Sintesis Porfirin Pembawa Gugus Karboksilat Sebagai Ligan Untuk Kit Radiofarmaka

(1)

TESIS

SINTESIS PORFIRIN PEMBAWA GUGUS KARBOKSILAT

SEBAGAI LIGAN UNTUK KIT RADIOFARMAKA

OLEH:

HENNY SRI WAHYUNI

NIM 087014016

PROGRAM STUDI MAGISTER DAN DOKTOR ILMU FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

SINTESIS PORFIRIN PEMBAWA GUGUS KARBOKSILAT

SEBAGAI LIGAN UNTUK KIT RADIOFARMAKA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Ilmu Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

HENNY SRI WAHYUNI

NIM 087014016

PROGRAM STUDI MAGISTER DAN DOKTOR ILMU FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : Henny Sri Wahyuni No. Induk Mahasiswa : 087014016

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Sintesis Porfirin Pembawa Gugus Karboksilat Sebagai Ligan Untuk Kit Radiofarmaka

Tempat dan Tanggal Ujian Lisan Tesis : Medan, 4 Agustus 2011

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Ketua, Anggota,

Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt Prof. Dr. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc. NIP 195306191983031001 NIP 131994284

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195409091982011001 NIP 195311281983031002


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Henny Sri Wahyuni No. Induk Mahasiswa : 087014016

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Sintesis Porfirin Pembawa Gugus Karboksilat Sebagai Ligan Untuk Kit Radiofarmaka

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji Tesis pada hari Kamis, tanggal 4, bulan Agustus, tahun 2011

Mengesahkan:

Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt. Anggota Tim penguji : Prof. Dr. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc.

Dr. M. Pandapotan NST,MPS., Apt.


(5)

ABSTRAK

Senyawa porfirin dan turunannya banyak dipelajari sebagai fotosensitizer dalam terapi fotodinamik sebagai salah satu metode pengobatan dan diagnosa kanker ataupun tumor. Porfirin dapat dimodifikasi strukturnya baik pada substituen meso atau pada pusat molekulnya melaui kompleksasi dengan ion logam sehingga mudah dilabel dengan radionuklida. Selain dapat meningkatkan kelarutan, modifikasi struktur molekul porfirin juga dapat diarahkan untuk mendesain senyawa ligan dalam pembuatan kit radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi kanker.

Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis senyawa porfirin dengan substituen meso yang mengandung gugus yang dapat dilabel sebagai kandidat senyawa ligan yang akan dikembangkan menjadi kit radiofarmaka dalam diagnosis kanker. Sintesis senyawa porfirin menggunakan 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid, pirol dan 4-piridinkarboksaldehid dalam asam propanoat dilakukan pada suhu 150oC-160oC selama 4 jam pada lingkungan atmosfer nitrogen. Karakterisasi senyawa porfirin yang dihasilkan berdasarkan titik leleh, spektrum sinar tampak, spektrum infra merah, dan spektrum 1H RMI.

5,10,15,20-tetrakis(piridil)porfirin (H2TPyP) dan

5,10-bis(piridil)-15,20-bis[(3-hidroksi-4-karboksimetilenoksi)fenil]porfirin (H2BPyCP). H2TPyP berupa

serbuk ungu yang meleleh pada suhu di atas 300oC. Panjang gelombang absorpsi maksimum (λmax/nm) pada spektrum sinar tampak adalah 416, 512, 545, 587, dan

642. Spektrum infra merah (cm-1) menunjukkan adanya pita =NH pada 3367,1 dan C=C pada 1457,9.Pergeseran kimia ( /ppm) H2TPyP dengan 1H RMI (500

MHz, CDCl3, TMS) adalah –2,93 (s, 2H, inner N-H), 7,12 (s, 8H, pirol -H),

8,16-8,17 (d, 8H, piridin 2-H dan 4-H), 9,07-9,08 (d, 8H, piridin 1-H dan 5-H). H2TPyP dapat disintesis dengan rendemen sebesar 10,4% (51 mg). H2BPyCP

berupa serbuk hijau kecoklatan yang meleleh pada suhu 192oC-195oC. Panjang gelombang absorpsi maksimum (λmax/nm) pada spektrum sinar tampak adalah

415, 511, 546, 588, dan 644. Spektrum infra merah (cm-1) menunjukkan adanya gugus OH dari COOH pada 3428,8, C=O pada 1558,2 dan CO pada 1415,49. Pergeeseran kimia ( /ppm) 1H-RMI (500 Hz, D2O/DMSO, TMS) menunjukkan

sinyal geseran kimia proton pada –3,09 (s, 2H, inner N-H), 4,62 (s, 4H, CH2

pada benzen karboksilat), 7,02-7,03 (d, 2H, benzen karboksilat 1’-H), 7,33 (s, 2H, benzen karboksilat 4’-H), 7,45-7,46 (d, 2H, benzen karboksilat 2’-H), 7,72-7,73 (d, 4H, piridin 2-H dan 4-H), 8,45 (s, 4H, pirol -H), 8,59-8,61 (d, 4H, piridin 1-H dan 5-H), 9,69 (s, 4H, pirol -H). Senyawa H2BPyCP dapat disintesis

dengan rendemensebesar 33,42% (213 mg).


(6)

ABSTRACT

Porphyrin and its derivatives are widely investigated as photosensitizers for photodynamic therapy in diagnoses and treatment of cancer or tumor. Structure of the porphyrin can be modified either at the meso position or in the center of the molecule with metal ions thus it is easily labeled with small radionuclides. Beside to improve its solubility, modification of the molecular structure of porphyrin can also be used to design ligand for radiopharmaceutical kit for the diagnosis and therapy of cancer.

The purposes of this research was to synthesize porphyrin with meso -substituent which bearing function group for labelling with radionuclide as ligand candidate to be developed as a radiopharmaceutical kits for cancer diagnosis. Synthesis of porphyrin was performed using 4-caboxymethylenoxybenzaldehyde, pyrrole and 4-pyridinecarboxaldehyde in propionic acid and was conducted at temperature of 150oC-160oC for 4 hours in nitrogen atmosphere. Reaction produced 5,10,15,20-tetrakis(pyridyl)porphyrin (H2TPyP) and

5,10-bis(pyridyl)-15,20-bis[(3-hydroxy-4-carboxymetilenoxy)phenyl]porphyrin (H2BPyCP). Caracterizations of

synthesized porphyrins were based on melting point, visible absorption spectrum, infra-red spectrum and the 1H-NMR spectrum.

H2TPyP is purple solid (51 mg, 10.35% yield) with melting point of

above 300oC. It has maximum absorption at wavelengths (λmax/nm) of 416, 512,

545, 587, and 642. Infra-red spectrum (cm-1) showed a band of =NH at 3367.1 and C=C at 1457.92.Chemical shifts ( /ppm) of H2TPyP (1H-NMR, 500 MHz,

CDCl3, TMS) were –2.93 (s, 2H, inner N-H), 7.12 (s, 8H, pyrrol -H), 8.16-8.17

(d, 8H, pyridine 2-H dan 4-H), 9.07-9.08 (d, 8H, pyridine 1-H and 5-H). H2BPyCP was brownish green solid (213 mg, 33.42% yield) with melting point

of 192oC-195oC. Maximum absorption wavelengths (λmax/nm) of H2BPyCP were

415, 511, 546, 588, and 644. Infra-red spectrum (cm-1) showed a band of OH group of –COOH at 3428.81, C=O at 1558.2 and CO at 1415.49. Chemical shifts ( /ppm) of H2BPyCP(1H-NMR, 500 Hz, D2O/DMSO, TMS) were –3.09 (s, 2H,

inner N-H), 4.62 (s, 4H, CH2 of benzene), 7.02-7.03 (d, 2H, benzene 1’-H), 7.33

(s, 2H, benzene 4’-H), 7.45-7.46 (d, 2H, benzene 2’-H), 7.72-7.73 (d, 4H, pyridine 2-H dan 4-H), 8.45 (s, 4H, pyrrol -H), 8.59-8.61 (d, 4H, pyridine 1-H and 5-H), 9.69 (s, 4H, pyrrol -H).


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Sintesis

Porfirin Pembawa Gugus Karboksilat Sebagai Ligan Untuk Kit Radiofarmaka” sebagai

salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt dan Prof. Dr. Daryono

Hadi Tjahjono, M.Sc. sebagai pembimbing, atas segala saran, bimbingan, dan nasehatnya selama penelitian berlangsung dan selama penulisan tesis ini.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.

Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.

3. Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Bapak Prof.  Dr.

Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Slamet Ibrahim Surantaatmadja (KK Farmakokimia-Fakultas Farmasi ITB) atas kesediaannya memberikan izin penggunaan fasilitas laboratorium Farmakokimia ITB selama penelitian demi menyelesaikan tesis ini.


(8)

4. Ibu Sofa Fajriani atas bantuannya dalam pengukuran spektrum RMI di LIPI

Serpong.

5. Orangtua, keluarga tercinta, Bapak Fauzan Zein, Ibu Asmiyenti Djaliasrin,

dan teman-teman seperjuangan di Pascasarjana Sekolah Farmasi ITB dan USU yang telah bersedia membantu, memberikan doa dan dukungan moral selama penulis menyelesaikan tesis ini.

6. Staf dan karyawan Sekolah Farmasi ITB dan USU yang telah banyak

membantu selama penulis menyelesaikan tesis ini.

Serta buat semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penelitian tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, September 2011 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN TESIS ... iii

PENGESAHAN TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan masalah ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6


(10)

2.1.1 Sintesis Porfirin ... 7

2.1.2 Aksi Fotodinamik ... 8

2.2 Modifikasi Molekul ... 9

2.3 Radiofarmasi ... 10

2.4 Kromatografi ... 11

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 11

2.4.2 Kromatografi Kolom... 12

2.4.3 Kromatografi Pertukaran Ion ... 13

2.5 Spektrofotometri Ultra Violet dan Tampak ... 13

2.6 Spektrofotometri Infra Merah ... 15

2.7 Spektrometri Resonansi Magnet Inti (RMI) ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1 Desain Penelitian ... 19

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.3 Alat-alat... 19

3.4 Bahan-bahan... 20

3.5 Pelaksanaan Penelitian ... 20

3.5.1 Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat ... 20

3.5.2 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat ... 21

3.5.2.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat ... 21

3.5.2.2 Karakterisasi Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat ... 21


(11)

3.5.2.2.2 Analisis Spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI .... 22

3.5.3 Sintesis Senyawa Porfirin ... 22

3.5.4 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Porfirin ... 22

3.5.4.1 Pemisahan Zat Hasil Sintesis Senyawa Porfirin ... 22

3.5.4.2 Pemisahan Pita 4 Hasil Kromatografi Kolom... 23

3.5.4.3 Pemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom ... 23

3.5.4.3.1 Pemurnian Pita 4 dengan Kromatografi Kolom Resin Ion Exchange ... 23

3.5.4.3.2 Rekristalisasi Pita 1 dan Pita 4 ... 23

3.5.4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom... 24

3.5.4.4.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 1 ... 24

3.5.4.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 4 ... 24

3.5.4.4.3 Penentuan Titik Lebur... 25

3.5.4.5 Karakterisasi Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom... 25

3.5.4.5.1 Analisis Spektrum Serapan UV-Vis ... 25

3.5.4.5.2 Analisis Spektrum Infra Merah... 25

3.5.4.5.3 Analisis Spektrum 1H-RMI... ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 53


(12)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Singkatan Nama Pemakaian

pertama kali pada halaman

RMI H2TPyP

H2BPyCP

UV Vis PDT DNA KLT Rf IR KLTKT NMR 2D LAMBANG λmaks A l c

Resonansi Magnetik Inti

5,10,15,20-tetrakis(piridil)porfirin 5,10-bis(piridil)-15,20-bis[(3-hidroksi-4-karboksimetilenoksi)fenil]porfirin Ultraviolet

Visible

Photo Dynamic Therapy Deoxyribonuclei acid

Kromatografi Lapis Tipis

Retardation factor Infra Red

Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi

Nuclear Magnetic Resonance

Dua dimensi

Panjang gelombang maksimum Pergeseran kimia

Absorptivitas molar Absorbansi

Tebal larutan/tebal kuvet Konsentrasi larutan v v v v xi xi 1 2 4 4 4 11 20 53 v v 8 15 15 15


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Nilai Rf 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid Pada Berbagai Komposisi Pengembang ... 28 Tabel 4.2 Bilangan Gelombang dan Gugus Fungsi

3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid... 30 Tabel 4.3 Nilai Rf Senyawa Pita 1 Pada Berbagai Komposisi

Pengembang ... 39 Tabel 4.4 Nilai Rf Senyawa Pita 4 Pada Berbagai Komposisi

Pengembang ... 41 Tabel 4.5 Bilangan Gelombang Dan Gugus Fungsi Senyawa

Porfirin Pita 1 ... 45 Tabel 4.6 Bilangan Gelombang Dan Guus Fungsi Senyawa

Porfirin Pita 4 ... 46 Tabel 4.7 Interpretasi Pergeseran Kimia Dengan Struktur Yang

Beresonansi Pada Senyawa Pita 1... 48 Tabel 4.8 Interpretasi Pergeseran Kimia Dengan Struktur Yang


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Struktur Kimia Senyawa Kationik Porfirin

dengan meso-substituen ... 2

Gambar 1.2 Modifikasi Struktur Senyawa Kationik Porfirin dengan meso-substituen piridin dan karboksilat... 3

Gambar 2.1 Cincin Tetrapirol Porfirin... 6

Gambar 2.2 Spektrum Sinar Tampak Senyawa Porfirin... 7

Gambar 2.3 Energi Transisi Elektronik ... 14

Gambar 4.1 Skema Reaksi Sintesis 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid... 27

Gambar 4.2 Kromatogram KLT Identifikasi Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat dengan Pendeteksi UV 254 nm ... 28

Gambar 4.3 Kromatogram KLT Uji Kemurnian Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat dengan Pendeteksi UV 254 nm ... 29

Gambar 4.4 Spektrum Infra Merah 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid... 30

Gambar 4.5 Spektrum 1H-RMI 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid dalam Pelarut D2O ... 31

Gambar 4.6 Spektrum 13C-RMI 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid Dalam Pelarut D2O ... 32


(15)

Gambar 4.7 Reaksi Sintesis Porfirin ... 35

Gambar 4.8 Kromatogram KLT Pemisahan Pita 4 Dengan Fase Diam Silika gel F254 dan Pengembang Etil Asetat-Metanol (1:2) .... 37

Gambar 4.9 Kromatogram KLT Identifikasi Pita 1 Dengan Pendeteksi UV 254 nm ... 38

Gambar 4.10 Kromatogram KLT Uji Kemurnian Senyawa Porfirin Pita 1 dengan Pendeteksi UV 254 nm... 39

Gambar 4.11 Kromatogram KLT Identifikasi Pita 4 dengan Pendeteksi UV 254 nm... 40

Gambar 4.12 Kromatogram KLT Uji Kemurnian Seyawa Porfirin Pita 4 dengan Pendeteksi UV 254 nm... 42

Gambar 4.13 Spektrum Serapan Sinar Tampak Senyawa Porfirin Pita 1... 43

Gambar 4.14 Spektrum Serapan Sinar Tampak Senyawa Porfirin Pita 4... 43

Gambar 4.15 Spektrum Infra Merah Senyawa Porfirin Pita 1 ... 45

Gambar 4.16 Spektrum Infra Merah Senyawa Porfirin Pita 4 ... 46

Gambar 4.17 Spektrum 1H-RMI Senyawa Porfirin Pita 1 ... 47


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran1. Perbandingan Spektrum Infra Merah Senyawa Pita1

(dengan keempat substituen piridin) dengan

Bahan baku tetra metil piridil porfirin para toluensulfonat ... 57 Lampiran 2. Spektrum 1H-RMI bahan baku


(17)

ABSTRAK

Senyawa porfirin dan turunannya banyak dipelajari sebagai fotosensitizer dalam terapi fotodinamik sebagai salah satu metode pengobatan dan diagnosa kanker ataupun tumor. Porfirin dapat dimodifikasi strukturnya baik pada substituen meso atau pada pusat molekulnya melaui kompleksasi dengan ion logam sehingga mudah dilabel dengan radionuklida. Selain dapat meningkatkan kelarutan, modifikasi struktur molekul porfirin juga dapat diarahkan untuk mendesain senyawa ligan dalam pembuatan kit radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi kanker.

Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis senyawa porfirin dengan substituen meso yang mengandung gugus yang dapat dilabel sebagai kandidat senyawa ligan yang akan dikembangkan menjadi kit radiofarmaka dalam diagnosis kanker. Sintesis senyawa porfirin menggunakan 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid, pirol dan 4-piridinkarboksaldehid dalam asam propanoat dilakukan pada suhu 150oC-160oC selama 4 jam pada lingkungan atmosfer nitrogen. Karakterisasi senyawa porfirin yang dihasilkan berdasarkan titik leleh, spektrum sinar tampak, spektrum infra merah, dan spektrum 1H RMI.

5,10,15,20-tetrakis(piridil)porfirin (H2TPyP) dan

5,10-bis(piridil)-15,20-bis[(3-hidroksi-4-karboksimetilenoksi)fenil]porfirin (H2BPyCP). H2TPyP berupa

serbuk ungu yang meleleh pada suhu di atas 300oC. Panjang gelombang absorpsi maksimum (λmax/nm) pada spektrum sinar tampak adalah 416, 512, 545, 587, dan

642. Spektrum infra merah (cm-1) menunjukkan adanya pita =NH pada 3367,1 dan C=C pada 1457,9.Pergeseran kimia ( /ppm) H2TPyP dengan 1H RMI (500

MHz, CDCl3, TMS) adalah –2,93 (s, 2H, inner N-H), 7,12 (s, 8H, pirol -H),

8,16-8,17 (d, 8H, piridin 2-H dan 4-H), 9,07-9,08 (d, 8H, piridin 1-H dan 5-H). H2TPyP dapat disintesis dengan rendemen sebesar 10,4% (51 mg). H2BPyCP

berupa serbuk hijau kecoklatan yang meleleh pada suhu 192oC-195oC. Panjang gelombang absorpsi maksimum (λmax/nm) pada spektrum sinar tampak adalah

415, 511, 546, 588, dan 644. Spektrum infra merah (cm-1) menunjukkan adanya gugus OH dari COOH pada 3428,8, C=O pada 1558,2 dan CO pada 1415,49. Pergeeseran kimia ( /ppm) 1H-RMI (500 Hz, D2O/DMSO, TMS) menunjukkan

sinyal geseran kimia proton pada –3,09 (s, 2H, inner N-H), 4,62 (s, 4H, CH2

pada benzen karboksilat), 7,02-7,03 (d, 2H, benzen karboksilat 1’-H), 7,33 (s, 2H, benzen karboksilat 4’-H), 7,45-7,46 (d, 2H, benzen karboksilat 2’-H), 7,72-7,73 (d, 4H, piridin 2-H dan 4-H), 8,45 (s, 4H, pirol -H), 8,59-8,61 (d, 4H, piridin 1-H dan 5-H), 9,69 (s, 4H, pirol -H). Senyawa H2BPyCP dapat disintesis

dengan rendemensebesar 33,42% (213 mg).


(18)

ABSTRACT

Porphyrin and its derivatives are widely investigated as photosensitizers for photodynamic therapy in diagnoses and treatment of cancer or tumor. Structure of the porphyrin can be modified either at the meso position or in the center of the molecule with metal ions thus it is easily labeled with small radionuclides. Beside to improve its solubility, modification of the molecular structure of porphyrin can also be used to design ligand for radiopharmaceutical kit for the diagnosis and therapy of cancer.

The purposes of this research was to synthesize porphyrin with meso -substituent which bearing function group for labelling with radionuclide as ligand candidate to be developed as a radiopharmaceutical kits for cancer diagnosis. Synthesis of porphyrin was performed using 4-caboxymethylenoxybenzaldehyde, pyrrole and 4-pyridinecarboxaldehyde in propionic acid and was conducted at temperature of 150oC-160oC for 4 hours in nitrogen atmosphere. Reaction produced 5,10,15,20-tetrakis(pyridyl)porphyrin (H2TPyP) and

5,10-bis(pyridyl)-15,20-bis[(3-hydroxy-4-carboxymetilenoxy)phenyl]porphyrin (H2BPyCP). Caracterizations of

synthesized porphyrins were based on melting point, visible absorption spectrum, infra-red spectrum and the 1H-NMR spectrum.

H2TPyP is purple solid (51 mg, 10.35% yield) with melting point of

above 300oC. It has maximum absorption at wavelengths (λmax/nm) of 416, 512,

545, 587, and 642. Infra-red spectrum (cm-1) showed a band of =NH at 3367.1 and C=C at 1457.92.Chemical shifts ( /ppm) of H2TPyP (1H-NMR, 500 MHz,

CDCl3, TMS) were –2.93 (s, 2H, inner N-H), 7.12 (s, 8H, pyrrol -H), 8.16-8.17

(d, 8H, pyridine 2-H dan 4-H), 9.07-9.08 (d, 8H, pyridine 1-H and 5-H). H2BPyCP was brownish green solid (213 mg, 33.42% yield) with melting point

of 192oC-195oC. Maximum absorption wavelengths (λmax/nm) of H2BPyCP were

415, 511, 546, 588, and 644. Infra-red spectrum (cm-1) showed a band of OH group of –COOH at 3428.81, C=O at 1558.2 and CO at 1415.49. Chemical shifts ( /ppm) of H2BPyCP(1H-NMR, 500 Hz, D2O/DMSO, TMS) were –3.09 (s, 2H,

inner N-H), 4.62 (s, 4H, CH2 of benzene), 7.02-7.03 (d, 2H, benzene 1’-H), 7.33

(s, 2H, benzene 4’-H), 7.45-7.46 (d, 2H, benzene 2’-H), 7.72-7.73 (d, 4H, pyridine 2-H dan 4-H), 8.45 (s, 4H, pyrrol -H), 8.59-8.61 (d, 4H, pyridine 1-H and 5-H), 9.69 (s, 4H, pyrrol -H).


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kanker menjadi penyebab kematian sekitar 7 juta penduduk dunia pada tahun 2008 dengan jumlah kasus baru pada tahun yang sama sekitar 12 juta (Boyle dan Levin, 2008).

Selama ini penanganan/pengobatan penyakit kanker dilakukan dengan penyinaran, kemoterapi, atau kombinasi keduanya, dan pengangkatan jaringan kanker. Pengobatan dengan penyinaran hingga kini masih belum dapat memberikan hasil yang memuaskan, sedangkan kemoterapi sering menimbulkan/menginduksi kanker primer kedua sebagai akibat dari sifat karsinogenik yang umumnya juga dimiliki oleh senyawa yang digunakan. Demikian juga pengangkatan jaringan kanker juga masih sering tidak sempurna (Penn, 1986). Oleh karena itu, usaha untuk menemukan senyawa baru dengan aktivitas antikanker yang aman dalam penggunaannya dan pengembangan teknik penanganan penyakit kanker sangat giat dilakukan oleh industri farmasi dan pusat-pusat riset di seluruh dunia.

Porfirin dan turunannya telah banyak dipelajari sebagai fotosensitizer untuk terapi fotodinamik sebagai salah satu metode pengobatan kanker maupun tumor (Bonnet, 2000; Hargus, 2005). Turunan porfirin ini memiliki toksisitas yang rendah untuk jaringan yang sehat dan kelarutannya juga rendah dalam air (Kralova et al., 2010). Karena keefektifan porfirin untuk PDT, namun kelarutan


(20)

yang rendah maka beberapa penelitian banyak mensintesis turunan porfirin yang dimodifikasi strukturnya, bentuk kationiknya serta memformulasinya dengan suatu pembawa yang dapat meningkatkan kelarutan porfirin dalam air (Kralova

et. al. 2010; Schiavon, et al. 2000; Tjahjono, et. al., 1999, 2000).

Dari penelitian sebelumnya telah disintesis senyawa kationik porfirin dengan meso-substituen aromatis bercincin lima, yaitu imidazolium dan

pyrazolium (Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Struktur kimia senyawa kationik porfirin dengan meso-substituen: (a) pyridinium, (b) imidazolium dan (c) pyrazolium; M = H2, Cu(II), Zn(II),

Ni(II), Mn(III) (Tjahjono, et. al., 1999, 2000).

Senyawa ini dapat memodifikasi struktur dan sifat fisik DNA melalui interaksi non-kovalen dan sekaligus mampu memotong DNA secara selektif dan efektif (Tjahjono, et.al., 1999, 2000, 2001, 2006). Disamping itu senyawa

kationik porfirin telah diketahui dapat berikatan secara selektif dengan sel kanker dan/atau DNA sel kanker dan mempunyai konstanta ikatan lebih besar dibanding dengan DNA sel normal (Izbicka, et.al., 1999; Hurley, et.al., 2000).

Senyawa porfirin dapat dimodifikasi struktur kimianya, baik pada meso

-substituennya, atau pada pusat molekulnya dengan ion logam. Oleh karena itu senyawa ini dengan mudah dilabel dengan radionuklida, baik pemancar maupun pemancar , sehingga senyawa turunan kationik porfirin dapat


(21)

digunakan sebagai ligan untuk pembuatan kit radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi kanker. Namun demikian, karena radionuklida baik pemancar maupun pemancar , seperti 99mTc dan 188Re memiliki radius atom yang cukup besar maka koordinasi radionuklida tersebut dengan keempat inner nitrogen sangat

sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama (Tjahjono, dkk., 2006). Oleh karena itu salah satu alternatif untuk melabel senyawa kationik porfirin adalah dengan menambahkan atom pendonor pada substituen meso yang dapat

membentuk ikatan koordinasi dengan radionuklida tersebut, seperti struktur yang sedang dikembangkan saat ini (Gambar I.2)

R

NH N

HN N

R1 R1

R N

R = = R2

OH

R1

R2 = -OCH2COOH

Gambar 1.2. Modifikasi struktur senyawa kationik porfirin dengan

meso-substituen piridinium dan karboksilat

Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendesain dan mensintesis senyawa porfirin dengan substituen meso yang

berbeda yang dapat dilabel dengan radionuklida pemancar  sebagai calon ligan dalam formulasi kit radiofarmaka untuk diagnosis kanker.


(22)

1.2Kerangka Pikir Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat

Parameter

KLT:  Harga Rf

Kromatografi Kolom Rekristalisasi:  Titik lebur Elusidasi struktur:  Spektrofotometri

UV-Vis

 Spektrofotometri IR

 RMI Senyawa benzaldehid

karboksilat

Senyawa porfirin

Senyawa piridylaldehid

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dijabarkan di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah apakah senyawa porfirin dengan substituen

meso yang memiliki gugus yang dapat dilabel dengan radionuklida dapat

disintesis untuk menjadi calon senyawa ligan yang akan dikembangkan menjadi kit radiofarmaka untuk diagnosis kanker?


(23)

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah senyawa porfirin dengan substituen meso yang memiliki gugus

yang dapat dilabel dengan radionuklida dapat disintesis untuk menjadi calon senyawa ligan yang akan dikembangkan menjadi kit radiofarmaka untuk diagnosis kanker.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mensintesis senyawa porfirin dengan substituen meso yang yang memiliki gugus yang dapat dilabel dengan

radionuklida sebagai calon senyawa ligan yang akan dikembangkan menjadi kit radiofarmaka untuk diagnosis kanker.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang farmasi dan kedokteran, dan dalam jangka panjang diharapkan akan membantu masyarakat dalam memperoleh kemudahan dan terjangkaunya biaya diagnosis dan terapi kanker.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Porfirin

Porfirin merupakan suatu senyawa organik yang banyak terdapat di alam. Paling dikenal sebagai pigmen dalam sel darah merah. Porfirin merupakan senyawa aromatik heterosiklik makrosiklik yang tersusun oleh empat cincin pirol dan dihubungkan oleh empat jembatan metin interpirol. Struktur cincin tetrapirol pada porfirin ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Adanya jembatan metin akan menghasilkan senyawa makrosiklik porfirin dengan ikatan rangkap yang terkonjugasi (Ongayi, 2005).

Gambar 2.1 Cincin tetrapirol porfirin.

Porfirin memiliki karakteristik berupa kristal berwarna ungu tua yang dalam kloroform akan memberikan larutan berwarna ungu kemerahan dan menunjukkan fluoresensi merah yang kuat pada radiasi daerah ultraviolet. Porfirin merupakan senyawa berbentuk planar, larut sempurna dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (karena sifat hidrofobiknya). Spektrum sinar


(25)

tampak porfirin sangat khas. Pada sekitar 400 nm terdapat puncak yang kuat ( ~ 200000) disebut puncak Soret atau B, sedangkan di daerah 500-600 nm biasanya terdapat 4 pita yang berbeda, yang disebut puncak Q seperti yang terdapat pada gambar 2.2 (Bonnett, 2000).

Gambar 2.2. Spektrum Sinar Tampak Senyawa Porfirin

Variasi yang terjadi pada gugus samping dari cincin porfirin, pembentukan kompleks dengan logam, dan perubahan pH akan mengakibatkan sedikit pergeseran pada intensitas dan panjang gelombang absorpsi, yang umumnya hanya mempengaruhi puncak Q, sedangkan apabila cincin porfirin rusak, akan mengakibatkan hilangnya puncak Soret. Setiap sistem tetrapirol bersifat unik sehingga akan memiliki warna yang berbeda-beda (Jiao, 2007).

2.1.1 Sintesis Porfirin

Sintesis kimia senyawa porfirin merupakan subjek yang berkembang dengan baik. Metode dasar untuk sintesis porfirin pertama kali dikembangkan oleh Hans Fischer. Sampai dengan saat ini, beberapa metode telah dikembangkan untuk mensintesis porfirin dari berbagai senyawa, seperti tetramerisasi monopirol dengan katalis asam (metode Lindsey dan Adler), kondensasi dari dua


(26)

dipirometan (metode Fischer dan metode MacDonald), dan siklisasi dari rantai tetrapirol yang terbuka. Substituen divariasikan untuk memberikan jangkauan dari kemampuan ikatan hidrogen untuk mengubah kelarutan, polaritas, dan interaksi dengan sisi reseptor (Bonnett, 2000; Gottumukkala, 2006).

2.1.2 Aksi Fotodinamik

Aksi fotodinamik merupakan ungkapan dari efek fotodinamik, yakni perusakan jaringan hidup oleh radiasi sinar tampak dengan keberadaan fotosensitizer dan oksigen. Porfirin memiliki tiga keuntungan secara umum sebagai zat fotodinamik yaitu: absorbsi yang kuat di daerah sinar tampak, sehingga bahan yang dibutuhkan hanya sedikit; stabilitas terhadap cahaya; dan secara umum toksisitasnya rendah dalam kondisi gelap (Bonnett, 2000).

Terapi fotodinamik merupakan teknik terapi yang mengkombinasikan akumulasi fotosensitizer pada sel target dengan penyinaran, oleh karena itu teknik terapi ini selektif. Radiasi yang diberikan akan menembus jaringan tubuh, menyebabkan fotosensitizer tereksitasi yang kemudian akan bereaksi dengan molekul oksigen dan substrat dan menghasilkan spesi yang sangat sitotoksik, seperti oksigen singlet, anion superoksida, dan radikal hidroksi, yang akan menyebabkan kerusakan sel tumor (Pandey dan Zheng, 2000).

Kation porfirin juga dapat bertindak sebagai penghambat telomerase manusia, suatu reseptor untuk peptida dan pembelah DNA. Sejauh ini meso

-tetrakis(N-metil-piridinium-4-yl)porfirin (H2TMPyP) dan derivatnya dikenal

sebagai kation porfirin dengan substituen siklik bercincin 6 pada posisi meso.


(27)

interkalasi dan dua mode ikatan pada sisi luar DNA. Mode ikatan luar yang pertama adalah ikatan sisi luar dengan penempatan porfirin pada celah minor melalui interaksi elektronik dengan gugus fosfat, dan mode ikatan luar kedua dari interaksi di sisi luar adalah porfirin teragregasi disepanjang untai DNA. Pada umumnya ikatan porfirin terhadap DNA distabilkan oleh interaksi elektronik antara substituen meso yang bermuatan positif pada perifer porfirin dan muatan

negatif atom oksigen-fosfat dari DNA (Tjahjono et al., 2000).

Kation porfirin terutama TMPyP4 merupakan penghambat telomerase pada konsentrasi mikromolar rendah. Lebih jauh lagi porfirin ini relatif non toksik terhadap sel (baik tumor dan normal) pada level yang dapat menghambat telomerase. Telemorase sudah menunjukkan peranan langsung dalam mitosis, suatu blok fisik dalam pemisahan kromosom anafase yang disebabkan oleh mutasi dari model telomerase. Suatu implikasi dari hal ini adalah bahwa porfirin (sebagai agen interaktif telomere) dapat menangkap sel-sel dalam mitosis (Izbicka, et al.,1999).

2.2 Modifikasi Molekul

Modifikasi molekul merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang dikehendaki, antara lain yaitu meningkatkan aktivitas obat, menurunkan efek samping atau toksisitas, meningkatkan selektivitas obat, memperpanjang masa kerja obat, meningkatkan kenyamanan penggunaan obat dan meningkatkan aspek ekonomis obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000).


(28)

Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000), dasar modifikasi molekul adalah mengembangkan struktur senyawa induk yang telah diketahui aktivitas biologisnya, kemudian disintesis dan diuji aktivitas homolog atau analognya. Modifikasi molekul mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut:

a. Kemungkinan besar senyawa homolog atau analog mempunyai sifat farmakologi serupa dengan senyawa induk, dibanding dengan senyawa yang didapatkan dengan cara seleksi atau sintesis secara acak.

b. Kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan produk dengan aktivitas farmakologi lebih tinggi.

2.3 Radiofarmasi

Menurut Depkes RI (1979), sediaan radiofarmasi adalah sediaan yang mengandung satu jenis radionuklida atau lebih. Nuklida merupakan jenis atom yang dapat dikenal karena:

a. Banyaknya proton dan netron yang terdapat dalam inti atomnya b. Tingkat energi tinggi.

Bahan radioaktif sering dihubungkan dengan pengobatan kanker. Oleh karena itu, hampir 80% digunakan dalam tehnik diagnosa untuk jangkauan penyakit yang luas. Radionuklida digunakan dalam pengobatan yang memiliki batas kehidupan fisik yang berarti bahwa radioaktivitasnya berkurang dengan cepat (Pandey dan Zheng, 2000).


(29)

2.4 Kromatografi

Kromatografi merupakan cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair, dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat (Johnson dan Stevenson, 1991).

Pada hakikatnya kromatografi digunakan untuk pemakaian kualitatif, kuantitatif, dan preparatif. Pertama, pemakaian kromatografi secara kualitatif mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan. Campuran dikromatografi pada berbagai kondisi dan bahkan dengan beberapa cara atau cara gabungan. Jumlah bercak atau puncak menunjukkan jumlah minimum komponen campuran. Dua keuntungan utama kromatografi sebagai metode kualitatif yaitu cuplikan senyawa yang dibutuhkan untuk analisis sangat sedikit dan biasanya waktu analisis pendek. Kedua, kromatografi kuantitatif menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran, nisbi terhadap komponen lain atau sebagai kuantitatif mutlak jika memakai standar (pembanding baku) dan kalibrasi yang sesuai. Ketiga, kromatografi preparatif dipakai untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah yang memadai dalam keadaan murni sehingga komponen itu dapat dicirikan lebih lengkap atau dipakai pada reaksi berikutnya. KLT preparatif yang dilakukan pada lapisan sampai setebal 1 cm (kromatografi lapis tebal) mempunyai keuntungan sederhana dan murah (Gritter dkk., 1991).

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu bentuk kromatografi cair-padat. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan alumina.


(30)

Cara ini bergantung pada antaraksi khas linarut dengan permukaan serbuk halus penjerap (Johnson dan Stevenson, 1991). Setiap analit yang terlarut dalam fase gerak bila melewati fase diam akan teradsorpsi dengan afinitas yang berbeda sehingga terjadi pemisahan analit dari campurannya (Braithwaite dan Smith, 1999).

KLT dapat dipakai pada beberapa tingkat kerumitan. KLT dengan kerumitan yang meningkat adalah KLT pada kaca objek atau lapisan tipis, KLT berukuran besar, KLT preparatif, KLT kuantitatif, dan KLTKT (Gritter dkk., 1991).

Menurut Mulja dan Suharman (1995), perilaku senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi tertentu dinyatakan dengan harga Rf (faktor retardasi). Faktor retardasi untuk tiap-tiap noda kromatogram dapat didefenisikan sebagai:

2.4.2 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom merupakan bentuk kromatografi cair. Cara mengemas kolom ada dua yaitu cara kering dan cara lumpuran. Fase diam ditempatkan di dalam tabung kaca berbentuk silinder, pada bagian bawah tertutup dengan katup atau keran, dan fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah melaluinya karena gaya berat. Campuran yang dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penjerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, atau bahkan tabung plastik. Mekanisme pemisahannya berdasarkan perbedaan migrasi komponen-komponen akibat perbedaan distribusi pada dua fase yang tidak saling bercampur. Perbedaan distribusi dapat disebabkan oleh proses


(31)

adsorpsi (fase diam berupa zat padat dan fase gerak berupa zat cair) atau partisi (fase diam dan fase gerak berupa zat cair) (Gritter dkk., 1991; Johnson dan Stevenson, 1991).

2.4.3. Kromatografi Pertukaran Ion

Kromatografi pertukaran ion dilakukan jika cuplikan mengandung komponen analisis berupa ion dan larut dalam air. Fase gerak biasanya mengandung ion lawan yang muatannya berlawanan dengan muatan gugus ion permukaan. Ion lawan tersebut berkesetimbangan dengan damar dalam bentuk pasangan ion. Adanya ion linarut yang muatannya sama dengan muatan ion lawan menimbulkan kesetimbangan. Pada proses pertukaran kation, ion lawan ialah Na(+) dan pada pertukaran anion, ion lawannya Cl(-) (Johnson dan Stevenson, 1991).

2.5 Spektrofotometri Ultra Violet dan Tampak

Spektrofotometri ultraviolet dan tampak merupakan teknik analisis spektroskopik yang memanfaatkan sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan menggunakan instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Apabila pada suatu molekul dikenakan radiasi elektromagnetik maka akan terjadi eksitasi elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbital elektron “anti bonding”. Eksitasi elektron (σ σ*) memberikan energi yang terbesar dan terjadi pada daerah ultra violet jauh yang diberikan oleh ikatan tunggal. Sedangkan eksitasi elektron (π π*) diberikan oleh ikatan


(32)

rangkap dua dan tiga juga menjadi pada daerah ultra violet jauh. Pada gugus karbonil akan terjadi eksitasi elektron (n σ*) yang terjadi pada daerah ultra violet jauh. Senyawa-senyawa organik dan semua gugus yang mengabsorbsi radiasi uv-vis yang disebut sebagai kromofor. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom, adalah gugus fungsionil yang mempunyai elektron bebas seperti –OH, O-NH2 dan OCH3 yang memberikan transisi (n - σ*). Terikatnya

gugus auksokrom oleh gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih panjang (pergeseran merah = batokromik) (Mulja dan Suharman, 1995).

Gambar 2.3 Energi transisi elektronik (http://www.chemicalforums.com).

Suatu molekul yang sederhana apabila dikenakan radiasi elektromagnetik akan mengabsorbsi radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Interaksi tersebut akan meningkatkan energi potensial elektron pada tingkat keadaan eksitasi. Apabila pada molekul yang sederhana tadi hanya terjadi transisi elektronik pada satu macam gugus, maka akan terjadi satu absopsi yang merupakan garis spektrum (Silverstein, et al., 2005).


(33)

Menurut Satiadarma dkk. (2004), persamaan untuk menghitung serapan/absorbansi (A) yang dikenal dengan hukum Lambert-Beer, yaitu :

A= . l . c

Keterangan: A = besarnya serapan

= absortivitas molar (M-1cm-1) l = tebal kuvet (cm)

c = konsentrasi larutan (M)

2.6 Spektrofotometri Infra Merah

Daerah infra merah terletak antara spektrum radiasi elektromagnetik cahaya tampak dan spektrum radiasi radio, yakni antara 4000 dan 400 cm-1. Jika radiasi inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah energi yang diserap dan yang ditransmisikan tanpa diserap. Molekul yang menyerap energi infra merah akan mengalami perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi sehingga menghasilkan suatu frekuensi yang khas (Silverstein, et al., 2005; Skoog, et al., 1998).

Terdapat dua macam getaran molekul, yaitu getaran ulur (stretching)

dan getaran tekuk (bending). Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di

sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom, atau karena gerakan sebuah gugusan atom terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di dalam gugusan (Silverstein, et al., 2005).


(34)

Bentuk dan struktur molekul juga menjadi penentu terjadinya interaksi radiasi infra merah dengan molekul. Molekul yang simetris dalam arti kata kedua gugus molekul atau atom mempunyai keelektronegatifan yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan muatan listrik pada kedua kutub. Dengan demikian medan listrik infra merah tidak berinteraksi dengan molekul dan lebih jauh molekul itu tidak akan mengalami perubahan-perubahan vibrasi karena tidak menyerap radiasi infra merah. Sebaliknya untuk molekul yang tidak simetris akan terjadi perbedaan muatan listrik pada kedua kutubnya. Molekul tersebut tiap-tiap gugus akan mempunyai vibrasi alamiah yang besarnya berbeda-beda. Apabila vibrasi alamiah gugus molekul cocok dengan frekuensi radiasi infra merah maka akan terjadi interaksi medan listrik yang menyebabkan perubahan-perubahan vibrasi yang menandakan terjadinya absorbsi radiasi infra merah oleh gugus molekul. Perubahan energi vibrasi molekul pasti akan diikuti perubahan amplitudo vibrasi molekul yang dikenal sebagai tanggapan radiasi infra merah (sinyal) (Mulja dan Suharman, 1995).

Spektrum serapan radiasi yang terbentuk, khas untuk molekul senyawa organik yang bersangkutan dan dapat digunakan untuk analisis kualitatif, sedangkan serapan pada frekuensi khas tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma dkk., 2004).


(35)

2.7 Spektrometri Resonansi Magnet Inti (RMI)

Spektrometri Resonansi Magnet Inti merupakan bentuk lain dari spektrometri serapan. Dalam RMI senyawa menyerap energi pada daerah frekuensi radio dari spektrum elektromagnetik dibawah pengaruh medan magnet yang kuat. Radiasi pada daerah frekuensi radio digunakan untuk mengeksitasi atom, biasanya atom proton atau karbon-13 (Silverstein et al., 2005; Watson,

1999).

Proton yang akan ditentukan dengan spektrometer RMI berada di dalam lingkungan atom-atom yang lain. Momen magnet inti setiap atom di dalam molekul berbeda-beda besarnya. Karena setiap proton di dalam molekul zat organik beraneka ragam maka setiap proton di dalam molekul zat organik memberikan tetapan perisai (σ) yang berbeda. Pergeseran kimia ( ) adalah posisi frekuensi resonansi sebuah proton tertentu dalam pengaruh medan magnet luar berkekuatan tertentu yang posisinya berbeda terhadap proton standar internal. Pergeseran kimia dinyatakan sebagai ppm (part per million). Jika proton berada

dalam lingkungan kerapatan elektron yang tinggi maka akan menunjukkan harga

σ yang tinggi, demikian juga akan bergeser pada harga yang tinggi. Sebaliknya akan rendah pada keadaan lingkungan proton dengan kerapatan elektron rendah (Silverstein et al., 2005)

Pada spektrometer RMI tampak puncak-puncak kasar (satu puncak) karena kemampuan resolusi spektrometer RMI masih rendah. Akan tetapi saat ini sudah dikenal spektrometer proton RMI dengan daya resolusi tinggi yang akan memberikan puncak-puncak halus dan dapat langsung menggambarkan jumlah proton. Puncak-puncak halus hasil resolusi tinggi ini timbul dari keadaan


(36)

spin-spin splitting. Proton-proton yang berdekatan dan mempunyai perbedaan

lingkungan elektronik (tidak setara) akan saling mempengaruhi, dan akibatnya akan terjadi pemisahan tiap-tiap sinyal (Skoog, et al., 1998).

Spektrometri 1H-RMI didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik menggunakan hidrogen sebagai proton. Begitu juga halnya dengan spektrometri 13C-RMI yang akan memberikan informasi keadaan atom-atom karbon dalam sebuah molekul organik. Walaupun inti-inti 13C yang bertetangga dalam sebuah molekul akan memecahkan sinyal, tetapi pada akhirnya tidak terjadi pola pemisahan 13C satu dengan lainnya pada spektrum 13C. Spektrum 13C tidak akan dapat diintegrasi, hal ini disebabkan adanya proses pengendoran pada proses hilangnya energi yang diserap oleh 13C. Luas di bawah puncak pada spektrum 13C-RMI tidak harus menunjukkan kesetaraan dengan jumlah atom 13C sebagai akibat pengendoran energi pada 13C. Satu hal lagi yang sangat menguntungkan pada 13C-RMI yaitu terjadinya pergeseran kimia yang lebih besar ke arah bawah medan dari puncak TMS, dibandingkan pergeseran kimia pada proton. Geseran kimia ( ) pada proton 0-10 ppm bawah medan puncak TMS, sedangkan pada 13C di dapat variasi harga = 0-200 ppm. Pelebaran rentang akan lebih menyederhanakan spektrum RMI 13C dibanding spektrum RMI proton sebab pada 13C kemungkinan terjadinya tumpang tindih puncak adalah kecil (Mulja dan Suharman, 1995).


(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptif research), karena

penelitian bertujuan menggambarkan sifat dari suatu keadaan yang terdapat pada sintesis serta karakterisasi senyawa porfirin dengan meso-substituen

piridin-karboksaldehid dan benzaldehid karboksilat.

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan kerja, yaitu: sintesis, pemurnian dan karakterisasi senyawa benzaldehid karboksilat; sintesis, pemurnian dan karakterisasi senyawa porfirin.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Keilmuan Farmakokimia Sekolah Farmasi ITB dan LIPI Serpong. Waktu penelitian adalah mulai November 2010 sampai dengan Juni 2011.

3.3 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium sesuai dengan kebutuhan, neraca analitik (Mettler AE 200), seperangkat alat desikator vakum, penguap putar vakum, alat kromatografi, hot


(38)

(Macherey-nagel), alat penentu titik lebur (Melting Point Apparatus SMP 30), corong

buchner, oven, seperangkat alat destilasi, spektrofotometer UV-Vis Beckman

coulter DU 720, FT/IR-4200 JASCO, spektrometer massa (Waters LCT Premier

XE ESI TOFF), 1H-NMR JEOL JNM ECA 500 MHz. Lampu UV dengan

panjang gelombang 254 nm.

3.4 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi kalium karbonat (Sigma), 3,4-dihidroksi benzaldehid 97% (Fluka), aseton p.a (Merck), etilkloroasetat 99% (Sigma), pirol (Sigma), piridinkarboksaldehid 97% (Sigma), kertas saring, lempeng aluminium KLT silika gel F254 (Merck), lempeng

aluminium KLT alumina (Merck), silika gel 60 (Merck), alumina basa (Merck), dowex X-8. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini berderajat kemurnian pro analisis yaitu asam propanoat, metanol, kloroform, diklorometan, n-heksan, etil asetat; berderajat teknis yaitu metanol, koroform, etil asetat, dan air suling.

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

Sebanyak 5,0153 g kalium karbonat anhidrat dimasukkan ke dalam labu reaksi. Ditambahkan 75 ml aseton dan ditambahkan 35 ml (0,3 mol) etilkloroasetat. Campuran reaksi dipanaskan hingga mendidih pada suhu 60o C-70oC. Kemudian ditambahkan 3,5 g (0,3 mol) 3,4-dihidroksibenzaldehid. Campuran reaksi direfluks selama 8 jam hingga terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk disaring kemudian dicuci dengan aseton dan diekstraksi cair-cair


(39)

dengan menggunakan pelarut kloroform:air destilasi (1:1). Fraksi yang larut dalam air destilasi diuapkan dan disaring. Padatan yang diperoleh kemudian dikarakterisasi.

3.5.2 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

3.5.2.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

Identifikasi dan uji kemurnian dilakukan menggunakan lempeng aluminium KLT silika gel F254 dengan menggunakan 3 jenis pengembang dan

secara 2 dimensi. Pengembang yang digunakan untuk identifikasi dan uji kemurnian terdiri dari pengembang kloroform:metanol (1:1), diklorometan:metanol (1:1), dan etil asetat: metanol (1:1), Untuk uji kemurnian secara 2 dimensi, dimensi pertama menggunakan pengembang campuran kloroform:metanol (1:1) dan dimensi kedua menggunakan campuran diklorometan:metanol (1:1). Bercak yang dihasilkan dideteksi menggunakan lampu UV 254 nm.

3.5.2.2 Karakterisasi Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat 3.5.2.2.1 Analisis Spektrum Infra Merah

Sebanyak 1 bagian serbuk senyawa aldehid dicampur dengan 100 bagian KBr, digerus hingga homogen. Campuran dikempa menjadi plat yang tipis dan transparan. Kemudian lempeng tersebut diidentifikasi dengan JASCO FT/IR 4200 pada rentang bilangan gelombang 4000-400 cm-1.


(40)

3.5.2.2.2 Analisis Spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI

Pengukuran spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI dilakukan di Laboratorium RMI Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong dengan menggunakan pelarut D2O

dengan frekuensi 500 MHz.

3.5.3 Sintesis Senyawa Porfirin

Sebanyak 60 ml asam propanoat direfluks hingga mendidih dengan suhu 150o-160oC. Kemudian ditambahkan 0,5 g (1,6 mmol) 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid, 151 µl (1,6 mmol) 4-piridinkarboksaldehid dan 224 µl (3,2 mmol) pirol. Campuran reaksi direfluks selama 4 jam. Kemudian pelarut dievaporasi sampai kering. Hasil reaksi yang terbentuk dicek spektrumnya dengan spektrofotometri UV, diisolasi dan dimurnikan.

3.5.4 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Porfirin

3.5.4.1 Pemisahan Zat Hasil Sintesis Senyawa Porfirin

Pemisahan zat hasil sintesis senyawa porfirin dilakukan dengan menggunakan KLT dan kromatografi kolom. Endapan hasil sintesis ditambahkan beberapa tetes NaOH 0,01 N kemudian ditotolkan pada lempeng KLT alumina basa. Lempeng tersebut dikembangkan dengan menggunakan campuran kloroform-metanol (2:1). Setelah dikembangkan, hasil kromatografi lapis tipis dilihat di bawah lampu UV 254 nm. Kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kolom dengan sistem bertahap (stepwise elution). Fase diam yang


(41)

kemudian metanol dan air suling sedangkan yang masih tertinggal pada fase diam dilarutkan dalam larutan NaOH 0,01 N. Diperoleh 4 pita dari hasil kromatografi kolom. Masing-masing pita yang diperoleh dari hasil kromatografi kolom diuapkan dan dikeringkan dalam desikator vakum.

3.5.4.2 Pemisahan Pita 4 Hasil Kromatografi Kolom

Pita 4 hasil kromatografi kolom dalam larutan NaOH 0.01 N diisolasi kembali dengan menggunakan KLT dan kromatografi kolom. Pita 4 ditotolkan pada lempeng KLT silika gel F254. Lempeng tersebut dikembangkan dengan

menggunakan pengembang etil asetat-metanol (1:2). Setelah dikembangkan, hasil kromatografi lapis tipis dilihat di bawah lampu UV 254 nm. Kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel F254 dan fase

gerak campuran etil asetat-metanol (1:2). Hasil elusi yang diperoleh diuapkan dan dikeringkan dalam desikator vakum.

3.5.4.3 Pemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom

3.5.4.3.1 Pemurnian Pita 4 dengan Kromatografi Kolom Resin Ion Exchange Hasil kromatografi kolom pita 4 yang kedua dimurnikan kembali dengan sistem kromatografi kolom resin ion exchange. Fase diam damar (Dowex X-8)

dengan fase gerak air suling dan HCl 0,01 N. Hasil elusi yang diperoleh diuapkan dan dikeringkan dalam desikator vakum.

3.5.4.3.2 Rekristalisasi Pita 1 dan 4

Larutan pita 1 dan 4 masing-masing dipekatkan hingga tepat jenuh. Kemudian masing-masing ditambahkan n–heksan sedikit demi sedikit sampai


(42)

terjadi kekeruhan. Dibiarkan selama tiga puluh menit kemudian disaring menggunakan corong buchner.

3.5.4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom 3.5.4.4.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 1

Sedikit serbuk pita 1 dilarutkan dalam kloroform dan diidentifikasi menggunakan plat alumina basa dengan tiga jenis pengembang dan diuji kemurniannya secara dua dimensi. Pengembang yang digunakan terdiri dari campuran kloroform-metanol (1:1), campuran diklorometan-metanol-air destilasi (2:2:1), campuran kloroform-etil asetat (4:1). Untuk uji kemurnian secara dua dimensi, dimensi pertama menggunakan pengembang campuran kloroform-metanol (1:1) dan dimensi kedua campuran diklorometan-kloroform-metanol-air suling (2:2:1). Setelah dikembangkan, hasil kromatografi lapis tipis dilihat di bawah lampu UV 254 nm.

3.5.4.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 4

Sedikit serbuk pita 4 dilarutkan dalam air suling dan diidentifikasi menggunakan plat silika gel F254 dengan tiga jenis pengembang dan diuji

kemurniannya secara dua dimensi. Pengembang yang digunakan terdiri dari campuran etil asetat-metanol (1:1), campuran diklorometan-metanol (1:1), dan campuran metanol-air destilasi (1:2). Untuk uji kemurnian secara dua dimensi, dimensi pertama menggunakan pengembang campuran etil asetat-metanol (1:1) dan dimensi kedua campuran diklorometan-metanol (1:1). Setelah dikembangkan hasil kromatografi lapis tipis dilihat dibawah lampu UV 254 nm.


(43)

3.5.4.4.3 Penentuan Titik Lebur

Penentuan titik lebur dilakukan dengan menggunakan alat Elektrotermal 9100. Masing-masing serbuk pita 1 dan pita 4 yang telah digerus halus dan dikeringkan dalam desikator, dimasukkan secukupnya ke dalam pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya terbuka. Kemudian dimampatkan dan diukur titik leburnya

3.5.4.5 Karakterisasi Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom 3.5.4.5.1 Analisis Spektrum Serapan UV-Vis

Pita 1, 2, 3, dan 4 masing-masing diukur secara spektrofotometri menggunakan spektrofotometer UV-Vis Beckman coulter DU 720 pada rentang

panjang gelombang 300-700 nm.

3.5.4.5.2 Analisis Spektrum Infra Merah

Sebanyak 1 bagian serbuk pita 1 dicampur dengan 100 bagian KBr, digerus hingga homogen. Campuran dikempa menjadi plat yang tipis dan transparan. Kemudian lempeng tersebut diidentifikasi dengan JASCO FT/IR 4200 pada rentang bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Hal yang sama dilakukan untuk pita 4.

3.5.4.5.3 Analisis Spektrum 1H-RMI

Pengukuran spektrum 1H-RMI pita 1 dan pita 4 dilakukan di Laboratorium RMI Pusat Penelitian Kimia-LIPI Serpong dengan menggunakan pelarut masing-masing CDCl3 dan D2O serta DMSO dengan frekuensi 500 MHz.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

Pada penelitian ini dilakukan asetilasi gugus hidroksi pada 3,4 dihidroksibenzaldehid menghasilkan suatu ester dan dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis. Diawali dengan penambahan etilkloroasetat yang direaksikan dengan 3,4 dihidroksibenzaldehid dan dihidrolisis dengan adanya air (Shetty et al.,

1995). Adapun skema dan kondisi reaksinya dapat diihat pada gambar 4.1. Perubahan yang terjadi selama proses sintesis yaitu larutan berwarna putih pada saat pencampuran kalium karbonat dan etilkloroasetat dalam aseton. Kemudian penambahan 3,4 dihidroksibenzaldehid ke dalam campuran menghasilkan larutan berwarna kecoklatan. Selama proses reaksi terjadi perubahan dari larutan coklat menghasilkan endapan berwarna putih kekuningan pada hasil reaksi. Campuran reaksi diuapkan. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan disaring dan dicuci.

Reaksi hidrolisis pada hasil reaksi ini terjadi pada saat endapan diekstraksi dengan campuran kloroform:air destilasi (1:1). Melarutnya endapan pada fraksi air, menunjukkan bahwa senyawa 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid yang bersifat polar telah terbentuk. Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan hasil reaksi dari zat-zat pengotor serta menghidrolisis hasil reaksi sehingga diperoleh senyawa benzaldehid yang mengandung gugus asam karboksilat.


(45)

OH OH O 3,4-dihidroksibenzaldehid + etilkloroasetat O O

Cl T= 60oC-70oC

t = 8 jam + aseton

+ K2CO3 anhidrat O

OH O O O H 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

Gambar 4.1.Skema reaksi sintesis 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid Secara teoritis kemungkinan reaksi yang terjadi pada sintesis senyawa 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid adalah penggantian atom hidrogen dari gugus hidroksil dengan suatu gugus asetil (CH3CO) menghasilkan suatu

ester yang khas. Setelah proses asetilasi terbentuk, dilanjutkan dengan reaksi hidrolisis. Molekul air menyerang karbon karbonil dan membentuk suatu zat antara tetrahedral. Perpindahan proton dari ion hidronium ke molekul air kedua menghasilkan suatu ester hidrat. Pemindahan proton dalam molekul menghasilkan gugus pergi alkohol, dan pada hasil akhirnya akan terbentuk suatu asam dan karboksilat (Sarker dan Nahar, 2009).

4.2 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

4.2.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat

Identifikasi padatan hasil sintesis senyawa benzaldehid karboksilat secara KLT dilakukan dengan menggunakan lempeng KLT silika gel F254 dengan

beberapa kombinasi pengembang. Identifikasi dengan menggunakan pengembang kloroform-metanol (1:1), diklorometan-metanol (1:1) dan etil asetat- metanol (1:1) memberikan pemisahan yang baik, yaitu telah menunjukkan satu bercak. Hasil identifikasi dengan KLT dapat dilihat pada gambar 4.2.


(46)

A B C

Gambar 4.2. Kromatogram KLT identifikasi hasil sintesis senyawa benzaldehid karboksilat dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT silika gel F254 dengan fase gerak

kloroform-metanol (1:1) (A), diklorometan-metanol (1:1) (B), dan etil asetat-metanol (1:1) (C).

Nilai Rf dari hasil sintesis senyawa aldehid dapat dilihat pada tabel 4.1. Munculnya bercak yang hanya satu pada plat KLT, menunjukkan bahwa kemungkinan hasil sintesis senyawa aldehid sudah murni.

Tabel 4.1 Nilai Rf 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid pada Berbagai Komposisi Pengembang.

Pengembang Rf

Kloroform-metanol (1:1)

Diklorometan-metanol(1:1)

Metanol-etilasetat (1:1)

3-hidroksi-4-karboksimetilen oksibenzaldehid

0,66

0,74 0,94

Uji kemurnian dua dimensi dilakukan dengan menggunakan pengembang kloroform-metanol (1:1) dan dimensi kedua menggunakan pengembang diklorometan-metanol (1:1). Hasil KLT dua dimensi juga telah menunjukkan satu bercak. Hasil uji kemurnian dua dimensi dapat dilihat pada gambar 4.3.


(47)

A B

Gambar 4.3. Kromatogram KLT uji kemurnian hasil sintesis senyawa benzaldehid karboksilat dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT silika gel F254 dengan fase gerak

dimensi pertama kloroform-metanol (1:1) (A), dan dimensi kedua diklorometan-metanol (1:1) (B).

Secara makroskopik, senyawa yang dihasilkan berupa serbuk berwarna putih dan bersifat polar, ditandai dengan kelarutannya di dalam air.

4.2.2 Karakterisasi Zat Hasil Sintesis Senyawa Benzaldehid Karboksilat 4.2.2.1 Analisis Spektrum Infra Merah

3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid merupakan turunan senyawa aldehid. Spektrum IR pada gambar 4.4 menunjukkan adanya gugus CH dari aldehid (2854,13 cm-1) dan gugus karbonil (1577,49 cm-1) serta gugus lainnya seperti pada tabel 4.2.


(48)

Gambar 4.4. Spektrum Infra Merah 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid

Tabel 4.2 Bilangan gelombang dan gugus fungsi 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid Bilangan gelombang (cm-1) Mode Vibrasi 3351,68

2923,56

Grup OH pada –COOH -CH (alifatis) pada CH2

2854,13 -CH pada –COH

1577,49 C=O 1253,5-1126,22 C-O

Pita absorbsi spektrum CH dari aldehid yang khas, pita gugus OH dari COOH yang melebar serta adanya pita C=O menunjukkan adanya gugus asam karboksilat pada senyawa aldehid hasil sintesis ini.


(49)

4.2.2.2 Analisis Spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI

Identifikasi struktur senyawa aldehid hasil sintesis ini dilakukan dengan pengukuran spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI. Spektrum 1H-RMI terlihat pada gambar 4.5 dan 13C-RMI pada gambar 4.6.

Gambar 4.5. Spektrum 1H-RMI 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid dalam pelarut D2O

Dari spektrum 1H-RMI produk hasil sintesis terlihat adanya sinyal yang kuat pada pergeseran kimia 4,56 ppm menunjukkan adanya sinyal atom H dari CH2 yang terikat pada gugus karboksilat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil

sintesis telah memiliki gugus karboksilat dan reaksi asetilasi gugus karboksilat pada gugus hidroksida sudah terjadi. Sinyal atom H yang terikat pada gugus aldehid secara spesifik terdapat pada daerah pergeseran kimia 9,66 ppm.


(50)

Sedangkan sinyal yang menunjukkan atom H pada cincin benzen terdapat pada daerah pergeseran kimia 6,96 - 7,46 ppm. Pada hasil sintesis ini, reaksi asetilasi hanya terjadi pada salah satu posisi gugus hidroksi dari 3,4-dihidroksibenzaldehid. Hal ini dapat diketahui dari integral 1H-RMI pada atom H yang terikat sebagai -CH2- memiliki perbandingan integral 2:1 dengan atom H

dari -CH- yang terdapat pada senyawa yang dianalisis. Namun, pada pengukuran

1

H-RMI ini, gugus OH tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan oleh terdeterasinya atom H dari OH yang reaktif akibat penggunaan pelarut D2O pada proses analisa.

O

OH

O O

O

H

112,61 126,32

152,42 114,94 129,88

145,68

195,07 67,41

175,84

Gambar 4.6. Spektrum 13C-RMI 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid dalam pelarut D2O

Pada spektrum 13C-RMI dapat dilihat bahwa terdapat sinyal atom C dari gugus aldehid yang spesifik pada daerah pergeseran kimia 195,07 ppm. Begitu


(51)

pula halnya dengan gugus karboksilat yang sinyal atom C nya terdapat pada pergeseran kimia 175,84 ppm karena adanya pengaruh dari C=O dan OH sehingga pergeseran kimianya lebih ke daerah downfield. Pada 13C-RMI jumlah

sinyal yang muncul pada spektrum menunjukkan banyaknya jumlah atom C yang terdapat pada senyawa yang dianalisis.

Berdasarkan data spektrum infra merah, spektrum 1H-RMI dan spektrum

13

C-RMI diduga bahwa telah terjadi asetilasi pada 3,4-dihidroksibenzaldehid dan hidrolisis menghasilkan senyawa 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid.

4.3 Sintesis Senyawa Porfirin

Pada penelitian ini senyawa porfirin yang ingin disintesis adalah porfirin dengan empat gugus samping yaitu gugus benzaldehid karboksilat dan piridin yang terikat pada posisi meso. Oleh karena itu dipakai metode Lindsey dan Adler

dengan tahapan proses yang terjadi yaitu proses kondensasi dan oksidasi (Bonnet, 2000., Tjahjono et.al., 1999). Untuk dapat memasukkan gugus samping

pada posisi meso, gugus samping yang akan dimasukkan harus terikat dengan

gugus karbonil yang kemudian akan berkondensasi dengan pirol dan membentuk jembatan metin interpirol di antara dua molekul pirol.

Agar reaksi antara 3-hidroksi-karboksimetilenoksibenzaldehid, 4-piridinkarboksaldehid dapat terjadi dengan pirol, maka diperlukan katalis asam. Asam yang digunakan sebagai katalis dalam penelitian ini adalah asam propanoat. Adanya asam akan menyebabkan protonasi pada gugus karbonil sehingga atom C karbonil akan menjadi lebih elektropositif dan dapat diserang


(52)

oleh pirol. Setelah protonasi gugus karbonil, tahap berikutnya adalah serangan nukleofilik oleh pirol terhadap atom C karbonil sehingga terjadi proses polimerisasi dan siklisasi yang akan menghasilkan cincin porfirin.

Hal yang harus diperhatikan dalam reaksi sintesis porfirin ini adalah sistem harus terbebas dari air karena dalam proses polimerisasi dan siklisasi, dilepaskan molekul air sebagai hasil dari reaksi kondensasi. Molekul air yang dilepaskan harus didesak keluar dari larutan karena reaksi sintesis porfirin yang terjadi merupakan reaksi kesetimbangan. Jika tidak, maka rendemen produk yang dihasilkan akan lebih sedikit dari yang seharusnya. Dalam hal ini digunakan gas nitrogen yang dialirkan terus menerus selama reaksi berlangsung untuk mendesak molekul air keluar dari sistem. Setelah proses kondensasi berlangsung, dilanjutkan dengan oksidasi porfirinogen yang terbentuk menjadi porfirin yang planar dengan adanya pemanasan.

Dari hasil sintesis terlihat perubahan warna campuran larutan dari berwarna putih kekuningan setelah pencampuran asam dengan 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid dan pirol menjadi kecoklatan dengan penambahan 4-piridinkarboksaldehid dan diaduk selama 4 jam dengan pemanasan menghasilkan campuran berwarna kehitaman.


(53)

NH pirol O OH O OH O + O OH asam propanoat

T=150oC-160oC t = 4 jam

N NH N HN N N N N

5,10,15,20-tetrakis piridil porfirin

5,10-bis (piridil)-15,20-bis [(3-hidroksi-4-karboksimetilenoksi)fenil] porfirin Produk I Produk II + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 4 5 2 3 N NH N HN N N O HO O HO O OH O OH 1 2 3 4

5 6 7 8 9 10 11 13 12 14 15 16 17 18 19 20 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1' 2' 3' 4' 5' 6' 1' 2' 3' 4' 5' 6' N O 4-pyridinecarboxaldehyde +


(54)

4.4 Analisis Hasil Sintesis Senyawa Porfirin

4.4.1 Pemisahan Zat Hasil Sintesis Senyawa Porfirin

Hasil sintesis senyawa porfirin diisolasi dengan menggunakan lempeng KLT alumina basa dengan menggunakan berbagai pengembang, salah satunya kloroform-metanol (2:1). Namun, masih menghasilkan pemisahan yang kurang baik. Sehingga pemisahan dilanjutkan dengan menggunakan kromatografi kolom dimana fase diam alumina basa dan fase gerak sistem bertahap (stepwise elution),

dengan tingkat kepolaran pelarut dimulai dari yang kurang polar hingga ke polar. Proses elusi dimulai menggunakan pelarut kloroform, menghasilkan pita 1 yang berwarna merah lembayung. Selanjutnya dielusi dengan metanol, menghasilkan pita 2 yang berwarna coklat kehijauan. Kemudian dilanjutkan dengan elusi menggunakan air destilasi menghasilkan pita 3 yang berwarna kuning coklat, dan yang tertinggal pada fase diam dilarutkan dalam NaOH 0,01 N menghasilkan pita 4 yang berwarna hijau kehitaman.

4.4.2 Pemisahan Pita 4 Hasil Kromatografi Kolom

Pita 4 yang dilarutkan dalam NaOH 0,01 N dipisahkan kembali melalui KLT dengan menggunakan fase diam silika gel F254 dan pengembang etil

asetat-metanol (1:2) menghasilkan pemisahan yang cukup baik menghasilkan 2 bercak yang terpisah meskipun masih ada yang tertinggal pada tempat penotolan. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.8.


(55)

Gambar 4.8. Kromatogram KLT pemisahan pita 4 dengan fase diam silika gel F254 dan pengembang etil asetat-metanol (1:2)

Pemisahan dilanjutkan dengan menggunakan kromatografi kolom. Fase diam dan fase gerak yang digunakan sama halnya seperti pada sistem KLT. Hasil pemisahan dengan kromatografi kolom ini diuapkan dan dimurnikan kembali.

4.4.3 Pemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom

4.4.3.1 Pemurnian Pita 4 dengan Kromatografi Kolom Resin Ion Exchange Hasil pemisahan 4.4.2 dimurnikan kembali dengan kromatografi kolom

resin ion exchange. Senyawa pita 4 mengandung gugus karboksilat (bermuatan

negatif) yang dapat bertukar dengan ion lawan (Cl-) dan menjadi pasangan dari ion muatan tetap pada permukaan resin (bermuatan positif). Fraksi yang tinggal pada resin dilarutkan dengan HCl 0,01 N sehingga ion karboksilat terlepas dari resin dan menghasilkan larutan berwarna hijau yang kemudian pelarutnya diuapkan.


(56)

4.4.3.2 Rekristalisasi Pita 1 dan 4

Rekristalisasi pita 1 menghasilkan serbuk berwarna ungu tua yang larut dalam kloroform dengan rendemen sebesar 10,36%. Sedangkan pita 4 menghasilkan serbuk berwarna hijau kecoklatan yang larut dalam air destilasi dengan rendemen sebesar 33,42%.

4.4.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom 4.4.4.1 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 1

Identifikasi pita 1 dilakukan dengan sistem KLT menggunakan plat alumina basa dengan 3 macam pengembang. Kromatogram hasil KLT dengan 3 macam pengembang dapat dilihat pada gambar 4.9 dan harga Rfnya dapat dilihat pada tabel 4.3.

Gambar 4.9. Kromatogram KLT identifikasi pita 1 dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT alumina basa dengan fase gerak kloroform-metanol (1:1) (A), diklorometan-metanol-air destilasi (2:2:1) (B), dan kloroform-etil asetat (4:1) (C).


(57)

Pengembang Rf

Kloroform-metanol (1:1)

Diklorometan-metanol-air destilasi (2:2:1)

Kloroform-etilasetat (4:1)

Senyawa

porfirin pita 1 0,84 0,86 0,89

Kromatogram KLT pita 1 pada berbagai komposisi pengembang telah menunjukkan satu bercak, dengan harga Rf yang berbeda tergantung pada komposisi pengembang. Namun, masih dilanjutkan dengan uji kemurnian pita 1 yang dilakukan secara KLT dua dimensi. KLT dua dimensi juga telah menunjukkan satu bercak. Hasil KLT dua dimensi dapat dilihat pada gambar 4.10.

A B

Gambar 4.10. Kromatogram KLT uji kemurnian senyawa porfirin pita 1 dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT alumina basa dengan fase gerak dimensi pertama kloroform-metanol (1:1) (A), dan dimensi kedua diklorometan-kloroform-metanol-air destilasi (2:2:1) (B).


(58)

4.4.4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Pita 4

Identifikasi pita 4 dilakukan dengan sistem KLT menggunakan plat silika gel F254 dengan 3 komposisi pengembang yang berbeda. Kromatogram KLT pita

4 dengan 3 komposisi pengembang dapat dilihat pada gambar 4.11 dan harga Rfnya dapat dilihat pada tabel 4.4.

Gambar 4.11. Kromatogram KLT identifikasi pita 4 dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT silika gel F254 dengan

pengembang diklorometan-metanol (1:1) (A), etil asetat-metanol (1:1) (B), dan metanol-air destilasi (1:2) (C).


(59)

Tabel 4.4 Nilai Rf Senyawa Pita 4 pada Berbagai Komposisi Pengembang Pengembang

Rf Diklorometan-metanol (1:1)

Etil asetat-metanol (1:1)

Metanol-air destilasi (1:2)

Senyawa

porfirin pita 4 0,86 0,88 0,93

Kromatogram KLT pita 4 dengan 3 komposisi pengembang yang berbeda telah menunjukkan 1 bercak noda dengan harga Rf yang berbeda tergantung pada komposisi pengembang. Kemudian dilakukan uji kemurnian dengan KLT dua dimensi. Pada gambar 4.11 dapat kita lihat bahwa kromatogram dengan sistem pengembang (C) menghasilkan bercak noda dengan harga Rf yang paling besar sedangkan pengembang (A) dan (B) memiliki harga Rf yang berdekatan sehingga digunakan pengembang diklorometan-metanol (1:1) untuk dimensi pertama, dan etil asetat-metanol (1:1) untuk dimensi kedua. Kromatogram KLT dua dimensi pita 4 ditunjukkan pada gambar 4.12.


(60)

A B

Gambar 4.12. Kromatogram KLT uji kemurnian senyawa porfirin pita 4 dengan pendeteksi UV 254 nm, menggunakan lempeng KLT silika gel F254 dengan fase gerak dimensi pertama etil asetat-metanol

(1:1) (A), dan dimensi kedua diklorometan-metanol (1:1) (B).

4.4.4.3 Penentuan Titik Lebur

Titik lebur ditentukan untuk setiap pita senyawa porfirin yang diperoleh. Pita 1 memiliki titik lebur > 300oC. Sedangkan pita 4 memiliki titik lebur 192oC – 195oC.

4.4.5 Karakterisasi Pita-Pita Hasil Kromatografi Kolom 4.4.5.1 Analisis Spektrum Serapan UV-Vis

Analisis spektrum serapan UV-Vis pita 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa pita 1, 2, 4 merupakan senyawa porfirin sedangkan pita 3 kemungkinan bukan senyawa porfirin. Spektrum senyawa porfirin sangat khas. Pada daerah sekitar 400 nm terdapat pita dengan intensitas yang tinggi disebut dengan pita Soret atau pita B, sedangkan pada daerah 500-600 nm biasanya terdapat 4 pita dengan intensitas rendah yang berbeda, disebut pita Q (Bonnet, 2000).


(61)

Spektrum senyawa pita 2 menunjukkan adanya absorbsi di daerah pita soret, namun absorbsi di daerah pita Q belum terlihat. Hal ini mungkin disebabkan oleh masih banyaknya pengotor pada pita 2.

Spektrum serapan sinar tampak pita 1 dapat dilihat pada gambar 4.13 dan pita 4 pada gambar 4.14

416 nm

512 nm

545 nm

642 nm 587 nm

Gambar 4.13. Spektrum Serapan Sinar Tampak Senyawa Porfirin Pita 1

415 nm

511 nm 546 nm

588 nm 644 nm

Gambar 4.14. Spektrum Serapan Sinar Tampak Senyawa Porfirin Pita 4

Analisis dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa senyawa pita 1 dan pita 4 memiliki serapan di daerah sinar tampak, yaitu di daerah


(62)

400-600 nm, dengan satu puncak memiliki intensitas yang tinggi pada panjang gelombang 416 nm (pita 1) dan 415 nm (pita 4), yang diidentifikasi sebagai puncak Soret, dan empat puncak dengan intensitas yang rendah pada panjang gelombang 500 nm-650 nm, yaitu 512 nm, 545 nm, 587 nm, 642 nm (pita 1) dan 511 nm, 546 nm, 588 nm, 644 nm (pita 4) diidentifikasi sebagai puncak Q pada senyawa porfirin. Berdasarkan hasil spektrum UV-Vis ini, menunjukkan senyawa porfirin telah terbentuk pada hasil reaksi.

4.4.5.2 Analisis Spektrum Infra Merah

Pita 1 dan pita 4 yang diduga merupakan turunan senyawa porfirin menunjukkan spektrum infra merah seperti yang terlihat pada gambar 4.15 dan gambar 4.16. Spektrum IR pada gambar 4.15 menunjukkan adanya gugus =NH (3367,21 cm-1) pada inti porfirin dan gugus yang lain seperti terdapat pada tabel 4.5. Pada daerah panjang gelombang 3444,24 cm-1 terdapat puncak yang berdampingan dengan puncak dari gugus =NH, puncak ini diduga merupakan gugus –OH yang berasal dari H2O yang mungkin masih terdapat di dalam

senyawa pita 1. Pada gambar 4.15 tidak terlihat adanya spektrum gugus COOH maupun C=O. Dari hasil spektrofotometri IR menunjukkan bahwa kemungkinan substituen yang terdapat pada cincin porfirin tidak mengandung gugus karboksilat.


(63)

Gambar 4.15. Spektrum Infra Merah Senyawa Porfirin Pita 1

Tabel 4.5 Bilangan gelombang dan gugus fungsi senyawa porfirin pita 1 Bilangan gelombang (cm-1) Mode Vibrasi

3367,1 =NH pada cincin porfirin 1457,92 C=C

Spektrum IR pada gambar 4.16 menunjukkan adanya pita yang cukup lebar pada daerah panjang gelombang 3428,81 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH dari COOH dan terdapat puncak yang cukup tajam dan kuat di daerah 1558,2 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O pada senyawa pita 4 serta gugus yang lain seperti terdapat pada tabel 4.6. Namun pada gambar 4.16 ini spektrum gugus =NH tidak terlihat seperti halnya pada gambar 4.15. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan spektrum OH yang cukup lebar sehingga spektrum =NH menjadi tertutupi. Dari hasil spektrofotometri IR menunjukkan bahwa


(64)

kemungkinan substituen yang terdapat pada cincin porfirin mengandung gugus karboksilat.

Gambar 4.16. Spektrum Infra Merah Senyawa Porfirin Pita 4

Tabel 4.6 Bilangan gelombang dan gugus fungsi senyawa porfirin pita 4 Bilangan gelombang (cm-1) Mode Vibrasi

3428,81 Grup OH pada –COOH

1558,2 C=O 1415,49 C=C

Dari hasil karakterisasi di atas dapat dipastikan bahwa senyawa yang disintesis adalah senyawa porfirin.


(65)

4.4.5.3 Analisis Spektrum 1H-RMI

Analisis spektroskopi 1H-RMI dilakukan untuk memastikan struktur porfirin yang disintesis. Hasil spektrum 1H-RMI dari serbuk pita 1 yang disintesis ditunjukkan oleh Gambar 4.17. Identifikasi puncak-puncak yang terukur dari spektrum 1H-RMI ditunjukkan oleh Tabel 4.7.


(66)

Tabel 4.7 Interpretasi Pergeseran Kimia dengan Struktur yang Beresonansi pada Senyawa Pita 1

Pergeseran Kimia ( ) (ppm) Multiplisitas Integrasi Struktur yang Beresonansi -2,93 Singlet 2 inner N-H

7,12 Singlet 8 Pirol -H 8,16-8,17 Duplet 8 Piridin H-2 dan H-4 9,07-9,08 Duplet 8 Piridin H-1 dan H-5

Pergeseran kimia pada 7,12 ppm diidentifikasi sebagai pirol -H. Senyawa aromatik tetrapirol, termasuk di dalamnya senyawa pita 1, menunjukkan efek anistropik seperti halnya pada benzen. Ketika diberikan medan magnetik, maka akan menghasilkan arus cincin yang akan menyebabkan timbulnya medan magnetik lokal. Pergeseran kimia untuk atom H pada posisi cincin pirol juga akan bergeser dari sekitar 6 ppm menjadi sekitar 7 ppm (7,12 ppm).

Efek anisotropik juga akan mempengaruhi atom H yang terikat pada atom N di dalam cincin tetrapirol. Medan magnetik lokal yang terjadi di sekitar atom H yang terikat pada atom N akan menentang medan magnetik yang diberikan sehingga atom H tersebut akan lebih shielding dan pergeseran kimianya akan

bergeser menjadi lebih kecil yaitu -2,93 ppm.

Atom H pada C nomor 1 dan 5 pada cincin piridin yang berdekatan dengan atom N mengakibatkan awan elektron dari kedua atom H tersebut menjadi tertarik ke arah atom N dan menyebabkan atom H pada C nomor 1 dan 5 menjadi deshielding dan sinyalnya akan muncul pada pergeseran kimia yang

lebih tinggi dibanding atom C nomor 2 dan 4 pada piridin, yaitu 9,07-9,08 ppm. Sedangkan pergeseran kimia dari atom H yang terikat pada atom C nomor 2 dan


(67)

4 pada cincin piridin yang tersubstitusi pada posisi meso, atom H nya akan lebih

shielding sehingga sinyalnya akan muncul pada pergeseran kimia yang lebih

rendah yaitu pada daerah 8,16 ppm-8,17 ppm.

Hasil spektrum 1H-RMI dari serbuk pita 4 yang disintesis ditunjukkan oleh Gambar 4.18. Identifikasi puncak-puncak yang terukur dari spektrum 1 H-RMI ditunjukkan oleh Tabel 4.8.


(68)

Tabel 4.8 Interpretasi Pergeseran Kimia dengan Struktur yang Beresonansi pada Senyawa Pita 4

Pergeseran Kimia ( ) (ppm) Multiplisitas Integrasi Struktur yang Beresonansi -3,09 Singlet 2 inner N-H

4,62 Singlet 4 CH2 pada benzen

karboksilat 7,02-7,03 Duplet 2 Benzen karboksilat H-5’

7,33 Singlet 2 Benzen karboksilat H-2’ 7,45-7,46 Duplet 2 Benzen karboksilat H-6’ 7,72-7,73 Duplet 4 Piridin H-2 dan H-4

8,45 Singlet 4 Pirol -H 8,59-8,61 Duplet 4 Piridin H-1 dan H-5

9,69 Singlet 4 Pirol -H

Pada pita 4 terdapat sinyal di daerah 7 ppm-7,5 ppm dengan pola yang sama seperti pada spektrum 1H-RMI 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu substituen yang terdapat pada pita 4 mengandung gugus karboksilat yang berasal dari 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid.

Pergeseran kimia pada daerah 4,62 ppm diidentifikasi sebagai atom H yang terikat sebagai CH2 pada benzen karboksilat, bersifat deshielding sehingga

sinyalnya muncul pada daerah pergeseran kimia yang lebih tinggi.

Pergeseran kimia pada 7,02 ppm-7,03 ppm diidentifikasi sebagai atom H yang terikat pada atom C benzen nomor 5’ yang berupa duplet. Hal ini dipengaruhi oleh adanya atom H tetangga yang berasal dari atom C benzen nomor 6’ yang lebih deshielding sehingga muncul di daerah pergeseran kimia


(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Senyawa porfirin dengan substituen meso yang membawa gugus yang dapat dilabel dengan radionuklida dapat disintesis dari 3-hidroksi-4-karboksimetilenoksibenzaldehid, 4-piridinkarboksaldehid, dan pirol dengan asam propanoat menggunakan suhu 150oC-160oC (selama 4 jam) menghasilkan beberapa turunan porfirin diantaranya 5,10,15,20-tetrakis(piridil)porfirin dengan rendemen sebesar 10,36%, dan 5,10-bis(piridil)-15,20-bis[(3-hidroksi-4-karboksimetilenoksi)fenil]porfirin dengan rendemen sebesar 33,42% yang dapat digunakan sebagai calon senyawa ligan untuk formulasi kit radiofarmaka.

5.2 Saran

Disarankan untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan analisis unsur, pengukuran spektrum 13C-RMI, pengukuran spektrum RMI 2D serta pengukuran spektrum spektroskopi massa untuk lebih memastikan senyawa yang disintesis, agar dapat dilakukan pelabelan dengan technetium (Tc) dan uji distribusi in vitro. Selain itu disarankan untuk melakukan isolasi dan pemurnian produk lain yang masih ada dalam crude product.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2011). ”Transition Electronic”.

Diakses 2011 (http://www.chemicalforums.com).

Bonnett, R. (2000). Chemical Aspects of Photodynamic Therapy. Vol. 1. Gordon and Breach Science Publishers. Amsterdam. Page.159,166-168

Boyle, P. and Levin, B. (2008). World Cancer Report 2008. International Agency for Research on Cancer. USA. Page. 32, 126-128

Braithwaite, A. and Smith, F. J. (1999). Chromatographic Methods. 5th edition. Kluwer Academic Publisher. London. Page. 44-51

Depkes RI. Farmakope Indonesia. (1979). Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hal. 24

Gottumukkala, V. (2006). Synthesis and Biological Evaluation of Water Soluble Carboranylporphyrin for Application in Boron Neutron Capture Therapy. Dissertation. Department of Chemistry. Louisiana State University. Louisiana. Page. 1-2

Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., dan Schwarting, A. E. (1991). Pengantar Kromatografi. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 180-239

Hargus, J. A. (2005). Naturally-Derived Porphyrin and Chlorin Photosensitizers for Photodynamic Therapy. Thesis. Department of Chemistry. Louisiana State University. Louisiana. Page. 1

Higgins, H. P., Ball, D., Eastham, S. (1973). 20-Min Tc Thyroid Uptake: A Simplified Method UsingThe Gamma Camera. J. Nucl. Med. 14. 907-911

99m

Hurley, L. H., Wheelhouse, R. T., Sun, D., Kerwin, S. M., Salazar, M., Fedoroff, O. Y., Han, F. X., Izbicka, E., von Hoff, D. D. (2000). G-Quadruplexes As Targets For Drug Design. Pharmacology and Therapeutics. 85. 141-158

Izbicka, E., Wheelhouse, R. T., Raymond, E., Davidson, K. K., Lawrence, R. A., Sun, D. Y., Windle, B. E., Hurley, L. H., von Hoff, D. D. (1999). Effects of Cationic Porphyrins as G-Quadruplex Interactive Agents in Human Tumor Cells. Cancer Res. 59. 639

Johnson, E.L. dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 70, 119-121


(3)

Jiao, L. (2007). Synthesis and Functionalizations of Tetrapyrrole Derivatives. Dissertation. Department of Chemistry. Louisiana State University, Louisiana. Page. 9

Kralova, J., Kejik, Z., Briza, T., Pouckova, P., Kral, A., Martasek, P., Kral, V. (2010). Porphyrin-Cyclodextrin Conjugates as a Nanosystem for Versatile Drug Delivery and Multimodal Cancer Therapy. J. Med. Chem. 53. 128-138

Mulja, H. M. dan Suharman. (1995). Analisis Instrumen. Surabaya. Airlangga University Press. Hal. 26-27,61

Ongayi, C. O. (2005). Synthesis of Symmetric and Asymmetric Water-Soluble Porphyrin Derivatives. Dissertation. Department of Chemistry. Louisiana State University. Louisiana. Page. 1-3, 14, 16

Pandey, R. K. and G. Zheng, (2000). Porphyrins as Photosensitizers in Photodynamic Therapy dalam: The Porphyrin Handbook. K. M. Kadish, K. M. Smith, and R.Guilard. (Eds.). Vol. 6. Academic Press. San Diego. Page. 159-160

Parkin, D.M., Bray, F., Ferlay, J., Pisani, P. (2005). Global Cancer Statistics 2002. CA Cancer J. Clin. 55. 74-108

Penn, I. (1986). Carcinogenicity of Alkylating Cytostatic Drugs. Scmall, D., Kaldor, J.M. (eds). International Agency for Research on Cancer. Lyon. No. 78. Page. 13-27

Sarker, S. D. dan Nahar, L. (2009). Kimia Untuk Mahasiswa Farmasi Bahan Kimia Organik, Alam Dan Umum. Penerjemah: Abdul Rohman. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 365-366

Satiadarma, K., Mulja, H.M., Tjahjono, D.H., dan Kartasasmita, R.E. (2004). Asas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi Pertama. Airlangga University Press. Surabaya. Hal. 87-97, 109-118

Schiavon, M.A., Iwamoto, L.S., Ferreira, A.G., Iamamoto, Y., Zanoni, M.V.B., Assis, M.D. (2000). Synthesis and Characterization of a Novel Series of Meso (Nitrophenyl) and Meso (CarboxyPhenyl) Substituted Porphyrins. J. Braz. Chem. Soc. Vol. 11. No.5. Page. 458-466

Shetty, S.J., Murugesan, S., Chatterjee, S. R., Banerjee, S., Srivastava, T. S., Noronha, O. P. D., Samuel, A. M. (1996). A New 99mTc Labeled Porphyrin For Specific Imaging of Sarcoma 120: Synthesis And Biological Study In A Swiss Mouse Model. Journal of Labelled Compounds and Radiopharmaceuticals. Vol. XXXVIII, No. 5, 413-415


(4)

Silverstein, R.M., Webster, F.X., and Kiemle, D.J. (2005). Spectrometric Identification of Organic Compounds. 7th Edition. John Wiley & Sons. New York. Page 72-108

Siswandono dan B Soekardjo (2000). Kimia Medisinal. Airlangga University Press. Surabaya, Hal. 239-241

Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman, T.A. (1998). Principles of Instrumental Analysis. 5th Edition. Harcourt Brace & Company. New York. Page. 674-696, 726-765

Tjahjono, D.H., Akutsu, T., Yoshioka, N., Inoue, H. (1999). Cationic Porphyrins bearing diazolium rings: Synthesis And Their Interaction With Calf Thymus DNA. Biochimica Et Biophysica Acta. 1472. 333-342

Tjahjono, D.H., Yamamoto, T., Ichimoto, S., Yoshioka, N., Inoue, H. (2000). Synthesis And DNA-Binding Properties of Bisdiazoliumylporphyrins. J. Chem. Soc., Perkin Trans. 3077-3082

Tjahjono, D.H., Mima, S., Akutsu, T., Yoshioka, N., Inoue, H. (2001). Interaction of Metallopyrazoliumylporphyrins With Calf Thymus DNA. J. Inorg. Biochem. 85. 219-228

Tjahjono, D.H., Kartasasmita, R.E., Nawawi, A., Mima, S., Akutsu, T., Yoshioka, N., Inoue, H. (2006). Binding of Tetrakis(Pyrazoliumyl)Porphyrin And Its Copper (II) And Zinc (II) Complexes To Poly(dG-dC)2 And Poly (dA-dT)2.

J. Biol. Inorg. Chem. 11. 527-538

Watson, D.G. (1999). Pharmaceutical Analysis A Textbook for Pharmacy Students and Phrmaceutical Chemists. Churchill Livingstone. London. Page. 97-111, 145-165


(5)

Lampiran 1. Perbandingan Spektrum Infra Merah Senyawa Pita 1 (dengan keempat substituen piridin) dengan bahan baku Tetra Metil Piridil Porfirin Para Toluensulfonat

Keterangan:

= tetra metil piridil porfirin para toluensulfonat = senyawa pita 1


(6)

Lampiran 2. Spektrum 1H-RMI Bahan Baku Tetra Metil Piridil Porfirin Para Toluensulfonat