Anatomi Klausul Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya. Pemilik sarana apotek atau pemilik modal tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban apoteker. Hal ini dikarenakan pemilik sarana apotek dalam suatu perjanjian kerjasama hanya berkewajiban menyediakan sarana dan prasana suatu bentuk usaha. Pemilik sarana apotek juga harus melaksanakan hak dan kewajibannya dengan iktikad baik. Berbeda dengan apoteker karena memiliki kewajiban sebagai pengelola apotek, kewajiban apoteker juga harus ditentukan oleh undang-undang, karena hal itu berhubungan dengan pihak ketiga, dalam hal ini konsumen.

2. Anatomi Klausul Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

Suatu perjanjian merupakan hasil kesepakatan antara para pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum dalam suatu perjanjian tercermin dari klausul-klausul atau pasal-pasal yang tertuang dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sah, dengan memenuhi pasal 1320 KUH Perdata. 23 Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, menempatkan 23 Budi Harry Prima, Op. Cit, 2008, h. 23. Universitas Sumatera Utara posisi para pihak dalam posisi seimbang. Artinya, para pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai kesepakatan yang telah ada. Secara umum, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek terdiri dari beberapa pasal, yaitu: Pasal 1 satu berisi mengenai para pihak bersepakat untuk mematuhi ketentuan dan persyaratan mengenai pendirian sebuah apotik sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Taahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332MenkesKepX2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922MenkesPerX1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 02401ASKX90, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 2 dua berisi mengenai pihak kedua pemilik sarana apotek menyediakan sarana-sarana apotek yang terdiri dari bangunan, perlengkapan apotek, perbekalan kesehatan dibidang farmasi sebagaimana terdapat dalam daftar perincian sarana yang akan diperbuat kedua belah pihak yang menjadi milik danatau berada dalam penguasaan pihak kedua. Dalam upaya membuka sebuah apotek yang baru berdiri, sering kali tertunda disebabkan oleh hal-hal kecil, baik yang terdapat dalam proses pemeriksaan kelengkapan sarana pendukung operasional ataupun berkas-berkas dalam mengajukan Universitas Sumatera Utara permohonan pendirian apotek. Untuk menghindari kekurangan yang ada, maka sebaiknya pemilik sarana apotek melakukan dua hal, yaitu menginventarisasi semua kebutuhan perlengkapan sarana pendirian apotek dan membeli sesuai dengan kebutuhan, menginventarisasi dan mengurus semua berkas-berkas yang dibutuhkan dalam pendirian dan pengelolaan apotek. Secara umum sarana dan prasana yang dimiliki oleh sebuah apotek yang dapat disediakan oleh pemilik sarana apotek adalah: a. Papan nama apotek b. Ruang tunggu yang nyaman c. Tersedianya tempat untuk mendisplay obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi konsumen d. Ruang racikan e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya f. Ruang tempat penyerahan obat g. Tempat pencucian alat 24 Pasal 3 tiga berisi mengenai pihak pertama apoteker berkewajiban melakukan pengelolaan apotek sesuai dengan fungsi dan profesinya sebagai seorang apoteker dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. 24 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010. Universitas Sumatera Utara Pemahaman pasal ini dimana apotek merupakan tempat pengabdian profesi seorang apoteker, sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, penyerahan obat dan pelayanan informasi kefarmasian yang dibutuhkan konsumen. Kewajiban pengelolaan apotek tidak mungkin dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai pendidikan keahlian kefarmasian, oleh karena apoteker yang hanya dapat mengelola apotek dan kegiatan apoteker harus didasaarkan pada kode etik profesi dan standar pelayanan profesi apoteker. Pasal 4 empat berisi mengenai pihak pertama adalah pimpinan apotik yang berhak dan berkewajiban serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan apotek, pengelolaan apotek mana meliputi bidang pelayanan kefarmasian, bidang material, bidang ketenagakerjaaan, bidang lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi apotek, satu dan lainnya sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri kesehatan. Dalam pasal tersebut, seorang apoteker dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan sistem prosedur operasional. Pengertian sistem ini meliputi cara-cara untuk mengawasi pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab suatu fungsi kegiatan yang ada di apotek. Struktur sistem yang umum terdapat di apotek terdiri dari fungsi-fungsi sebagai pusat pertanggungjawaban, antara lain sistem pembelian, sistem penjualan, sistem pelayanan, sistem pembukuan. 25 Pasal 5 lima berisi mengenai honorarium atas kewajibannya, pihak pertama berhak untuk mendapatkan honorarium setiap bulan yang jumlahnya diketahui dan 25 Muhammad Umar, Op. Cit, h.22. Universitas Sumatera Utara disepakati bersama dan dapat ditinjau kembali berdasarkan perkembangan apotek, pembayaran honorarium mulai berlaku pada saat apotek sudah berjalan operasional. Apoteker sebagai pihak yang memiliki keahlian tertentu, berhak mendapatkan honorarium apabila melaksanakan pekerjaanya dengan pihak lain pemilik sarana apotek. Hal ini karena pihak pemilik sarana apotek tidak akan dapat mendirikan usaha apotek, yang mana dalam pengelolaan apotek membutuhkan suatu keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh apoteker. Honorarium ini dapat ditinjau ulang berdasarkan perkembangan usaha apotek ini nantinya apakah memproleh laba atau rugi. Pasal 6 enam berisi mengenai apabila timbul perbedaan pendapat atau perselisihan diantara kedua belah pihak, sedapat mungkin diusahakan penyelesaiannya secara kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat, akan tetapi bila masih juga tidak terdapat persesuaian maka dapat ditempuh penyelesaiannya melalui badan arbitrase yang dibentuk bersama, badan arbitrase tersebut dibentuk dan terdiri dari tiga orang anggota, dimana masing-masing pihak memilih seorang anggota dan kedua orang yang terpilih tersebut memilih anggota ketiga. Dalam prakteknya, sengketa yang terjadi antara apoteker dengan pemilik sarana apotek secara umum dilakukan melalui musyawarah dan mediasi. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sangat jarang dilakukan oleh pihak- Universitas Sumatera Utara pihak yang bersengketa dikarenakan beracara melalui pengadilan proses penyelesaiannya lambat dan biaya cukup mahal. 26 Pasal 7 tujuh berisi mengenai perjanjian kerja sama berlaku untuk jangka waktu misalnya 3 tiga tahun, terhitung sejak ditandatanganinya akta ini. Pasal 8 delapan berisi mengenai dalam segala hal yang tidak cukup diatur dalam akta ini akan diputuskan oleh kedua belah pihak dengan perjanjian tersendiri. Pasal 9 sembilan berisi mengenai segala ongkos dan biaya pembuatan akta ini dipikul oleh pihak kedua. Dan pasal 10 sepuluh berisi mengenai para pihak memilih tempat tinggal yang tetap dan umum-mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Medan. Evaluasi jangka waktu lamanya perjanjian kerjasama biasanya dilihat berdasarkan laporan keuangan apotek. Apabila apotek tetap mendapatkan laba, maka perjanjian kerjasama dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya dan apabila apotek mengalami kerugian maka perjanjian kerjasama dapat dibatalkan. 27 Hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian kerjasama dapat disepakati tersendiri oleh apoteker dengan pemilik sarana apotek, misalnya dalam pemberian honorarium dapat berubah sesuai kesepakatan bersama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dan segala resiko dan akibat pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut menjadi tanggung jawab para pihak. 26 Wawancara dengan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010. 27 Wawancara Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 10 Mei 2010. Universitas Sumatera Utara

BAB III TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN

KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN

1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek