.5 -0.9 3.2 -0.5 6.5 -1.1 8.0 -0.7 14 Bali 8.7 0.4 5.2 -0.4 1.9 -0.1 5.7 -0.6 20 Kaltim 19.1 -1.4 8.8 -2.1 4.6 -1.3 9.0 -0.9 21 Sulut 13.7 -0.4 11.2 1.4 5.1 -0.5 10.1 -0.6 Rata-rata 19.0 -1.0 10.8 -1.0 8.2 -0.7 12.4 -0.9 Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Headcount index HCI atau sering dinotasikan dengan P adalah indikator kemiskinan yang merupakan persentase penduduk miskin. Perbandingan antar tiga sektor ekonomi pada Tabel 21 menunjukkan sektor pertanian memiliki HCI paling tinggi dibandingkan sektor industri dan sektor perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dari pada HCI pertanian di provinsi non-pertanian dengan rata-rata 19.3 dan 19.0. Semetnara rata-rata HCI industri di provinsi pertanian dan provinsi non- pertanian 14.7 dan 10.8. Sementara itu, HCI perdagangan paling kecil dengan rata-rata 9.1 di provinsi pertanian dan 8.2 di provinsi non-pertanian. HCI pertanian yang tinggi memberi kontribusi paling besar pada toal HCI yang berarti jumlah penduduk miskin paling banyak di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga pertanian yang lebih rendah dibandingkan industri dan perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI sektoral provinsi pertanian lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian. namun, meskipun HCI provinsi pertanian lebih besar tetapi laju penurunannya lebih cepat dibandingkan provinsi non-pertanian terutama di sektor pertanian dan perdagangan Gambar 12. Dengan demikian, strategi percepatan pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, meskipun HCI provinsi non-pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi pertanian tetapi jumlah penduduk miskin provinsi non-pertanian yang lebih besar dapat menjadi alasan agar pemerintah daerah di wilayah provinsi non-pertanian lebih memprioritaskan percepatan penurunan kemiskinan penduduk di sektor pertanian. Gambar 33. Rata-rata Headcount Index dan Perubahannya per Tahun persen poin, 2006-2011 19,3 14,7 9,1 15,2 19,0 10,8 8,2 12,4 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 HCI Pertanian HCI Industri HCI Perdagangan HCI Total -1,2 -0,8 -1,1 -1,1 -1,0 -1,0 -0,7 -0,9 -1,4 -1,2 -1,0 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 Provinsi Pertanian Provinsi Non-Pertanian Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertanian Pada bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa rumah tangga pertanian memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi dengan headcount index yang paling besar dibandingkan headcount index industri dan headcount index perdagangan. Selain itu, proporsi penduduk miskin dapat menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antar sektor. Tabel 22 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama periode 20006-2011 paling banyak berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya cenderung meningkat. Rata-rata proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi pertanian naik dari 62.2 menjadi 64.5 atau rata- rata 0.5 persen poin per tahun, dan di provinsi non-pertanian naik dari 48.6 menjadi 49.7 atau rata-rata 0.2 persen poin per tahun. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian disingkat menjadi penduduk miskin pertanian yang tinggi dan meningkat sementara Indeks Gini meningkat mengindikasikan dampak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah lebih menguntungkan penduduk miskin di sektor-sektor non-pertanian. Ini berarti, strategi pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah tidak memihak penduduk miskin pertanian. Tabel 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, 2006-2011 Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Perubahan per tahun poin PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 64.4 61.1 50.8 59.1 62.9 57.8 -1.3 2 Sumut 53.9 51.3 49.4 50.0 56.5 61.6 1.6 3 Sumbar 57.4 57.9 59.7 53.7 64.0 70.3 2.6 4 Jambi 58.8 50.3 48.1 46.1 44.0 63.2 0.9 5 Lampung 60.4 65.0 60.1 62.0 66.7 64.4 0.8 6 NTB 54.2 43.6 55.0 55.1 54.8 56.9 0.5 7 NTT 78.2 76.1 84.0 82.1 80.0 78.7 0.1 8 Kalbar 66.2 59.2 58.6 65.4 69.2 61.7 -0.9 9 Kalteng 75.6 61.5 74.0 66.4 70.5 73.2 -0.5 10 Kalsel 45.9 49.3 45.8 45.3 52.5 61.5 3.1 11 Sulteng 73.3 69.4 63.4 67.3 68.1 65.7 -1.5 12 Sulsel 58.3 56.0 62.4 62.5 66.3 59.2 0.2 Rata-rata 62.2

58.4 59.3

59.6 63.0

64.5 0.5

PROVINSI NON PERTANIAN 13 Riau 59.1 49.3 50.7 41.3 58.4 63.9 1.0 14 Sumsel 57.5 60.7 53.3 60.6 53.2 60.8 0.7 15 Kepri 35.5 16.9 20.6 12.6 43.4 9.5 -5.2 16 Jabar 33.9 38.1 39.9 37.8 38.4 41.5 1.5 17 Jateng 48.6 50.8 51.8 50.5 53.0 50.9 0.5 18 DIY 48.3 43.6 50.1 47.3 50.3 54.5 1.2 19 Jatim 56.7 55.9 54.8 57.4 58.3 60.5 0.8 20 Banten 39.0 43.8 42.6 39.0 47.0 40.7 0.3 21 Bali 42.6 50.0 55.8 51.1 54.9 49.1 1.3 22 Kaltim 43.6 47.3 49.1 38.4 64.3 58.0 2.9 23 Sulut 70.4 62.8 41.5 44.4 47.4 57.7 -2.5 Rata-rata 48.6

47.2 46.4

43.7 51.7

49.7 0.2

Sumber: BPS, data diolah Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, 2006-2011 Provinsi Komposisi DAU Pertumbuhan PDRB Riil 1 Indeks Gini Perubahan HCI poin Distribusi Penduduk Miskin Pertanian PROVINSI PERTANIAN 1 NAD 43.1 -2.7 0.29 -1.7 59.3 2 Sumut 58.0 6.9 0.32 -0.7