Dampak kebijakan subsidi listrik terhadap perekonomian dan kemiskinan di Indonesia

(1)

TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

DISERTASI

SRI DJOKO PARARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

Dampak Kebijakan Subsidi Listrik terhadap Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia

Merupakan gagasan atas hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas sumbernya dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

NRP. A 161040374 Sri Djoko Pararto


(3)

SRI DJOKO PARARTO. The Impact of Electricity Subsidy Policy on Economy and Poverty in Indonesia (YUSMAN SYAUKAT, as Chairman, BONAR M. SINAGA and SRI HARTOYO, as Members of the Advisory Committee)

The objectives of this study were to identify the factors that influence the levels of subsidy for electricity and to analyze the impact of electricity subsidies on economy and po verty in Indo nesia. This study used a simultaneous equations econometric was model estimated using a two stage least squares (2SLS) method and SYSLIN procedure for the data set period of 1990-2010. The forecast simulation was set for 2011-2015 with NEWTON method and SIMNLIN procedure. Since economic crises hit Indonesia in the middle 1997, electricity market in Indo nesia has funda mental change s. The crises led to rising of the operation cost of energy provision, while people’s purchasing power decreased. The government adopt ed the electricity subs idies to help the peop le and to ensure the survival of the provider of electric power. The amount of electricity subsidies depends on government revenue. Besides that, the amount of electricity subsidies also depends on the operation cost per kWh of electricity provision, margin of electricity provider, and people’s purchasing power. The amount of the electricity subsidies and the operation cost of electricity provision will determine the selling price of electricity burdened to consumers. The changes of the selling price of electricity will affect the economic performance and the poverty because the electricity is one of main energy sources of household and other economic activities. One of main results of the study is that the transfer of electricity subsidies to other expenditures has a better impact on po verty although it can suppress the economic growth. The results of forecast simulation also show that the decrease in electricity subsidies, increase of Indonesia Crude Oil Prices (ICP), and the depreciation of rupiah to dollar of United Stated caused rising in the selling price of electricity, decreasing economic growth, and increasing inflation and poverty rates. In other hand, decreasing of energy losses and reducing of company margin will result in decreasing selling price of electricity subsidies, increasing economic growth and decreasing inflation and poverty rate.

Keywords: electricity subsidies, production cost, selling price of electricity, economic growth, poverty


(4)

Listrik sekarang telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat karena hampir setiap aktivitas masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan tenaga listrik. Di lain pihak, penyediaan tenaga listrik yang bersifat padat modal dan teknologi menyebabkan harga tenaga listrik menjadi mahal dan belum dapat menjangka u selur uh wilayah Indo nesia. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong proses produksi dan distribusi yang lebih merata dengan harga ya ng terjangka u.

Salah satu campur tangan pemerintah dalam sektor kelistrikan adalah keterlibatannya dalam penentuan tarif listrik. Kebijakan penetapan tarif listrik ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemberian subsidi karena tarif listrik yang ditetapkan biasanya lebih kecil dari biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Subsidi diberikan dengan tujuan agar ketersediaan listrik dapat terpenuhi, kelangsungan penyediaan listrik dapat berjalan stabil, serta membantu pelanggan yang kurang mampu dan masyarakat yang belum terjangkau pelayanan PT. PLN (Persero), selanjut nya disebut PLN, dapat ikut menikmati energi listrik.

Namun demikian ada satu pertanyaan klasik yang sering muncul berkaitan pe mberian subsidi ini, yaitu apaka h subs idi tersebut telah memba nt u masyarakat miskin harena sampai saat ini subsidi diberikan kepada hampir semua pelanggan PLN. Selain itu, subsidi listrik juga ditengarai lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya. Ini disebabka n kebijakan subsidi listrik saat ini adalah subsidi harga, sehingga semakin besar jumlah konsumsi listriknya semakin besar juga jumlah subsidi yang dinikmati.

Berpijak dari permasalahan di atas, maka diperlukan adanya suatu penelitian untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik dan bagaimana dampaknya terhadap tingkat kemiskinan di Indo nesia. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik di Indonesia; (2) mengestimasi besarnya subsidi listrik yang harus dikeluarkan pemerintah; dan (3) menganalisis dampak pemberian subsidi listrik terhadap tingkat kemiskinan.

Penelitian ini menggunakan data sekunder periode tahun 1990-2010 yang bersumber dari berbagai instansi. Analisis menggunakan model persamaan simultan yang diestimasi dengan metod e 2SLS (Two-Stage Least Squares) dan prosedur SYSLIN. Model yang disusun terdiri da ri 29 persamaan struktural dan 27 persamaan identitas yang dikelompokkan dalam 8 blok, yaitu (1) blok produksi listrik, (2) blok konsumsi listrik, (3) blok subsidi listrik, (4) blok harga jual tenaga listrik, (5) blok pe nerimaan dan pengeluaran pemerintah, (6) blok PDB, nilai tukar, dan inflasi, (7) blok tenaga kerja, dan (8) blok kemiskinan. Hasil estimasi persamaan-persamaan struktural pada taraf signifikansi 40 persen secara ekonomi logis serta mempunyai arti dan dapat dibuktikan secara statistik. Sebelum melakukan simulasi, maka dilakukan uji validasi dengan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Uji validasi menggunakan statistik RMSPE dan U-The il. Hasil validasi menunjukkan model yang dibangun mempunyai daya ramal yang


(5)

untuk periode tahun 2011-2015 dengan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN. Seluruh perhitungan menggunakan program piranti lunak Statistical Analysis System/Estimation Time Series (SAS/ETS) versi 9.1.

Berdasarkan hasil pendugaan parameter, dapat disimpulkan bahwa produksi tenaga listrik yang dibangkitkan sendiri dipengaruhi secara positif oleh konsumsi bahan bakar yang digunakan. Tenaga listrik yang dibeli dipengaruhi secara negatif oleh jumlah tenaga listrik yang diproduksi sendiri dan pos itif oleh besarnya permintaan tenaga listrik dan jumlah tenaga listrik yang hilang. Total biaya operasional dipengaruhi secara positif oleh jumlah tenaga listrik yang dibeli, biaya untuk konsumsi bahan bakar (BBM, batu bara, dan gas alam), dan biaya rutin lainnya. Pengeluaran untuk konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh harga dan jumlahnya. Jumlah konsumsi bahan bakar dipengaruhi secara negatif oleh harganya, jumlah tenaga listrik yang diproduksi sendiri, dan secara positif oleh harga dunia bahan bakar. Konsumsi tenaga listrik dipengaruhi secara negatif oleh harga jual tenaga listrik da n secara positif oleh pendapatan pelanggan. Subsidi harga listrik dipengaruhi secara positif oleh besarnya penerimaan pemerintah. Harga jual tenaga listrik dihitung berdasarkan selisih antara biaya pokok penyediaan tenaga listrik per kWh (BPP, termasuk margin usaha) de ngan nilai subsidi per kWh yang diberikan. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan dipengaruhi secara positif oleh tingkat inflasi dan jumlah pengangguran. Selain itu, jumlah penduduk miskin di perkotaan dipengaruhi secara negatif oleh tingkat upa h riil, seda ngka n di pede saan oleh jumlah pengeluaran pemerintah.

Simulasi peramalan pe ngurangan subsidi listrik, ke naika n harga minya k mentah Indo nesia (ICP), dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menyebabkan kenaikan harga jual tenaga listrik, memicu inflasi, menekan laju pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Sedangkan penurunan tenaga listrik yang hilang da n pe ngurangan margin usaha perusahaan penyedia tenaga listrik dapat menurunkan biaya operasional perusahaan penyedia tenaga listrik da n harga jual tenaga listrik, meneka n inflasi, mendorong laju pertumbuhan ekonomi, da n dapat menurunkan jumlah pe nduduk miskin.


(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumka n atau menyebutka n sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN

DI INDONESIA

SRI DJOKO PARARTO

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk me mperoleh gelar Doktor

pada

Prog ram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Suharno, MSc

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. D r. Zuhal, M.Sc.

Guru Besar pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. 2. Prof. D r. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.


(9)

terhadap Perekonomian dan Kemiskinan

di Indonesia

Nama Mahasiswa

: SRI DJOKO PARARTO

Nomor Pokok

: A 161040374

Program Studi

: Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc.

Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Sri Hartoyo, MS.

Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi berhasil diselesaikan. Disertasi dengan judul Dampak Subsidi Listrik Terhadap Tingka t Kemiskinan di Indo nesia disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga dan Bapak Dr. Sri Hartoyo, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan proposal ini. Kepada teman-teman di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian kelas khusus angkatan II Institut Pertanian Bogor (IPB) juga penulis sampaikan ucapan terima kasih atas masuka nnya untuk lebih menyempurnaka nnya.

Penulis sadari bahwa dengan segala keterbatasan, penelitian ini tentulah be lum sempurna. Ketidak sempurnaan penelitian ini menjadi tangjung jawab penulis sepenuhnya. Oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan guna penyempurnaan penetilian sejenis ini dimasa mendatang akan sangat berguna bagi penulis dan juga bagi masyarakat ilmiah. Penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memerluka n.

Bogor, Januari 2012 Penulis


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Oktober 1951 di Sragen, Jawa Tengah dan memiliki orang tua Bapak S uwarno da n Ibu Sri Amini.

Pada tahun 1969 penulis menyelesaikan sekolah di Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri Sragen . Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1977 pada Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Pada tahun 2002 atas sponsor PT PLN(Persero) penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pasca Sarjana (S2) di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya Jakarta, gelar Magister Manajemen diraih pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah pada Program S3 bidang Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor.

Penulis sejak tahun 1977 bekerja di PT PLN (Persero) ditempatkan di PLN Distribusi Jawa Timur, Surabaya sampai dengan tahun 1990. Sejak tahun 1990 sampai dengan 1995 ditempatkan di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang sampai dengan tahun 1995. Tahun 1995 sampai dengan 1997 di PLN Wilayah Aceh, pada tahun 1997 sampai dengan 2000 di PLN Wilayah Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 ditempatkan di kantor pusat. Pada tahun 2004 sampai dengan 2009 ditugas karyakan di PT Cogindo sebagai Direktur Utama dan sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang sebagai Wakil Direktur Utama Dana Pensiun PLN.

Penulis meningkah dengan Ollysari Kentjonowati pada tahun 1980 dan dikaruniai tiga anak, anak pertama laki- laki Priyo Santoso, kedua perempuan Mina Samant ha da n ke tiga laki- laki Firman Parrol.


(12)

Nama : Sri Djoko Pararto Tempat dan tanggallahir :Sragen, 4-Oktober-1951 Agama : Islam

Alamat : Jl. BukitHijau VIII/15A PondokI ndah, JakartaSelatan NamaIstri : Olly Sari Kentjonowati

NamaAnak : 1. PriyoSantoso, 2. Mina Samantha dan 3. FirmanParrol

RiwayatPendidika n :

1. SekolahRakyat Negeri di Sragen, lulusTahun 1963 2. SekolahMenengahPertama di Sragen, lulusTahun 1966 3. SekolahMenengah Atas di Sragen, lulusTahun 1969 4. FakultasTeknikEletro ITS, lulusTahun 1977

5. SekolahTinggiManajemenPrasetiyaMulya, lulus 2004 6. Sekolah Pasca SarjanaJakarta IPB, lulus 2012 RiwayatPekerjaan:

1. Karyawan PLN Tahun 1977 – 2004 2. DirekturUtamaPT. CogindoDayaBersama

3. WakilDirekturUtamaDana Pensiun PT PLN(Persero)

DemikianRiwayathidupini kami

buatsayabuatdengansebenar-benaryadanapabiladikemudianhariternyataterdapatketerangan yang tidakbenar, makasayabersediadituntutdimuka hakim.

Bogor 27-Februari-2012

Yang MembuatRiwayatHidup


(13)

i

Halaman

DAFTAR TABEL ………... iv

DAFTAR GAMBAR ………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ……… vii

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 10

1.3. Tujuan Penelitian ……… 12

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 12

1.5. Ruang Lingkup da n Keterbatasan ………... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 15

2.1. Pengertian dan Jenis Subs idi ………....………. 15

2.2. Efek Pemberian Subsidi ...………. 17

2.3. Kemiskinan …...……… 19

2.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ... 19

2.3.2. Penyebab Kemiskinan ... 21

2.4. Inflasi …...………. 22

2.5. Dampak Subs idi Terhadap Kemiskinan ...………... 24

2.6. Dampak Subsidi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ………. 27

2.7. Monopo li Alami ...………. 29

2.8. Penelitian yang Perna h Dilakuka n ……… 29

2.8.1. Tarif Listrik ………..……….. 29

2.8.2. Subsidi Listrik ………..……….. 31

2.8.3. Keterkaitan Subsidi dengan Kemiskinan ..……..……….. 34

III. METODE PENELITIAN ………... 37

3.1. Kerangka Pikir ……….. 37

3.2. Hipotesis Penelitian ……….. 38

3.3. Metode Analisis ………..… 38

3.3.1. Model Ekonometrika ……….… 40


(14)

ii

3.3.1.3. Pengujian Parameter Model ………..…… 60

3.3.1.4. Uji Durbin- h …...………... 61

3.3.1.5. Metode Estimasi Model ………. 62

3.3.1.6. Validasi Model ……… 64

3.3.1.7. Skenario Simulasi ………... 67

3.3.2. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan ………...…... 70

IV. GAMBARAN UMUM KELISTRIKAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 1990-2010 ... 71

4.1. Konsumsi Energi Nasional ... 71

4.2. Produksi Tenaga Listrik ... 73

4.3. Konsumsi Tenaga Listrik ... 76

4.4. Subsidi Listrik ... 78

4.5. Kemiskinan di Indonesia ... 79

4.6. Subsidi Listrik, Pertumbuhan Ekonomi, da n Kemiskinan ... 81

V. PEMBAHASAN HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA LISTRIK 85 5.1. Gambaran Umum ……….. 85

5.2. Penjelasan Persamaan ………... 86

5.2.1. Blok P rod uksi Tenaga Listrik ……….. 86

5.2.2. Blok K onsumsi Tenaga Listrik ……… 100

5.2.3. Blok Subs idi Harga Listrik ……...………...………… 108

5.2.4. Blok Harga Jua l Tenaga Listrik .…...………. 113

5.2.5. Blok Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah ……….. 113

5.2.6. Blok Perekonomian ………... 116

5.2.7. Blok Tenaga Kerja ... 128

5.2.8. Blok Kemiskinan ... 131

VI. SIMULASI KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN ……….. 137

6.1. Validasi Model ………. 137

6.2. Ramalan Variabel Endogen ………....……….. 139

6.3. Simulasi Kebijakan Berkaitan dengan Perubahan Nilai Subsidi ………. 141

6.3.1. Dampak Kebijakan Peningkatan Subsidi Harga Listrik Sebesar 10 Persen ... 141


(15)

iii

Persen ………... 142

6.3.3. Dampak Kebijaka n Penurunan Subsidi Harga Listrik Sebesar 10 Persen dan Dialihkan ke Belanja Lain ... 144

6.3.4. Dampak Kebijakan Menaikkan Harga Jual Tenaga Listrik Sebesar 10 Persen ... 145

6.4. Simulasi Kebijakan Berkaitan dengan Perubahan Faktor Eksternal ... 146

6.4.1. Dampak Kenaikan ICP Sebesar 10 Persen ... 147

6.4.2. Dampak Kenaikan ICP Sebesar 10 Persen dengan Harga Jual Tenaga Listrik Tetap ... 148

6.4.3. Dampak Kenaikan ICP Sebesar 10 Persen dengan Subsidi Per kWh Tetap ... 149

6.4.4. Dampak Depresiasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat Sebesar 10 Persen ... 150

6.5 Simulasi Kebijakan Berkaitan dengan Efisiensi Perusahaan Penyedia Tenaga Listrik ... 152

6.5.1. Dampak Pengurangan Susut Tenaga Listrik Sebesar 10 Persen 152 6.5.2. Dampak Pengurangan Margin Usaha Sebesar 1 Persen ………... 153

6.5.3. Dampak Penurunan Susut Tenaga Listrik Sebesar 10 Persen dan Pengurangan Margin Usaha Sebesar 1 Persen ... 153

6.6. Ringkasan Dampak Kebijakan Subsidi Harga Listrik terhadap Tingkat Kemiskinan ... 156

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 159

7.1. Kesimpulan ………... 159

7.2. Implikasi Kebijakan ……….. 162

7.3. Saran untuk Penelitian Selanjutnya ……….. 162

DAFTAR PUSTAKA ………. 165


(16)

iv

Nomor Halaman

1. Perkembangan Rasio Elektrifikasi di Indonesia, Tahun 2005 – 2009 ………. 1

2. Perkiraan Jumlah Permintaan Energi Listrik, Rasio Elektrifikasi, dan Investasi yang Dibutuhkan, Tahun 2010–2019 ………... 2

3. Pengeluaran Pemerintah Pusat untuk S ubs idi Tahun 2000–2010 ………... 5 4. Biaya Operasional Perusahaan Penyedia Tenaga Listrik Menurut Jenis Pengeluaran Tahun 2000–2010 ... 6

5. Besarnya Subsidi Menurut Golongan Pelanggan, Tahun 2005–2010 ……....……. 7

6. Nilai Subsidi yang Diterima Per Pelanggan Menur ut Golongan Tarif Rumah Tangga, Tahun 2005–2009 ……….. 8

7. Jumlah Pelanggan PLN Rumah Tangga Sangat Kecil dan Rumah Tangga Miskin, Tahun 2005 – 2010 ……….. 11

8. Distribus i Konsumsi Energi Akhir Menurut Jenis ,Tahun 1990 – 2009 ... 72

9. Produksi Tenaga Listrik, Tahun 1990–2010 ... 73

10. Bauran Energi Menur ut Sumber Energi, Tahun 1998 – 2009 ... 74

11. Total Biaya Operasional, Tahun 1990–2010 ... 75

12. Konsumsi Tenaga Listrik Menurut Golongan Pelanggan, Tahun 1990–2010 ... 76

13. Tenaga Listrik yang Dikonsumsi Sendiri dan Hilang, Tahun 1990–2010 ... 77

14. Realisasi Subsidi Listrik, Tahun 1998–2010 ... 79

15. Jumlah da n Persentase Penduduk M iskin di Indo nesia Menur ut Daerah, Tahun 1990-2010 ... 80

16. Garis Kemiskinan Menur ut Daerah, Tahun 1990-2010 ... 81

17. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Produksi Tenaga Listrik yang Diproduksi Sendiri, Tahun 1990-2010 ………... 88

18. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi BBM, Tahun 1990-2010 ... 89

19. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Batubara, Tahun 1990-2010 … 90 20. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Gas Alam, Tahun 1990-2010 … 91 21. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga BBM, Tahun 1990-2010 ….………. 93


(17)

v

24. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Tenaga Listrik yang Dibeli, Tahun

1990-2010………... 96

25. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Total Biaya Operasional Penyediaan Tenaga Listrik, Tahun 1990-2010 ... 98

26. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Energi Listrik oleh Rumah Tangga, Tahun 1990-2010 ...………... 101

27. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Energi Listrik oleh Industri ,Tahun 1990-2010 ... 104

28. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Konsumsi Energi Listrik o leh Pelanggan Lainnya, Tahun 1990-2010 ………... 106

29. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Subs idi Harga Listrik untuk Rumah Tangga , Tahun 1990-2010 ... 109

30. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Subs idi Harga Listrik untuk Industri, Tahun 1990-2010 ... 111

31. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Subs idi Harga Listrik untuk Pelanggan Lainnya, Tahun 1990-2010 ... 111

32. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Pajak, Tahun 1990-2010 ... 114

33. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Belanja Lain, Tahun 1990-2010 ... 115

34. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran di Luar Konsumsi Listrik, Tahun 1990-2010 ... 117

35. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Investasi, Tahun 1990-2010 ... 119

36. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Ekspor, Tahun 1990-2010 ... 119

37. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Impor, Tahun 1990-2010 ... 121

38. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Nilai, Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat, Tahun 1990-2010 ... 123

39. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Indeks Harga Kons umen, Tahun 1990-2010 125 40. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Tingkat Suku Bunga, Tahun 1990-2010 ... 127

41. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penawaran Tenaga Kerja, Tahun 1990-2010 129 42. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja, Tahun 1990-2010……….. 130

43. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Upa h Riil Tenaga Kerja, Tahun 1990-2010 131 44. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Penduduk Miskin Daerah Perkotaan , Tahun 1990-2010... 132

45. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Jumlah Penduduk Miskin Daerah Pedesaan, Tahun 1990-2010 ... 134


(18)

vi

47. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Listrik Terhadap Kemiskinan Periode


(19)

vii

Nomor Halaman

1. Biaya Pokok Penyediaan da n Rata-Rata Harga Jual Tenaga Listrik per kWh

Tahun 1990–2010 ... 3

2. Dampak Pemberian Subsidi terhadap Kemiskinan ... 25

3. Dampak Pemberian Subsidi terhadap Kesejahteraan ... 28

4. Pengaturan Harga Monopo li Alami ... 30

5. Kerangka Pemikiran Dampak Subsidi Harga Listrik terhadap Kemiskinan …..… 39

6. Keterkaitan Antarblok Model Subsidi Harga Listrik di Indonesia ... 42

7. Model Subsidi Harga Listrik ……...………... 57

8. Besarnya Subsidi Listrik, Tingkat Kemiskinan, d an Laju Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, Tahun 1990-2010 ... 83 9. Realisasi dan Ramalan Subsidi Listrik Tahun 1998–2015 ...


(20)

viii

Nomor Halaman

1. Keterangan Variabel yang digunakan dalam Model Subsidi Harga Listrik ... 167 2. Ringkasan Model Subsidi Harga Listrik ... 170 3. Program Estimasi Model Subsidi Harga Listrik Harga menggunakan Metode

2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 ... 173 4. Hasil Estimasi Mode l Subsidi Harga Listrik menggunakan Metode 2SLS da n

Prosedur SYSLIN de ngan Program SAS/ETS versi 9.1 ………... 177 5. Program Estimasi Statistik Durbin-h menggunakan Metode OLS dan Prosedur

AUTOREG dengan Program SAS/ETS versi 9.1 ... 192 6. Hasil Estimasi Statistik Durbin- h menggunakan Metode OLS dan Prosedur

AUTOREG dengan Program SAS/ETS versi 9.1 ... 196 7. Program Validasi Model Subsidi Harga Listrik menggunakan Metode Newton

dan Prosedur SIMNLIN de ngan Program SAS/ETS versi 9.1 ……... 209 8. Hasil Validasi Model Subsidi Harga Listrik menggunakan Metode Newton dan

Prosedur SIMNLIN dengan Program SAS/ETS versi 9.1 ……... 214 9. Program Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2015 Model Subsidi Harga

Listrik menggunakan Metode Newton da n Prosedur SIMNLIN de ngan

Program SAS/ETS versi 9.1 ... 218 10. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2015 Mode l Subsidi Harga

Listrik menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan

Program SAS/ETS versi 9.1 ... 222 11. Program Simulasi Model Subsidi Harga Listrik Periode Peramalan Tahun

2011-2015 menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan

Program SAS/ETS versi 9.1(Simulasi 2a) ... 225 12. Hasil Simulasi Model Subsidi Harga Listrik Periode Peramalan Tahun

2011-2015 menggunakan Metode Newton dan Prosedur SIMNLIN dengan Program

SAS/ETS versi 9.1(Simulasi 2a) ………….………... 230 13. Hasil Peramalan Variabel Endogen Tahun 2011-2015 ... 232 14. Hasil Simulasi Mode l Subsidi Harga Listrik Periode Peramalan Tahun

2011-2015 ... 234 15. Data untuk Mode l Subsidi Harga Listrik, Tahun 1990-2010 ... 237


(21)

1.1. Latar Belakang

Listrik sekarang telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat karena hampir setiap aktivitas masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, sangat tergantung pada ketersediaan energi listrik. Namun di sisi lain belum semua penduduk Indo nesia telah menikmati energi listrik. Rasio elektrifikasi1

Wilayah

di Indo nesia sampai dengan akhir tahun 2009 baru mencapai 65 persen, yang berarti masih ada 35 persen penduduk yang belum menikmati aliran listrik (PT PLN (Persero), 2010). Pertumbuhan pembangunan jaringa n listrik juga masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. Wilayah bagian timur Indonesia merupakan daerah de ngan rasio elektrifikasi paling rendah dibandingkan wilayah lain (lihat Tabe l 1).

Tabel 1. Perkembanga n Rasio Elektrifikasi di Indonesia,Tahun 2005–2009 (%) 2005 2006 2007 2008 2009

Indo nesia 58.3 59.0 60.8 62.3 65.0

Jawa-Bali 63.1 63.9 66.3 68.0 69.8

Sumatera 55.8 57.2 56.8 60.2 63.5

Kalimantan 54.5 54.7 54.5 53.9 55.1

Sulawesi 53.0 53.2 53.6 54.1 54.4

Indo nesia Bagian Timur 30.1 30.6 30.6 30.6 31.8

Sumber: PT PLN (Persero), 2010

Di lain pihak, penyediaan tenaga listrik yang bersifat padat modal dan teknologi menyebabkan harga energi listrik menjadi mahal dan belum dapat

1

Rasio elektrifikasi d idefinisikan sebagai jumlah ru mah tangga berlistrik d ibagi ju mlah ru mah tangga yang ada


(22)

menjangka u selur uh wilayah Indo nesia. Sebagai contoh, untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dari 66.1 persen pada tahun 2010 menjadi 68.5 persen pada tahun 2011 membutuhka n investasi sebesar US$ 9.74 miliar. Diperkirakan investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan energi listrik dari tahun 2010 sampa i dengan tahun 2019 mencapai US$ 97.1 miliar.

Tabel 2. Perkiraa n Jumlah Permintaa n Energi Listrik, Rasio Elektrifikasi, dan Investasi yang Dibutuhkan,Tahun 2010–2019

Tahun

Jumlah Permintaan

(GWh)

Rasio Elektrifikasi

(%)

Kebutuhan Investasi (Juta US$) *)

2010 147.8 66.1 8122.2

2011 161.1 68.5 9 739.0

2012 176.4 71.1 11 821.1

2013 193.6 73.7 12 153.3

2014 212.7 76.5 10 890.8

2015 233.7 79.5 9 493.2

2016 256.3 82.5 9 265.0

2017 280.7 85.5 9 326.9

2018 306.9 88.5 8 551.5

2019 334.4 90.9 7 740.5

Jumlah 97 103.6

Keterangan: *) PT PLN (Persero) dan IPP Sumber: PT PLN (Persero), 2010

Melepaskan harga listrik sesuai mekanisme pasar tidak mungkin dilakukan pemerintah di tengah masih tingginya angka kemiskinan2

2

Angka kemiskinan menunjukkan ju mlah penduduk miskin di seluruh Indonesia. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 garis kemiskinan mencapai Rp. 232 989 untuk daerah perkotaan dan Rp. 192 354 untuk daerah pedesaan.

. Berdasarkan data dari Bada n Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin di Indo nesia mencapai 31.02 juta orang atau 13.33 persen dari 237 juta penduduk. Apalagi Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa cabang produksi


(23)

0 400 800 1200 1600

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 19971998 19992000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Rp

/k

W

h

BPP Rata-rata HJTL

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Sehingga usaha penyediaan tenaga listrik harus disediakan oleh negara dan tersebar merata serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong proses produksi dan distribusi tenaga listrik yang lebih merata dengan harga yang terjangka u.

Salah satu campur tangan pemerintah dalam sektor kelistrikan adalah keterlibatannya dalam penentuan tarif listrik. Kebijakan penetapan tarif listrik ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemberian subsidi. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1998 tarif listrik yang ditetapkan pemerintah selalu lebih rendah dari biaya pokok penyediaan tenaga listrik (lihat Gambar 1). Hal ini menyebabkan perusahaan penyedia tenaga listrik mengalami kerugian. Sehingga untuk mengganti kerugian akibat penetapan harga jual tenaga listrik tersebut, pemerintah membayar selisih harga tersebut kepada perusahaan penyedia tenaga listrik.

Gambar 1. Biaya Pokok Penye diaa n dan Rata-Rata Harga Jual Tenaga Listrik Per kWh, Tahun 1990–2010


(24)

Selain itu terus meningkatnya permintaan tenaga listrik juga harus diikuti kemampuan produksi perusahaan penyedia tenaga listrik. Untuk meningkatkan produksi maka perlu membangun pembangkit-pembangkit baru yang berarti membutuhkan investasi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 di atas bahwa untuk memenuhi peningkatan permintaan tenaga listrik diperlukan investasi yang besar. Untuk itu sejak tahun 2009 pemerintah memasukka n unsur margin usaha dalam menghitung besarnya subsidi yang dibayarkan kepada PLN. Pemberian margin ini dimaksudkan agar PLN mendapatkan keuntungan, sehingga dapat melakukan investasi dari keuntungan tersebut. Selain itu, pemberian margin dilakukan untuk menyehatkan kondisi keuangan PLN. Hal ini dilakukan karena besarnya investasi yang diambil dari keuntungan PLN tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tenaga listrik. Sejak tahun 2005 pemerintah tidak lagi melakukan investasi untuk PLN, sehingga untuk menutupi kekurangan investasi tersebut PLN mencari sumber-sumber lain seperti dunia perbankan maupun lembaga-lembaga peminjam lainnya. Untuk dapat meminjam dari perbankan dan lembaga-lembaga lain baik lokal maupun internasional maka ko ndisi ke uangan PLN harus sehat.

Dengan demikian kebijakan pemberian subsidi listrik yang dilakukan pemerintah bertujuan selain untuk membantu pelanggan yang kurang mampu dan masyarakat yang belum terjangkau pelayanan PLN dapat ikut menikmati energi listrik, juga untuk menjaga ketersediaan tenaga listrik listrik, serta menjamin kelangsungan hidup p erusahaan penyediaan tenaga listrik (Purwoko, 2003).

Pemerintah telah mengeluarkan anggaran triliunan rupiah untuk subsidi listrik setiap tahun. Nilai realisasi subsidi listrik tersebut cenderung naik setiap


(25)

tahun, kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 78.58 triliun rupiah pada tahun 2008 menjadi 53.72 triliun rupiah. Sejak tahun 2006 besaran subsidi listrik mengalami kenaikan drastis dan juga realisasinya selalu lebih besar dari nilai anggaran yang disediaka n.

Tabel 3. Penge luaran Pe merintah Pusat untuk Subsidi, Tahun 2000–2010

Tahun Belanja Pem. Pusat (Triliun Rp)

Subsidi (Triliun Rp) Persentase

Subsidi terhadap Belanja Pem. Pusat Persentase terhadap Total Subsidi BBM Non BBM

Jumlah BBM

Non BBM Listrik

Lain-nya Listrik

Lain-nya

2000 188.39 53.81 3.93 5.01 62.75 33.31 85.76 6.26 7.98

2001 260.51 68.38 4.62 4.44 77.44 29.73 88.30 5.96 5.74

2002 247.80 31.16 4.10 7.37 42.64 17.21 73.09 9.62 17.29

2003 253.71 13.21 4.52 7.74 25.47 10.04 51.87 17.75 30.38

2004 300.04 59.76 3.31 7.37 69.85 23.28 85.55 4.74 10.55

2005 361.16 95.60 8.85 16.32 120.77 33.44 79.16 7.33 13.51

2006 440.03 64.21 30.39 12.83 107.43 24.41 59.77 28.29 11.94

2007 504.62 83.79 33.07 33.35 150.21 29.77 55.78 22.02 22.20

2008 693.36 139.11 83.91 52.28 275.29 39.70 50.53 30.48 18.99

2009 628.81 45.04 49.55 43.50 138.08 21.96 32.62 35.88 31.50

2010* 781.53 88.89 55.11 57.27 201.26 25.75 44.17 27.38 28.45

Rata-rata 27.28 58.45 22.13 19.47

Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Energ i dan Su mber Daya Mineral (dio lah) *) APBN-P 2010

Berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu 2000–2010, secara rata-rata subs idi yang dikeluarkan pemerintah mencapai 27.28 persen dari total belanja pemerintah pusat, dimana 58.45 persen digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi listrik adalah yang terbesar diantara subsidi-subsidi non BBM lainnya yang secara rata-rata mencapai 22.19 persen pada periode yang sama. Sejak tahun 2006 subsidi listrik mengalami kenaikan tajam, baik dari nilai maupun persentasenya, di saat


(26)

subsidi BBM mulai berkurang. Bahkan pada tahun 2009 mencapai 35.88 persen, melebihi subsidi untuk BBM sebesar 32.62 persen.

Kenaikan subsidi listrik ini disebabkan karena biaya operasional perusahaan penyedia tenaga listrik (PLN) yang terus meningkat, sementara tarif listrik relatif tetap. Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sejak krisis ekonomi tahun 1997 dan masih tingginya ketergantungan PLN terhadap BBM merupaka n dua sebab utama meningkatnya biaya operasional PLN. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada periode 2000-2010 sebesar 54.19 persen dari seluruh biaya operasional digunakan untuk membeli bahan bakar dan pelumas. Namun di sisi lain, krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menurunkan pendapatan riil dan daya beli masyarakat. Sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan pemberian subsidi listrik untuk mengurangi beban masyarakat tersebut.

Tabel 4. Biaya Operasional Perusahaan Penyedia Tenaga Listrik Menurut Je nis Penge luaran, Tahun 2000–2010

(Miliar Rupiah)

Tahun

Jenis Pengeluaran

Jumlah Pembelian

Listrik

Bahan Bakar dan

Pelumas

Pemeli-haraan

Kepega-waian Lainnya

2000 9 395.4 10 375.8 1 610.3 1 802.4 4 032.0 27 215.8 2001 8 717.1 14 007.3 2 630.4 2 066.3 4 498.3 31 919.4 2002 11 168.8 17 957.3 3 588.8 2 583.3 17 047.4 52 345.6 2003 10 834.0 21 477.9 4 827.6 3 827.7 14 910.0 55 877.2 2004 11 970.8 24 491.1 5 202.1 5 619.4 12 427.4 59 710.8 2005 13 598.2 37 355.5 6 511.0 5 508.1 13 050.9 76 023.6 2006 14 845.4 63 401.1 6 629.1 6 719.7 13 632.8 105 228.2 2007 16 946.7 65 560.0 7 269.1 7 064.3 14 665.8 111 506.0 2008 20 742.9 107 782.8 7 619.9 8 344.2 16 107.9 160 597.8 2009 25 447.8 76 235.1 7 964.5 9 758.3 15 870.3 135 276.0 2010 25 217.8 84 190.7 9 900.6 12 954.4 16 844.5 149 108.1 Rata-rata (%) 17.50 54.19 6.61 6.87 14.83 100.00

Keterangan: *) PT PLN (Persero) dan IPP Sumber: PT PLN (Persero), 2010


(27)

Ada satu pertanyaan klasik yang sering muncul berkaitan pemberian subs idi, yaitu apakah subs idi tersebut telah mencapai target, baik target “orang” maupun target filosofinya. Target “orang” maksudnya adalah subsidi dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkannya, sedangkan target filosofi adalah subsidi berhasil membantu masyarakat marjinal dan miskin tersebut keluar dari kemarjinalan dan kemiskinannya.

Sampai saat ini adalah subsidi listrik tidak hanya diberikan kepada masyarakat miskin, tetapi kepada hampir semua pelanggan PLN. Tahun 2009, sebagai contoh, berdasar data da ri PT PLN (Persero), dari total realisasi subsidi Rp. 53.72 triliun, pelanggan rumah tangga menyerap Rp. 30.01 triliun atau 55.86 persen, dimana Rp. 22.34 triliun diberikan kepada rumah tangga kecil (450VA dan 900VA). Kalangan bisnis da n industri mendapatkan subsidi masing- masing 4.0 triliun rupiah dan Rp. 16.22 triliun. Instans i pemerintah dan kantor pelayanan publik lainnya mendapat jatah Rp. 1.82 triliun.

Tabel 5. Besarnya Subsidi Menurut Golongan Pelanggan, Tahun 2005–2010 (Miliar Rp) Tahun

Rumah Tangga

Bisnis Industri Sos ial Pelayanan Publik s.d. 450VA

dan 900VA Lainnya

2005 7 300.6 599.7 159.6 1 892.4 333.4 288.2 2006 15 237.0 4 023.3 2 963.7 9 465.8 977.3 1 199.1 2007 16 335.6 4 782.4 3 529.3 10 273.5 1 131.9 1 383.6 2008 28 537.8 10 688.4 9 043.3 24 952.8 2 216.5 2 851.6 2009 22 344.8 7 661.9 3 997.2 15 947.1 1 674.6 1 817.0 2010*) 26 860.0 9 300.0 2 920.0 12 000.0 1 900.0 1 710.0

Sumber: Kementerian ESDM dan PLN (diolah ) *) Alokasi subsidi listrik tahun 2010

Selain itu, subsidi listrik selama ini lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya. Tabel 6 memperlihatkan bahwa meskipun secara total nilai subsidi


(28)

terbesar untuk rumah tangga sangat kecil, tetapi dilihat per pelanggan nilai subsidi yang dinikmati rumah tangga kaya jauh lebih besar dari rumah tangga kecil. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian subsidi yaitu untuk membantu seseorang atau rumah tangga kurang mampu untuk dapat menikmati energi listrik.

Tabel 6. Nilai Subsidi yang Diterima Pe r Pelanggan Pe r Tahun Menurut Golongan Tarif R umah Tangga, Tahun 2005–2010

(Ribu R upiah) Tahun s.d.

450VA 900VA 1.300VA 2.200VA

> 2.200 s.d. 6.600VA

> 6.600VA

Rata-rata 2005 299.5 182.3 138.1 270.8 - - 246.8 2006 526.2 529.9 732.9 1327.6 1 724.3 1 987.3 584.5 2007 537.6 553.9 781.1 1421.9 1 986.1 2 439.3 612.0 2008 857.4 1 023.1 1 522.1 2756.8 4 395.2 5 060.2 1 088.9 2009 674.7 753.1 1 132.2 2004.5 2 782.3 - 813.3 2010 716.2 800.6 1 080.5 1 942.8 2 745.6 - 849.0

Sumber: PT PLN (d iolah)

Kebijaka n subsidi pe merintah yang be rupa subsidi harga (price goods subsidies) juga mempunyai beberapa kelemahan (Farabi, 2010), antara lain: (i) dari sisi anggaran pemerintah (APBN), subsidi BBM dan listrik yang sangat tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar, dalam pelaksanaannya cenderung berfluktuasi. (ii) subsidi listrik menyebabkan kesenjangan spasial karena pembangunan listrik masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, dan (iii) subsidi telah menyebabkan ketidakadilan personal karena subs idi hanya diberikan kepada pelanggan PLN sehingga akan menciptakan kecemburuan dan kesenjangan dengan masyarakat pelanggan non PLN dan masyarakat yang belum teraliri listrik.


(29)

Melebarnya kesenjangan dapat menyebabkan konflik di tengah masyaraka t. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan sektor kelistrikan, harus memperhatikan masalah kesenjangan ini sebelum menetapkan suatu kebijakan. Menurut Setianegara (2008), salah satu alasan mengapa masalah kesenjangan distribusi pe ndapa tan harus dipertimbangkan adalah karena kebijakan pemerataan pendapatan, baik langsung maupun tidak langsung, dijalankan dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan. Masalah ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan telah menjadi perhatian utama pemerintah dalam proses pembangunan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, pemerintah telah menetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro growth, pro jobs, dan pro poor. Melalui strategi pro growth diharapkan terjadi percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan (growth with equity). Percepatan laju pertumbuhan ini diikuti dengan makin banyaknya kesempatan kerja tercipta sehingga semakin banyak keluarga Indonesia yang dapat dilepaskan dari perangkap kemiskinan, serta memperkuat pereko nomian untuk menghadapi berba gai goncangan.

Berpijak dari permasalahan di atas, maka diperlukan adanya metode yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang dapat mempengaruhi besarnya subsidi listrik di Indonesia dan bagaimana dampak pemberian subsidi listrik tersebut terhadap perekonomian dan kemiskinan. Model ekonometrika merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi besaran subsidi listrik


(30)

dan bagaimana pengaruhnya dengan tingkat kemiskinan. Menurut Koutsoyiannis (1977), ada tiga kegunaan model ekonometrika, yaitu untuk: (i) alat analisis, seperti pengujian suatu teori ekonomi, (ii) penetapan kebijakan, berdasar nilai estimasi parameter, dan (iii) peramalan dampak, yaitu dengan melakukan perlakuan tertentu pada suatu variabe l untuk mempredisi eko nomi menda tang. 1.2. Perumusan Masalah

Besarnya nilai subsidi listrik yang harus dike luarka n sangat tergantung pada kemampuan membayar pemerintah dan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya ope rasional perusahaan penyedia tenaga listrik. Selain itu juga memperhatikan kondisi kemampuan masyarakat dan kondisi perekonomian secara menyeluruh.

Secara teknis pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada PLN dalam penyaluran subsidi listrik. Berdasarkan alokasi jumlah subsidi yang diberikan pemerintah, PLN memberikan subs idi sesuai golongan tarif dengan besaran yang berbeda-beda. Sebagai contoh, untuk rumah tangga “miskin” dengan kategori rumah tangga yang terpasang daya 450VA dan 900VA. Untuk pelanggan industri dan kalangan bisnis juga tetap diberi subsidi tanpa kecuali. Begitu juga dengan lemba ga- lembaga sosial, kantor pemerintahan, dan penerangan jalan umum tetap diberi subs idi.

Kebijakan pemberian subsidi yang hanya menggunakan kriteria tersebut memberi ruang pada pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, tidak semua pelanggan rumah tangga sangat kecil (450VA dan 900VA) adalah rumah tangga miskin. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa persentase rumah tangga miskin pengguna listrik terhadap jumlah pelanggan rumah tangga 450VA dan


(31)

900VA relatif kecil yaitu hanya sekitar 20 persen, yang berarti ada sekitar 80 persen pelanggan rumah tangga tersebut adalah bukan rumah tangga miskin. Tabel 7. Jumlah Pelangga n PLN Rumah Tangga Sanga t Kecil dan Rumah

Tangga Miskin, Tahun 2005 – 2010

Tahun

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga Sangat

Kecil (450 VA dan 900VA)

(000)

Jumlah Rumah Tangga Miskin

‘(000)

Persentase Rumah Tangga Miskin terhadap

Jumlah Pelanggan Rumah Tangga 450VA

dan 900VA *)

2005 28.160,1 5,603.5 19.90

2006 28,886.2 5,983.1 20.71

2007 30,052.4 5,659.2 18.83

2008 31,005.9 6,279.8 20.25

2009 31.676,8 5,842.8 18.45

2010 32.348,3 5,572.2 17.23

Sumber: BPS dan PT PLN (dio lah)

*) Jumlah rumah tangga miskin pengguna listrik = Jumlah penduduk miskin dibagi rata-rata ju mlah anggota ru mah tangga miskin d ikalikan persentase rumah tangga miskin dengan sumber penerangan listrik

Kebijakan pemberian subsidi seperti ini jelas tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian subsidi yaitu membantu penduduk berpenghasilan rendah. Pemberian subsidi dengan cara ini dapat menciptaka n kesenjangan yang makin lebar antar pelanggan PLN maupun dengan pelanggan non PLN atau masyarakat yang belum teraliri listrik. Bahkan penduduk miskin yang belum menikmati energi listrik akan mendapat dampak ganda, yaitu selain mereka tidak menikmati energi listrik, tetapi juga tidak mendapat subsidi.

Dari uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan, subsidi, dan harga jual tenaga listrik di Indonesia, baik yang berasal dari dalam


(32)

maupun luar negeri. Oleh karena itu salah satu rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik di Indonesia?

2. Seberapa besar dampak kebijakan pemberian subsidi tersebut terhadap jumlah penduduk miskin?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya produksi, konsumsi, subsidi, dan harga jual tenaga listrik, serta pe nerimaan dan pengeluaran pemerintah,kondisi perekonomian, kesempatan kerja, dan tingkat kemiskinan di Indo nesia.

2. Melakukan simulasi dampak peruba han kebijakan subsidi harga listrik, efisiensi perusahaan terhadap kondisi perekonomian dan kemiskinan di Indo nesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapka n dapat memberi manfaat:

1. Bagi Pemerintah dan PLN, sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan pemberian subsidi yang dilakukan selama ini serta mendapa t masuka n dalam membuat kebijakan subsidi listrik ke depan yang lebih terarah dan memenuhi azas berkeadilan.

2. Bagi anggota Legilatif dan Partai Politik, sebagai masukan dalam memperjuangka n kepentinga n rakyat, terutama masyarakat miskin, tanpa mengabaikan nasib perusahaan penyedia energi listrik, sehingga subsidi benar-benar dapat dirasakan oleh mereka yang membutuhkan, roda perekonomian


(33)

dapat berputar, dan perusahaan penyedia energi listrik dapat beroperasi sebagaimana mestinya.

3. Bagi masyarakat, sebagai media pembelajaran dan pendewasaan masyarakat akan hakikat subsidi listrik, sehingga masyarakat bisa mengoptimalkan konsumsi listrik sesuai dengan tingkat kemampuannya.

1.5. Ruang Lingk up dan Keterbatasan

Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan tenaga listrik, subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah, da n harga jual tenaga listrik yang harus diba yar pelanggan, baik faktor sosial, politik, maupun ekonomi. Penelitian ini lebih difokuskan pada faktor- faktor ekonomi yang dominan mempengaruhi besarnya biaya pokok penyediaan, subsidi, da n harga jua l tenaga listrik serta dampaknya terhadap perekonomian dan kemiskinan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Penelitian ini menggunakan data pada periode tahun 1990 sampai dengan 2010. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak kepada kinerja perekonomian nasional baik secara makro maupun mikro. Banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan tak terkecuali perusahaan penyedia tenaga listrik (PLN). Namun penelitian ini tidak membedakan masa sebelum dan sesudah krisis, meskipun kebijakan pemerintah setelah krisis sangat berbeda dibandingkan sebelum krisis, terutama yang berkaitan dengan subsidi, termasuk subsidi listrik. Periode penelitian yang lebih banyak pada periode setelah krisis menyebabkan model yang dibangun lebih menggambarkan kondisi perekonomian setelah krisis daripada sebelum krisis.


(34)

Selain itu, luasnya permasalahan berkaitan dengan biaya penyediaan, subs idi, da n pe nent uan harga jual tenaga listrik di Indonesia serta keterbatasan data yang tersedia, ada beberapa keterbatasan penelitian ini, yaitu:

1. PLN membagi pelanggan menjadi 37 golongan tarif. Namun dalam penelitian ini hanya membagi pelanggan menjadi tiga kelompok, yaitu pelanggan rumah tangga, pelanggan industri dan pelanggan lainnya.

2. Belanja pemerintah dalam penelitian ini hanya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu belanja untuk subsidi listrik dan belanja lainnya. Belanja untuk subsidi dibedakan menjadi subsidi untuk pelanggan rumah tangga, pelanggan industri, dan pelanggan lainnya. Sementara untuk belanja lainnya tidak dipisahkan secara terperinci.

3. Lingkup pembahasan penelitian ini dilakukan pada level nasional, maka hasil analisisnya juga bersifat umum secara nasional. Jadi ada kemungkinan hasilnya kurang sesuai jika diterapkan pada level regional karena setiap daerah tentunya mempunyai kekhususan tersendiri, baik secara karakteristik wilayah, jumlah pelanggan, maupun jumlah konsumsi listriknya.

4. Penelitian ini juga hanya memfokuskan pada kebijakan pemberian subsidi listrik kepada pelanggan PLN, sehingga mengabaikan kebijakan perusahaan-perusahaan penyedia listrik selain PLN. Selain itu, pe nelitian ini juga hanya menganalisis subs idi listrik yang dilakukan pe merintah yaitu subs idi harga, sehingga tidak meneliti alternatif lain dari kebijakan subsidi seperti kebijakan pengalihan subsidi langsung tunai kepada pelanggan, subsidi barang input, dan lain- lain.


(35)

2.1. Pengertian dan Je nis Subsidi

Moor (2001) mendefinisikan subsidi dengan “all measures that keep prices for consumers below market level or keep prices for producers above market level or that reduce costs for consumers and producers by giving direct and indirect support” (Subs idi ada lah selur uh kebijaka n yang dituj uka n untuk membantu konsumen tertentu agar dapat membayar produk dengan harga di bawah harga pasar, atau dapat juga berupa kebijaka n yang dituj uka n untuk membantu produsen agar memperoleh pandapatan di atas harga yang dibayar oleh konsumen, dengan cara memberikan bantuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung). Sedangkan Handoko dan Patriadi (2005) mendefinisikan subsidi sebagai suatu pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapa i tuj uan tertentu yang membuat mereka dapat memprod uksi atau mengko nsumsi suatu prod uk da lam kuantitas yang lebih besar atau pada harga ya ng lebih murah.

Sementara berkaitan dengan subs idi energi, t ermasuk subsidi listrik, Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) mendefinisikan subsidi energi sebagai “any government action that concerns primarily the energy sector that lowers the cost of energy production, raises the price received by energy producers or lowers the price paid by energy consumers” (Subsidi energi adalah setiap kebijakan pemerintah pada sektor energi untuk menurunka n biaya produksi dengan menaikan harga yang diterima produsen atau konsumen membeli dengan harga lebih murah).


(36)

Dalam konteks ketenagalistrikan di Indonesia, subsidi energi listrik merupaka n jumlah da na yang harus dibayar Pemerintah kepada PT. PLN (Persero) yang dihitung berdasarkan selisih negatif antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing golongan tarif dikurangi biaya pokok penyediaan/BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing- masing golongan tarif ditambah margin (persentase dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif.1

Sementara jenis subsidi menurut Suparmoko da lam

Sedangkan subsidi dalam bentuk barang adalah subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu. Biasanya pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran dibawah harga pasar. Dampak subsidi be ntuk barang ini antara lain: (i) dapat mengurangi jumlah pembelian untuk barang yang disubsidi tetapi konsumsi total bertambah, (ii) secara total konsumsi tidak berubah, hal ini dapat terjadi jika pemerintah disamping memberikan subsidi juga Handoko dan Pariadi (2005) secara garis besar dibedakan da lam dua be ntuk yaitu subs idi da lam be ntuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).

Subs idi bentuk uang biasanya diberikan pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk uang kepada konsumen mempunyai keunggulan lebih murah bagi pemerintah daripada subsidi dalam bentuk penuruna n harga, da n memberikan kebebasan dalam membelanjakannya.

1


(37)

menarik pajak yang sama besarnya dengan subsidi, (iii) konsumsi dapat menjadi terlalu tinggi (overconsumption), jika jumlah yang disediakan oleh pemerintah lebih besar daripada jumlah sesungguhnya yang tersedia untuk dibeli konsumen, atau (iv) sebaliknya konsumsi menjadi terlalu rendah (underconsumption), apabila jumlah subsidi yang disediakan oleh pemerintah lebih kecil daripada jumlah yang diharapkan oleh konsumen.

2.2. Efek Pemberian Subsidi

Menurut Reiche dan Teplitz (2009), secara garis besar alasan pemberian subsidi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Pasar gagal untuk mendapatkan titik temu antara permintaan dan penawaran dengan cara yang paling menguntungkan. Subsidi berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan, hal ini dapat terjadi sepanjang biaya sosialnya tidak melebihi nilai keuntungan. Ada berbagai alasan yang mendukung alasan ini, seperti kegagalan pasar (market failures), pasar tidak sempurna (market imperfections), da n eksternaliti (externality).

2. Pemberian subsidi berkaitan aspek distribusi (distribustional considerations). Subsidi diberikan kepada kelompok masyarakat tersebut untuk dapat hidup layak pada tingkat tertentu. Dalam masalah ini subsidi biasanya dikaitkan dengan aspek kemiskinan (poverty), keterjangkauan (affordability) dan keadilan (fairness).

Meskipun kedua alasan tersebut berbeda, tetapi dalam pelaksanaannya sangat sulit memisahkan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, pemulihan kegagalan pasar (market failures) untuk meningkatkankan efisiensi eko nomi


(38)

sering dijadikan dalih kebijakan pemberian subsidi yang dikaitkan dengan masalah pemerataan.

Kebijakan pemberian subsidi mempunyai efek pos itif maupun negatif. Efek pos itif kebijakan pemberian subsidi terjadi apabila kebijakan ini dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki pos itif eksternalitas. Subsidi dapat meningkatkan output da n akan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya subsidi untuk pendidikan dan teknologi tinggi.

Namun demikian, peningkatan jumlah subsidi akan mengakibatkan pajak yang lebih tinggi atau peningkatan harga untuk barang-barang konsumen. Hal initerjadi karena pajak merupakan sumber dana untuk subsidi. Menurut Basri dalam

Agar subsidi dapat berjalan secara efektif, maka berdasar studi dan pengalaman di berbagai negara, United Nations Environment Programme (UNEP) merekomendasikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan subsidi tersebut, yaitu:

Handoko dan Pariadi (2005), subsidi yang tidak transparan dan tidak tepat sasaranakan mengakibatkan: (i) distorsi baru dalam perekonomian, (ii) inefisiensi, dan (iii) subsidi dinikmati oleh mereka yang tidak berhak.

1. Well-targeted: subsidi diberikan hanya kepada mereka yang menjadi tujuan subs idi da n pantas menerimanya.

2. Efisien: subsidi tidak boleh mendorong produsen maupun ko nsumen untuk menyediaka n atau menggun aka n barang atau jasa yang disubs idi tersebut secara berlebihan.

3. Ada justifikasi yang jelas melalui analisis yang tepat dengan mempertimbangkan untung ruginya.


(39)

4. Prakt is: jumlah subsidi harus terjangkau dan biaya administrasinya serendah mungkin.

5. Transparan: publik bisa mengetahui berapa nilai subsidi dan siapa saja yang menerima.

6. Waktunya terbatas: waktu pemberian subsidi harus jelas, sehingga produsen maupun konsumen tidak kaget ketika subsidi tersebut dicabut.

2.3. Kemiskinan

2.3.1. Konsep dan Ukuran Ke miskinan

Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian pemerintah. Berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan. BPS (2009) misalnya, mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) berupa maka nan da n buka n maka nan yang diuk ur dari sisi pe ngeluaran. Metode yang digunakan adalah dengan menghitung garis kemiskinan, baik untuk maka nan maupun non makanan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan.

Sementara Bank Dunia menggunakan batas kemiskinan absolut dengan: a) US$ 1 per kapita per hari, dan b) US$ 2 per kapita per hari. Sedangkan BKKBN mendefinikan kemiskinan dengan pendekatan kesejahteraan rumah tangga. BKKBN membagi rumah tangga menjadi 5 (lima tingkat), yaitu keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera II, dan keluarga sejahtera III plus. Suatu rumah tangga dikategarikan keluarga miskin jika masuk dalam kagori pra sejahtera dan sejahtera I.


(40)

Dari berbagai metode pengukuran tingkat kemiskinan, saat ini ukuran kuantitatif lebih banyak digunakan oleh pengambil kebijakan, seperti jumlah pemilikan barang, jumlah kalori yang dikonsumsi atau tingkat pendapatan perkapita per bulan (Pattinama, 2009).

Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinan yang biasa digunakan, yaitu:

1. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase pe nduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK).

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pe ngeluaran pe nduduk da ri garis kemiskinan.

3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara pe nduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara pe nduduk miskin.

Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu:

dimana:

α = 0, 1, 2

z = Garis kemiskinan

= 

   −

= q

i

i

z y z n P

1

1 α


(41)

yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi

q = Banyaknya pe nduduk yang be rada di bawah garis ke miskinan < z

n = Jumlah pe nduduk

Jika α=0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α=1 diperoleh Indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan jika α=2 disebut Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index-P2

2.3.2. Penye bab Ke miskinan

).

Chamber (1996) dalam Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan yang mengidentifikasi penyebab kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Pertama adalah pandangan ekonomi politik yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial. Kelompok ini memandang kemiskinan di pedesaan muncul sebagai akibat dari proses pengkonsentrasian kekayaan dan kekuasaan yang terjadi melalui tiga tingkatan, yaitu tingkatan global, nasional dan lokal. Kemiskinan pada tingkat global muncul akibat adanya hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang antara negara kaya dan negara miskin. Pada tingkat nasional, kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat ulah dari bebagai kelompok kepentingan, khususnya kelas menengah perkotaan yang berusaha memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan pedesaan melalui investasi pada industri dan jasa di pedesaan. Sementara pada tingkat lokal, kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal yang terus berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaannya. Adanya proses pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang pada tingkat global hingga lokal


(42)

menyebabkan kaum kaya menjadi semakin kaya dan kuat, sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut semakin miskin da n lemah.

Kedua adalah kelompok pandangan ekologis fisik, yang melihat kemiskinan sebagai fenomena fisik. Kelompok ini mamandang kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya dan lingkungan. Sebagian tenaga kerja terpaksa bermigrasi ke perkotaan atau ke lingkungan marginal agar dapat bertahan hidup. Selain itu parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan timbulnya kemiskinan di daerah pedesaan.

2.4. Inflas i

Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu negara (BPS, 2011). Inflasi merupakan kecenderungan harga barang dan jasa termasuk faktor- faktor produksi yang diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik terus menerus.

Menurut Atmadja (1999) penyebab terjadinya inflasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tarikan permintaan (demand pull inflation) dan (2) desakan biaya (cost push inflation). Inflasi yang disebabkan permintaan terjadi karena adanya tingginya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik kurva permintaan agregat ke kanan atas, sehingga terjadi excess demand. Inflasi yang disebabkan desakan harga terjadi karena adanya kenaikan harga faktor-faktor produksi (baik yang


(43)

berasal dari dalam negeri maupun luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikan harga komoditi di dalam pasar komoditi.

Sedangkan menurut asalnya inflasi juga dibagi menjadi dua, yaitu: (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), yaitu inflasi yang timbul karena adanya defisit dalam pembiayaan, belanja negara, musim paceklik, dan bencana alam yang berkepanjangan, dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang disebabka n oleh ke naika n harga-haraga ko mod iti di negara lain yang memiliki hubungan perda gangan de ngan negara bersangkutan. Inflasi ini dapat menular baik melalui harga barang-barang impor maupun barang-barang ekspor.

Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Akibat negatif yang ditimbulkan inflasi adalah: (1) menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang, dan (3) memperburuk pembagian kekayaan, khususnya yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006 dalam

Selain itu inflasi juga dapat menurunkan nilai riil tabungan dan investasi, sehingga dapat membuat perekonomian tidak efisien, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan standar hidup. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan, jika garis kemiskinan dinaikkan, misal karena laju inflasi yang tinggi, akan berdampak pada peningkatan kemiskinan yang relatif besar.

Nugroho, 2010).

Sementara dampak positif inflasi (Putong, 2003 dalam Nugroho, 2010) antara lain: (1) bagi pengusaha barang-barang mewah barangnya menjadi lebih


(44)

laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat lebih selektif dalam konsumsi dan produksi diusahakan seefisien mungkin, (3) inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri yang dipercaya dan tangguh, dan (4) tingkat pengangguran menurun karena masyarakat terdorong melakukan kegiatan produksi.

Angka inflasi dapat dihitung dari angka IHK (indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Index), yang biasanya diterbitkan setiap bulan, 3 bulan, atau satu tahun. Selain IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung menggunakan GNP atau PDB deflator, yaitu membandingkan GNP atau GDP yang diukur berdasarkan harga baerlaku (GNP atau GDP nominal) terhadap GNP atau PDB konstan (GNP atau PDB riil)

2.5. Dampak Subsidi terhadap Ke miskinan

Dampak kebijakan pemberian subsidi terhadap tingkat kemiskinan dapat ditelusuri dengan dua pendekatan. Pertama, peningkatan anggaran subsidi listrik yang merupaka n kebijakan ekspa nsi fiskal akan meningkatkan belanja negara, sehingga kurva IS bergeser ke kanan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Akibatnya out put nasional mengalami kenaikan dari Y1 ke Y2. Karena produksi nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N), sehingga kebutuhan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2, pada kondisi penawaran tenaga kerja yang stabil di SL1. Ini berarti penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan dari N1 ke N2, sehingga tingkat upah juga meningkat dari W1 ke W2. Peningkatan tingkat upah dan pegurangan pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat mengalami kenaikan. Apabila peningkatan


(45)

Sumber: Mankiw, 2007 (modifikasi)

Gambar 2. D ampak Pe mberian Subsidi terhadap Kemiskinan Y2

P

O Y2

Y = f(N)

N2

N2 N1 W

W1

Y

W2

r

O Y1

DL2

P1

Y

IS1

DL1

Y1

IS2

A B

LM1

O O

O

Y Y

r1

Y

N N1

N

r2

SL1

AD1 AS1

AD2 P2

Y2 Y1


(46)

daya beli masyarakat tersebut lebih tinggi daripada laju inflasi, maka sejumlah penduduk dapat melewati garis ke miskinan, yang be rarti jumlah penduduk miskin berkurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi listrik dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.

Pendeka tan kedua adalah de ngan pe ndeka tan harga. Adanya kebijakan pemberian subsidi listrik menyebabkan harga jual tenaga listrik lebih rendah dari yang seharusnya . Murahnya harga jual tenaga listrik menyebabka n biaya produksi lebih renda h da ri yang seharus nya, sehingga harga-harga umumnya mengalami penurunan. Penur unan harga- harga tersebut akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan masyarakat akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan.

Namun terdapat hal yang krusial terkait dengan pendekatan pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat peningkatan subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan? Subsidi merupakan bagian dari transfer payment sebagaimana pengurangan pajak atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat atau pengurangan produksi karena adanya subsidi input. Sehingga transfer payment langsung ke masyarakat tersebut cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi.

Hal lain yang muncul akibat kebijakan pemberian subsidi listrik adalah masalah biaya kesempatan (opportunity cost). Peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi listrik akan mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran subsidi listrik memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama


(47)

dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar?

2.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraa n Masyarakat

Dengan pendekatan kurva penawaran dan permintaan tenaga listrik, da lam melihat dampak pemberian subsidi terhadap kesejahteraan masyarakat (welfare effect) dapat dianalisis menggunakan ilustrasi model consumer surplus (CS) dan produser surplus (PS).

Consumer surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara harga sebuah barang dimana ko nsumen bersedia memba yar dari harga sebe narnya yang diba yar oleh konsumen tersebut. Sedangkan produser surplus merupakan perbedaan antara harga jual barang yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan dengan harga jual (minimal) yang bersedia diterima oleh perusahaan tersebut.

Misalnya, pemerintah memberikan subsidi s rupiah untuk setiap kW h yang dikonsumsi. Hal ini menunjukka n ba hwa harga yang dibayar konsumen di bawah harga bersih yang diterima penyedia energi listrik s rupiah. Secara sederhana Gambar 3 memperlihatkan hubungan ini. P* dan Q* ada lah harga da n kuantitas pasar sebelum diberikan subsidi. PS adalah harga bersih yang diterima penjual,

dan PD adalah harga yang dibayar konsumen setelah diberikan subsidi. PS – PD

Adanya kebijakan pemberian subsidi terhadap output suatu barang menyebabkan kurva pe nawaran bergeser ke kanan dari S

= s ada lah subs idi yang harus diba yar pe merintah.

1 ke S2 dan harga yang

dibayar ko nsumen (PD) lebih rendah dari harga yang semestinya (P*). Akibatnya

ada peningkatan konsumsi barang yang disubsidi tersebut dari Q* ke Q1. Pada


(48)

subsidi tidak hanya dinikmati konsumen tetapi juga produsen. Karena pembeli membayar dengan harga lebih rendah, maka terjadi penambahan consumer surplus (ΔCS) yaitu bertambah seluas bidang b+d+e. Demikian pula untuk produsen, terjadi kenaikan produser surplus (ΔPS) sebesar area a+c. Besarnya subs idi yang harus diba yar pe merintah ada lah sQ1, yaitu sebesar bidang

a+b+c+d+e+f. Perubahan total kesejahteraan akibat kebijakan pemberian subsidi

adalah ΔCS ditambah ΔPS dikurangi besarnya subsidi, menjadi b+d+e+a+c-(a+b+c+d+e+f)=-f. Segitiga f menunjukka n ada nya inefisiensi (dead weight loss) dalam perekonomian akibat kebijakan pemberian subsidi.

Sumbe r: Pindyck dan Rubinfeld, 2003 (dimodifikasi)

Gambar 3. Dampak Pe mberian Subsidi terhadap Kesejahteraan

Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa subsidi pemerintah diperuntukkan untuk mengatasi kegagalan pasar tenaga listrik dan hanya diberikan kepada perusahaan yang skala ekonominya besar dalam rangka optimalisasi. Akibatnya perusahaan-perusahaan yang lain tidak mampu bersaing da n tutup. Sehingga perusahaan yang mendapat subs idi menjadi perusahaan monopo li alami.

PS

P*

Output Harga

S1

c

Q1

Q* O

D

a

b d e f PD

subsidi


(49)

2.7. Monopoli Alami

Suatu pe rusahaan dikataka n monopo li alami adalah apabila perusahaan tersebut dapat memproduksi seluruh keluaran pasar dengan biaya yang lebih rendah daripada yang seharusnya dikeluarkan seandainya terdapat beberapa perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Monopoli alami timbul apabila ada skala ekonomi yang kuat seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa karena biaya rata-ratanya turun, maka biaya marjinalnya akan selalu di bawah biaya rata-rata. Seandainya tidak diatur, perusahaan monopo li tersebut akan memproduksi sebanyak Qm dan menjualnya pada harga Pm. Pemerintah akan lebih suka menekan harga perusahaan itu ke bawah hingga mencapai tingkat bersaing Pc, namun pada tingkat itu, harga tidak akan mencakup biaya rata-rata dan perusahaan bisa tutup. Seba gai alternatif adalah menetapka n harga pada Pr, dimana biaya rata-rata dan penerimaan rata-rata saling berpotongan. Dalam hal ini, perusahaan tidak memperoleh laba monopoli, dan output akan diproduksi sebesar mungkin tanpa mengakibatkan bisnis perusahaan mati. Namun seba gai ko nsekuensi pe merintah harus memberika n subs idi harga sebesar selisih Pr dengan Pc dikalikan kWh yang konsumsi pelanggan sebesar Qc 2.8. Penelitian yang Pernah Dilakukan

.

2.8.1. Tarif Listrik

Makmun dan Abdurrahman (2003) menganalisis dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap pendapatan dan konsumsi listrik masyarakat menggunakan Model SNSE 2000.Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan TDL mempunyai dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat, mengurangi permintaan terhadap industri maka nan, da n mengurangi pendapatan institusi.Mereka


(50)

menyarankan agar setiap mengambil kebijakan menaikan TDL pemerintah harus mempertimbangkan dampaknya yang terkecil sekalipun baik terhadap pereko nomian maupun masyarakat pe langgan PLN.

Sumber: Stiglitz, 2000 (Modifikasi)

Gambar 4. Pengaturan Harga Monopoli Alami

Dalam penelitian tentang dampak kenaikan TDL terhadap inflasi dan daya saing prod uk nasional menggunakan model Vector Autoregressive (VAR), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, FE–UI (2010) menyimpulkan bahwa kenaikan TDL akan mempengaruhi inflasi.Kenaika n 10 persen TDL akan memicu inflasi sebesar 1.5–2 persen. Penelitian itu juga menemukan bahwa kenaikan TDL secara bertahap mempuny ai dampak lebih rendah dari pada kenaikan TDL sekaligus.Kesimpulan penting lainnya adalah secara umum kenaikan TDL tidak mempengaruhi daya saing produk nasional.Dari hasil yang diperoleh, penelitian tersebut menyarankan regionalisasi tarif sesuai dengan kemampuan bayar konsumen dan pelayanan PLN.

Pm

Pc Pr

Rp/kWh

kWh

AR

Qm Qr Qc

MR MC

AC Subsidi


(1)

Lampiran 15. Data untuk Model Subsidi Harga Listrik, Tahun 1990-2010

TAHUN CLISRT CLISIND CLISOTH CLISDR SUSUT PELRT PELIND PELOTH HJTLRT HJTLIND HJTLOTH

1990 9 003.56 14 165.67 4 571.72 1 672.50 5 453.11 10 742.5 36.1 685.1 123.34 91.17 161.32 1991 10 325.75 16 026.03 5 129.47 1 788.10 5 468.25 11 617.0 36.1 743.6 125.81 112.51 187.24 1992 11 667.54 17 754.61 5 539.84 1 780.95 5 191.54 12 635.1 36.5 814.9 128.85 122.83 200.39 1993 13 140.74 19 560.98 6 260.30 1 901.22 5 857.01 14 191.4 38.8 927.2 144.71 135.29 219.46 1994 14 632.11 21 621.80 6 806.92 1 990.87 6 374.52 15 915.1 41.7 979.9 146.57 137.75 223.34 1995 17 056.94 24 722.61 7 969.21 2 260.91 7 324.70 18 325.0 45.0 1 101.6 156.83 144.79 232.77 1996 19 550.83 27 948.89 9 432.29 2 588.33 7 707.89 20 696.3 47.8 1 236.2 158.91 146.16 236.05 1997 22 698.27 30 768.81 10 844.44 3 230.30 8 888.59 23 162.5 50.7 1 427.3 161.65 149.70 239.93 1998 24 865.45 27 995.54 12 400.42 3 218.68 9 217.78 24 902.8 43.1 1 487.6 184.40 201.01 286.56 1999 26 874.78 31 337.57 13 119.72 3 224.35 9 978.96 25 825.1 42.5 1 657.0 193.80 208.56 299.27 2000 30 563.42 34 013.22 14 588.17 3 416.13 10 482.87 26 796.7 44.3 1 754.4 174.62 302.52 377.93 2001 33 339.78 35 593.25 15 587.35 3 709.87 13 261.36 27 885.6 46.0 1 986.1 253.65 361.67 445.64 2002 33 993.56 36 831.30 16 263.89 3 767.51 17 228.35 28 903.3 46.8 2 003.8 392.79 442.94 575.02 2003 35 753.05 36 497.25 18 190.65 4 039.82 18 401.64 29 997.3 46.8 2 107.0 522.48 530.32 647.27 2004 38 588.28 40 324.26 21 184.92 5 824.43 13 131.94 31 096.0 46.5 2 224.0 557.76 559.15 668.47 2005 41 184.29 42 448.36 23 398.78 5 302.43 14 237.20 32 174.9 46.5 2 338.0 563.05 569.87 678.14 2006 43 753.17 43 615.45 25 241.21 4 273.73 14 735.89 33 118.3 46.4 2 586.6 571.12 624.23 733.75 2007 47 324.91 45 802.51 28 119.39 5 229.70 15 239.20 34 684.5 46.8 2 602.4 571.76 621.32 738.42 2008 50 184.17 47 968.85 30 865.79 5 380.35 15 095.53 36 025.1 47.5 2 771.5 588.01 622.04 806.80 2009 54 945.41 46 204.21 33 432.57 5 536.04 15 047.59 37 099.8 47.9 2 970.0 589.33 644.34 838.11 2010 59 824.94 50 985.20 36 487.33 5 641.05 15 953.82 39 324.5 48.7 3 062.2 615.92 660.99 888.67


(2)

Lampiran 15. Lanjutan

TAHUN TLSDR TLSEWA TLBELI QBBM QBTB QGAS PBBM PBTB PGAS CBELITL CBBP

1990 34 011.55 - 867.01 4 554 616.0 4 572 306.0 13 301 240.23 68.24 5 574.66 21.3 1 530.7 1991 37 893.61 - 837.42 5 161 272.0 4 959 108.0 15 533 257.26 66.33 6 952.31 22.7 1 828.6 1992 40 878.83 - 1 057.62 5 827 630.0 5 143 300.0 12 788 292.91 65.24 6 392.61 19.7 2 132.0 1993 45 468.58 - 1 250.17 6 341 757.0 4 732 669.0 58 271 322.91 68.66 4 951.88 19.7 2 783.0 1994 50 066.44 - 1 411.94 3 793 540.0 5 530 066.0 160 705 323.46 70.34 5 578.41 46.9 1 193.3 1995 58 210.81 - 1 193.42 2 983 427.0 5 593 402.0 220 032 345.75 72.91 6 288.19 30.7 2 970.0 1996 65 730.25 - 1 656.29 3 347 295.0 7 966 656.0 433 003 352.05 69.41 6 878.80 77.1 3 361.1 1997 74 053.66 745.98 1 819.92 4 606 076.0 9 961 959.0 228 268 343.17 60.02 6 874.79 325.2 4 338.8 1998 74 421.00 543.61 2 938.76 4 135 997.0 10 634 490.0 222 055 399.98 74.88 26 414.80 1 886.0 9 409.0 1999 80 023.75 472.96 4 279.08 4 703 164.0 11 414 098.0 236 612 500.12 140.73 21 065.44 5 082.7 9 691.8 2000 83 503.51 686.63 9 135.14 5 023 631.0 13 135 584.0 228 838 514.96 153.79 21 787.67 9 395.4 10 375.8 2001 87 587.44 767.27 13 299.21 5 399 220.0 14 027 713.0 222 421 803.73 199.60 26 073.78 8 717.1 14 007.3 2002 88 068.64 1 224.60 19 066.61 6 966 806.0 14 054 377.0 192 927 1 313.98 219.75 23 496.92 11 168.8 17 957.3 2003 90 045.75 2 435.17 20 538.76 7 613 481.0 15 260 305.0 184 304 1 691.80 230.82 21 550.40 10 834.0 21 477.9 2004 93 112.71 3 078.46 24 053.14 8 839 239.0 15 412 738.0 176 436 1 791.34 230.75 21 258.05 11 970.8 24 491.1 2005 98 176.84 3 105.25 26 087.70 9 912 558.0 16 900 972.0 143 050 2 726.86 251.55 25 323.76 13 598.2 37 355.5 2006 101 664.28 2 804.34 28 639.75 9 998 515.0 19 084 438.0 157 894 5 128.34 335.81 24 185.59 14 845.4 63 401.1 2007 107 984.12 3 257.27 31 199.40 10 688 975.0 21 466 348.0 171 209 4 881.43 338.76 23 480.99 16 946.7 65 560.0 2008 113 339.90 4 706.94 31 389.66 11 320 489.0 20 999 521.0 181 661 7 906.22 489.23 29 128.16 20 742.9 107 782.8 2009 115 433.82 5 194.53 36 168.92 9 408 905.0 21 604 454.0 266 539 5 186.77 732.32 37 998.48 25 447.8 76 235.1 2010 123 476.84 8 233.21 38 076.16 9 324 933.6 23 958 699.2 283 274 5 815.65 656.71 42 287.16 25 217.8 84 190.7


(3)

Lampiran 15. Lanjutan

TAHUN CPLHR CPGW CSUSUT CLAIN BOP KURS IHK PDB GROWTH POP MISKOTA

1990 233.0 278.6 559.0 112.0 2 734.6 1 901.0 28.40 195.60 7.24 178 232.0 9 400.0 1991 339.5 307.7 629.7 161.9 3 290.1 1 992.0 31.11 227.45 6.95 181 320.4 9 166.7 1992 498.4 427.4 712.4 202.6 3 992.5 2 062.0 32.64 259.88 6.46 184 322.3 9 091.1 1993 561.7 504.4 909.0 265.1 5 043.0 2 110.0 35.83 329.78 6.82 187 231.8 8 700.0 1994 352.1 281.8 519.2 159.6 2 552.9 2 200.0 39.14 382.22 7.54 190 043.0 8 940.0 1995 808.9 758.3 1 566.5 356.4 6 490.7 2 308.0 42.52 454.51 8.22 192 750.0 9 180.0 1996 911.3 886.2 1 887.0 413.7 7 536.4 2 383.0 45.28 532.57 7.82 195 457.1 9 420.0 1997 965.4 1 068.1 2 250.7 501.6 9 449.8 4 650.0 50.47 627.70 4.70 198 163.3 13 510.0 1998 924.8 1 018.9 3 074.1 496.0 16 808.8 8 025.0 89.65 955.75 -13.13 200 867.4 17 600.0 1999 1 497.8 1 335.6 3 224.3 670.4 21 502.7 7 100.0 91.45 1 099.73 0.79 203 568.3 15 640.0 2000 1 610.3 1 802.4 3 229.6 802.4 27 215.8 9 595.0 100.00 1 389.77 4.92 206 265.0 12 300.0 2001 2 630.4 2 066.3 3 404.1 1 094.1 31 919.4 10 400.0 112.55 1 646.32 3.64 209 014.1 8 600.0 2002 3 588.8 2 583.3 15 626.8 1 420.6 52 345.6 8 940.0 123.84 1 821.83 4.50 211 816.8 13 300.0 2003 4 827.6 3 827.7 12 745.0 2 165.0 55 877.2 9 465.0 130.11 2 013.67 4.78 214 674.2 12 200.0 2004 5 202.1 5 619.4 9 547.6 2 879.8 59 710.8 9 290.0 138.43 2 295.83 5.03 217 587.5 11 400.0 2005 6 511.0 5 508.1 9 722.3 3 328.6 76 023.6 9 830.0 162.12 2 774.28 5.69 220 558.0 12 400.0 2006 6 629.1 6 719.7 10 151.0 3 481.9 105 228.2 9 020.0 172.82 3 339.22 5.50 223 041.6 14 490.0 2007 7 269.1 7 064.3 10 716.2 3 949.6 111 506.0 9 419.0 184.21 3 950.89 6.35 225 630.1 13 560.0 2008 7 619.9 8 344.2 11 372.8 4 735.1 160 597.8 10 950.0 204.58 4 951.36 6.01 228 575.0 12 770.0 2009 7 964.5 9 758.3 11 834.7 4 035.5 135 276.0 10 356.0 210.27 5 613.44 4.55 231 370.0 11 910.0 2010 9 900.6 12 954.4 12 558.5 4 286.0 149 108.1 9 085.0 224.90 6 422.90 6.10 234 181.0 11 100.0


(4)

Lampiran 15. Lanjutan

TAHUN MISDESA CONRT ICP PDBTB PDGAS SKBG CADEV UANGBR M EKSPOR IMPOR

1990 17 800.0 106.39 22.31 42.75 1.84 5.07 8 661 84.6 0 55 852.0 54 827.0 1991 17 600.0 125.08 19.47 42.23 1.85 6.75 9 868 99.1 0 68 452.0 67 453.0 1992 17 242.2 135.94 18.78 41.22 1.84 5.67 11 611 119.1 0 83 050.0 76 438.0 1993 17 200.0 192.96 17.25 38.52 2.11 4.21 11 981 145.2 0 88 231.0 78 383.0 1994 19 663.3 228.12 15.87 36.40 1.87 3.63 13 158 174.5 0 101 332.0 96 952.6 1995 22 126.7 279.88 17.11 42.71 1.65 4.84 14 674 222.6 0 119 592.0 125 657.0 1996 24 590.0 332.09 20.16 42.71 2.04 5.00 19 125 288.6 0 137 533.0 140 812.0 1997 28 245.0 387.17 19.04 39.90 2.14 5.79 21 418 355.6 0 174 871.0 176 600.0 1998 31 900.0 647.82 12.47 35.82 1.92 11.31 23 762 577.4 0 506 245.0 413 058.0 1999 32 330.0 813.18 17.52 31.00 1.93 7.45 27 054 646.2 0 390 560.0 301 654.0 2000 26 400.0 848.77 28.39 29.60 3.48 5.56 29 394 747.0 0 569 490.0 423 318.0 2001 29 300.0 1 030.89 21.94 32.07 3.76 5.37 28 016 844.1 0 642 595.0 506 426.0 2002 25 100.0 1 200.98 22.46 29.98 2.99 3.26 32 037 883.9 0 595 514.0 480 815.0 2003 25 100.0 1 256.43 26.34 28.63 4.53 2.17 36 296 955.7 0 613 721.0 465 941.0 2004 24 700.0 1 476.50 36.39 43.00 5.03 1.74 36 320 1 033.9 0 739 639.0 632 376.0 2005 22 700.0 1 755.75 53.66 36.48 7.25 2.63 34 724 1 202.8 0 945 122.0 830 083.0 2006 24 810.0 2 049.63 64.27 42.35 7.29 4.01 42 724 1 382.5 0 1 036 320.0 855 588.0 2007 23 610.0 2 490.12 72.31 40.99 7.02 4.17 56 920 1 649.7 0 1 161 960.0 1 002 510.0 2008 22 190.0 3 074.76 96.13 54.76 10.06 4.17 51 639 1 895.8 0 1 475 119.1 1 422 902.1 2009 20 620.0 3 296.21 61.58 58.91 5.16 6.50 66 105 2 141.4 5 1 354 409.4 1 197 092.7 2010 19 923.0 3 642.00 79.40 75.71 6.63 6.50 96 207 2 471.2 8 1 580 817.8 1 475 834.1


(5)

Lampiran 15. Lanjutan

TAHUN INV STK DTK RUPH PENNPJK PENPJK BLJLAIN PDBI CONLAIN GOVEXP

1990 76 196.0 77 802.3 75 850.6 480.05 15 420.1 16 084.1 19 357.9 56 926.8 111 553.4 18 953.0 1991 88 671.0 78 455.5 76 423.2 627.08 20 182.1 22 010.9 23 602.5 68 993.7 133 406.4 22 830.0 1992 101 194.0 80 704.0 78 518.4 686.64 17 662.7 24 919.3 27 680.9 78 582.8 142 914.6 26 879.0 1993 97 213.0 81 446.1 79 200.5 669.60 18 771.1 30 091.5 30 635.9 90 061.5 187 036.2 29 757.0 1994 118 707.5 85 775.6 82 038.1 748.03 19 448.0 36 665.1 35 104.3 108 100.9 221 475.7 31 014.0 1995 145 118.4 86 361.3 80 110.1 774.27 21 975.9 44 442.1 37 203.2 129 755.4 271 766.3 35 584.2 1996 163 453.4 90 109.6 85 701.8 797.22 22 653.8 48 686.3 42 181.2 153 771.3 322 675.6 40 299.2 1997 199 301.1 93 864.9 87 049.8 835.79 28 938.2 57 339.9 44 379.5 178 181.8 376 293.7 42 952.0 1998 160 326.9 92 734.9 87 672.4 534.09 30 834.5 70 934.2 51 373.3 253 737.7 634 057.8 54 415.9 1999 125 010.6 94 847.2 88 816.9 542.12 54 014.0 102 394.5 66 799.2 298 708.5 797 512.5 72 631.3 2000 309 163.8 95 651.0 89 837.7 522.41 89 422.0 115 912.5 84 703.8 385 598.0 835 658.1 90 779.7 2001 371 068.6 98 812.4 90 807.4 472.39 115 058.6 185 540.9 109 772.6 454 961.7 1 011 374.0 113 416.0 2002 389 946.5 100 779.3 91 647.2 557.48 90 181.8 214 713.4 118 891.9 507 555.5 1 192 941.5 132 219.0 2003 515 471.0 105 820.0 95 770.0 569.11 82 015.3 254 140.2 157 633.4 564 015.2 1 322 270.4 163 701.0 2004 552 292.1 103 973.4 93 722.0 589.23 72 218.9 271 022.9 189 577.2 651 325.0 1 474 658.0 191 056.0 2005 695 828.6 105 857.7 93 958.4 540.83 146 888.3 347 031.1 212 203.6 778 760.4 1 722 353.8 224 981.0 2006 847 852.2 106 388.9 95 456.9 606.32 226 950.1 409 203.0 253 587.0 929 862.2 2 021 924.9 288 080.0 2007 984 000.7 109 941.4 99 930.2 633.83 215 119.7 490 988.6 294 534.4 1 070 413.9 2 435 029.6 329 760.0 2008 1 376 539.3 111 947.3 102 552.8 625.39 320 604.6 658 700.8 340 518.7 1 379 969.1 2 915 707.2 416 866.7 2009 1 737 117.0 113 833.3 104 870.7 676.23 227 174.4 619 922.2 485 721.1 1 426 615.1 3 200 671.2 537 588.8 2010 2 086 628.8 116 527.5 108 207.8 679.49 247 176.4 743 325.9 523 858.1 1 594 300.0 3 539 023.0 581 921.3


(6)

Lampiran 15. Lanjutan

TAHUN SUBRT1 SUBIND1 SUBOTH1 SUBPRT2 SUBPIND2 SUBPOTH2 D9799 D98 D04 D05 D08 D09

1990 -223.0 104.9 -286.9 -24.8 7.4 -62.7 0 0 0 0 0 0

1991 -220.0 -128.2 -424.4 -21.3 -8.0 -82.7 0 0 0 0 0 0

1992 -171.0 -153.3 -477.5 -14.7 -8.6 -86.2 0 0 0 0 0 0

1993 -200.7 -114.5 -563.6 -15.3 -5.9 -90.0 0 0 0 0 0 0

1994 -1 277.1 -1 696.5 -1 116.7 -87.3 -78.5 -164.1 0 0 0 0 0 0

1995 -449.6 -354.1 -815.3 -26.4 -14.3 -102.3 0 0 0 0 0 0

1996 -518.9 -385.3 -977.9 -26.5 -13.8 -103.7 0 0 0 0 0 0

1997 -334.0 -85.0 -1 008.5 -14.7 -2.8 -93.0 1 0 0 0 0 0

1998 1 819.1 1 583.1 -359.7 73.2 56.5 -29.0 1 1 0 0 0 0

1999 2 892.9 2 910.7 28.5 107.6 92.9 2.2 1 0 0 0 0 0

2000 5 170.3 1 403.8 -498.1 169.2 41.3 -34.1 0 0 0 0 0 0

2001 4 134.2 568.9 -1 059.7 124.0 16.0 -68.0 0 0 0 0 0 0

2002 7 079.7 5 823.9 423.5 208.3 158.1 26.0 0 0 0 0 0 0

2003 3 409.2 3 193.8 -535.4 95.4 87.5 -29.4 0 0 0 0 0 0

2004 1 495.8 1 507.1 -1 524.1 38.8 37.4 -71.9 0 0 1 0 0 0

2005 6 064.1 5 960.9 752.4 147.2 140.4 32.2 0 0 0 1 0 0

2006 15 896.7 13 530.4 5 066.0 363.3 310.2 200.7 0 0 0 0 0 0

2007 16 464.4 13 664.9 5 096.3 347.9 298.3 181.2 0 0 0 0 0 0

2008 32 958.6 29 871.5 13 517.9 656.8 622.7 438.0 0 0 0 0 1 0

2009 25 609.2 18 993.3 7 265.1 466.1 411.1 217.3 0 0 0 0 0 1

2010 28 557.9 22 039.9 7 465.3 477.4 432.3 204.6 0 0 0 0 0 0

Keterangan: 1 Dihitung dengan rumus yang digunakan PLN dalam menghitung nilai subsidi listrik, yaitu: SUB = - (HJTL – BPP*(1+m))* Vl istrik

2

Subsidi per kWh = Ju mlah subsidi per golongan pelanggan dibagi dengan jumlah konsumsi tenaga listriknya