3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara
Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi Konsumen.
Hubungan Hukum Antara Apotek dengan Pendiri Apotek Apoteker Dan Pemilik Sarana Apotek Pengusaha
Perjanjian kerjasama
Sumber: Hasil analisis bahan hukum primer Hubungan tersebut diatas terjadi karena seorang pengusaha tidak akan dapat
mendirikan suatu usaha apotek tanpa adanya seorang apoteker. Hal ini dikarenakan setiap pengusaha yang ingin mendirikan usaha apotek, wajib melampirkan surat izin
kerja seorang apoteker, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pengusaha serta melampirkan surat rekomendasi dari ikatan apoteker indonesia.
31
Berdasarkan hal tersebut apoteker dan pemilik sarana apotek pengusaha mempunyai kedudukan
yang seimbang bila dilihat dari segi hukum perikatan.
31
Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan. tanggal 12 Mei 2010.
Apoteker Pengusaha
Apotek
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 4 ayat 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 Tahun 1981, berbunyi permohonan izin apotek yang sarana apotek dimiliki pihak lain
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Tahun 1981 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 1981 harus juga melampirkan akta perjanjian kerja sama
antara apoteker dengan pemilik sarana apotek. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permohonan
pendirian izin apotek apabila sarana apotek dimiliki pemilik modal, maka harus melampirkan akta perjanjian kerja sama. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut bentuk
perjanjian kerja sama antara apoteker dengan pemilik modal adalah secara tertulis. Dengan adanya kedudukan yang seimbang tersebut maka suatu usaha apotek dapat
didirikan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
Dalam perjanjian kerjasama keduanya saling memasukkan modal, yaitu modal sarana apotek yang terdiri dari bangunan apotek, perlengkapan apotek, perbekalan
kesehatan di bidang farmasi, dan modal berupa tenaga dan jasa yang dimasukkan oleh seorang apoteker, sehingga pengelolaan apotek menjadi tanggung jawab seorang
apoteker. Hubungan hukum antara apotek dengan para pihak tersebut di atas adalah
hubungan hukum yang terjadi dengan perjanjian. Penyelenggaraan apotek oleh swasta dimungkinkan pu1a dilakukan sendiri oleh apoteker. Dalam hal ini bila
apoteker memiliki sarana untuk suatu pendirian apotek, maka apoteker dapat
Universitas Sumatera Utara
langsung mendirikan apotek. Kedudukan apoteker di sini selain sebagai tenaga profesional pengelola apotek juga sebagai seorang pengusaha.
Perjanjian yang ditemukan dalam praktek pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338
ayat 1 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak
ini berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan. Ini dapat diartikan boleh mengenyampingkan ketentuan- ketentuan dalam buku III KUH Perdata, sehingga buku III KUH Perdata tersebut
merupakan hukum pelengkap. Sedangkan pengertian sah adalah telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:
a. Kata sepakat persetujuan para pihak yang saling mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Mengenai suatu hal objek tertentu;
d. Karena suatu kausa yang sah;
32
Dipenuhinya keempat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang telah disebutkan, belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih
ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah
32
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, h. 136.
Universitas Sumatera Utara
kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga
masih ada kemungkinan batal.
33
Dua syarat yang pertama yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir yaitu mengenai suatu hal tertentu dan suatu kausa yang sah dinamakan syarat-syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dan pembuatan hukum yang dilakukannya itu.
34
Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjian belum batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi
perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat selama tidak dibatalkannya oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.
35
Dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian guna
33
R. Soetojo Prawirohami dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Bma Ilmu, Surabaya, 1984, h. 82
34
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke XII, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987, h. 17
35
R. Subekti, Op. Cit, h. 20
Universitas Sumatera Utara
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
Yang dimaksud dengan sepakat atau persesuaian kehendak ialah kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki dari pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua pihak menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik. Dengan diperlakukannya kata sepakat antara kedua pihak berarti bahwa kedua
pihak haruslah mempunyai kebebasan dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain yang mengakibatkan terjadinya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian
sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara kedua pihak. Sepakat para pihak yang mengikat diri merupakan asas esensial dalam hukum
perjanjian.
36
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap untuk berbuat menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Syarat ketiga bagi sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah
mengenai suatu hal objek tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas. Syarat keempat adanya perjanjian adalah karena adanya suatu sebab yang sah.
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab. Yang dimaksud dengan sebab bukanlah hubungan sebab yang mendorong para pihak untuk
36
Mariam Darus Badruzaman, KUH Perdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan
, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, h. 1038
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perjanjian, karena yang menjadi motif dari seorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum, akan tetapi isi maksud dari perjanjian.
Melalui syarat sebab dalam praktek maka ini merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah
tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika syarat-syarat dalam pasal
1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka: a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa izin dan pihak lain, kecuali ditegaskan dalam perjanjian;
c. Perjanjian yang telah disepakati harus dilaksanakan dengan baik; d. Perjanjian mengikat para ahli waris para pihak, kecuali bila dinyatakan dalam
perjanjian; e. Para pihak tidak saja terikat oleh apa yang tercantum secara tegas dalam isi
perjanjian tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Keempat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat
sahnya perjanjian, ini merupakan salah satu unsur yang mutlak harus ada agar terjadi suatu perjanjian. Unsur ini dinamakan essentialia.
37
Unsur lain yang melekat pada perjanjian yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada
37
Kartini Mulyadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Universitas Sumatera Utara
dalam perjanjian karena sudah merupakan pernbawaan atau melekat pada perjanjian, misalnya pada perjanjian jual-beli obat, apoteker harus menjamin konsumen terhadap
cacat-cacat yang tersembunyi. Unsur ini disebut naturalia.
38
Yang ketiga adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian, unsur ini dinamakan accidentalia, misalnya mengenai tempat tinggal yang
dipilih. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan bahwa tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Selain tenaga kefarmasian seperti tersebut di atas yang bekerja mengelola
apotek juga dibantu tenaga-tenaga administrasi. Suatu apotek tidaklah mungkin ditangani sendiri oleh seorang tenaga
apoteker. Apabila apoteker pengelola berhalangan melakukan tugasnya, maka apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pendamping. Bilamana apoteker
pengelola dan pendamping berhalangan untuk suatu hal tertentu, maka apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pengganti.
Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping maupun apoteker pengganti dalam apotek, apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas
segala kegiatan tersebut. Selain apoteker pendamping dan pengganti di apotek, apoteker pengelola juga dibantu tenaga farmasi lainnya yaitu asisten apoteker dan
analis farmasi. Keduanya melakukan kegiatan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker pengelola, pendamping atau pengganti.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai penjabaran atau implementasi dari pelaksanaan tanggung jawab apoteker, maka pemilik sarana apotek memberikan kewenangan kepada apoteker
untuk mengelola suatu apotek. Penjabaran atau implementasi tersebut tertuang dalam bentuk perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.
Apotek yang dikelola berdasarkan perjanjian kerjasama dan apotek yang didirikan oleh apoteker pribadi, keduanya dikelola oleh apoteker dan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab apoteker. Ada sekitar sembilan puluh persen apotek di Indonesia berbentuk kedua jenis apotek ini.
39
Di Kota Medan, kedua jenis apotek ini ada sekitar lima ratus apotek dan sekitar sembilan puluh tiga persennya adalah apotek
yang didirikan berdasarkan perjanjian kerjasama.
40
Kedua bentuk apotek ini tidak jelas hubungan antara apotek dengan apoteker sebagai pengelola apotek, apakah
apoteker bertindak untuk dan atas nama apotek ataukah bertindak untuk diri sendiri sebagai apoteker dalam melakukan hubungan-hubungan hukum di apotek.
Hasil penelitian penulis, kedua bentuk apotek ini melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana apotek sebagai salah satu pihak dan apotek
sebagai person yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama apotek. Kedua apotek bentuk ini tidak berbentuk badan hukum. Bilamana apotek sebagai salah satu
pihak dalam perjanjian, maka apotek harus memilih kedudukan sebagai subjek hukum.
39
http:duakehidupan.otodidak.info”Peran Apoteker di Apotek”, 22 Maret 2010.
40
Hasil penelitian di Kantor Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 20 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Kedua bentuk apotek ini dapat menimbulkan masalah hukum sebab apotek tersebut melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana
apotek tidak memiliki kedudukan sebagai subyek hukum untuk sahnya transaksi- transaksi yang dilakukannya. Akan tetapi dalam prakteknya selama ini tidak
dipermasalahkan, namun tetap diterima oleh masyarakat. Kedudukan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan
tenaga administrasi terhadap kedua bentuk apotek di atas adalah sebagai pegawai apotek tersebut diangkat atau ditugaskan untuk bekerja berdasarkan
perjanjian kerja.
41
Namun yang dapat menjadi persoalan hukum adalah dimana pihak apotek diwakili oleh apoteker pengelola, sedangkan apotek itu sendiri tidak berbadan
hukum sehingga perjanjian kerja yang dibuat antara apotek dengan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan tenaga administrasi apakah sah
menurut hukum. Untuk dapat menghindari dari persoalan-persoalan hukum yang dapat timbul,
maka seyogyanya peraturan mengenai apotek perlu dipertegas, khususnya menyangkut kedudukan badan usaha apotek, apakah berbadan hukum atau tidak.
Bilamana apotek secara tegas berbadan hukum, maka kedudukan apoteker sebagai pihak di dalam mengadakan hubungan-hubungan hukum tidak untuk dan atas nama
apotek, akan tetapi bertindak sendiri apoteker sebagai subyek hukum. Masing-
41
Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan. tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
masing bentuk badan hukum dan tidak badan hukum suatu apotek mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda-beda, khususnya mengenai tanggung jawabnya.
Apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang mempunyai peranan melakukan upaya pelaksanaan kesehatan melalui penyaluran obat dan informasi
kesehatan kepada konsumen secara nyata dan menyeluruh. Konsumen pada apotek dapat kita bagi dua kelompok, antara lain:
a. Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan menunjukkan
resep dari dokter; b.
Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan tidak menunjukkan resep dari dokter.
42
Barang-barang yang dapat disalurkan oleh apotek dengan syarat konsumen harus menunjukkan resep dari dokter adalah obat-obatan yang tergolong obat keras,
alat kesehatan tertentu dan kosmetika tertentu. Sedangkan untuk barang lainnya, dapat diperoeh konsumen tidak dengan resep dokter.
Bilamana dilihat dari sudut hubungan apotek dengan konsumen, maka apotek berkedudukan sebagai penyedia dan penyalur obat di apotek, atau sebagai pihak yang
akan menyerahkan menyalurkan barang kepada konsumen yang disebut penjual. Sedangkan pihak konsumen adalah pihak yang menerima barang atau pemakai atau
yang dinamakan pembeli. Dalam ketentuan KUH Perdata ditegaskan bahwa jual beli suatu barang
dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat
42
Budi Harry Prima, Op. Cit, h. 39.
Universitas Sumatera Utara
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
43
Pada apotek, pengalihan barang kepada pihak konsumen sangatlah penting karena selain barang yang akan diserahkan juga yang sangat penting adalah
pemberian informasi tentang penggunaan barang. Hal ini harus mendapat perhatian pada transakasi barang di apotek sebab ini sangat berhubungan dengan keselamatan
konsumen dalam penggunaan obat-obatan. Persoalan-persoalan mengenai tidak jelasnya informasi penggunaan obat
kepada konsumen paling sering terjadi, khususnya konsumen yang sangat awam dengan obat-obatan. Contoh kasus penulis kemukakan sebagai berikut, seorang
konsumen membeli vitamin ke apotek. Konsumen tersebut tidak menunjukkan resep, sebab vitamin tersebut tergolong bebas tanpa resep dokter. Vitamin tersebut
berbentuk kapsul yang bergula kaplet dan dikemas dalam botol plastik.
44
Agar kaplet tersebut tidak meleleh cepat rusak oleh pabrik industri dilengkapi bahan pengering yang berbentuk kemasan kapsul dan ini sangat
menyerupai kaplet vitamin tersebut. Karena konsumen tidak mengerti dan tidak mendapat penjelasan dari apotek tentang fungsi kapsul pengering tersebut, konsumen
awam juga mengkonsumsi kapsul pengering tersebut dengan anggapan bahwa kapsul itu adalah bagian dari kapsul vitamin akibatnya konsumen mengalami rasa perih di
persendian.
43
lbid
44
Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Kasus ini adalah kasus dimana konsumen tidak mendapat penjelasan tentang obat dari petugas di apotek. Ada juga terjadi kasus dimana pihak apotek memberikan
penjelasan informasi kepada konsumen, akan tetapi tidak jelas atau konsumen tidak mengerti mengenai obat tersebut.
Contoh kasus sebagai berikut, seorang konsumen membeli obat ke apotek dengan menunjukkan resep obat-obatan untuk penyakit ambaien dengan cara
penggunaan dimasukkan ke dalam dubur pemakai pasien penderita. Karena kurang jelasnya penjelasan informasi dari petugas di apotek, khususnya tentang cara
penggunaan obat tersebut, konsumen mengunakan obat tersebut tidak memasukkan obat tersebut ke dalam dubur, akan tetapi obat tersebut dimakan ditelan
sebagaimana lazimnya bagi si konsumen, akibatnya konsumen sulit untuk buang air besar karena ambaien juga konsumen mengalami sakit perut.
45
Jual beli obat di apotek, antara apotek dengan konsumen, pihak penjual apotek tidak hanya berkewajiban menyerahkan obat yang diperjualbelikan dan
menanggung kenikmatan dan ketentraman atas obat tersebut, menanggung cacat- cacat yang tersembunyi.
46
Akan tetapi pihak apotek berkewajiban pula memberikan penjelasan informasi mengenai obat barang yang diperjualbelikan di apotek.
Jual beli obat di apotek, berbeda dengan jual beli pada umumnya. Karena obat di apotek memerlukan penjelasan informasi agar tidak menimbulkan akibat-akibat
yang dapat mengancam keselamatan nyawa konsumen. Konsumen di apotek, selain
45
http:www.sasak.netnasional”Salah Minum Obat”, 22 Maret 2010.
46
Subekti, Op Cit, h.8.
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang datang dengan menunjukkan resep dari dokter dan yang tidak menunjukkan resep dokter, dapat pula dibagi dalam bagian konsumen langsung dan
konsumen tidak langsung. Konsumen langsung adalah konsumen atau penderita sendiri sebagai pemakai
pengguna obat-obatan secara langsung yang berhubungan langsung dengan apotek. Sedangkan konsumen tidak langsung adalah konsumen pemakai pengguna obat-
obatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan apotek, tetapi melalui orang lain. Biasanya konsumen tidak dapat secara langsung berhubungan dengan apotek
karena konsumen sedang sakit. Persoalan yang terjadi atau timbul adalah dalam hal konsumen yang tidak
secara langsung berhubungan dengan apotek. Kadang-kadang konsumen hanya menyuruh sopir atau pembantu rumah tangga atau suruan tertentu. Kewajiban apotek
memberikan informasi telah dilakukan, akan tetapi orang suruan tersebut tidak mengerti memahami informasi yang diberikan dari apotek, atau orang suruan salah
menyampaikan informasi kepada konsumen. Persoalan tidak sampainya informasi kepada konsumen ini, dapat diatasi
apabila pihak konsumen lebih berhati-hati. Misalnya bila obat yang akan di konsumsi tidak jelas cara penggunaannya informasi dan suruan, maka konsumen dapat
menghubungi kembali pihak apotek. Berdasarkan hubungan hukum jual beli antara apotek dengan konsumen
mengakibatkan adanya keterkaitan hubungan hukum antara konsumen dengan pabrik obat produsen. Hubungan antara produsen pabrik dengan konsumen dapat
Universitas Sumatera Utara
langsung maupun tidak langsung.
47
Hubungan langsung dimaksudkan adalah hubungan antara produsen pabrik dengan konsumen yang terikat secara langsung
dengan perjanjian. Hubungan semacam ini tidak dikenal dalam penyaluran persediaan farmasi kepada konsumen.
Hubungan tidak langsung antara produsen pabrik dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak konsumen
dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang diinginkan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki
hubungan perjanjian. Hubungan hukum yang melahirkan perikatan tidak selamanya lahir hanya dengan perjanjian, akan tetapi juga karena undang-undang. Perikatan
yang lahir karena undang-undang dapat karena undang-undang saja maupun karena perbuatan manusia.
48
Konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi suatu produk tertentu, tidak perlu harus terikat perjanjian, untuk dapat menuntut ganti rugi tetapi dapat juga
menuntut dengan alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar hukum pasal 1365 KUH Perdata, dan dasar tanggung jawab produsen adalah tanggung
jawab yang yang didasarkan pada adanya kesalahan produsen pabrik.
49
Contohnya
47
Sabir Alwi, Tanggung Gugat Apotek Sebagai Sarana Kesehatan di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana UNAIR
, Surabaya, 2002, h. 179.
48
Handi Raharjo, Op. Cit, h.12
49
Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit., h. 1
Universitas Sumatera Utara
dalam kasus pengaruh sampingan produk obat Chioroguine Krug V. Sterling Drug, Inc.
50
Kasusnya, seseorang yang menderita cacat mata yang tidak dapat disembuhkan sebagai pengaruh samping dan mengkonsumsi obat Chioroguine nama
dagang Aralen, Triguin dan plaguenil dibuat dalam satu perusahaan obat pabrik. Pihak konsumen menggugat produsen pabrik dan apotek, dengan dasar ia gagal
memberikan peringatan yang cukup kepada profesi kedokteran tentang pengaruh samping obat Chioroguine. Keputusan hakim tingkat rendah dan banding adalah sama
yaitu membebaskan apotek terhadap pengggugat konsumen dan menghukum produsen pabrik obat sebanyak 125.000 untuk konsumen yang cacat sebagai ganti
kerugian yang didasarkan atas kesalahan karena kelalaian produsen pabrik memberikan peringatan yang cukup mengenai pengaruh samping obat Chioroguine.
Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, keberadaan undang-undang perlindungan konsumen
disamping melengkapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan KUH Perdata, juga melakukan perubahan mendasar bagi pelaksanaan tanggung
jawab yang masih berorientasi pada unsur kesalahan dan pembuktian dibebankan pada konsumen, maka berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen
berorientasi pada jaminan dan pembuktian oleh pelaku usaha Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
50
Sabir Alwi, Op Cit, h.181.
Universitas Sumatera Utara
Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab
apoteker, meliputi: a.
Tanggung jawab gannti kerugian atas kerusakan b.
Tanggung jawab gannti kerugian atas pencemaran c.
Tanggung jawab gannti kerugian atas kerugian konsumen. Menurut J.M. van Dunne, sehubungan dengan tanggung jawab mengenai
kerugian konsumen yang dilakukan terhadap orang lain dibedakan 3 tiga golongan tanggung jawab.
51
a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yang mengandung persamaan dengan pasal 1365 KUH Perdata;
b. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan bahwa tergugat cukup hati-
hati, ini tertuang dalarn pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata; c. Tanggung jawab berdasarkan risiko atau majikan bertanggung jawab kepada
bawahan. Secara teoritis, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut
51
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 109.
Universitas Sumatera Utara
untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum yang ada, maka dapat dibedakan:
52
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya
wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hokum, tindakan yang kurang hati- hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh
Negara. Jelasnya jika sorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen dapat mengajukan tuntutan secara perdata
untuk mempertahankan haknya. Apabila apotek atau pihak lain yang berhubungan dengan apotek, tidak
melakukan apa yang telah dijanjikannya, salah satu pihak lalai atau ingkar janji atau salah satu pihak melanggar apa yang diperjanjikannya atau salah satu pihak
melakukan atau berbuat sesuai yang tidak boleh dilakukannya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut dan pihak yang melakukan pelanggaran perjanjian
atau ingkar janji tersebut bertanggung jawab hukum perdata. Dasar hukum yang mengatur tanggung jawab dalam KUH Perdata yaitu pasal-pasal 1243, 1239,
1365,1367, 1370 dan 1371 KUH Perdata.
52
Janus Sidabalok, Op.Cit, h. 101
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum perdata, kesalahan atau kelalaian antara lain: a. Melakukan wanprestasi atau cedera janji pasal 1239 dan 1243 KUH Perdata;
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum atau onrechtmatige daad pasal 1365 KUH Perdata;
c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian pasal 1366 KUH Perdata;
d. Melakukan kelalaian dalam pekerjaan sebagai penanggung jawab suatu pekerjaan tertentu pasal 1367 KUH Perdata.
53
Pada dasarnya tanggung jawab di bidang kefarmasian dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum, perbuatan yang mengakibatkan
mati karena kurang hati-hati atau dengan sengaja dan perbuatan yang mengakibatkan cacat tubuh. Apabila salah satu pihak yang mengadakan suatu perjanjian tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi atau ingkar janji pasal 1239 KUH Perdata.
Dalam bahasa hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian. Ganti kerugian
yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban jaminan dalam
perjanjian, sehingga seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila: a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; b.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
53
Soejono Soekanto,Op. Cit, h. 8.
Universitas Sumatera Utara
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
54
Wanprestasi terjadi bilamana prestasi yang dijanjikan tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang dirugikan dapat menuntut agar:
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c. Ganti rugi saja;
d. Pembatalan perjanjian;
e. Pembatalan disertai ganti rugi.
55
Dalam undang-undang kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
kefarmasian. Ganti rugi sebagaimana dimaksudkan tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan upaya
untuk memberikan perlindungan bagi setiap konsumen atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan
kefarmasian. Perlindungan hukum ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan
mungkin dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Yang dimaksud
54
Subekti, Op Cit, h. 45
55
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang.
56
Apotek sebagai sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui penyaluran obat
dan informasi kesehatan kepada masyarakat. Dengan tidak memberikan informasi yang cukup kepada konsumen mengenai objek yang diperjualbelikan yang mungkin
dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen, maka pihak apotek digolongkan sebagai pihak yang melakukan wanprestasi.
Contoh kasus dimana pihak apotek dapat digolongkan sebagai pihak yang wanprestasi, pada tanggal 25 Juli 2001, diberitakan pada salah satu koran terkemuka
di Makassar yaitu seorang Ibu yang menderita penyakit jantung, membeli obat dengan resep dokter di salah satu apotek. Setelah obat tersebut diminum, ibu tersebut
mengalami serangan jantung yang sangat parah bukannya mengurangi rasa sakit jantungnya. Setelah diselidiki oleh dokter yang menangani, ternyata obat jantung
yang dibeli dari apotek tersebut telah kadaluarsa.
57
Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dan untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian apotek dalam pelayanan kesehatan hanya kalangan
profesi apoteker yang mampu melakukan, sedangkan konsumen tidak mempunyai kemampuan yang cukup sehingga sulit memberi pembuktian tentang ada tidaknya
56
Penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan
57
http:www.pedomanrakyat.com”Kasus Obat”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
kesalahan atau kelalaian pelaksanaan pelayanan kesehatan bila diajukan ke pengadilan.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan adanya kepastian hukum bukanlah terletak semata-mata pada batas-batas daya berlakunya hukum tersebut menurut
wilayah atau golongan masyarakat, tetapi terletak pada bagaimana para anggota masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum, bagaimana menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi, peranan lembaga yang memberikan bantuan kepada anggota masyarakat, bagaimana peranan tadi terorganisasikan dan sampai
sejauh mana kewenangannya. Keadilan sebagai salah satu tujuan hukum merupakan suatu keadaan yang
serasi atau seimbang yang membawa ketentraman dalam hati setiap orang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Walaupun keadilan merupakan faktor
penting namun tidak selalu keadilan tersebut ada, sebab hukum dan keadilan bertujuan menyelenggarakan ketertiban.
Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua faktor yang saling menentukan dalam menjaga keserasian kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Terwujudnya
kesejahteraan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan perasaan tentram dan tertib dalam masyarakat, akan tetapi ketertiban semata-mata dapat mengarah kepada
pengunaan kekuasaan tanpa batas. Ketertiban tersebut seyogyanya didasarkan pada pengakuan martabat manusia sebagai warga masyarakat yang terwujud dalam
keadilan.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pasal 1365 KUH perdata tidak memberi pengertian tentang perbuatan melanggar hukum. Dalam sejarah perundang-undangan hukum perdata
pengertian hukum yang terdapat dalam pasal 1365 KUH perdata mengalami perubahan dengan adanya keputusan Hoge Raad di Belanda tahun 1919 arrest
Lindenboum-Cohen tahun 1919, Hoge Raad 31 Januari, Hoetink No. 110. Perbuatan melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dengan baik
kesusilaan maupun sifat hati-hati sebagaimana patutnya berlaku dalam lalu lintas perhubungan hukum dalam masyarakat.
58
Dalam perbuatan melanggar hukum syarat-syaratnya yang harus dipenuhi untuk dapat diterapkan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata adalah:
a. Harus ada perbuatan berbuat tidak berbuat; b. Perbuatan itu harus melanggar hukum yang tidak hanya melanggar undang-
undang peraturan tertulis; c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum itu dengan kerugian yang diderita; dan
e. Adanya kesalahan.
59
58
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, h. 146-147.
59
Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan- Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya
, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 53.
Universitas Sumatera Utara
Unsur perbuatan melanggar hukum yang pertama adalah melanggar hak orang lain, bahwa tidak seorangpun boleh merusak barang orang lain tanpa suatu
kewenangan. Kalau orang bertindak demikian, maka ia melanggar hak orang lain sehingga dikategorikan sebagai melakukan perbuatan melanggar hukum.
60
Walupun demikian, melakukan pelanggaran hak orang lain secara serta merta bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul, karena diperlukan adanya kesalahan dari orang yang bersangkutan.
Menurut ajaran atau teori kesalahan, kewajiban ada karena adanya kesalahan. Kesalahan selalu ada meskipun dalam ketentuan unsur itu tidak ada, namun harus
dipersangkakan ada.
61
Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka unsur kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan di sini
umumnya meliputi kesengajaan dan kurang hati-hati atau lalai. Dalam kepustakaan hukum perdata Indonesia, kurang hati-hati masuk dalam
kesalahan pada perbuatan melawan hukum, sedangkan dalam kepustakaan di Amerika Serikat, kurang hati-hati dibicarakan dalam topik tersendiri yang disebut
negligence . Negligence adalah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standar
kelakuan yangn ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan konsumen terhadap resiko yang tidak rasional.
62
Dihubungkan dengan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka negligence ini merupakan salah satu bagian dari padanya yaitu bagian
60
Janus Sidabalok, Op. Cit, h. 107.
61
Ibid, h. 108.
62
Ibid, h.109.
Universitas Sumatera Utara
yang mempersoalkan kurang hati-hati atau lalai. Untuk dapat menggunakan negligence
sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban, maka harus dipenuhi syarat-syarat:
a. Adanya satu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan
sikap hati-hati yang normal. b.
Yang harus dibuktikan adalah tergugat lalai dalam kewajiban memelihara kepentingan orang lain.
c. Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata dari kerugian yang timbul.
63
Lemahnya kedudukan konsumen dalam hal membuktikan kesalahan ataupun negligence
pelaku usaha karena tidak mempunyai pengetahuan dan sarana yang memuaskan untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan di Amerika Serikat
menempuh cara lain untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yaitu dengan menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak strict liability.
Di Indonesia konsep strict liability secara implisitdapat ditemukan dalam Pasal 1367 dan Pasal 1368 KUH Perdata. Dengan mempergunakan konsep strict
liability, khususnya tanggung jawab produk, akan memudahkan pembuktian yang pada akhirnya memberikan perlindungan kepada konsumen, sebab konsumen yang
akan dilindungi itu akan dapat dengan mudah mempertahankan haknya jika dibandingkan dengan konsep kesalahan, dimana konsumen masih dibebani kewajiban
untuk membuktikan kesalahan apoteker.
63
Ibid, h.115.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan bentuk perbuatan melanggar hukum diatas, pelanggaran terhadap kesusilaan, tidak banyak mendapat pembahasan. Berkaitan dengan
pelanggaran terhadap sikap hati-hati ini bahwa hukum tidak memperhatikan jika ketidakhati-hatian itu berkaitan dengan adanya kewajiban untuk bertindak hati-hati,
dan pelanggaran terhadap kewajiban itu telah menimbulkan kerugian. Dengan demikian, yang menjadi prinsip pokok tanggung jawab adalah bahwa
pihak tergugat berkewajiban untuk bertindak hati-hati, sedangkan pihak penggugat harus membuktikan bahwa ia telah menderita kerugian akibat pelanggaran kewajiban
itu.
64
Pengertiannya adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan perbuatan melakukan dan membiarkan yang melanggar norma oleh
pihak lain.
65
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda
seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada azas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat
mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian, atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh
64
Ibid.
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andai kata perjanjian dilaksanakan secara baik tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.
Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan
kerugian itu, seperti kemampuan atau kekayaan para pihak yang bersangkutan. Bloem Bergen menyatakan bahwa “kalau kita berbicara tentang kerugian maka dapat
dipikirkan suatu pengertian yang konkrit dan subjektif, yaitu kerugian adalah kerugian nyata yang diderita oleh yang dirugikan, dimana diperhitungkan situasi yang
konkrit dengan keadaan subyektif dari yang bersangkutan”. Selain itu kita juga dapat memikirkan secara obyektif, dimana kita melepaskan diri seluruhnya atau sebagian
dari keadaan konkrit dan orang yang dirugikan dan menuju kearah yang normal.
66
Disamping itu, Bloem Bergen berpendapat bahwa kerugian merupakan pengertian normatif yang membutuhkan penafsiran, dan menurutnya, bukan
kehilangan atau kerusakan barang yang merupakan kerugian, melainkan hanya dari barang tersebut atau biaya-biaya perbaikan.
67
Unsur kesalahan dalam pasal 1365 KUH Perdata ialah sipembuat pelaku pada umumnya harus bertanggung jawab, karena ia menginsafi akibat dari
pembuatannya.
68
Menurut Purwahid Patrik, kesalahan memiliki 3 tiga unsur, yaitu:
69
66
Sabir Alwi, Op.Cit, h. 212.
67
Ibid.
68
Hermien Hadiati Koeswadji I , Op.Cit, h. 53.
69
Sabir Alwi, Op.Cit, h. 216.
Universitas Sumatera Utara
a. Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; b. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;
1. Dalam arti obyektif, sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya; 2. Dalam arti subyektif, sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;
c. Dapat dipertanggungjawabkan, debitur dalam keadaan cakap. Pada dasarnya ada 2 dua pendapat yang memiliki kesamaan mengenai
kesalahan dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertama yang menempatkan kesalahan secara berdampingan dengan perbuatan melanggar hukum,
juga melihat bahwa unsur kesalahan tersebut menentukan tanggung jawab sipembuat atas perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian. Pendapat kedua
yang menyatakan bahwa kesalahan merupakan bagian dari perbuatan melanggar hukum, tetapi tetap mengalami adanya pemisahan yaitu, perbuatan melanggar hukum
terkait dengan perbuatan, sedangkan kesalahan terkait pada orangnya. Serta memandang bahwa tanpa adanya kesalahan maka tidak ada perbuatan melanggar
hukum, sehingga tidak ada tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap korban.
Dalam bidang hukum perdata, terdapat 3 tiga unsur tanggung jawab perdata, yaitu:
1. Adanya kelalaian yang dapat dipersalahkan; 2. Adanya kerugian; dan
Universitas Sumatera Utara
3. Adanya hubungan kausal.
70
Perbuatan melanggar hukum di apotek dapat terjadi apabila apotek menyalurkan obat-obatan yang tegolong keras, tidak berdasarkan resep dokter yang
ditunjukkan oleh konsumen. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berakibat fatal bagi konsumen, apalagi obat-obatan tersebut tergolong obat psikotropika yang sangat
berbahaya bagi pemakainya. Perbuatan melanggar hukum dapat pula terjadi di apotek bila mana pihak
apotek tidak dapat memberikan informasi yang cukup untuk penggunaan obat-obatan bagi konsumen yang memungkinkan berakibat membahayakan bagi keselamatan jiwa
konsumen.
71
Untuk dapat menuntut tanggung jawab bagi apotek yang menyalurkan obat- obatan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku yang merugikan konsumen hanya
dapat berhasil secara meyakinkan, apabila perkara tersebut terlebih dahulu diputuskan oleh hakim pidana. Karena putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti
sempurna dalam perkara perdata. Dalam menyalurkan obat-obatan kepada masyarakat, kesalahan atau kelalaian
apotek di bidang hukum perdata, meliputi pasal 1239, 1243, 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. Dalam perkara perdata, pihak penggugatlah yang harus mengajukan
bukti-bukti.
70
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta, 2005, h. 16.
71
Bahder Johan Nasution, Op. Cit, h. 19.
Universitas Sumatera Utara
Bilamana terjadi pelanggaran dalam bidang kesehatan, harus diteliti apakah pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran hukum atau etika profesi ataukah
kedua-duanya. Apabila merupakan pelanggaran hukum, maka untuk bidang hukum perdata, dapat ditempuh melalui gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan. Dalam
kaitannya dengan apotek, bila mana ada pelanggaran yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian apotek, maka apotek dapat bertanggung jawab terhadap para pihak
yang merasa dirugikan. Apotek dalam menjalankan pelayanan kepada konsumen terdapat 2 dua hal
yang esensial. Pertama, pada apotek dilakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya. Keahlian dan kewenangan tersebut diimplementasikan dalam bentuk Surat Izin Apoteker SIA bagi apoteker dan Surat lzin Kerja S1K bagi asisten
apoteker. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian tersebut, tenaga kefarmasian di
apotek melakukan berbagai kegiatan mencakup pengadaan obat, penyimpanan obat, pembuatan untuk persediaan dan obat sesuai dengan buku standar, pembuatan obat
dalam rangka memenuhi permintaan resep dokter, penyerahan obat dan informasi yang harus disampaikan kepada konsumen pengguna obat.
Kedua, pekerjaan kefarmasian yang difokuskan pada penyerahan obat. Penyerahan obat merupakan inti pembahasan tanggung jawab karena disini akan
memperlihatkan apotek dalam keadaan bergerak untuk melakukan hubungan hukum dengan konsumen. Dalam menyerahkan obat kepada konsumen, apotek dapat
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan obat yang berasal dan pabrik obat atau PBF dan atau obat yang dibuat sendiri oleh apotek berdasarkan buku standar yang dianut diikuti.
Buku standar tersebut ditegaskan oleh pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengawasan Sediaan Farmasi. Buku standar lainnya beraneka ragam seperti Codex
Medicamentorum Nederlandicum,
Formularium Medicamentorum
Nederlandicum dan lain-lain. Dalam buku standar tersebut diuraikan berbagai formula yang memuat berbagai sediaan obat, seperti obat batuk hitam, obat batuk
putih dan lain-lain. Berbagai sediaan obat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Pertama, sediaan obat yang selalu harus dibuat baru. Dalam hubungan ini sediaan obat hanya dapat diserahkan kepada konsumen yang dibuat saat itu. Kedua, sediaan
obat yang dapat dijadikan sediaan dalam bentuk kekuatan yang lebih. Sediaan obat ini baru diberikan pada waktu akan diserahkan kepada konsumen.
72
Kedua cara ini dimaksudkan agar obat yang diserahkan selain memenuhi syarat teknis kefarmasian
juga dapat mencapai tujuan yang dikehendaki yaitu sesuai dengan kemanfaatan obat yang bersangkutan.
Dan segi hukum yang penting bahwa adanya ketentuan yang mengikat bahwa buku standar tersebut disahkan penggunaannya. Di sini terlihat baru Farmakope
Indonesia saja yang disahkan secara tegas, sedangkan buku lainnya tidak dinyatakan secara tegas. Sebagaimana dikemukakan oleh Joint Commission on the Accreditation
72
Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
of Healtheore Organitation, yang menguraikan 5 lima standar yang harus dipenuhi
dalam pelayanan kefarmasian:
73
Pertama, keberadaan staf sumber daya manusia yang menurut hukum mempunyai keahlian dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Kedua, dipenuhinya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam berbagai proses pekerjaan kefarmasian mulai dari pengadaan sampai penyerahan. Ketiga, dapat
dipenuhi dan dilaksanakannya lingkup pekerjaan kefarmasian secara baik dan benar. Keempat, memiliki kebijakan tertulis yang menyangkut standar yang digunakan dan
pencatatan setiap tindakan yang dilakukan dalam proses pengadaan, pembuatan dan penyerahan obat. Kelima, dilakukannya hubungan secara harmonis dengan tenaga
kesehatan lainnya seperti dokter, perawat dan bidan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.
Bilamana apotek melakukan kesalahan dapat dimintai tanggung jawab melalui wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Namun obat memiliki karakteristik
yang khas dimana terdapat kemungkinan risiko baru diketahui kemudian, walaupun dalam proses pembuatan dan penyimpanan obat tidak terdapat unsur kesalahan.
Untuk menunjukkan rasa keadilan bagi konsumen maka risiko yang timbul kemudian harus tetap dilindungi oleh hukum.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan tragedi thalidomide yang pada saat disalurkan ke konsumen tidak menjadi persoalan, tetapi kemudian mendatangkan
73
http:www.jointcommission.org”Standar Pelayanan Kefarmasian”, 23 Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
bahaya bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat pada saat kehamilan.
74
Dalam kaitan ini yang penting dari segi hukum adalah: a. Informasi yang harus diberikan apotek terhadap obat yang disalurkan.
Informasi tersebut meliputi nama obat, tanggal pembuatan, buku standar yang digunakan dan tanda tanda bila dinyatakan rusak. Dalam prakteknya informasi
hanya diberikan menyangkut nama obat tersebut. b. Dalam hubungannya dengan risiko dalam penggunaan obat. Titik tolak risiko
disini harusnya dituangkan dalam informasi yang diberikan apotek. Informasi tersebut meliputi identitas apotek yang menyalurkan, kegunaan obat tersebut dan
risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat tersebut atau tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh konsumen bila menggunakan obat tersebut.
Bertitik tolak dari apa yang diuraikan di atas maka dapat saja tanggung jawab diterapkan pada apotek dalam hal terbatas pada produk obat yang dihasilkan. Dengan
demikian obat tersebut juga harus memenuhi standar keamanan, mutu dan kemanfaatan yang berlaku pada setiap obat yang disalurkan.
Standar keamanan, mutu dan kemanfaatan bersifat universal, berlaku untuk semua apotek, misalnya boorwater yang merupakan sediaan obat untuk cuci mata,
harus sama standar keamanan, mutu dan kemanfaatannya. Tidak boleh boorwater di suatu apotek dijual dengan adanya endapan padahal dipersyaratkan tidak boleh ada
endapan.
75
74
Sabir Alwi, Op.Cit, h. 123.
75
Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Selain apa yang telah diuraikan di atas tanggung jawab mutlak dapat juga diterapkan pada apotek yang melakukan penggantian obat yang tertera dalam resep
dokter tanpa persetujuan lebih dahulu dari penulis resep atau dokter. Dokter rnempunyai hak untuk menentukan pilihan obat berdasarkan diagnosa dan terapi yang
dilakukan, namun dipihak lain kadangkala para kalangan farmasi juga menyatakan penggantian obat merupakan hak yang dimiliki.
Padahal spesifikasi teknis berdasarkan daya larut, daya serap dalam tubuh belum tentu sama untuk produk obat yang sejenis mengenai substansi yang
dikandung di dalamnya, oleh karena itu penggantian obat yang dilakukan apotek dengan persetujuan konsumen tanpa persetujuan dokter penulis resep memberikan
dampak pada penerapan tanggung jawab mutlak pada apotek. Dalam hal ini dokter sebagai pihak lain yang tidak turut bertanggung jawab karena obat yang diserahkan
apotek tidak sesuai yang tertera dalam resep. Perlindungan terhadap bahaya penyalahgunaan obat zat adiktif, dan narkotika
terutama bagi generasi muda, serta pencemaran lingkungan perlu diberikan perhatian khusus, juga pengawasan ketat terhadap obat. Disebutkan dalam undang-undang
kesehatan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi konsumen diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan melalui
kegiatan peningkatan kesehatan. Dalam rangka pembangunan kesehatan yang demikian kompleks dan luas,
dirasakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan konsumen perlu ditingkatkan. Untuk itu
Universitas Sumatera Utara
seyogyanya pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang kesehatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas serta menata kembali
perundang-undangan bidang kesehatan dalam rangka membuat produk hukum yang lebih memadai.
Produk-produk hukum di bidang kesehatan seharusnya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Mendukung adanya sarana pelayanan kesehatan, program dan kegiatan dalam seluruh upaya kesehatan yang sudah atau akan dikembangkan, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat termasuk swasta. b. Memperhatikan kepentingan daerah dan diselaraskan dengan peraturan
perundang-undangan disektor lain yang berkaitan dengan upaya kesehatan. c. Berfungsi mendorong pengembangan upaya kesehatan yang diinginkan dimasa
mendatang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang dilayani. d. Mengatur kewenangan tiap tingkatan upaya kesehatan.
e. Mengatur kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan upaya kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
f. Mengatur wewenang dan tanggung jawab serta dapat memberikan perlindungan hukum, bagi penerima dan pemberi jasa upaya kesehatan.
g. Mengatur kualitas upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta.
h. Mengganti produk hukum yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.
Universitas Sumatera Utara
i. Memuat sanksi hukum yang sepadan, sehingga setiap pelanggaran dapat ditindak sebagaimana mestinya.
76
Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan dilakukan secara bersama dengan serasi dan seimbang oleh pemerintah dan konsumen melalui upaya
peingkatan dan pelayanan kesehatan secara terpadu terintegrasi dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan. Yang dimaksud dengan serasi dan
simbang disini adalah pelaksanaan pelayanan upaya kesehatan berdasarkan hak, wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat
berdasarkan peraturan yang ada serta sesuai dengan kebutuhan dan waktu, pemerintah dan konsumen bertanggung jawab dalam hal memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan masyarakat. Apotek dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan kepada konsumen
harus mengutamakan kemakmuran, dengan demikian apotek mempunyai tugas dan fungsi sosial sebagai sarana kesehatan terhadap konsumen. Apotek sebagai salah satu
sarana kesehatan diselenggarakan berdasarkan fungsi sosial.
77
Tetapi di lain pihak apotek harus dikelola sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup untuk
melaksanakan fungsinya dapat tetap berjalan. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang apoteker dalam melaksanakan
perannya, tidak mustahil timbul sengketa antara peran yang satu dengan yang lainnya. Misalnya peran apoteker sebagai tenaga yang profesional yang mengemban tugas
76
Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
77
Wawancara dengan Apoteker Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya-upaya kesehatan dan disisi lain apoteker sebagai seorang bisnis yang berorientasi pada keuntungan material yang
maksimal. Perlu diakui bahwa orientasi profesi lebih banyak diarahkan ke konsumen,
sedangkan bisnis berorientasi pada keuntungan material yang maksimal. Pada profesi, kepercayaan konsumen tertuju pada pemberian jasa, sedangkan pada bisnis, obat
barang yang diperjualbelikan menjadi tolok ukur. Bilamana dilihat dari aspek obat, maka sikap yang berorientasi pada bisnis
semata-mata mungkin timbul apabila obat dianggap sebagai barang dagangan biasa. Dalam hubungan dalam profesi apoteker, maka obat merupakan komponen yamg
penting dalam sistem farmasi.
78
Dalam keadaan demikian fungsi sosial apotek dapat menjadi kabur. Oleh karena penyelenggaraan apotek yang padat modal dan kaya seyogyanya dan
merupakan keharusan untuk dikelola secara manajemen bisnis tanpa menghilangkan misi kemanusiaan dan fungsi sosialnya. Dan hasil keuntungan yang diperoleh dan
pengolahan apotek tersebut hendaknya disisihkan sejumlah presentasi tertentu sebagai dana pelayanan fungsi sosial apotek.
Jangan sampai hanya persoalan kecil sehingga nilai-nilai fungsi sosial apoteknya menjadi kabur. Sebagai contoh kasus pada salah satu apotek, dimana
seorang ibu membeli obat dengan resep karena anaknya di rawat di ICU. Ibu anak tersebut belum dapat mengambil obat di apotek karena kekurangan pembayaran Rp.
78
Soerjono Soekanto, Op Cit h. 34
Universitas Sumatera Utara
1000,- seribu rupiah, ibu anak tersebut harus berkeliling mencari uang kekurangan, dan anaknya dalam keadaan gawat di ruang ICU . Setelah beberapa jam barulah ibu
tersebut dapat menebus obat di apotek, namun setelah ibu anak tersebut sampai di ruang ICU, anak tersebut telah meninggal dunia satu jam yang lalu.
79
Terlepas dari apakah penyebab meninggalnya si anak karena keterlambatan obat yang dibeli di apotek, ataukah tidak disebabkan karena hal tersebut. Tetapi
dalam keadaan demikian diharapkan peranan sarana kesehatan sebagai fungsi sosial tidak nampak dapat memberi bantuan kepada konsumen. Apakah dengan nilai Rp.
1000,- seribu rupiah tergolong sangat merugikan bagi apotek. Berdasarkan penelitian penulis, harga obat di Indonesia tergolong mahal dan
tidak transparan, konsumen telah dirugikan akibat tidak transparan penetapan harga obat yang dibeli. Selama ini konsumen berada dalam ketidakberdayaan hanya
membeli dan dianggap tidak perlu tahu. Padahal obat-obatan merupakan salah satu kebutuhan azasi yang harus diperoleh secara murah dan dapat dijangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat. Saat ini apotek tak ubahnya usaha eceran retail, yaitu membeli obat dari
Pedagang Besar Farmasi PBF dan menjual obat secara eceran kepada konsumen. Harga obat mahal, hal ini bisa karena rangkaian distribusi obat yang cukup panjang
hingga sampai ke konsumen. Tiap-tiap mata rantai distribusi mempunyai margin keuntungan dan pajak yang cukup besar, serta adanya biaya promosi yang juga cukup
besar.
79
Sabir Alwi, Op.Cit, h. 267.
Universitas Sumatera Utara
Menurut penulis, seharusnya yang dilakukan adalah pelayanan apotek profesi. Apotek tidak menetapkan margin keuntungan profit margin atas obat, akan tetapi
telah ditentukan pemerintah daftar harga obat yang berlaku Nasional dan konsumen hanya membayar jasa apotek sebagai mana layaknya pembayaran pemeriksaan
kesehatan kepada dokter. Dengan demikian apoteker bekerja sebagai tenaga profesional.
Fungsi sosial apotek seyogyanya diartikan secara luas dan tidak diartikan secara sempit dimana, apotek dipandang sebagai sarana kesehatan yang semata-mata
hanya dapat menyediakan obat-obatan. Akan tetapi fungsi sosial harus diartikan seluas-luasnya yaitu keseluruhan kegiatan-kegiatan yang secara aktif dilakukan dalam
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
Setelah berlakunya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332MenkesSKX2002 Tentang Perubahan Nomor 992MenkesPerX1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek yang merupakan penjabaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
maka fungsi apotek tidak hanya sebagai penyalur obat saja, akan tetapi penyalur perbekalan farmasi.
Kegiatan-kegiatan apotek mengalami perkembangan dalam masyarakat, tidak hanya menyalurkan perbekalan farmasi dan pekerjaan kefarmasian produksi akan
tetapi apotek dituntut tugas dan tanggung jawab oleh konsumen dalam segala
Universitas Sumatera Utara
rangkaian kegiatan-kegiatan upaya peningkatan kesehatan. Kegiatan-kegiatan yang dirnaksud antara lain:
a. Pemberian informasi kesehatan kepada konsumen; artinya apotek apoteker ikut bertanggung jawab atas segala informasi kesehatan lainnya. Apotek berusaha
mengumpulkan dan memadukan informasi tentang obat dan menjelaskan pemahaman tentang dosis penggunaan obat-obatan termasuk metode pemberian
obat, menasehati konsumen soal perlu kehati-hatian dalam penggunaan obat. Apotek dapat menghimpun dan memelihara informasi tentang semua obat
termasuk obat tradisional alternatif. Khususnya tentang obat-obatan yang baru diperkenalkan, menyediakan informasi yang diperlukan oleh profesi kesehatan
lainnya. Apotek dapat berperan serta dalam kampanye upaya peningkatan kesehatan konsumen, baik secara lokal maupun secara nasional khusunya atas
topik-topik mengenai obat-obatan tradisional, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan narkoba, bahaya merokok, larangan penggunaan obat selama
masa bamul atau topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatan lainnya misalnya penyakit diare, TBC, Lepra, infeksi HIVAIDS dan keluarga
berencana. Malahan apotek apoteker dapat diberi kewenangan mengunjungi konsumen untuk memberikan layanan informasi konseling kesehatan. Termasuk
pemberian penyuluhan-penyuluhan kesehatan kepada konsumen lebih luas lagi tidak hanya berupa obat untuk manusia, tetapi juga termasuk hewan, alat
kesehatan, kosmetika dan obat-obatan tradisional. Apotek apoteker tidak perlu tinggal diam menunggu datangnya konsumen ke apotek, akan tetapi harus pro
aktif dalam upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan konsumen secara optimal.
b. Apotek apoteker harus dapat berperan sebagai tempat pendidikan dan penelitian, termasuk berperan serta membuat rancangan untuk memantau penggunaan obat,
seperti proyek riset praktis serta memantau berbagal reaksi obat yang telah digunakan oleh konsurnen. Apotek pendidikan merupakan kesinambungan proses
pendidikan profesi apoteker, dimana ditempat itu dapat diperoleh pelatihan dibidang ilmu dan keterampilan farmasi yang berstandar mutu prima. Apotek
pendidikan selain unsur pelayanan dan unsur-unsur pendidikan dan penelitian juga terjadi diskusi antara mahasiswa dalam hal kasus peresepan yang tidak
rasional, studi epidemiologi obat dan penggunaannya. Hal ini sejalan apa yang dikehendaki dalam Undang-undang Kesehatan Nasional bahwa sarana kesehatan
dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan.
80
80
Wawancara dengan Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 19 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Suatu apotek tidak diharuskan berbadan usaha namun dalam prakteknya kenyataannya seluruh apotek selalu dalam bentuk badan usaha. Hal ini karena
sebelum apotek berjalan terbuka diharuskan memiliki surat izin usaha.
81
Tata cara pendirian apotek, diawali dengan mengajukan surat permohonan persetujuan lokasi kepada Kantor Wilayah Departemen Kesehatan RI. Setempat,
dimana apotek direncanakan didirikan. Adapun yang harus mengajukan permohonan tersebut adalah apoteker yang telah disumpah. Permohonan persetujuan lokasi apotek
tersebut dilengkapi dengan ijasah apoteker, denah lokasi dan surat keterangan domisili kelurahan.
Selama menunggu keluarnya persetujuan lokasi, pemohon mempersiapkan, antara lain, bangunan untuk tempat pengelolaan apotek, perlengkapan apotek yaitu
peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek, alat-alat kantor yang dipersyaratkan dan tenaga termasuk tenaga kefarmasian yaitu asisten
apoteker dan apoteker pengganti. Setelah perlengkapan apotek tersedia dan telah mendapatkan persetujuan
lokasi apotek dari Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia setempat, maka apoteker dapat mengajukan surat permohonan izin apotek kepada
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana rencana domisili apotek didirikan. Surat permohonan tersebut dilengkapi atau dilampirkan dokumen
dan persyaratan kelengkapan apotek.
81
http:www.hukor.depkes.go.id”Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia setempat membuat surat perintah tugas kepada Balai Pengawasan Obat dan Makanan
POM untuk memeriksa mengecek apotek yang direncanakan pada lokasi tersebut, apakah telah sesuai yang dipersyaratkan. Berita Acara Pemeriksaan Balai
Pengawasan Obat dan Makanan POM dikirim ke Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia setempat.
Mengenai Surat lzin Usaha SIUP dan Surat Izin Tempat Usaha SITU tidak merupakan persyaratan yang harus tersedia, akan tetapi dilampirkan disaat
mengajukan Surat Permohonan Izin mendirikan apotek. Namun dalam prakteknya kelengkapan tersebut harus telah ada sebelum apotek tersebut beroperasi terbuka.
Izin mendirikan apotek dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin mendirikan apotek
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia dimana domisili apotek yang akan didirikan atau dibuka. Setelah proses tersebut dilalui,
barulah izin pendirian apotek dikeluarkan. Suatu apotek yang direncanakan akan didirikan harus memenuhi persyaratan
antara lain, harus ada apoteker, harus memiliki sarana termasuk modal kekayaan yang terpisah dari modal pribadi termasuk modal kekayaan, mempunyai tujuan
tertulis dan dibentuk suatu organisasi yang dipimpin oleh apoteker.
82
Menurut penulis langkah-langkah ini sesuai dengan pendirian badan usaha yang berbadan hukum dimana apoteker sebagai tenaga profesional. Keahlian apoteker
82
http:www.hukor.depkes.go.id”Apotek Sebagai Badan Hukum”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
merupakan modal masukan untuk suatu perusahaan dan pemilik modal sarana sebagai pemasok modal untuk digunakan dalam usaha apotek.
Tata cara pemberian izin apotek tersebut di atas dalam prakteknya hanyalah berdasarkan pada peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922MenkesJPerX1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Adapun ketetapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang Apotek, tidak
mendapat perhatian walaupun peraturan pemerintah tersebut sampai saat mi masih tetap berlaku.
Menurut penulis pendirian badan usaha apotek itu sangat diperlukan, sebab dengan adanya badan usaha apotek berarti tercipta suatu wadah yang dapat
dipergunakan bagi profesi apoteker dan profesi kesehatan lainnya. Wadah badan usaha ini pula dapat digunakan sebagai sarana dimana kalangan swasta pengusaha
ikut serta dalam pembangunan kesehatan. Apabila badan usaha apotek berbentuk badan hukum, maka dapat memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana layaknya seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Gejala-gejala ini sangatlah penting untuk suatu apotek sehingga dapat dengan jelas kedudukan tanggung jawab apotek.
Bilamana badan usaha apotek berbadan hukum maka transaksi-transaksi yang dilakukan apotek selama ini, apotek tetap dianggap sebagai pihak, yang selama ini
telah berjalan dan diterima oleh konsumen. Apotek yang berbadan hukum,
Universitas Sumatera Utara
kedudukan apoteker sebagai penanggung jawab pengelola apotek sebagaimana layaknya pimpinan direksi pada perseroan terbatas.
Pada kenyataannya di lapangan perkembangan usaha apotek mengarah pada usaha yang berbadan hukum, hal ini dapat dilihat dari:
a. Pada umumnya apotek memiliki harta kekayaan yang terpisah baik terhadap harta kekayaan pemilik modal maupun harta kekayaan apoteker;
b. Pada umumnya apotek merupakan perkumpulan orang yang terorganisir dan mempunyai pengurus;
c. Pada umumnya apotek diterima oleh masyarakat dan dapat bertindak sebagai pihak dalam perjanjian transaksi yang dilakukannya;
d. Apotek memiliki hak dan kewajiban-kewajiban sebagat sarana kesehatan;
e. Bila dilihat dan pengertian, tugas dan fungsi apotek dimana apotek tidak hanya sebagai produsen dan distribusi obat, akan tetapi juga sebagai pemberi informasi
kesehatan dan sebagai tempat pendidikan, latihan dan penelitian. Dengan badan usaha apotek yang jelas serta kedudukan apoteker yang jelas
pula, maka tanggung jawab apotek tidak menimbulkan masalah lagi. Hal ini diharapkan adanya kepastian hukum sehingga terjamin kemudahan berusaha serta
pengawasan dalam penyelenggaraan apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek menegaskan
bahwa pengelola apotek menjadi tugas dan tanggung jawab apoteker; tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung
jawab seorang dokter.
Universitas Sumatera Utara
Menurut hemat penulis bahwa tugas dan tanggung jawab yang dimaksud adalah tugas dan tanggung jawab keprofesian yaitu apoteker bertanggung jawab
dalam melaksanakan tugas keprofesiannya pada suatu apotek. Ini tidak dapat ditafsirkan bahwa seluruh aktivitas apotek dan akibat hukum yang ditimbulkan di
apotek adalah menjadi tanggung jawab apoteker. Hal ini tidak memberikan rasa keadilan bagi seorang apoteker.
Sebab bila suatu apotek mengalami keuntungan, maka akan dinikmati secara bersama-sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek modal, akan tetapi bila
apotek mengalami kerugian harus memberikan ganti rugibertanggung jawab maka apotekerlah yang bertanggung jawab. Persoa1an ini timbul karena tidak jelas aturan
yang mengatur apotek.
83
Kedudukan apotek sudah tentu sebagai subyek hukum dalam suatu transaksi. Suatu subyek hukum berarti pendukung hak dan kewajiban. Bilamana timbul akibat-
akibat hukum dari transaksi perjanjian jual beli tersebut tidaklah dapat dikatakan bahwa apotek tersebut tidak mampu bertanggung jawab.
84
Kebiasaan ini berjalan terus dimana apotek diterima oleh masyarakat sebagai subyek hukum. Adapun
kedudukan apoteker dalam transaksi perjanjian jual beli tersebut, hanya sebagai pihak yang mewakili apotek.
Dari transaksi perjanjian jual beli yang penulis teliti, apotek sebagai pihak dan apoteker staf lain di apotek hanya sebagai pihak lain yang bertindak untuk, dan
83
Hermien Hardiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan- Asas-asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya
, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 28
84
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, h. 16
Universitas Sumatera Utara
atas nama apotek. Sehingga tidak dapat lagi dikatakan bahwa apotek tidak bertanggung jawab terhadap pihak yang merasa dirugikan.
Jika terjadi kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh apoteker pengelola atau apoteker pendampingpengganti atau asisten apoteker atau tenaga administrasi di
apotek yang dapat bertanggung jawab adalah apotek. Hal ini didasari dari kedudukan tenaga kesehatan dan tenaga administrasi tersebut adalah mewakili atau atas nama
apotek dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum di apotek. Dalam KUH Perdata ditegaskan bahwa majikan-majikan dan mereka yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-
bawahan mereka yang dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.
Mengenai tanggung jawab apotek bagi mereka yang mewakili urusan-urusan apotek apoteker pengelolapendampingpengganti, asisten apoteker, analis farmasi
dan tenaga administrasi, apotek bertanggung jawab terhadap pihak-pihak yang dirugikan untuk membayar ganti kerugian meskipun pihaknya apotek sama sekali
tidak terdapat sifat melanggar hukum atau kesalahan.
85
Dengan demikian tanggung jawab apotek terhadap mereka yang mewakili urusan-urusan apotek apoteker pengelolapendampingpengganti, asisten apoteker,
analis farmasi dan tenaga administrasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
85
http:apotekkita.com”Tanggung Jawab Apoteker”, 23 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
a. Berdasarkan pada hubungan apotek dengan mereka yang mewakili urusan-urusan apotek.
b. Bergantung pada keadaan bahwa perbuatan-perbuatan hukum itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas di apotek.
c. Disyaratkan adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak yang mewakili urusan-urusan apotek.
d. Tidak tergantung pada suatu pelanggaran norma atau kesalahan apotek. Pihak yang dirugikan cukup berpegang pada bukti perbuatan melanggar hukum atau
kesalahan mereka yang mewakili urusan-urusan apotek.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA HUKUM ANTARA PARA PIHAK JIKA TERJADI SENGKETA
DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK
3. Akibat Kegagalan Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker