121 rendahnya kinerja pembangunan manusia Kabupaten Majalengka
berkaitan dengan masih rendahnya ”daya beli” penduduk.
4. Indikator Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan aspek yang amat mendasar dalam kehidupan manusia, karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Setiap
upaya pembangunan, selalu diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha, sehingga penduduk dapat memperoleh manfaat langsung
dari pembangunan. Salah satu sasaran utama pembangunan dalam PJP II adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang
memadai untuk dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun.
Pertumbuhan penduduk secara langsung berpengaruh pada perkembangan ketenagakerjaan dan lapangan kerja. Tingkat pertambahan
penduduk yang relatif tinggi merupakan masalah yang umum dialami negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Dengan pertambahan
penduduk usia kerja akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan angkatan kerja tersebut seyogianya sebanding dengan
kesempatan kerja yang ada, namun masalah yang dihadapi adalah kesempatan kerja formal sangat terbatas. Kondisi kesempatan kerja yang
122 terbatas, maka sebagian besar penduduk berusaha untuk menciptakan
lapangan kerja untuk dirinya sendiri pada sektor informal.
a. Penduduk Usia kerja
Secara garis besar, kegiatan penduduk suatu wilayah dibedakan atas penduduk yang dikelompokkan partisipatif dalam memutar roda
perekonomian yaitu penduduk usia kerja dan penduduk yang termasuk dalam kelompok tidak partisipatif dalam perekonomian keluarga yang
disebut penduduk bukan usia kerja penduduk berumur kurang dari 10 tahun. Banyaknya penduduk usia kerja dalam jumlah besar bukan
merupakan jaminan akan meningkatkan tenaga kerja yang potensial, karena tidak semua penduduk usia kerja masuk dalam angkatan kerja,
bisa saja masuk dalam kelompok bukan angkatan kerja. Tabel 4.14 mengambarkan kondisi ketenagakerjaan di
Kabupaten Majalengka untuk tahun 2005. Jumlah penduduk yang termasuk usia kerja adalah sebanyak 939.535 jiwa. Dari penduduk usia
kerja ini yang termasuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 571.412 jiwa dan bukan angkatan kerja sebanyak 368.123 jiwa. Sebagian dari
angkatan kerja tersebut yang sudah bekerja yaitu 511.870 jiwa 89,58 dan 59.542 jiwa 10,42 masih mencari pekerjaan.
Kegiatan orang yang termasuk kelompok bukan angkatan kerja meliputi sekolah sebanyak 123.421 jiwa 33,53, mengurus rumah
tangga sebanyak 195.677 53,16, dan lainnya seperti orang jompo
123 dan orang yang tidak mampu melakukan kegiatan sebesar 49,025 jiwa
13,32. Kegiatan mengurus rumah tangga masih didominasi oleh penduduk perempuan. Hal ini kemungkinan karena masih adanya
anggapan yang cukup kuat bahwa yang harus bekerja untuk mencari nafkah adalah laki-laki, sedangkan bagi perempuan lebih baik
mengurus rumah tangga, anak-anak dan suami. Kalaupun ada yang bekerja hanya diakibatkan oleh dorongan kebutuhan ekonomi.
Tabel 4.14 Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 10 Tahun ke Atas
Menurut Kegiatan Utama Seminggu yang Lalu dan Jenis Kelamin Tahun 2005
Laki-laki Perempuan
Jumlah Kegiatan Usaha
Jumlah Jumlah
Jumlah Angkatan Kerja
366.082 100,00
205.330 100,00
571.412 100,00
Bekerja 345.854
94,47 166.016
80,85 511.870
89,58 Mencari
Pekerjaan 20.228
5,53 39.314
19,15 59.542
10,42
Bukan Angkatan Kerja
93.441 100,00
274.682 100,00
368.123 100,00
Sekolah 69.775
74,67 53.646
19,53 123.421
33,53 Mengurus RT
616 0,55
195.161 71,05
195.677 53,16
Lainnya 23.050
24,77 25.875
9,42 49.025
13,32
Jumlah 459.523
480.012 939.535
Sumber: Susenas, 2005
b. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tingginya persentase penduduk usia muda di Kabupaten Majalengka akan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
penyediaan angkatan kerja di masa mendatang. Salah satu usaha untuk menghambat angkatan kerja muda adalah melalui perluasan sarana
pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan dapat mengurangi Tingkat
124 Partisipasi Angkatan Kerja TPAK-Labour Force Participation Rate
LFTR. Di samping memperluas sarana pendidikan, peningkatan mutu pendidikan juga perlu ditingkatkan. Dengan demikian diharapkan
dapat tercipta tenaga kerja yang terampildan tepat guna. Semua ini perlu didasarkan pada data yang baik dan benar.
Tabel 4.15 TPAK, TPT, dan TKK Penduduk Kabupaten Majalengka
Menurut Jenis Kelamin Tahun 2001-2005 Tahun
Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005
Laki-laki TPAK
75,83 76,41 80,95 78,52 79,67 TPT
3,31 5,38
7,65 7,93
5,53 TKK
96,69 94,62 92,35 92,07 94,47 Perempuan
TPAK 39,26 47,52 50,56 35,72 42,78
TPT 4,83 18,31 16,08 17,88 19,15
TKK 95,14 81,69 83,92 82,12 80,85
Laki-laki + Perempuan TPAK
57,14 61,67 65,86 56,69 60,82 TPT
3,85 10,46 10,88 11,13 10,42 TKK
96,15 89,54 89,12 88,87 89,58 Sumber: Susenas 2001-2005
Catatan: TPAK = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka
TKK = Tingkat Kesempatan Kerja
TPAK di Kabupaten Majalengka mengalami peningkatan dari
56,69 pada tahun 2004 menjadi 60,82 pada tahun 2005. Dimana TPAK laki-laki sebesar 79,67 dan 42,78 untuk perempuan. Masih
125 tampak bahwa peran serta perempuan di Kabupaten Majalengka sangat
kurang dalam angkatan kerja dibandingkan dengan peran serta laki- laki. Akibatnya terjadi ketimpangan dalam pasar kerja, dimana
perempuan cenderung kurang memiliki akses untuk memasuki dunia kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar
perempuan usia produktif berperan sebagai ibu rumah tangga. Tingkat Pengangguran Terbuka TPT menunjukkan proporsi
pendudu yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap seluruh angkatan kerja. Tinggi rendahnya angka ini memiliki kepekaan
terhadap dinamika pasar kerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat. TPT Kabupaten Majalengka pada tahun 2005 mengalami penurunan,
yaitu 11,13 pada tahun 2004 menjadi 10,42 di tahun 2005. TPT penduduk laki-laki sebesar 5,3 dan TPT penduduk perempuan
sebesar 19,15.
c. Penduduk Yang Bekerja
Fenomena yang sering menjadi ukuran untuk melihat keberhasilan pelaksanaan pembangunan adalah sejauh mana dunia
kerja itu dapat menyerap sebesar-besarnya tenaga kerja pada penduduk di wilayah tersebut. Di lain pihak, dewasa ini isu sentral yang menjadi
pembahsan dalam berbagi kesempatan adalah produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kegiatan ekonomi di
126 berbagai sektor lapangan usaha akan berdampak langsung terhadap
penciptaan lapangan kerja. Dilihat dari lapangan kerja, ternyata sektor pertanian masih
tetap merupakan sektor yang menampung paling banyak tenaga kerja pada tahun 2005 yaitu sebanyak 29,95, kemudian diikuti oleh sektor
perdagangan sebanyak 26,15, sektor industri pengolahan sebanyak 18,36 dan sektor jasa-jasalainnya sebanyak 8,28. Selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4.16 di bawah ini.
Tabel 4.16 Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 10 Tahun ke
Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2005
Tahun No
Lapangan Usaha 2001
2002 2003
2004 2005
1 Pertanian
52,12 39,37
50,13 36,82
29,95 2
Pertambangan dan Penggalian
0,46 0,69
1,35 1,45
2,29 3
Industri Pengolahan 11,60
18,89 15,19
19,06 18,36
4 Listrik, Gas dan Air
Minum 0,06
0,07 0,08
0,09 0,39
5 BangunanKontruksi
3,19 3,30
2,25 4,89
7,93 6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
21,18 22,53
19,41 23,83
26,15 7
Angkutan dan Komunikasi
4,39 5,09
4,94 5,50
5,97 8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
2,03 3,66
0,47 0,47
0,68 9
Jasa-jasaLainnya 4,97
6,40 5,88
7,89 8,28
Jumlah 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
Sumber: Susenas 2001-2005
127 Indikator lain yang dapat digunakan untuk memberikan
gambaran tentang kedudukan pekerja adalah status pekerjaan. Seperti yang ditampilkan pada tabel 4.17 dibawah ini. Status pekerjaan
buruhkaryawan merupakan status pekerjaan yang paling banyak yaitu sebesar 36,10. Cukup besarnya penduduk yang berstatus sebagai
buruhkaryawan, mengindikasikan juga bahwa di Kabupaten Majalengka investasi modal yang diarahkan kepada sektor-sektor yang
bersifat padat karya yang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Penduduk yang berstatus berusaha sendiri menempati urutan kedua
terbanyak yaitu 25,79. Berusaha dengan buruh tidak tetap biasanya terjadi pada sektor pertanian, di mana petani dalam mengerjakan
lahannya menggunakan pekerja bebas yang melakukan kegiatan hanya terbatas pada saat-saat tertentu saja atau dibantu oleh pekerja tidak
dibayar anak atau anggota keluarga yang lain.
Tabel 4.17 Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 10 Tahun ke
Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin pada Tahun 2005
Status Pekerjaan Utama Laki-laki
Perempuan Jumlah
Berusaha sendiri 27,87
21,45 25,79
Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap
28,90 11,32
23,20 Berusaha dengan dibantu
buruh tetap 1,46
1,21 1,38
Buruhkaryawan 38,19
31,75 36,10
Pekerja tidak dibayar 3,58
34,27 13,53
Jumlah 100,00
100,00 100,00
Sumber: Susenas, 2005
128 Masih tingginya penduduk yang bekerja sebagai pekerja tidak
dibayarpekerja keluarga memberi indikasi masih kurang optimalnya pemanfaatan tenaga kerja di Kabupaten Majalengka. Mereka yang
masuk kelompok ini, pada umumnya perempuan, mereka hanya sekedar membantu usaha yang dilakukan oleh keluarga dengan tingkat
produktivitas yang rendah dan tidak mendapatkan upahgaji atau sekalipun ada balas jasa yang diterima sangat jauh dari memadai.
Indikator ini juga merefleksikan masih lemahnya perekonomian daerah dalam penyerapan tenaga kerja yang produktif.
Faktor lain yang juga akan mempengaruhi tingkat produktivitas kerja seseorang adalah jumlah jam kerja setiap harinya. Jumlah jam
kerja itu sendiri akan ditentukan oleh lapangan kernya. Pada sektor formal biasanya jumlah jam kerja sudah ditentukan oleh suatu
peraturan. Penduduk yang bekerja di sektor informal, misalnya di sektor pertanian, jumlah jam kerjanya akan sangat ditentukan sekali
oleh musim. Pada waktu musim menggarap tanah, para petani terpaksa harus bekerja lebih giat dan sudah barang tentu jam kerjanya akan
lebih banyak. Tetapi pada saat bibit sudah ditanam dan tinggal menunggu panen, maka jam kerja akan lebih sedikit.
Tabel 4.18 Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 10 Tahun ke
Atas yang Bekerja Menurut Jam Kerja dan Jenis Kelamin Tahun 2005
Jumlah Jam Kerja Laki-laki
Perempuan Jumlah
4,61 4,76
4,66 01 – 09
1,42 3,87
2,22
129 10 – 24
8,89 22,35
13,26 25 – 34
12,52 15,22
13,40 35 – 44
18,65 21,15
19,58 45 – 59
41,41 15,10
32,88 ≥ 60
12,50 17,19
14,02
Jumlah 100,00
100,00 100,00
Sumber: Susenas, 2005 Sementara tidak bekerja
Tabel 4.18 di atas memperlihatkan perbedaan jumlah jam kerja seminggu antara laki-laki dan perempuan. Jumlah jam kerja seminggu
ini pun dapat digunakan untuk mengukur mereka yang termasuk pada
kelompok setengah menganggur. Seseorang dikatakan setengah menganggur
apabila jumlah jam kerja dalam seminggu kurang dari 35 jam.
Mengacu pada konsep ini, ternyata sekitar 27,44 dari pekerja laki-laki di Kabupaten Majalengka pada tahun 2005 tergolong
ke dalam setengah pengangguran, sementara untuk perempuan yaitu sebesar 46,20. Dengan tingginya angka setengah pengangguran
tersebut berarti pekerja di Kabupaten Majalengka secara umum masih rendah tingkat produktivitasnya. Hal ini berarti pula rendahnya
pendapatan yang diperoleh, yang mencerminkan betapa masih tingginya penduduk yang secara ekonomis dikatakan miskin.
B. Analisis Data Peneliltian
1. Analisis Deskriptif