legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion.
2. Yurisdiksi Eksekutif. Yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan enforce
agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi,
misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain- lain. Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif executive jurisdiction.
Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction yurisdiksi pengadilan.
3. Yurisdiksi Yudikatif. Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang subyek hukum yang
melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.
J. Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara
1. Hukum Udara
Pada awalnya banyak yang berpendapat bahwa ruang udara mempunyai status yang analog dengan laut yaitu kedaulatan teritorial negara atas ruang udara
di atasnya dengan ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku rezim kebebasan seperti kedaulatan negara atas laut wilayah yang dilanjutkan dengan rezim
kebebasan di laut lepas. Pendapat yang diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena banyak negara menganggap
Universitas Sumatera Utara
ruang udara dalam keseluruhannya tetap ditundukkan pada kedaulatan negara yang berada di bawahnya.Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian
Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Mengenai kedaulatan negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von
Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu ; 1.
Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti lautan lepas 2.
Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki di atas bumi dengan status udara di atasnya yang bebas seperti di laut lepas.
3. Seluruh ruang udara di atas negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap
sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di negara-negara sahabat
4. Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas
ketinggian. Berdasarkan praktik dan perkembangan yang terjadi selama Perang Dunia I
maka status ruang udara nasional menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan
laut wilayah. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak ada hak lintas damai melalui ruang udara nasional. Yang ada hanyalah pemberian izin untuk
melakukan lintas udara baik secara unilateral atau berdasarkan persetujuan bilateral maupun melalui konvensi-konvensi multilateral kepada pesawat udara
sipil asing. Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya.
Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum
Universitas Sumatera Utara
Romawi yang berbunyi “cujust est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki
segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah” .Boer Mauna, Hukum Internasional,
Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global 2. Dasar Hukum
a. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi
Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi
tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939
mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar negara-negara di Benua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri konvensi udara
dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana, pada tanggal 20 Februari 1928. Namun, konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan
hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan. Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama
pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di samping itu, negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan
bilateral di antara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi.
Universitas Sumatera Utara
b. Konvensi Chicago 1944 Konvensi Chicago membahas tiga konsep yang saling berbeda yaitu :
1 Konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru.
2 Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free
enterprise. 3
Konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya
konsep Inggris diterima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrumen yaitu :
a. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional;
b. Persetujuan mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional;
c. Persetujuan mengenai Alat Angkutan Udara Internasional;
Konvensi Chicago kelihatannya diilhami oleh proyek Amerika Serikat yang menyarankan pengakuan terhadap lima kebebasan udara seperti berikut :
1. Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai innocent passage dan hak
mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasiperbaikan technical stop.
2. Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial
yaitu : a
Hak untuk menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat
udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju
wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut. c
Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak
lainnya. 3.
Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 12 :
“ Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia”
Pasal 5 :
“ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.”
Pasal 6 : “ Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian
nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.“
4. Undang-Undang No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1 1 :
“Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan
segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadapa keutuhan bangsa dan negara.”
Pasal 4 : “Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.”
Universitas Sumatera Utara
4. Peraturan Presiden No 5 tahun 2005 tentang Pengesahan Protocol On The
Authentic Quinquelingual Text Of The Convention On International Civil Aviation, Chicago 1944 Protokol Tentang Naskah Asli Bahasa Kelima Dari
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, Chicago 1944. c. Hubungan kedaulatan dengan wilayah
Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di dalam
wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.
68
Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart Co, 1956
Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut. Semua orang, benda yang berada atau peristiwa hukum
yang terjadi di suatu wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah tersebut.
69
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau Summa Potestas atau Supreme Power yang hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini
berlakulah adagium “Qui in territorio meo est, etiam meus subditus est”. Prinsip yang lahir dari pengertian kedaulatan teritorial ini adalah bahwa negara tersebut
harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh atau eksklusif atas wilayahnya.
Kedaulatan dan wilayah memiliki keterkaitan erat. D.P O’Connel berpendapat, karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah, maka
68
Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart Co, 1956 page. 8
69
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Bandung 2011, hal 7
Universitas Sumatera Utara
wilayah adalah konsep fundamental hukum internasional. S.T. Bernardez berpendapat, wilayah adalah prasyarat fisik untuk adanya kedaulatan teritorial.
Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak dan Kewajiban Negara menganggap wilayah sebagai salah satu unsur yang harus ada untuk adanya suatu Negara.
70
d. Pengelolaan Pertahanan Udara Wacana ancaman di wilayah perbatasan sejauh ini cenderung didominasi
oleh isu dan problem perbatasan darat dan laut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sejumlah kasus-kasus menonjol yang lebih sering mengemuka di
media atau terdeteksi secara terbuka berhubungan dengan wilayah perbatasan darat dan laut. Bergesernya patok perbatasan, aktivitas ekonomi dan rekrutmen
milisi, pelintas gelap dan penyelundupan, pencurian, hingga perdagangan pulau kepada sejumlah pemilik warga negara asing dan penguasaan pulau terluar oleh
negara jiran adalah sejumlah isu yang kerap muncul di media, menjadi perbincangan hangat dan agenda politik, keamanan dan pertahanan di masyarakat
hingga ke level parlemen dan pemerintah.
71
Struktur dan model ancaman terus berkembang seiring dengan perkembangan aktivitas politik, ekonomi dan rekayasa teknologi di pelbagai
negara. Awalnya perdebatan ancaman cenderung umum pada diskursus ancaman dari dalam negeri dan luar negeri serta pada siapa yang mengancam dan terancam.
Perkembangan politik dan teknologi kemudian memunculkan sejumlah ancaman kontemporer yang memiliki efek sama dahsyatnya atau bahkan lebih dari
serangan militer atau wabah penyakit, seperti embargo ekonomi, embargo udara,
70
Ibid
71
Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, 2011, hal 24
Universitas Sumatera Utara
operasi mata-mata surveillance dengan perangkat satelit, hingga ke penggunaan senjata biologis, terorisme, penyusupan, sabotase dan penyadapan arus
komunikasi. Gejala kompleksitas ancaman ini ditunjukkan dengan menurunnya eskalasi operasi militer yang bersifat klasik seperti invasi dan perang terbuka serta
meningkatnya perang asimetris melalui aksi-aksi yang lintas batas negara dan kewarganegaraan, langsung berada di jantung politik, ekonomi dan sosial suatu
negara. Hal lain yang mempengaruhi minimnya perhatian terhadap wilayah
perbatasan udara adalah terbatasnya aktivitas yang ‘diidentifikasi sebagai pelanggaran atau ancaman di wilayah udara misalnya hanya dikaitkan dengan
pelanggaran penerbangan atau pemantauan oleh radar negeri tetangga. Sejumlah kasus dan pelanggaran tidak jelas penyelesaiannya, baik yang ‘dikhabarkan’ akan
diselesaikan melalui jalur hukum maupun diplomasi. Sementara sejumlah ancaman lain menunggu di wilayah udara kita, seperti pengintaian, perlintasan
benda-benda asing dan pemanfaatan sumber daya alam di udara. Hal-hal semacam ini tidak dapat dianggap sepele, mengingat wilayah udara merupakan titik
strategis untuk mengamati atau memulai suatu tindakan militer yang berakibat fatal terhadap kedaulatan, keselamatan warga negara serta wilayah. Wilayah udara
juga mengandung sumber daya alam yang pada suatu saat dapat dimanfaatkan. Walaupun sejumlah arbitrase internasional dengan merujuk pada kasus yang
dianggap melanggar Konvensi Chicago 1944 misalnya dalam kasus-kasus
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran terhadap wilayah udara cenderung mengecewakan hasilnya, namun bukan berarti keseriusan untuk menanganinya menjadi terabaikan.
72
Lebih spesifik terkait pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan udara, problem problem yang bersifat teknis juga terjadi. Seperti diketahui, klaim
wilayah perbatasan udara kita mengkuti garis lurus vertikal wilayah perbatasan darat dan perairan atau konsep perbatasan tiga dimensi. Akibatnya penentuan
wilayah perbatasan udara terutama di perairan mengikuti konfigurasi perbatasan yang ada dan terpecah-pecah. Akibatnya pemantauan terhadap perbatasan udara
menjadi sulit karena factor kesulitan mengetahui secara pasti batasan antara ruang udara Indonesia dan ruang udara bebas di atas wilayah perairan internasional.
Undang-undang wilayah negara yang dimiliki oleh Indonesia tidak secara spesifik mengatur tentang ruang udara, yang disebutkan di dalam undang-undang
tersebut hanya mengatur tentang wilayah laut dan darat negara Indonesia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Chicago 1944 ke dalam bentuk
Peraturan Presiden No 5 tahun 2005. Secara otomatis negara Indonesia berperan aktif dan mengakui keberadaan Konvensi Chicago 1944 untuk itu maka negara
Indonesia harus bertindak tegas dalam menegakkan kedaulatan negara di ruang udara.
72
Ibid
Universitas Sumatera Utara
52
BAB III PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSA-BANGSA
DI DUNIA INTERNASIONAL
E. Sejarah Munculnya Hukum Udara Internasional
Berbeda dengan moda transportasi laut yang terlahir jauh sebelumnya, kelahiran moda transportasi udara, baru lahir sejak permulaan abad ke-17. Pada
saat itu Fransisco de lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di
Lisbanon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan,
73
sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada 1782. Black terbang juga dengan
balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavello pada 1782. Black terbang juga dengan balon yang diisi dengan gas.
Percobaan penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di perancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil
percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil
terbang melintasi Selat Calais dengan menggunakan balon bebas pada 1785 yang pernah digunakan untuk perang Franco-Prusia tahun 1870-1871 untuk
mengungsikan para pejabat negara. Sebenarnya jauh sebelum sebelum Perang
Franco-Prusia, pada 1852 Giffard telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap, kemudian pada 1884 Renard bersama Krebbs juga berhasil
73
Priyatna A., Kedauatan Negara di Ruang Udara, Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa,1972, hal 78
Universitas Sumatera Utara